Diamond no Ace disclaimer by Terajima Yuji-sensei

The Closeness by Rin Shouta
Rate :
T
Genre :
Angst, Hurt/Comfort, Drama

Pair : MiSawa (Miyuki Kazuya x Sawamura Eijun)

Warning : Miyuki's Graduation! Miyuki's centric! Disarankan baca ini sambil dengerin lagu Miyano Mamoru yang judulnya HOW CLOSE YOU ARE, ending song anime Ajin. Please be aware of OOC, typos, etc. Don't like, don't read. I've warned you, 'kay?


.

.

.

Until I went away and faced the lonely days
I thought I'd understood what it meant to love someone

Miyano Mamoru – How close you are

.

.

.


Keesokan harinya, tim Seidou dijadwalkan kembali ke Tokyo sekitar jam sepuluh pagi. Sebelum berangkat, mereka sarapan bersama. Rei sempat menginformasikan akan ada interview dirinya, Sawamura, dan Pelatih Kataoka dengan wartawan lokal setelahnya. Ketika sarapan, Kazuya sering melirik ke meja seberang, tempat sang ace berada. Bukan karena suara berisiknya yang terdengar sedang mengobrol dengan Kuramochi, tapi benaknya masih terbayang akan pembicaraan mereka kemarin.

"...seandainya waktu itu aku memutuskan untuk menyerah karena tidak diberi kesempatan, apa yang terjadi padaku?"

"Aku marah karena aku kecewa padamu."

"Tapi sekarang sudah tidak apa-apa."

Kazuya menghela napas lelah. Dirinya hampir tidak bisa tidur semalam. Mungkin jika dihitung, ia tertidur hanya tiga jam dan itu kurang dari cukup.

"Kurang tidur, Miyuki-senpai?"

Matanya mengerjap berat pada junior sekamarnya, Okumura. "Hmm."

"Jangan-jangan kau gugup karena ada interview," timpal Maezono.

"Hah, mana mungkin?" Kali ini ia menguap sambil ditutupi dengan tangan kanan yang kemudian memijat kening. "Ada hal yang kupikirkan dan otakku menolak untuk mengabaikannya," karena ini bersangkutan juga dengan tim, tambahnya dalam hati.

"Senpai, kalau itu soal tim, serahkan saja padaku," sahut Okumura.

Kedua alis Kazuya mengernyit. "Kenapa?"

"Karena aku akan menggantikanmu sebagai main catcher tim Seidou."

Hening beberapa detik sebelum tawanya meledak. Anak ini tidak berubah sama sekali, selalu terobsesi jadi main catcher, Kazuya geleng-geleng kepala. "Bocah, aku tahu kau sudah mulai menguasai cara menangani Numbers Sawamura, tapi tolong jangan besar kepala. Masih ada Yui dan Kariba di tim yang akan dipertimbangkan oleh Pelatih," balasnya.

"Percaya diri boleh, tapi lihat kenyataan juga, Koushuu." Sato menepuk bahu teman akrabnya.

Okumura mendelik diiringi aura gelap menguar dari tubuh.

Haaah... Pagi-pagi sudah seenerjik ini...

Kazuya menyudahi acara sarapannya lalu menaruh peralatan makan ke tempat berkumpulnya piring kotor dekat pintu keluar. Ia tersenyum pada office boy yang bersiap mengangkut cucian tersebut. "Thanks," ucapnya sopan.

"Kalau kau mau kopi, langsung saja minta ke pantry, ya."

Saking seringnya sampai pegawai ini tahu kebiasaan pagi Kazuya.

"Ahaha, ya."

"Tunggu, Iwai-san!"

Ujung bibir Kazuya berkedut. Reflek kepalanya menengok ke arah junior yang paling berisik di tim. Bahkan dia tidak ragu memanggil namanya...

"Oh, sudah selesai sarapannya, Ace-sama?" Iwai bertanya dengan nada menggoda.

"Yap! Goochisousama deshita!" jawab Sawamura menyengir lebar.

Iwai pun membawa peralatan makan yang kotor itu ke dalam ruang bertuliskan 'Staff Only'. Ia melirik ke arah si pitcher yang balas menatapnya dengan ekspresi cerah. "Ohayou, Cap! Mohon bantuannya untuk interview di pagi hari yang cerah ini!"

"Jangan terlalu bersemangat, yang ada kau malah mengacau nanti," goda Kazuya.

Sawamura tertawa sombong. "Tenang saja! Sawamura Eijun ini sudah mempersiapkan segala bentuk jawaban di dalam otak—"

"—sampai tidak bisa tidur semalaman," potongnya.

"Umumumumu! Tidak sopan memotong pembicaraan!"

"Haha, berarti benar, ya?" Sekali lihat, Kazuya tahu kalau Sawamura memang tidak bisa tidur. Kantung matanya terlihat jelas dan air mata masih sedikit membekas di wajah.

"Kau sendiri juga seperti zombi, Cap!" balasnya.

Ini karena ceritamu semalam, bodoh. Mana mungkin Kazuya berterus terang.

"Tidak kusangka seorang Miyuki Kazuya tidak bisa tidur karena ada interview!"

"Siapa bilang, hm?" tanya Kazuya seraya melingkarkan tangan kanan di leher sang junior, menghilangkan jarak di antara tubuh mereka. Sawamura berontak ingin melepaskan diri, namun ia tahan. "Aku tidak seluang dirimu karena setelah ini Pelatih dan Oota-buchou pasti akan menanyakan pilihan karirku ke depannya bagaimana," jelasnya lalu melepaskan kunciannya setelah masuk lift dan menekan tombol lantai 1.

Di dalam lift yang hanya dimasuki oleh mereka berdua, entah kenapa tercipta keheningan seperti semalam. Sawamura terlihat menunduk walau tidak memberi jarak. "Kau sudah memutuskan pilihanmu?"

"Belum," jawabnya santai dan menguap. Aku harus minum kopi sebelum interview.

Lift terbuka, Kazuya mengambil lawan arah dari lobi untuk membeli kopi hitam kalengan. Di belakangnya terdengar suara langkah kaki mengikuti. Tanpa menengok, ia bertanya, "Kau ingin beli kopi juga?"

Dengusan pelan menjawabnya. "Huh? Aku bukan Jiji sepertimu, Senpai."

"Kau ini... Orang yang suka minum kopi hitam bukan berarti sudah tua."

"Hai, hai."

Kopi kalengan dibuka kemudian berbalik badan. Kazuya mengangkat alis sebelah kanan, bingung dengan jarak yang dibuat oleh Sawamura. Pemuda itu terlihat segan untuk mendekat, tidak seperti biasanya yang selalu masuk ke space orang lain. Ketika Kazuya ingin mengikis jarak, ia melihat tubuh Sawamura menegang.

Huh?

"...Senpai, kau tidak bisa tidur karena ceritaku semalam, ya?"

Twitch. "Aku tidak memikirkan lebih jauh karena kau bilang sudah tidak apa-apa."

"Tapi matamu bilang sebaliknya." Kali ini Sawamura memandang lurus padanya. Raut wajah merengut dengan bibir sedikit maju. "Mereka selalu bilang aku ini bodoh, tapi terkadang aku bisa membaca situasi di sekitarku. Termasuk sikapmu, Miyuki. Aku bertekad tidak akan tertipu lagi olehmu sejak saat itu."

"Aku benar-benar—"

"—makanya kubilang 'tidak apa-apa'!"

Mau tidak mau, Kazuya menghela napas pasrah. "Oke, oke."

.

.

.

Interview berjalan dengan lancar, begitulah menurut Kazuya. Di luar dugaan, Sawamura terlihat bijak saat memberi jawaban. Pemuda itu sedikit menyinggung masa lalunya ketika mendapat yips. Tapi berkatnya juga bisa menjadi Sawamura yang sekarang, meski jalannya tidak mudah karena harapan bagi seseorang yang terkena yips kembali seperti semula sekitar 50:50. Tentu informasi ini mengejutkan banyak pihak yang ada di sana dan bertanya lebih jauh walau sayangnya Sawamura tidak ingin membahasnya lebih dalam.

Pelatih Kataoka pun menambahkan, ia tak pernah berhenti berharap murid didiknya bisa berkembang menjadi apa yang mereka mau. Dirinya juga bangga dapat mengembangkan kemampuan murid yang luar biasa seperti mereka. Kazuya maupun Sawamura diam, tidak tahu harus berkata apa. Tapi Kazuya tahu, adik kelasnya berusaha menahan air mata yang siap meluncur bebas dari pelupuk matanya.

Sekitar setengah jam kemudian, mereka terbebas dari tugas interview. Saat Kazuya ingin ke lift bersama Sawamura, pelatih mereka meminta waktu sebentar untuk berbicara. Ia tahu dengan jelas topik apa yang ingin dibahas.

Tentu saja, tentang retirement dan kapten selanjutnya.

Sawamura pamit. Aneh rasanya mendapat ekspresi cemas dari si southpaw. Kazuya memberi gestur mengusir yang langsung dibalas juluran lidah serta hentakan kaki.

"Miyuki-kun, duduklah." Rei menunjuk sofa yang tadi ditempati oleh pewawancara.

Kazuya mengangguk. Lebih cepat memang lebih baik, pikirnya.

Setelah merasa nyaman dengan posisi duduknya, ia pun menatap lurus ke depan. Pelatih Kataoka menaruh cangkir bekas kopi hitam yang kini telah habis ke atas piring kecil. Di sampingnya, Rei tersenyum. Mereka jadi terlihat seperti sepasang suami-istri yang tentu saja takkan ia katakan secara terang-terangan.

"Miyuki, kau pasti sudah menduganya, kan?" tanya sang pelatih.

"Tentang rekomendasi untuk kapten selanjutnya," jawabnya yakin.

"Apa kau ada saran?"

Kazuya memilih diam, memikirkan kata demi kata yang akan keluar dari mulutnya. Ini bukan berarti ia belum memikirkannya, tapi lebih ke arah belum bisa memilih siapa di antara kandidat yang sebenarnya sudah dipertimbangkan jauh-jauh hari. "Sejujurnya aku masih ragu, angkatan Sawamura banyak yang bisa diandalkan untuk jadi kapten, terutama Kanemaru dan Toujou," ucapnya hati-hati.

Kazuya lalu tertawa pelan, "Bahkan jika Sawamura tidak berkembang seperti sekarang, aku mungkin akan merekomendasikannya."

"Aku juga memikirkan hal yang sama."

Perhatiannya terfokus pada Pelatih Kataoka.

"Tapi beban seorang ace tak bisa ditambah."

Kepalanya mengangguk. "Oleh karena itu, aku mempertimbangkan kandidat yang lain." Terbersit beberapa momen penting tentang Kanemaru di benak Kazuya, betapa pedulinya pemuda tersebut pada adik kelas (apalagi si pitcher bodoh yang kini jadi ace). "Aku sangat merekomendasikan Kanemaru untuk posisi kapten, tapi aku sedikit ragu dengan Toujou. Kerja sama mereka memang bagus, hanya saja... seperti ada yang kurang," ucapnya tegas lalu tidak yakin di akhir.

"Apa kau ada saran, Takashima-san?" tanya Pelatih Kataoka, meminta saran pada manajer tim.

Yang ditanya sempat menaikkan kacamata sebelum menjawab, "Takatsu Hiroomi."

Entah ini sebuah tradisi atau hanya kebetulan, generasi sebelumnya dan yang sekarang pun hubungan kapten dan wakilnya tidak akur di awal. Ini juga berlaku pada Kanemaru dan Takatsu jika mereka benar-benar terpilih karena yang ia dengar, mereka tidak akur. Hubungan mereka seperti berat sebelah, Kanemaru terlihat ingin dekat dengan Takatsu tapi pihak lawan seolah tidak menganggapnya ada.

Benak Kazuya kembali mengingat ketika masa awal ia diangkat jadi kapten, tentang perdebatan dirinya dengan wakilnya, Maezono. Bahkan jauh sebelum itu, mejanya sempat digebrak oleh Kuramochi saat Sawamura kena yips. Namun setidaknya ia beruntung bisa memiliki dua wakil yang bisa diandalkan seperti mereka.

"Jadi, siapa yang kau pilih untuk menggantikanmu, Miyuki?" tanya sang pelatih.

"Kanemaru Shinji."


.

.

.

Feeling everything that was right in front of me
Losing the things that are most precious to me
I'll realize what what real love is

.

.

.


Kepalanya terasa ingin pecah. Dari sekian banyak anggota tim baseball yang seangkatan, kenapa Kazuya harus berbagi kamar dengan Kuramochi Youichi? Apa Tuhan terlalu benci dirinya yang jarang bersembahyang di kuil? Sungguh, ia bosan karena akan terus bersama mantan kaptennya ini selama 24 jam full mulai sekarang.

"Kalian juga sekelas, kan?"

"Di kelas saja aku sudah muak melihatnya, Bakamura. Ditambah ini," gerutu Kuramochi.

"Why, thank you," sahutnya pasrah.

"Bukan pujian!"

Sawamura bertolak pinggang setelah menaruh sebuah kardus berisi macam-macam barang Kuramochi. "Sebelum ini juga kalian selalu ketemu di lapangan. Apa bedanya?"

Ia tak bisa menahan tawa mendengar pertanyaan polos sang ace. "Baka da na, omae!"

"Siapa yang kau sebut 'bodoh'!?"

"Aduduh, perutku—hahahaha!"

"Berhenti tertawa, Mantan Kapten!"

Dilihatnya Kuramochi memiting leher Sawamura. Ia menghela napas lelah sebelum berucap, "Begini, deh. Coba kau bayangkan. Kau setim dengan Furuya lalu sekelas dengannya selama hampir dua tahun. Gimana perasaanmu begitu tahu dia juga sekamar denganmu setelah pensiun? Muak dan bosan, kan?"

Yang ditanya malah mengerjap beberapa kali. "Biasa saja, sih? Tapi kalau bisa memilih, aku ingin sekamar dengan Toujou."

Kazuya tertawa lagi namun lebih keras dari sebelumnya.

"Susah memang bicara dengan orang bodoh," ujar si shortstop menyerah.

"Hei!" Juniornya itu cemberut sambil bersidekap.

Perhatian mereka teralih pada dering panggilan di ponsel Kuramochi. Sekali lihat Kazuya tahu siapa yang menelpon. "Sorry, guys. Partner kencanku sudah di depan gerbang. Bye!" Secepat kilat pemuda itu pergi, menyisakan mereka berdua di dalam kamar yang masih penuh dengan kardus.

"Tunggu, sejak kapan dan siapa pacar You-chan!?" Sawamura berseru kaget.

Tangan kanannya menepuk dahi. "Siapa lagi kalau bukan Ryou-san?"

"Mereka pacaran!? Serius!?"

"Seharusnya kau sudah sadar sebelum Ryou-san pindah ke asrama ini," ucapnya lalu menggeleng pelan. Sebodoh apa sih Sawamura Eijun sampai tidak peka soal ini? Kazuya menatap miris pada juniornya yang masih dilanda syok. Hobinya baca shoujo manga tapi ketidakpekaannya lebih parah dari yang dibayangkan.

"Apa hanya aku yang tidak sadar?" tanya Sawamura.

"Mungkin?" Kazuya menahan tawa begitu adik kelasnya duduk bersila dengan wajah cemberut. "Tapi Kuramochi juga tidak mengumbar hubungan mereka. Wajar kalau otak bodohmu tidak bisa menangkap info itu."

"Terus saja hina aku 'bodoh'! Dasar tanuki!"

"Hahahaha!"

"Tapi You-chan parah. Dia main kabur padahal barangnya belum dibereskan." Kali ini dia berbaring setelah menggeser sedikit kardus di belakangnya.

Dari tempatnya duduk, Kazuya memperhatikan dadanya yang naik-turun secara perlahan. "Hei, kalau mengantuk, tidur di kamarmu sana," suruh Kazuya sambil menendang pelan kaki kiri Sawamura.

Suara protes tanpa tenaga itu terdengar. Sawamura berbalik ke kanan sehingga ia tak bisa melihat wajahnya. "Biarkan aku tidur di sini sebentar, Miyuki-senpai. Tubuhku sudah nyaman di posisi ini," pintanya seraya menghela napas lelah.

"Kau tidak latihan melempar semalam, kan? Atau lari tadi pagi?"

"Sudah jadi kebiasaanku lari di pagi hari, hehe."

Kazuya kembali duduk dengan benar. Matanya beralih pada majalah sport bulanan yang terbuka di atas meja belajar, tepatnya khusus di kolom olahraga baseball. Kemenangan Tigers di pertandingan tiga hari yang lalu melawan Giants menjadi headline news.

"Jadi, kau mau ke mana?"

"Ke mana apanya?"

"Soal tim pro. Kalau dapat, kau pasti ambil, kan? Tak ada tim incaran?"

"Pro... huh?" Tangan kanan menyangga dagu, sementara tangan lain mengetuk meja. Entah kenapa pertanyaan Zono waktu itu masuk ke dalam benaknya. "Aku tidak kepikiran hal lain selain pergi ke Koushien dengan kalian. Aku bisa pikirkan soal itu setelahnya, kan?" Kazuya tak bisa menahan kekehan pelannya, tak habis pikir dengan mulutnya yang bisa mengucapkan jawaban memalukan begitu.

Pergerakan cepat dari ujung matanya membuat ia menengok. Baru sadar kalau di ruangan ini masih ada Sawamura. "Apa kau mempertimbangkan akan masuk tim pro?" tanyanya langsung.

Aaah... seharusnya aku tidak boleh lengah, pikir Kazuya. "Kau memang tahu apa soal pro?"

Sawamura melirik ke samping. Kedua alisnya mengkerut. Dia menunduk lalu mengeluarkan smartphone dari saku celana. "Aku tidak tahu apa-apa soal itu, Senpaitachi yang kukenal dekat juga lebih memilih untuk melanjutkan baseball di universitas, kan?" Ekspresinya berubah jadi cerah. "Aa! LINEdari Chris-senpai!"

Perhatian Kazuya masih berpusat pada juniornya yang sibuk mengetik balasan chat Chris. Tanpa sadar ujung bibirnya tertarik ke atas begitu terngiang kejadian di masa lalu. Mereka berdua yang awalnya tidak akur karena Sawamura terlalu meremehkan Chris kini jadi lebih dekat. Bahkan mereka selalu berkabar jika ada waktu. Dibanding dengan Kazuya, mantan senior mereka itu pasti lebih sering berkomunikasi dengan Sawamura. Sialnya, gara-gara ini dia jadi keduluan Sawamura waktu dirinya ingin meminta Chris dan alumni kelas tiga dulu datang ke pertandingan final mereka di Koushien.

Layar ponsel yang lebar itu ditunjukkan padanya. "Chris-senpai jadi menanyakannya padaku karena kau selalu bisa mengalihkan pembicaraan," ucap Sawamura.

"Eeeeeh... Chris-senpai juga?" Kazuya memalingkan wajah seraya menyembunyikan wajah di antara lipatan tangan. "Padahal baru kemarin pulang dari Koushien..."

Ketika ia menengok ke kiri, Sawamura sudah merangkak hingga ujung ponselnya menyentuh kakinya. "Kau sedang apa, sih?" heran Kazuya.

"Kalau tidak salah, Metabo-senpai sudah jadi pemain pro, kan?"

"...Meta—hahahahahahaha! Astaga—!" Perutnya terasa sakit karena terlalu banyak tertawa.

Kakinya kini dipukul pelan. "Hoi! Aku serius bertanya!" protes Sawamura.

Berusaha menghentikan tawanya, Kazuya lalu menarik napas. Ia putar kursi hingga mereka saling berhadapan. "Waktu kau datang ke Seidou untuk pertama kali, namanya sudah masuk draft. Tapi aku tidak tahu kabarnya sekarang, sudah transfer ke tim lain atau masih di tim yang sama," jawabnya seraya mengedikkan bahu. Dari awal memang dirinya tidak dekat dengan Azuma, bahkan lebih ingin menghindar walau gagal karena mereka satu kamar. Jadi, setelah dia pindah dan pensiun, Kazuya tidak ada niat untuk bertukar kabar dengannya.

"Dan dia di-strike out bocah SMP?" Sawamura memasang wajah songongnya.

Kazuya menyentil dahi pemuda di hadapannya. "Kalau bukan aku yang menawarkan diri, kau akan langsung kalah tanpa perlawanan, tahu."

Dia meringis dengan badan sedikit membungkuk. Tangan kirinya mengusap dahi yang mulai memerah sambil merutuk. "Miyuki-senpai, aku sempat berpikir, alasan kau tidak bisa menjawabnya apa karena kau mempertimbangkan tawaran MLB?" Sawamura melirik tanpa berhenti mengusap dahi lalu matanya fokus pada layar ponsel seolah menghindari tatapannya. "Jadi pemain MLB... pasti harus menyiapkan banyak hal, kan?"

Menyisir rambut ke belakang, Kazuya mendengus geli. "Siapa sangka kata 'MLB' bisa keluar dari mulutmu, Bakamura?"

Sebelum pemuda itu menyahut, Kazuya melanjutkan, "Tapi memang benar. Kau harus siap fisik dan mental karena ruang lingkupmu akan jadi lebih luas. Masalah pertama dan utama adalah bahasa, kau harus fasih berbahasa Inggris supaya bisa berkomunikasi dengan pemain lain atau pelatihmu." Jari telunjuknya diarahkan tepat di depan hidung Sawamura, "Bagaimana dengan nilai bahasa Inggrismu? Kudengar dari Kanemaru, nilaimu nyaris di bawah standar."

"Nilaiku masih lebih baik daripada Furuya, tahu!" Sesaat ekspresinya berubah jadi kaget. "Tuh, kan! Kau mengalihkan pembicaraan lagi!" kesal Sawamura.

"Hahahaha!" Kazuya menghela napas sebelum bangkit dari kursi. Bukannya ia tidak bisa dan tidak ingin menjawab, tapi dirinya memang belum memikirkannya karena terlalu fokus dengan Koushien. Ia menunduk lalu menatap Sawamura yang masih memperhatikannya. Dari mata cokelat keemasannya, jelas sekali dia tidak akan beralih dari topik ini.

"Mau ke konbini denganku sebentar?"

.

.

.

Kazuya mengambil beberapa jenis snack dari rak secara asal. Otak jeniusnya sedang berpikir tentang jawaban apa yang akan diberikan pada Sawamura jika pemuda tersebut menuntut. Beruntungnya sepanjang perjalanan menuju konbini, Sawamura tidak mengungkit dan bicara hal lain yang bukan berkaitan dengan baseball. Entahlah ia harus bersyukur atau harus cemas untuk serangan dadakan selanjutnya.

Drrrt, drrrttt!

Tangan kanannya mengambil ponsel yang tersimpan di saku celana. Kazuya buka ponsel flip itu dan melihat notifikasi pesan masuk dari sang ayah. Tanpa sadar ujung bibir tertarik ke atas.

From : Otousan
Subject : Pindahan
Bagaimana pindah asramamu? Ada barang yang ingin kau kirim ke rumah?

Ia berpikir sebentar, mempertimbangkan beberapa barang namun akhirnya memilih menolak. Sepertinya tidak ada yang akan kukirim ke rumah karena mungkin aku akan membutuhkannya nanti, balasnya. Ibu jarinya berhenti di atas tombol perintah untuk mengirim pesan sebelum kembali mengetik kalimat lain.

Terima kasih sudah datang ke pertandingan final kemarin, Otousan.

Send...

Rasa hangat yang cukup familiar memenuhi hatinya. Kejadian hari itu, saat dirinya keluar dari Stadion Hanshin Koushien, Kazuya sempat melihat siluit ayahnya dengan pakaian kasual pergi menuju tempat parkir. Padahal ia tidak bilang apa-apa soal Seidou berhasil maju ke babak final, tapi entah dari mana sang ayah tahu dan memutuskan datang jauh-jauh dari Edogawa ke Nishinomiya hanya untuk melihat pertandingannya.

Hal lain juga diungkapkan oleh Rei. Dia bilang itu bukan pertama kali ayahnya datang ke pertandingan Seidou. Ternyata Miyuki Toku sempat merelakan waktu kerjanya hanya untuk melihatnya bertanding beberapa kali tanpa sepengetahuannya.

Padahal waktu masih SMP, dia tidak pernah datang ke pertandinganku satu kali pun.

Ponsel kembali disimpan. Kakinya melangkah menuju rak khusus majalah dan koran. Sosok Sawamura masih berdiri di sana dengan majalah shoujo manga bulanan di tangannya. Kazuya berhenti, sesaat rasa takut muncul tanpa ada alasan yang jelas. Aneh, sejak kapan dirinya merasa takut dengan Sawamura Eijun?

Pandangannya masih betah tertuju pada Sawamura tanpa ada niatan untuk memanggil atau langsung menghampiri. Tangan kanan Kazuya mengepal begitu sadar kalau fokus pemuda itu bukan pada benda di tangannya, melainkan hal lain. Nyut. Tiba-tiba jantungnya terasa sakit.

Mungkin tatapannya terlalu intens, dia pun menengok beberapa detik kemudian. Memasang wajah ceria, Sawamura bertanya, "Belanjanya sudah, Miyuki-senpai?"

"Yap." Beruntung, mulutnya bersuara normal. Tidak ingin ditatap curiga, Kazuya melangkah ke rak sebelahnya untuk mengambil dua roti rasa mocca. "Kau ingin beli majalah itu?"

"Tunggu rilisan versi tankubon saja, deh."

"Tankubon, huh? Bukannya akan lebih lama?"

"Spitz-senpai bilang minggu depan akan dirilis, kok."

Kazuya sudah tidak kaget lagi mendengar ucapannya barusan. Kombinasi Sawamura dan Jun selain duo berisik juga terkenal dengan sebutan pecinta shoujo manga. Itu sudah jadi rahasia umum.

"Oh iya, boleh titip puding, Senpai?" tanya Sawamura terdengar segan.

Aneh... "Aku tidak akan membayar belanjaanmu loh, Sawamura~"

"Aku tahu! Cuma titip barangnya ke plastik belanjaanmu saja, kok!"

Sawamura memandangnya kesal dan cemberut. Sudut bibirnya berkedut karena Kazuya seperti melihat anak anjing sedang merajuk tidak diberi makanan. Menyerah menahan ego, Kazuya menjawab, "Oke. Tapi belikan kopi untukku besok."

Ia pun sadar bukan hanya sekali, dua kali dirinya merasa sikapnya melunak di hadapan juniornya ini. Semakin lama, Kazuya jadi tidak bisa menolak apapun yang diminta Sawamura. Bahkan kalau sekarang dia minta untuk menangkap lemparannya, meski sambil menggerutu pasti ia akan turuti.

...dan itu bahaya bagi kewarasannya.

Ekspresi Sawamura langsung berubah sumringah. "Siap! Kuantar ke kelas atau ke kamarmu?"

Lagi, dirinya merasa bagai dihantam palu dan membuatnya tak bisa bergerak. Benar. Aku sudah pensiun dari kegiatan klub. "Ke kelas saja," jawabnya senormal mungkin.

"Oke." Pemuda itu meletakkan majalah ke rak lalu pergi ke tempat lain.

Rasa tidak nyaman kembali merayap dalam hati. Hari ini saja ia hampir lupa soal pindahan asrama, bagaimana dengan besok? Tapi sepertinya tidak akan ada masalah jika Kazuya sadar kalau kamar yang ditempati bukan kamarnya yang dulu. Mungkin melihat atau mendengar teriakan Kuramochi bisa langsung menyadarkannya. Ada untungnya juga pensiun, bisa bangun lebih siang dan tidak perlu bergadang sesering yang biasanya ia lakukan.

Kazuya menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan pikiran aneh yang sempat melintas di benaknya. Tentang rasa takut dengan perubahan dalam hidupnya, di mana ia harus beradaptasi lagi seperti saat dirinya berada di tahun terakhir SMP. Kegiatan baseball yang sudah menjadi rutinitasnya terpaksa dihentikan supaya ia bisa fokus dengan ujian masuk SMA, walau pada akhirnya diterima di SMA Seidou lewat jalur beasiswa olahraga.

Waktu itu... apa yang ia lakukan selain belajar...?

Ketika sedikit menunduk, matanya menangkap sebuah majalah olahraga regional di rak kedua dari atas. Foto para pemain Seidou berkumpul dengan medali emas di leher serta Kazuya yang memegang tropi menjadi gambar utama. Headline news bertuliskan, "Perwakilan Tokyo Barat, SMA Seidou, berhasil membawa pulang tropi Turnamen Koushien musim panas tahun ini!". Di ujung kanan atas, ada potongan foto Sawamura bersiap melempar dengan tulisan, "Fakta mengejurkan: Ace Seidou yang bangkit setelah terkena yips!" di bawahnya.

"Mereka terlalu melebih-lebihkan," gumam Kazuya.

Menimbang sebentar, majalah tersebut akhirnya masuk ke dalam keranjang.

Lima puding serta sebotol ramune rasa jeruk kemudian ikut masuk dan sebelum Sawamura mengungkit apapun tentang majalah yang ia beli, Kazuya langsung menyuruhnya menunggu di depan konbini. Entah karena tidak melihat sampul majalah atau apa, dia menurut tanpa banyak protes setelah memberikan uang untuk membayar barang yang dibelinya.

Begitu keluar konbini, ia langsung mendekati Sawamura yang berjongkok sambil melihat ujung sepatu. Sosoknya yang meringkuk begitu tampak menyedihkan di matanya. Kazuya bertanya seraya menyodorkan sebotol ramune, "Kenapa lagi?"

Sawamura mendongak dan menerima ramune, "Terima kasih..."

Sepertinya sang ace tidak ingin langsung kembali ke asrama. Mau tidak mau Kazuya pun ikut berjongkok. Beruntung dirinya sempat menambah sebotol Pocari ke dalam belanjaan.

Tiba-tiba perutnya berbunyi, reflek ia menengok malu dan syukurnya Sawamura terlihat tidak mendengar apapun. Tangannya merogoh ke dalam plastik lalu mengambil roti mocca yang masih bisa mengenyangkan perut jika dibagi dua. Anehnya suara berisik darinya seolah tidak terdengar oleh Sawamura. Dia terus menatap lurus ke depan dengan tangan tidak berhenti menggoyang-goyangkan botol ramune.

Sejak malam itu, Kazuya merasa adanya perubahan pada sikap Sawamura, termasuk sikap diam dan sering melamunnya ini. Apa dia menyesal karena sudah bercerita? Jika itu adalah dirinya, Kazuya pasti merasa hal yang sama.

"Kalian sudah mengakuiku sekarang, jadi tidak apa-apa."

Memang percuma mengungkit masa lalu, tapi ada sesuatu yang buat ia penasaran.

"Sawamura."

"...hmm?"

"Kenapa kau pillih Seidou?"

Pertanyaannya sukses menghentikan pergerakan Sawamura. Kazuya pura-pura tidak melihat reaksi tersebut dan sibuk membelah roti dari dalam bungkusan. "Kau tahu sejak awal kalau senioritas di Seidou mungkin lebih parah dari sekolah di Nagano. Apalagi setelah melihat sikap Azuma-san yang merundung Nori secara tidak langsung dengan mata kepalamu sendiri," ucapnya memberikan fakta. Mocca dalam roti tampak lumer dan mengenai plastik.

"Ha, haha." Tawa itu terdengar jelas memaksa. "Apa, ya? Aku lupa, Miyuki-senpai."

Sepertinya dia tidak mau mengaku. Kazuya mengambil setengah roti untuk dirinya kemudian menyodorkan setengahnya yang masih di dalam plastik pada Sawamura. Dengan niat bercanda, ia menebak, "Bukan karena kau ingin aku menangkap lemparanmu, kan?"

"..." Dilihatnya Sawamura membelalakkan mata, kaget. Semburat merah perlahan muncul di kedua pipi sampai ke telinga.

...o,oi.

Serius?


.

.

.

I'll tell you now
Just how close you are

.

.

.


Sudah seminggu berlalu sejak saat itu. Kazuya tidak begitu ingat bagaimana mereka kembali ke asrama. Mungkin dirinya bisa bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa, walaupun pikirannya dilanda panik teramat sangat. Tapi beruntungnya Kazuya sudah pensiun, jadi tak ada alasan untuknya bertemu dengan Sawamura. Hanya saja, sampai kapan ia bisa menghindar?

Tentu saja bukan berarti dirinya mempermasalahkan fakta bahwa Sawamura datang ke Seidou demi seorang Miyuki Kazuya. Tidak, tidak. Seingatnya Furuya dulu pernah bilang, dia juga jauh-jauh dari Hokkaido dengan alasan mungkin Kazuya bisa menangkap lemparan supernya. Mengingat hal ini, ia tidak akan kaget kalau Sawamura punya alasan yang sama. Tapi kenapa rasanya ada yang mengganjal? Rasanya antara tidak nyaman dan... aman?

Huh?

"Oi, Miyuki."

Ia menengok. "Apa?"

Kazuya memasang ekspresi sebiasa mungkin ketika mendapat tatapan curiga dari teman sekamarnya yang baru. "Kau bawa payung?" tanya Kuramochi beberapa detik kemudian.

Zraaaaash! Gluduk, gluduk.

Ah, badai?

"Sayangnya tidak." Kegiatan mengisi jurnal kelas terhenti. Tangan kirinya menyangga dagu, sementara tangan lain memutar pulpen. Dengan nada jahil, ia bertanya, "Apa? Kau berharap aku mau berbagi payung denganmu seperti di shoujo manga favorit Sawamura?"

Ekspresi jijik muncul di wajah Kuramochi. "Enyah sana."

"Ahahaha! Thank you~" Kazuya kembali fokus menulis jurnal.

"Hish! Oh iya, semalam Sawamura ingin pinjam buku catatan."

Pergerakannya terhenti. "Buku siapa? Tidak mungkin bukumu, kan?"

"Apa maksudmu bilang begitu, huh!?" Tawa Kazuya terdengar memaksa namun Kuramochi tidak menyadarinya dan melanjutkan. "Aku balas LINE-nya, minta dia datang ke kamar karena dia yang butuh, tapi bocah itu malah minta ketemu pagi tadi di depan gerbang sekolah." Dia berdencih kesal. "Makin lama sikapnya melunjak gara-gara ketularan kau, Miyuki."

Tiba-tiba muncul keheningan. Kuramochi masih berdiri di samping mejanya seperti sedang memikirkan sesuatu sambil memperhatikan gerak-geriknya. Kazuya tentu merasa risih tapi lidahnya mendadak kelu. Kejadian di depan konbini kembali direka ulang dalam otaknya. Ia ingin menolak pikiran tentang alasan Sawamura menolak pergi ke kamar mereka karena dirinya, namun tak ada alasan lain selain itu.

"Kau apakan Sawamura?"

Kan... "Apa maksudmu, Kuramochi-kun?"

"Kau selalu memanggil dengan suffix karena tersinggung. Pasti dugaanku benar, kan?"

Bibirnya berusaha menampakkan seringaian khasnya. "Wow, segitu perhatiannya kau padaku, Mochi. Awas, nanti Ryou-san cemburu, loh."

"Aku sedang serius, Miyuki."

Ia mengabaikan tatapan tidak suka Kuramochi. "Bukan masalah besar. Sikapnya yang seperti itu takkan bertahan lama," ucap Kazuya, tanpa sadar dirinya berharap demikian dalam hati.

Terdengar helaan napas di tengah-tengah derasnya hujan. "Oke, aku takkan ikut campur. Kalian sudah dewasa, apapun masalahnya pasti bisa diselesaikan kalau salah satunya mau mengalah." Kazuya merasa dirinya harus jadi pihak yang mengalah dari kalimat barusan. "Dan kau tahu, kita sebentar lagi akan lulus. Setidaknya jangan sampai kau menyesal karena memilih menghindar," kata Kuromochi seraya berbalik pergi.

Setelah yakin mantan wakilnya jauh dari jangkauan mata dan telinga, tubuhnya langsung dibiarkan bersandar pada kursi. Diikuti helaan napas berat keluar dari mulut. Mendadak energinya menguap karena entah sejak kapan tubuhnya sudah menegang.

"Setidaknya jangan sampai kau menyesal karena memilih menghindar."

"Siapa juga yang menghindar...?" gumamnya.

.

.

.

Gedung utama SMA Seidou tampak lebih sepi dari yang diduga ketika Kazuya sampai di lantai dasar. Beberapa murid masih terlihat bersiap akan pulang ke rumah. Selesai mengganti sepatu, matanya menatap sekitar untuk mencari payung tersisa yang bisa digunakan namun sayangnya nihil. Pandangannya kemudian beralih keluar. Hujan tampak makin deras daripada setengah jam yang lalu. Mustahil baginya terhindar dari basah jika ingin lari menerjang hujan.

Tak ada jalan pintas yang aman ke asrama, lewat mana pun sama saja, pikirnya.

Menimbang sebentar, Kazuya putuskan untuk menunggu sebentar lagi. Mungkin ada keajaiban, bercanda~

"Mi, Miyuki-senpai...?"

...aa, apa ini termasuk keajaiban?

Kazuya menengok dan melihat Sawamura yang berdiri persis di jalur masuk gedung utama dengan sebuah payung warna jingga yang melindunginya dari hujan. Begitu mereka bersitatap, pemuda itu justru menunduk. Jelas sekali dia ingin menghindar dengan menyibukkan diri menutup payung. "Bukannya kau sudah pulang? Kenapa malah balik lagi ke sekolah?" tanya Kazuya sambil terus memperhatikan gerak-geriknya.

Sawamura mendongak, balas menatapnya sekilas. "Bu, buku catatanku tertinggal di kelas." Payung yang dipakainya lalu diberikan pada Kazuya secara paksa. "Pakai payaungku, Senpai! Berterimakasihlah pada Sawamura Eijun yang baik hati dan tidak sombong ini, wahaha! Ja!"

Speechless, ia menatap kepergian pemuda tersebut yang menghilang di balik tembok menuju lantai dua. Sudut bibir dan ujung alis Kazuya berkedut. "Dasar bodoh..."

Sejahil-jahilnya seorang Miyuki Kazuya, tidak mungkin dirinya pergi begitu saja. Bisa gawat juga kalau Sawamura sampai sakit karena kehujanan. Mungkin Kuramochi akan turun tangan dan itu bisa jadi mimpi buruk baginya. Lagipula...

"Setidaknya jangan sampai kau menyesal karena memilih menghindar."

"Berisik," gumamnya seraya mengeratkan genggaman pada pegangan payung.

Sekitar lima belas menit kemudian, pemuda itu kembali bersama temannya yang langsung buru-buru pergi. Keadaannya jadi semakin parah sepertinya, pikirnya karena jelas-jelas si pemilik payung di tangannya ini akan meminta bantuan pada temannya barusan. Frustasi, Kazuya pun memanggil dengan nada penuh perintah. "Sawamura. Cepat kemari."

Sawamura terlihat enggan namun tetap menurut. Tiga buku dalam pelukannya tampak hampir tertekuk ke depan. Melihat hal itu, tentu membuatnya semakin kesal.

"Hei, aku tidak akan memakanmu atau memarahimu. Bersikaplah seperti biasanya."

Langkah Sawamura terhenti di depan lemari penyimpanan sepatu. Dia masih berusaha tidak menatap Kazuya dan membuka salah satu pintu lemari. "Tidakkah kau merasa aneh? Apa yang kukatakan terdengar seperti ko-kokuhaku. Ta, tapi—! Aku bahkan baru menyadarinya saat kau bertanya, Miyuki-senpai! Sungguh!"

Kazuya bisa melihat kejujuran di ekspresi dan ucapannya sebelum Sawamura menunduk lagi. Pemuda itu tampak tidak nyaman dengan keadaan mereka sekarang. Sejujurnya, ia sendiri merasa tidak suka jika di hadapkan dengan hal sensitif mengenai perasaan. Tapi kali ini Kazuya akui, dirinya yang memulai maka ia juga yang harus mengakhiri dan memperbaiki keadaan seperti semula. Kalau tidak, Sawamura yang punya single-minded akan terus kepikiran.

Menghela napas, ia pun berucap. "Memang terdengar aneh," matanya menangkap tubuh lawan bicaranya menegang, "karena kau yang mengucapkannya." Kazuya menarik ujung bibir saat Sawamura menatapnya galak.

"Apa maksudnya itu!? Kau bilang aku ini 'aneh', begitu!?"

"Pelankan suaramu, Bakamura. Sekolah sudah mulai sepi."

"Tsk! Miyuki Kazuya adalah senpai yang paling brengsek di dunia!"

Ia menggigit bibir bawah, berusaha menahan tawa ketika Sawamura berjalan cepat dan ingin mengambil payungnya secara paksa. Terdengar protes darinya namun dengan sekali tarik, juniornya itu terjungkal ke arah Kazuya. Reflek, kedua tangannya menahan tubuh Sawamura supaya mereka tidak jatuh. Kazuya tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan olehnya tapi begitu teringat ucapan Kuramochi, hatinya meminta untuk mengatakan sesuatu pada pemuda di hadapannya.

Apapun itu, asalkan dia tidak menghindarinya lagi.

"Berhenti menghindariku karena kejadian kemarin, Sawamura."

Perlahan Kazuya mendorong tubuh Sawamura untuk berdiri tegak. Pemuda itu menatapnya kaget. "Kau tidak terganggu, Miyuki-senpai?"

Justru sikapmu yang menghindariku itu yang mengganggu. Mana mungkin ia mengatakannya. Memasang pose berpikir, Kazuya membalas, "Kalau diingat-ingat, Furuya pernah mengatakan hal yang sama dulu. Jadi, perkataanmu tidak aneh, kok."

"Oh... Furuya juga...?"

Payung yang dipegangnya sejak tadi terlepas karena dirinya tidak menyangka dengan respon yang diberikan Sawamura. Dia masih setia menunduk sambil berjalan menuju depan gedung. Kazuya menahan napas, entah kenapa ia merasa déjà vu.

Sawamura bersiap membuka payung kemudian mendongak ke atas, menatap langit mendung. Tiba-tiba Kazuya teringat tentang pengakuan pemuda tersebut di malam hari sebelum mereka kembali ke Tokyo. Tanpa sadar kakinya sudah berlari dan tangannya menahan lengan sang junior yang terlonjak kaget dengan tindakannya. Kazuya mengambil dan membuka payung lalu menuruni lima anak tangga. Ia berbalik badan dan melihat Sawamura menatapnya bingung.

"Tadi kau bilang aku ini senpai yang paling brengsek, kan?"

Kedua alis Sawamura mengernyit. "U, ugh, itu..."

"Bagaimana kalau kuubah sedikit pendapatmu, Sawamura?"

Ekspresinya berubah jadi curiga. Semakin lama, dia jadi makin mirip Kuramochi. "Apapun yang kau rencanakan, Senpai, aku takkan tertipu lagi!" serunya bersumpah.

Kazuya tak bisa menahan seulas senyum. Matanya terpejam sesaat, berusaha mengenyahkan kilasan balik kejadian di malam itu sebelum bertolak pinggang. "Ayo, kuantar kau balik ke asrama, Tuan Putri Sawamura Eijun," ucapnya dengan nada menggoda.

"Si, siapa yang kau sebut 'Tuan Putri', huh!? Aku ini laki-laki!" Sawamura berjalan mendekat dan kini berdiri di bawah payung yang sama dengannya. "Seharusnya kau panggil aku 'Tuan Muda'!" serunya lagi, tidak terima.

Ia tertawa sambil memulai langkah menuju area gedung asrama khusus anggota klub baseball Seidou, "Tuan Muda mana yang cengeng begini?"

"Aku tidak cengeng! Hanya mudah terbawa suasana!"

"Itu sama saja, Bakamura."

"Beda!"

"Oh iya, kapan kau mau belikan kopi, huh? Ini sudah lewat seminggu, tahu."

"AAAAAAAA! AKU LUPA!"


To Be Continued


Wah... fanfic ini terlantar selama setahun...

Wah... authornya gak tau malu, update fanfic ini tapi fanfic lain malah gak dilanjutin...

Wah... wah... wah...

Btw, angst-nya hilang entah ke mana wwwwww! Jujur, saya gak lanjutin fanfic ini karena mentok ide di adegan Kazuya ngomongin retirement sama Kantoku. Terus adegan di konbini, itu baru kepikiran sebulan yang lalu. Ada juga adegan lain yang sebenarnya mau saya masukin, tapi saya pilih buat masukin adegan itu di chap selanjutnya. Untuk nambah-nambahin momen MiSawa karena gak mungkin saya ujug-ujug langsung ke acara kelulusan Kazuya wwwwww!

Tahun ini, di hari yang spesial ini, gak jauh beda rasanya dengan tahun lalu. Menghabiskan waktu ngerjain fanfic plus tugas kuliah... huft. Walau bedanya sekarang bener-bener gak bisa keluar rumah karena pandemik dan ada surat singkat dari diriku 5 tahun lalu, hehe.

So, stay safe, all!

I hope I could finish this special fanfic this year... amin.

Bye, bye!

CHAU!

P.S. Lupa! Thanks for your review, fav, and follow! ^^