.

Another Life

.

.

.

.

Dark Eagle's Eye

Own Project

.

.

.

.

.

Genre:

Romance, Fantasy, Drama, Hurt/ Comfort, Tragedy

.

.

.

Cast:

Oh Sehun as Oh Sehun

Lu Han as Wu Luhan

And other

.

.

Pair:

HunHan

.

.

Rate:

Mature

.

.

Warn:

GS, Fantasy, Typo, DLDR, Messing EYD, Time Travelers, Tidak masuk di akal dll.

.

.

Ketika cintamu sejati, semua akan menjadi mudah. Dan segala sesuatu di atas debu adalah debu.

You were perfect tragedy and I love you.

.

.

.

.

.

Chapter; 2

Luhan menatap cermin itu dalam diam. Jantungnya berdegup cepat, memperhatikan kelinci yang mengendus-endus di kakinya, Luhan membawa kelinci itu dalam dekapannya. Melihat ke bawah dan Luhan menghembuskan nafasnya lega melihat kakinya masih menapak di sana.

Lalu ini apa, mengapa Luhan tidak mempunyai bayangan, apa Luhan sudah— mati? Luhan menggeleng cepat, tidak, tidak mungkin. Katanya meregang nyawa itu menyakitkan dan Luhan rasa dia belum merasakannya; jadi sudah jelas bahwa Luhan masih hidup.

Lalu apakah ini mimpi? Luhan tampak berpikir, dia lalu menginjak kakinya sendiri dan meringis kecil, ah tidak ini memang nyata. Lalu apakah dia berpindah dunia?! Bagaimana bisa?! Luhan mencoba mengingat-ingat apa saja yang dia lakukan sebelum berada di tempat antah berantah ini. Memejamkan matanya dan yang Luhan ingat adalah Luhan yang duduk di kamar, merenungi hidupnya dan entahlah—

Tiba-tiba tirai terbuka, sosok yang mengenalkan dirinya sebagai Sehun masuk dan menatapnya dengan malas. Luhan dengan segera melangkah menghindari cermin, dia lalu menatap Sehun kesal. Bagaimana bisa laki-laki itu begitu seenaknya! Meskipun dia di sini itu orang asing, tapi tetap saja setidaknya berikan tanda atau salam bahwa dia akan masuk. Karena bagaimana pun juga Luhan adalah perempuan, bagaimana jika saat itu Luhan sedang tidak berpakaian rapi, atau bahkan bagaimana jika dia telanjang?! Heol dasar tidak tahu sopan santun.

Dengan gaya angkuhnya, Sehun memberikan instruksi kepada Luhan melalui jarinya, Luhan pura-pura tidak melihat dan menatap Sehun datar.

"Apa?" tanya Luhan galak, dia sebal melihat muka yang sok itu. Hanya pria bernama Sehun itulah yang Luhan lihat banyak tingkahnya. Sok penguasa dan tidak sopan.

Mendapatkan respon seperti itu Sehun berdecak sebal. "Ck, kemarilah, dan ikuti aku."

Luhan menggeleng pelan, dia memalingkan tubuhnya dan malah mengelus-ngelus kelinci dalam dekapannya.

Sehun segera meraih tangan Luhan dan menariknya. Luhan menghempas tangannya dengan kasar, membuat kelinci itu turun dari gendongan Luhan dan pergi keluar.

"Bisakah kau lebih sopan sedikit?" tanya Luhan sebal, dia menatap pria di hadapannya dengan mata memincing tajam. "Aku memang orang asing di sini dan kau mungkin sudah menjadi penghuni tempat ini selama bertahun-tahun, tapi bisakah meminta dengan yang lebih baik?"

Mendengar jawaban seperti itu kepala Sehun mendidih, hatinya panas, baru selama ini dia hidup ada orang yang lancang kepadanya. Ayah dan ibunya saja pikir-pikir dulu, sahabat menyebalkannya pun tetap tunduk dan hormat kepadanya meskipun terkadang kurang ajar.

"Tidak ada penolakan!" tegas Sehun dia kemudian menatap Luhan tajam. "Apa kau tadi tidak mendengar, kau ada di bawah pengawasanku dan itu artinya aku berhak bersikap apa pun pada dirimu!"

"Yak! Tidak bisa seperti itu!" Balas Luhan tidak terima dia mendongak membalas tatapan tajam yang Sehun arahkan kepadanya. "Meskipun aku orang asing tapi aku terbukti tidak membahayakan! Dan aku berhak mendapat perlakuan yang layak."

"Kau ada di wilayahku, maka nona sok pintar kau wajib mematuhi aturan yang ada di sini. Termasuk mematuhi peraturan dariku!" Sehun menekankan ucapannya, dan balas menatap Luhan lebih tajam.

"Paham?" tanya Sehun penuh intimidasi.

Luhan yang melihat itu mengangkat bahunya pelan, dan dengan santai berjalan melewati Sehun.

"Cih, memang siapa dia, sok berkuasa sekali. Prajurit junior saja bangga, apalagi jika dia menjadi putra mahkota, akan sebesar apa kepalanya." Luhan menggerutu pelan mengekor di belakang punggung Sehun dengan hati yang dongkol.

Sehun membawanya pada suatu ruangan yang pengap dan kotor. Luhan mengerjapkan matanya saat tiba-tiba Sehun melempar pakaian mengenai wajahnya.

"Gunakan itu, meski kau bukan mahluk asal sini tapi kau akan tinggal di sini untuk sementara."

Luhan memandang sebal Sehun, mengambil pakaian di wajahnya dengan cepat dan melihatnya. Tunggu dulu, pakaian apa ini— oke, Luhan mengerti jika ini zaman kuno tapi apa dia juga harus memakai pakaian seperti ini?! Bahkan ini tidak lebih baik daripada kain lap yang ada di dapurnya.

"Jangan mengeluh." Sergah Sehun cepat.

"Tapi, tapi—"

"Ini adalah barak tempat para prajurit penjaga tinggal. Kau pikir kami menyediakan gaun di sini? Ada baju tambahan saja sudah untung, lagi pula di sini semuanya laki-laki jangan berharap terlalu banyak. Setidaknya baju itu lebih baik daripada kau harus bertelanjang dan pura-pura gila supaya tidak menarik perhatian dan ketahuan."

"Sinting!"

"Pakai baju itu jika masih tetap ingin tinggal di sini! Atau tetap pakai baju modismu dan jangan harap kau bisa mendekati tempat ini dalam jarak 500 meter." Sehun tersenyum puas saat manusia asing itu kehabisan kata-kata. "Jadi nona asing, pilihannya sederhana. Memakai baju bekas budak kami, atau menjadi mencolok dan di buru oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab."

Akhirnya dengan terpaksa dia setuju memakai baju itu. Luhan menghela nafas melihat kain yang begitu kasar, berwarna pudar serta kotor dan bau. Mau tidak mau dia harus menggunakannya.

Luhan menatap tajam Sehun tinggal masih di sana.

"Apa?" balas Sehun ketus.

Luhan menghembuskan nafasnya kasar. Sungguh! Pria ini tidak tahu sopan santun, tidak tahu privasi wanita, sok memerintah dan sok berkuasa tapi— astaga, Luhan mengipasi wajahnya sendiri yang tiba-tiba memerah dan panas.

"Aku ini perempuan! Aku ingin berganti pakaian, kau sungguh pria tidak tahu malu dan tidak memiliki etika!"

Sehun mendengus, "lagi pula apa yang bisa aku lihat dari dirimu?" tanya Sehun mengejek.

"Tidak ada."

"Rata." Lanjut Sehun dengan melangkah mendekat dan berbisik tepat di telinga Luhan membuat wajah Luhan memerah padam.

Luhan menginjak kaki Sehun dengan sepenuh tenaga. Astaga! Benar-benar! Bahkan di zaman seperti ini pun pria menyebalkan sudah ada, pantas saja laki-laki di dunia Luhan semakin tidak tahu malu dan mendekati tidak waras, bibitnya saja sudah ada berabad-abad sebelumnya.

Dengan cepat Luhan mengambil bajunya dan berjalan menuju ruangan tempat dia bangun pertama kali. Setidaknya di sana jauh lebih aman dan terhindar dari manusia menyebalkan yang bernama Sehun itu.


Luhan sudah mendapatkan pakaiannya. Dia sekarang kembali membuntuti Sehun untuk melakukan tugas sebagai syarat agar Luhan bisa tinggal di sana.

Sebelum mereka berdua keluar dari tenda, Sehun tiba-tiba berhentu melangkah.

"Ada apa?" tanya Luhan.

"Ikat rambutmu." Tunjuk Sehun pada rambut Luhan yang tergerai lurus. "Ini adalah sarang di mana semua manusia berjenis kelamin laki-laki. Meski kita menganggap di sini aman, tapi tidak menutup kemungkinan penyusup ada berkeliaran. Ikat rambutmu seperti prajurit lainnya, kau harus berpura-pura menjadi lelaki."

Luhan menurut saja, toh ini demi kebaikannya juga. Tapi ada satu hal yang menjadi kendala—

"Kenapa?" tanya Sehun sembari menaikkan alisnya.

"Aku tidak paham cara mengikat rambut seperti kalian." Ucapan Luhan berbisik kecil, dia tersenyum canggung melihat Sehun yang menatap datar dirinya.

Sehun mendengus. Mengaku wanita tapi masalah seperti ini saja tidak bisa. Dia lalu mengambil satu tapi panjang yang berada di dalam kantung bajunya. Sebenarnya tapi itu adalah tapi dari kerajaan, miliknya sebagai seorang anggota inti kerajaan yang terbuat dari kain sutera terbaik, fleksibel dan halus. Tapi Sehun tidak ambil peduli lagi pula itu hanya sebatas tali ikat biasa, dia masih punya selusin lebih di kamarnya sana.

Sehun melangkah mendekat dan berdiri di depan Luhan, meraih kepala Luhan, dan mulai mengikatnya. Menyisir rambut Luhan terlebih dahulu menggunakan jari-jari miliknya. Rambut itu sangat halus dan terawat, berwarna coklat lembut dengan panjang sebatas setengah punggung, lurus namun ikal di bagian ujungnya. Membuat Sehun sejenak tenggelam dalam kegiatannya.

Kembali fokus. Sehun merutuki dirinya yang bisa-bisanya lupa keadaan, padahal itu hanya rambut saja, di kerajaannya sana ada banyak wanita yang anggun serta berparas cantik dan jelita, jadi untuk apa dia terpesona pada wanita jejadian seperti Luhan ini.

Dan Saat Sehun melepas tangannya dia terdiam sebentar melihat ada banyak sekali rambut yang ikut tercabut di sana, tidak hanya satu dua saja, tapi ada begitu banyak. Sehun yakin dia tidak terlalu kuat saat menyisir tadi, tapi mengapa rambut itu seolah-olah Sehun ambil secara paksa.

Sehun melihat wajah Luhan, wanita itu berekspresi kaget melihat rambut di tangan Sehun. Dia mendongak menatap Sehun sebelum akhirnya menunduk. Sehun melihat dengan jelas tatapan sendu yang Luhan sembunyikan di sana.

Awalnya Sehun ingin mengejek Luhan namun melihat keadaan di sana berubah secara drastis Sehun mengurungkan niatnya. Sehun pura-pura tidak tahu dan melanjutkan kembali mengikat rambut Luhan. Sesekali rambut itu jatuh, dan Sehun cukup prihatin dia ingin bertanya lebih namun sepertinya tidak sekarang. Luhan tampak tidak ingin ditanya apa pun.

Sehun memperhatikan wajah Luhan. Dalam jarak sedekat ini Sehun dapat melihat dengan jelas. Tubuh Luhan kecil cenderung ke kurus, kulitnya begitu putih bahkan Sehun berani bertaruh bahwa kulit Luhan sangat putih dibandingkan para putri yang pernah Sehun temui. Matanya begitu jernih sewarna madu, lembut dan manis, hidungnya bangir dan bibir itu begitu ranum dan merah. Luhan adalah sebuah definisi dari kata cantik dalam standar Oh Sehun.

Sekali lagi Sehun memperhatikan wajah Luhan. Bias-bias pucat tampak tertera halus di sana, Sehun hanya diam tidak berkomentar apa pun dan tidak berniat bertanya apa-apa. Kembali menyelesaikan ikatannya, dan Sehun tersenyum puas melihat hasil karyanya. Kini meski Luhan terhalang oleh pakaian lusuh dan tidak layak pakai itu, dan meski tersamar oleh penampilan lelakinya tapi tetap saja itu tidak mengurangi nilai keindahan di sana. Sosoknya masih bersinar dan tetap menarik perhatian.

"Sudah selesai." Ucap Sehun. Luhan mendongak dan mengucapkan terima kasih pada Sehun dengan berbisik pelan. Luhan melihat Sehun yang sepertinya tidak ambil peduli masalah rambutnya, oh syukurlah, sepertinya Sehun tidak tertarik.

"oke, berhenti bersenang-senangnya. Kau tinggal di sini berarti harus mengikuti kegiatannya. Tidak ada toleransi! Meski kau adalah wanita jadi-jadian tapi tetap kau harus ikut melaksanakan tugas. Setidaknya buat dirimu berguna dan tidak menyusahkan."

Luhan mendumal sebal mendengar setiap detail dari kata-kata yang menusuk di telinga dan juga hati. Tidak bisakah dia berkata lebih lembut dan sopan, demi Tuhan, Luhan itu perempuan! Astaga, oh yah Luhan lupa, Sehun adalah bibit lelaki kardus jadi supaya di maklum.

Sehun membawanya naik ke atas bukit, sedikit melewati hutan dan masuk ke dalam danau. Menarik tangan Luhan dan menyeretnya menuju pinggir danau.

"Tugas pertamamu adalah membantuku mengangkut air. Di sana ada beberapa wadah yang harus kau isi dan setelahnya kita ambil bersama-sama."

Sehun mendorong Luhan sembari menyerahkan wadah-wadah yang harus Luhan isi. Luhan jelas mendumel sebal, dia merutuki mengapa harus Sehun yang mengawasi Luhan, mengapa tidak Kai saja, setidaknya Kai pasti memperlakukannya seperti perempuan dan tidak akan membiarkan Luhan melakukan hal-hal seperti ini.

Sehun sendiri sembari menunggu Luhan mengisi wadah air dia mendudukkan dirinya di bawah pohon dan duduk bersantai. Menikmati udara, memejamkan matanya dan sesekali Sehun melirik melihat Luhan yang sibuk mengisi air di sana. Sehun terkekeh kecil saat gadis itu mengomel sendiri saat bajunya harus basah karena dia jatuh terpeleset. Sehun tidak ambil peduli, dia mengangkat bahunya acuh. Dan kembali memejamkan matanya sambil menikmati semilir angin dan aroma pepohonan yang khas.

Sehun sedikit membuka matanya dan dapat dilihat Luhan yang datang menghampiri. Keringat tampak memenuhi wajahnya namun garis kecerian nampak begitu jelas di sana. Sehun mengerutkan alisnya heran dengan perilaku yang Luhan tunjukan.

"Sudah selesai?" Sehun bertanya dan Luhan mengangguk.

"Aku sudah mengisi penuh semuanya."

"Ada apa denganmu?" heran Sehun dengan tingkah Luhan.

Dan Luhan hanya menggeleng kecil sebagai jawaban. Sudah sekian lama dia hanya mampu berdiri duduk dan berbaring. Bahkan berjalan saja Luhan merasa kepayahan apalagi jika berlari dan melakukan hal-hal seperti ini. Hari-hari yang Luhan lalui hanya menghabiskan waktunya di dalam kamarnya. Ibu dan ayahnya terlalu sibuk, begitu pula kakaknya.

Luhan tersenyum mendapatkan sesuatu yang baru. Dia merasa bebas, Luhan merasa tidak ada beban. Luhan terdiam saat merasakan sesuatu yang hangat menyelimuti. Dia mendongak dan menemukan Sehun memberikan baju luarnya pada Luhan— baju yang Sehun kenakan itu berlapis-lapis, terdiri dari satu lapisan dalam dan dua lapisan luar, dan kini salah satu lapisan itu terlampir di badannya. Pipi Luhan sedikit memerah, Sehun terlalu dekat dengan dirinya bahkan Luhan bisa mendengar deru nafas pria itu, tubuh Sehun menjulang tinggi jauh diatas tubuhnya, dadanya bilang dan punggungnya lebar dan bahunya nampak begitu kokoh.

"Sebenarnya apa yang kau lakukan, mengisi air ke dalam wadah saja sudah seperti menguras danau."

Mendengar ucapan Sehun Luhan menunduk malu, sepertinya dia terlihat kekanakan sekali.

"Sudahlah." Sehun menepuk pundak sempit Luhan. "Kau harus membantuku membawa ini ke barak."

Sehun mengambil dua wadah dan dia menyerahkan satu wadahnya lagi pada Luhan. Sehun menurut pelan, mengapa ayahnya kejam sekali kepada dia di hukum dengan menempatkan Sehun di pos penjagaan paling jauh dari peradaban dan yang terpenting adalah tidak ada perbedaan! Tidak ada namanya pangeran ataupun putra mahkota sekarang ini dia adalah prajurit dan dia harus melakukan hal-hal lain yang biasa mereka lakukan.

Sehun mulai berjalan dengan membawa air dalam tangannya di susul Luhan yang mengekor di belakangnya. Mereka berdua pergi dari sana meninggalkan seseorang yang diam bersembunyi dan mengintai. Satu senyum tipis terukir di bibir sosok itu dan dia akhirnya pergi meninggalkan tempat setelah Sehun dan Luhan tampak tidak terlihat.


Kris berjalan dengan lunglai. Hari sudah sore dan dia baru saja pulang. Kegiatan di kampusnya begitu padat, belum lagi tugas-tugas yang menumpuk meminta untuk Kris jamah. Menghembuskan nafasnya kasar, bahkan Kris belum sempat melihat Luhan hari ini. Pagi tadi setelah dia bangun dengan cepat-cepat Kris membersihkan diri dan segera meluncur menuju kampusnya.

Berjalan menuju kamar adiknya, membuka pintu dan berjalan mendekat. Kris tersenyum melihat adik kesayangannya tampak pulas.

Kris lalu duduk, mengusap wajah itu lembut dan merapihkan rambut Luhan. Tapi tunggu dulu, sepertinya ada satu hal yang janggal di sini. Keisha rasa Luhan tidak merubah posisinya sejak malam tadi. Selimut itu masih rapih menyelimuti badannya sebatas dada. Tidak ada yang berubah, apakah Luhan belum bangun semenjak dari kemarin? Batin Kris panik. Melihat gelas yang berada di meja nakas masih sama belum berkurang sedikitpun.

"Luhan, hey... Hannie-ya." Kris mencoba memanggil Luhan, namun nihil tidak ada respon di sana.

"Luhan hey, bangunlah... Luhan! Luhan!"

Kris semakin panik mendapati Luhan tidak bereaksi apa pun bahkan saat Kris menepuk-nepuk pipinya.

Kris menyibak selimutnya, mencoba mengecek keadaannya. Deru nafasnya terdengar normal. Detak jantungnya pun tidak menujukan tanda-tanda penurunan. Tetap mencoba membangunkan Luhan, namun nihil tidak ada respon.

Dengan segera Kris membawa Luhan dalam dekapannya, dan melarikannya menuju rumah sakit.


Kris duduk bersandar di sofa ruangan Luhan di rawat. Sudah empat jam namun Luhan belum sadar juga. Dokter yang menangani Luhan bilang tidak ada yang aneh dalam tubuh Luhan. Semuanya baik-baik saja, detak jantung, tekanan darah, denyut nadi tapi entah karena alasan apa Luhan belum sadar juga.

Seseorang mengetuk pintu, Kris beranjak keluar dan melihat temannya ada di sana.

"Oh kau," ucap Kris. "Ada apa?"

Dia menggeleng pelan. "Aku dengar adikmu sakit, dan kebetulan aku sedang berada di sini, jadi sekalian mampir saja."

"Ah ya, dan ini, aku ingin memberikan ini untuk adikmu semoga dia lekas sembuh." Temannya menyerahkan satu buket bunga baby's breath.

"Terima kasih. Ah masuklah dulu."

"Maaf, tapi ada hal yang harus aku urus."

"Oh baiklah," Ucap Kris. Dia lalu melihat temannya itu berjalan menjauh. Kris mengangkat bahunya acuh, sebenarnya Kris agak heran dengannya tapi ya sudahlah tidak ada yang aneh, lagi pula dia memang aneh.


Luhan merebahkan dirinya dia atas hamparan rumput hijau yang luas. Hah, menyenangkan sekaligus melelahkan. Sehun sepertinya sengaja ingin membuatnya repot, sedari tadi dia terus menyuruhnya ini dan itu, memerintahkan hal ini dan itu, membebankan semua tugas kepada Luhan sedangkan Sehun sendiri malah asik bersantai-santai!

"Berisik." Sehun menggumam pelan mendengar Luhan yang ribut di sampingnya. Gadis itu memekik antara kesal dan senang, bernafas dengan berisik dan mengusik serta bergerak-gerak sembarang tepat di sampingnya.

Luhan menolehkan wajahnya, menatap Sehun yang berbaring di sampingnya dengan mata memancing tajam. Tidak tahu malu! Batin Luhan berang.

"Kenapa?!" sewot Luhan. "Aku sudah melakukan tugasku dengan baik, kurang baik apa aku, memangnya dirimu yang membebankan tugasnya pada orang lain, menyebalkan!"

Sehun mendengar itu hanya mendengus pelan dan kembali memejamkan matanya sedangkan tangannya dia lipat di atas dada.

Luhan melirik Sehun sebentar, dia lalu mengangkat tangannya ke atas seolah-olah menutupi cahaya, namun tidak ada seberkas bayangan pun di sana. Luhan kembali melirik Sehun dan perlahan mulai bergeser mendekat.

"Sehun-ssi." Panggil Luhan. Sehun hanya bergumam samar dan tidak ad niatan untuk peduli.

Melihat itu Luhan hanya tersenyum. Sebenarnya Luhan takut dengan hal ini— dirinya yang tidak memiliki bayangan, Luhan berencana ingin menyembunyikan hal ini saja dan tidak ada niatan untuk bercerita, Luhan takut apabila hal ini termasuk ke dalam hal serius dan dia di jadikan tahanan.

"Sehun-ssi, menurutmu arti bayangan itu apa?"

"Mengapa memang?" tanya Sehun dengan mata yang masih terpejam.

"Tidak, ingin bertanya saja. Dan ingin melihat dari sudut pandang orang lain."

Sehun menggumam samar, setelahnya dia membuka suara. "Tidak ada yang sepesial dari bayangan. Hanya pengganti pemain utama, tidak memiliki fungsi lebih dan ya— itu hanya bayangan, orang-orang tidak akan tertarik dengan hal yang tidak penting seperti itu."

Seulas senyuman tiba-tiba muncul di paras rupawan sangat pangeran.

"Meski bayangan tampak tidak berarti tetapi bukan berarti tanpa bayangan kita tetap akan sempurna. Seperti hitam dan putih, gelap dan cahaya, Yin dan Yang. Bayangan adalah bentuk keseimbangan dalam hidup kita." Sehun lalu membuka kelopak matanya dan tergambar jelas indahnya langit dengan awan putih berarak.

"Bayangan adalah bagian terpenting dalam hidup. Sama seperti halnya bayangan; ada kebaikan ada juga kejahatan. Cahaya tampak tidak akan berarti tanpa eksistensi bayangan. Semakin gelap bayangan maka semakin terang sebuah cahaya. Serta—"

"— bayangan adalah suatu bukti bahwa kita masih hidup dan bernafas, bukti bahwa kita masih ada dalam dunia ini."

Luhan terdiam mendengar penjelasan Sehun, dia melihat tangannya yang terkena cahaya namun nihil tidak ada bayangan di sana.

"Sehun-ssi, lalu bagaimana bila aku— tidak memiliki bayangan. Apakah aku nyata?"

Sehun menoleh dan dia menemukan Luhan yang berbaring di sampingnya sembari mengangkat tangannya. Benar apa yang Luhan katakan, tidak ada bayangan di sana. Cahaya menyorot bagian tubuh Luhan, namun nihil tidak ada yang tersisa di sana.

Sehun mendongak menatap lebih intens wajah Luhan ada sebuah senyuman manis yang terulas di sana. Mengapa Sehun baru sadar sekarang, hampir seharian ini dia bersama Luhan namun dia baru sadar Luhan tidak memiliki bayangan. Hey bukan salahnya, ingat apa yang Sehun bilang— itu hanya bayangan mana ada yang memperhatikan entitas kecil itu.

"Awalnya aku sedang duduk dan merenung di dalam kamarku, namun tiba-tiba semua terasa berputar dan kini aku berada di sini. Menjalani kehidupan di sini tanpa bagian penting dari diriku yang lainnya. Apakah aku benar-benar ada?"

Sehun tidak menjawab pertanyaan Luhan. Tangan kekarnya terulur meraih tangan Luhan lalu menggenggamnya erat. Sehun lalu bangkit dan duduk di susul oleh Luhan, Sehun masih menggenggam erat tangan kecil milik Luhan. Kini keduanya duduk di tengah padang rumput di soroti lembayung senja. Hanya bayangan Sehun yang hadir di sana.

"Aku bisa menggenggam tanganmu berarti kau nyata. Aku tidak tahu hal apa yang menyebabkanmu terlempar di sini. Kau bisa menjelaskan hal ini lebih detailnya kepadaku nanti—" Sehun meremat tangan Luhan, menekannya halus dan membagi kehangatan dulu sana.

"— satu hal yang pasti, selama kau merasakan rasa hangat ini, itu tandanya kau itu nyata, kau ada. Ini bukan mimpi atau bukan berarti kau adalah sebuah roh halus."

"Bernafaslah dan hirup udara sebanyak yang kau bisa. Isi kekosongan yang ada dalam rongga paru-parumu. Rasakan tempaan cahaya matahari serta rasakan terperangkap angin yang berembus di sekitarmu."

Sehun lalu memetik sebuah bunga di sana. Gypsophilia atau baby's breath, terhampar luas bersamaan dengan rerumputan menghiasi padang ini. Sehun memang tidak tahu banyak tentang bunga serta bahasanya, namun dia tahu tentang bunga ini serta apa makna yang ada di dalamnya— Sehun tahu, tentu. Ibunya adalah penggemar berat bunga itu dan menjadikan istana sebagai kebun baby's breath, serta memaparkan dengan penuh antusias dan terus menerus menerangkan kepada para pangeran tentang apa arti bunga itu.

Sehun memetik bunga itu hingga terkumpul banyak dia meletakannya di telapak tangan Luhan. "Aku tidak tahu banyak tentang puisi aku juga bukan orang yang tahu banyak tentang arti sebuah bunga. Namun melihat Gypsophila sepertinya kita harus polos apa adanya. Bahwa tak ada sesuatu yang abadi, yang abadi adalah perjalanan ketidak abadian itu menuju Sang Maha Abadi."*

"Jadi, tidak peduli kau nyata atau tidak, memiliki bayangan atau bukan, terpenting selama kau bisa menghirup udara, selama tanganmu masih bisa merasakan kehangatan itu tandanya kau itu nyata."

Sehun kembali memetik bunga itu dan lagi-lagi menyerahkannya pada Luhan. "Bawalah itu dan simpanlah di dekat tempat tidur. Jika sudah ada instruksi dari istana untuk kembali ke sana, aku akan membawamu dan menanyakan perihal apa yang terjadi pada dirimu. Jadi untuk sementara tetap seperti ini saja dulu."

Sehun lalu memandang Luhan yang masih dalam balutan setelan budak pria. Permata tetaplah permata, meski tertutup debu sekalipun kilauannya tidak akan padam. Jernih serta indah, penampilan bukanlah hal yang mampu mengalahkan pesona itu, karena keindahannya terpencar jelas dari dalam dan luar.

Sehun menepuk-nepuk kepala Luhan gemas. Baby's breath juga menggambarkan sosok perempuan yang ada di depannya ini. Bukti keindahan yang masih suci. Polos, tulus serta jujur. Dalam hati Sehun bertanya lalu apakah cinta sejati dari makna bunga ini juga tergambar dalam diri Luhan? Sehun tertawa pelan, tidak mungkin, atau— entahlah.


Luhan kembali ke ruangan tempat dia beristirahat. Mencari sebuah botol dan mengisinya dengan air, Luhan menyimpannya di sana dan meletakkannya di atas meja nakas. Pipinya seketika memerah, ih astaga bunga ini cantik sekali dan Luhan jatuh cinta kepadanya.

Luhan duduk dan mengayun-ngayunkan kakinya, tirai masuk miliknya bergerak-gerak dan kinci milik Kai masuk dan menghampiri Luhan. Luhan terkeh gemas, dia lalu mengangkat kelinci itu dan membawanya dalam pangkuannya.

"Hey Bunny, aku bisa menyentuhmu, aku juga bisa mengelusmu. Dan jika ingin aku juga bisa memakanmu— jadi aku ini nyata, aku bukan arwah gentayangan aku juga bukan bagian dari paradoks mimpi."

"Nah Bunny, karena aku tidak memiliki wortel silahkan kau mengacau di dapur saja, suburkan lagi tubuhmu kau akan semakin menggemaskan bila bertambah buntal." Luhan tertawa pelan. Lalu kelinci itu melompat dari pangkuan Luhan dan berlari ke luar.

Luhan kembali terdiam, dia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum dia masuk dalam dunia ini.

Coba Luhan urutkan, dia hanya pergi ke sekolah, pulang, masuk ke dalam kamar, duduk merenung, melepaskan kalungnya dan mulai membayangkan orang tuanya dan tiba-tiba Luhan merasakan sekitarnya berputar namun tempatnya diam terasa hampa dan kosong dan Luhan punya ada di sini.

Kalung itu, Luhan meraba lehernya dan mengeluarkan duit sana. Jika dia masuk ke sini dengan menggenggam erat dan membayangkan orang tuanya, maka Luhan akan mencoba menggenggamnya lagi dan membayangkan tempat dia pulang.

Mulai menggenggamnya, seluruh tempat mendadak berputar cepat dan pandangannya menggelap.


Luhan mengerjapkan matanya pelan, bias cahaya nampak masuk melalui retinanya. Lelah yang teramat Luhan rasakan dia seperti sehabis berlari marathon, dadanya kembali terasa lebih dan sesak dan Luhan merasakan tidak memiliki tenaga sedikitpun bahkan hanya untuk mengangkat lengannya saja dia tidak punya.

Luhan baru sadar kini dia tengah terbaring di atas sebuah brangkart dengan selang nasal melintang di wajahnya, terpasang di hidung untuk membantunya menyokong udara, tangannya terasa kebas melihat cairan NaCl perlahan masuk pada pembuluh darah di bagian tangannya. Bau desinfektan menguar kuat di indra penciumannya.

Rumah sakit?

Tanya Luhan dalam hati, apakah dia kembali? Atau memang itu semua mimpi belaka? Luhan mencoba meraup udara meski terasa lebih berat. Berarti ini nyata. Mencoba mengangkat tangannya meskipun kemas Luhan tetap berusaha dan sesuatu yang tidak pernah Luhan anggap dan sering Luhan abaikan kembali lagi kepada Luhan, dia memiliki bayangan lagi.

Badannya begitu lemas, tenaganya seolah-olah terkuras habis. Luhan hampir saja kehilangan kesadarannya kembali jika pintu itu tidak terbuka. Sosok wanita parah bayangan dengan wajah cantik masuk ke dalam.

"Umma." Panggil Luhan pelan, Oh bahkan mengeluarkan suara saja terasa berat bagiku Luhan.

"Ya sayang, ada heum?" Jeonghan perlahan mendekat dan mengelus wajah Luhan penuh sayang. Dia bersyukur akhirnya Luhan kembali membuka mata.

Jeonghan mengecup kebingungan Luhan lamat, lalu dia kembali mengusap wajah itu menyalurkan kehangatan di sana. "Sayang ada apa? Apa masih ada yang sakit? Apa yang Hannie rasakan, apa kepala Hannie puaing"

Jeonghan bertanya beruntun, dia menggenggam tangan Luhan begitu erat mencoba menyalurkan kehangatan di sana. Sementara itu Luhan dia hanya diam, mengetahui bahwa kini dia kembali berbaring tidak berdaya lagi. Ibunya memang menyalurkan kehangatan pada telapak tangan Luhan, namun Luhan merasakan sesuatu yang berbeda di sana.

"Umma..."

"Heum...? Waeyo?" Balas Jeonghan lembut, dia sedikit meringis melihat Luhan yang diam tidak berdaya bakal hanya sekedar membuka suara saja dia tampak kesulitan. Mencoba untuk tetap tersenyum dan tegar, sebagai figur seorang ibu dia tidak mungkin menunjukkan sisi lemahnya di depan Luhan terlebih saat ini Luhan membutuhkan dorongan kepercayaan.

"Umma— berapa lama aku tidur?" tanya Luhan.

"Dua hari nak, kata Oppamu kau tidak tertidur sedari pulang sekolah dan sampai besoknya Hannie belum juga bangun, sampai Yifan membawa Hannie ke sini, Hannie juga belum mau bangun."

"Sebelumnya Hannie kenapa eum? Apa Hannie merasakan sakit, atau pusing?"

Luhan terdiam, dari dua kejadian yang terjadi padanya ini bisa diambil kesimpulan bahwa Luhan entah bagaimana caranya bisa terlempar menuju tempat di mana Sehun berada. Saat dirinya sedang berkelana di sana, tubuh dirinya yang asli di sini akan tertidur. Dan untuk ke tempat sana lalu kembali ke dunianya yang asli kuncinya hanya satu, kalung yang saat ini Luhan gunakan.

Luhan tersenyum lemah membalas tatapan penuh kasih dari Jeonghan, Luhan perlahan mencoba bergeser merapat pada wanita cantik itu dan memeluknya dalam. Jeonghan hanya tersenyum kecil dengan tingkah Luhan, dia balas mendekap Luhan dan mengusap punggung ringkih itu secara perlahan. Oh betapa bersyukurnya dia bisa bertemu dengan sebuah permata yang sangat indah seperti Luhan, satu hal yang Jeonghan sayangkan mengapa Luhan tidak terlahir dari rahimnya saja, setidaknya jika mereka memiliki ikatan sedarah Jeonghan mampu menolong Luhan dari rasa tersiksa ini. Setidaknya kondisi Luhan bisa jauh lebih baik dari pada yang sekarang.

"Maafkan Mama yang tidak bisa membantu banyak,"

Dalam dekapan penuh kasih itu Luhan terdiam, tenggelam di sana. Ada secercah kerinduan yang tidak bisa Luhan jelaskan juga ada setitik rasa takut yang Luhan cemaskan.

Mata Luhan mendongak, menatap wajah ibunya lama-lama. Sangat cantik, pantas saja Yifan Oppa bisa begitu sangat tampan ternyata ibunya sangat mempesona.

Luhan lalu mengedarkan tatapannya. Hari masihkah sangat gelap, lampu yang menyala pun sengaja dalam mode redup, satu meja nakas ada di sana, dan satu serangkai bunga gypshopila atau bunga baby's breath ada di sana, di taruh di dalam vas kaca berwarna bening.

Gypshopila? Tanya Luhan dalam hati? Pikirannya kembali melayang pada sosok Sehun. Ingat selama dia masih bisa menghirup udara berarti semuanya nyata. Luhan lalu menepis segala persangkaan yang ada, Luhan hanya ingin dia menjadi rasional saja— mungkin ini hanyalah kebetulan semata.

Ya hanya kebetulan semata.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

*dikutip dari film 'SI (puisi)'

Okey, see you.