Disclaimer:
Naruto : Masashi Kishimoto
Freezing: Lim Dall-young and Kim Kwang-Hyun
.
.
.
Fic request for Vin'DieseL D'.Newgates
.
.
I Need You, Pandora!
By Hikasya
.
.
.
Chapter 1. Terbuang
.
.
.
Asap hitam membubung tinggi ke udara. Mayat-mayat bergelimpangan. Bangunan rata dengan tanah. Suasana sepi, menguasai malam kelam ternodakan darah.
Seorang anak kecil selamat dari kejadian besar yang menimpa tempat tinggalnya. Penjaganya, sebuah senjata peninggalan sang Kakek, menemaninya dalam keterpurukan. Isak tangis memecah kesunyian yang kini diterpa angin bertiup kencang.
"Ayah, Ibu, dan semuanya ... kenapa bisa jadi begini? Hiks ... hiks ... hiks." Anak laki-laki itu bersembunyi di balik reruntuhan bangunan, sempat melihat sosok tinggi besar yang bermata cahaya terang. Entah apa itu.
Sosok itu menghilang setelah menghancurkan semuanya. Meninggalkan trauma dan duka berkepanjangan di hati anak laki-laki itu. Semua orang yang disayanginya telah pergi menjauh untuk selamanya.
Udara dingin tercipta karena wilayah itu telah terselimuti es. Anak laki-laki itu memeluk senjata yang telah melindunginya. Tetesan air bening itu membasahi senjata yang terbungkuskan kain putih.
Butuh beberapa lama, ia menenangkan hatinya. Hingga matahari terbit untuk menyambut dunia.
.
.
.
Uzumaki Naruto tersentak saat namanya dipanggil. Ia tersadarkan dan kembali ke alam nyata.
"Uzumaki Naruto!"
Sekali lagi, namanya dipanggil. Ia melihat semua mata tertuju padanya. Seorang Guru menunjuknya dengan tegas.
"Kenapa kau melamun, Uzumaki Naruto?"
Naruto kalang kabut. Ia buru-buru menjawab pertanyaan sang Guru.
"Ah, maaf, Bu Guru."
"Lain kali jangan melamun. Kau harus mendengarkan saya berbicara. Mengerti?"
"Mengerti."
"Oke. Kita lanjutkan pelajarannya lagi."
Ibu Guru kembali menerangkan pelajaran. Naruto menghelakan napas leganya. Semua orang kembali mendengarkan perkataan sang guru.
.
.
.
Jam pelajaran sudah usai, semua murid yang bersekolah di Germany Genetic, langsung pergi menuju ke kantin. Mereka ingin mengisi perut yang sudah mengadakan konser keroncongan sejak tadi pagi.
Hanya Naruto yang tidak pergi ke kantin seperti yang lainnya. Ia digiring oleh senior-nya yaitu Julia Munberk ke asrama.
Julia, sosok panutan dan dicintai Naruto sejak Naruto masuk sekolah ini, merupakan Pandora Naruto. Julia memperlakukannya dengan baik dan selalu melindunginya.
Naruto heran mengapa Julia membawanya ke kamar asrama.
"Ada apa kau membawaku ke sini, Julia?" tanya Naruto yang berdiri berhadapan dengan Julia.
"Aku ... ingin kita berhubungan lebih lanjut lebih dari seorang Pandora dan Limiter," jawab Julia berwajah datar.
"Apa maksudmu?"
"Pembabtisan Stigmata."
"Apa?"
"Untuk melakukan pembabtisan Stigmata, kita harus melakukan hubungan layaknya suami-istri. Ini demi menyelamatkan semua orang."
"Aku tahu soal itu. Baiklah, aku akan melakukannya."
Naruto tersenyum dengan wajah berseri-seri. Julia menatapnya lama sekali lalu meraih kerah baju Naruto.
Naruto terpikat dengan mata sayu Julia. Wajahnya kian dekat dengan wajah Julia. Sedikit lagi akan tercapai, namun tiba-tiba...
Paaats!
Cahaya menyilaukan membuat mereka terkesiap. Julia terlempar karena efek gelombang kejut yang keluar dari tubuh Naruto.
Bruak!
Mengakibatkan Julia terjerembab jatuh ke lantai. Ia nyaris membentur tempat tidur. Naruto terperangah dengan mata yang membelalak.
"Apa yang terjadi?" Naruto segera menghampiri Julia, "Julia, kau tidak apa-apa, kan?"
"Pergi!" bentak Julia dengan nada yang tinggi."
"Apa?"
"Pergi! Kubilang pergi!"
"Tapi, kenapa?"
"Kau menyakitiku! Aku tidak membutuhkanmu lagi! Kau bukanlah limiter-ku lagi! Enyahlah dari hadapanku sekarang!"
"Tapi, Julia..."
"Pergi! Aku tidak mau melihatmu lagi!"
Tanpa menjawab perkataan Julia, Naruto langsung keluar dari sana. Meninggalkan Julia yang dilanda kebakaran.
.
.
.
Langkah Naruto gontai saat menyusuri koridor asrama perempuan. Wajahnya mendung dengan sorot mata yang meredup. Perkataan Julia tergiang-ngiang di indera pendengarannya.
"Kau menyakitiku! Aku tidak membutuhkanmu lagi! Kau bukanlah limiter-ku lagi! Enyahlah dari hadapanku sekarang!"
Ya, sosok panutan yang dicintainya telah membuangnya. Ia tidak mempunyai Pandora lagi.
Keterpurukan kembali melanda sukmanya. Sama seperti dua belas tahun lalu. Tiada yang mampu menghibur dirinya yang kini menangis di hati.
Ya Tuhan, betapa beratnya ujian yang Engkau kirim padaku. Dari keluargaku yang telah tiada karena dibunuh Nova, dan kini orang yang kucintai telah mencampakkan aku, batinnya.
Sanubari yang bergetar terus memaksanya untuk berjalan. Tanpa disadarinya, langkah itu telah mencapai di luar asrama. Dersik bertiup lembut, menyentuhnya untuk meringankan penderitaan batin yang dirasakannya.
Naruto tidak tahu apakah ada Pandora lain yang akan menerimanya sebagai Limiter. Entahlah, tidak ada seorangpun yang bisa menggantikan posisi Julia di hatinya.
Niatnya kini kembali ke asrama laki-laki. Di sanalah, ia menenangkan hati sampai cahaya tiba untuk menyemangatkannya lagi.
.
.
.
Beberapa hari kemudian, Naruto melihat Julia mendapatkan Limiter baru. Mereka lewat saat berpapasan dengan Naruto di lorong.
Julia memang melihat Naruto, namun tak menyapanya. Laki-laki yang menjadi Limiter baru Julia, juga melihat Naruto, sempat melemparkan senyum pada Naruto dan dibalas dengan wajah kesal Naruto.
Orang-orang yang ada di lorong itu, melihat sekilas adegan itu. Kemudian mereka sibuk berbicara dengan tawa dan canda ceria. Hanya Naruto sendiri, tidak ada yang menemaninya untuk berkeluh-kesah tentang apa yang dirasakannya sekarang.
Rencana yang telah dipikirkan matang-matang, Naruto akan mewujudkannya sekarang. Langkahnya yang semula gontai, berubah menjadi cepat untuk menuju ke ruang sekolah.
Sebelum bel berbunyi, Naruto telah berhadapan dengan sang Kepala Sekolah. Mereka duduk di kursi panas dengan meja panjang yang menjadi pemisah di tengah mereka.
"Jadi, ada urusan apa sehingga kau menemui saya di sini, Uzumaki Naruto?" tanya Bapak Kepala Sekolah.
"Begini, Pak. Saya ingin pindah sekolah ke North Genetic. Apakah Bapak mau mengizinkan saya pindah ke sana?"
"Oh. Maksudmu North Genetic yang ada di Jepang?"
"Ya."
"Apa alasanmu sehingga ingin pindah ke sana?"
"Saya tidak betah lagi di sini, Pak."
"Oh, begitu ya. Saya mengerti."
"Lalu ... apakah Bapak mengizinkan saya pindah ke North Genetic?"
Naruto mengajukan pertanyaan yang sama. Bapak Kepala Sekolah terdiam untuk beberapa saat, lantas ia mengangguk pelan.
"Jika keputusanmu begitu, saya tidak bisa menentangnya. Baiklah, saya mengizinkan kau pindah ke sana."
"Terima kasih, Pak. Saya senang sekali."
"Ya. Saya akan mengurus berkas-berkas perpindahanmu sekarang juga. Jadi, kapan kau akan pindah ke Jepang?"
"Dua hari lagi, Pak."
"Oke."
"Terima kasih, Pak."
"Ya. Sama-sama."
Senyum kembar hadir di wajah mereka berdua.
Setelah itu, Naruto permisi keluar dari ruang Kepala Sekolah. Ia memutuskan untuk kembali ke asrama.
Sesampainya di kamar asrama, Naruto membereskan semua barangnya. Ia memastikan tidak ada yang tertinggal dan tersimpan aman di koper dan tas besarnya.
Pandangannya pun tertuju pada benda yang tersimpan di kolong ranjangnya. Benda terbungkuskan kain putih dengan tulisan Ibrani kuno itu, diambilnya hati-hati.
Benda itu berukuran panjang dan berat. Ia dijadikan bantal guling yang selalu dipeluk Naruto setiap tidur. Penjaga setia yang menemani Naruto hingga sekarang.
Saat menatap benda yang dipegangnya dengan dua tangan, Naruto teringat dengan kakeknya, Jiraiya. Pesan terakhir dari sang kakek sebelum Nova menyerang, terimbas kembali ke memori laki-laki berambut pirang itu.
.
.
.
Bersambung
.
.
.
A/N:
Fic pertama di fandom Naruto and Freezing.
Bagaimana pendapatmu tentang cerita ini?
Sabtu, 29 Juni 2019