Special Girl
Chapter 15 : At Least I Still Have You
Desclaimer : Naruto by Masashi Khisimoto
Pairing : Kiba/Ino
.
.
"Hai Sayang, kau terlihat tidak cukup baik." Tsume mendekati putranya yang tengah nonton pertandingan bola dengan ekspresi tanpa keantusiasan. Padahal biasanya bocah itu akan bersorak atau mengumpat pelan jika tim jagoannya gagal mencetak goal.
"Aku cukup baik." Kiba mendesah pelan, berusaha menyamankan diri di sofa. "Cuma nggak bisa tidur saja."
"Dan itu nggak seperti biasanya. Ada masalah? Atau kau belum rela melepas jabatan sebagai kapten?"dia menatap intens manik putranya, dan mendapati sesuatu yang sepertinya tengah disembunyikan. "Pasti ada masalah ya?"
Kiba diam, setengah malas menjawab dan ia juga tak memiliki kata bagus untuk diucapkan.
"Kiba—"
"Aku mau tidur sekarang, ngantuk."
"Hei, cerita pada ibu. Barangkali ibu bisa bantu." Tatapan teduh Tsume membuat Kiba menatapnya sebentar sebelum kembali mengalihkan atensi pada layar TV.
"Demi Tuhan, ibu kira aku anak kecil. Yang benar saja." Dia memutar bola mata sembari meraih remote TV, bersiap mematikannya. Karena entah kenapa pertandingan yang ia tonton kali ini terasa begitu membosankan, tak ada kesan.
"Kau memang masih kecil, ish... mau bilang jika kau sudah dewasa?"
"Terserahlah." Tak peduli dengan pandangan tak suka sang ibu, ia sudah melenggang masuk kamar. Membiarkan wanita itu duduk dengan helaan napas pelan, heran dengan tingkahnya.
.
.
"Sasuke mana?"
Kiba mengalihkan tatapan dari layar ponsel ke arah cewek Haruno yang berdiri di dekatnya. Untuk pertama kalinya setelah insiden rahasianya terbongkar, Sakura kembali mengajaknya bicara dengan cara santai tanpa diselingi kemarahan ataupun dendam. "Toilet, kalau Naruto ke kantin."
"Aku nggak cari Naruto." Matanya mengamati ruang kelas yang sepi, dan merasa Kiba jadi sosok monoton yang menjengkelkan. "Well, kenapa kau tetap berada di kelas kalau begitu?"
"Karena aku suka di kelas." Game di ponsel tak lagi membuatnya berminat, tapi ia tidak tahu harus mengalihkan tatapan kemana kalau bukan ke layar ponsel. Sejujurnya ia ingin menanyakan kabar Ino, tapi ada keraguan yang merangsek ke dalam pikiran. Lagipula Sakura mungkin bakal mendampratnya. "Tumben nggak sama Ino, biasanya kalian kemana-mana bersama." Si lawan bicara tak menyahut, seolah Sakura tengah menyusun suatu kalimat yang terus-terusan runtuh. "Apa dia bersama Gaara?"
"Oh ayolah Inuzuka, harusnya kau tahu kenapa dia nggak ikut aku kesini. Dan dia tidak sedang bersama Gaara. Katanya kau dan Gaara sama saja." Dia mengakhiri kalimatnya dengan dengusan.
"Ya Tuhan, tentu saja tidak."
"Kalau begitu temui dia. Minta maaf secara jantan. Jangan hanya mengirimi pesan dan berusaha menelfon, kau kira itu sudah cukup?"si gadis Haruno mampu membaca pikiran Kiba yang tengah bekerja, cowok itu pasti mempertimbangkan sarannya. "Kurasa suasan hatinya agak lebih baik sekarang. Lagipula kemarin saat aku mampir ke toko bunga Yamanaka, aku sempat melihat ibumu datang. Mungkin saja mereka membicarakan sesuatu."
What? Ibunya datang ke toko bunga Ino? Astaga aneh-aneh saja sih tindakan sang ibu itu. Pasti dia bicara banyak hal mengenai dirinya dan sikap kasarnya akhir-akhir ini, bikin malu saja. Dan ketika ia nyaris menyahuti kalimat Sakura, Sasuke tiba-tiba muncul dari pintu. Lalu segala hal yang ingin ia tanyakan tentang Ino melebur jadi satu dalam udara yang ia hirup.
"Hai Baby, sudah lama?"
"Belum. Mau ke kantin?"
Uchiha muda itu mengerling Kiba, tatapannya menyiratkan kata 'kau mau ikut nggak?' Dan campuran 'boleh nggak?' Disaat bersamaan.
"Pergi saja, aku nggak ikut."
"Uhm, oke." Tak perlu diberi tahu dua kali untuk membuatnya melangkah meninggalkan kelas sembari memegang pergelangan tangan sang pacar. Meninggalkan Kiba yang mendesah berat melepas keduanya.
.
.
Mengabaikan rasa berat yang menggantung di punggung dan tiap sel tubuhnya, ia memaksakan dirinya pergi ke rumah Ino. Mungkin ini agak konyol, karena ayolah belum tentu Ino sudi melihatnya. Tapi entah kenapa, firasat tak jelas itu mendorongnya untuk datang ke kediaman Yamanaka. Sepenuhnya tak peduli dengan segala pemikiran mengenai sikap cewek itu nanti. Terserah saja sih jika Ino bakal mengusirnya, ia tak akan keberatan.
Keraguan yang besarnya tak bisa didefinisikan melesak memenuhi dadanya ketika sosok Ino berdiri membelakanginya. Cewek itu sedang sibuk menata bunga di rak, dan benar-benar tak sadar jika tengah diperhatikan.
Dengan persiapan kata seadanya, Kiba membuka pintu toko bunga, menyebabkan lonceng di atas pintu bergemerincing.
"Selamat da...tang." Bibirnya yang semula mengulas senyum manis, kini tampak melengkung canggung. Ia jelas tahu kenapa Kiba datang menemuinya, dan pemikiran itu mendadak membuatnya kikuk harus bertindak bagaimana. Tuhan, beri kekuatan. Pesona Kiba malam ini benar-benar melelehkan pertahanannya.
"Sorry, aku datang diwaktu yang nggak tepat ya?" Kiba berjalan mendekat, merasakan aroma berbagai macam bunga menerpa indera penciumannya. "Boleh minta waktunya sebentar untuk bicara?"
"Aku sudah mau menutup toko."
Hatinya menceluskan kebahagiaan tak terkira ketika mendengar suara itu. Sudah dari beberapa hari ini Ino menolak bicara dengannya, jadi kalimat singkat itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya berbesar kepala. "Ya sudah, kalau begitu sekalian aku mau menyita banyak waktumu."
Iris sewarna langit musim semi itu sedikit melebar, apa-apaan itu?
.
.
"Awalnya memang rencana mendekatimu hanya untuk membalas perlakuan Gaara padaku. Aku nggak pernah berpikir semuanya bakal melenceng seperti—"
"Kau sudah menjelaskan banyak hal dalam pesan-pesanmu, dan Naruto juga sudah memberi tahuku. Aku nggak perlu dengar lagi untuk kesekian kali kan?" Sembari mengarahkan tatapan pada bianglala yang berputar tak jauh darinya, Ino menyuapkan ice cream kedalam mulut.
Naruto menjelaskan pada Ino? Well, kapan dia menemui Ino? "Jadi kau sudah memaafkanku?" Lawan bicaranya tak menjawab, larut menikmati ice cream cokelat yang ia belikan beberapa waktu lalu. "Yeah, kau harus ingat jika kita belum putus."
"Aku bisa saja kan minta putus hari ini. Aku punya hak untuk itu." Dia menggigit bibir bawahnya pelan ketika mendapati ekspresi terkejut dari cowok jangkung itu.
"Ya jangan begitu dong. Katakan sesuatu, apa yang harus ku lakukan agar kau memaafkanku?" Inuzuka menghela napas, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Dan merasa moodnya jadi tidak stabil.
Ino awalnya memang kesal, tapi entah kenapa kekesalan itu sekarang sedikit luntur. Mungkin karena pesona Kiba, atau karena sorot bersalah yang besarnya tak bisa didefinisikan dalam manik cowok itu. "Rasanya aku ingin menamparmu."
"Hanya menampar?" Ia menarik napas dalam-dalam. "Tampar aku. Tampar aku sebanyak yang kau inginkan. Tiga kali, lima kali, sepuluh kali. Bahkan dua puluh kali pun tidak apa-apa."
Pernyataan itu membuat Ino mengerutkan kening, padahal kalimat tadi kan cuma bercanda. Lagi pula tangannya sedang tidak dalam mode on untuk bergerak dengan kasar dan menorehkan luka di pipi lelaki itu. "Kau ini kenapa sih pakai acara mengadu pada ibumu, kau bukan banci kan?"
Ulah Sasuke lagi-lagi membuatnya terjebak dalam permasalahan yang serius. Tapi kalau saja ibunya tak begitu penasaran hingga bertanya pada Uchiha, mungkin semua tetap tak sememalukan ini. "Demi Tuhan, aku ngggak mengadu. Sasuke yang mengatakan semua itu pada ibuku."
Ino berusaha keras menahan tawa, karena ekspresi kesal bercampur malu di wajah Kiba benar-benar menghiburnya. "Terserah sih, tapi jatuhnya tetap sama saja."
"Memang apa yang dia bicarakan?" Telinganya enggan mendengar pernyataan Ino selanjutnya, namun rasa penasaran sepertinya lebih dominan.
"Apalagi kalau bukan mengatakan jika kau adalah anak baik dan bla bla bla." Ia diam sejenak, sejujurnya Nyonya Inuzuka cuma bicara soal emosi Kiba yang akhir-akhir ini agak tak stabil. Lalu ceritanya merambah ke arah para mantan Kiba yang selalu meninggalkannya demi mengejar cowok lain. Dan ia merasa aneh sekaligus heran mengenai pengetahuan wanita itu soal asmara putranya. Ia jelas percaya jika Kiba tak mungkin mengadu pada sang ibu, karena Nyonya Inuzuka yang bilang sendiri kalau putranya sangat tertutup perihal kisah cintanya. Tapi kali ini ia ingin sedikit bermain-main.
"Cuma itu saja?"
"Apalagi kalau bukan memintakan maaf buatmu juga." Beberapa hari menahan diri untuk tak berkomunikasi dengan Kiba ternyata memberikan dampak berbeda pada dirinya. Biasanya ia akan sedikit menahan diri, namun kali ini semua kata yang biasanya tertampung seolah keluar semuanya. Kekesalan mengaburkan rasa malunya.
"Jadi aku sudah dapat maaf kan?" Ia ingin memastikan sekali lagi. Ketika cewek pirang itu tetap diam sembari mengaduk-aduk ice creamnya yang sudah mencair, ia sadar ini mungkin tidak akan semudah ekspektasinya. "Cuma maaf kok." Kiba diam lagi, berusaha menyusun kata dalam benaknya yang terasa terjejali berbagai macam emosi. "Harus ku akui, kau benar-benar membuatku jatuh cinta parah. Oke, aku mungkin nggak rela kalau kau akhirnya memilih Gaara. Tapi... yeah, mau bagaimana lagi. Nggak baik juga kalau aku terus-terusan memaksa."
Yamanaka mengernyitkan kening, ia agak ragu ketika mengerling Kiba dengan ekor matanya. Cowok itu tidak tahu bagaimana rasa bersalahnya begitu menggembung saat bilang pada Gaara jika ia tak bisa memilihnya. Meski sebenarnya memaafkan Kiba juga perlu keikhlasan yang besar. Tapi ia tidak bisa membohongi hati, kalau cintanya sudah mulai bersemi bahkan mengaliri setiap pembuluh darah, dan bergema di tiap detak jantung.
"Kenapa? Mau menamparku?" Ia tidak bisa menduga apa yang mungkin dipikirkan Ino. Tapi tatapan yang kelewat serius itu membuatnya agak merasa berbeda. Kali ini Ino begitu sulit dipahami. "Tampar saja." Mendapti kesungguhan di manik biru sang pacar, Kiba mendekatkan wajah.
Dan ketimbang membiarkan dirinya diam seperti orang tolol, sementara parfum maskulin dan aroma gel rambut memenuhi indera penciumannya, tangannya bergerak cepat. Menorehkan tamparan di pipi cowok itu singkat, tapi pastinya cukup menyakitkan. "Kau yang minta."
Kiba meringis, ia kira tangan mungil itu tak akan menyakitinya terlalu jauh. Ternyata rasa kebas dan nyerinya benar-benar di luar ekspektasi. "Oke, tamparan yang mengagumkan."
Yamanaka belum sempat menyingkir ketika Kiba mendadak menangkup pipinya dan mendaratkan bibir pada bibirnya. Awalnya hanya menempel biasa, namun semakin lama bibir tipis itu melumat bibirnya pelan.
Temponya semakin menjadi tiap detik. Bahkan Ino tak bisa melepaskan diri karena tangan besar Kiba yang memegang tengkuknya, oh tidak, tidak, ia nyaris kehabisan napas.
"Kib, apa-apaan kau ini? Kau berusaha melecehkanku disini?" Dia merintih pelan, napasnya tersengal dan ketimbang mendapatkan permintaan maaf cowok itu malah tertawa dan kembali melumat bibirnya. Astaga yang benar saja, ini tempat umum.
Bagaimana jika nanti ada yang memergoki aktivitas mereka? Atau mereka bakal tertangkap oleh tim keamanan setempat?
Ino bisa merasakan gairah Kiba yang meletup-letup pada udara di sekitrnya. Dinginnya malam terasa hambar, digantikan panas tubuh cowok itu. Emosi ini lain dari biasanya, sesuatu seperti meledak dalam dada dan melumer memenuhi perutnya. Ya Tuhan, ya Tuhan, ciumannya benar-benar membuatnya candu. Dan segala kepanikan mendadak luntur dari pikiran ketika ia menyadari, ia juga memiliki ketertarikan yang sama dengan Kiba. Dan nafsu menderanya tanpa ampun.
"Kurasa kau juga menginginkaku bukan?" Kiba melepaskan ciuman, mengamati lamat-lamat ekspresi cewek di hadapannya yang tampak merona parah. Bibir mungilnya yang penuh terlihat mengkilap, menyulut api gairah yang membuatnya menginginkan lebih. Tapi ia buru-buru membersihkan pikiran kotor itu.
Jantungnya masih berpacu mengerikan ketika ia menjauhkan diri. Napasnya sedikit tersengal, dan tatapan Kiba yang makin nyalang membuatnya ingin sembunyi. Meskipun tak memberikan jawaban, Kiba pasti tahu jika pertanyaannya tak bisa ia sangkal.
"Kau membuatku agak bingung, Yamanaka. Pertama kau seolah marah sekali padaku, membuatku putus asa. Tapi nyatanya kau datang ke turnamenku dengan buket mawar. Lalu kau mengabaikanku dan pergi bersama Gaara, membuat hatiku patah. Yeah, aku nggak tahu siapa yang bakal kau pilih. Tapi jika memang bukan aku, ku harap ciuman tadi membuatmu selalu mengingatku." Senyum kecilnya terlukis, dan tatapannya menengadah ke arah rembulan di langit.
Entah darimana Kiba tahu jika bunga itu darinya, tapi ia rasanya sudah tak mampu tetap bertahan disana. Jadi tanpa peduli, ia sudah mulai berdiri. Ingatan soal ciuman itu terus mengiringi tiap langkahnya.
"Hei, mau kemana?"
"Pulang."
"Aku antar." Dengan gerakan cepat, Kiba bangkit dari kursi dan berjalan cepat menyusul si gadis. Meski sikap Ino tak membuatnya berkesan, tapi ia tahu jika cewek itu gugup luar biasa.
.
.
Peluh terasa menetes dari pelipisnya, dan dadanya sesak, panas karena terlalu banyak berlari. Untungnya permainan selesai tepat waktu, dan memberinya kesempatan berjalan ke pinggir lapangan untuk mengistirahatkan diri.
"Kak Kiba, minuman untukmu." Seorang cewek berambut hitam pendek mengulurkan botol jus dingin ke arahnya. Tatapan matanya takut, ragu, malu dan entah apalagi yang bisa diuraikan satu-satu.
Kiba mengerjap bingung. Ia tidak kenal cewek itu, mungkin anak kelas satu. Dan ketika tangannya terulur untuk meraih minuman yang disodorkan, tatapannya agak meleset ke arah belakang si cewek. Ada Ino disana, agak jauh tapi ia masih bisa mengidentifikasi tatapan cemburu si gadis pirang. Di tangannya juga tergenggam air mineral. "Thanks ya." Berusaha tampak ramah, ia melukiskan senyum tipis yang langsung membuat lawan bicaranya merona.
"Sama-sama."
Ia tahu dengan pasti jika Ino cemburu. Dan ingin sedikit bermain-main, tapi tampaknya Yamanaka sudah lebih dulu pergi sebelum menyaksikan Kiba bercengkrama ringan dengan si adik kelas.
"Oke, ku rasa aku harus pergi. 5 menit lagi bel masuk berbunyi."
Cewek yang tak ia ketahui namanya itu mengangguk, dan tanpa banyak kata lagi, Kiba sudah melesat meninggalkannya. Mengejar Ino yang entah berjalan ke arah mana tadi.
Ketika ia sampai di lorong, ia mendapati cewek pirang itu berjalan pelan menuju kelasnya. Tanpa banyak membuang waktu ia mempercepat langkah. "Untukku kan?"
Ino nyaris terlonjak ketika Kiba tiba-tiba merebut botol di tangannya. "Nggak." Kebohongan terdengar nyata mengelilingi kata singkat itu. "Percaya diri sekali kau."
"Kalau begitu begini saja. Kita tukar minuman. Aku yang air mineral, kau yang jus buah. Bagaimana?" Kiba menahan diri untuk tak merangkul pundak cewek itu, dan sikap tak lazim Ino akhir-akhir ini membuatnya agak gemas.
"Aku nggak bilang mau." Dia memutar bola mata, memberanikan diri menengadah untuk menatap manik si lawan bicara. "Kembalikan air mineralku."
"Sayangnya aku tidak mau." Ketika melihat Naruto berjalan tak jauh dari mereka, reflek ia memanggil. "Hei Naruto, mau jus dingin nggak?"
Yang dipanggil berhenti, menoleh dengan ekspresi agak bengong. Senyum tipis tersembul dari bibirnya, ia tidak menyangka Kiba bakal memulai percakapan terlebih dahulu seperti ini. "Tentu." Lagipula Hinata tidak menemuinya untuk memberi minuman. Dapat gratis kan untung.
"Sudah kuberikan pada Naruto, jangan marah lagi." Sambil menepuk pundak si cowok Uzumaki, ia berujar ke arah Ino. "Kalau cemburu begitu jadi tambah manis."
Kekehan Naruto terdengar cukup nyaring, tapi Kiba malah lebih fokus ke arah pipi gadisnya yang bersemu mengagumkan.
.
.
"Baguslah kalau kalian sudah baikan." Sasuke bergumam pelan. Sebenarnya selain baikannya Kiba dengan Ino, ia juga senang bukan kepalang atas baikannya Kiba dengan Naruto. Well, jujur ia tak paham dengan situasi hati Kiba. Tapi masa bodohlah.
"Yeah, begitulah."
Hening sejenak, masing-masing dari mereka fokus ke layar ponsel, entah itu tengah berbalas pesan, atau tengah main game. Hingga tawa Sasuke menggema di sudut kamar Naruto.
"Kenapa?" Naruto menyahut, mengambil toples berisi keripik kentang di hadapannya. Dia suka ngemil, dan tak terlalu peduli dengan gagasan soal semut yang bakal mengerubungi remahan keripik di atas ranjangnya nanti.
"Postingan story Sasori lucu Man." Tawa itu terasa menekan perutnya, menyebabkan keram dan genangan air di mata. Sementara dua temannya mengamati dengan ekspresi heran berlebihan, Sasuke kembali bicara. "Suigetsu dijewer ayahnya gara-gara ketahuan merokok."
Naruto meringis, dan Kiba tidak tahu dimana letak lucunya video itu. Suara keras ayah Suigetsu malah membuatnya merinding. "Please Bro, itu nggak lebih lucu dari puluhan video porno yang ku temukan di laptopmu."
Tawa Sasuke sepenuhnya berhenti, giliran Naruto yang tergelak dan tersedak karena mulutnya penuh dengan kunyahan keripik kentang.
"Astaga, jangan bahas itu lagi." Karena akan sangat memalukan jika Sakura sampai tahu. "Lagipula aku sudah berniat menghapusnya."
"Masih berniat? Kenapa nggak langsung dihapus saja?" Memperbaiki pernapasannya yang agak tersengal karena batuk, Naruto mengerling ke arah jendela. "Hebat ya nggak ketahuan orang tuamu, termasuk nggak ketahuan Kak Itachi juga."
"Tentu saja Itachi tahu, itu darinya kok."
Game di ponselnya mendadak terlupakan, entah kenapa topik mesum begini kadang-kadang membuatnya tertarik untuk terus melanjutkan. "Wah, aku jadi bertanya-tanya dia masih perjaka atau nggak."
"Tutup mulutmu Kiba. Brengsek." Meski mengumpat demikian, Sasuke juga tak mampu menahan tawanya mendengar pertanyaan Inuzuka. "Aku yakin dia masih perjaka, meskipun sering sekali membicarakan dada besar teman-teman ceweknya."
"Woah." Naruto bersiul setelah menelan kunyahannya, kembali tergelak tak tertahankan. "Kak Itachi pasti puas sekali. Menurutmu siapa yang memiliki dada cukup besar di angkatan kita?"
Dengan tawa yang masih tersisa, mulut Sasuke reflek berujar. "Dada Yamanaka lumayan menggiurkan." Dan jitakan di kepalanya mendarat tepat waktu. "Ouch."
"Perhatikan punya pacarmu sendiri." Kiba berucap setengah geram, dan kemudian fokus ke ponselnya.
"Yeah, sorry. Lagipula semua orang juga tahu kan?" Ia memperhatikan Kiba yang mulai berdiri. "Mau kemana?"
Senyum tipisnya terulas, tak mampu menyembunyikan kebahagiaan yang seolah berpendar-pendar dalam manik matanya. "Ada janji dengan Ino. Well, sampai jumpa ya."
"Oh, ku kira kau mau pulang karena tersinggung."
"Nggak. Ino memang punya dada yang bagus, memangnya kenapa?" Ia meringis, mengamati dua temannya yang sama-sama menyeringai itu. "Ya sudah, aku pergi."
"Yeah, semoga kencanmu berjalan lancar Bro." Kata Naruto sembari menutup toples keripik kentangnya.
"Thanks."
Lalu pintu kamar Naruto berdebam pelan. Tak memperlihatkan pada dua pemuda di dalam sana jika senyum sang teman terkembang luar biasa lebar. Ia tidak pernah menyangka jika semua yang berawal dari kepura-puraan ini bakal menjadi kenyataan. Kedepannya ia memang tidak tahu apalagi yang bakal terjadi, tapi apapun itu ia harap, ia masih memiliki Ino disisinya. Ino adalah gadis spesial, duh kenapa ia tak menyadari ini sejak dulu?
end
Gitu doang Lin?
Yeah, emang gini doang. Karma buat Kiba sebenarnya masih kurang ya? Tapi sayangnya ide di otak udah mentok sampai situ. Lagipula fic ini udah nyaris setahun, takutnya kalau nggak segera aku selesain kedepannya malah nggak bisa bener2 selesai.
Sorry deh sama yang udah naruh ekspektasi tinggi sama akhir fic ini. Dan thanks buat reader semua yang udah ngikutin cerita ini dari awal. Makasih banyak.
Oke gitu aja, mau fokus ke dunia nyata dulu. Dah...
~Lin
13 Juni 2020
