Winter Sonata – Drarry Version

Summary : Pertemuan tak terduga, hubungan yang tak pernah terpikirkan, dan kisah cinta yang rumit antara keduanya dimulai di musim dingin. Akankah ikatan mereka tetap kuat meskipun berbagai masalah rumit menimpanya?

Disclaimer : HP punya Tante Rowling, Winter Sonata punya penciptanya, tapi fic ini punya gua.

Warn : Draco-fem!Harry, Cedric-fem!Harry (slightly), mamanya Cedric & adeknya Harry OC. Untuk kebutuhan cerita, Draco surname-nya jadi Black dan Cedric surname-nya jadi Malfoy. Adaptasi dari anime Winter Sonata dengan sedikit pengubahan.

Happy read! ^^v


Chapter 2: Father's Truth and Slacking Off Together

Anak SMA yang belum lulus seharusnya tidak boleh mengikuti kuliah di universitas. Namun rasa penasaran Draco dan misi pribadinya untuk mencari sang ayahlah yang membawanya masuk ke sebuah universitas dan mengikuti kelas sore di sana. Ia duduk di bangku paling belakang dan mengamati sekilas materi yang dosen itu tengah ajarkan. Kalkulus.

Menjuarai olimpiade matematika SMA membuat Draco sedikit banyak mengerti tentang kalkulus. Konsepnya, turunan rumusnya. Ia paham betul bagaimana mengerjakan bermacam-macam tipe soal kalkulus. Mulai dari yang mudah, sedang, hingga yang sulit.

"Yang terpenting dari matematika adalah rasa ingin tahu dan imajinasi yang tinggi. Bukan sekumpulan besar rumus yang sering kita hapalkan" kata sang dosen kepada mahasiswanya. Sedikit banyak Draco setuju dengan apa yang dikatakan sang dosen.

"Ada yang bisa mengerjakan soal di depan?" tanya sang dosen yang berambut pirang panjang. Para mahasiswa yang duduk di depannya sibuk saling tunjuk dengan temannya. Menentukan siapa yang mau maju mengerjakan soal yang telah ditulis. Draco pun berinisiatif maju dan mengerjakan soal yang ada di depan kelas.

Saat Draco menuliskan angka demi angka di papan tulis, para mahasiswa yang duduk di tempatnya hanya menatap kagum padanya. Tak hanya para mahasiswa, tatapan kagum pun juga ditunjukkan dosen matematika berambut pirang itu.

"Bagus, nak. Tepat jawabanmu. Ngomong-ngomong, kau pakai rumus dari mana? Aku belum pernah melihat rumus ini sebelumnya" tanya sang dosen setelah soal tersebut terjawab sempurna. "Aku membuat rumus ini sendiri" jawab Draco. "Sepertinya kau berbakat di matematika, nak." puji dosen itu. Kagum akan jawaban Draco di papan tulis. Namun, seketika, dosen itu melihat seragam SMA yang dikenakan Draco di balik mantelnya.

"Maaf, kau masih SMA tapi kenapa kau ikut kuliahku?" tanya sang dosen sopan. Draco memalingkan wajah dari sang dosen yang mengharap jawabannya. "Karena terdorong rasa ingin tahu dan imajinasiku yang tinggi" kata Draco seraya kembali ke tempat duduknya semula. Meninggalkan sang dosen berambut pirang itu dengan kebingungan yang tak terjawab.

Sesampainya di rumah, Draco menatap sobekan foto lama ibunya dan seorang pria yang ia duga sebagai ayah kandungnya. Dosen matematika yang ia ikuti kuliahnya tadi sore sekilas nampak mirip dengan pria yang ada di sobekan foto itu. Namun, Draco merasa bahwa tidak mungkin dosen itu mengenal siapa ayahnya. Sempat terlintas pikiran Draco untuk berhenti mencari kebenaran tentang siapa ayah kandungnya. Namun, rasa ingin tahunya yang kelewat tinggi itu membuat Draco urung untuk berhenti.

Bagaimanapun caranya, ia harus tahu kebenaran tentang ayah kandungnya.

.

.

.

Besok Pagi, di Sekolah

Bukan Harrietta Potter namanya kalau tidak terlambat. Seperti pagi sebelumnya, ia berlari-lari menuju ke halte bus. Kebetulan bus menuju sekolahnya sedang lewat. Segera Harry berlari ke tengah jalan untuk menyetopnya.

"STOP!" teriaknya sambil merentangkan tangan. Dan beruntungnya, bus itu berhenti di waktu yang tepat tanpa harus menabraknya. "Yes!" ujar Harry segera setelah bus itu berhenti, lalu masuk ke dalamnya. "Kau lagi, kau lagi! Tidak bisa menyetop bus dengan benar, hah?" gerutu sang supir sambil menjalankan busnya. "Maaf, paman. Habisnya kalau tidak begitu, paman tidak akan berhenti" kata Harry dengan nada memelas. Berharap sang supir memaklumi tindakannya. Sang supir hanya menghela napas.

Sama seperti kemarin pagi, ia menemukan Draco Black di barisan bangku terbelakang. 'Dia sudah mengganti plester di wajahnya' batin Harry saat memperhatikan wajah Draco. Sadar ditatapi dari jauh, Draco balas menatap Harry dan kemudian Harry memalingkan wajahnya dan mencari tempat duduk lagi di dekat jendela. Beruntung ia menemukannya. Dan Harry pun langsung duduk di bangku dekat jendela itu.

Tanpa sadar, Harry tertidur di bus dengan kepala menempel tepat di jendela. Ia bahkan tidak sadar kalau busnya sudah berhenti di tempat tujuan. Ia baru terbangun setelah Draco mengetuk jendela di dekatnya dari luar. Beberapa detik mengumpulkan kesadaran, ia baru sadar bahwa ia sudah sedikit terlewat dari halte dekat sekolahnya. "STOP" Harry berteriak menyetop busnya.

Harry berlari-lari hingga ke gerbang sekolah. Namun dari jauh, ia mendengar ada seorang murid yang dimarahi oleh Mr. Snape karena seragamnya yang tidak sesuai dengan ketentuan sekolah. Dan karena terlambat juga tentunya. Melihat itu, Harry langsung sembunyi di balik dinding besar di dekatnya.

Dari balik dinding itu, Harry melihat Draco yang dengan santainya berjalan menuju gerbang sekolahnya. Draco tidak sadar bahwa Mr. Snape yang killer itu tengah melakukan inspeksi kepada sejumlah murid. Tidak tega Draco dimaki seperti kemarin, Harry langsung menarik sebelah lengan Draco. Mengajaknya ikut bersembunyi di tempat yang sama. Draco terkejut ketika tangan Harry menarik lengannya.

"Ssssh! Ada Mr. Snape" kata Harry pelan. Draco pun langsung mengerti maksud Harry.

"Ayo ikut aku!" Harry tiba-tiba menarik Draco lagi. Berniat memanjat dinding pagar sekolah agar tidak ketahuan kalau mereka terlambat.

"Nanti kita panjatnya bergantian, ya. Nah, kau bantu aku dulu ya" kata Harry. Tanpa instruksi, Draco langsung mengerti dan membantu Harry memanjat dinding tersebut. Ia menundukkan badannya sementara Harry naik di atasnya.

"Jangan coba-coba mengintip celana dalamku, ya!" kata Harry galak. "Siapa juga yang mau mengintipmu? Badanmu berat, tahu! Susah untuk mendongak sedikit" kata Draco sedikit menghina. Dan Harry pun sukses memanjat dinding pagar sekolah dengan bantuan punggung Draco.

Harry tidak langsung melompat turun. Ia menunggu Draco memanjat dan menawarkan tangannya pada Draco. Bermaksud membantunya memanjat. Draco tidak menerima uluran tangannya. Ia malah berusaha memanjat dinding itu sendiri. Ia melempar masuk ransel hitamnya, mundur sedikit mengambil ancang-ancang, lari, dan melompati dinding tersebut dengan sukses. Harry sedikit terkagum dengan cara Draco memanjat dinding tersebut.

Draco pun tidak serta merta meninggalkan Harry. Ia mengulurkan kedua tangannya hendak membantu Harry turun."Ayo, kubantu kau turun" kata Draco. Harry mendengus, kemudian memalingkan muka begitu mendengarnya. "Aku bisa turun sendiri, kok" kata Harry. "Oh, begitu? Ya sudah. Kutinggal, ya" kata Draco dengan nada sedikit menyindir sambil mengambil ranselnya dan berjalan menuju kelas. Awalnya Harry hanya menganggap Draco bergurau saja. Namun begitu Harry sadar bahwa ia tak bisa turun sendirian, ia pun berteriak memanggil Draco.

"Black!" teriaknya. Draco menyeringai tipis. Draco berbalik dan berjalan ke arah dinding pagar sekolah.

"Apa, Potter? Sadar kalau akhirnya kau butuh bantuan?" kata Draco dengan senyum mengejek sambil mengulurkan kedua tangannya. Tidak menanggapi ejekan Draco, Harry pun melompat turun.

Saat turun, Harry membuat Draco terjatuh ke belakang dan menindih tubuhnya. Saat tubuh mereka saling bertindihan, jarak wajah mereka otomatis menjadi lebih dekat. Dalam jarak sedekat itu, Draco bisa menatap langsung iris emerald Harry yang jernih itu di balik kacamata bulat yang dipakainya. 'Cantik, bening' komentar Draco dalam hati saat melihat iris mata Harry. Harry juga menatap iris kelabu Draco. Lama mereka terdiam, Harry pun berinisiatif untuk bangun terlebih dulu. "Cepat! Kita sudah terlambat!" kata Harry dengan wajah bersemu merah.

"Oh, ya, Black, nanti siang saat jam makan siang, kita siaran, ya. Kau harus datang!" lanjut Harry lagi. Draco hanya diam, namun bukan berarti dia tak mendengarkannya. Harry pun berjalan menuju kelas lebih dulu meninggalkan Draco sendirian. Tanpa sadar, seulas senyum muncul di wajah Draco saat memperhatikan Harry yang melangkah semakin jauh meninggalkannya.

Suasana kelas sedang ramai saat Harry masuk. Ia pun berjalan menuju ke bangku tempat ia biasa duduk dan menaruh tasnya di atas meja. Kemudian ia pun duduk di bangkunya dan membaringkan kepalanya di atas ranselnya. Cedric yang memperhatikan tingkah sahabatnya itu sejak tadi langsung menduga ada masalah yang terjadi pada Harry pagi ini.

"Kau kenapa, Har? Ada sesuatu terjadi semalam?" tanya Cedric khawatir. "Tidak, Ced. Tak ada apa-apa" balas Harry sambil membenamkan wajahnya di atas ransel coklat miliknya. "Masa, sih? Aku tidak percaya" kata Cedric. "Sungguh, Ced! Aku baik-baik saja" jawab Harry. Dan Cedric yang melihat ada bekas luka di leher Harry segera menyingkap sedikit kerah mantel Harry.

"Hei! Tidakkah kau diajarkan untuk sedikit menghargai perempuan?" kata Harry sedikit kesal sambil kembali menutupi lehernya dengan kerah mantel.

"Draco! Kau tidak apa?" Di sudut lain kelas, Pansy tampak mengkhawatirkan Draco yang baru masuk kelas. Entah bagaimana Pansy bisa memanggil Draco dengan nama depannya mengingat interaksi mereka yang amat minim.

"Kenapa ada plester di wajahmu? Apa seseorang melukaimu?" tanya Pansy khawatir. Draco hanya lewat dan mengabaikannya.

"Urus saja urusanmu sendiri, Parkinson!" celetuk salah seorang siswa. Sadar kekhawatirannya tak terlalu ditanggapi, Pansy pun memilih diam. Cedric dan Harry yang melihat kelakuan Draco barusan hanya terheran-heran. Bagaimana bisa ada manusia sedingin Draco Black hidup di dunia ini?

"Kau juga, Harry! Ada apa denganmu?" tanya Pansy sambil melihat sekilas ada bekas luka di leher Harry. "Apa jangan-jangan, kau bersama Draco semalam?" kali ini Pansy tidak lagi bertanya. Lebih ke arah menyelidiki, tepatnya. Dan Harry hanya menanggapinya dengan diam. Cedric, tanpa Harry dan Pansy sadari, menatap Draco dari kejauhan dan memperhatikan tingkah Draco yang begitu tenang.

"Ah, Pans! Bel kan sudah berbunyi. Kenapa kau tak kembali ke bangkumu?" kata Harry mencoba mengalihkan sambil mendorong pelan tubuh Pansy. Pansy sedikit kecewa dengan tindakan Harry itu. Ia pun menghela napas dalam sebelum membalas ucapan Harry. "Baiklah. Kita bicarakan lagi ini nanti" ujar Pansy sembari kembali ke bangkunya. Cedric yang sedari tadi memperhatikan Draco berhenti menatapnya ketika Draco menatap Cedric balik dengan dingin. Cedric pun langsung menatap ke depan kelas.

Harry bertanya-tanya kenapa Cedric begitu. Namun ia langsung paham kalau sikap Cedric barusan ada hubungannya dengan Draco. Ia pun menatap ke arah Draco yang malah tersenyum tipis ke arahnya. Harry hanya membalasnya dengan senyuman yang nyaris sama tipisnya, lalu berbalik arah. Tidak sadar kalau Draco masih menatap ke arahnya dari bangkunya di baris belakang.

.

.

.

Skip time, jam istirahat makan siang di ruang siaran.

"Mana, sih, dia? Sampai sekarang belum datang juga" Harry berdecak kesal sambil menunggu Draco yang tak kunjung datang ke ruang siaran. Padahal dia ingat betul sudah memberitahu Draco untuk siaran di jam makan siang. Harry pun akhirnya berinisiatif untuk siaran sendiri. Persetan dengan Draco Black yang tidak datang untuk siaran. Kasihan warga sekolah yang sedari tadi menunggu siaran makan siang.

"Seharusnya, aku siaran dengan temanku saat ini. Tapi, dia tidak datang juga" ucap Harry membuka siaran tersebut. "Mau bagaimana lagi, ya? Aku pun akhirnya siaran sendiri dan melewatkan jam makan siangku" curhat Harry di kata-kata pembukanya. "Aku tidak akan menyebut nama, tapi jika kau merasa, tolong pikirkan kembali tindakanmu" sindir Harry sedikit.

Draco yang tengah merebahkan diri di atap sekolah hanya menyeringai mendengarnya. 'Itu untuk aku, bukan, Potter?' ucap Draco dalam hati, kemudian mencoba untuk tertidur dengan menatap langit biru yang cerah di atas barisan bangku yang menjadi alasnya berbaring saat ini.

"Ah, seharusnya aku tidak curhat di saat siaran!" kata Harry dengan nada sedikit menyesal. "Sebagai permintaan maaf, aku akan memutarkan sebuah lagu untuk menemani makan siang kita semua. Enjoy the song, peeps!" kata Harry ceria. Sesaat kemudian, sebuah lagu bertemakan cinta remaja terdengar di seluruh penjuru sekolah dan mengiringi jam makan siang saat itu.

Di saat lagu tengah diputar di seluruh penjuru sekolah, Draco pun memutuskan untuk pergi ke ruangan siaran. Entah untuk membantu Harry atau untuk maksud lain. Begitu Draco membuka sedikit pintu ruang siaran, ia melihat Harry asyik menari-nari mengikuti lagu yang tengah diputar. Ia menatap Harry lama dan kelihatannya Harry belum sadar juga bahwa ada sepasang mata tengah menatapnya intens di balik pintu ruang siaran.

Begitu Harry sadar kalau Draco sedang menatapnya di balik pintu, ia langsung malu. 'Sadar juga dia' kata Draco dalam hati sambil melangkah masuk menuju ruang siaran. Harry, di dalam bilik siaran, ingin duduk. Lupa, mungkin, bahwa kursinya sudah digesernya sedari tadi, Harry pun jatuh terduduk.

Tak lama setelah kejadian itu, Draco menemukan buku sketsa milik Harry dan kemudian melihat-lihat isinya. Harry semakin malu begitu melihat Draco sudah melihat-lihat coretan sketsa di bukunya. Buku yang ia harap tidak ada seorangpun yang melihat isinya kecuali Harry sendiri. Dengan tampang yang entah meremehkan atau bagaimana, Draco membalik isi buku sketsa itu dan melihat-lihat satu per satu sketsa buatan Harry. Dari dalam bilik siaran yang kedap suara, Harry berteriak supaya Draco jangan melihat-lihat isi buku sketsanya.

Draco tersenyum jahil ke arah Harry lalu menggeser tombol pengontrol mic di ruang siaran tersebut hingga volume maksimum. "JANGAN!" Dan aksi jahil Draco sukses membuat teriakan Harry terdengar di seluruh penjuru sekolah.

Di kelas mereka, para siswa yang tengah menikmati makan siangnya terkejut. Menebak ada kejadian apa di ruang siaran. Cedric langsung tahu bahwa itu suara Harry. Ia pun bergegas pergi ke ruang siaran. Takut terjadi sesuatu yang buruk pada Harry. "Ron, aku titip sebentar, ya" ucap Cedric lalu langsung lari ke arah ruang siaran."Tunggu aku, Ced!" kata Ron yang ikut berlari menyusul Cedric. Takut Cedric tidak bisa menanganinya sendirian.

Sesampai di ruang siaran, Cedric dan Ron melihat Harry yang baru saja keluar dengan wajah kesal. "Kau kenapa, Har? Terjadi sesuatu?" tanya Cedric khawatir. "Tidak tahu!" jawab Harry acuh tak acuh. Cedric yang curiga dengan jawaban Harry langsung masuk ke ruang siaran dan mendapati Draco berada di sana.

"Black, ada apa dengan Harry?" tanya Cedric tanpa berusaha mencurigainya. "Kau sungguh bertanya atau ingin menuduhku?" jawab Draco dingin. "Apa maksudmu, Black?" tanya Cedric bingung. "Jawab saja. Kau sungguh bertanya atau ingin menuduhku?" jawab Draco lebih dingin dari sebelumnya. Jawaban dingin itu meningkatkan kadar kekesalan Cedric terhadap remaja laki-laki bersurai pirang platina di hadapannya ini.

Skip Time, Jam Pelajaran Olahraga.

Siang itu, mereka bermain voli. Siswa laki-laki dibagi ke dalam dua tim dan kelihatannya Cedric dan Draco ada dalam tim yang sama. Saat permainan berlangsung, Cedric dan Draco terlihat bersaing satu sama lain meskipun ada di tim yang sama. Walaupun tim mereka menang, tapi entah kenapa Draco terlihat seperti bermain sendiri. Buktinya, beberapa kali Cedric mencoba melakukan pass, Draco tidak membiarkannya. Tidak jarang juga Draco menubruk Cedric saat melakukannya. Siswa perempuan yang melihat permainan Draco bersorak-sorak menyemangati dari pinggir lapangan. Mereka menganggapnya keren. Draco, sih, santai saja dan tidak terlalu menanggapi. Tapi Cedric? Kadar kekesalannya pada Draco semakin bertambah.

Permainan voli itu ditutup dengan kejadian Cedric terjatuh karena ditabrak Draco yang sedang melakukan jump pass. "Cedric!" teriak Ron yang juga di tim yang sama. "Kau tak apa, mate?" tanya Ron khawatir. Cedric hanya menggelengkan kepala dan berusaha tenang. "Maaf, aku minta time out" ujar Cedric. Ia pun mendatangi Draco yang tengah berdiri memegang bola di salah satu sudut lapangan.

"Black, kenapa kau terlalu mendominasi? Kau tahu, kan, voli butuh teamwork?" kata Cedric. "Yang penting kita menang" balas Draco dingin. "Tapi, Black, menang atau kalah itu tak penting" kata Cedric mencoba membantah Draco. "Oh, ya? Apakah di buku pernah dibilang kalau menang itu tak penting?" kali ini Draco menjawab dengan seringai mengejek. "Damn teacher's pet" umpat Draco pelan sambil memalingkan wajahnya. Mendengar umpatan itu, emosi Cedric langsung meluap seketika. Ia menarik kerah seragam olahraga Draco dengan kasar. "Apa katamu?" kata Cedric kesal. Draco, masih dengan wajahnya yang tenang, sama sekali tidak merasa takut dengan kemarahan Cedric. Sebaliknya, ia malah menantang Cedric. "Ayo, pukul aku" katanya. Cedric terdiam. Tidak cukup tega untuk menghajar laki-laki di depannya.

"Kenapa? Kau tidak dibilang untuk memukul orang, ya, saat sedang kesal?" ejek Draco lagi. Dan emosi Cedric semakin meluap dengan kalimat itu. Namun ia tak bisa berbuat apa. Draco pun akhirnya menepis tangan Cedric dan meninggalkan lapangan setelahnya. Dari pinggir lapangan, Harry hanya menatap mereka berdua dengan tatapan bingung.

Selesai jam olahraga, Harry dan Draco mencuci muka di keran dekat lapangan sekolah. Masih tidak mengerti dengan masalah Cedric dan Draco di jam olahraga tadi, Harry pun mulai bertanya.

"Kau ada masalah apa, sih, dengan Cedric tadi? Sepertinya kau tidak menyukainya" tanya Harry. Dan masih tidak ada jawaban dari Draco. "Aku bertanya soal ini bukan karena dia temanku, tahu." kata Harry mencoba menepis kecurigaan Draco. "Lalu, karena apa?" tanya Draco sambil mengelap wajahnya yang baru saja selesai dicuci. "Kau tahu, Black? Tingkahmu aneh" Harry mencoba berbicara dengan topik lain. Yang kemudian malah dialihkan lagi oleh Draco.

"Kalian berdua… pacaran, ya?" tanya Draco menyelidik. "Hah? Tidak! Kan aku sudah bilang kemarin. Kami hanya teman sejak kecil, tidak lebih" bantah Harry. "Lagipula–" kalimat Harry terputus saat Draco pergi meninggalkannya ke tempat lain. Harry berdiri dan menatap Draco dengan tatapan sebal. 'Anak ini sebenarnya kenapa, sih?' keluhnya dalam hati.

.

.

.

Skip time, esok harinya

"Ah! Aku pusing! Kenapa lagu untuk ujiannya harus sesusah ini, sih?" keluh Hermione. Ya, mereka besok ujian musik dan harus memainkan sebuah lagu dengan piano. Dan Hermione masih pusing dengan lagu untuk ujian besok.

"Hey, 'Mione, soal kau lulus atau tidak, kau mau kuramal?" tanya Ron. "Tidak, Ron, tidak! Ramalanmu kan selalu meleset" tolak Hermione. Ron hanya tertawa mendengarnya. "Kali ini aku jamin ramalanku tepat. Sini, kemarikan tangan kananmu" kata Ron. Hermione dengan pasrah memberikan tangan kanannya pada Ron. "Hm… Kulihat kau akan lulus… tapi dengan nilai pas-pasan. Ya! Pas-pasan!" ucap Ron yakin.

"Oh, Ron, adakah ramalan yang lebih bagus dari ini?" kata Hermione pasrah, lalu mulai menyalahkan dirinya yang tidak maksimal. Harry hanya bisa tersenyum melihat interaksi kedua sahabatnya ini. "Jangan khawatir. Aku yakin kau akan lulus dengan baik besok" hibur Harry.

Seketika, pandangan mata Harry tertuju ke arah Draco yang sedang fokus membaca bukunya. Tidak terlihat kecemasan sama sekali mengenai ujian musik besok. Harry heran melihatnya. Harry pun berinisiatif mendatangi bangku Draco. "Hei, Black, bisa ikut denganku sebentar?" tanya Harry. Dan, tak biasanya, Draco mau menerima ajakan Harry.

Mereka sampai di ruang musik dan duduk di hadapan sebuah piano upright yang ada di ruangan tersebut. Harry sepertinya tengah mengajari Draco bagaimana caranya bermain piano. "Posisikan tanganmu seolah kau memegang sebuah telur" kata Harry sambil memposisikan tangan kanan Draco di atas tuts piano. "Untuk apa kau begini?" tanya Draco.

"Oh, ya, aku lupa bilang padamu. Aku akan mengajarimu bermain piano. Besok, kan, ujian musik" kata Harry. "Kau pasti tidak tahu, kan, besok ujian?" tebak Harry. "Anggap ini balas budi dariku" lanjut Harry.

Dan menit-menit berikutnya, Harry menunjukkan pada Draco bagaimana cara bermain piano yang benar. Meskipun tidak sempurna, tapi Harry boleh dibilang cukup terampil memainkannya. Draco hanya memperhatikan bagaimana Harry bermain piano dalam diam. Sampai akhirnya, lagu itu terhenti karena Harry lupa nada selanjutnya.

"Maaf, ya. Aku lupa lanjutannya" kata Harry sambil tertawa kecil. Tak lama kemudian, Draco gantian memainkan piano tersebut. Memainkan sebuah lagu klasik yang Harry belum pernah dengar sebelumnya.

"Bukannya kau bilang kau tidak bisa bermain piano, ya?" tanya Harry bingung. "Hah? Aku tidak pernah bilang begitu" jawab Draco sambil masih memainkan lagunya. Dan Harry menatap Draco yang kini bermain piano dengan tatapan tak percaya sekaligus kagum. Merasa suka dengan melodinya, Harry pun penasaran dengan lagu yang kini dimainkan Draco.

"Apa judulnya?" tanya Harry. "Masa, sih, kau tidak tahu lagunya? Aku sepertinya pernah mendengar kau bersenandung dengan lagu itu" jawab Draco sambil masih bermain piano. "Aku ingat melodinya, tapi tidak ingat judulnya" kata Harry. "Judulnya First Time" jawab Draco sambil beranjak dari kursi yang tadi ia duduki bersama Harry dan berjalan ke arah salah satu jendela di ruang musik. Merasa pertanyaannya sudah terjawab, Harry mulai mencoba memainkan lagu First Time tersebut dengan piano. Dari jendela, Draco melihat Cedric dan beberapa teman Harry sedang kebingungan mencari Harry.

"Oh, ya, Black, aku jadi penasaran. Kenapa kau memilih bersekolah di sini" tanya Harry segera setelah lagunya selesai. Draco hanya menatapnya dalam diam. "Aku lupa kalau kita belum terlalu dekat" ujar Harry memecah keheningan. "Kalau kuberi tahu, kau mau membalasnya dengan cara yang sedikit berbeda?" tanya Draco. Harry hanya bingung dan mencoba mencerna kata-kata Draco.

Harry dan Draco keluar dari ruang musik dan tanpa mereka sadari, Cedric melihat keduanya dari kejauhan. Berjalan beriringan berdua dan keluar dari gerbang sekolah.

Sesampainya di halte dekat sekolah, mereka menyetop sebuah bus dan duduk bersebelahan di bangku paling belakang. Harry sengaja duduk di dekat jendela. Ia pun membuka kaca jendela di sebelahnya dan membiarkan helaian rambutnya tertiup angin. Draco melihat Harry yang tampak bahagia saat Harry membiarkan angin memainkan rambut hitamnya. Harry pun menutup jendela begitu tahu Draco memperhatikannya tadi. Harry menatap kea rah Draco yang kini menatap ke arahnya. Pandangan mereka bertemu, lalu mereka tertawa. Entah apa yang ditertawakan.

Mereka pun tiba di sebuah taman yang banyak terdapat pohon pinus. Mereka berjalan-jalan menyusuri taman sambil mengobrol sedikit.

"Potter, kau tahu cerita tentang Negeri Bayangan?" tanya Draco.

"Hah? Cerita apa itu?" Harry tidak tahu.

"Jadi, ada seseorang yang pergi ke Negeri Bayangan. Tapi, dia kesepian karena tidak ada yang bisa diajaknya bicara. Wajar, penduduknya kan bayangan. Sudah, itu saja ceritanya" Draco menceritakannya dengan datar.

Mendengar bagaimana Draco mengakhiri ceritanya, Harry pun tertawa.

"Apanya yang lucu, Potter?" tanya Draco bingung.

"Caramu mengakhiri cerita tadi… Lucu sekali!" dan Harry pun tertawa lagi setelahnya.

"Kenapa kau selalu terkesan dingin dan serius, sih?" tanya Harry. Seperti biasanya, Draco tidak menjawabnya.

Menemukan batang pohon yang telah tumbang, Harry memulai 'uji keseimbangan'-nya. Harry pun melompat naik, lalu berjalan perlahan sambil merentangkan tangannya.

"Kurasa kau butuh teman" kata Harry. "Lagipula tidak ada salahnya juga, kan, kau berteman?" kata Harry lagi, lalu ia berhenti di ujung batang tumbang tersebut. "Aku tak butuh teman" jawab Draco dingin. "Bisa jadi karena kau tidak tahu bagaimana caranya berteman, kan?" tanya Harry mencoba meyakinkan Draco. "Kau hanya perlu mendekati mereka, kok." ujar Harry.

"Kiri… Kanan…" Dan Harry masih melakukan 'uji keseimbangan' itu. "Dekati saja pelan-pelan, lalu kau akan jadi teman setelahnya" Harry masih mencoba meyakinkan Draco untuk punya teman.

Beberapa langkah berjalan, Harry pun hampir terjatuh. "Pegang tanganku" kata Draco sambil mengulurkan sebelah tangannya pada Harry. Harry bimbang untuk menerima uluran tangan Draco.

"Jangan berpikir macam-macam, Potter. Aku hanya mempraktekkan apa yang kau ajarkan barusan" kata Draco lagi. "Selangkah demi selangkah, kan?" Harry masih menatapnya bingung. Draco benar-benar melakukan seperti apa yang ia katakan beberapa menit lalu.

Tak mau mengecewakan Draco, Harry pun menerima uluran tangan Draco dan kembali melanjutkan 'uji keseimbangan'-nya sambil menggandeng tangan Draco.

Usai berjalan-jalan, mereka pun mengelilingi taman dengan sepeda. Harry duduk di bangku belakang sepeda sementara Draco mengemudikan sepedanya. Nampaknya keduanya menikmati menit demi menit kebersamaan mereka. Dan, ya, mereka sepakat untuk tidak memanggil satu sama lain dengan nama keluarga.

Hari sudah senja. Langit yang tadinya biru berubah warna menjadi jingga. Jalan-jalan bersama mereka ditutup dengan menaiki kapal mengelilingi danau besar yang ada di dekat taman tadi.

"Kau bilang kau mencari seseorang di sini. Siapa?" tanya Harry. "Ayahku" jawab Draco. "Kukira ayahmu sudah meninggal" kata Harry. "Bagaimana rasanya bertemu dengannya?" tanya Harry penasaran. "Jujur aku tidak merasakan apa-apa. Dan aku penasaran dia orang seperti apa" jawab Draco jujur sambil melihat pemandangan sekitar. "Lalu?" Harry semakin penasaran.

"Sepertinya, ia tak mengingatku" duga Draco. "Kuharap, orang itu mengingatku. Dan kurasa, aku membencinya" ucap Draco lirih. "Jangan sebut dia orang itu. Mau bagaimanapun juga, dia ayahmu, kan?" kata Harry. "Tidak apa membencinya. Tapi, setidaknya, jangan sebut dia 'orang itu'" lanjut Harry. "Dan jangan berbohong lalu mengatakan dia sudah mati" tegur Harry lagi.

"Mungkin kau bisa berbohong pada orang lain, tapi tidak dengan dirimu sendiri. Jauh dalam hatimu, kau sangat ingin bertemu dengan ayahmu, kan?" Harry sadar mungkin kata-katanya hanya akan dianggap angin lalu oleh Draco. Tapi kelihatannya Harry salah. Wajah Draco terlihat seperti ia tersadar karena ucapan Harry. "Lagipula, enak kan kalau punya ayah?" kata Harry sambil tersenyum. Senyuman Harry membuat Draco tertegun.

Mereka berdua berjalan ke sudut lain kapal dan menemukan ada pasangan yang tengah berfoto di atas kapal.

"Kau mau berfoto juga?" tanya Harry.

"Kita kan tidak punya kamera, Harry" jawab Draco sambil tersenyum.

"Atau kau mau aku meminjam kamera pada mereka?" tanya Draco.

Tak lama, Harry membentuk sebuah persegi panjang dengan kedua ibu jari dan telunjuknya. Berniat membentuk sebuah kamera imajiner. "Jangan bergerak dulu" ucapnya.

"Oke, lihat kemari, ya! Satu… Dua… Tiga…"

Lalu Harry meniru suara jepretan kamera saat Draco menatap ke arah kamera imajiner yang dibentuk tangannya. "Tampangmu kaku sekali! Tersenyumlah sedikit" Dan Harry menjepretnya dengan kamera imajiner itu sekali lagi.

Acara jalan-jalan itu berakhir di malam hari. Draco memutuskan untuk mengantar Harry pulang sebelum ia pulang ke rumahnya. Baru beberapa langkah dari jalan masuk ke rumah Harry, mereka berdua menemukan Cedric yang berdiri di bawah lampu jalan tengah menatap keduanya.

"Cedric?" ucap Harry.


TBC.

Halo semua! Gua Naru mau bilang thankyou udah mau nyempetin baca fic gaje ini. Terimakasih untuk fave, follow, dan reviewnya. Semua review akan gua bales di chap selanjutnya aja, ya?

Akhir kata, follow, fave, dan review?