Diamond no Ace disclaimer by Terajima Yuji-sensei

The Closenessby Rin Shouta
Rate :
T
Genre :
Angst, Hurt/Comfort, Drama

Pair : MiSawa (Miyuki Kazuya x Sawamura Eijun)

Warning : Miyuki's Graduation! Miyuki's centric! Disarankan baca ini sambil dengerin lagu Miyano Mamoru yang judulnya HOW CLOSE YOU ARE, ending song anime Ajin. Please be aware of OOC, typos, etc. Don't like, don't read. I've warned you, 'kay?


.

.

.

If I could have one wish granted
I'd like to always stay close to your heart
No matter the darkness I've been searching
For that one and only, light

Miyano Mamoru – How close you are

.

.

.


Langit musim panas hari ini tampak lebih biru dari biasanya. Tak ada awan hitam yang mengganggu cahaya matahari untuk menyinari bumi. Suhu udara semakin panas bersamaan dengan gejolak api semangat para pemain dari kedua tim yang kini memperebutkan juara baseball SMA nasional.

"Wah, akhirnya ace vs ace?"

"Cocok untuk penutup!"

"Kau bilang begitu seolah Komadai tidak bisa mencetak poin..."

"Kenyataannya tak ada runner di base."

"Ayo Seidou! Menangkan kejuaraan nasional!"

"Komadai, jangan mau kalah!"

"Hongou! Ayo pukul dengan keras!"

"Sawamura! Lempar sekuat tenaga!"

Haha, suasana stadion makin panas, Sawamura. Banyak dari mereka berharap kau bisa mengakhiri pertandingan di inning ini. Kazuya menyeringai dari tempatnya sebagai catcher. Ia melirik ke ace lawan yang kini berdiri di batter box. Meski di posisi genting, kedua mata Hongou Masamune masih hidup.

Fokus Kazuya kembali ke depan. Sosok Sawamura, ace SMA Seidou di musim panas ini, menyengir lebar. Kora kora, jangan terlalu optimis, baka.

"Jangan ragu, Sawamura!"

"Eijun-kun, two out!"

"Awas kalau kau mengacau, Wamura!"

"Kyahaha! Cepat lempar, Bawamura!"

Mitt kuning pun bersiap di depan dada. Tangan kanan Kazuya memberi kode fastball straight ke tengah. Ia melihat senyum sang pitcher semakin lebar diiringi anggukan kepala. Ayo Sawamura, jangan biarkan sejarah musim panas tahun lalu terulang lagi, ucapnya dalam hati.

Selama inning kesepuluh, adik kelasnya ini memang tidak goyah. Sekalipun dalam keadaan terpojok di awal-awal ia masuk mound, lemparan Sawamura sesuai dengan arahannya. Kali ini, Kazuya tidak akan ragu.

Form Sawamura terlihat sempurna dengan kaki kanan terangkat ke atas. Bola terhalangi tubuh, ditambah tangan kanan membentuk tembok. Mau tidak mau benak Kazuya memutar kenangan dimana mereka pertama kali membentuk battery untuk melawan seniornya, Azuma. Bocah SMP yang serampangan dan keras kepala itu kini pitching dengan nomor punggung 1. Jika ia tidak punya sifat besar kepala, pasti semua anggota tim Seidou akan berucap bahwa dirinya sudah menjadi pemain andalan, bahkan sebelum nomor impiannya tersebut resmi didapatkan.

Dalam hitungan detik, bola melesat menuju mitt. Tanpa sadar Kazuya tersenyum memandangi sang ace yang bergerak bagaikan slow motion. Aku bersyukur bisa menerima pitching-mu, Sawamura Eijun.

Dash!

"STRIKE! BATTER OUT!"

"UWOOOOOOH! ACE SAWAMURA EIJUN BERHASIL MENG-OUT ACE HONGOU MASAMUNE DAN MEMBAWA SMA SEIDOU KELUAR SEBAGAI JUARA NASIONAL TAHUN INI! Dan tunggu! Kecepatan bolanya bertambah jadi 145 km/h!"

"SEIDOU! SAWAMURA! SELAMAT!"

"NICE PITCHING!"

Perlahan Kazuya berdiri memandangi layar utama dan melihat dengan mata kepala sendiri. Kecepatan lemparan Sawamura memang bertambah. Ia mengangkat tangan kiri yang bersarungkan mitt. Baru sadar kalau tangannya gemetar. Bahkan dirinya bisa mendengar detak jantungnya yang bergema hingga ke telinga, menutupi suara pembawa acara dan penonton serta membuatnya sadar dengan rasa bahagia yang meluap dari dalam hati.

Kami menang? Haha... Masih menggenggam bola dalam mitt, Kazuya mendongak ke langit biru. Akhirnya kami menang...

"Good job, Miyuki!"

Kazuya menengok, tersenyum pada pitcher seangkatan dengannya. "Aa, pitching-mu tadi juga bagus, Nori."

"Ayo ke mound! Sawamura sudah menunggumu," ajak Nori seraya mendorong pelan punggungnya menuju mound.

Rasanya jantung Kazuya berhenti mendadak mendengarnya, namun ia abaikan. Matanya melihat anggota lain, baik yang ada di diamond maupun bench, kini sudah melingkari Sawamura. Berbagai pujian dan makian keluar dari mulut mereka, tapi itu semua tidak bisa menyembunyikan rasa haru. Wajah, mata, dan hidung mereka tampak memerah. Zono bahkan tidak ragu menangis bahagia sambil menepuk punggung ace Seidou.

Sadar akan keberadaannya, kepala Sawamura terangkat. Mata mereka saling bertemu. Kazuya tidak bisa menutupi senyum lebarnya lalu mengacak-acak rambut cokelat kehitaman itu.

"Nice ball, Aibou!" ucapnya yang terdengar familiar dan membuatnya kembali mengingat pertama kali mereka jadi pasangan battery.

"Kyahaha! Masa' reward-nya cuma itu!?" sahut Kuramochi dengan wajah menahan tangis.

"Berisik!" Kazuya tertawa pelan. Yabai, mataku berair.

Tiba-tiba tubuhnya dihantam. Ia hampir terjungkal kalau tidak langsung menahannya. "Apaan, sih!? Jangan malu-malu begitu, Cap!" Sawamura mendongak dan menyengir sambil memeluknya.

Tangan kanan Kazuya mencengkeram baju si pitcher. Ia merasa air mata lolos menuruni pipinya. "Berisik, Bakamura~ Mukamu makin jelek, tuh."

"Mukamu juga, Miyuki Kazuya!"

Semua anggota tertawa mendengarnya.

"Dengan ini, turnamen nasional baseball tingkat SMA ke-90 berakhir! Perwakilan Tokyo, SMA Seidou, menjadi juara tahun ini setelah tujuh tahun lamanya tidak menjejaki Koushien di musim panas! Selamat untuk SMA Seidou, juara kita tahun ini! Dan selamat juga untuk SMA Komadai Fujimaki sebagai pemenang runner up! Pemain harap segera berbaris lalu mengumandangkan lagu mars SMA Seidou!"

Kazuya berdiri bersisian dengan Sawamura. Ia menarik tangan kanannya kembali ke sisi tubuh. Mereka saling bertukar senyum sebelum membungkuk.

"SHAAAAAA!"

Suara tepuk tangan membahana, mengapresiasi pertandingan final yang menegangkan.

Para pemain berlari menuju dugout masing-masing. Pelatih Kataoka, Nabe, dan Ketua Ota sudah berdiri di depan dugout dengan ekspresi terharu. Sama-sama mereka berjalan ke depan penonton yang selalu menyemangati sejak awal hingga akhir, terutama para anggota yang tidak masuk first string dan terus membantu setiap latihan.

"ARIGATOU GOZAIMASHITA!"

Para penonton bertepuk tangan.

"GOOD BATTERY, MIYUKI, SAWAMURA!"

"GOOD JOB, KAPTEN MIYUKI!"

"SELAMAT, SEIDOU!"


.

.

.

As I look up to the stars
Though we're so far apart
I know we're looking up at the same starry sky

In the sky within my heart
Your smile and warmth are about to come falling down
Heal me!

.

.

.


Tim Seidou merayakan kemenangan di hotel tempat mereka menginap selama turnamen nasional. Rasanya nostalgia dan ada kebanggaan tersendiri, ia bisa datang lagi ke tempat ini. Kazuya sudah berpidato sedikit, mengucapkan terima kasih atas usaha mereka bersama untuk membawa Seidou kembali ke Koushien. Namun egonya terlalu tinggi untuk meminta maaf karena sifat egois dan tamaknya akan kemenangan hingga harus berbohong dulu.

Suasana di dining hall tampak meriah. Di meja lingkar yang ia tempati dengan teman seangkatan, Kazuya hanya diam memperhatikan. Mata amber-nya memandang sekitar, mencari sesuatu yang tak seharusnya menghilang dalam keramaian.

Apa? Rasanya sedikit sepi? Kazuya berusaha fokus dan begitu melihat sosok Kuramochi...

"Mochi, apa kau lihat Sawamura?"

Yang ditanya menengok ke sekitar. "Pantas agak sepi, si bodoh tidak ada. Entah ke mana."

"Kau 'kan ibunya, masa tidak tahu?" tanyanya usil.

Kuramochi mendengus. "Maaf saja, aku juga punya kepentingan sendiri."

Ternyata kau mengaku sebagai ibunya, huh.

"Kalau Senpai mencari Eijun-kun, tadi aku sempat melihatnya keluar."

Kazuya menengok dan mendongak. Si bungsu Kominato menatapnya dengan tangan memegang piring kecil berisi sepotong cheese cake. Dari caranya tersenyum, entah kenapa ia merasa seperti tertangkap basah mencuri sesuatu. Dengan nada datar, Kazuya tertawa. "Anak itu sering menghilang akhir-akhir ini," gumamnya.

"Dibanding menghilang, kurasa Eijun-kun lebih ingin menyendiri," balas si pinkie.

"Tsk, biar kucek ke kamarnya," putus Kuramochi.

"Kalau Eijun-kun kembali, biar kukabari, You-san," tawar Kominato.

Ibu jari teracung menjadi jawabannya. Kazuya menatap kepergian pemuda mantan berandal itu sebelum berdiri dari kursi. "Kalau ada yang mencariku, katakan aku pergi beli kopi kalengan," ucapnya menitip pesan.

Ia sadar itu bullshit. Kominato jelas paham tapi memilih diam. Entah Kazuya harus bersyukur atau tidak.

Melihat tingkah sang ace yang cukup tidak biasa akhir-akhir ini terkadang membuatnya cemas. Namun Kazuya memilih tidak menyuarakannya karena mungkin memang Sawamura butuh waktu untuk menyendiri. Atau mungkin perasaan anak itu masih meluap-luap seperti perasaannya sekarang. Kazuya ingin memastikan, dalam hati lebih berharap mendapat kabar dari Kuramochi kalau pitcher andalan Seidou tidur karena kelelahan walau terdengar mustahil.

Keluar dari lift, kakinya langsung melangkah keluar gedung menuju taman yang berada persis di samping hotel. Pelatih Kataoka sering menyuruh anggota tim latihan bergantian di sana. Kemungkinan sosok Sawamura juga menyendiri di taman tersebut.

Jalanan tampak sepi ketika ia berjalan di tepian. Dari posisinya, Kazuya tidak mendengar suara ayunan bat maupun handuk untuk latihan pitching. Tapi bukan berarti si berisik itu tidak ada.

Dalam keadaan remang-remang, matanya menangkap manusia sedang duduk di atas ayunan. Kazuya menyipit, dari pintu masuk taman, ia melihat tak ada pergerakan. Ujung bibirnya berkedut. Ada rasa déjà vu menyusup dalam hati. Apa Sawamura ketiduran?

Tanpa bersuara, ia mendekat. Sampai tersisa jarak dua langkah pun, sosok yang diyakini adalah Sawamura masih tidak bergeming. Aneh, pikirnya.

Kazuya terus menutup mulut, berdiri di serong belakang Sawamura yang kepalanya bersandar pada rantai ayunan. Sekali lihat, anak ini jelas kehilangan tenaga. Tanpa meminta izin (toh, bukan milik Sawamura juga), Kazuya duduk di ayunan sebelahnya. Suara derit rantai tampak tidak diindahkan si objek pengamatannya.

Senyum lebar muncul di wajah karena manusia ini benar-benar Sawamura Eijun. Kazuya berayun sebelum mengeluarkan suara. "Tadi Mochi mencarimu."

"Hmm..." Dari nadanya, Sawamura seperti sedang melamun.

"Apa yang kau pikirkan?" tanyanya to the point.

"Tidak ada." Kali ini justru terdengar mirip robot.

Gerak ayunan berusaha diperlambat. Kazuya mencari ekspresi lawan bicara dari minimnya pencahayaan. Pemuda di sampingnya ini menatap lurus ke depan. Ia mengikuti arah pandang Sawamura yang hanya tertuju pada pohon. Jelas bukan pohon yang ada di benaknya.

"Miyuki-senpai."

"Hmm..."

"Katakan ini bukan mimpi."

Hening seperkian detik sebelum Kazuya benar-benar menghentikan laju ayunan dan menatap tidak percaya pada salah satu pitcher kelas 2 Seidou. Tawanya meledak di tengah keremangan.

Ya ampun, anak ini...

"Miyuki-senpai!" Wajah Sawamura merengut menatapnya.

Mengembuskan napas sekali lalu berdeham, "Oke. Kau masih dalam fase tidak percaya. Apa perlu kucubit dulu supaya kau percaya, Bakamura?" Kazuya bertanya dengan nada jahil dan alis kanan terangkat.

"Ugh, cubit sekali mungkin tidak apa."

Tangan kiri Kazuya pun mencubit pipi sang ace yang dibalas ringisan pelan.

"Cubitanmu tidak kira-kira, Cap!"

"Tadi siapa yang minta?"

Sawamura bergumam tidak jelas sambil mengusap bekas cubitannya yang terlihat sudah berefek kemerahan. Kazuya memperhatikan sebelum kembali mengayun. "Cepatlah sadar, ini bukan mimpi, bodoh," ucapnya.

"Rasanya seperti baru kemarin kita kalah dari Inajitsu, lalu sekarang..." Kazuya cukup kaget melihat wajah si pitcher yang tidak terbaca. Senang? Bahagia? Kaget? Yang pasti ia masih tidak percaya dan justru terlihat... frustasi?

Ini bocah kenapa lagi? Bukan kena yips, kan? Pikiran Kazuya langsung kacau.

"Tanganku masih gemetar, kau tahu?"

Matanya menyipit. Benar, kedua tangan Sawamura gemetar sekilas. Lucu rasanya melihat pemuda ini berusaha menutupi atau menenangkan diri dengan menautkan kedua tangan di atas pangkuannya tapi gagal.

Terkekeh pelan, Kazuya berhenti mengayun kemudian berdiri. Ia mengambil posisi di depan Sawamura yang mengikuti gerak-geriknya sejak tadi. "Perlu kutenangkan dengan caraku?" tanyanya menawari jasa. Tidak lupa ditambahkan senyum lebar trademark-nya.

Jelas sekali Sawamura langsung curiga. "Aku dapat firasat buruk."

"Kau tidak akan kuapa-apakan, kok." Meski bilang begitu, otak Kazuya sudah dipenuhi rencana jahil. Memberinya ciuman misalnya?

Nan chatte~

"...kau terlihat biasa saja, ya."

Aa, senyum itu lagi.

Kedua alis Kazuya mengernyit melihat kepala Sawamura yang tertunduk menatap tanah semi rumput di bawah kakinya. Ia merasa tidak enak dalam sekejap karena dari semua jenis senyum yang ditunjukkan Sawamura, hanya senyum ini yang paling Kazuya tidak suka. Pemuda di hadapannya sedang memikirkan sesuatu, dalam hal ini bisa dibilang skenario buruk yang membuatnya lesu... atau sedih?

Kalau ditanya terang-terangan, jelas Kazuya tidak akan peduli. Pikiran Sawamura terkadang sekusut benang, tidak ada ujung dan sulit dikembalikan seperti semula kalau tidak diputus. Dari semua orang, mungkin hanya Chris yang mampu memutus benang kusut tersebut.

Ucapan seniornya itu memang lebih efektif masuk ke dalam otak Sawamura dibanding kata-katanya.

Jujur, Kazuya kesal. Di saat seperti ini, tak ada Chris dan hanya ada mereka berdua. Ia bingung harus melontarkan kata-kata apa untuk menggali isi otak Sawamura tanpa perlu dibalas dengan tatapan aneh macam melihat alien mendarat di bumi.

"Akhir-akhir ini aku berpikir..."

Aa, dia mau cerita. Kazuya mendengar dengan seksama.

"...sebentar lagi kau, You-chan, dan murid kelas 3 lulus." Kazuya ber-hmm ria, pertanda ia masih mendengarkan. "Aku merasa... masih belum bisa... membalas apapun untuk kalian. Maksudku—!" Dari posisinya berdiri, Kazuya bisa melihat dengan jelas kalau Sawamura gugup, namun berusaha meneruskan. "Rasanya... menang di Koushien... masih belum cukup." Kali ini adik kelasnya mendongak, menatap lurus padanya. "Apa ini... disebut tamak akan kemenangan juga?"

Tubuhnya membungkuk, menyamakan mata mereka hingga saling bertemu. Ia bisa melihat keseriusan di sana, bahkan nyala api semangat yang biasa ditunjukkannya di tiap pertandingan masih belum padam. "Ya, itu tamak akan kemenangan," jawab Kazuya serius.

Matanya menangkap tubuh Sawamura mematung. Ah, tangannya gemetar lagi. Ia melihat mata golden itu bergerak ke samping, menghindar dari tatapannya.

"Sawamura," panggil Kazuya pelan namun penuh ketegasan.

"U-umm, apa tidak apa-apa? Maksudku—"

"—Sawamura, dengar—"

"—kalau turnamen musim gugur nanti skill-ku menurun—"

"—Eijun." Begitu nama pemberiannya disebut, Kazuya melihat kedua mata itu fokus padanya. Napas masih memburu karena panik yang entah sejak kapan sering menyerang Sawamura. Ini bukan pertama kali ia melihatnya dalam posisi panik dan panggilan tadi cukup efektif menariknya keluar. Walaupun terkadang Kazuya sendiri merasa takut dengan sikapnya ini.

Tarik napas, buang. Perlahan Kazuya mengambil posisi berjongkok di depan juniornya yang masih belum stabil. "Sawamura, anggukkan kepalamu jika kau mendengarku."

Hampir satu menit, kepalanya baru mengangguk.

"Ikuti perintahku."

Lagi, Sawamura mengangguk.

"Tarik napas."

Kazuya bisa melihat tubuhnya naik sedikit, menarik napas dalam-dalam.

"Buang perlahan lewat mulut."

Bagai anak kecil yang sedang dilatih berjalan, Sawamura patuh tanpa memandang ke arahnya. Ia masih setia melihat ke bawah. Kazuya menarik dagunya untuk bertatap muka, ingin melihat apa sudah membaik atau belum.

Kazuya melihat pantulan dirinya di kedua mata golden itu. "Baikan?"

Sawamura mengalihkan pandangan tapi tetap mengangguk.

Dirinya yang tidak biasa masuk ke dalam space orang lain maupun sebaliknya, memilih kembali ke jarak aman. Ia duduk di atas ayunannya lagi, mengayunnya perlahan hingga terasa jelas angin berembus mengenai tubuh. Kazuya mempertimbangkan sesuatu tapi jika bicara dengan Sawamura, biasanya ia takkan tanggung-tanggung. Namun rasanya berbeda sekarang, terutama setelah ada serangan panik.

"Masih ingin melanjutkan pembicaraan tadi?" tanyanya hati-hati.

"Hmm." Dari sudut matanya, Kazuya melihat si pitcher berusaha bernapas dengan normal. "Aku berpikir... setelah ini... apa aku akan meleleh... sehingga tidak bisa bermain bagus... di turnamen selanjutnya..."

Ini bukan Sawamura Eijun yang biasanya. Tak ada rasa percaya diri di sana. Yang ada hanya cemas dan takut.

Dengan atmosfer yang terasa berat, Kazuya memilih menyahutinya dengan candaan seperti biasanya. "Kau merasa begitu bukan karena aku harus pensiun, kan?"

Sialnya, sahutan jenaka tersebut membuat Sawamura mematung di tempat.

Karena tak ada reaksi apapun, Kazuya mencubit pipinya lagi. "Bakamura, kau serius berpikiran seperti itu?" Tangan kirinya masih menyentuh pipi sang ace yang cukup berisi. "Kau anggap apa Okumura, Yui, Kariba, dan catcher lain? Mereka tidak selemah—"

"—aku tahu mereka cerdas sepertimu!"

Seruan dan tepisan tangan Sawamura yang tiba-tiba cukup membuat Kazuya syok.

"Aku tahu mereka bisa menjadi catcher sekuat dirimu, Miyuki Kazuya."

Bibir Kazuya terkatup rapat mendengar suara lawan bicaranya terdengar lirih, bahkan seperti bisikan angin. Menghela napas kasar, Kazuya pun ikut menuangkan pemikirannya dalam kata-kata. "Lalu kenapa? Sawamura Eijun yang kukenal tidak pernah memandang rendah orang lain, dia selalu bisa meningkatkan kepercayaan dirinya hingga level maksimal dan membuat permainan menjadi menarik. Ada apa denganmu yang sekarang? Mendadak kehilangan jati diri? Kau sudah meleleh bahkan dalam hitungan jam kalau begitu!"

Kazuya membuang muka. Bisa-bisanya hilang kontrol di depan juniornya yang butuh pencerahan. "Sorry, tidak bermaksud membentak."

"...i-ini yang membuatku takut—tidak, rasanya lebih seperti... kosong."

Perhatiannya langsung kembali pada Sawamura. "Apa?"

"AAAAAAAAAA MOU II! AKU PULANG!"

"TUNGGU! JELASKAN APA MAKSUDMU, BAKAMURA!"

"Miyuki BaKazuya sialan! Aku sendiri juga tidak tahu apa yang terjadi!" Baru saja Sawamura bangkit dari ayunan dan Kazuya harus menahannya supaya tidak pergi. Lalu sekarang... anak itu malah berjongkok, menyembunyikan wajah di atas lipatan tangannya.

Dan apa-apaan panggilan kurang ajarnya tadi!?

"Kora! Panggilanmu makin melunjak!" ucapnya tidak terima.

"Bodo! Miyuki BaKazuya~ lalalala~" Sawamura membuang muka sambil menutup telinga.

Rasa gemas campur kesal meluap di hati Kazuya. Ia langsung ikut berjongkok dan kedua pipi bakpao sang pitcher menjadi target kekejaman tangannya. "Bilang minta maaf atau kucium bibir ini, hm?" Dengan hanya tangan kanan, Kazuya membuat bibir Sawamura mengerucut. Tindakannya tidak jauh beda dengan apa yang biasa dilakukan Kuramochi saat junior mereka satu ini bicara tidak sopan.

"Sumumusun..." (baca: sumimasen)

Pegangannya dilepas, dilihatnya tubuh Sawamura sudah rileks.

"Opsimu barusan menjijikkan."

Mendengar cicitan lawan bicaranya, Kazuya entah kenapa tidak tersinggung. Ia tahu pemuda ini tidak ada maksud, malah itu terdengar seperti merajuk. "Aw~ padahal banyak yang minta ciuman dariku, loh~" ucapnya sengaja dibuat kepedean.

"Geh! Siapa juga yang mau dicium oleh tanuki sialan sepertimu!"

"Hahaha lol~"

Lelah berjongkok, Kazuya memutuskan untuk berdiri. Matanya melihat bibir Sawamura maju beberapa mili meter, cemberut sambil buang muka. Kaki sang pitcher bergerak mundur, ia ingin duduk berayun. Kazuya mundur dan memilih berdiri di sampingnya. Dalam diam memfokuskan diri pada Sawamura yang lagi-lagi terlihat memikirkan sesuatu. Tidak bagus untuk kesehatan otaknya kalau anak ini banyak mikir, simpulnya.

"Apa lagi yang otak bodohmu pikirkan?" tanya Kazuya, sabar.

"Setelah kau pensiun... kau tidak akan menangkap pitching-ku, kan?"

"Uh-huh~ Tentu saja, setelah ini aku takkan latihan dengan kalian setiap hari."

Kepala Sawamura menunduk. Kedua bahunya ikut turun. Kazuya harus mengedip beberapa kali untuk memastikan tak ada telinga maupun ekor anjing yang layu menempel di tubuh juniornya. Benar kata Kuramochi, tingkah anak ini semakin mirip anak anjing. Sekarang ia terlihat seperti anak anjing yang dibuang ke tempat sampah.

Tangan kanan Kazuya menggaruk rambut belakang. Ia tidak ingin mengakui dirinya lemah dengan pemandangan di depannya. "Tapi sesekali aku bisa menemani pitcher latihan di bullpen."

Sekejap, ekor anjing imajinasi milik Sawamura bergerak ke kanan dan ke kiri. "BENARKAH, CAP!? KAU SERIUS!?"

"Sesekali. Tidak setiap hari." Kazuya menekankan jawabannya.

Senyum sumringah tercetak jelas di wajah Sawamura. "Yeay~!" Gerak ayunan semakin kencang, mengikuti mood-nya yang membaik. Kazuya masih penasaran, kenapa mood anak ini cepat sekali berubah dalam hitungan detik saja. Tingkat ekspresifnya melebihi batas orang-orang normal. Pejalan kaki yang hanya sekedar melirik pun rasanya pasti bisa membaca mood-nya yang terkadang baik, buruk, sedang kesal, ataupun bahagia.

Namun terkadang, Kazuya pikir, ucapan si ace yang mengandung perasaan murni kejujuran itu di luar dugaannya. Ia sering dibuat terkejut sehingga terlihat jelas di wajahnya kalau lengah sebentar saja. Sialnya, justru hal tersebut terjadi beberapa kali di pertandingan.

Mendongakkan kepala ke atas, benaknya terbang mengingat kejadian yang dimaksud. Kazuya ingat, Sawamura bilang untuk tidak menanggung beban sendirian hanya karena ia seorang kapten. Itu di tengah pertandingan final saat mereka melawan SMA Yakushi. Otaknya juga mengingat ketika juniornya marah (Sawamura sih mengelak, tapi dari ekspresinya jelas ia merasa kesal) waktu pertandingan melawan SMA Ichidai San di Senbatsu musim semi lalu.

"Kau yakin?"

"Soal apa?"

"Semuanya masih latihan mengayun..."

Ah, ada kejadian seperti itu juga, ya?

Sawamura yang biasanya lebih memikirkan Kazuya harus menangkap pitching-nya, justru di hari itu malah ragu apakah ia mengganggunya atau tidak. Terharu? Mungkin sedikit karena untuk pertama kalinya mempertimbangkan keadaan Kazuya.

Jika diingat lagi, sejak awal masuk Seidou, Sawamura juga tidak pernah sendiri, selalu ada orang lain yang membantunya. Salah satu di antaranya adalah senior yang paling ia hormati, Chris. Dan lihat sekarang, dia sudah lebih dewasa dan mandiri, bahkan Kanemaru yang dulu selalu membantunya untuk lulus di setiap ujian pun kini angkat tangan. Kuramochi juga jadi segan menyuruhnya membelikan minuman saat melihatnya sedang mengerjakan tugas sebelum tidur.

Mungkin ini salah satu alasan yang membuat Pelatih memilihnya jadi ace, pikir Kazuya.

"AA! BINTANG JATUH!"

Seruan manusia yang sedang mengusik benaknya membuat Kazuya kembali ke dunia nyata. Secara reflek, matanya fokus ke langit gelap namun penuh bintang. Ah, dirinya baru sadar, di sini bintang bisa terlihat dengan jelas dibanding di langit Tokyo.

Kedua mata amber-nya menangkap tangan kiri Sawamura terangkat, seperti ingin mengambil salah satu bintang yang pastinya takkan bisa digapai. Kazuya tidak mengejeknya dan kembali menatap langit, menganggap dirinya tidak melihat tingkah konyol pemuda tersebut. Senyum paksa bisa dirasakan tercetak di wajahnya ketika ia mengingat dirinya sendiri pernah berucap kata 'tiga bulan lagi...' dalam hati dulu.

Sudah berakhir, ya?

Apa ini yang diinginkan Kazuya? Hanya membawa Seidou menuju Koushien lalu menang turnamen nasional di musim panas. Apa hanya ini?

Rasanya ada yang kurang, tapi apa? Sejak awal perayaan kemenangan mereka dimulai, batinnya seolah bergejolak menginginkan hal lain. Kazuya bukan orang serakah yang menginginkan banyak hal, namun baru kali ini rasanya ia seperti dikejar waktu. Dalam waktu dekat, hatinya ingin sesuatu tapi Kazuya sendiri tidak tahu hal apa yang dimaksud.

"Aku ingin pitching ke mitt-mu selama mungkin, Miyuki Kazuya."

Lagi, ucapan Sawamura membuatnya kaget. Kazuya tersenyum kikuk. "Apa ini? Kokuhaku?"

Gerak ayunan di sampingnya terhenti. "Aku serius." Sawamura menatap lurus ke arahnya dari tempat ia duduk. Sekilas Kazuya melihat mata golden itu meredup sebelum senyum penuh nostalgia mengembang di wajahnya. Rasanya ia ingin kabur karena tidak ingin membicarakan hal sensitif begini.

"Hei, masa' di malam kemenangan malah bicara soal ini?"

"Justru karena ini malam kemenangan, aku ingin membicarakannya, Senpai."

Menyerah, Kazuya memilih duduk lagi di atas ayunan. "Baiklah, silakan bermonolog sepuasmu. Tidak jamin akan kudengar sepenuhnya."

"Brengsek." Tawa jenaka terdengar lalu Sawamura menghela napas. Dari sudut matanya, Kazuya melihat sang ace kembali menggerakkan ayunannya. "Dari awal, kau selalu jadi catcher Satoru. Hanya kau yang bisa menangkap pitching berkekuatan monster itu. Kalau kau tanya, apa aku kesal? Tentu saja iya, tapi kuakui memang Satoru hebat. Mau bagaimana lagi? Dan itu bukan berarti aku tidak bahagia Chris-senpai ditugasi menjadi catcher-ku!"

Tidak tahan, Kazuya mengeluarkan suara dengusan pelan. Meski saingan, herannya mereka bisa sedekat ini sampai memanggil dengan nama pemberian. Ia ingat, pertama kali si Furuya duluan yang memanggil Sawamura "Eijun" di pertandingan pertama, Seidou vs Yurako.

"Kau tidak ingat siapa yang meremehkan Chris-senpai dulu? Sampai tidak menuruti sarannya."

"...aku sudah minta maaf di hari yang sama, tapi Chris-senpai terlanjur marah dan butuh bujukan agar mau lanjut membimbingku. Beruntungnya dia luluh, dengan sabar mengajariku banyak hal tentang baseball. Aku yang bodoh bisa jadi seperti ini karena jasanya." Mendadak telinganya menangkap suara Sawamura seperti menarik ingus.

Sontak Kazuya sedikit panik. "Kenapa malah nangis!?"

"Uuuuugh, aku tidak tahu—hiks—harus membalas kebaikannya—hiks—seperti apa lagi."

Tangan kirinya ingin meraih tangan Sawamura yang sibuk menghapus air mata. Namun ditahan... karena itu bukan dirinya. Itu bukan Miyuki Kazuya kalau bersikap memeluknya hanya menenangkan seseorang yang sedang menangis.

"Jika memikirkan hal itu, rasanya masih belum cukup," lirih si pitcher.

"Kurasa melihatmu menjadi ace, membawa Seidou memenangi turnamen nasioanl sudah cukup untuk membalas apa yang selama ini dia ajarkan padamu." Mata Kazuya tak pernah lepas dari gerak-gerik Sawamura yang perlahan menatap balik ke arahnya. Ia menaikkan ujung bibir kemudian melanjutkan, "Lagipula Chris-senpai pasti takkan berharap banyak kok, karena kau itu bodoh."

Wajah Sawamura yang sembab setelah menangis kini berubah jadi merengut. Pemuda itu kembali membuang muka. "Kau menyebalkan, Miyuki Kazuya. Dasar tanuki sialan."

Twitch. Diumpat berapa kali pun, Kazuya tetap tidak suka mendengar dirinya dihina sebagai tanuki. Kalau dikatai musang, kitsune, atau rubah sih tidak masalah. Tapi kenapa harus tanuki coba?

"Senpai, apa kau ingat pernah ingkar janji padaku?" tanya Sawamura lirih.

Kesedihan terdengar jelas di sana. Kazuya coba mengingat tapi nihil. "Kapan?"

"Sebelum pertandingan Senbatsu melawan SMA Ichidai San."

Ah, soal itu, ya? Kazuya terkekeh pelan. "Kau masih punya dendam ternyata."

"Waktu You-chan bertanya, 'Apa aku marah dulu?' Aku jawab, 'tidak'. Itu bohong. Tapi dibanding marah, rasanya seperti kesal. Marah dan kesal berbeda, kan?" Kazuya memilih mengedikkan bahu, tidak tahu. Sambil mengerucutkan bibir, Sawamura bercerita lagi, "Aku kesal pada Satoru yang tidak bisa bermain bagus. Dia masih memiliki nomor punggung 1, masih menjadi ace Seidou, tapi penampilannya di hari itu adalah yang terburuk. Aku tidak tahu apa yang sedang dia perjuangkan dan membuatnya tidak fokus dalam pertandingan."

"Tapi bukan itu saja yang membuatmu kesal, kan?" potongnya menebak.

"Hm, bukan itu," jawab Sawamura yang anehnya terdengar kecewa.

Untuk kesekian kalinya Kazuya dibuat menyerah karena tidak bisa mengikuti jalan pikiran juniornya yang satu ini. Air mata terlihat mengalir di pipi Sawamura bersamaan dengan suara embusan napas yang tidak teratur. Emosinya kembali bergejolak entah karena apa.

"Dibanding sikap Satoru... mungkin hal yang membuatku kesal adalah Pelatih Kataoka."

Ucapan itu bernada tegas. Sawamura berkata jujur. "Oooh..."

"Aku masih mengingat perkataannya dengan jelas. Waktu itu Pelatih bilang, 'Kau benar-benar menyelamatkan tim. Maaf, kau harus menanggungnya. Kerja bagus sudah menghentikan efek negatif dalam pertandingan ini.' Haha, untuk pertama kalinya Pelatih meminta maaf padaku, tapi aku justru semakin marah, frustasi, dan... haaah, entahlah. Sulit diungkapkan." Tawa sarkas terdengar kemudian, "Terdengar durhaka sekali sebagai anggota dan murid, kan?"

"Kalau Pelatih mendengar ini, mungkin dia akan meminta maaf lagi," canda Kazuya.

Kali ini Sawamura yang mendengus seraya menghapus air mata.

"Jadi, kau bukan marah karena aku pada akhirnya?"

"Aku tetap marah padamu, Cap!" Delikan tajam darinya membuat Kazuya ingin bergerak mundur. Tiap Sawamura Eijun marah, sang ace selalu sukses membuatnya merinding seperti sekarang. "Aku marah karena aku kecewa padamu."

Tanpa sadar Kazuya menahan napas mendengar pengakuannya barusan.

Sawamura tidak segan-segan memperlihatkan perasaannya yang mungkin ia tunjukkan juga di hari itu. Namun dirinya yang memikirkan performa buruk Furuya justru mengabaikan hal tersebut. Kazuya lupa, tidak sadar, sudah menyakiti pemuda di sampingnya dengan janji palsu. Ia bisa saja langsung menjelaskan maksud dari tindakannya, tapi itu bukan dirinya. Seorang Miyuki Kazuya bukan tipe orang yang bebas mengeluarkan uneg-unegnya semenjak jadi kapten, terlebih karena ada niatan baik tertentu.

"Akhir-akhir ini aku berpikir," Kazuya berusaha fokus memperhatikan Sawamura yang terlihat mengeratkan pegangan pada rantai ayunan, "seandainya waktu itu aku memutuskan untuk menyerah karena tidak diberi kesempatan, apa yang terjadi padaku?" Balasan ingin dilontarkan namun tercekat dalam tenggorokan karena mendengar suara tawa penuh kepedihan. "Saat otakku berpikir untuk menyerah, tiba-tiba aku mengingat ucapan Oyaji.

"Jika kau gagal, kau hanya perlu pulang ke rumah. Seandainya benar terjadi, kami tidak akan membiarkanmu ditertawai oleh siapapun.

"Mengingatnya membuatku goyah dan mempertimbangkan untuk pulang ke Nagano. 'Tak ada gunanya bermain baseball kalau aku tidak menikmatinya.' Dengan alasan seperti itu, mungkin mereka mau menerima keputusanku. Tapi alasanku yang sebenarnya adalah... karena aku tak ingin jadi membenci baseball. Itu sama saja seperti mimpi buruk. Sampai sekarang pun aku tak bisa membayangkan, aku akan jadi apa tanpa baseball?"

Kazuya menatap Sawamura tidak berkedip. Ini benar-benar pengakuan yang jauh berada di luar dugaannya. Jika itu terjadi...

Mimpi buruk, napasnya kembali tercekat, itu akan jadi malapetaka bagi Seidou.

"Tapi sekarang sudah tidak apa-apa."

Matanya sukses terbelalak menatap Sawamura yang sudah berdiri tegak dengan kepala mendongak ke atas. Kazuya tidak merespon karena ini benar-benar di luar skenario. Otaknya masih dalam proses menyaring informasi yang mungkin vital baginya, juga bagi Seidou.

"Kalian sudah mengakuiku sekarang, jadi tidak apa-apa." Sawamura berbalik menghadapnya. Dengan wajah sembab serta bekas aliran air mata di kedua pipinya, pemuda itu menunjukkan senyum lebar. Giginya yang putih ikut diperlihatkan. Pemandangan ini, Kazuya tidak bisa mengungkapkannya dalam kata-kata.

Sawamura yang tersenyum lebar saat ini... terasa menyakitkan hati.

Tangan Kazuya terangkat, ingin menyentuh raganya untuk meyakinkan bahwa ini nyata. Sawamura Eijun nyata. Sawamura benar-benar ada di hadapannya. Namun sosok itu malah berjalan melaluinya begitu saja.

"Saa, Kapten! Ayo kembali sebelum tim kerepotan mencari kita!"

Kazuya berdiri kaku memandangi punggung Sawamura yang menjauh dari pandangan.

"Ini permintaan dari Ace-sama. Aku akan menangkap pitching-mu nanti, janji!"

Bodoh. Bagi Sawamura yang terus mengejar nomor ace, tentu saja itu kalimat yang tabu untuk didengar dan tanpa beban apapun, mulut brengsek ini malah mengucapkannya...

Kau bahkan lebih bodoh darinya, Kazuya.

...dan kau hampir menyia-nyiakannya karena ada hal yang lebih darinya di depan matamu.


To Be Continued


Niatnya bikin one shot tapi kepanjangan dan berakhir jadi three-shot aja. :') Dua chapter lainnya belum dibuat sayangnya, jadi gak bisa update cepat. Saya usahakan rampung bulan ini, hahaha. Semoga.

Saya kesulitan buat angst atau hurt/comfort begini, tapi saya ingin numpahin rasa kesal dan galau yang sudah bersemayam di hati sejak baca chapter 30-an Daiya no Ace Act II dengan tulisan ini. Waktu lawan Ichidai San, entah kenapa saya bisa ngerasain kesalnya Wamura dan berujung nangis. Terus selama ngetik ini dari tadi pagi, saya mikir lagi, dibanding kesal sepertinya Wamura lebih merasa kecewa karena bedanya perlakuan ace-sama dan relief pitcher sebesar itu yang ujung-ujungnya diungkapkan dengan rasa frustasi oleh Tera-sensei.

Dan saya paham, arc itu tuh menginspirasi banyak fanfic. Saya udah baca beberapa dan ya, mereka (author fanfic) mengungkapkan kekesalan dengan cara masing-masing. Baik perbedaan atau persamaan dari fanfic ini tak ada maksud untuk menyalin hasil kerja para author lainnya karena jika memang ada kesamaan berarti kita sama-sama merasakan hal demikian pada karakter Sawamura Eijun.

Itu menyakitkan. Ya, saya masih merasa sakit sampai gak mau ngikutin anime-nya awal-awal ini karena terlalu banyak menampilkan Furuya. Sejak awal saya berusaha gak benci karakter ini karena kalau sampai benci, itu sama aja seperti karakter brengsek yang ada di masa lalunya Furuya. Dia gak salah, dia punya kekuatan dan Wamura mengakuinya.

Oke, saya makin kacau di hari spesial yang hanya ada setahun sekali ini.

Btw, saya baru kepikiran juga untuk buat sequel fanfic ini kalau udah selesai. Tapi isinya dari sudut pandang Wamura, walau gak semua dari fanfic ini di-copas dan dirubah sudut pandangnya. Semoga bisa kelar dalam waktu dekat, aamiin...

Eh tapi saya beneran jadi gak mau nonton animenya karena pas baca ulang si Furuya main full inning lawan Komadai, kan? Sumpah, saya gak baca manga-nya dari chap 2-10, langsung lompat ke chap 11 demi liat dedek gemes. TAT

Oh oke, banyak bacot saya. Sekian!

Love you, all!

CHAU!