Tomura punya mimpi. Sebuah angan yang besar untuk bisa kembali bersama Himiko. Tertawa bersama dan bertukar cerita tentang dunia yang kejam ini. Dialah yang ada saat Tomura tidak punya siapa-siapa, Himiko juga yang mendorongnya hingga sampai ke sini dan mengembangkan kemampuannya.

Tomura tidak perlu dunia penuh bunga, atau keindahan lain. Ia hanya butuh Himiko dan Dabi di sisinya seperti dahulu. Rasanya begitu hampa tanpa keduanya, yang telah menemani perjalannya sejak belia.

Hari-hari Tomura tidak cukup berwarna, dan ia juga sama sekali tidak menginginkannya. Kota tempat mereka tinggal dahulu adalah sebuah neraka dunia. Persaingan hidup dan mati. Sekuat tenaga mereka berusaha keluar dari sana. Namun yang membesarkan mereka adalah kejahatan, apa mau dikata.

Himiko meneruskan usaha toko milik ibunya di kota lain berusaha berbuat baik meski itu hanyalah kebohongannya, sementara Tomura dan Dabi pergi ke tempat lain untuk bertahan hidup. Tidak ada yang berbeda, hanya saja tidak seburuk saat berada di kota kelahiran mereka. Mereka masih bisa bertemu dan bertukar sapa.

Tentu, mendengar hasil operasi mereka hari ini membuat Tomura bertanya-tanya. Tidak inginkah Tuhan sekali saja memihak mereka? Yang mereka lakukan mungkin bukan hal yang baik, tapi kenapa satu saja permintaannya tidak pernah dikabulkan?

Yah, itu pun kalau Tuhan benar-benar ada.

Izuku pulang dalam keadaan terluka dan tak sadarkan diri. Kurogiri yang membawanya segera mengibatinya. Tomura tidak bisa melimpahkan kekesalan pada siapa pun.

Ini adalah salahnya sendiri karena terlalu lemah.

Kurogiri juga mengatakan bahwa Dabi tertangkap, membuat hari Tomura makin buruk saja. Ia hanya diam, tapi memikirkan suatu cara untuk memperkuat serangan mereka selanjutnya. Nomu buatannya masih jauh dari kata sempurna, ia butuh pihak lain untuk mengembangkannya. Di dunia luar, mereka masih kekurangan bahan untuk membuat penelitian yang sempurna. Terlebih dana yang mereka gunakan hampir habis. Melihat kondisi Izuku sekarang, tampaknya hal itu akan mustahil dilakukan.

"Kurogiri, tolong tetap jaga Midoriya."

Tomura berdiri, berpikir akan kembali ke tempat kelahirannya untuk mencari sesuatu.


Rijinsho

Boku no Hero Academia © Horikoshi Kouhei

Story © Panda Dayo

Alternate Universe. Fem!Izuku. Villain!Izuku. Adult!Eri. More author notes at bottom pages.

Buat shirocchin.


Eri melihat ambulans yang datang dari arah barat, menuju ke selatan dengan cepat. Lantas ia mengikuti, ingin tahu apa yang terjadi. Betapa terkejutnya ketika tahu bahwa Himiko telah ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa. Dengan darah sebanyak itu, mustahil baginya selamat.

Banyak orang di sana berkerumun, tidak luput para wartawan. Penjilat, bahkan disaat seperti ini mereka menginginkan uang. Tidak punya empati sama sekali. Manusia memang tidak semudah itu berubah.

Membuatnya teringat, Eri bergabung ke organisasi Katsuki sejak lama, waktu itu ia dijual keluarganya kepada organisasi karena jumlah hutang. Eri bertemu dengannya kala remaja. Kedua orang tua Katsuki juga menyambut dengan baik, berharap besar padanya. Eri berlatih dengan keras menguasai ilmu pedang, membuat tujuan baru di hidupnya.

Wanita itu sama sekali tidak membenci takdirnya. Justru ia senang karena sekarang dapat menjadi orang yang dapat diandalkan; menjadi tangan kanan lelaki itu. Eri tidak berniat pergi sampai kapan pun. Soal dirinya yang dijual oleh keluarganya sudah tak lagi ia pikirkan. Mungkin mereka telah mati di suatu tempat. Eri juga tidak peduli.

Eri melihat Shouto juga di antara keramaian, tepat di seberangnya. Wajahnya tidak bahagia, bahkan terlihat bahwa ia tampak sedang bertanya dalam hati. Tubuhnya tidak begitu terluka. Memang hebat seorang pahlawan profesional sekaligus klien Katsuki itu. Seolah-olah dia sama sekali tidak memiliki cela.

Wanita itu menarik langkah mundur, ia juga harus segera melaporkan situasi terkini kepada Katsuki. Belum berapa lama ia berjalan, dilihatnya para pahlawan telah meringkus Dabi. Mereka membawanya pergi entah ke mana.

Sepertinya akan terjadi sesuatu yang menarik.


Shouto kembali ke markas pusat bersama beberapa pro-hero yang ditugaskan. Mereka menaiki mobil yang disediakan. Dan murni kebetulan bahwa Enji mendapat kursi bersama anaknya, Shouto.

Ah, rasanya seperti sudah lama sekali.

Memang benar demikian.

Sejak kejadian itu, ia selalu diliputi rasa bersalah. Memikirkan bagaimana ia menebus dosa terhadap keluarganya. Hal yang wajar bila Shouto membencinya hingga memilih pindah ke sebuah kota kecil daripada di markas pusat. Shouto merobek surat rekomendasi di hadapan semua petinggi waktu itu. Tanpa merasa sesal sedikit pun. Mungkin takdir juga yang kini membawanya dalam pertemuan ini.

Shouto duduk di sebelahnya, bersama di jok belakang. Mereka akan mengawal Himiko ke Rumah Sakit. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, namun sedari tadi Enji tidak ingin mengalihkan pandang. Ia tahu anaknya mempunyai prinsip sendiri, juga fakta bahwa ia adalah seseorang dengan ambisi kuat.

Tapi saat ini yang bisa ia lihat hanyalah wajah berantakan putranya. Shouto terlihat kebingungan, entah mengapa. Ia hanya diam sedari tadi sambil menatap kosong ke arah depan. Enji sedikit khawatir, maka ia pun bertanya,

"Shouto, apa ada sesuatu yang membebanimu?"

"Diam. Kau tidak mengerti."

"Aku tidak mengerti jika kau tidak bercerita."

Shouto sedang dilanda badai. Ia mencoba menyusun ulang kronologi selama beberapa hari ini. Bahkan ia tidak ingin percaya identitas sebenarnya dari Deku sang penjahat adalah seseorang yang ia kenal. Bagaimana ia mengatakannya? Tidak semudah itu baginya untuk menerima. Kepalanya terasa sakit sekarang. Ia tahu Enji tengah menatapnya, tapi ia sendiri bingung.

Jika ia bertemu dengan gadis itu lagi, apa yang harus dilakukan? Langsung menahannya? Atau ia perlu menginterogasi terlebih dahulu? Tiba-tiba saja Shouto merasa buntu. Kenapa ia menjadi sebimbang ini?

Bukankah semua penjahat itu harusnya sama saja?

"Aku tidak memaksamu bercerita, tapi tidak baik memendam sesuatu terlalu lama, Shouto."

Shouto geram. Apa Enji tidak bisa membaca raut mukanya? Kenapa dia berpikir bahwa dirinya sekarang adalah sosok bijak? Keterlaluan. Bisa-bisanya memberi nasihat disaat semua yang ia lakukan dulu hanya membuat keluarganya berantakan.

Juga melukai ibunya.

"Aku tahu kau mengenal Toga Himiko."

Enji terbeliak. Terlalu mudah dibaca, memang. Tapi ia tidak berkomentar apa pun. Hanya mengalihkan atensi ke arah lain.

"Begitu." hanya itu tanggapannya. Shouto makin menatapnya tidak suka. Percuma. Berdebat dengan Ayahnya tidak akan menghasilkan apa pun. Sekarang ia harus memikirkan bagaimana cara untuk membuktikan bahwa gadis itu adalah sosok yang bersembunyi di balik identitas Deku.

Ah, bukankah gadis itu pernah bilang dia sedang kuliah? Kemungkinan terbesar ia berada di Universitas Yuuei, yang lokasinya paling dekat dengan kota ia tinggal. Mungkin ia bisa menghubungi Shinsou—

tidak.

Shouto harus tahu bahwa praduganya benar terlebih dahulu. Selain itu kasus ini adalah miliknya. Ia akan terlihat tidak bertanggung jawab jika melibatkan Shinsou yang berasal dari agensi lain. Nejire pun telah memberikan titah. Shouto harus menyelidikinya. Juga, ia harus melihat perkembangan penyelidikan Katsuki. Ia juga tidak mau uangnya sia-sia.

"Pengembangan kasus? Tentu. Serahkan padaku."

Nejire mendapat telpon dari Tsuyu, salah satu hero yang kebetulan ikut dalam eksekusi publik Himiko. Meski gagal, tapi tujuan mereka tercapai. Juga dengan tertangkapnya seseorang dari mereka akan membuka babak baru.


"Iida, tolong panggil Shinsou kemari."

Iida Tenya adalah seorang hero profesional sekaligus asisten sementara untuk saat ini. Kemampuannya dalam melakukan analisa adalah kunci penting dalam pemecahan sebuah kasus. Nejire menyadarinya beberapa bulan lalu, bahwa Tenya mempercepat hasil penyelidikan kasus di kota Hosu. Ini adalah saat yang tepat untuk melihat kemampuannya.

"Maaf, Nejire-san. Bagaimana dengan kasus Uravity?"

"Kami masih kurang barang bukti, mungkin saja penjahat yang kita tangkap ini punya hubungan dengan seseorang yang menyerang Uravity—atau bisa saja dia lah yang menyerang temanmu. Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini." ujar Nejire. Ia sangat yakin mengenai pengembangan kasus ini. Siapa tahu mereka bisa sekalian menangkap Bakugou Katsuki. Nejire dengar, seseorang bernama Dabi ini adalah salah satu relasi bisnisnya dari salah seorang informan.

Shinsou Hitoshi.

Nejire tidak pernah percaya padanya, tapi informasi yang diberikannya selalu benar. Nejire tidak punya pilihan lain. Hitoshi adalah agen ganda agensi pahlawan dan dunia bawah atas mandat All Might secara langsung. Akan repot jika Nejire juga kehilangannya. Setidaknya belum ada yang mencurigai Hitoshi sekarang.

"Rekan bisnis? Mereka menjalankan bisnis bersama?" tanya Tenya. Kenapa para penjahat itu suka sekali bergerombol dan membuat rusuh? Bahkan perbuatan yang mereka lakukan bisa disebut tidak akan termaafkan. Teringat Ochako hanya membuat Tenya merasa sedih. Mereka tidak bisa dibiarkan.

"Begitu yang aku dengar. Kita bisa menyelesaikan kasus ini lebih cepat, tidakkah kau berpikir demikian?"

Nejire juga tidak berencana mundur. Ia akan menangani kasus besar ini tanpa ragu. Ia bukanlah pribadi seperti Mirio yang akan mementingkan orang lain. Sial. Ketika mengingat temannya itu, yang muncul di hatinya adalah rasa kebencian begitu dalam pada Enji.

"Baiklah, saya pergi dulu." pamit Tenya.

Selepas kepergian Tenya, Nejire menelpon seseorang.

"Tamaki, ini Nejire. Tolong datang ke sini."


Rei melihat anaknya muncul lagi di televisi ruang rawatnya. Mau kemanapun ia memindah channel, yang ada hanyalah wajah putranya. Berita terbaru bahkan mengatakan ia kembali berhasil mengalahkan penjahat. Tidak tahu kenapa, tapi ini sedikit mengobati rindunya. Shouto tidak kurang dalam mencintainya, selalu menyempatkan diri menjenguk meski jadwalnya sangat sibuk. Bahkan memeluknya setiap akan kembali pergi. Rei merasakan cinta yang begitu besar.

Tapi kondisi Rei belum stabil. Ia masih suka mengamuk karena bayangan masa lalu. Ia tidak bisa membalas rasa cinta Shouto, tak mampu mengasihi sebagaimana ibu lainnya. Ia merasa tidak pantas menjadi ibu dari pahlawan sehebat itu.

Rei menggenggam tangannya erat. Ia memilih memandangi jendela dan melihat hijaunya dedaunan di pohon samping kamarnya. Apa yang dirasakan Shouto ketika dilempari vas olehnya? Apakah Shouto tidak merasakan sedikit pun benci di dalam hatinya?

Ingin ia ulang hari-hari indah itu. Menemani Shouto menonton televisi, menyuap makanan untuknya, menungguinya hingga terlelap. Entah mengapa tiba-tiba ia berpikir demikian. Apa karena Shouto yang selalu memberinya perhatian?

Krak

Jendela ruangan Rei tiba-tiba retak. Wanita itu mencoba berpikir positif sebelum melihat kaca jendelanya rusak lebih parah. Seseorang masuk dari sana sambil membawa sebilah pedang.

"Jadi benar di sini."

Orang itu memiliki perawakan tinggi. Rambut hitamnya tampak berantakan. Sepasang irisnya terlihat berkilat. Rei ketakutan sambil menekan bel di belakang ranjangnya. Ia tidak bisa lari karena sudah tidak memiliki kaki—akibat insiden masa lalu. Orang itu mendekat, membuat Rei semakin pucat.

"Maaf mengganggu, tapi kau harus mati."


"Tiba-tiba sekali." Tamaki menutup panggilan setelah mengiyakan Nejire. Ia sedang berada di sekitar Rumah Sakit guna meminta keterangan pada Eijiro dan Denki terkait penyerangan semalam. Yang benar saja ia harus kembali secepat ini?

Pokoknya untuk sementara waktu, Uraraka Ochako memerlukan pengawasan tambahan. Di kota kecil ini hanya ada lima pahlawan—Tenya sedang dipanggil, begitu pula Shouto.

Markas pusat memang lebih membutuhkan mereka, hanya saja mereka berdua bersikeras bertahan di kota kecil ini bersama dengan Ochako, Eijiro dan Denki. Jumlah kejahatan kota ini menurun sejak mereka mulai bertugas, tapi tetap saja ... sebelumnya Yuuei adalah Kota Tanpa Hukum, sama seperti kota Ten di sebelahnya—sebenarnya jaraknya cukup jauh. Ada sekitar dua puluh kilometer, tapi tetap saja itu adalah kota terdekat dari Yuuei. Tamaki dengar Himiko berasal dari Ten.

Tempat itu memang tidak bagus sama sekali, penuh dengan kejahatan. Tapi para petinggi tidak pernah memberikan perintah seperti menangkap semua penjahat di sana.

Kota Ten adalah wilayah bebas. Tidak ada larangan, siapa yang kuat dialah yang menang. Tidak heran jika kebanyakan penjahat berasal dari tempat itu. Himiko dan Aizawa dikabarkan berasal dari sana.

Kota Ten dikhususkan untuk orang-orang seperti mereka agar tidak keluar mengacau, begitu yang didengar Tamaki. Tapi sepertinya kebijakan tersebut juga terdapat banyak kekurangan. Penjahat menang tidak boleh dibiarkan, bukan? Lagipula, untuk apa membiarkan kota seperti itu? Sama sekali tidak baik.

"Lama tidak bertemu, Amajiki."

Tamaki terkejut melihat siapa yang datang menyapa. Itu Bakugou Katsuki. Tamaki bersiap, tapi Katsuki hanya tertawa santai.

"Jangan begitu, aku tidak melakukan apa pun. Aku hanya ingin menyapa." katanya.

"Tidak mungkin."

"Benar juga. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu padamu. Berhati-hatilah. Aizawa, dia mulai bergerak."

Aizawa? Dalang dari perdagangan manusia yang paling besar? "Kenapa kau mengatakannya padaku?"

Katsuki tampak berpikir. "Aku punya kenalan di tempatmu. Anggap saja sebagai bonus karena telah membayarku lebih daripada seharusnya."

Kenalan? Apa Katsuki tidak sedang bercanda? Dia memang tak bisa ditebak, tapi ... seseorang di antara pahlawan yang mengenal Katsuki dan tidak berniat menangkapnya? Siapa?

"Aku pergi dulu."

"Tunggu, hei!"

Namun Tamaki tidak bisa mengejarnya, karena mendengar suara teriakan dari arah Rumah Sakit. Ah, sialan! Lain kali akan ia tangkap keparat itu!


Shouto tiba bersama dengan pahlawan lain di Markas Pusat. Di sana mereka diperintahkan untuk segera menuju ke ruang rapat. Shouto tidak bodoh, ia tahu itu untuk membahas Himiko. Apalagi yang mereka inginkan setelah melihat kematiannya? Shouto tidak mengerti.

"Ini kali pertamamu ikut eksekusi publik," ujar Enji. Shouto hanya melirik. Memang benar, ini adalah kali pertamanya. Karena selama ini ia hanya bertugas di kota kecil dengan kejahatan yang tidak seberapa. Tentu tidak akan membuatnya diundang ke dalam rapat internal seperti ini.

Seperti yang diduga, yang datang kebanyakan adalah pahlawan profesional di atasnya. Sirius, Hawks, Nona Naga—Shouto lupa namanya. Mereka semua adalah orang-orang yang lebih dulu menjadi pahlawan. Kekuatan mereka tidak boleh diragukan.

Tapi Shouto juga tidak akan gentar. Ia di sini karena ingin menjadi yang terkuat, bukan yang lain.

Di dalam ruang rapat tidak ada yang berbeda. Hanya para pahlawan yang terlibat dalam kasus ini juga Nejire didampingi Tenya.

Shouto duduk di samping Enji dan Fat Gum. Nejire langsung membuka rapat hari itu.

"Kami ingin mendiskusikan tentang Toga Himiko. Ia tidak berhasil kita eksekusi, tapi hasil akhirnya tetap sama. Dia meninggal karena terjatuh dari ketinggian, penyebab belum diketahui. Shouto, bisakah kau bicara?"

"Saya sedang mengejarnya, ketika kami sampai di lantai tinggi ia tiba-tiba menjatuhkan diri. Saya juga tidak mengerti alasannya." Shouto mengurangi bagian di mana ia bertemu dengan Izuku di dalam sana. Setidaknya ia bisa menutupinya untuk sementara waktu.

"Aku juga tidak mengerti. Apa sejak awal dia memang berencana untuk mati?" tanya Hawks.

"Sepertinya begitu." balas Shouto. "Dia mengatakannya sebelum waktu eksekusi secara implisit, tapi saya pikir memang demikian."

"Kalau begitu apa ada kabar pengembangan kasusnya?" sambung Fat Gum.

Nejire mengangguk. "Mungkin saja ini ada kaitannya dengan Dabi. Orang yang kita tangkap hari ini. Dia adalah rekan Bakugou Katsuki. Bisa saja ini adalah rencana mereka yang terstruktur. Kita masih menduga." jelasnya, kemudian membalikkan kertas yang ia pegang.

"Hari ini aku mengirimkan Amajiki ke Rumah Sakit Yuuei untuk meminta keterangan dari pahlawan yang bertugas di sana. Mereka tidak bisa pergi karena Uravity sedang terluka, Iida dan Shouto juga berada di sini. Seperti yang kita tahu, kita memang kekurangan pahlawan di sana. Sedikit sekali yang mau bertugas di sana karena lokasinya yang terlalu dekat dengan Kota Ten."

Semua terdiam. Kota Ten adalah topik yang cukup serius. Kepolisian atau para pahlawan tidak bisa melakukan apa-apa karena itu adalah kebijakan para petinggi negeri membiarkan kota busuk seperti itu. Siapa pun yang masuk ke sana bukan lagi tanggung jawab negara. Beda cerita jika penjahat dari sana keluar, pemerintah berhak memusnahkan tanpa kecuali.

Sebuah ketidakadilan, tapi itu adalah peraturan sejak dahulu.

"Jadi, apa yang sebenarnya ingin Anda bicarakan, Nejire-san?" tanya Shouto. Nejire tersenyum.

"Kita sedang membicarakan bagaimana pemakaman yang tepat untuk Toga Himiko. Sejujurnya, aku ingin membuangnya kepada kerumunan anjing liar." rautnya yang semula manis berubah menjadi benci. Terlihat sekali bahwa Nejire tidak menyukainya.

"Ia sudah membunuh banyak orang, aku ingin melakukannya dengan kedua tanganku sendiri."

Shouto terbeliak. Refleks ia berdiri dan menggebrak meja. "Anda sudah gila, Nejire-san! Dia tetap manusia! Kita harus menguburnya dengan layak!"

"Dia adalah penjahat, kenapa kita harus berempati?" celetuk seseorang. "lagipula, para penjahat sebelumnya juga demikian. Kau tidak perlu semarah itu, Shouto."

Penjahat sebelumnya? Mereka membiarkan kebiasaan ini terjadi dan diam saja? Ia tidak percaya ini. Rasanya kekagumannya pada semua orang di sini lenyap begitu saja.

"Kalian tidak ada bedanya dengan para penjahat itu!"

"Shouto, tenanglah." lerai Fat Gum.

"Benar, Shouto. Sebaiknya kau jangan banyak bicara." Enji menambahkan. Shouto bingung. Kenapa semua orang mendukung ide gila itu? Bahkan Tenya tidak mengatakan apa-apa. Shouto kesal. Mereka menyebut dirinya pahlawan tapi melupakan hal yang paling mendasar.

"Maaf, Nejire-san. Anda menyerahkan kasus Himiko pada Shouto meski Uravity meminta kenaikan status kasusnya, 'kan?" Enji bertanya.

Nejire menyipitkan mata. "Ya, lalu?"

"Kalau begitu, Shouto lah yang paling berhak atas jasad Himiko. Terserah dia ingin menguburkannya seperti apa."

Shouto terhenyak. Tidak ia sangka Ayahnya akan membelanya dengan cara seperti ini. Ia tidak ingin mengakui, tapi tentu saja perkataan hero bau kencur sepertinya berbeda jauh dengan sang Ayah yang telah lama berkecimpung di sini. Semua orang akan lebih mendengarkannya.

"Endeavor-san," Nejire mulai berbicara. " ... tidak disangka Anda akan berkata demikian."

"Saya hanya menyesuaikan perkataan Anda. Atasan adalah panutan bawahan, memegang kata-kata Anda sendiri itu penting, Nejire-san."

Tidak ada lagi yang menyahut. Keputusan segera ditetapkan. Jasad Himiko akan diurus oleh Shouto, entah bagaimana. Dan tidak ada yang berhak ikut campur karena sejak awal kasus ini adalah miliknya.

Selepas kepergian semua orang, termasuk Nejire yang terlihat sangat kesal dengan hasil rapat hari itu, Shouto berniat berbicara dengan Ayahnya.

"Kenapa kau membelaku?"

Shouto mengeratkan kepalan tangannya. Enji hanya terdiam dan berlalu, menyusul yang lain. Harga diri Shouto terasa diinjak-injak oleh orang tua itu. Lain kali ia akan membalas ini.

Ia berjanji.

Ponsel Shouto berdering. Shouto melihatnya sebentar sebelum ponselnya mati karena kehabisan daya.

Dari Eijiro. Kira-kira ada apa, ya?

Tapi ia harus mengurus Himiko terlebih dahulu.


Tomura menghentikan langkahnya. Pada akhirnya, sejauh apa pun berlari, ia akan tetap kembali ke sini, kota tempat ia tinggal dahulu. Sepanjang ia berjalan, pemandangan seperti pencurian, judi, bahkan pembunuhan adalah hal yang biasa terjadi.

Kota Ten namanya. Kota yang berusaha ia tinggalkan bersama dengan yang lain. Pemerintah membuat aturan khusus di tempat ini dengan mengatakan kejahatan harus berkumpul di satu tempat dan tidak boleh keluar. Dan memang itu yang terjadi. Orang-orang yang menganut hukum rimba pergi ke sini untuk mencari uang. Perputaran uang di sini sangat mengerikan, tidak jarang banyak yang tergiur hingga mempertaruhkan nyawa. Bagi Tomura yang terlahir di sini, tentu saja tertawa. Kota ini tidaklah seindah yang orang luar pikirkan.

Tomura berhenti di sebuah tempat bertuliskan 'kasino'. Ia masuk ke sana, melihat banyak orang sedang asyik dengan dunianya sendiri. Yah, ia ingin berbicara dengan pemilik tempat ini.

"Tumben kau kemari, Shigaraki." seseorang datang dengan beberapa wanita cantik di belakangnya. Entah sudah mengetahui maksud dan tujuannya sebelum kemari, Tomura tidak mau tahu juga.

"Langsung saja. Chisaki, aku ingin kita bekerjasama."

Lelaki yang disebut Chisaki itu hanya tersenyum sambil menyuruh salah satu wanitanya menyambut Tomura. Ia mempersilakan Tomura duduk di sofa, lanjut disuguhi dengan bir terbaik di kota ini.

"Jangan buru-buru, Shigaraki. Kita bicara pelan-pelan. Apa yang membuatmu berubah pikiran?"

Pemimpin Delapan Perintah Kematian, Chisaki Kai. Dia adalah salah satu pilar utama kota Ten. Ada empat penguasa kota ini, dan Kai merupakan yang terkuat di antara mereka karena menguasai banyak distrik daripada yang lain. Organisasinya melakukan bisnis dengan Aizawa Shota—salah satu buronan sejak lama yang berkecimpung dalam perdagangan manusia. Ada rumor bahwa ia juga menjual anggota keluarganya demi uang.

Lelaki yang mengerikan.

Tomura tidak terlalu mengenalnya. Tapi Kai selalu menawarinya kesempatan masuk ke organisasi miliknya. Ia tahu potensi Tomura, meski selalu berakhir dengan penolakan hingga kepergiannya.

"Aku ingin mengembangkan penelitianku. Dana yang kami dapatkan tidak akan cukup mencari materi. Jalan terbaik adalah ikut bersamamu, agar aku tidak khawatir."

Kai selalu terlibat dengan berbagai macam perdagangan ilegal. Itu artinya Kai juga bisa menyalurkan Nomu buatannya ke mana-mana. Itu adalah hal yang ingin dicapai Tomura, membuat kekacauan hingga para pahlawan itu tidak berkutik. Dengan begitu, hanya masalah waktu hingga ia bisa membebaskan Dabi.

Kai terkekeh. "Kau minta jaminan apa? Uang? Wanita? Katakan saja padaku. Tentu saja aku menerimamu dengan senang hati."

Tomura tidak butuh jaminan keselamatan selama ia berada di dekat sang pemimpin. Apalagi dia penguasa di kota ini. Tomura akan baik-baik saja.

"Aku butuh informasi dari luar, tanpa kecuali."

Informasi masuk ke tempat ini sedikit tidak dianggap. Orang-orang sibuk mengurus hidupnya sendiri. Tapi dengan posisi Kai, Tomura hanya membutuhkan itu.

"Tunggu, lalu apa jaminan untukku? Bisa saja kau pergi lagi tanpa sepengetahuanku."

"Kau boleh memenggal kepalaku bila itu terjadi, Chisaki. Aku bersumpah tidak akan lari."

Kai menyeringai. "Aku suka jawabanmu. Kau bisa bekerja besok. Malam ini menginaplah di rumahku."

Tidak apa, ini hanyalah harga kecil untuk idealismenya. Ini tidak sebanding dengan apa yang dirasakan Izuku atau Dabi. Ia butuh kekuatan lebih untuk membalaskan dendamnya terhadap para pahlawan.

"Terima kasih, Chisaki."

"Mari kita bersulang, Shigaraki."


bersambung


Balasan review


hanazawa kay : memang tyda mungkin tapi terima kasih sudah membaca!


aine kuraine : uwuwuw makasih pembaca setiaqqqq sini q cium /emoh. More be like Dabi tuh kesannya kek kakak aja sih mauku tapi kalo mau halu juga dipersilakan *G. Yup betul romens cm bumbu penyedap karena aq ga pengalaman soal cinta *hoax.

Terima kasih sudah membaca juga buat jejaknya *kiss


tb-chan : ripiu panjang amat, w yang rabun ini pusing bacanya wkwkw tapi seneng *maunya apa. Makasih buat komennya (ceritanya gw gatau ini elu fi) buat suffix aq lupa pernah ada temen yg bilang itu tetep harus diitalic karena kata asing (?) gt jadi aq masih pake patokan temenq *Y. Pasti diselesaikan cm males nulis *yhapan. Kenapa bawa2 Dorothy sih kenapa dia kan bocah fandom sebelah *yYyyY.

Makasih jejaknya


shirocchin : jangan labil dong ndoro katanya rikues slight dabideku terus w kasih malah kejet2, ga konsisten :"0 sori no 3sum karena w penganut happily ever after oq :"0 makasih ripiunya ya ndoro aq jadi semangat lanjutin WQWQWQ gwsa muji2 ah padahal sendirinya author pemes :"0

Wikwik mereka paling w skip #dipecat


Too long A/N ( bisa diskip aja. ) :

Gw pusing karena ngetik ini harus bolak-balik baca 4 chapter sebelumnya. Wkwkw. Yaampoon. Habis ini mau ngebudacc Lumiere dulu.

Buat yang gak sadar kenapa saya nyebut "Cinderella" di chapter pertama karena saya bikin ini emang terinspirasi dari script pentas opera Cinderella pada tahun 2008 di Prancis. Pentas ini dibagi menjadi 4 babak. Buat lebih jelasnya kek gini

Chapter 1 : kata kuncinya adalah "Attracting the prince." alias chapter ini hanya untuk pembuka babak selanjutnya

Chapter 2 : kalau masih ingat bahwa Izuku mengutarakan isi hatinya yang jatuh cinta pada Shouto. Ini merujuk pada babak dua "The young prince and the girl fall in love at first sight,but soon midnight strikes and Cinderella must leave." Tapi cuma dibuat one-sided. Shouto gak tahu siapa Izuku sebenarnya.

Chapter 3 : ini gabungan babak 1 dan babak 3 dalam scriptnya.

- While Cinderella is sleeping, the Fairy Godmother uses the opportunity to dress the girl in a magnificent gown, putting a glass slipper on her foot so that she will not be recognized. Cinderella promises to return at midnight and leaves for the ball. [ 1 ]

Ini soal janji yang dia langgar sama Himiko. Himiko cuma menginginkan Izuku hidup normal, tidak seperti dirinya. Dia memberi Izuku tempat, memberinya perasaan sebagai sahabat. Tapi ... semua sudah terlambat. Ini juga muncul di chapter empat saat Himiko tahu bahwa Izuku justru jadi penjahat.

- Cinderella is overcome with emotion.

Regaining her senses, she evokes her dead mother and, weary of life, rushes beneath the Fairies' oak to die. [3]

Buat Izukunya cuma sampai emotion itu. Setelah itu [Regaining dst] adalah cerita Himiko yang ditinggal ibunya dan ngerasa hampa sebelum kenal Izuku.

Chapter 4 : diambil dari babak 3 part 2

- Unable to see each other, the lovers recognize one another by their voices

Ini mepet banget tapi ini adalah bagian akhir di chapter 4. Shouto tidak bisa melihat Izuku sebagai penjahat, he still did'nt believe it. Begitu pula Izuku, dia juga pasti gak mungkin percaya kalau Shouto sebenarnya adalah Hiro (sosok palsu yang ditemuinya di taman)

Hanya saja, mereka cuma ngerasa bahwa tatap muka mereka saat itu adalah bagian dari "takdir"

Dan di chapter 5-6 bakal make

- It is announced that the Prince is seeking the owner of the mysterious slipper

Shouto nyari sendiri pemilik topeng kaca /bukan/ maksudnya pemilik kain yang selama ini jadi topengnya Izuku dengan investigasi mandiri (?).

Kalo urut harusnya emang tamat di chapter depan tapi sejujurnya gw sendiri gak ada bayangan. Jadi bakal dikerjakan tetapi pakai acuan kisah Cinderella berbagai versi. Kebetulan yang gw ambil ini pake script yang paling beken aja wkwkkw. Kalo enggak ya paling gw campur lagi kek chapter 3. Atau mungkin ini bisa pake fairytales lain buat referensi ?

Mengejutkan? Gw sendiri kaget nulis gini. Wkwkkw.

Thanks for read.