.
.
.
Epilog:
Hanya sepuluh langkah awal ketika Hajime dan Tooru berjalan dari halte turun ketika rintik deras hujan kembali bertemu sapa diantara keduanya, sehingga mereka pun tergopoh-gopoh menyegerakan diri untuk sampai di apartemen Hajime, dengan sebelah tangan melindungi kepala mereka dari air mata langit dan sebelah tangannya lagi saling bertautan satu sama lain. Berbelok kiri dan membiarkan cipratan genangan air membasahi sepatu dan ujung celana keduanya, berbelok kanan dan tepat di depan pintu gerbang berukuran sedang berwarna hitam agak berkarat, keduanya menormalkan detak jantung dan deru nafas yang tersengal dan Hajime yang sambil agak bersusah payah membuka gerbang apartemennya, mempersilahkan Tooru masuk dan berteduh terlebih dulu di beranda depan pintu masuk gedung apartemennya.
Sambil menunggu Hajime menyusulnya kemari, Tooru berkesempatan untuk menjelajahi pandangannya kepada gedung apartemen Hajime: cukup tinggi dan tampak memiliki tiga lantai, berwarna hitam dan merah marun yang berasal dari dinding berbatu bata khas gedung jaman dulu lengkap dengan tanaman menjalar yang menghiasinya; memiliki halaman dengan yang cukup untuk melakukan kegiatan sederhana seperti berkebun hidroponik (dan memang terdapat dua kebun hidroponik di sebelah kanannya) dan seperangkat permainan anak-anak seperti ayunan, jungkat-jungkit dan perosotan berliuk, sebuah sumur kecil berdampingan dengan kolam air mancur berwarna putih porselen, dan sebuah pohon tua lengkap dengan sepasang bangku di kedua sisi pohon tersebut. Kemudian, Tooru baru menyadari bahwa keempat spot itu memiliki jalan setapak masing-masing yang terbuat dari keramik dan con-block dan memiliki tanah rerumputan dan kotak pos yang sejajar dengan gapura gerbang.
Dilihatnya Hajime menghampiri, sambil menyampirkan tangannya pada pinggang Tooru yang terasa menggigil, lelaki berambut jelaga itu pun menggiring keduanya masuk gedung sambil mengusap-usap wajahnya yang basah dengan sapu tangan dan dirinya yang memeras air hujan pada rambut brunettenya yang setengah layu.
Ketika mereka masuk, keduanya disambut dengan keheningan lorong yang bercahaya temaram dari lampu neon di sepanjang gedung. Tooru kembali menjelajahi matanya sambil melangkah dituntun oleh genggaman tangan Hajime, dan ia membatin bahwa interior gedungnya sama klasiknya dengan eksterior yang baru ia lihat: wallpaper batik itu, dan lukisan-lukisan berseni dengan figura berukir, dan tirai yang menghiasi pintu kamar apartemen empunya masing-masing; dan ketika ia sadar bahwa Hajime dan dirinya sedang menaiki tangga, Tooru lantas membuka hening: "Di lantai berapa apartemenmu?"
"Dua." Hajime menjawab.
"Kau tinggal sendiri?" lawan bicaranya pun mengangguk pelan, kemudian melempar balas, "Kalau misalnya aku tinggal bersama kawan," melirik sesaat kepada Tooru yang membalas tatapan, "Apa kau akan menolak tawaranku untuk mampir?"
Tooru mengerjap menatap wajahnya, lalu menunduk memperhatikan genggaman tangan keduanya, terlebih ketika Hajime melempar pertanyaan itu, genggamannya bertambah erat. Itu membuat Tooru terkekeh penuh sipu diam-diam, lalu menggeleng. "Tidak juga."
Itu membuat Hajime tersenyum kecil dan sedikit besar kepala diam-diam.
"Meskipun aku tinggal sendiri," Hajime berhenti tepat di depan pintu kamarnya, ia melepas genggaman tangan Tooru yang disusul dengusan merajuk karenanya, tetapi Hajime tidak pikir pusing karena ia memilih untuk merogoh kantung tas mencari kunci pintu. "Tapi aku harap kau tidak keberatan untuk menemani mereka bermain."
"Mereka?"
Alih-alih menjawab rasa penasaran Tooru, Hajime memilih membuka pintu apartemennya, yang kemudian disambut dengan rupa meongan dan suara gemerincing lonceng dari dalam ruangan. Tooru terkejut, dan ia merangsek masuk dengan agak tidak sabar bahkan sebelum Hajime persilahkan dan terkesiap bukan main ketika empat ekor kucing datang menyambut keduanya. Tooru tergagap-gagap, wajahnya merona dan kelereng wajahnya berkaca-kaca, kemudian ia membungkuk perlahan-lahan hingga akhirnya berjongkok dan berusaha menyejajarkan wajahnya dengan wajah kucing-kucing eksotis tersebut. Tangannya yang bergetar (entah karena kedinginan diterpa hujan atau bukan) menjulur dan menggendong salah satu kucing tersebut, yang mengendus-endus wajah, rambut serta kedua telingannya dan berakhir menggigit kecil pucuk hidung Tooru yang dibalas kekehan gemas.
"Oh, Hajime!" pekiknya ditengah gemuruh hujan, "Kucing—dan ada empat ekor?!" Tooru menimang-nimang kucing dalam gendongnya yang disambut meongan lebih ramai. "Hajime, aku tidak tahu kalau kau memelihara kucing sebanyak ini!"
"Yah," Hajime tersadar dari lamunannya, lalu dengan canggung menggaruk belakang telinga sambil dan melanjutkan. "Tadinya hanya sepasang, tapi enam bulan yang lalu mereka menjadi orang tua."
"Ooooh," Tooru mendekut, menggesek-gesekkan hidung keduanya yang dibalas oleh jilatan ramah sang kucing. "Lihat dirimu, kucing-kucing yang cantik." Lalu, melihat ada kucing-kucing lain yang mencoba menarik perhatiannya, Tooru pun kembali membungkuk dan berjongkok sambil melepaskan seekor yang digendongnya, dikecupnya satu per satu kucing itu dengan mesra dan penuh kasih, "Caracal kesayanganku."
Hajime tertegun. Di hadapannya, seorang lelaki asing yang baru ia kenal beberapa menit lalu, ia yang datang merangsek ruang privasinya di halte, yang memaksanya untuk mendengarkan lagu yang membuat melodinya tersiang-ngiang terjebak di pikirannya, lelaki yang sama yang membuatnya suka rela menyerahkan kopi panasnya dan saling bertautan kelingking di halte sambil menunggu bus tiba, lelaki yang ia tawarkan untuk mampir ke apartemennya, dan yang ia genggam erat sepanjang perjalanan pulang—lelaki itu, paras menawan yang berada di depannya, di apartemennya dan sedang melakukan baby talk kepada kucing-kucingnya tidak peduli jika tubuhnya setengah basah kuyub dan dengan wajahnya yang merona kedinginan, yang mengerjap manja dan kini menyeringai penuh goda dibalik bahunya dan menggumam parau: "Hajime?"
"Ya?"
Dan detak jantungnya kembali berdebum seirama dengan lagu yang mereka berdua dengarkan bersama-sama itu, seolah berusaha mengalahkan derap-derap hujan langit kelabu di luar sana.
"Selamat datang."
Hajime mengigit kecil bibirnya, dan perlahan-lahan menghampiri Tooru sambil menggenggam kenop pintunya, dan samar-samar dibalik pintu yang tertutup, tawa renyah Tooru dan derap hujan yang mulai mereda, kemudian membalas, "Aku pulang." []
.
.
Special for:
Vanilla-ssu:
Hai! Terima kasih sudah sempat baca dan kasih review, aku terharu karena sepertinya fandon HQ kurang diminati di ffnet (haha, but it's okay.) dan iya, sepertinya adegan gombal itu cuma berlaku di dunia fanfic aja, sih, ya—sadly; tapi semoga di fanfic ini Hajime nggak kelihatan se-desperate itu ngajak Tooru ke apartemennya dan Tooru nggak kelihatan se-cheapy itu karena diajak ke apartemen si empunya yang atraktif luar biasa (hahaha.)
Oh iya, jangan panggil aku author—cukup panggil aku Chapters dan mampir lagi ke fanfic-fanfic ku yang lain, ya! *waving hand*