Sasuke And His Hinata
Disclaimer: Naruto and All the chara are Masashi Kishimoto's.
Hanya mereka berdua, dan kesepian membelenggu, menyesaki dada. Melihat Hinata menunduk, jemari gemetar dan tubuh tegak kaku, Sasuke sedih. Mungkin ketakutan adalah satu-satunya emosi yang bersarang dalam diri perempuan itu. Ia tak sekalipun memandang Sasuke.
"Hinata…"
Yang dipanggil berdiri waspada, menghentikan langkah Sasuke lebih jauh. "Stop. Berhenti di situ. Jangan mendekat."
Ada yang begitu nyeri di dada. Bahkan untuk bicara di jarak pantas pun Hinata tak sanggup. Seolah Sasuke monster yang siap menerkam.
"Jangan mendekat. Jangan… Di situ saja." Hinata merapal pelan. Seperti orang ketakutan dan linglung.
Sudah separah apa, Hinata? Separah apa aku menyakitimu? Batin Sasuke.
Ia menunggu Hinata tenang. Butuh waktu, mungkin berada satu ruang dengannya pun merupakan keputusan berat.
Tak apa, sayang. Menunggu selama apapun, jika itu kamu, maka tak apa.
"Aku minta maaf, Hinata. Untuk semua." Tutur Sasuke halus. Pun begitu Hinata masih berjengit waspada.
"Kenapa… kenapa kamu nggak bilang, Hinata. Kenapa kamu tak menghajarku, menuntutku?" Sasuke mengangguk-angguk. Pukulan Itachi yang dahsyat itu tak berarti apapun, tak mengubah apa-apa. Ia tetap bangsat tak bertanggung jawab, seberapapun mengemis kesempatan pada Hinata.
"Untuk apa?" Jawab Hinata pelan, masih tanpa memandang Sasuke. "Apakah lantas Sasuke mau meninggalkan dunia yang mapan, hanya untuk gadis yang Sasuke bilang labil ini?"
Senyum kecut Hinata memedihkannya, seakan terbiasa dipinggirkan, dijadikan pilihan terakhir. Bangsat Sasuke, kau melakukan lebih parah dari itu. Menjadikan Hinata bukan pilihan sama sekali, lalu menyakiti untuk mengusir pergi.
Setelah jeda lama Hinata kembali bertanya. "Kenapa Sasuke datang? A-aku dan Naoki baik-baik saja, kami tidak butuh—"
"Aku yang butuh." Potong Sasuke. Kata-kata takkan mampu menjelaskan arti Hinata di hidupnya. Bahasa kekosongan itu yang bagaimana? Sebab Sasuke kosong tanpanya.
"Beritahu aku, apapun akan kulakukan untuk mendapatkan maafmu."
Hinata menggeleng lemah. "Jangan lakukan apapun. Jika tak bisa jadi Sasuke yang lebih baik, maka jadilah Sasuke yang biasa. Sasuke yang tak peduli, bahkan tak tahu Naoki ada." Lalu kalimat pamungkas Hinata memukul Sasuke telak. "Aku tak ingin berurusan denganmu lagi."
Tak ingin berurusan lagi denganmu.
Berarti Hinata ingin melepaskan semua, baik yang telah maupun mungkin terjadi antara mereka. Menjalani hidup tenangnya bersama Naoki, sementara Sasuke ditinggal dalam kubangan dosa, dihukum kesendirian dan sunyi. Sasuke ditinggal tanpa apapun yang bisa diperjuangkan. Tanpa apapun, sebenarnya 'tanpa apapun' merupakan kemewahan bagi kriminal sepertinya. Tapi, Sasuke lebih suka dihukum untuk meringankan perasaan nista, daripada hidup dalam bayang-bayang dosa.
Tak ingin berurusan lagi denganmu.
Maka Sasuke harus siap jadi asing sama sekali. Menyiapkan hati untuk melihat Hinata bersama yang lain, untuk Naoki memiliki ayah selainnya.
Dan Sasuke takkan pernah siap.
.
.
Usaha berminggu-minggu Sasuke menuai hasil. Dengan paksaan, Hinata setuju mengenalkannya pada Naoki sebagai ayah. Pertimbangannya supaya si bocah tak bingung. Atas usulan Itachi, Sasuke dijanji takkan merecoki Hinata di luar urusan Naoki. Sang kakak terlihat paling jijik, baik sebagai Uchiha maupun yang menyayangi Hinata.
Sasuke bersyukur, setidaknya ia bisa menjadi ayah. Ia akan menyayangi Naoki selamanya, dalam segala kondisi. Akan mencintai sebanyak dirinya sanggup. Sebab, diberi ruang untuk menyalurkan rasa itu, telah merupakan kemewahan baginya.
Ia sadar bahwa keinginan muluk-muluknya terhadap Hinata, kelewat tak tahu diri. Sasuke telah mencapai titik ikhlas, ia mau Hinata hidup normal. Jika menjauh bisa membantu, akan Sasuke lakukan. Ia rela dilupakan dan dicaci, bila implikasinya membebaskan Hinata dari trauma. Tak ada yang mau diingat sebagai mimpi buruk selamanya. Sasuke rindu Hinata-nya yang cemerlang, yang bersinar seperti saat remaja dulu. Dialah yang telah memadamkan pijar itu.
Maka pada suatu hari, Sasuke bertemu Naoki dengan pendampingan Hinata. Bocah tampan itu anteng menggerakkan pensil di kertas. Dari yang Sasuke lihat di foto, kulit Naoki putih sedikit kemerahan, warna matanya tak sejelaga Uchiha, sedikit turquoise pengaruh Hyuuga. Tapi, manusia kecil di depannya, jauh lebih tampan dari yang di foto. Itachi benar, bocah ini representasi dirinya. Pun diamnya yang bikin segan. Jika dulu Sasuke dulu dingin karena merasa pintar, Naoki dingin karena dia sungguhan tak peduli. Dia hidup di dunianya yang berisi ketertarikan pribadi.
"Halo." Sapaan Sasuke tak lantas membuat Naoki mengangkat kepala.
Melihat putranya tak bereaksi, Hinata membantu. "Naoki, ada yang mau ketemu nih."
Indifferent, Naoki tetap sibuk menggambar. Mobil, mobil, mobil, dia sedang beternak di sketch book. Setelah beberapa saat, ia mengangkat kepala, bukan menoleh pada Sasuke melainkan bola di tangan pria itu.
"Enam. Da nam hitam di boya."
"Huh?"
Sasuke tercengang, Naoki seperti berkata pada udara, datar tanpa menatap mata siapapun. Terlebih nada bicaranya kosong intonasi, mirip orang belajar membaca. Ia juga tak mengerti tujuan sang putra. Mengetahui kebingungan Sasuke, Hinata berujar.
"Aku nggak tahu kenapa, tapi Naoki sangat tanggap visual. Dia juga punya kemampuan hitung yang cepat. Coba saja hitung berapa dot di bola itu."
1…2…3… wah tepat enam. Sasuke memandang takjub bocah tampan yang kembali sibuk menggambar. Siapa dia? Anak ajaib?
Hinata menggesturkan supaya Sasuke mendekat. "Nah Naoki. Ini ayah, kamu bilang ingin ketemu yang kayak ayah Ed."
Sekarang Sasuke tahu, Naoki memang tak pernah menatap orang. Dia hanya melakukan itu, memperhatikan penuh, jika memiliki pertanyaan.
"Nao punya ayah sepelti Ed?" Ia menatap Hinata focus.
Tampan. Diam-diam Sasuke sedih, banyak sekali waktu terlewat antara mereka. Ia tak tahu cara memenangkan hati sang putra. Adakah kemungkinan untuknya disukai anak ini?
Tiba-tiba Naoki beralih perhatian, mata yang sama dengannya memandang Sasuke kesal. "Nao nggak suka. Ada suala tik tok." Ia menutup kedua telinga.
Hinata mengangguk paham. "Jam tangan bisa dilepas dulu? Naoki terganggu."
Ketakjuban lain. Jam tangan Sasuke tersembunyi di bawah dua lapis pakaian, bagaimana bisa si anak ajaib ini terganggu? Ia belum pernah mengalah sekali pun untuk Hinata. Tapi demi Naoki, ia akan, kapanpun dan apapun. Dilepasnnya jam itu lalu diletakkan di bagian tengah tas. Sasuke lega menyaksikan Naoki membebaskan telinga.
Hening. Sasuke diserang gugup karena tak tahu cara memulai. Naoki tak peduli, selalu punya sketch book untuk pelarian. Tapi ia juga tak bisa lomba diam-diaman dengan Hinata. Sasuke harus memulai. "Halo. Naoki suka bola?"
Yang ditanya melirik sebentar, lalu tertawa geli. "Hihi. Itu naik tulun."
Itu apa astaga!
"Itu? Itu apa nak?" Hinata mengangkat alis bingung.
Penuh keberanian Naoki bangkit menuju Sasuke. Step…step…step, tangan kecilnya mendarat di leher Sasuke, menangkap tulang menonjol di sana. "Ini. Yucu."
Jakun! Ya ampun muka Sasuke merah. Ia melirik Hinata yang tersenyum maklum, sementara si bocah tampan masih tertawa melingkupi jakun. Sasuke menahan nafas, bau telon menyerbu indra penciuman. Naoki begitu wangi, kecil dan tampan. Ia ingin memeluk.
"Maaf, Naoki memang mudah penasaran." Tutur Hinata.
Sasuke iri betapa Hinata tahu segala tentang putra mereka. "Lucu? Kau nanti juga punya boy." Ia mencoba akrab dengan mengacak rambut Naoki, langsung ditepis. Ya ampun.
Secara tak sengaja mata Sasuke tertuju ke sketch book. Aha! Gambar, kenapa Sasuke tidak mencoba. Semua orang suka membicarakan hobi mereka. Naoki pasti bukan pengecualian. "Kamu suka gambar? Ayah juga."
"Oh iya, ayah Sasu pintar gambar loh. Dia kan arsitek." Ujar Hinata antusias.
Hati Sasuke bergetar, Hinata memanggilnya ayah Sasu. Ayah Sasu, ayah bagi Naoki, bagi putra mereka. Hanya Sasuke.
Ia telah menemukan jalan. Ekspresi Naoki berbinar, seperti pendulang yang mendapatkan sebongkah emas. Rupanya gambar merupakan topik berharga. Sangat berharga hingga sang bocah mau dipangku Sasuke, sementara ia demonstrasi gambar. Dadanya menghangat seketika, meski kepedulian itu dicurahkan pada kertas, Sasuke merasa menang. Ia memiliki modal untuk diperhatikan.
Menjadi ayah dan anak tinggal soal waktu, Sasu.
.
.
"Halo. Dengan ganteng di sini." Kuangkat telpon sambil melirik cermin. Ah, gantengku memang kelewatan.
Fuck. Heh baka, aku dan rombongan sampai Narita jam 10. Jangan telat jemput.
Klik, telepon terputus. Uchiha BANGSAT Sasuke ini memang gemar menginjak-injak sopan-santun. Dia tadi minta tolong kan? Mengapa seolah-olah aku supir pribadinya? Untung aku seorang yang senang membantu sesama. So, whatever, lagi pula aku ingin ketemu Sasuke versi mini. Ingin menguji seberapa kuat kadar kebangsatan Uchiha di darahnya.
Sasuke sudah cerita semua. Beberapa minggu lalu, pada malam ketikaku tidur nyenyak, dia telpon dengan nada menyayat. (Mohon maaf) persis anjing tengah sekarat. Di belahan bumi lain, Sasuke punya anak dari dosa masa lalu. Mendengar itu, aku ingin bergabung dengan Itachi untuk menghajarnya. Jangan salah, aku tipe orang yang tak main hakim, tapi tindakan Sasuke sungguh mengundang hujatan semesta.
Sekarang aku sudah ikhlas kalau Hinata menemukan hati lain. Aku cuma ingin dia hidup di sekitarku tanpa beban. Naoki sudah lebih dari cukup.
Tentu saja Sasuke, kau berani mengharap lebih adalah tak tahu diri. Bahkan kalau jadi keluarga si perempuan, aku takkan membiarkan Sasuke menyentuh si Naoki-Naoki itu, selamanya. Enak saja, penjahat kelamin kok dikasih kesempatan, ke neraka saja Sas.
Oke cukup. Cukuplah tekanan darahku naik karena makan terlalu banyak daging. Urusan Sasuke biar diserahkan pada waktu. Soalnya dia juga kelihatan sudah taubat. Kalau bicara soal Hinata gayanya dangdut betul. Merinding aku oleh kejijikan.
Sebelum pukul sepuluh aku telah berdiam di bandara. Ngetem seperti angkot. Lima belas menit kemudian, rambut hitam mirip sapu ijuk terlihat. Sasuke menggendong bocah lelaki yang tertidur di tangan kiri.
"Bawa koperku." Sekali lagi, si keparat memerintah.
Ia berlalu dariku sambal berujar. "Hinata ayo. Mobilmu parkir di mana, Baka?"
Aku menoleh, tak jauh di belakang seorang perempuan tampak ketakutan. Ia berusaha menghindar supaya tak bertubrukan dengan orang. Ada yang aneh di dalam sini, di jantungku, yang temponya naik cepat. Melihat perempuan itu ketakutan, aku ingin segera mengamankan. Dengan jangkauan tangan kanan kutarik ia mendekat.
"Jangan!" Ia berseru, menepis tanganku.
Pandangan kami bertemu. Cantik, warna matanya unik, percampuran ungu putih dan abu. Mata itu seperti menyimpan banyak kepahitan, seperti membahasakan yang bertubi-tubi menimpa si empu. Ah, memandangnya berasa aku melihat masa depan.
Kalau tak salah namanya Hyuga Hinata kan? Cocok, namanya kedengaran megah dan anggun, pun orangnya. Sekilas dia terlihat rapuh, tapi aku salah. Perempuan ini spesies terkuat dari barisan tersia-sia, yakni yang dengan bertahan atas segala stigma masyarakat padanya. Tiba-tiba, kecantikan bukanlah satu-satunya yang menarik. Dia seorang ibu, figur yang pernah diterpa chaos dan tetap berdiri. Bukan hal sulit jatuh pada jiwanya.
"Ma-maaf."
Maaf? Bukankah seharusnya aku yang minta maaf?
"Naruto. Uzumaki Naruto."
Aku mengulurkan tangan untuk dijabat, dia malah mundur. Jika belum tahu, orang akan menganggap nona ini aneh atau tak sopan. Tapi aku tahu, aku tahu luka yang Sasuke timpakan menjadikannya begini.
"Hey, ayo." Seru si sialan.
Sepanjang perjalanan diisi hening. Satu-satunya yang mungkin berisik, yaitu aku, sedang menyerap begitu banyak hal. Entah kenapa ada perasaan muak pada Sasuke. Setelah semua, dia bisa demikian santai, sedang Hinata tampak mati-matian dalam hidup. Aku setuju bahwa pelecehan adalah hal tak terampuni. Bukan saja melanggar batas kemanusiaan, tetap juga mengubah si korban selamanya. Korban pelecehan akan menjadi pribadi berbeda selama sisa hidup.
Peganganku pada stir menguat. Kupikir Hinata seumuran Sasuke sehingga bisa terjadi bencana itu. Ternyata masih sangat muda, mungkin dua puluh awal, sedangkan si bangsat Uchiha sudah mau udzur. Bisa-bisanya! Melihat Naoki yang sebesar itu, berarti Hinata hamil ketika remaja sekitar usia SMA. Kulirik Sasuke yang melirikku balik, bersusah payah kutahan keinginan meninju.
Sampai di rumah, Sasuke membawa Naoki dan Hinata ke kamar utama. Rencananya mereka akan tinggal di situ sampai menemukan tempat. Sasuke akan menginap di tempatku sampai waktu yang belum ditentukan.
"Sakit gigi makanya diam saja? Padahal aku mengajakmu untuk bantu-bantu menyairkan suasana." Tegur Sasuke.
Wajahku pasti terlihat bete sekali. Aku tahu karena di antara kami, Sasuke hampir tak pernah memulai percakapan kecuali ada yang salah.
"Kenapa?" Tanyanya.
Aku mengendikkan bahu. "Sekarang, setelah mereka berdua di depanku, timbul rasa ingin menghajar wajah kurang ajar ini." Kutampar-tampar pipinya pelan.
"Aku juga ingin bunuh diri waktu melihat mereka. Tapi fokusku sekarang ini adalah menebus kesalahan, bukan menambah dosa."
Iseng-iseng kutanyakan sesuatu. "Jadi nggak masalah nih kalau ada pria lain yang mau menjaga Hinata? Aku misalnya."
Pertanyaanku membuat Sasuke syok, ia melirik tajam. Beberapa saat kemudian tersenyum lemah. "Kalau Hinata mau dan Naoki nggak keberatan, why not?"
END