Chapter IV - Bentuk Implementasi Tentang Kebahagiaan


Aku menjatuhkan diri ke atas kasur. Aku telah membereskan buku-buku, sepertinya lebih cepat daripada biasanya. Kuhela napas. Kalau tidak fokus terus seperti ini, apa kabar olimpiade yang kuikuti nantinya?

Oke, hanya pada malam ini aku akan beristirahat. Anggap saja apresiasi karena telah berusaha keras selama ini. Ah, Ying, kau percaya diri sekali.

Kuhela napas untuk kedua kalinya. Apa aku keterlaluan, ya? Sampai-sampai akhirnya Halilintar menawariku untuk pergi ke kota asalnya. Persoalan aku yang mengatakan ingin mengunjungi rumahnya di kota dua hari yang lalu hanya ceplas-ceplos saja, sih. Andai waktu itu aku mengatakannya pada Gopal, bukan Halilintar, mungkin aku sudah ditanggapi langsung dan pastinya berakhir canda dan tawa. Apa jangan-jangan Halilintar menanggapinya dalam hati dan terlalu serius, ya, sampai-sampai tadi mengajakku?

Kuubah posisiku menjadi miring seraya memeluk bantal dan mata terpejam. Suasana seperti sekarang, di mana aku memutuskan untuk tidur lebih cepat, rasanya enak, ya? Aku ingin menertawakan diriku karena keputusan itu membawaku ke berbagai pemikiran yang tentunya bukan tentang soal-soal atau mengulang pemahamanku terkait yang telah kupelajari. Lama-lama aku geli dengan diriku sendiri. Mengapa harus kepikiran Halilintar mulu, sih?!

Tunggu, jangan tidur dulu! Halilintar bilang bahwa dia mempunyai dua teman yang cukup dekat dengannya. Akan tetapi, kecelakaan menimpa mereka berdua. Kurasa rasanya tak akan sebanding dengan apa yang pernah kualami. Dia kehilangan teman, bukan keluarga, 'kan? Hubungan mereka sedekat apa, sih? Tunggu, mengapa akhir-akhir ini sepertinya aku cengeng sekali, sih?

Halilintar, bukan teman lagi, apa kau belum tahu, ya, ke mana keluargaku? Mengapa aku hanya tinggal bersama nenekku? Aku, aku tidak sedih, kok, hanya tinggal bersama nenek sekarang. Nenek baik dan sayang padaku. Hah, memangnya bisa, ya, harapan agar keluarga kecilku kembali bisa terkabul?

Halilintar, bukannya aku meremehkan, tapi apa rasanya lebih sedih jika ditinggal teman daripada keluarga sendiri?

Oke, cukup, Ying. Kuusap pipiku seraya duduk. Pandanganku jatuh pada jam yang terpasang di dinding. Helaan napas kembali terdengar sembari aku berpikir, kalau aku terus-terusan kepikiran, kapan aku tidur? Itu bakal membuat jadwalku sama dengan biasanya.

Di pagi kemudian aku dan Gopal kembali saling bercerita.. Aku menghampiri kelasnya seperti biasanya. Gopal tetap menanggapiku meski ia sedang sibuk menyalin beberapa nomor pekerjaan rumah yang belum ia selesaikan. Ah, sebenarnya kalau dia tak menjawabku, akan kutegur. Beberapa kali teman sebangkunya yang sedang melakukan hal yang sama pun menanggapiku.

Aku setengah berdiri di samping meja Gopal seraya bertanya, "Kau mau, ya, menungguiku? Kita, 'kan, tidak pernah pulang bareng." Mungkin lebih tepat memaksa daripada bertanya.

"Ogah! Rumah kita juga enggak searah tuh," balasnya tanpa membalas tatapanku.

"Kau teman yang jahat, Gopal."

Aku tertawa seraya membenarkan perkataan teman sebangku Gopal. Bagus, Iwan! Andai aku punya uang lebih, akan kutraktir hot chocolate.

"Aku harus menunggumu sampai selesai bimbingan lombamu? Cih, lebih baik aku pergi ke toko donat favoritku, sedang ada promo pula."

Aku masih merasa biasa saja sampai salah satu bangku pada arah pukul tujuh dari tempat duduk Gopal yang tadinya kosong kini terisi. Mana bisa aku tidak melihatnya jika tempat duduk keduanya terbilang berdekatan dan aku menghadap ke arah sana. Kualihkan perhatianku dengan kembali ke topik pembicaraan. "Yah, kalau tidak mau, aku masuk kelas dulu, nih."

Kening Gopal mengernyit dan matanya menatapku aneh. "Lah, terus? Apa hubungannya?"

"Loh, enggak paham? Nilai matematikamu berapa, sih?"

Mendadak senyum Gopal mengembang. Aku tahu laki-laki itu tidak ikhlas melakukannya. "Aku persilakan kamu keluar dari kelasku, Ying."

Aku berdiri lalu menepuk kepala Gopal dua kali. Kupasang pula senyum terbaikku. "Itu yang kutunggu-tunggu. Terima kasih." Tawaku lepas ketika Gopal mengusirku dengan gestur tangannya. Tertawa, tapi tetap kujagalah suara tawaku karena aku masih ingat di mana aku berada. Namun, kalau menjulurkan lidah berniat mengejek tidak akan menganggu penghuni kelas yang lain, 'kan?

Aku betulan pergi dari kelas Gopal sekarang. Namun, Halilintar mencekal pergelangan tanganku sehingga aku menghentikan langkah dan berbalik. Kutatap laki-laki itu dengan penuh tanya. Setidaknya biar aku tidak seperti yang pernah diucapkan Gopal bahwa tampangku cuek dan galak seperti Halilintar. Entahlah, itu hanya pendapatku.

"Hari ini kau tidak bekerja, 'kan?"

Mungkin sepertinya alisku hampir menyatu. "Kau tahu itu darimana?"

"Kakek."

Oh, pantas saja. "Iya."

"Ah, berarti belajar bareng, 'kan?"

"Aku ada bimbingan dari sekolah untuk persiapan olimpiade."

Halilintar tampak bingung sekarang, kikuk mungkin? "Oh, okelah. Hati-hati."

Aku spontan menahan tawaku. "Hati-hati?"

Halilintar masih kelihatan bingung. Ya, ampun, raut mukanya ingin kutendang biar sadar. "Loh, mau balik ke kelas, 'kan?"

Akhirnya aku tertawa kecil. "Kalau begitu, hati-hati juga, Halilintar. Kamu mau balik ke kelas juga, 'kan? Aku balik ke kelas dulu," ujarku. Setelah itu, aku langsung berbalik tanpa peduli dengan reaksinya. Ah, ya, sejujurnya aku penasaran, sih.

Tunggu, Ying! Mengapa rasanya kejadian-kejadian yang sepertinya mengundang air mata dari kemarin terlupakan begitu saja, ya? Apakah itu dampak dari penolakanku terhadap ajakan Halilintar untuk pergi ke kotanya? Aku tidak tahu mana yang benar, tapi aku langsung berpikir tentang maksudnya hari libur adalah akhir minggu ini. Kalau seperti itu, tentu saja aku menolak. Sebentar lagi akan ada ulangan serentak dan aku akan mengikuti olimpiade tingkat daerah tempat tinggalku. Setelah aku menolak, kami tak lagi membicarakan tentang pergi ke kota kemarin.

Sepertinya hari ini tidak akan semulus sesuai tebakanku. Gopal, temanku, mengejutkanku dengan keberadaanya sedang duduk di kursi depan ruangan bimbinganku. Aku langsung menghampirinya, selain karena tidak mau adik kelas yang juga ikut olimpiade yang sama terhalangi jalannya untuk keluar kelas, aku ingin bertanya apa yang merasuki Gopal pada orangnya sendiri.

"Hei, kau menunggu siapa?"

"Kau mau donat?" tanyanya cepat hingga membuatku melongo alih-alih menjawab pertanyaanku.

"Er... kabarmu baik, 'kan, Gopal?" Barangkali dia ada apa-apa setelah kemarin kuabaikan. Mana mungkin aku lupa dengan obrolan pagi itu? "Tidak seperti biasanya, tiba-tiba kau berbaik hati padaku," lanjutku.

Gopal memukul lenganku pelan, tapi aku tetap terdorong sedikit. "Dey, selama ini kau tidak menganggap semua perbuatanku sebagai kebaikan?" Oke, ia mulai dramatis.

"Yang kau maksud itu waktu kau mengusirku tadi pagi, hah?"

"Kau tidak mau menerima ajakan makan gratis dariku, nih?"

"Huhu aku terharu sekali dengan kebaikanmu yang menungguku sampai jam lima dan membelikanku donat."

"Drama sekali. Siapa yang mengajarimu seperti itu?"

Kami spontan tertawa sama-sama. "Siapa, ya?"

"Sambil ngomongin yang kemarin bisa?" tanya Gopal tiba-tiba melenyapkan tawa dan seolah-olah mematikan segala suara di sekitar kami, "se-sebagai sahabat atau mungkin teman, mungkin ada yang perlu dibahas lebih lanjut denganku?" tambahnya buru-buru.

Aku membalas tatapan khawatirnya lalu menyuguhkan senyum tipis. "Mau membelikan aku sepuluh donat?"

Aku tahu topik seperti ini bisa membuat canggung, tapi kalau aku menghindarinya, apa aku dan Gopal akan terus berpura-pura baik-baik saja?

Sore itu akhirnya aku mengutarakan bahwa entah mengapa aku ingin lebih mengenal Hali, terlebih lagi kami satu sekolah dan dia adalah cucu dari Kakek Aba. "Kau pasti juga lebih memilih bekerja sendiri daripada berdua, tapi rasanya sangat canggung, 'kan?" tanyaku. Setelah itu, kulahap donatku.

Tentu aku tetap tidak menceritakan semua hal berkaitan Halilintar yang terjadi padaku pada Gopal. Misalnya aku dan Halilintar pergi di hari libur.

"Kau memang agak berbeda, Ying. Kau tinggal bertingkah cuek saja, 'kan?"

"Tidak bisa, Gopal."

Gopal menghela napas. "Kupikir ada alasan lain selain yang telah kausebutkan, tapi aku tidak tahu dan mungkin kau juga belum menyadarinya, Ying."

Aku terdiam. Mana aku tahu, Gopal? Kuambil satu donat lagi dan melahapnya. Kubiarkan kata-kata Gopal mengambang tanpa balasan dan lagu yang disetel toko ini mengisi keheningan di antara kami. Apa alasan lain selain Halilintar dan aku satu sekolah dan Hali adalah cucu dari pemilik kedai di mana aku bekerja? Ingin mencari perhatiankah darinya?

Akhirnya kuhela napas panjang. "Entahlah, Gopal. Kau antar aku ke rumah, ya, dengan sepedamu. Naik di belakang seperti tadi."

Gopal menurut. Bukannya percaya diri, kutebak dia tak akan melupakan perbincangan sore ini.


Kupikir aku perlu lagu-lagu untuk menemani tulisanku terbentuk, entah itu pelajaran atau cerita fiksi. Ada empat lagu yang kucari dan kudengar berulangkali ketika per kata dalam sebuah cerita bermunculan, salah satunya audio dari Yiruma - Ending: A Short Piece. Semuanya jaga kesehatan, ya.