DISCLAIMER : MASASHI KISIMOTO

Pairing : NaruSaku, ShikaIno, slight KakaSaku

Rated : M for language

Genre : Family , angst/comfort

Warning : OOC, OC, AU, TYPO, MAINSTREAM THEME etc.

Story by me seriello

DONT LIKE DONT READ MINNA BUT I HOPE U READ THIS AND LIKE IT:V

*SESI JAWAB REVIEWS*

Artefak, AhmadRijal02 : Siap! Wkwk

iwankeyy10 : siap deh! Makasih ya udah baca:v

ANarkRy : makasih udah mau nungguin :v semoga ga mengecewakan ya

Guest : iya, btw naru emang ga tertarik sama hal itu soalnya yg ada di otak dia cuman kerja:" jdi dia ga mau buang2 waktu soal pacaran makanya ga punya pacar bahkan dia anggap sakura aja cuman 'teman' wkwk

Guest : iya semoga shina ga kaya gitu wkwkwk

faye : iya nih banyak yg salah tanggap deh kaya nya wkwkwk

Guest : iya karna dua2 nya emang salah gtu wkwk

Just Noober-chan : makasih sudah baca wkwk iya ide2 ku emang mainstream jadi ga heran sih cuman aku coba untuk mengemasnya sebaik mungkin wkwk selamat menikmati

narusaku29 : aku aja greget ngetik nya:"v semua nya jadi serba rumit soalnya sakura ga mau ngalah ya wkwk btw nama fb ku itu SAKURA CHAN SERIELLO ketik aja gtu dipencarian:v insya allah ntr jga nongol

Suminoe Andoreas-sama : maklum saya ini pecinta receh jadi ya gtu deh:v

MANASYE : komen apa aja deh yg penting ada jejak nya biar aku semangat ngetik nya:v

Terimakasih banyak atas komentar membangunnya! ku tunggu reviews selanjutnya! :D

.

.

.

.

WARNING!!!

XxX : FLASHBACK

.

.

.

.

XxX

"Maaf Sakura, aku harus pergi sekarang."

Pemuda berambut putih keperakan itu nampak menundukan kepala nya dan membuang pandangan asal, enggan untuk menatap secara langsung pada emerald yang tengah berkaca-kaca.

Sakit bukan? melihat orang yang kau cinta menangis gara-gara kesalahan mu sendiri.

Sore hari yang menyakitkan bagi pasangan muda ini, baik Kakashi maupun Sakura, keduanya masih tak siap menerima.

"Tapi kenapa kau baru mengatakan nya sekarang?"

Sakura meremas ujung blouse biru muda miliknya hingga membuat kain cantik itu mengusut dibuatnya. Gadis manis bersurai merah jambu itu kini tengah menahan diri supaya tak berderai air mata.

"A-aku.. aku hanya ingin bersama mu lebih lama lagi, kalau aku bilang sejak dulu. Pasti kau akan menjauhi ku." Ungkap nya jujur.

Ya, sejujurnya Kakashi pun tak menginginkan hal ini. Bahkan jika mampu ia ingin menghapus hari ini dari kalender supaya ia bisa menghabis kan lebih banyak waktu dengan kekasih merah muda nya.

"Tapi justru itu! Mengetahui bahwa besok kita tak akan lagi bertemu secara mendadak begini, rasa nya sakit sekali. Jika tau akhirnya begini, aku akan lebih memilih untuk tak mengenal mu sama sekali!" Sakura menatap nanar iris beda warna milik sang pemuda membuat siempunya mata panik dibuatnya.

BRUGH!

"Maafkan aku."

Kakashi menarik gadis itu kedalam dekapan nya, memeluknya erat seakan tak ingin melepas nya barang sejenak. Mencoba melupakan segala masalah yang membebaninya dengan berharap tak ada hari esok.

Apa yang akan kau lakukan jika ada diposisi Kakashi?

Mengejar impian mu atau tetap disini tanpa melakukan perubahan sama sekali?

Disisi lain dia selangkah lagi mencapai kesuksesan.

Dirinya akan melanjutkan Studi Strata 2 nya dan dia telah di terima disalah satu Universitas favorit yang ada di Amerika yang memang menjadi tujuannya.

Tapi yang menjadi buah simalakama nya saat ini adalah, kekasihnya.

Ia takut meninggalkan Sakura di Jepang. Ia takut memulai suatu hubungan jarak jauh dengan tingkat kesempatan dia pulang diwaktu dekat itu sangat minim. Dia takut dengan ketidak pastian itu.

Bagaimana jika dia tengah bersusah payah berjuang di Negeri orang lalu kekasih nya pindah kelain hati?

Ok mungkin itu kejam, terkesan seperti Kakashi tak mempercayai cinta suci Sakura.

Tapi justru itulah masalahnya.

Kakashi pergi ke Amerika bukan lah hanya sehari dua hari, melainkan 7 tahun lama nya.

Setelah lulus S2 nanti dia akan di kontrak oleh salah satu Perusahaan besar yang telah terkoneksi dengan Universitas tersebut dengan masa kontrak minimal 5 tahun.

Selama itu pula dirinya tak diizinkan bolak balik ke kampung halaman dengan alasan sepele seperti 'liburan', 'kangen kampung halaman' dan lainnya kecuali dalam tugas resmi.

Menyiksa memang tapi itu adalah langkah awal menuju kesuksesan baginya.

Jadi apa yang harus dilakukannya?

"Kenapa juga harus melanjutkan ke sana? Apa pendidikan di Jepang tak cukup? Lagi pula penghasilan mu sekarang di Perusahaan keluarga saja sudah lebih dari cukup kan Kakashi? Apa yang kau kejar lagi?"

Sakura kini berderai airmata setelah sebelumnya dia sempat tenang karena berada didalam dekapan Kakashi.

"Aku, ingin membuat mu lebih bahagia lagi Sakura. Persaingan di dunia bisnis kini sangat memprihatinkan dan aku masih belum cukup ilmu untuk memahami itu. Aku mohon bersabar lah sedikit lagi, aku janji aku akan pulang untuk meminang mu setelah semuanya beres."

Kakashi mencoba untuk mengukir senyuman manis meskipun nyata nya sulit.

Isak tangis Sakura yang masih berada dalam dekapannya seakan menusuk langsung dalam dada nya.

Sakit sekali.

"Bawa aku ke Amerika kalau begitu, kita kan bisa tinggal bersama."

Dua pasang tangan kurusnya ia lingkarkan pada punggung sang pemuda yang telah menjadi kekasih nya selama 4 tahun lama nya.

"Aku tak bisa membawa mu Sakura, disana aku akan tinggal disebuah apartement milik Universitas dan akan berbagi tempat tinggal dengan mahasiswa lainnya. Itu bukan milik pribadi."

Pelukan Sakura semakin mengerat begitu ia mendengar kenyataan nya.

Semakin di dengar semakin pahit rasa nya.

Ini adalah kali pertamanya mereka berpisah dengan jarak yang amat sangat jauh.

Senja kali ini terasa begitu menyakitkan sepertinya, semilir angin yang biasa menyejukan pun terasa menusuk tepat ke jantung.

Apa kah bisa mereka menjalani nya?

.

.

.

.

Sudah hampir 5 bulan sejak Kakashi pamit pergi meninggalkan Sakura dan Jepang.

Selama itu pula putra tunggal keluarga Hatake itu tak menghubunginya sama sekali.

Panik? Tentu.

Itu yang Sakura rasakan sekarang.

Entah apa yang sedang dilakukan sang kekasih.

Apa ia sehat? Apa ia makan dengan benar? Apa ia baik-baik saja? Apa semua nya berjalan lancar? Tak ada satupun dari pertanyaan itu yang terjawab.

Sakura sudah beratus-ratus kali mencoba menghubungi Kakashi dan juga mengirimi pesan singkat tapi tak ada respon yang berarti.

Terakhir kali ia menghubungi Kakashi, nomor nya tak aktif. Ada kemungkinan dia mengganti nomor telepon dan memakai nomor warga Negara Amerika tapi apakah sulit untuk memberi tahu lebih dulu dengan nomor baru? Setidaknya jangan sampai meninggalkan nya begitu saja dengan segala rasa dan harap-harap cemas nya.

Apakah ini akan berhasil?

"Masih belum ada kabar dari Kakashi?" Ino mendudukan dirinya di bangku samping Sakura dan menyodorkannya sekaleng cola.

"Mau?" Sakura mengangguk pelan dan mulai menenggak isi dari kaleng itu, otak nya masih penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tentang keadaan Kakashi, mungkin sekaleng cola yang dibeli Ino untuk nya dapat meringankan beban nya.

"Entah, aku tak tau harus apa. Dia sama sekali tak memberi kabar pada ku, Ino." Gadis merah jambu ini menundukan kepala nya dalam, tengkuknya terasa diberi beban berat sampai-sampai ia tak kuat mengangkat kepalanya sendiri.

"Huft." Ino menghela nafas berat, setidaknya ia tau seperti apa perasaan Sakura sekarang.

Bagaimana ia bisa tenang dan tak memikirkan persoalan jika ternyata pacarmu yang kau tunggu-tunggu malah menghilang dengan waktu yang cukup lama.

Curiga? Itu pasti yang pertama kali menyambangi pikirannya.

Prasangka buruk? Tentu saja.

Khawatir terjadi sesuatu? Sudah pasti.

Sekarang pun ia tengah mengalaminya, Shikamaru pergi keluar kota untuk bekerja, maka jelas ia paham apa yang dirasakan Sakura.

"Sabar dulu saja, pasti dia punya alasan atas ketidak jelasan kabarnya itu." Ino mengelus punggung sang sahabat dari kecilnya itu dengan lembut. Mencoba memberi kekuatan dan harapan bahwa semua nya baik-baik saja.

"Kenapa kau tak melanjutkan kuliah Ino? Kau tau? Aku sangat kesepian saat dikampus. Kakashi sudah tak ada di kampus dan tak ada kau juga disana." Sakura memandang lekat-lekat buku teori yang memiliki ukuran setebal batu bata didepannya itu dengan seksama.

Kini mereka tengah berada di Taman Kota setelah sebelumnya Sakura yang meminta Ino menemui nya.

"Yah kau tau sendiri, orang tua ku kan ingin aku melanjutkan usaha keluarga ini. Setelah menikah nanti mungkin aku akan membuka cabang toko bunga baru."

Langit senja terasa menyejukan disore hari seperti ini, warna nya yang jingga dipadu dengan dinginnya semilir angin sore membuat perasaan nyaman tersendiri bagi yang merasakannya. Senja yang sangat berbeda dengan senja saat terakhir kali ia bersama Kakashi.

"Usaha keluarga ya?"

Seketika Sakura ingat pada Kakashi yang juga melanjutkan bisnis keluarga, namun karena suatu permasalahan, itulah yang membuatnya harus pergi dari Jepang dan menyelesaikan Studi nya.

"Aku yakin, Kakashi pasti akan mengabari mu Sakura, mana mungkin ia meninggalkan mu begitu saja, iya kan?"

Ya, mungkin saja iya.

Sakura memandang lurus kedepan, dimana ibu-ibu tengah menggiring anak mereka pulang karena senja mulai datang.

"Ino!"

Seruan dari arah belakang mereka seketika mengagetkan mereka berdua. Ino dan Sakura kompak menolehkan kepala mereka berbarengan.

"Eh? Shika?! Kau ada disini?" Ino nampak terkejut mendapati tunangannya kini telah berdiri dengan tegap di belakang mereka, seorang pemuda berjas hitam dengan kuncir tingginya.

"Iya,aku pulang ke tokyo. Maaf tak mengabarimu lebih dulu. Aku kerumah tapi kau tak ada. Ibu bilang kau ke taman menemui Sakura." Shikamaru berjalan mendekati mereka, telapak tangannya yang lebar ia sembunyikan didalam saku celananya.

"Kau bilang baru bisa pulang tahun depan." Ino langsung memeluk Shikamaru begitu pria ini ada didepannya, rasa rindu itu tiba-tiba tak bisa dibendung. tak perduli sekitar Taman yang masih ramai pengunjung tak perduli juga dengan kenyataan bahwa Sakura masih ada disana memperhatikan mereka, yang Ino tau saat ini adalah ia ingin melampiaskan semua rasa rindunya.

"Aku datang untuk mengurusi kepindahanku, Aku ditarik dari kantor cabang di Okinawa untuk ke kantor pusat disini." Terang Shikamaru yang jelas saja membuat Ino membelalakan matanya.

"Sungguh? Jadi sekarang kita bisa bersama lagi? Kau tak akan pergi jauh lagi?" Iris aquamarine itu nampak berkaca-kaca, atas pertanyaan Ino barusan lantas dijawab oleh Shikamaru dengan anggukan.

"Shika!" Ino memeluk sang tunangan dengan perasaan campur aduk nya. Ada perasaan Tak percaya, terharu dan merasa bersyukur.

Melihat pemandangan mengharukan didepan nya lantas membuat Sakura bahagia juga.

Apakah ini yang akan terjadi jika suatu saat nanti Kakashi menemuinya setelah sekian lama berpisah?

Ino telah mendapatkan pujaan hatinya lagi lalu kapan ia mendapatkan Kakashi kembali?

"Kau janji tak akan pergi jauh lagi?" Ino kembali bersuara setelah ia merasa tenang dan tak menangis lagi.

"Tentu." Shikamaru mengangguk dengan mantap meyakin kan Ino sekali lagi, Gadis dengan surai blonde itu tersenyum sumringah dan lekas kembali memeluknya.

Tiba-tiba ponsel Sakura bergetar, ibu nya mengirim pesan supaya ia segera pulang.

"Ino, maaf aku harus pulang sekarang. Ibu mengadakan pesta makan malam kecil-kecilan untuk menyambut ayah yang baru pulang dari Nagoya." Sakura menunjuk layar ponsel nya yang berisi pesan singkat dari ibunya.

"Oh begitu ya? Ya sudah, sampaikan salam ku untuk bibi Mebuki." Sakura menganggukan kepala nya dan segera bergegas meninggalkan sang sahabat dengan tunangannya.

"Ahh gawat, kereta nya sebentar lagi berangkat. Kenapa sih ibu baru memberitahu sekarang." Sakura berlari-lari kecil menuju stasiun bawah tanah mencoba mengejar kereta terakhir jam 6 sore ini yang menuju ke rumah nya.

Jika kereta ini sudah pergi maka ia baru bisa pulang jam 7 malam menunggu kereta selanjutnya. Bisa gagal acara makan malam nya.

BRUGH!

"Aduh!"

"Ah!"

Sakura jatuh terduduk setelah sebelumnya ia menubruk seseorang yang muncul secara mendadak dari parkiran mobil.

"Kau tidak apa-apa Nona?" Pemuda pirang itu mengulurkan tangannya setelah ia berhasil bangkit berdiri.

"Tidak apa-apa, maaf aku buru-buru." Gadis merah muda itu hendak bergegas pergi setelah ia bangkit berdiri sebelum akhirnya pemuda itu menarik tangannya kembali.

"Tunggu dulu, tangan mu terluka." Sakura melihat telapak tangannya yang lecet dan sedikit mengeluarkan darah akibat menjadi topangannya saat terjatuh tadi. Loh kenapa ia bisa tidak menyadarinya?

"Ah tidak apa-apa, hanya luka sedikit." Sakura menarik tangan nya kembali, gadis ini bersih keras mengatakan bahwa ia baik-baik saja.

"Tapi itu karena aku, begini saja. Boleh aku minta nomor ponsel mu?" Pemuda itu mengeluarkan ponsel nya dari dalam saku bagian dalam jas hitamnya, pemuda dengan perawakan tinggi tegap, serta pakaian yang ia kenakan jelas menunjukan bahwa ia bukan orang 'biasa' saja itu membuat Sakura bingung.

"Untuk apa?" Gadis itu nampak bingung dimintai nomor oleh orang yang tak dikenalnya, baginya tak etis memberi nomor pribadi pada orang lain seperti ini.

"Untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja, besok aku akan mengatur jadwal untuk menemui mu." Pemuda itu nampak bersungguh-sungguh. Sakura mengernyitkan dahi menyadari betapa gigih nya pria ini dalam hal 'tanggung jawab' sampai-sampai rela mengatur jadwal.

"Tidak perlu. Aku baik-baik saja." Sakura hendak kembali melangkah pergi tapi pemuda ini kembali menghalangi.

"Jangan begitu, izin kan aku menebus kesalahan ku, kalau kau begini malah membuatku merasa bersalah." Gadis musim semi ini nampak berdiam diri, memikirkan apakah perlu memberi nomor pribadi seperti ini.

"Ahh astaga keretanya!"

"Hah?" Pemuda pirang itu nampak kebingungan sedangkan Sakura malah terlihat panik.

"Itu! Kereta nya sudah lewat. Ah bagaimana aku pulang?" Sakura menatap jam tangan di pergelangan tangan kiri nya sambil mengendesah pelan, kesempatannya untuk segera pulang pupus sudah.

"Kalau begitu, biar ku antar pulang. Oh iya aku Namikaze Naruto, kau?"

"Haruno Sakura."

Mereka pun saling menjabat tangan. Lembut dan hangat. pemuda dengan surai pirang serta iris kebiruan itu mampu membuat Sakura terpukau. Ia baru menyadari bahwa pria yang tengah bersih keras 'bertanggung jawab' itu luar biasa tampan. Tingginya, surainya, iris matanya, senyumnya, tangannya, semuanya nampak sempurna.

"Tunggu sebentar." Pemuda itu nampak mengutak atik ponsel nya dan menghubungi seseorang.

"Halo? Ah tiba-tiba aku ada urusan. Aku harus mengantar seseorang. Jadi kau bisa berangkat ke kantor ku sendiri kan? Ke kantor pusat nya. Aku akan menemuimu dan mengurus kepindahanmu nanti. Tunggu saja diruangan ku."

Setelah memutuskan sambungan telepon nya, pemuda bernama Naruto ini pun segera berbalik membimbing Sakura menuju tempat dimana mobilnya berada.

"Mari ku antar kau pulang."

"Terimakasih."

Menerima uluran kebaikan hati pemuda itu mungkin ada bagus nya dari pada ia harus menunggu sampai jam 7 malam nanti bukan?

XxX

.

.

.

.

"Sakura? Oy Sakura!"

Ino menjentikan jarinya didepan wajah Sakura membuat wanita itu terkesiap. Wanita blonde dengan atasan rajut oversize nya itu nampak menggeleng pelan.

"Eh? Kau memanggil ku?"

"Ya tentu saja! Sebenarnya kau ini kenapa? Sejak tadi aku memanggilmu tapi kau seperti tuli mendadak. Ada yang sedang kau pikirkan?" Wanita beriris istimewa itu tengah menata bunga-bunga anemone putih menjadi sebuah buket pernikahan, seseorang telah memesan nya kemarin dan akan dikirim jam 10 pagi ini.

"Iya.Tiba-tiba aku teringat kenangan masa lalu." Sakura meraih setangkai bunga bakung lampu berwarna merah muda dari sebuah pot besar disamping counter meja kasir dan mengelus kelopaknya.

"Eh? Dengan siapa? Naruto? Kakashi?" Ino meletakan buket bunga itu diatas meja counter yang ada dibelakang dirinya, tepat didepan Sakura dan mulai tertarik untuk mendengarkan.

"Kedua nya."

"Eh? Sungguh?" Ino menarik kursi didepan meja counter dan memperhatikan Sakura dengan seksama.

"Mmm, entah kenapa aku merasa ini janggal. Takdir kah? Yang satu pergi kemudian yang satu lainnya datang mengisi kekosongan. Lalu sekarang kedua nya pergi." Ia meletakan kembali bunga bakung lampu ke tempatnya dan mulai memainkan jari-jarinya diatas meja, menyentuh bulir-bulir air yang berasal dari gelas bekas lemon ice miliknya.

"Mana yang paling berkesan bagi mu?"

Mendengar Ino tiba-tiba berbicara membuat wanita merah muda itu menatap nya dengan pandangan sulit diartikan. Isi kepala nya yang sekarang seperti di kuras habis itu tak siap untuk mendapat pertanyaan.

"Berkesan apa nya? Kedatangannya? Kenangannya?" Sakura menopang dagu nya dengan telapak tangan kiri nya, berat kepala sepertinya tak mampu ia topang hanya dengan leher jenjangnya.

Hari ini rasa nya begitu berat setelah kemarin kejadian bertemunya lagi ia dengan sang mantan kekasih yang tiba-tiba datang menawarkan diri mengutarakan kalimat maaf yang terlambat juga pernyataan cinta dari Naruto, belum lagi fakta bahwa Karin dan Kushina mengetahui keberadaan Shinachiku.

Rasa nya sudah banyak sekali kejadian tak terduga yang terjadi kemarin, dan jika boleh jujur ia masih tak siap menghadapi semua kenyataan tiba-tiba itu.

"Kepergiannya."

"Bodoh! Dimana-mana kebanyakan orang akan membicarakan kenangan yang manis, kenapa malah kepergiannya? bukan kah itu sakit?" Sakura memutar bola matanya bosan, tak habis pikir dengan apa yang dipikirkan sahabatnya.

"Justru itu, mana yang paling membuat mu sakit?" Pernyataan Ino kali ini membuat nya tertegun, sakit? Bukan kah kedua nya sama-sama membuat sakit?

"Entah." Setelah sekian lama ia menimang, dirasa kedua nya tak ada artinya. Sepertinya ia sudah kebal.

"Biar ku tebak, Naruto?" Ino menopang dagu nya dengan kedua belah tangannya, memperhatikan sang sahabat yang sekarang tengah membelalakan matanya terkejut dengan pendengarannya.

"Eh? Kenapa Naruto? Aku yakin sejak awal pun kau tau, dia hanyalah 'pasangan pengganti'. Jadi mana mungkin kepergiannya lebih sakit dari pada Kakashi."

Ino menghela nafas berat mendengar jawaban Sakura yang menurutnya tidak memuaskan, ia yakin Sakura kembali mencoba menutupi fakta dirinya sendiri.

"Kau yakin? Justru karena itu, makanya sakitnya lebih terasa. Karena sejak awal kau menganggap dia hanya teman. Lama-lama perasaan itu tumbuh tak terkendali karena nyaman. Bukan kah kau menyukai nya sampai bersusah-susah payah mencari perhatiannya? Kau bahkan rela dengan mudah nya memberikan yang pertama bagi mu untuk nya, dari situ pun jelas sekali dia lebih istimewa dibanding Kakashi."

Penjelasan Ino yang panjang itu membuat Sakura kembali diam seribu bahasa, ia tertegun, setidaknya mungkin apa yang Ino bilang ada benarnya.

"Aku rasa kau perlu membuka hatimu lagi Sakura, tak ada salah nya kan? Cobalah menjalin hubungan yang serius lagi seperti dulu. Aku tak mengatakan Naruto lebih baik tapi kalian telah memiliki Shina sekarang. Mana yang lebih menyakiti mu sebenarnya?"

Mendengar itu membuat amarah Sakura tiba-tiba tersulut, menurutnya Ino seakan-akan tak memahami perasaan nya.

"Mereka itu sama saja Ino! Sama-sama menyakitiku! Mereka terlalu egois dengan diri sendiri. Baik Kakashi atau Naruto kedua nya meninggalkan ku demi karir nya. Memang mereka pikir aku ini apa? Lebih penting karir kah dari pada perasaan ku? Tak ada yang lebih baik diantara mereka."

Mendengar nada bicara Sakura yang tiba-tiba naik satu oktaf membuat Ino tersentak. Ia menghela nafas pelan dan kembali berkata.

"Tapi Sakura, apa kau yakin tak memiliki rasa lagi pada Naruto?" Menurut Ino, hubungan Sakura dan Naruto perlu diperbaiki, mereka telah memiliki Shina sekarang. Tak bisa dibiarkan begitu saja bukan? Maka sebagai sahabat, Ino jelas ingin membantu. Kali ini sepertinya ia harus ikut andil dalam permasalahan hidup Sakura. Meskipun ia tau, ia tak berhak atas itu.

"Tidak! Tidak ada sama sekali." Jawaban Sakura yang tiba-tiba setelah beberapa menit ia terdiam itu membuat Ino semakin yakin, Sakura terlalu menutup diri, ia mencoba menampik dan menyembunyikan perasaan nya sendiri.

"Aku tau, kau trauma pada perasaan yang di sebut cinta. Tapi apa salah membuka kembali perasaan itu dan coba untuk menerima salah satunya? Semua nya pernah melakukan kesalahan, Sakura. Kakashi dengan kesalahannya meninggalkan mu demi karir masa depannya, dan Naruto yang meninggalkan mu dan 'tak mengakui' Shina. Kedua nya membuat suatu kesalahan dan kau juga membuat kesalahan, apa kau tak menyadarinya? kau yang salah tak mau mengerti keinginan Kakashi padahal itu ia lakukan demi masa depan kalian dan kau malah cepat-cepat memutuskan bahwa Kakashi tak mencintaimu lagi dan kesalahan mu pada Naruto, kau tak menjelaskan apapun pada nya tentang perasaan mu, tentang hati mu, tentang harapanmu yang berharap mendapat balasan dan juga tentang Shina. Semua nya pernah melakukan nya termasuk kalian bertiga. Kau ingin mereka memahami hati mu tapi kau sendiri tak memahami hati mereka. Mereka tak sepenuhnya salah, justru kau yang membuatnya serba rumit, Sakura. sekarang aku mohon pada mu. Jangan egois memikirkan diri sendiri, pikirkan lagi Shina. Dia butuh ayah nya. Berhenti lari dari kenyataan dan malah menambahnya dengan kebohongan."

Sakura meneteskan air mata. sesak didadanya semakin menyiksa, apa yang Ino katakan memang begitu adanya. Setidak nya ia memang sadar bahwa semua kesalah pahaman ini ada tanggung jawabnya juga.

Tentang Kakashi yang pergi tanpa kabar kemudian setelah Kakashi kembali menghubunginya, ia dengan cepat memutuskan hubungan karena mengira Kakashi sudah tak mencintainya, seketika ia menyesal. Apakah jika dulu ia tak mengatakan kalimat perpisahan itu maka mereka akan tetap bahagia sampai sekarang? Salahnya memang yang tak sabaran.

Dan tentang Naruto, jelas ia pun andil dalam masalah ini. Ia yang langsung berspekulasi bahwa Naruto meremehkan nya tanpa menjelaskan apapun atau memberikan bukti falid lain nya justru malah menghindar dan menyembunyikan Shina.

Bukan kah semua masalah berawal dari keegoisannya?

Benarkan?

Jika memang begitu maka apa yang Ino ucapkan tak ada salah nya.

Lalu apakah ia harus membuka hatinya?

"A-aku hanya tak tau apa yang harus aku lakukan Ino." Sakura menjatuhkan kepala nya diatas lipatan tangannya diatas meja, mencoba menghilangkan pening yang tiba-tiba melanda.

"Mudah sebenarnya, pahami perasaan mu dan buang dendam itu, itu saja. Sekarang aku tanya, sebenarnya kau masih menyimpan perasaan pada siapa? Naruto? Atau kakashi?"

.

.

.

.

"Sakura-chan, terimakasih banyak kau mau menemani dan juga mengizinkan Shina jalan-jalan bersama kami."

Wanita beriris amethys itu tampak tersenyum sumringah begitu mengetahui sang wanita bermarga Haruno ini dengan suka rela menerima tawaran mereka kemarin.

Sebelumnya mereka menyambangi kediaman Haruno untuk mencari Sakura namun disana hanya ada Mebuki tapi justru itu, Kushina memanfaatkan hal tersebut untuk meminta maaf atas segala nya bersama Naruto dan juga Minato, kemudian Mebuki memberitahu mereka bahwa Sakura ada di toko bunga.

Dan akhirnya disini lah mereka sekarang. Didalam mobil Porsche Cayenne biru milik Naruto menuju taman bermain yang dulu pernah dikunjungi Naruto dan Shina. Itu adalah tempat yang Shina pilih sendiri, katanya ia mau pergi kesana lagi.

"Tidak masalah bi, aku juga sedang senggang hari ini." Sakura menjawab nya dengan santai meskipun terkadang masih tak nyaman berada dalam satu atmosfer bersama keluarga Naruto, rasa nya aneh meskipun mereka semua bertingkah biasa saja.

Apalagi saat ini ada Minato, pertama kali bagi Sakura bertemu dengan ayah Naruto itu. Dia adalah orang yang santai dan biasa saja. Tak ada kesan garang atau galak disana. Meski begitu tetap saja, perasaan was-was bagi Sakura itu ada.

"Oh iya, toko bunga itu milik mu dan juga teman mu ya? Aku dengar dari Naruto dan Karin, kau punya butik juga. Sudah berapa lama?" Kushina kembali bertanya, mencoba meramaikan suasana yang terkesan sangat canggung ini.

iya mengerti, Sakura mungkin butuh waktu untuk membiasakan diri. Maka dari itu iya coba membimbing kehangatan.

"Iya, butik itu milik ku dan juga teman ku itu, kami sudah menekuni bisnis ini sejak 6 atau 7 tahun yang lalu." Jawab Sakura sambil tersenyum dan kembali memperhatikan Shina yang tengah bermain dengan mobil-mobilan nya serta robot action figure milik nya.

"Ah sungguh? Ya ampun kau ini benar-benar wanita yang luar biasa ya, bisa menekuni suatu bisnis sampai selama itu dan juga sukses. Kalau aku di beri kesempatan membuka suatu usaha oleh Minato-kun, rasa nya tak akan mampu berjalan sampai hitungan tahun." Kushina tertawa yang kemudian disusul tawa dari Minato mendengar celotehan istrinya yang memang ada benarnya sedangkan Naruto dan Sakura hanya tersenyum menanggapinya.

"Omong-omong, siapa nama teman mu itu? Dia putri keluarga Yamanaka ya?" Kushina kembali bertanya begitu ia puas tertawa, wanita dengan surai merah itu nampaknya selalu bersemangat.

"Iya, nama nya Ino. Dia sahabat ku sejak kecil jadi kami membangun usaha ini bersama." Mendengarnya membuat Kushina menganggukan kepala nya paham.

"Minato-kun, apa kau mengenal keluarga Yamanaka?" Kushina bertanya pada sang suami yang kini tengah duduk di bangku depan samping Naruto yang tengah mengemudi.

"Sepertinya tidak, aku tidak punya kolega bisnis dari keluarga Yamanaka." Pria yang sudah memasuki usia pertengahan kepala 5 itu menggelengkan kepalanya.

"Putri keluarga Yamanaka yang bekerjasama dengan Sakura itu istri Shikamaru." Naruto yang sedari tadi membisu itu tiba-tiba angkat bicara, mendengar nya membuat Kushina dan Minato membelalakan matanya.

"Ohh istrinya Shikamaru ya?" Minato menganggukan kepala nya paham, ia jelas mengenal siapa Shikamaru, pemuda cerdas yang pernah magang di kantor cabang di Okinawa dulu yang kemudian ditarik ke kantor pusat di sini. Pemuda yang selalu membuatnya terpukau dengan ide-ide cerdasnya.

"Bukan kah dia sudah punya anak?" Minato bertanya tepat saat Naruto menginjak pedal rem karena lampu tiba-tiba berpendar merah.

"Iya, mereka sudah memiliki seorang putra, seumuran dengan Shina. Bahkan mereka satu sekolah." Sakura kali ini yang menjawab pertanyaan Minato. Mendengarnya membuat Kushina tersenyum sumringah. Bukan, bukan karena isi jawabannya tapi karena ia sadar, sekarang Sakura tanpa ragu ikut dalam pembicaraan mereka. Terlebih lagi saat Minato yang bertanya. Perlahan-lahan kecanggungan itu pun sirna.

"Oh ya?"

"Iya Kakek. dia teman ku, nama nya Shikadai. Dia sangat pintar. Selalu dapat nilai sempurna." Ucap nya bersemangat, Kali ini Shina yang menjawab pertanyaan dari sang Kakek, bocah kecil yang tengah duduk diantara Kushina dan Sakura itu mengangguk dengan antusias. ia selalu mengagumi sahabatnya itu. Menurutnya, Shikadai layak untuk dijadikan panutan selain ibunya, karena bocah dengan kuncir tinggi itu pintar dalam segala hal kecuali olahraga, ia selalu malas-malasan. Untuk yang ini tidak selayaknya ia jadikan panutan. Lagi pula sejak dulu Shina sudah menyukai olahraga.

"Begitu ya? Tapi bukan kah Shina juga pintar? Nenek bilang nilaimu selalu bagus, kau banyak mendapat nilai 98." Minato menoleh kebelakang untuk melihat cucunya yang sekarang nampak terkejut.

"Eh? Nenek tau dari mana? Nenek mengintip buku-buku tugas ku ya?" Bocah pirang itu bersungut-sungut membuat Kushina, Minato dan Naruto yang melihat dari kaca tengah tertawa melihat tingkah nya yang imut.

"Hahaha iya, Nenek lihat dari buku mu kemarin, tapi bukan kah 98 juga nilai yang tinggi? Berarti kau anak yang pintar juga loh Shina, kau tidak tau kan? Papa mu dulu tak pernah mendapat nilai sebesar itu."

"Ibu!"

Mendengar dirinya disebut-sebut membuat Naruto memajukan bibir sambil bersemu merah. Ah ayolah, tentu saja dia malu. Itu bukan lah hal yang patut untuk dibanggakan kan?

"Eh? Benar kah? Papa nakal ya maka nya tidak dapat nilai yang tinggi. Apa Nenek tidak memarahi Papa?" Shina kembali menoleh ke arah sang Nenek yang tengah tertawa melihat putranya bersemu merah.

"Nenek sudah memarahi nya, tapi Papa mu saja yang bebal."

"Ibu!"

Suara gelak tawa itu mendominasi lagi. Minato, Kushina dan Shina yang tertawa, Naruto yang bersungut-sungut. Bukan kah ini terlihat seperti figure sebuah keluarga kecil yang bahagia? Belum lagi panggilan itu, Nenek? Kakek? Papa? Shina memanggil mereka dengan sebutan itu tanpa ragu, padahal Sakura belum mengatakan apa-apa atau pun menyuruhnya.

Semudah itu kah Shina menerima keluarga Naruto? Seketika ia merasa terasingkan. Terasingkan karena ia merasa hanya dirinya lah yang belum menerima mereka. Tidak Minato, tidak Kushina tidak pula Naruto. Dia belum menerima satupun dari mereka semua hadir dalam kisah hidupnya bersama sang putra.

Tapi justru malah putra nya yang menerima lebih dulu. Apa benar yang Ino kata kan? Perlukah ia menerima? Sebenarnya siapa pula yang masih berada dalam hati nya? Naruto kah? Sejak perbincangan tak terduga nya dengan Ino tadi, kepala nya penuh dengan pemikiran itu. Tentang dirinya yang harus membuka hati dan tentang perasaan Shina yang menginginkan ayah nya.

Entah mengapa semua nya terasa perlahan-lahan memudar, lebih tepatnya dendam dan beban. lama kelamaan Sakura merasa dendam nya sejak dulu itu mulai menghilang. Ia berfikir, tak selayaknya juga ia terus-terusan egois dalam hal ini.

Ternyata yang Ino dan ibu nya katakan terasa membuka kembali fikirannya. Ini tidak benar, hidup dengan dendam itu tidak benar. Sebagai sesosok ibu, ia selayaknya harus memikirkan perasaan putra sematawayang nya.

Melihat Shina yang tertawa bahagia bersama keluarga Naruto seperti ini, apakah pantas ia menarik kembali dan memisah kan mereka? Tapi atas dasar apa? Mereka tak menyakiti Shina sedikitpun, justru malah sebaliknya.

Mereka memperlakukan Shina sebaik mungkin bahkan menuruti apapun yang Shina mau, padahal jika boleh dikatakan bahwa Shina hanyalah sebuah 'kesalahan' yang di perbuat Naruto dan juga Sakura, tapi mereka memperlakukannya bagaikan putra raja, jadi apa alasan yang tepat untuknya menarik Shina kembali?

Dendam?

Jika dilihat kembali, Naruto telah bersusah payah menunjukan rasa cinta nya, rasa tulusnya. Pandangannya ketika menatap iris emerald Shina, dia bagaikan seorang pria yang amat sangat menyayangi putra nya.

Lalu haruskah hukuman itu diterima nya lagi setelah dijalaninya selama 6 tahun lama nya? Masih perlu kah Sakura menahan mereka bertemu? Tapi berapa lama lagi? 5 tahun? 10 tahun? Atau memang tidak sama sekali? Lalu mereka akan hidup masing-masing seakan tidak kenal satu sama lain? Terdengar kejam sekali.

Yang Ino katakan benar, lupakan dendam dan terima salah satu nya. Semudah itu menjalani hidup sebenarnya. Sangat mudah kalau saja ego nya tak merajai hati dan pikirannya.

Matahari hari ini seakan mencoba menunjukan jati dirinya, sinarnya yang cerah mencoba menyampaikan pada wanita malang yang gundah dengan hati nya ini bahwa bersusah hati bukan lah hal yang baik. bagaimana dengan nikmati saja dan jalani segala keindahan alam ini dengan perasaan lega tanpa dendam?

"Kita sampai!" Seruan Kushina membuat Sakura terkesiap, saking sibuknya dengan pikirannya sendiri membuat dirinya tak menyadari bahwa mereka telah sampai kini.

"Yeayyy!!! Papa, nanti kita naik biang lala lagi ya?!!" Shina yang amat sangat bersemangat itu segera melepas safety belt begitu menyadari roller coaster dan biang lala kini bisa ia lihat dari parkiran.

"Iya nanti naik itu." Naruto keluar dari mobil nya disusul Minato dan Kushina yang membantu Shina turun dari dalam. Sakura turun paling akhir.

Meskipun dengan perasaan masih tak yakin dan langkah ragu-ragu serta pikiran 'apakah ia patut berada dalam lingkungan keluarga ini', toh nyatanya kaki nya bergerak sendiri. Ikut dalam 'perkumpulan' yang seharusnya tidak ia masuki. Stress yang ia derita membuatnya linglung kini. Sering kali hati dan otak nya tak pernah sama.

Rambutnya yang sekarang panjang sebawah bahu itu nampak terbang dimainkan angin, melihat nya kesusahan menata rambut membuat Naruto terpesona. Betapa cantik nya dia. Rambut merah muda, kaki jenjang, badan langsing yang dibalut dengan square pattern dress selutut berwarna hijau senada dengan iris nya yang memukau, cukup membuat Naruto terdiam ditempat saat itu juga.

"Papa!" Seruan dari Shina mengejutkannya, bocah pirang itu menarik ujung lengan bajunya sambil memanyunkan bibirnya.

"Papa ini kenapa sih? Shina panggil dari tadi. sudah dulu memperhatikan Mama nya, Shina tau kok Mama memang cantik." Ucapan Shina jelas membuat Sakura bersemu merah sedangkan Minato dan Kushina nampak menahan dirinya supaya tak tertawa.

Bocah kecil dengan rambut emas berkilat ditimpa sinar matahari itu kembali bersungut-sungut, sepertinya sekarang itu adalah hobby nya. Ia tak suka ketika orang lain tak memperhatikannya apalagi ayahnya. Ya wajar memang apalagi untuk ukuran dirinya yang kurang kasih sayang seorang ayah.

"Eh? Papa tidak memperhatikan Mama tuh." Elaknya kikuk, menggaruk belakang kepala nya sambil membuang pandangan asal. Kecanggungan yang nyata yang dibuat oleh putranya.

"Jadi Papa tak memperhatikan Mama? Wanita mana yang Papa perhatikan? Tidak bisa dibiarkan! Ini pelanggaran! Aku kasih Papa kartu kuning, Papa tidak boleh memperhatikan wanita lain selain Mama tau!" Bocah yang usia nya hampir 7 tahun itu bersidekap dada sebagai tanpa bahwa ia tidak suka.

"Shina ini bilang apa sih?" Sakura menghampiri putra nya dengan rasa malu luar biasa, tidak menyangka bahwa putra nya dapat berkata begitu yang membuat dirinya malu. Bocah seusianya ini tidak sepatutnya berkata seperti itu, memang sepertinya layak bagi orang tua untuk memperhatikan apa yang di tonton sang anak sebelum ia mempelajarinya dan mempraktekannya dalam dunia nyata. dasar sinetron laknat.

"Jadi Papa mu tidak boleh liat Nenek ya Shina?" Kushina berjongkok didepan bocah pirang itu sambil tertawa sumringah. Bukannya merasa tidak setuju seperti apa yang Sakura pikirkan justru Kushina bertingkah sebaliknya, tersenyum sumringah dan terlihat bangga dengan apa yang dikatakan cucunya. aneh memang. Jaman sekarang apa yang dilakukan anak kecil pasti saja masih menimbulkan kesan 'lucu' meskipun menjurus ke hal dewasa seperti ini.

"Boleh! Nenek Kushi lalu Nenek Mebu dan juga bibi Ino, Papa boleh melihatnya tapi kalau wanita lain jangan! Aku M A R A H!" Shina sengaja menekan kan kata marah disana, ingin menunjukan bahwa ia bersunguh-sungguh tak suka pada hal itu, melihat tingkah lucu nya membuat Naruto ikut tertawa.

"Ok, Papa tidak akan memperhatikan wanita lain selain Mama. Kartu kuning nya baru satu kan? Jadi masih ada kesempatan buat Papa?" Naruto menggendong Shina kedalam pelukannya dan mulai memimpin berjalan didepan, bocah itu menganggukan kepala nya mantap.

Tunggu, Shina memberi kesempatan untuk Naruto semudah itu. Dia baru memberi 1 kartu kuning tadi. Lalu sudah berapa kartu yang Sakura berikan untuk Naruto? Kenapa begitu sulit baginya memaafkan Naruto.

Sakura memperhatikan punggung pria itu dengan seksama. Sosok nya, yang pernah ada dihatinya menggantikan posisi Kakashi.

Benarkah 'pernah'?

Jadi sekarang sudah tidak ada? Begitu?

Seketika sisi dalam hatinya yang paling dalam merasa tidak setuju. Ia mulai memberontak. Otak dan hatinya berseteru. Otaknya berkata 'tidak!' Sedang hatinya berkata 'iya!' Keduanya sama keras nya.

Mana yang benar?

Melihat Shina yang dengan nyaman berada dalam gendongan sang ayah membuat Sakura makin yakin, putra nya sangat amat menginginkan ayah nya.

Begitu pula Naruto, ia menggendong Shina sangat hati-hati, seakan-akan ingin memberikan kenyamanan yang lebih pada sang putra.

Lalu apa kah ia tega memisahkan mereka berdua? Tak sampai hati rasa nya.

"Mama sini! Jangan jauh-jauh dong." Shina melambaikan tangannya meminta Sakura lebih dekat pada nya dan Naruto, membuat sang pria berhenti dan memilih menunggu, Melihat itu jelas membuat Sakura segera berlari kecil menghampiri mereka berdua.

"Apa kau sedang tidak enak badan? sedari tadi ku lihat kau banyak melamun, kalau memang iya, harusnya kau tak usah memaksakan diri untuk ikut bersama kami." Mendengar Naruto yang tiba-tiba bertanya, lekas Sakura menjawabnya dengan gelengan.

Bukan, bukan dirinya yang sakit tapi hati dan pikirannya yang patut diperhatikan. Lelah rasanya mencoba menghindar, bagai berlari dalam sebuah roda jogging wheel, secepat apapun ia berlari toh akan tetap menemui titik yang sama. Melelahkan bukan?

"Aku baik-baik saja." Jawabnya singkat.

"Sakura-chan, kau sudah makan?" Kushina berhenti dari rutinitas berjalannya dan berputar ke belakang demi melihat Sakura serta Naruto disana.

"Aku sudah makan." Jawab nya yang tentu saja berbohong, ketimbang makan dia lebih memilih menghabiskan waktu untuk berpikir. Menentukan masa depan nya dan juga sang putra. mana mungkin mau gagal lagi untuk yang kesekian kali kan? setidaknya ia berdoa dalam hati apapun itu pilihan yang akan dipilihnya nanti, semoga itu bukan lah kesalahan lagi.

"Kami juga sudah makan. Kalau begitu Shina mau naik apa?" Wanita dengan surai merah panjang itu menghampiri sang cucu yang berada dalam gendongan ayah nya, menyaksikan dengan seksama tingkah sang bocah.

Bocah kecil itu nampak meletakan jari telunjuknya ke dagu dan berfikir, mendongakan kepala nya keatas menatap langit yang didominasi putih biru serta awan yang hilir mudik pamit meninggalkan posisinya.

"Aku mau naik biang lala sama Papa, tapi aku mau kembang gula dulu." Bocah itu menunjuk sebuah stand penjual kembang gula, Naruto yang paham dengan permintaan putra nya lekas beranjak dari sana dan menghampiri stand yang dimaksudnya.

Selagi Naruto dan Shina pergi membeli kembang gula, Minato dan Kushina duduk pada sebuah kursi panjang dipinggir jalan setapak.

"Terimakasih banyak telah memberi kami cucu yang luar biasa seperti Shinachiku."

Minato tiba-tiba membuka suara membuat Sakura menolehkan kepala nya.

Lagi-lagi mereka menerima Shina dengan mudahnya. Sakura menunduk, menatap sepasang flat shoes hitam yang tengah ia kenakan. Sepertinya rasa paranoid dalam dirinya tentang respon keluarga Naruto sudah sepatutnya dibuang jauh-jauh. toh sekarang dia sudah lihat sendiri kan? bagaimana mereka bersikap?

"Terimakasih juga telah menerima putra ku sebagai cucu kalian dengan suka rela." Ucapan nya membuat Kushina dan Minato terkejut.

Apa Sakura kini menerima mereka? Apa Sakura telah melihat perjuangan mereka yang berusaha keras untuk diterima?

Entahlah, yang jelas sekarang apapun yang ia ucapkan barusan terlontar begitu saja tanpa diperintah. Lagi-lagi otaknya tak kuasa, kalah oleh hatinya.

Sakura mendongakan kepala nya, melihat figure Naruto yang jauh didepan sana tengah menyodorkan 1 kembang gula warna warni berukuran besar kepada putra nya yang langsung diterima dengan girang oleh Shina.

Mungkin memang sudah waktunya, sudah waktu nya ia menerima.

Pelan-pelan saja maka semua nya akan baik-baik saja.

Sepertinya.

.

.

.

.

"Mama! Senyumnya jangan seperti itu dong! yang ikhlas, jadi jelek tau difotonya."

Shina kembali mengomel, memarahi sang ibunda yang terlihat setengah-setengah dalam melakukan sesuatu, padahal kalau foto ini bagus, ia berniat menggambarnya ulang dan menjadikannya sebagai pajangan pameran sekolah diakhir semester.

"Iya-iya, maaf. ayo ulangi." Wanita merah jambu itu mendengus, memutar bola mata nya bosan dan mati-matian tersenyum lebar demi sang putra sematawayang.

"Cheers!"

CKREK!

"Wah! hasilnya bagus Shina!" Kushina yang duduk disebrang Sakura menunjuk layar ponselnya dengan senyum sumringah, menunjukan pada sang cucu apa yang barusan ditangkap layarnya.

"Wah benar! Papa! papa nanti tolong cetakin fotonya dong! Shina mau gambar ini!" bocah ini terlalu bersemangat, dan juga bawel. Naruto yang tengah meminum ekspressonya nampak bersusah payah mengangguk berulang kali demi menenangkan Shina yang nampak nya masih belum percaya bahwa sang ayah mau melakukan nya demi dirinya.

"Mama nanti sebelum liburan musim panas datang, kita akan adakan pameran gambar hasil karya siswa loh, mama datang ya! papa juga! Oiya karena Nenek Mebu dan kakek Kiza tidak ada, nanti Shina akan gambar mereka disini." Shina menunjuk dua sisi ruang yang kosong dari foto tadi yang memungkinkan baginya untuk menggambar 'orang tambahan' itu.

"Nanti nenek boleh datang? nenek juga mau lihat hasil gambar cucu pintar nenek ini." Kushina tersenyum melihat cucu nya mengangguk antusias dengan senyum sumringah masih tak menggeser penglihatan nya dari foto tersebut barang sejengkal pun. dimatanya sekarang terpancar kebahagiaan.

"Mama tidak mau naik wahana? dari tadi mama cuman diam saja, tidak seru kalau liburan seperti ini cuman murung seperti itu. Ayo papa ajak mama naik kora-kora! katanya wahana itu sedang populer dikalangan orang dewasa loh!" Shina mendorong lengan ayahnya yang duduk disebelah kirinya itu dengan sekuat tenaga membuat siempunya lengan kaget dibuatnya. Shina ini sepertinya 'terlalu dewasa' untuk ukuran bocah seperti dirinya.

Lagipula sejak kapan itu? opini tentang kora-kora yang populer dikalangan orang dewasa?

"Ayo papa!" bocah itu kembali memaksa, iris emerald nya nampak melotot sekuat tenaga.

"Iya-iya! sebentar dong, Shina ga mau ikut?" Naruto kembali bertanya begitu dia melihat sang putra tak bergeming atau pun beranjak dari posisi nya setelah ia bangkit berdiri.

"Tidak, Shina disini saja sama kakek dan nenek lagipula Shina masih mau makan." bocah itu menggeleng pelan kemudian mengangkat kepalan tangan nya yang tengah menggenggam satu stick corn dog isi sosis dan mozarrela nya.

"Mau naik kora-kora?" Setelah mendengar alasan sang putra akhirnya ia memberanikan diri bertanya dan menawarkan pada Sakura yang tengah duduk di samping kiri nya.

Wanita itu nampak menimang sejenak, sejak awal seperti nya ide naik kora-kora bukan lah hal yang bagus. Naruto sudah yakin kini bahwa ia akan ditolak, tidak masalah. setidaknya kalau pun itu terjadi, ia hanya perlu duduk kembali seperti semula dan bertingkah seakan tidak pernah terjadi apa-apa.

"Ayo." Jawaban dari sebuah suara lembut itu membuat jantung Naruto seperti berhenti berdetak secara mendadak. oh ayolah kenapa sekarang dia jadi bertingkah layaknya anak remaja yang ada dalam drama kacangan yang masih malu-malu menghadapi wanita?

apa karena sekarang situasi nya berbeda? rasanya sekarang ia patut merangkai dulu kata-kata dan menyaringnya sebelum melontarkan nya pada si wanita merah muda yang kestabilan emosi nya masih naik turun itu, karena kalau ia sampai salah bicara, bisa-bisa ia didepak keluar dan tak mendapat kesempatan kembali untuk bersama.

Sakura kini bangkit berdiri, keluar dari himpitan bangku panjang dan juga meja yang sengaja disediakan di lapangan luas ini untuk istirahat makan ataupun sekedar berbincang dan membiarkan Naruto mengikuti tindakannya.

.

.

.

.

Pria muda dengan surai keemasannya serta mata biru secerah langit hari ini dan juga kemeja hitam lengan panjangnya tengah memimpin perjalanan menuju antrian wahana kora-kora didepan sana.

Sesekali dia disibukan dengan kegiatan melihat jam tangannya yang sebenarnya tidak perlu serta dilanjutkan dengan membuka kancing pergelangan dan menarik lengan baju nya sampai sebatas siku, suatu hal yang dia lakukan hanya demi menghilangkan kecanggungan.

"Kau tidak takut ketinggian kan?" Naruto tiba-tiba bertanya tatkala mereka telah sampai didepan antrian kora-kora raksasa sepanjang 100 meter ini.

"Tidak, bukan kah kita sering naik ini berdua dulu?" Sakura menjawabnya acuh sambil sesekali membenarkan posisi rambutnya dan menyelipkan sejuntai poni panjangnya kebelakang telinga.

Sedangkan Naruto nampak terkejut dengan apa yang didengarnya, bagaimana ia sampai seceroboh itu bertanya demikian dan bagaimana ia sampai lupa kalau dulu mereka sering naik kora-kora bersama?

"A-aku.. m-maaf aku, lupa." Pria ini nampak menggaruk belakang kepala nya yang tak gatal dengan perasaan tak enak. bagaimana ia bisa merebut hati Sakura kembali kalau diawal saja sudah salah langkah seperti ini?

"Bercanda, aku hanya bercanda. memangnya kapan kau pernah mengajak ku jalan-jalan dulu? kau kan hanya perduli dengan pekerjaan mu." Sakura kembali menjawab dengan santai sambil melangkahkan kaki nya maju ketika antrian mulai bergerak. Wanita ini begitu mudah mempermainkan perasaan Naruto sepertinya.

Rasa lega dan menusuk yang secara bersamaan diterima oleh Naruto tiba-tiba menghinggapi hatinya.

Lega karena tau bahwa itu hanya bohong dan menusuk karena kata-kata nya tadi, yang secara tidak langsung mengatakan bahwa dia adalah pria menyebalkan yang tak pernah membuat bahagia seorang wanita. terdengar kejam ya walaupun mungkin kenyataan nya memang begitu.

Kini mereka tengah duduk berdampingan dalam kora-kora raksasa berwarna hijau daun ini, orang-orang masih hilir mudik mencari tempat ternyaman nya sebelum sang penjaga menutup pintu dan memerintahkan mereka untuk menutup besi pelindung dan berpegangan dengan kuat.

Pancaran iris Sakura masih sama, dingin dan terkesan tak menyimpan apa-apa. Haruskah Naruto menyerah saat ini juga?

perlahan-lahan Perahu raksasa ini mulai bergerak berayun, mirip keranjang tidur bayi dengan tingkat ayunan yang lebih ekstream. Lama-lama ayunannya bergerak semakin cepat hingga terasa bahwa perahu besar ini akan terbalik dan menumpahkan seluruh isi nya, terang saja hal ini membuat orang-orang didalam nya berteriak histeris dan saling mengeratkan pegangan.

Sakura memejamkan mata nya, mencoba menghilangkan perasaan ngeri begitu melihat tanah dibawah sana yang semakin jauh ketika sisi dari perahu tempatnya duduk semakin terbang keatas. terayun oleh mesin yang terus berderu kencang menimbulkan suara bising yang bercampur dengan alunan musik house kerasnya.

Memejamkan mata sepertinya sedikit membantunya, karena sekarang perasaan ngeri itu telah hilang, yang ada hanya lah tubuhnya yang terasa ringan terbang keangkasa kemudian turun kembali kebawah dengan kekuatan gravitasy yang membuatnya terasa seakan jatuh kedasar bumi. Perasaan nyaman layaknya saat bermain ayunan di taman kanak-kanak serta pelukan hangat yang tiba-tiba diterimanya dari sisi kananya.

tunggu dulu, pelukan? dari sisi kanan?

Sakura perlahan-lahan membuka matanya kemudian menoleh keasal 'pelukan hangat' itu dan mendapati kini pria pirang yang nampak garang diluar tengah memeluknya erat sambil memejamkan mata rapat-rapat.

Raut wajah ketakutan nampak jelas disana, raut itu mengingatkannnya pada sang putra tatkala ia bermimpi buruk dan ketakutan kemudian akan tidur disampingnya sambil memeluk seperti ini. Sama persis.

perlahan-lahan tangannya bergerak sendiri mengelus surai pirang itu dan menautkan jari jemari manisnya pada jari milik sang pria membuat siempunya tanpa pikir panjang segera menggenggamnya erat bagai tak mau lepas barang sejenak.

"Aku mohon, tetaplah disamping ku. aku membutuhkan mu." Naruto bergumam sangat lirih, saking lirihnya sampai seperti hembusan angin yang menerpa wajah masing-masing membuat sakura mengernyitkan dahinya. apa ia salah dengar? Naruto memintanya secara sepontan seperti ini. berbeda rasanya dari yang sebelum-sebelumnya, dimana sekarang terasa lebih seperti perasaan tulus yang murni tanpa dibuat-buat.

.

.

.

.

"Shina nanti kita jalan-jalan lagi ya?"

Kushina berjongkok didepan cucu manis nya. Kini mereka telah sampai didepan pintu kediaman keluarga Haruno, ada Mebuki pula disana. Bocah itu mendongak menatap sang ibunda meminta persetujuan, melihat itu membuat Sakura lekas memberikan anggukan.

"Ok!" Jawab nya segera setelah mendapat izin dari sang ibunda. Kushina lantas tersenyum penuh kegembiraan.

"Terimakasih banyak telah mengizin kan kami menghabiskan waktu bersama." Kushina, Minato dan Naruto kompak membungkukan badan memberi penghormatan pada Sakura dan Mebuki yang dibalas dengan bungkukan badan lagi.

"Kalian duluan saja ke mobil, aku ingin memberi mereka sesuatu." Kushina mengangkat 2 buah bingkisan ditangannya dan mengisyaratkan supaya Minato dan Naruto pergi meninggalkan mereka. Mengerti hal itu lantas kedua pria disana berlalu menuju mobil mereka yang terparkir diluar gerbang.

"Tolong terima bingkisan ini, aku amat sangat berterimakasih." Ia menyodorkan dua paper bag cokelat itu kearah Sakura yang lantas diterima oleh nya.

"Terimakasih banyak." Sakura tersenyum simpul, ia tak menyangka Kushina mau repot-repot memberi nya bingkisan.

"Omong-omong, kami sangat menginginkan kehadiranmu di keluarga kami, tidak bisa kah kau memaafkan kesalahan yang diperbuat Naruto dulu dan menerima nya. Aku tau masalahnya adalah Naruto terlalu fokus pada pekerjaan nya tapi sekarang aku rasa ia mampu untuk serius dengan mu. Aku harap kau memahami itu sakura-chan." Kushina menundukan kepala nya, baik Mebuki dan Sakura, kedua nya sama-sama terkejut dengan penuturan Nyonya besar Namikaze yang sangat tiba-tiba ini.

Sakura yang belum bisa memahami isi hati nya dengan tepat itu nampak terbakar emosi. Seperti nya sejak awal dia tak perlu berbaik hati, sekarang Nyonya Namikaze ini terkesan meremehkan perasaan nya dan seperti menyalahkan dirinya yang tak memahami posisi Naruto dengan berkata segitu entengnya tanpa memikirkan betapa sakit yang ia rasa.

"Iya aku tau! Pekerjaan adalah hal yang penting bagi Naruto. Tapi bisa kah dia tidak perlu merendahkan ku? Sebagai perempuan harusnya bibi tau perasaan ku, seperti apa rasa nya dicampakan, dihina, direndahkan. Sakit sekali! Aku tak perduli dia menganggap pekerjaan lebih penting dari ku atau tidak tapi seharusnya dia tak perlu berkata seperti itu yang seakan-akan aku adalah wanita rendahan. Itulah masalah nya, itulah dosa besar putra anda. Itu yang membuatku tidak bisa memaafkan nya dengan mudah. Tolong pahami, aku juga manusia. Aku punya hati."

Iris emerald itu mulai berkaca-kaca, entah kenapa tiba-tiba luka dihatinya mulai terbuka lagi. Sejak awal sepertinya ia memang tak perlu menerima mereka.

"Aku tau, izin kan putra ku untuk menebus kesalahan nya. Ia tengah berusaha. Aku tidak membela nya aku tidak menyalahkan mu pula. Tapi melihat dia susah tidur dan sering melamun dengan pandangan putus asa membuat ku merasa sakit. Dia terus-terusan memikirkan dosa besar yang telah dia perbuat itu, terlebih kau belum memberinya ampun. Itu bagai siksaan untuknya, ku pikir itu sudah lebih dari cukup sebagai hukuman untuknya. Maka dari itu aku mohon ampuni lah dia."

Kushina sangat bersungguh-sungguh kali ini, jika Sakura mengajukan syarat pun pasti akan ia penuhi asalkan putra nya dimaafkan. Itu saja. Dari pada ia harus melihat Naruto melamun dan putus asa.

Mebuki mengelus pundak Sakura membuat nya lantas menoleh pada sang ibunda, melihat sang putri tengah bimbang dengan hatinya lantas Mebuki berikan senyuman manis sebagai jawaban.

Tiba-tiba bayangan-bayangan keseruan Shina dengan Naruto siang tadi terputar di pikirannya. senyum Shina, tawa bahagia Naruto, perhatian Kushina yang tulus, pelukan Minato yang murni untuk Shina.

Semuanya nampak sempurna, kemudian kesungguhan Naruto pada nya belakangan ini terputar kembali, lalu bayangan akan ekspresi Naruto yang murung dan putus asa seperti apa yang Kushina katakan membuat hatinya sakit.

Apa kah itu bukti bahwa ia masih punya rasa dan tak mau membuat Naruto bersusah hati lagi?

Sudah, cukup sudah. Jika ia terus-terusan menentang dan menghidar maka hidupnya akan sulit seperti apa kata Ino. Lupakan dendam dan pahami diri sendiri. Itu saja.

Perlahan ia mengangguk, membuat Kushina terkejut.

"Aku akan mencoba menerima nya, maaf aku telah berkata yang tidak pantas." Air mata menetes kini, dari Sakura mau pun Kushina.

Wanita merah itu lekas memeluk Sakura dengan erat. Tidak menyangka, setelah ini perjuangan sang putra akan lebih mudah.

Sakura perlahan-lahan mau membuka pintu untuk kehadiran Naruto sekarang.

"Terimakasih, sungguh aku sangat berterimakasih." Setelah melepas pelukan, Kushina segera berjongkok kembali dan memeluk sang cucu yang sudah berkaca-kaca sejak tadi. Takut dan sedih yang dirasakan bocah kecil ini begitu melihat ibunya tengah membentak sang Nenek, suatu hal yang seharusnya tak ia lihat membuat nya bergetar hebat. Menyadari itu Kushina semakin erat memeluk sang cucu.

"Semua akan baik-baik saja Shina, nanti Shina boleh mengunjungi Nenek lagi loh kalau mau." Ucapnya mencoba menghibur bocah pirang itu, Shina menganggukan kepala nya pelan.

Setelah berpamitan, Kushina segera berlalu menghampiri Minato dan Naruto yang telah menunggu di dalam mobil nya.

Ya, benar. Jika bukan ia, lalu siapa? Siapa yang akan memperbaiki ini semua? Naruto telah berusaha, hanya ia yang belum mau menerima maka sekarang sudah sepatutnya ia menerima ini semua dengan lapang dada.

Masa lalu hanya lah masa lalu. Mantan kekasih, ada. Tapi mantan anak? Mana mungkin. Mulai sekarang Sakura bertekad. Lupakan masa lalu dan bukalah lembaran baru.

.

.

.

.

"Mama."

Bocah pirang dengan balutan baju tidur berwarna biru langit malam dengan motif bintang-bintang itu berdiri diambang masih sambil memegang gagang pintu.

"Loh? Shina belum tidur ya?" Sakura menolehkan kepalanya melihat siapa yang menginterupsi kegiatannya menatap langit malam ini sekaligus tengah merenungi apa yang terjadi.

"Mmm, Shina belum ngantuk." Bocah itu menutup pintu dibelakangnya dan mulai melangkah maju menghampiri sang ibu.

"Benarkah? Mau tidur sama Mama?" Mendengar tawaran itu lantas dijawab nya dengan anggukan setuju.

"Tadi, kenapa Mama bentak Nenek Kushi? Padahal Nenek kan ga nakal." Shina memeluk pinggang ibu nya dengan erat, bibir nya yang mungil mengatup rapat.

"Ah, soal yang tadi, lupakan saja ya, Nenek dan Mama tidak apa-apa. Nenek juga tidak nakal." Elaknya.

"Lalu kenapa Mama marah? Kalau Mama marah biasanya karena Shina nakal, kalau begitu, memangnya Nenek melakukan apa? Nenek bahkan kasih Mama hadiah, kenapa Mama marah? Apa karena Papa? Kenapa sih Ma, Shina ga boleh ketemu Papa. Padahal harusnya Papa yang marah karena Mama udah boong sama Shina dan bilang Papa udah ga ada, Papa pasti sedih dibilang begitu kan?"

Apa yang dituturkan Shina jelas membuat Sakura terkejut, putra nya lagi-lagi memihak pada ayahnya dan menyalahkan dirinya, membuat iris emerald nya berkaca-kaca.

"Tolong maafkan Papa, Ma. Shina tau Papa nakal sampai-sampai membuat Mama menangis dan marah sama Papa. Tapi Shina sangat ingin melihat kalian bersama dan bahagia. Jadi tolong maaf kan Papa, hiks." Bocah pirang ini mulai menangis dengan suara lantangnya membuat Sakura panik dibuatnya, segera saja ia berjongkok dan memeluk sang putra dengan eratnya.

"Sstt sudah jangan menangis ya, Mama sudah maafin Papa kok." Jawabnya yang langsung membuat Shina terdiam.

"Benar? Mama udah maafin Papa?" Sakura menjawab dengan anggukan pelan, membuat dua bulir air mata yang memenuhi pandangannya itu menetes dan membasahi pipi nya.

"Shina sayang Mama Papa!" Shina segera memeluk leher sang ibu dengan erat berharap ini bukanlah bunga tidur yang menyambangi nya tengah malam seperti sebelum-sebelum nya.

Ia sejak dulu mendambakan keluarga yang utuh dan bahagia, ada ibu dan juga ayahnya.

Semua anak pasti berfikir serupa kan? Dan ia sangat ingin hal itu menjadi nyata, bagaimana pun cara nya.

Kalau saja ibu peri dalam dongeng-dongeng yang pernah didengarnya saat sesi literasi di sekolah taman kanak-kanak itu nyata dan mendatangi nya maka ia akan berkata 'tolong buat keluarga ku utuh, aku mau Mama dan Papa ku bersatu dan hidup bahagia bersama ku.' apapun syarat nya, bahkan jika ibu peri memberi nya syarat dengan memintanya sebagai anak baik maka ia akan menyanggupi nya saat itu juga.

Ia rela tak merengek dibelikan mainan baru, ia rela tak nakal saat di butik atau toko bunga, ia juga rela selalu pulang tepat waktu, ia juga akan belajar sungguh-sungguh supaya mendapat nilai sempurna seperti Shikadai.

Apapun itu asalkan ada Papa dan Mama nya dirumah dan juga bisa tiap minggu menghabiskan waktu bersama seperti tadi. Itu saja.

.

.

.

.

"Terimakasih sudah mengantar ayah sampai bandara, Naruto. Mendadak sekali Yamato ada urusan sampai-sampai dia tak bisa mengantar ku kemari."

Minato tengah menunggu putra nya menurun kan koper ukuran sedang milik nya dari bagasi mobil nya. Mendengar itu hanya ditanggapi senyuman oleh Naruto kemudian ia berkata.

"Tidak masalah, lagi pula urusan dikantor sedang lengang. Kita kan baru saja memenangkan tender." Ucapnya santai kemudian mengikuti sang ayah sampai masuk kedalam bandara.

"Besok kau ada seminar lagi ya? Kalau bisa menangkan tender itu lagi, hasilnya lumayan. Sayang kalau dilewatkan." Naruto menjawabnya dengan anggukan setuju, kalau bisa memang ia ingin memenangkan semua tender saat seminar dan menjadikan Namikaze sebagai perusahaan dengan kedudukan tertinggi di seantero Jepang, yah meskipun itu tidak mudah memang.

"Ok sampai sini saja." Minato menghentikan langkahnya dan menghadap sang putra kemudian setelah pamit ia lantas menuju counter check in dan segera menuju ke boarding room setelah mendapat boarding pass miliknya. Masih ada 1 jam lagi sebelum pesawat menuju Kyoto datang untuk menjemputnya.

Naruto lantas bergegas untuk kembali ke parkiran dimana mobilnya berada, meskipun ia masih bisa bersantai tapi ia harus segera sampai di kantor saat ini juga untuk menyelesaikan laporan yang tadi sempat tertunda karena sang ayah mendadak minta diantar kan menuju bandara.

"Kau yang bernama Namikaze Naruto ya?"

Merasa nama nya disebut seseorang lantas membuat dia menolehkan kepala dan mencari asal sumber suara.

Seorang pria tinggi tegap dengan iris unik beda warna itu nampak berdiri dengan santai, disamping nya terdapat sebuah koper. Membuat Naruto yakin ia sepertinya akan pergi kesuatu tempat.

"Ya, apa kita saling kenal?" Pria dengan surai pirang ini sepenuh nya menghadap pria yang telah memanggil nama nya itu, siapa tau dia salah satu kolega bisnisnya, tapi sepertinya dia belum pernah melihat pria ini.

"Suatu kebetulan yang sangat luar biasa kita bisa bertemu disini secara tak sengaja. Aku mantan kekasih Sakura."

DEG!

Naruto terpaku, pria ini mantan kekasih Sakura rupa nya, lalu ada apa dia mengajaknya bicara?

"Oh ya? Aku tidak tau. Aku Na-."

"Namikaze Naruto kan? Aku sudah memanggil mu dengan nama itu tadi, berarti aku tau kau siapa. Kau ayah dari anak Sakura?"

Naruto terdiam, ia semakin tak mengerti. Pria ini mengetahui nama nya, mengaku sebagai mantan kekasih Sakura dan pula mengetahui bahwa ia adalah ayah dari putra Sakura. Dari mana dia tau semua nya?

"Iya, memang aku orangnya. Dan kau sendiri? Siapa kau?" Naruto melangkah maju lebih dekat pada sosok pria yang sepertinya lebih tua beberapa tahun darinya itu.

"Aku Hatake Kakashi, mantan kekasih Sakura. Kau pasti terkejut karena aku mengetahui ini, Tak penting aku tau dari mana. Yang jelas aku hanya minta pada mu. Tolong bahagia kan dia. Lakukan apa yang tidak sempat aku lakukan pada nya. Kalau sampai terjadi sesuatu pada Sakura, maka kau adalah orang yang paling pertama ku cari untuk mempertanggung jawabkan semua nya."

Naruto nampak menelan ludahnya, tatapan pria ini tidak main-main, ia bersungguh-sungguh pada apa yang ia ucapkan barusan. Segitu berartinya kah Sakura baginya? Kalau memang masih ada rasa, lalu kenapa memutuskan berpisah?

Bahagia kan ya? Naruto sendiri tak yakin dia mampu, karena sekarang Sakura sulit sekali untuk didekati lalu bagaimana ia membahagiakannya?

Naruto mengangguk seakan-akan ia paham maksud sang pria asing yang memperkenal kan diri sebagai Hatake Kakashi ini.

"Baik, aku akan menjaga dan juga membahagiakan nya semampu ku. Terimakasih atas perhatian nya." Kakashi mengangguk pelan.

"Ku pegang ucapan mu itu."

Ia melihat jam tangannya, masih ada sekitar 45 menit lagi sebelum waktu penerbangannya, masih ada kesempatan untuk check in.

Ia lantas pamit pada Naruto dan memilih undur diri, meninggalkan sang pria pirang yang masih mematung ditempat semula memperhatikannya menuju counter check in bandara.

Mantan kekasih nya ya? Bukan berarti dia tak bisa kembali dan merebut Sakura kan?

Terlebih lagi kata-katanya tadi seakan dia masih perduli.

Ah sepertinya mulai saat ini ia harus benar-benar berjuang memenangkan hati Sakura dan menjadikannya hak paten milik nya seorang.

Bagaimana pun itu caranya.

.

.

.

.

Sejak penolakannya dari Sakura 2 hari yang lalu, ia mencoba untuk mencari tau dan Ino dengan senang hati memberinya informasi.

Sakura benar telah memiliki seorang putra dan pria tadi adalah ayah dari anak Sakura. Menyakitkan memang.

Sudah lama sejak insiden Sakura memutuskan hubungan dengan nya, tapi ia tak pernah sungguh-sungguh meninggalkan Sakura dan menerima keadaan begitu saja.

Baginya Sakura tak mungkin dengan mudah melupakan nya, hubungan mereka telah menginjak waktu 4 tahun lama nya.

Apa semudah itu Sakura melupakan nya?

Tapi ternyata mungkin ia memang salah. Meninggalkan Sakura dengan waktu tak kalah lama nya, memberi kabar dengan hitungan jari saja, apa yang diharapkan dari hubungan seperti itu?

Jika ada seseorang yang berkata bahwa waktu bisa memudarkan perasaan cinta seseorang, sepertinya sekarang ia patut setuju, memang siapa yang mau menunggu selama itu? Dengan ketidak pastian berkepanjangan? Wajar kalau Sakura berpaling darinya dan memilih pria lain yang mampu mengisi kekosongan hati nya.

Mungkin bukan hanya Sakura, tapi semua orang di dunia ini akan berpendapat serupa. Dan ia menyesal sekarang. Ia sangat merasa kehilangan.

Harusnya dia, dia yang harus berada disisi Sakura dan menenangkan wanita itu ketika gundah, dia harusnya yang berada disetiap malam wanita itu, dia yang seharusnya mengecup kening Sakura, dia yang seharusnya menjadi ayah dari putra Sakura. Setidaknya itu memang yang ia harapkan sejak lama.

Apa salah dia pergi dari Jepang dengan tujuan membuat Sakura bahagia? Bukan nya mendapati Sakura bahagia karena jerih payah nya justru malah mendapati Sakura telah bersama pria lain disini dan kecewa pada nya.

Miris.

Sesak didadanya kembali kini, membuatnya meringis. Kenapa kisah cinta nya berakhir tragis?

Kakashi menatap awan yang terlihat sangat dekat dengan jendela pesawatnya. Awan itu putih bersih, cuaca kali ini benar-benar cerah tidak seperti hatinya yang tengah gundah gulana.

Harapannya pupus sudah. Mulai sekarang dia hanya akan menjalani hidup yang monoton tanpa ada kesempatan memiliki Sakura kembali. Begitu saja, mengalir ada nya.

Sejak dulu harus nya ia tau, sejak Sakura memutuskan pergi dan meninggalkan hati nya maka harusnya ia pun seperti itu, tak usah berharap bahwa semua nya akan baik-baik saja, tak perlu berangan tinggi-tinggi dan berkhayal bahwa Sakura akan menerimanya kembali karena itu semua hanya akan menjadi mimpi, mimpi yang sangat tinggi.

Lebih tinggi dibanding awan-awan ini. Ya, dia memang harus meninggalkan Sakura dengan sejuta kenangannya.

Ia perlu melanjutkan hidup dan memperbaiki hatinya.

Anggap saja semua nya mudah, dengan begitu ia pasti bisa melakukan nya bukan?

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

Dibuang sayang*

KAKASHI : kau yg bernama uzumaki naruto ya?

NARUTO : *...*

KAKASHI : EHH ANJIR BUDEG!!

NARUTO : ehh sorry lagi ngapalin skrip selanjutnya

KAKASHI : INI SER! KETAUAN GA HAPAL DIALOG! *ngadu*

.

.

.

.

KUSHINA : KITA SUDAH SAMPAI!!!

MINA,NARU,SAKU : EHH BUJED!! (Kaget krna kushina terlalu bersemangat)

KUSHINA : maklum baru nerima gaji, jadi semangat gini

.

.

.

.

Tunggu dulu*

Yamato : sumpah ya, sejak chapter 2 gua cmn nongol nama nya doang, sekarang jga gtu

Seri : y gpp kan? Lagian ttp nerima honor:"v

Kakashi : serius gua udh kelar? Padahal gua nunggu adegan baku hantam smaa naruto.

Seri : elah bilang aja mau lebih lama munculnya

Ino : chapter kali ini kaya nya judul yg cocok adalah "KICK INO" "INO GOLDEN WAYS" "INO TEGUH" karena banyak banget kalimat motivasi dari gua:"v

Saku : btw ya ser kok gua kayanya plinplan bgt deh. Dikit2 berlaga nerima dikit2 marah2 terus nolak abis2an

Seri : ya maklum pada dasar nya sakura itu naif, kurng pengalaman untuk memahami dirinya sendiri. Logika nya aja gini, ketika seseorang menyebabkan luka dihati km apakah km akan dengan mudah melupakannya? Terlebih luka itu membekas? Pasti mikir dulu kan? Dan ketika perasaan nya perlahan2 terbuka dia ttp butuh waktu untuk meyakinkan diri. Konflik batin gtu deh. Terlebih lagi hatinya yg rapuh dimana dia butuh seseorang yg memihak padanya tapi kenyataannya malah sebaliknya. Semua orng seakan ga memahami dia. Apalagi di scene kushina yg seakan2 memaksa sakura melupakan masalalu dengn begitu cepatnya ditambah lagi kata2 nya yg seakan sakura yg tidak memahami naruto jelas bikin dia emosi. Tapi sifat aslinya dia adalah seorang wanita baik hati yg lugu dan jga berhati besar kok. Jdi pasti ada kata 'memaafkan' didalam hatinya.

.

.

.

.

Ahhh apa ini? Setelah sekian lama ku telantarkan akhirnya aku kembali dengan sebuah lanjutan yg mengecewakan diri sendiri:"

Aku g tau ini nyambung apa g, setidaknya aku berusaha mengungkapkan semua nya dichapter kali ini, maka g heran klo terasa lebih panjang.

Setelah kelar dengan chapter ini, baru deh aku lanjutin CHANGED abis itu DC dan jga fic lainnya, rencana awalnya sih gitu:v tapi ga tau setelahnya wkwk aku benar2 tidak punya pendirian

sebenarnya sih aku tidak menelantarkan, hanya saja ffn ku agak nya eror, aku udah cape2 ngedit ehh pas dicek lagi kembali ke semula, semua kalimat tambahannya ilang gtu aja bikin aku harus ketik ulang, ksl sumpah. karena hal itu aku jdi sempet meninggalkan fic ini dalam dokumen dalam waktu yg lama. Mohon maaf sekali lagi.

RnR minna? Mohon dukungannya T.T

Tinggalkan jejak apapun itu, terutama kalimat membangunnya supaya aku semangat ngetiknya

JANGAN ADA SIDERS DIANTARA KITA!!!! wkwkwk

21 juli 2019 - seriello