Tandrato

:

Rivals: The Worst Incarnation Knight

:

Chapter 1

Orang Pelengkap

:

Karakter : Naruto

Genre : Adventure & Magic

Disclaimer : Naruto—Masashi Kishimoto & High School DXD—Ichie Isibumi

:

Warning: Cerita ini mungkin akan keluar dari ekspetasi kalian. Tapi mohon untuk tetap menikmati karyaku ini. Fanfiksi ini sarat akan OOC, dan beberapa kesalahan minor jadi harap dimaklumi.


]]==[CHAPTER 1]==[[

:

:

:

Aku menarik keluar salah satu pedang milikku dan menyiagakan diri. Tubuhku mulai berkeringat. Namun bukan karena suhu di sekitar akademi ini yang panas, melainkan karena situasi yang sedangku hadapi.

Tapi jangan salah, ini bukan keringat dingin. Aku hanya sedang terbakar oleh semangat saat mengetahui bahwa dia—gadis berambut indigo dengan kulit yang putih bak porselen—akan menjadi lawan tandingku sore ini.

Gadis yang akrab disapa Hinata itu hanya berdiri memandangiku bosan dengan sebilah pedang ditangannya. Ekspresinya seakan mengatakan bahwa ia sama sekali tidak tertarik pada pertandingan ini. Atau mungkin saja ia hanya meremehkanku. Menurutku itu wajar sebab ia adalah salah satu dari 3 siswa terbaik akademi kesatria ini. Sementara aku berada pada urutan paling terakhir. Dalam kata lain, akulah yang paling lemah di sini.

Lalu kenapa aku bisa mendapatkan lawan sepertinya? Mudah saja, karena ini adalah tuntunan takdir. Lawan yang akan kami hadapi ditentukan lewat undian. Kebetulan saja nomor undianku dan Hinata sama. Mau tidak mau kami berdua menjadi lawan tanding.

Seharusnya tidak ada yang perlu kukhawatirkan dalam pertandingan ini selain menang atau kalah. Bagaimanapun ini hanya pertandingan biasa untuk melihat sejauh mana kami berkembang. Tidak mungkin aku bisa terluka parah karena pertandingan ini... seharusnya. Apalagi ada instruktur ahli yang mengawasi pertandingan kami.

"Sepertinya ini kali kedua kita bertemu sebagai lawan bukan? Aku mengharapkan kerja samamu dalam latih tanding ini, Hinata-san," aku membuka percakapan sebelum pertandingan di mulai.

"Berhentilah berbicara padaku seolah kau adalah lawan yang pantas. Sepertinya hari ini aku benar-benar sial," jawabnya sinis.

Mendengar perkataan itu, aku hanya bisa tersenyum hampa. Benar-benar kasar dan menyayat hati. Namun perlakuan seperti ini sudah sering kuhadapi. Jadi bisa dikatakan bahwa aku sudah sedikit lebih terbiasa dengan ucapan yang setajam mata pedang tersebut.

"B-Benar juga ya? Jika dipikir-pikir Sepertinya aku juga sial karena harus menjadi lawanmu." Sambil mempertahankan sikap tersenyum, aku berbicara padanya dengan nada sesopan mungkin.

"Sudah cukup! Berbicara denganmu hanya membuatku tambah kesal. Sadarlah posisimu!" Tatapan matanya menjadi semakin tajam.

Melihat itu, aku menyembunyikan senyum palsu dari wajahku dan mulai bersikap serius. Sepertinya percakapan ini hanya membuatnya semakin kesal dan semakin ingin menghabisiku. Matilah aku kalau dia sampai serius. Bagaimanapun, kekuatan kami bagai langit dan bumi.

"Pertandingan terakhir. Uzumaki Naruto melawan Hyuuga Hinata... Dimulai!"

Dengan aba-aba dari instruktur kami, pertandinganku melawan gadis itupun dimulai. Keadaan di arena ini pun mulai menenggang. Terutama dari sudut pandangku.

Dari keseluruhan strategi yang kupikirkan, mungkin menyerang pertama kali adalah strategi terbaik. Mendapat serangan dadakan darinya tentu akan berakibat fatal pada persentase kemenanganku. Apalagi jika serangan pertamanya memakai sihir, aku pasti akan kalah olehnya dalam hitungan detik.

Jadi seperti yang telah diputuskan. Dengan sebilah pedang ditangan kananku, aku berlari dengan sangat cepat; maju menuju Hinata dengan posisi pedang yang siap menebasnya.

Meskipun melihatku sedang menuju ke arahnya, ia tampak tak khawatir sedikit pun. Dari sorotan matanya membuatku sadar bahwa ia tidak menganggapku sebagai lawan yang pantas. Bahkan mungkin juga bukan seorang lawan yang dapat membuatnya bersiaga. Padahal aku sudah meningkatkan kecepatanku.

Namun begitu aku hendak menebasnya, dengan cepat dan cermat ia menangkis seranganku. Begitu mudah hingga membuat seluruh anggota tubuh kecuali tangannya tidak bergeming sedikit pun. Hal tersebut membuatku nyaris berputus asa. Bagaimana tidak, teknik menebas yang kuyakini cukup cepat itu tidak cukup untuk membuatnya kewalahan.

Baginya mungkin serangan milikku tersebut terlihat lambat dan mudah diprediksi arahnya. Aku tidak bisa menutup kemungkinan bahwa serangan miliknya bisa saja jauh lebih cepat dan mematikan.

Tak hanya berhasil menangkis seranganku, ia bahkan memukul pedangku dan membuatnya terlempar jauh ke belakang. Memanfaatkan kesempatan saat aku sedang tak bersenjata, ia dengan santainya bersiap untuk menebasku dengan serangan vertikal.

"D-Dia serius? I-Ini kan Cuma latih tanding!" batinku panik. Tentu saja melihat posenya yang seperti itu, bisa kuasumsikan bahwa ia memang berniat mengalahkanku secepat mungkin. Akan tetapi, seharusnya dia memikirkan konsekuensinya. Salah sedikit saja aku bisa terbunuh. Atau mungkin saja ia memang tidak peduli?

Ahh, aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal itu. Jika tidak kuatasi, bisa-bisa pertandingan ini terhenti karena seseorang memuncratkan darah dari kepalanya. Karena itu, aku segera menarik keluar pedang keduaku. Dengan cepat menangkis serangannya sebelum mengenai kepalaku.

Bersamaan dengan percikan api yang terbentuk dari benturan 2 senjata, Hinata segera menarik mundur senjatanya dan segera melancarkan serangan berikutnya. Serangan itu adalah serangan yang menebas lawan dari kiri ke kanan. Namun itu bukan masalah. Aku masih bisa menangkisnya. Tapi kali ini, aku bisa merasakan tenaga yang ia keluarkan jauh lebih besar dari sebelumnya. Karena gagal melancarkan serangan kedua, Hinata terlihat mengambil langkah mundur.

Saat aku memikirkan soal tenaganya yang meningkat, tanpa kusadari ia sudah bersiap melancarkan serangan berikutnya. Dengan bilah pedang yang dihorizontalkan di sisi kanan tubuhnya, ia berlari ke arahku dan bersiap menebas tubuhku. Dengan serangan seperti itu, jika aku lengah maka luka yang sangat dalam bisa terbentuk di perut.

Serangan itu mungkin terlihat sebagai serangan yang kuat, namun sebenarnya serangan tersebut cukup sederhana untuk ditangkis. Yang dibutuhkan hanyalah posisi pedang yang diletakkan secara vertikal di depan tubuh dan di saat bersamaan memastikan adanya cukup tenaga untuk menahan serangan tersebut. Dengan teknik itu, aku sukses menahan serangannya.

Namun dalam praktiknya, tidak semudah itu untuk menahan serangan tersebut. Beberapa faktor tidak terduga dapat mengubah hasil yang seharusnya sudah pasti. Aku merasakan kekuatan luar biasa saat pedangnya membentur pedangku. Bahkan sampai membuatku terseret mundur sekitar 1 meter. Tidak aku sangka jika ia akan menyisipkan kekuatan sihir dalam melancarkan serangan tadi. Bayangkan saja jika aku sampai gagal menahan serangannya, mungkin saja tubuhku akan terbelah menjadi 2.

Menyadari serangannya berhasil kupatahkan, Hinata melompat mundur yang seketika membuat jarak kami berjauhan. Sorotan matanya terlihat tajam saat ia menatapku. Tidak lupa juga sedikit terlihat ekspresi kesal di wajahnya. Tidak perlu dijelaskan lagi alasan kenapa ia kesal. Sudah pasti itu karena aku berhasil menahan serangannya. Tapi yang benar saja. Kau benar-benar ingin membunuhku?

Melihat adanya kelonggaran jarak, aku memanfaatkannya untuk mundur dan mengambil pedangku yang terlempar. Aku tidak bisa bertarung dengan kekuatan penuh jika hanya memakai 1 pedang karena aku adalah tipe kesatria pengguna pedang ganda. Padahal sebenarnya aku sudah cukup serius meski hanya memakai 1 pedang. Namun terlalu berbahaya jika menghadapinya dengan hanya sebilah pedang.

Lalu kenapa sejak awal aku hanya memakai 1 pedang? Alasannya sederhana. Itu merupakan strategiku untuk bisa mengimbangi kemampuan lawan. Itu karena pedang yang lain bisa kupakai sebagai pedang cadangan. Dengan begitu, aku bisa menghindari situasi buruk seperti tadi. Situasi di mana kepalaku nyaris terbelah 2 hanya karena pedang yang aku genggam terlempar berkat serangannya.

Setelah memegang dua pedang, aku memasang posisi kuda-kuda sambil memperhatikan pergerakan Hinata dengan intens. Dengan rencana untuk memperhatikan setiap gerakan tubuhnya lalu memprediksi tindakan apa yang akan ia lakukan untuk mengalahkanku. Namun sejauh yang kulihat darinya, ia hanya berdiri diam di sana sambil memperhatikanku dari kejauhan. Kurasa kami berdua memikirkan hal yang sama.

"Dua pedang. Sepertinya kau sudah memutuskan untuk bertarung sekuat tenaga. Apa sekarang kau sudah menyadari perbedaan kemampuan kita?"

"Heh? Kau berbicara padaku? Apakah aku sudah kau anggap sebagai lawan yang pantas?" Aku memutuskan untuk menginjak ranjau.

Padahal sebelumnya aku berusaha berbicara sesopan mungkin untuk menghindari "Hinata yang serius". Akan sangat gawat jika aku harus bertarung melawan salah satu siswa terbaik di akademi ini dalam mode serius. Namun sekarang, berbicara sesopan mungkin tidak akan mengubah situasi. Padahal aku hanya dengan bertarung dengannya. Namun gerbang emosi gadis itu terbuka dengan sendirinya.

Karena sudah terlanjur, aku memutuskan untuk menginjak ranjau. Kenapa aku melakukannya? Karena menurut kebanyakan teori yang kubaca, seseorang yang bertarung di bawah pengaruh emosi memiliki pertahanan yang rentan. Aku ingin membuktikan teori tersebut.

"Jangan bercanda! Kemampuanmu tidak ada apa-apanya. Bertarung dengan orang lemah sepertimu adalah hinaan bagiku. Kali ini akan aku mengalahkanmu lebih cepat! "

Setelah berkata seperti itu dengan nada kesal, ia melesat dengan cepat ke arahku. Pergerakannya mungkin di bantu oleh sihir sehingga tampak lebih cepat dari gerakan manusia biasa. Melihatnya saja sudah membuatku yakin bahwa seranganku tadi sanggatlah lambat.

"I-Ini dia, Hinata mulai serius!"

"Nona Hinata, berjuanglah!"

"Jangan beri ampun. Hajar dia!"

"Berikan pelajaran bagi si tambahan itu!"

Situasi mulai gawat. Para penonton mulai gaduh. "Hinata yang serius" sudah muncul di mata mereka. Namun dimataku, gadis ini masih belum serius melawanku. Ia harusnya tahu kalau berpedang adalah satu-satunya keterampilan yang sudah kukuasai dengan sangat baik. Tentu tidak semudah itu untuk mengalahkanku.

"Datanglah! Hinata!" seruku yang kemudian di balas oleh serangan bertubi-tubi Hinata. Kami pun saling menangkis dan melesitkan serangan dengan kecepatan yang tinggi.

Tang... Tang... Tang... Trang...!

Pedang kami saling berbenturan. Pada serangan terakhir itu, tenagaku terpusat untuk menyerang pedang milik Hinata sekuat tenaga. Hinata sepertinya memikirkan taktik yang sama. Taktik itu dimaksud untuk membuat lawan menjatuhkan pedangnya karena getaran yang amat kuat saat pedang saling berbenturan.

Aku akui bahwa benturan itu terasa meremukkan pergelangan tanganku. Tak lupa juga suaranya yang seakan menyayat telinga. Tapi baik aku maupun Hinata masih sekuat tenaga menahan dan saling mendorong pedang satu sama lain.

Pedang di tangan kiriku sengaja kujatuhkan agar aku bisa memfokuskan tenaga pada kedua tangan ke salah satu pedang. Dalam kecepatan serangan seperti tadi, tentu saja aku tidak punya waktu untuk menaruh pedang itu dengan rapi ke sarungnya. Membuangnya pastinya adalah pilihan tercepat. Tapi sekarang aku menyesalinya.

Jika saja aku menyimpannya, maka posisi ini akan sangat mudah kumenangkan. Padahal aku bisa dengan cepat meraih pedang kedua dan menyerangnya. Itu mungkin keunggulanku sebagai pengguna pedang ganda. Namun kesempatan itu hilang karena tindakanku. Pedang itu kini telah tergeletak tepat di sampingku. Tapi berusaha mengambilnya merupakan risiko yang besar.

Tapi, aku tidak bisa bertahan dalam posisi ini terus menerus. Tanganku mulai lelah. Lalu kalau gadis itu? Aku tidak mengetahui kondisi tubuhnya secara pasti. Jika keadaannya sudah seperti ini, mungkin penentunya adalah daya tahan siapa yang lebih baik. Jika seperti itu maka pemenangnya sudah tampak jelas. Yaitu dia. Alasannya sederhana, ia memakai sihir untuk memperkuat setiap serangannya. Dalam artian lain, ia tidak memakai tenaga penuhnya untuk melawanku.

Itu tidak adil? Sayangnya tidak ada kata adil atau tidak dalam pertarungan antar kesatria sihir. Yang ada siapa yang lemah akan dikalahkan oleh yang kuat. Dalam hal ini, yang lemah akan sangat mustahil untuk bisa mengalahkan yang kuat. Ini adalah kesalahanku sendiri yang tidak bisa memakai sihir dengan baik. Padahal aku adalah kesatria dan terlebih lagi aku berada di divisi kesatria inkarnasi, kesatria sihir dengan kekuatan yang jauh lebih besar dan lebih merusak ketimbang kesatria sihir biasa.

Lalu apa yang harus kulakukan agar keluar dari posisi ini? Menyerah dan membiarkan serangannya mengenaiku? Tentu tidak. Itu menyakitkan. Aku sudah tidak ingin berdarah karena pedang. Sudah cukup dengan yang namanya kesatria. Yang harus kulakukan adalah mengerahkan segalanya untuk bertahan hidup selama masih berada di akademi terkutuk ini.

Karena itulah, dengan nekat aku melemahkan dorongan pada pedang ditangan kananku dan berusaha memiringkan badan untuk meraih pedang yang berada di sampingku. Tindakanku ini dikatakan nekat sebab ketika aku melemahkan dorongan, maka serangan Hinata bisa langsung mengenaiku.

Berkat kenekatanku, aku berhasil mengambil pedang tersebut. Namun di saat yang sama pedang Hinata sudah nyaris mengenai pundakku. Bukan berarti aku akan membiarkan pundakku terluka. Sudah kukatakan kan kalau aku tidak ingin terluka lagi oleh pedang. Karena itu, aku mengubah cara memegang pedang di tangan kanan dan membuat pedang tersebut bisa lurus dari pergelangan tangan hingga pundak. Taktik ini sukses membuat serangan Hinata membentur pedang tersebut sehingga pundakku sama sekali tidak terluka.

Di saat yang sama, aku memakai pedang di tangan kiri untuk menebas Hinata. Serangan tersebut berhasil mengenainya untuk pertama kali. Aku berhasil menyayat sisi kanan dari perutnya. Tetapi sangat mengecewakan bahwa serangan itu sama sekali tidak merusak pakaiannya. Padahal sudah kupastikan dengan jelas bahwa aku benar-benar menyayatnya.

Kurang kuat? Tidak. Itu semua karena pakaian yang kami kenakan. Pakaian kami bukanlah pakaian biasa. Namun pakaian yang dialiri oleh energi sihir kami sendiri sehingga bisa mengurangi dampak dari serangan benda tumpul maupun serangan benda tajam. Namun jika saja tadi aku mengalirkan energi sihir pada pedangku walau hanya sedikit, seharusnya pakaiannya akan sobek Sial! Padahal itu bisa menjadi bukti bahwa aku berhasil menyerangnya.

Karena Merasakan seranganku tadi, Hinata mundur dengan cepat. Terlihat tangannya menyentuh area yang berhasilku serang. Ia menyadari sesuatu. Ya, tidak berdarah. Mungkin karena itu, sekarang ia memasang senyum lega yang tampak mengejek padaku.

"Apa kau lupa soal seragam kita, orang tambahan?"

"Tentu saja tidak. Dan jangan panggil aku dengan sebutan itu!" aku memandangnya dengan kesal.

"Apa aku salah? Kau memang orang tambahan. Kau diterima di divisi ini karena kebetulan kau adalah seorang inkarnasi yang bisa mengisi kekurangan kami."

Mendengarnya berbicara seperti itu membuatku kesal. Aku benar-benar tidak suka dengan julukan tersebut. Lagi pula aku masuk ke sini bukan karena keinginanku sendiri.

"Aaahhh! Apa kau sudah menganggapku sebagai lawan yang pantas. Kau berbicara panjang lebar padaku?" Lagi, aku dengan sengaja menginjak ranjau untuk kedua kalinya. Namun kali ini atas dasar kesal. Jadi sepertinya aku yang terbawa emosi.

"Ya, benar sekali. Aku sudah menganggapmu sebagai lawan yang pantas," ucapnya tanpa keraguan.

"Ohh, senangnya," ucapku datar. Namun jujur aku sedikit terkejut.

"Lawan yang pantas untuk kuhancurkan dengan sihir terkuat milikku!"

Oh, jadi ini maksudnya. Aku sepertinya sudah berada pada posisi yang benar-benar gawat.

Setelah mengatakan itu, Hinata berlari menjauh dariku. Ia terlihat mengumpulkan tenaga dengan pose memegang pedang dengan kedua tangan saat pedang itu ditancapkan ke tanah. Matanya tertutup dan wajahnya menunjukkan keseriusan.

Melihatnya entah mengapa membuatku merinding. Terlebih lagi saat ini entah mengapa suhu terasa naik. Aku mulai berkeringat karena panas. Rambut Hinata terlihat mulai terurai seperti tertiup angin. Namun itu bukanlah karena angin, melainkan karena gelombang panas yang ia ciptakan di sekitar tubuhnya.

Para siswa yang lain atau sebut saja sebagai penonton mulai riuh. Mereka menyoraki Hinata dengan penuh semangat. Seperti menaruh harapan yang tinggi pada Hinata untuk memusnahkanku.

Aku benar-benar tidak tahu serangan macam apa yang akan dilancarkan oleh Hinata. Namun, gelombang panas yang ia keluarkan ini terasa begitu menyengat. Apa mereka sama sekali tidak merasakan panas ini? Jujur saja, panas ingin membuatku ingin segera berendam di air dingin.

Situasi yang buruk ini ternyata dapat berubah menjadi lebih buruk dengan cepat dari yang kuduga. Dapat kurasakan ketika Hinata merentangkan kedua tangannya ke depan. Di saat yang bersamaan, api muncul dari depan telapak tangannya. Terlihat sangat padat dan terasa sangat panas.

Keterkejutanku tidak berhenti sampai di situ. Ketika ia membentangkan kedua tangannya, api tersebut pun ikut meregang mengikuti tangannya. Perlahan memadat lalu membentuk sebuah busur berwarna jingga dengan bentuk yang tidak biasa. Perasaan buruk yang kurasakan sebelumnya kini menjadi kenyataan.

"I-Itukan!"

"Tidak mungkin. Teknik pemanggilan senjata!?"

"Seperti yang diharapkan dari Nona Hinata."

"Dia benar-benar serius."

Tidak perlu mendengarkan perkataan mereka. Dengan hanya melihat saja aku bisa mengetahui bahwa posisiku benar-benar tidak menguntungkan. Teknik itu seharusnya benar-benar sulit untuk dikuasai. Teknik pemanggilan senjata, teknik yang membuat penggunanya dapat membentuk senjata dari elemen miliknya. Senjata yang dibentuk biasanya merupakan senjata yang menggambarkan jati diri si pengguna. Dalam kata lain, senjata tersebut memiliki hubungan yang erat dengan sifat dan berbagai hal lain yang berkaitan dengan penggunanya.

Bahkan saat ini instruktur kami sedang terpukau pada Hinata yang mampu menguasai teknik itu di usia yang cukup muda. Walaupun sebenarnya bagi klan hyuuga, teknik pemanggilan senjata merupakan teknik sihir yang lumrah dan wajib dikuasai oleh semua anggota klan. Tidak heran jika Hinata bisa menguasainya di usia seperti ini.

Bagiku yang tidak bisa memakai sihir dengan benar pastinya sangat luar biasa mustahil untuk menguasai teknik itu. Aku akui bahwa gadis ini benar-benar hebat. Bahkan jauh lebih hebat dari si peringkat pertama, Uchiha Sasuke.

Satu lagi fakta mengejutkan kudapat dari pertarungan ini. Hinata yang notabenenya ahli dalam memanah tidak membawa senjata andalannya dalam pertarungan ini bukan karena sekedar meremehkanku. Namun karena ia bisa menggunakan teknik ini. Sudah sangat jelas kenapa ia tidak membawa senjata andalannya jika ia bisa memakai teknik ini. Sudah pasti ia tidak perlu membawa senjata asli karena tekniknya jauh lebih praktis

"Bersiaplah, orang tambahan!" Dengan tatapan yang tajam, ia membidik ke arahku.

Saat ini mungkin tidak terlihat adanya anak panah yang dipegangnya. Namun ketika ia mulai menarik tali busur tersebut, api muncul dan membentuk sebuah anak panah. Bukan anak panah biasa, namun anak panah dengan api yang membara.

Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Sekali ia menembakkan panah itu ke arahku, aku bisa terbakar sampai hangus. Tapi apa ia benar-benar serius ingin menembakkan panah itu padaku. Sambil berpikir seperti itu, aku menatap instruktur. Ia hanya membalas tatapanku dengan ekspresi yang seakan mengatakan "Anak yang malang"

"Oi, yang benar saja. Kau tidak mau melakukan sesuatu, Iruka-sensei?" tanyaku dengan nada keras pada instruktur tersebut

"Selama pertandingan ini belum selesai, aku tidak bisa ikut campur. Itu semua demi menghormati prinsip kesatria yang sudah dibangun sejak dulu. Harusnya kau tahu itu, Naruto. Semua tergantung padamu apakah kau mampu bertahan atau tidak. Tapi jangan khawatir. Jika kau terluka parah, bapak akan mengusahakan untuk memberimu pengobatan terbaik."

Dengan mengatakan itu, ia seakan sudah melepasku. Hilang sudah harapan. Yang tersisa hanyalah apakah aku mampu bertahan hidup atau tidak. Jika aku mati, akan kupastikan kalian akan kugentayangi sampai mati. Terutama kau, Hinata.

Sambil membatin, aku menyiagakan kedua pedangku. Berusaha mengalirkan energi sihir ke pedang berharap dengan pedang yang dilapisi energi sihir, aku mampu menangkis serangan panah api itu.

"Silakan lepaskan! Aku siap kapan pun!" Aku berteriak penuh putus asa. Namun tidak seputus asa itu untuk membiarkan panah itu membakarku tanpa perlawanan. Dengan satu tarikan nafas, aku melepaskan semua energi sihir yang kubisa ke pedang.

Sementara itu, Hinata mulai melancarkan serangannya setelah anak panah tersebut menjadi semakin besar. Gelombang api pun terbentuk saat panah itu dilepaskan. Seakan menelan semua udara di sepanjang lintasannya, anak panah dari api itu menjadi semakin besar dan cepat sebelum akhirnya berbenturan dengan pedangku.

"Aahhhhhhh!" Aku menahan serangan itu sekuat tenaga dengan pedang yang telah kulapisi kekuatan sihir. Bahkan aku juga meningkatkan energi sihir pada pakaianku untuk memperkuat pertahanan. Namun seakan tidak berguna, api itu langsung menghantamku dengan sangat kuat. Membuatku terhempas jauh ke belakang.

Kedua pedangku sudah terbuang entah ke mana. Rasanya ini sangat menyakitkan. Terlebih lagi saat tubuhku terseret beberapa meter setelah menyentuh tanah. Aku juga merasakan seluruh tubuhku di penuhi rasa panas. Mungkin ini efek dari serangan api miliknya.

Ingin rasanya aku memastikan apakah tubuhku terbakar atau tidak. Namun aku tidak punya tenaga yang cukup untuk mengangkat tangan ataupun kepalaku. Yang bisa kulakukan hanyalah mencium aroma seperti rambut yang terbakar. Apakah itu rambutku? Aku benar-benar penasaran.

Seseorang mendatangiku. Dari langkahnya ia terdengar ia berjalan dengan santai. Ia berhenti saat aku bisa melihat wajahnya. Ternyata dia Hinata. Dengan ekspresi puas dengan apa yang dilihatnya, ia berkata padaku.

"Ternyata kau tidak terbakar. Sepertinya aku berhasil menahan diri untuk tidak membakarmu hidup-hidup."

Aku menatapnya penuh kebingungan. Sebenarnya apa maksud perkataannya. Menahan diri? Tidak mengeluarkan seluruh kemampuan? Yang benar saja, kau nyaris membunuhku dengan elemen api sekuat itu.

"B-Bukan berarti aku mengkhawatirkanmu. Aku hanya tidak mau membakar orang sepertimu sampai mati. Itu bisa menjadi masalah untuk keluargaku."

Ketika aku menatap dirinya sebagai respons bingung terhadap perkataannya. Hinata memalingkan wajah lalu pergi merayakan kemenangan bersama siswa lain yang mendukungnya.

Mendengar sorakan-sorakan kemenangan yang ditunjukkan kepada Hinata membuatku merasa tersisihkan. Yah, mau bagaimana lagi. Aku memang masih terbaring lemah di tengah arena. Tidak ada seseorang yang datang untuk sekedar membantuku berdiri. Namun aku terlalu berharap. Alih-alih membantu, mereka bahkan tidak memandangku. Lagi pula, aku tidak memerlukan bantuan untuk berdiri sebab kondisiku saat ini cukup parah. Mataku mulai terasa berat untuk tetap terbuka. Rasanya kesadaranku perlahan mulai hilang.

Sial, aku kalah lagi darinya. Apa aku memang selemah ini? Mungkin saja aku memang lemah. Faktanya, 9 dari 10 orang di akademi ini menganggapku lemah. Lalu siapa 1 orang yang tidak menganggapku lemah? Ya, itu adalah aku sendiri. Wajar bukan jika aku tidak menganggap diriku lemah. Jika aku menganggap diriku sendiri lemah, maka aku akan kehilangan motivasi untuk menjadi lebih kuat.

Sebagai salah satu pemuda di kerajaan ini yang dianggap memiliki kekuatan sihir yang tidak biasa, aku dicap sebagai anak inkarnasi. Karena kekuatan itu, aku diwajibkan masuk ke akademi ini. Tepatnya ke dalam divisi Kesatria Inkarnasi untuk belajar menguasai kekuatan sihir tersebut.

Namun bukannya menjadi kesatria yang hebat, aku malah menjadi yang terlemah hanya karena aku memiliki energi sihir yang jauh lebih sedikit ketimbang siswa lain. Ditambah fakta bahwa aku tidak bisa memakai sihir dengan benar. Dengan alasan itu, aku dicap sebagai kesatria yang gagal.

Aku selalu mempertanyakan kenapa aku tidak dikeluarkan saja. Padahal itu mungkin pilihan terbaik terutama bagiku yang memang sejak awal tidak berharap bisa berada di sini. Namun jawaban yang selalu kudapat adalah mereka tidak akan melakukannya. Alasannya cukup kompleks.

Satu dari sekian alasan itu adalah karena sistem militer di kerajaan ini bisa dikatakan cukup unik. Terutama sistem yang berhubungan dengan Kesatria Inkarnasi. Salah satu sistem tersebut adalah sistem partner, yaitu sebuah sistem tim berbasis 2 orang. Tentu saja sistem ini memerlukan jumlah kesatria inkarnasi dalam jumlah genap.

Dalam pembentukannya pun tidak dilakukan dengan sembarangan. Sebuah sistem sihir dengan algoritma yang kompleks digunakan untuk menentukan pasangan partner tersebut. Hal ini dilakukan tidak hanya dengan melihat kemampuan dan jenis kelamin, namun semua faktor yang berkaitan dengan para kesatria Inkarnasi seperti DNA dan energi sihir akan di perhitungan untuk mendapatkan daftar pasangan dengan persentase kecocokan tertinggi.

Hal ini menjadi alasan mengapa aku masih dipertahankan di sini. Namun tentu saja itu bukan alasan yang kuat. Ada alasan lain yang menyebabkanku harus tetap berada di sini. Alasan tersebut adalah karena aku adalah seorang inkarnasi, seseorang dengan kekuatan sihir yang tidak biasa.

Mengapa dikatakan tidak biasa? Karena pada umumnya di dunia ini terdapat 2 jenis sihir, yaitu sihir putih dengan energi positif dan sihir hitam dengan energi negatif. Sihir yang dimiliki oleh kebanyakan manusia adalah sihir putih. Sementara para inkarnasi sejak lahir memiliki 2 jenis sihir tersebut. Namun kelahiran seseorang yang disebut sebagai inkarnasi sangatlah langka.

Kesatria sangatlah erat dengan yang namanya sihir. Karena dapat memakai sihir, para kesatria tersebut sering di sebut sebagai kesatria sihir ataupun penyihir. Sementara itu, kesatria bukan hanya merujuk pada satu jenis. Namun ada 2 jenis kesatria yaitu Kesatria Sihir dan Kesatria Inkarnasi.

Mereka yang disebut sebagai kesatria sihir merupakan seseorang yang dilatih untuk menguasai kekuatan sihir putih yang ada pada diri mereka. Namun sihir putih ini bukanlah sihir yang kuat. Dengan sihir ini, para kesatria hanya dapat memakai teknik sihir dan merapalkan mantra-mantra sederhana.

Sementara kesatria inkarnasi merupakan kesatria khusus yang terdiri dari para inkarnasi. Kekuatan sihir mereka jauh lebih besar dan jauh lebih berdampak dalam pertarungan. Kekuatan elemen sangat erat kaitannya dengan sihir mereka. Karenanya sihir mereka sering di sebut sebagai sihir elemen.

Namun karena kelangkaan orang yang memiliki sihir ini, kesatria inkarnasi juga sangatlah sedikit. Sementara sihir para inkarnasi merupakan kekuatan utama umat manusia dalam melawan iblis, musuh utama umat manusia di zaman ini. Dalam pertarungan melawan iblis, para inkarnasi memiliki kesempatan menang lebih tinggi ketimbang kesatria sihir. Ini dikarenakan kekuatan sihir mereka mampu menandingi kekuatan sihir para iblis.

Tidak heran jika para iblis memiliki kekuatan yang jauh lebih hebat ketimbang umat manusia. Sebab pada awalnya pun kekuatan yang dimiliki umat manusia saat ini semua bersumber dari iblis. Manusia terdahulu hanya mengambil alih kekuatan iblis yang berhasil mereka kalahkan. Namun kekuatan itu tidak bisa bertahan lama di dalam tubuh manusia. Pada akhirnya hanya energi sihir positif atau sihir putihlah yang tersisa dan bisa dikuasai oleh manusia secara penuh serta dapat diturunkan ke generasi berikutnya.

Inkarnasi sendiri merupakan sebuah keganjilan dalam pola genetik umat manusia setelah gen mereka terkontaminasi dengan energi sihir. Disebut sebagai inkarnasi karena kekuatan yang mereka miliki sangat mirip dengan iblis. Karena kemiripan dalam hal energi sihir tersebut, para inkarnasi dulu sering di sebut sebagai jelmaan iblis dan membuat mereka dijauhi dan dibenci.

Namun seiring berjalannya waktu, kebencian itu perlahan menghilang karena dipengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan, tepatnya saat manusia kembali menemukan konsep genetika yang akhirnya mengungkap misteri anak Inkarnasi. Semenjak itu, keputusan untuk menjadikan para anak inkarnasi sebagai kesatria secara resmi berlaku dan mereka tidak lagi di sebut sebagai jelmaan iblis.

Para kesatria Inkarnasi mendapat perlakuan yang sedikit lebih istimewa, entah dalam pelatihan maupun kehidupan sebagai kesatria. Itu semua setimpal mengingat kami, para kesatria Inkarnasi merupakan ujung tombak yang berkorban demi membawa umat manusia pada kemenangan melawan iblis.

Meskipun kehidupan para inkarnasi saat ini jauh lebih baik ketimbang dulu, tetap saja kebebasan tidak ada untuk kami. Kami akan selamanya terikat dengan tanggung jawab, suka ataupun tidak. Namun bukan berarti kami semua membenci takdir kami ini. Memiliki kekuatan yang jauh lebih hebat dari yang lain pasti membuat dirimu bangga bukan. Terutama aku yang sebenarnya tidak memiliki niat untuk bergabung dalam kemiliteran. Namun kehidupanku yang kuanggap damai dan tenang itu berubah sejak hari itu. Hari di mana aku mengetahui fakta bahwa aku adalah salah satu anak Inkarnasi.

Meskipun kehidupan para inkarnasi saat ini sudah menjadi jauh lebih baik ketimbang dahulu, namun tetap saja tidak ada kebebasan untuk para inkarnasi. Kami akan selamanya terikat dengan tanggung jawab dan tugas. Kami dilatih untuk menjadi kuat dan dikorbankan dalam medan pertempuran melawan iblis demi kepentingan umat manusia.

Aku dan siswa lainnya pun sama. Namun yang membedakan antara mereka denganku mungkin hanya dari segi niat. Mereka benar-benar bersemangat dan merasa terhormat menjadi salah satu dari kesatria terhebat di negeri ini. Sementara aku, yang sejak awal memang tidak ingin berada dalam kemiliteran merasa tersiksa setiap hari. Suatu hari tiba-tiba saja aku diharuskan untuk berada di akademi ini. Karenanya aku harus bertahan melewati setiap hinaan dan ejekan karena aku adalah kesatria terlemah.

Jika aku ingat-ingat, kehidupanku yang kuanggap damai dan tenang mulai berubah semenjak peristiwa itu, peristiwa yang membuatku kehilangan apa artinya kebahagiaan yang sederhana. Kebahagiaan sebelum aku mengetahui fakta bahwa aku adalah salah satu dari manusia dengan kekuatan sihir yang tidak biasa, Inkarnasi.

:

:

:

]]==[Bersambung]==[[


]]==[A/N]==[[

Semoga kalian masih mengingatku. Aku adalah Tandrato (Dulu Taufiq879) author dari cerita berjudul Si Miskin Boruto, Kehidupan Baru Boruto, dan Destined to Live With You. Di mana ketika cerita itu berasal dari fandom Naruto.

Kenapa aku memperkenalkan diri? Ya, sebenarnya aku hanya berjaga-jaga jika kalian lupa padaku. Dan juga karena aku adalah penghuni baru di fandom crossover ini. Dan lagi karena... ya, sudah lama sekali aku tidak muncul dalam dunia fanfiksi ini. Tugas dan kewajiban sebagai mahasiswa benar-benar berat sehingga membuatku harus mengambil jeda sejenak untuk fokus ke sana.

Apa ini artinya aku akan rajin update lagi seperti dulu? Well, tidak bisa janji ya. Aku menulis ini lantaran sedang memiliki waktu luang. Dan juga karena kepalaku sedang kebanjiran beberapa ide cerita. Namun tidak ada satupun ide yang merujuk pada ceritaku yang berjudul Destined to Live With You. Aku belum bisa mengupdatenya karena belum mendapat ilham (Ide)

Jadi mari kita bicarakan soal cerita ini. Kenapa aku mencoba menulis cerita ini? Karena sudah lama aku menginginkannya. Namun aku selalu terpaku pada cerita genre romance. Lalu alasan lainnya adalah karena aku ingin mencoba membuat cerita untuk fandom crossover ini atas saran dari temanku, Shiba Tatsuya.

Oh, kalian pasti merasa cerita ini terlalu memusat pada Naruto karena karakter DxD sama sekali belum muncul. Ya well, situasinya tidak mendukung untuk memasukkan mereka dengan segera. Namun tenang, mereka punya porsi sendiri di cerita ini. Namun ya, sepertinya memang cerita ini akan sedikit berpusat pada karakter Naruto.

Jika kalian suka fanfiksi crossover dari saya ini, silakan nantikan Chapter 2-nya. Akan saya update dalam beberapa hari jika tidak ada kendala. Lalu jika kalian berpikir bahwa aku salah tempat dengan menaruh fanfiksi ini pada fandom Naruto x Highscholl Dxd, maka silakan sampaikan padaku.


#AdminRFI_PublishUpdateSerentak2019
#FFNBANGKIT2019
#RFI2019