Finger Crossed

Disclaimer : Naruto belong to ©Masashi Kishimoto

Storyline by Yukirin Shuu

Uzumaki Naruto, Uchiha Sasuke, and Othercast

Warning! AU/ShounenAi/Yaoi/OOC/Typo

I don't take any profit toward this creation

Please enjoy and read carefully :)

.

.


Chapter 1

Dunia adalah tempat bernaungnya seluruh rangkaian filosofi yang hidup di dalamnya. Eksistensi, keindahan, dan pengetahuannya membuat manusia terbuai akan kenikmatan, menjadikan mereka serakah, dan tumbuh keinginan untuk saling melenyapkan satu sama lain. Manusia mudah terlena, langkahnya berujung pada kemungkaran. Boleh jadi mereka adalah si penyayang berhati besar, namun buta mata akan nikmat dunia membuat si penyayang terambil alih oleh kebengisan yang tak kenal ampun. Hati manusia suci, bagai kertas bersih tanpa aturan, kosong tiada hal, dan akan terisi karena persepsinya saat melihat dunia.

Nyanyian jemaat dari orang-orang gereja, begitulah seperti yang mereka sebut, mengalun menyaingi ganasnya deras air hujan yang mengguyur kota. Mereka tidak sedikit pun berniat untuk menghentikan nada sakral yang terlontar dari mulutnya, terus menggemakan seluruh kata ke segala penjuru gereja tua.

Sosokmu berdiri tenang di sana, di sebuah pintu besar gereja, yang setiap saat menunggu kehadiran manusia untuk meminta pengampunan pada Tuhan orang-orang suci itu. Kau menunggu, seakan itu adalah hal yang biasa terjadi, dan ketika waktu telah tiba, taringmu yang sesungguhnya akan terekam jelas. Mereka akan melihat bagaimana hitamnya dimensi manusia, bagaimana rasanya terancam, dan tubuh tanpa kehidupan adalah sesuatu yang biasa. Kau akan menunjukkan pada dunia, jika sesuatu yang mempesona pada pandangan pertama adalah sesuatu yang dapat melumpuhkanmu perlahan, kau bisa tersesat lebih dalam tanpa petunjuk, dan mengabaikan fakta jika sebenarnya pesona itu adalah racun yang harum, namun menyesatkan.

Kau tersenyum kecil, mencoba untuk menikmati apa yang telah tampak dalam hidup, refleksi setiap melodi gereja, bahkan langit sepertinya tidak menyetujui bunyi itu untuk menyaingi. Senar biola mengalun bagai keterpurukan tiada batas, membuat perasaan menegangkan samar-samar muncul di tengah para pendoa.

Pintu utama gereja tersebut terbuka, menyambut dirimu yang berdiri kokoh, tangguh melawan musuh bak cleopatra si penggoda. Semua mata menyorot padamu, seakan kau adalah pemeran utama yang satu pun manusia tidak menginginkan kehadiranmu di panggung pertunjukan. Para pendoa itu mengunci pandangan padamu, tidak ada lagi segala bentuk bunyi gema yang melantun. Hentak kakimu mengalir tenang di antara mereka, membawamu pada sang pemuka agama yang berdiri seorang diri di sana, di altar gereja.

Kau adalah pemeran utama kisah ini, yang akan bertarung sampai ke titik darah penghabisan untuk melindungi keseimbangan dimensi dunia. Kau tidak bisa begitu saja bertindak gegabah, memikirkan sebuah rencana tanpa kematangan akan membuatmu terjebak dalam lingkar yang kau buat sendiri, dan musuhmu.

Ya, musuhmu. Mereka sangat licik dan berego tinggi, tapi dirimu bagai petarung sejati dengan dua mata pedangnya. Kau ambisius, keras kepala mendarah daging pada dirimu, membuat musuh berpikir ulang untuk kembali menantangmu, mencoba mundur perlahan dengan menyusun rencana yang akan meledakkanmu, tapi tak pernah sedikit pun terbesit sebuah pikiran remeh kepadamu.

Kau akan menerjang sebuah badai hitam, yang bisa mengacaukan pikiranmu, jiwamu, tubuhmu, dan berakhir dengan maut yang menghampirimu.

Selama ini kau bermain bersih, mencoba untuk patuh pada setiap ucapan pemimpinmu, sang pemuka agama. Tiada hari sedikitpun kau melanggar ucapannya, perintahnya, untuk melakukan pekerjaan yang terlihat mulia di depan mata orang banyak.

Kau bagai pahlawan bertopeng yang melindungi banyak jiwa, namun terasa kosong, tak tersentuh di baliknya. Kau merasa hampa, dimana seribu orang terselamatkan, seribu orang lainnya pula mati mengorbankan nyawa, terseret pada gelapnya jilatan api hitam yang berasal dari musuh segala manusia.

Kau, Uzumaki Naruto, si pemeran utama yang pandai bertarung dengan fisik dan bibirmu, membuat musuhmu bertekuk lutut karenamu. Semakin lama waktu berjalan, semakin terasa memuakkan bagimu untuk menjalankan tugas sebagai pahlawan bertopeng. Kau lelah, melihat setiap keluarga yang harus menangisi kepergian orang tercintanya tanpa akan melihat kembali tubuhnya, jasadnya. Hatimu sudah memiliki banyak sayatan garis hidup yang menyakitkan. Kau muak dengan semua itu, terlalu jenuh untuk menekuni kembali semua pekerjaanmu sebagai si penakluk daratan, itulah sebutan mereka terhadapmu.

Helai mahkota emasmu mengayun bergerak sesuai irama langkahmu, menunjukkan identitas yang sebenarnya pada semua orang yang buta, yang selama ini banyak orang mengincarmu untuk menghabisimu, sang Half-blood.

Ya, kau langka, dan mereka banyak yang menginginkanmu, mempergunakan bakat yang terpendam dari dirimu sebagai sosok Half-blood sejati.

Kau berdiri kokoh di hadapan sang pemuka agama yang menatapmu layaknya hama pengganggu doa suci yang sedang dirapalkan. Kau tersenyum, menikmati raut wajah sang pemuka agama yang terlihat dingin, tapi kau bisa merasakan ketidaksenangan pada orang itu.

"Janji Tuhan tidak pernah menghianati, tapi umatnya yang bermuka dua pun tidak pantas menerima kenikmatannya. Kupikir hal itu memang sangat cocok sebagai definisi singkat darimu, Shimura."

Kau mengucap dengan lantang. Nadamu terdengar bermain-main memang, namun hatimu terasa hancur bagai debu yang siap hilang menunggu angin. Jemarimu meremas helai rambut yang berasal dari kepala seseorang, yang sedari tadi kau genggam di tanganmu, menyalurkan bau anyir yang menyelingi langkahmu. Kau melempar benda itu, jatuh menggelinding tepat di kaki sang pemuka agama.

Sebuah kepala milik sang Raja, pemimpin para penghisap darah yang musuh agung-agungkan, kini hanya tinggal seonggok daging tak bernyawa, menatap kosong pada sang pemuka agama, seakan neraka terbuka lebar menungguinya.

Jeritan saling menyusul, menggema luas melebihi rintik air hujan, berbanding terbalik dengan nyanyian merdu yang sebelumnya mereka lontarkan.

Kau memberi kejutan terakhirmu kala itu, membuat orang-orang yang sebelumnya meneriakimu dengan kebersyukuran hati, tergantikan oleh jeritan, lolongan, yang dapat membelah para pendoa gereja itu.

Dunia memang naif, sama seperti sang pemuka agama yang telah menyelamatkan banyak nyawa, namun selama ini terbayangi oleh debu hitam dari sang Raja.

Shimura adalah sosok penyelamat, memburu seluruh makhluk berumur panjang itu bagai kilat mematikan, namun dibalik itu semua, dia juga sosok penganut setia pada sang Raja, musuh seluruh manusia.

Vampire.

Dan seorang Half-bloodberhasil mengeksekusi sang Raja.

"Beraninya kau, anak haram! Darahmu memang kotor, tidak ada yang menginginkanmu karena Tuhan memang menakdirkanmu sebagai si pembangkang. Manusia bodoh yang hanya melahirkanmu ke dunia! Benar, dia ibumu yang tolol karena terjerat oleh makhluk terkutuk, penghisap darah."

Kau menarik pelatuk pistol-mu tepat di kaki Shimura yang langsung roboh begitu saja saat merasakan kakinya berlubang karena timah panas. Ucapan kakek tua itu sangat mengusik dirimu. Kau cukup terkejut saat mengetahui sifat baik nan suci yang selama ini ditunjukkannya, runtuh seketika penuh dengan segala cacian yang tidak pantas.

Atau selama ini Shimura hanya berpura-pura baik padamu?

"Hey pak tua, sebenarnya kau memihak Tuhan atau kepala bodoh yang kulempar itu, hah? Lagipula, mulutmu itu beracun, harus merasakan terlebih dahulu bagaimana panasnya api dunia, supaya kau siap merasakan bagaimana neraka yang setia menunggumu."

Kau berjalan mendekati Shimura yang tengah menopang tubuhnya dengan lutut, diam-diam jemarimu mengambil pemantik api yang selalu kau simpan dibalik jubah hitam yang kau kenakan.

"Kurang ajar! Kau lebih baik mati, anak haram!"

Kau tersenyum sinis, menatap datar sang pemuka agama, namun kebencian tertanam jelas di mata birumu. Ah, malam ini kau akan menuntaskan tugasmu sebagai pemeran utama, yang berhasil mengelabui dalang dibalik semuanya, si pemuka agama naif yang haus akan terpenuhinya kewujudan miliknya, menjadi terkuat di antara yang lain. Sayangnya, hal itu sudah menjadi angan-angan kosong karena kau, si penebas jiwa dan pikiran terlebih dahulu mengelabuinya.

Dengan perasaan tenang, kau memantik benda kesayanganmu itu, lalu mengarahkannya pada bibir yang terlihat mengerut menjijikan, membakarnya dengan sepenuh hati bersama teriakan penuh siksa yang menggema.

"Kau adalah hama yang lebih menjijikan dariku, yang merusak doa suci itu. Dimana mulut sombongmu itu, Shimura? Jawab aku! Bahkan aku yakin Tuhan sekali pun tidak sudi hanya untuk memberi pengampunannya padamu, sang pemuka agama munafik."

Kau menikmati pekerjaanmu, hanya tinggal mengeksekusi mati Shimura, itu saja. Setelah ini, kau bebas sebagai pahlawan bertopeng.

Gereja yang sebelumnya terisi penuh oleh para umatnya, kini hanya tinggal deretan kursi yang kosong melompong, menyisakan kekacauan karena para jemaat yang berebut tempat untuk keluar. Tentu saja karena melihat potongan kepala. Kau terkekeh pelan. Rencanamu, bayangan akhirmu, tidak meleset seperti apa yang kau pikirkan. Ada kepuasan tersendiri dalam dirimu.

Tanganmu terangkat menggantung di udara, mengarahkan revolver yang siap kau tarik pelatuknya tepat di depan mata Shimura. Ia terlihat menggeram saat melihat manik birumu yang menatap angkuh, penuh nyala api.

"Anak haram tidak pantas hidup."

Keadaan bagai kertas film yang berputar melambat, berlatar monokrom yang hanya menunjukkan dua sisi hitam dan putih. Sosoknya yang biasa berdiri bagai iblis yang merangkap sebagai pelayan tuhan jatuh tak sadarkan diri, mati bersama kedudukannya yang munafik, bersama sang Raja. Wajahnya terbakar sebagian, merambat menghabisi seluruh tubuhnya dengan perlahan.

"Bajingan sepertimu yang seharusnya mati. Aku beruntung dapat membunuhmu, Danzo."

Itu kata-kata terakhirmu yang kau ucapkan pada sang pemuka agama, yang selama ini menaungi dirimu untuk berperan sebagai pahlawan bertopeng, namun selama ini kau dimanfaatkan olehnya. Kau tertawa keras, menyaingi suara percikan api yang semakin merambat ke permukaan gereja.

"Ah, aku ragu jika selama ini aku pengikut Tuhan."

Kau bergumam pelan, lalu meregangkan otot tubuhmu dengan nikmat. Kau merasa jika selama ini takdir Tuhan pun tidak begitu adil. Entahlah, mengingat posisimu sekarang telah keluar sebagai anak buah Shimura dan telah membunuh Danzo, pemimpinnya, pasti segala tetek bengeknya yang masih tersisa siap mengincarmu, dan membunuhmu.

Kau mendengus kesal seraya mengusap wajahmu, masih menatapi pemandangan panas api yang semakin meluas. Sesekali kau menyisir helai rambutmu yang acak-acakan. Perasaanmu memang tidak menentu, bisa berubah dengan cepat. Kau kini tersenyum, lalu membalikkan tubuhmu hendak meninggalkan gereja tua yang terlihat usang itu, namun senyum tipismu luntur bak ditelan bumi saat melihat sosok jangkung yang berdiri beberapa meter di depanmu. Kau terdiam, mengurungkan niatmu untuk melangkahkan kaki. Suasana menjadi berat, tidak seperti sebelumnya. Mata hitam itu menyorot tajam kepadamu, jujur membuatmu merasa terganggu. Kau tahu jika dia adalah si darah murni, yang merupakan salah satu keluarga bangsawan, dan terlibat hubungan sebagai sekutu dari sang Raja.

Uchiha Sasuke.

Kau mengamatinya secara detail keseluruhan pria bersurai hitam tersebut. Tampang stoic, wajah membosankan menurutmu. Well, itu memang ciri khas mereka, tidak bisa dipungkiri. Mereka absolut, tak terkalahkan, dan mereka adalah salah satu keluarga terkuat sepanjang sejarah yang tidak memiliki pengampunan bagi para pengkhianat yang terikat dengan mereka. Jangan pernah bermain-main atau memulai percikan api dengan mereka.

"Jika ingin bertemu Raja, dia sedang dalam perjalanan menuju tempat Tuhan. Entahlah, surga atau neraka yang akan ditujunya."

Kau berkata ringan sambil mengangkat kedua bahu acuh, menyirat ketidakpedulian terhadap apa yang baru saja kau perbuat. Well, rencanamu tidak ada yang bisa mengganggu gugat, tidak peduli siapa orang itu. Ketakutan pada dirimu sudah hilang sejak dulu, jarang sekali kau kembali merasakannya, bahkan mungkin kau lupa bagaimana rasanya.

Kau mengangkat sebelah alis saat tidak mendapat respon dari dia yang masih berdiri tegap disana, menatapmu datar tanpa ekspresi. Kau memutar kedua bola matamu malas, dan hendak mengarahkan grapple hook pada langit-langit gereja.

"Nyawamu tidak akan bertahan lama, musuhmu semakin gencar mencarimu untuk membunuhmu. Kau sendirian, Uzumaki Naruto."

Kau menghentikan gerakmu yang hendak menarik pelatuk grapple hook milikmu, mencoba untuk menyerap kalimat yang kau dengar dari sosok darah murni tersebut. Kau tahu semua itu, sangat menyadari sebelum kau memulai aksimu, membunuh sang Raja, lalu selanjutnya si tua bangka munafik itu, Shimura. Kau tidak peduli semua itu. Biarkanlah, ini hidupmu, dan kau pemerannya. Tidak ada yang bisa menghalangi langkahmu.

Mungkin'kah?

"Well, semua orang boleh tahu wajahku, tapi tidak dengan diriku yang sebenarnya."

Kau menarik grapple hook yang meluncurkan kait penghubung, menerobos atap, dan menarik tubuhmu ke atas. Kau menembak beberapa kali pada bagian langit-langit yang lain sehingga membuat lubang besar, dan membawamu hilang dibalik atap gereja yang basah oleh hujan, menyisakan sosok dia yang kini berdiri seorang diri.

"Pilihanmu hanya tinggal berpihak pada kami, para darah murni, atau manusia rendah dan munafik yang akan memanfaatkanmu. Kita lihat, dimana kau akan memposisikan dirimu, Naruto."

Suara bariton khas milik dia menyapa ruangan bagai sebuah mimpi buruk yang tiada akhir. Garis takdir menampakkan tinta merah, menunjukkan jika para pemeran telah menjalankan aksinya dengan perlahan, namun pasti.

Rekayasa dunia terlalu kompleks, apa yang kau lihat dengan mata kepalamu, nyatanya tidak sesederhana itu. Induk kehidupannya menjadikan dua golongan, pertama adalah mereka para vampire darah murni, dan kedua, golongan manusia yang menjadi lawan main sejak awal kehidupan. Sudah menjadi hukum alam jika keberadaan manusia semakin terkikis, hilang bak terhisap lubang hitam.

Dia membalikkan tubuhnya, berjalan angkuh memandang lurus ke depan, ke sebuah pintu utama gereja yang terbuka lebar. Sosoknya hilang bersamaan dengan derasnya hujan yang dingin nan suram, sama seperti hatinya yang tak merasakan kehidupan.

Janji rembulan tidak akan menghianati.

.

Kau berjalan seorang diri, di pinggiran kota yang memiliki beragam kisah hidup di dalamnya, menjadikan suasana autentik kota Bergen berdiri tegak di setiap ruangnya. Sebagian wajahmu terhalang oleh bayang senja yang menghiasi langit, semakin jingga, menuju gelap yang akan menyambut. Langkah kakimu terhenti pada sebuah flat-house kuno dengan dinding berwarna cokelat yang luntur karena perubahan cuaca setiap harinya, juga kayu pagar yang mengelilingi rumah terlihat sudah sangat lapuk termakan usia. Kau bergeming di depan pintu tersebut, memandang lurus tanpa bisa diartikan. Jemarimu terangkat, mengetuk pintu beberapa kali, lalu tak selang beberapa waktu sebuah suara familiar muncul dari dalam sana. Daun pintu terbuka, menunjukkan batang hidung sang empu. Kau dapat melihat binar keterkejutan pada manik hijau yang selama ini telah menjadi teman lamamu, Haruno Sakura. Wanita itu mengerutkan dahinya, menatap skeptis dari ujung rambut sampai kakimu.

"Ayo masuk!"

Kau menghembuskan nafasmu pelan, mencoba untuk menetralisir lelah yang merasuk di tubuhmu. Pemandangan sederhana dalam rumah menyambut perhatianmu. Seperti biasa, tidak ada yang berubah. Dua kamar tidur berukuran kecil yang terletak di sudut ruangan, dapur kecil, televisi tabung, dan sofa lusuh yang menghadap ke arah perapian. Kau menghempaskan tubuhmu di sofa, mencoba untuk mencari kenyamanan disana. Entahlah, tiba-tiba kau merasa tidak mood sekarang. Cukup banyak yang terjadi hari ini, dan semua itu tidak bisa dibilang biasa.

"Bagaimana kabarmu?"

Pertanyaan dari Sakura yang muncul bersamaan dengan dirinya mengalihkan atensimu. Wanita itu memberimu cokelat panas seraya menyusul duduk di sampingmu, memandangmu dengan raut khawatir di wajahnya.

"Tidak ada yang spesial, seperti biasa."

Kau menjawab ringan tanpa beban sebagai respon. Kau mengarahkan wajahmu pada uap yang mengepul dari cairan cokelat panas tersebut, mencoba untuk menikmati walau hanya sejengkal kehangatan yang terasa, lalu menyesapnya dengan khidmat.

"Dia membunuh pemuka agama. Mungkin sebentar lagi, dia akan habis diburu oleh musuh. Para darah murni, atau antek-antek Shimura yang akan terlebih dahulu menangkapnya. Mendokusai."

Suara yang lain membuatmu tersadar, namun kau tidak menoleh, masih tetap memusatkan perhatianmu pada mug yang kau genggam. Laki-laki itu Shikamaru, seorang teman lama yang menjadi kaki dan tanganmu, yang menjadikannya sebagai tempat pulangmu, sama seperti Sakura. Kau tidak bisa membayangkan sedikit pun jika Tuhan tidak mempertemukanmu dengan mereka. Tidak ada gambaran yang jelas, mungkin kesuraman yang akan menemanimu sebagai mimpi buruk.

"Kadang gila dan jenius itu hampir sama, Naruto. Tapi, kau terlalu idiot untuk semua itu."

Kali ini kau mendengar suara Sakura yang terdengar lesu, sedikit parau. Kau melirik kearah Sakura yang terlihat mengurut batang hidungnya melalui ekor matamu. Jujur kau merasa bersalah pada mereka semua. Tidak hanya posisimu yang akan di eksekusi, tapi kedua temanmu itu bisa terancam, atau lebih parahnya mereka bisa mati.

"Kau tahu benar jika kami adalah keluargamu, jangan pernah lupakan itu. Hidupmu sangat berarti bagiku. Tapi, sekali saja aku mohon jangan bertindak sebodoh ini, Naruto."

Kau bisa menyadari jika wanita bersurai merah muda itu tengah menahan amarahnya, berusaha untuk mengendalikan dirinya yang sudah memuncak, ingin memukulmu keras. Kau mengalihkan perhatianmu padanya yang kebetulan Sakura juga sedang melihat wajahmu, merah, terbakar kekesalan. Kau bisa melihat jelas kekecewaan pada manik hijaunya. Kau merupakan tipe yang tidak mempunyai kesabaran, berujung pada kecerobohan, dan gegabah. Kira-kira seperti itu yang mereka pikirkan tentangmu.

"Aku tidak mungkin terus diam melihat sesuatu yang semakin lama semakin membuatku muak terjadi begitu saja. Kalian tahu sendiri, jika Danzo si pemuka agama busuk itu orang rusak, munafik menjijikan yang tidak tahu diri."

Kau mendengus pelan seraya menyandarkan punggungmu, menikmati umpatan yang baru saja kau ucap. Kau mengakui jika kapasitas otakmu sedikit lambat merespon, namun rasa nekatmu yang berlebih mengalahkan itu semua. Shikamaru duduk menyamping pada sofa single hendak tidur, sedangkan Sakura terlihat memikirkan banyak hal yang terasa campur aduk dipenatnya. Keadaan menjadi sangat hening diantara ketiganya. Hanya gesek jilatan api yang menyapa di perapian.

Berbicara soal orang tuamu, Minato dan Kushina merupakan pasangan terlarang yang pernah lahir dalam sejarah kehidupan. Namikaze Minato adalah kaum bangsawan vampire darah murni yang ditakdirkan sebagai pewaris klan. Namikaze masih memiliki ikatan darah dengan Senju, tetua klan vampire yang melegenda. Kaum mereka, Senju, begitu juga dengan Namikaze, membentuk perjanjian damai bersama manusia. Dunia manusia untuk mereka, begitu juga dunia untuk kaum penghisap darah. Namun, orang tuamu merusak hukum yang berlaku dengan membentuk sebuah ikatan. Ikatan yang sebelumnya tidak pernah ada sepanjang hidup, namun diciptakan oleh kedua orang tuamu yang saling mencintai. Terdengar sederhana, tapi tidak semudah itu, karena tindakan Minato dan Kushina itulah yang dapat mengancam keberlangsungan hidup alam semesta yang saling berdampingan, kau lahir. Namun, selang beberapa waktu Tuhanmu itu memanggil Kushina terlebih dahulu, meninggalkanmu bersama keluarga Kushina, Uzumaki. Mereka merenggutmu dari Namikaze, menjauhkanmu dari segala tetek bengeknya yang berkaitan dengan dunia bangsawan penghisap darah.

Dari awal mereka sudah menganggap suatu kesalahan mengenai Kushina dan hubungannya dengan pria penghisap darah itu. Hal itu juga tidak luput mereka tujukan kepadamu. Naif memang. Mereka terlihat membencimu, namun seakan-akan kau bagai pelindung Uzumaki, keluarga yang berasal dari mendiang ibumu itu. Mereka mengirimmu ke sebuah gereja untuk menjadikanmu sebagai sosok taat nan suci, membela kehidupan umat manusia, dan mencoba untuk mengabaikan keberadaan kaum penghisap darah yang bahkan kau memiliki darah mereka sendiri, sang Namikaze.

Kau hidup di bawah naungan orang-orang gereja yang dipimpin sang pemuka agama bermarga Shimura. Sosokmu sebagai pahlawan bertopeng mulai tampak, menunjukkan kemakmuran yang membuat hati manusia merasa terjaga, terlindungi. Hidup manusia terasa bergantung kepadamu saat sebuah kejahatan kecil terjadi dalam bayangan. Namun, sebenarnya kau telah dikhianati oleh orang-orang itu, Shimura yang ternyata sosoknya bersekutu dengan kaum penghisap darah, Sang Raja yang telah kau eksekusi.

Ada suatu masa dimana akhirnya kau menemukan titik jenuh yang semakin lama membuat dirimu merasa janggal, terbebani. Terbesit sebuah ide gila yang menghampiri benakmu kala itu. Sebuah pemikiran yang bahkan tidak pernah setiap makhluk di muka bumi memikirkannya, apalagi melakukannya.

Membunuh Raja dan Danzo.

Kau tersenyum kecil saat mengingat perasaan serba salah yang menjebak dirimu kala itu. Kau memikirkan orang-orang pentingmu. Sakura, dan Shikamaru. Dua orang itu pertama kali kau temui di gereja, sebagai sosok teman, bisa dibilang seperti itu. Mereka berdua adalah yatim piatu yang memiliki porsi cerita masing-masing. Kau bersyukur sekali lagi kepada Tuhan karena menakdirkanmu memiliki sosok yang penting dalam sepanjang menghabiskan hidup.

"Hey, ada sesuatu yang ingin kubicarakan."

Kau orang pertama yang memecah keheningan di ruangan. Sakura melirik sekilas kearahmu, sedangkan Shikamaru masih setia pada posisinya, namun dirinya masih terjaga. Entahlah, tapi ada sesuatu yang membuat bibirmu merasa tertahan untuk kembali berbicara.

"Aku ingin mengajak kalian pindah dari kota ini."

Satu kalimat yang terlontar dari mulutmu, cukup membuat sadar jika kau adalah orang yang gemar mencari masalah. Tapi, bukankah akan lebih baik jika kau dan dua temanmu itu pergi meninggalkan kota demi keselamatan?

Atau tidak sama sekali.

Tidak ada jawaban. Yeah, kau telah memperkirakan hal itu. Diam-diam kau menghela nafas, merasa berat pada hatimu. Kau egois, teman lamamu tahu itu. Namun, keputusan ini telah kau pertimbangkan sebelumnya. Sekiranya, dengan melakukan migrasi ke tempat lain, resiko keberadaan kau dan teman lamamu itu bisa lebih aman dari mereka yang akan memburu. Selebihnya hanya tinggal menunggu waktu yang terus berjalan, mengupas satu per satu apa yang akan terjadi ke depannya.

Wanita di sampingmu mendengus, lalu beranjak pergi meninggalkanmu masuk ke kamar. Kau bahkan sempat mendengar gumaman 'Ya Tuhan' yang sempat keluar dari mulut Sakura. Berpindah ke Shikamaru, laki-laki itu masih bergeming pada posisinya, tidak memberi sedikit pun jawaban walau hanya sekedar kata 'membosankan' miliknya. Hidup memang pilihan. Entah itu hitam atau putih yang akan kau pilih. Hanya saja, langkahmu sedikit goyah kali ini. Kau tahu Sakura butuh menjernihkan pikirannya jika sudah melihat gelagatnya seperti itu. Sedangkan Shikamaru, siapa yang tahu?

Laki-laki itu jenius, pikirannya sulit terbaca. Penampilannya memang jauh berbeda dengan apa yang ada di kepala nanasnya, itu pun jika kau lebih mengenal sosoknya. Mungkin saja ia berada di pihakmu, tapi rencananya tidak ada yang tahu. Walau begitu, kesetiannya padamu tidak main-main. Berkali-kali kau jatuh, tangannya akan selalu terulur kepadamu. Namun, jangan sekali-kali kau menepisnya.

Cukup lama kau terjebak dengan pikiran yang membuatmu lelah, padahal tubuhmu hanya duduk di sofa dekat perapian. Apa perjalananmu hanya sebatas ini bersama dua teman lama? Sedangkan, kau akan pergi jauh memisahkan diri. Rasanya dunia tidak menginginkan keberadaanmu lebih lama, dan hal itu sedikit membuatmu sedih? Tidak, tidak. Miris mungkin lebih tepat.

Sama seperti wanita bersurai merah muda itu, otakmu harus diberi rehat sejenak. Kau beranjak berdiri dari dudukmu, meregangkan otot tubuhmu yang terasa kaku, lalu membawa langkah kakimu menuju daun pintu yang sebelumnya menyambutmu masuk bersama Sakura.

Langit malam menyapa inderamu, bersama titik bintang yang menemani, tapi malam ini enggan menunjukkan sinarnya. Kau berjalan menyusuri trotoar pejalan kaki seorang diri. Tidak terlalu ramai, hanya beberapa orang yang kau lihat berpapasan denganmu. Kau melewati beberapa toko yang menampilkan gemerlap lampunya.

Langkahmu terhenti tepat di sekat besi yang membatasi kota dengan air danau. Angin malam menerpa wajahmu, membelai lembut, namun bersamaan dengan dinginnya menusuk kulitmu. Hari yang sulit karena pikiranmu yang kacau, dan hari yang menyenangkan karena kau berhasil membunuh Raja, serta Danzo. Kau tersentak kaget saat merasa sesuatu yang beku menyapa pipimu. Kau menoleh, dan mendapati sosok pemuda yang menyodorkan sebuah minuman kaleng kepadamu.

"Mendokusai."

Jangan tanya siapa yang datang. Kau mengambil minuman kaleng itu, membuka penutup botolnya, dan meneguk beberapa kali. Sepertinya Shikamaru menyusul kepergianmu tadi. Mungkin hanya untuk sekedar berbicara dua mata bersamamu, soal apa yang sebelumnya kau bicarakan di rumah.

"Kalian mungkin kesal denganku, maaf."

Kau berbicara datar, memandang lurus pada air danau yang terpantul sinar bulan. Kau bisa mendengar jelas Shikamaru yang menguap bosan. Kau tahu jika dirimu memang seenaknya berbicara seperti itu, seolah tidak memikirkan tentang dua temanmu itu, tapi tidak seperti itu. Kau sangat menyayangi Sakura, dan Shikamaru. Keselamatan mereka adalah milikmu, tidak bisa dipungkiri bagaimana hidupmu berjalan jika tidak ada mereka. Tidak ada seseorang yang akan menjadi tempatmu bersandar, mengeluarkan semua pikiranmu yang penat pada mereka. Gila yang akan membayangimu, jika saja itu terjadi.

"Dari dulu kau memang selalu membuat kami repot, Naruto."

Kau tersenyum samar saat mendengar suara yang terselip nada jengkel dari Shikamaru. Pria nanas itu pergi meninggalkanmu, bisa kau dengar suara langkah kaki yang menjauh. Kau sendirian, bersama satu kaleng bir yang menghangatkan suhu tubuhmu di tengah bekunya malam. Pikiranmu kembali mengingat Sakura saat di rumah. Kau tahu jika wanita itu tidak mungkin mengikuti permintaanmu. Rumah itu, bangunan tua itu, adalah satu-satunya warisan orang tua Sakura yang diberikan pada wanita bersurai merah muda itu. Sakura tidak mungkin bisa melepasnya begitu saja, apalagi hanya karena seorang pemuda yang berstatus sebagai teman seperti dirimu. Akan sangat berat ketika harus melepas sesuatu yang berharga yang menjadi milikmu sekarang ini, demi memilih hal lain yang terdengar tidak pasti.

"Jadi aku tidak meyakinkan, huh."

Kau berbicara seorang diri. Merenungi semua hal yang ada pada dirimu. Tapi, kau tidak pernah menyesali setiap keputusan yang kau ambil, meskipun itu beresiko tinggi terhadap nyawamu.

.

Keesokan paginya, kau hendak berangkat pergi seorang diri. Kotak tas yang berisi lembar pakaian tersusun rapih di dalamnya, tak lupa dengan persediaan makanan dan air minum yang telah kau siapkan. Kuda hitam menunggu setia di pekarangan. Hari ini adalah hari terakhir kau menginjakkan kaki di flat-house kuno bersama dua sahabatmu. Kau berjalan melewati ruang tengah yang selalu menjadi tempat hangatmu bersama Sakura, dan Shikamaru. Percik api masih setia menampakkan wujudnya di perapian. Sepi, kau tidak melihat siapa pun disana, hanya seorang diri. Kau mendengus pelan, tak terkejut saat mengetahui akan menjadi seperti ini. Sepertinya mereka tidak berniat sekedar bertemu untuk melihatmu, mungkin? Mengucapkan sepatah dua kata perpisahan. Kau tidak bisa membohongi perasaanmu jika saat ini merasa kecewa, atau sedih. Toh, jika dipikir-pikir memang kau yang berucap gamblang untuk mengajak mereka pindah. Walaupun akhirnya kau tidak mendapat jawaban yang baik.

"Well, baiklah."

Kau melanjutkan langkahmu yang sempat tertunda, mendekati daun pintu yang sedikit terbuka membuat celah. Namun, saat kau telah sampai di samping kuda hitam yang sebelumnya kau siapkan dari istal, mereka yang sempat terbesit dibenakmu ada disana. Kau memandang keduanya dengan sebelah alis terangkat, merasa heran dengan kegiatan mengikat beberapa tas, dan karung di pelana kuda. Shikamaru, setelah pria itu selesai dengan kegiatannya, matanya tak sengaja bertemu pandang denganmu.

"Apa yang kau lakukan?"

Kau menyahut kearahnya sambil menyusul mengikat barang milikmu di pelana kuda hitam. Kau menyadari melalui ekor matamu, jika pria nanas itu memperhatikan gerak-gerikmu dengan datar.

"Entahlah, Sakura berubah pikiran. Dia ingin ikut bersamamu."

Ucapan Shikamaru cukup membuatmu terkejut. Kau mengalihkan perhatian kepadanya setelah menghentikan aktivitasmu.

"Lalu, kau bagaimana?"

Pertanyaanmu membuat Shikamaru mendengus pelan. Kau bahkan mendengar jelas kata 'membosankan' yang meluncur halus dari mulutnya. Pria nanas itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal seraya menguap malas.

"Aku tidak ingin mengurus rumah ini sendiri."

Kau tidak bisa menahan untuk tersenyum kecil saat mendengar jawaban yang terkesan konyol dari pria jenius itu. Tak selang beberapa waktu, Sakura datang bersama sebuah kotak di tangannya. Kau tak sengaja memandang wanita itu yang juga berpapasan denganmu. Perasaan canggung, namun senang menyelimuti relung hatimu. Entah ekspresi apa yang harus kau pasang saat ini. Sakura menyodorkan dua helai roti kepadamu yang baru saja dibuatnya saat masih di dapur.

"Kau bisa mati di tengah jalan jika perutmu belum terisi seperti itu."

Kau menerimanya, bersamaan dengan itu Sakura berlalu menuju kudanya. Matamu mengamati dengan cermat setiap isian yang terselip pada helai roti itu. Sepertinya Sakura menyiapkannya lebih awal dari bangun tidurmu yang sudah kau rencanakan. Wanita itu bahkan menyempatkan diri untuk memanggang daging hanya sekedar untuk sarapan.

"Terima kasih."

Tanpa kau sadari Sakura sekilas melirikmu, dan tersenyum. Bagimu, sosok Haruno Sakura membuatmu berpikir apakah memiliki seorang ibu rasanya seperti itu? Diperhatikan, dan tulus menghadapimu. Kau terkadang merasa iri dengan anak-anak yang berjalan berdampingan bersama sosok ibunya, saling menautkan jemarinya satu sama lain, dan mengekspresikan segala hal pada wanita yang melahirkannya. Bagaimana rasanya memiliki perasaan itu?

Itu adalah pertanyaan yang sering muncul dibenakmu sampai akhirnya kau bertemu Sakura, juga Shikamaru.

Setelah menghabiskan makanan sebagai pengganjal perut yang dibuat Sakura, kau bergegas menuju kuda milikmu. Sebelah kakimu menumpu pada sanggurdi, dan memposisikan tubuhmu tepat diatas kuda. Kilasan saat kau membakar Danzo sepintas putar di kepalamu. Satu dosa membunuh telah kau cipta, berbeda dengan sang Raja yang memang ditakdirkan sebagai musuh manusia pengikut Tuhan. Kau berusaha mengenyahkan pikiran itu yang tiba-tiba muncul. Namun, saat ini yang harus kau lakukan adalah menghindar sejauh mungkin dari mereka yang akan datang untuk menangkapmu, Sang Half-blood.

"Apa kalian yakin untuk ikut bersamaku?"

Jauh di dalam hatimu kau merasa ada sesuatu. Kau sangat mengetahui bagaimana sifat kedua teman lamamu itu jika saat mengambil keputusan. Rasanya ada suatu hal yang tidak mereka bicarakan denganmu tentang keikutsertaannya. Sungguh, kau bersyukur saat melihat Shikamaru tengah menyiapkan kuda, bahagia saat Sakura memberi roti buatannya. Tiada guna jika hidupmu tak memiliki hal kecil namun menghangatkan hati.

"Aku telah memikirkan banyak hal semalaman. Apa kau masih ingin terus bertanya seperti itu?"

Kau melihat Sakura mengerutkan keningnya, menatapmu penuh kekesalan yang tercermin pada manik emerald miliknya. Kau diam membalas menatap, tidak berkata-kata. Jujur kau merasa takut jika wanita itu sudah marah dan mulai tersinggung. Tipikal Haruno Sakura.

Kau memacu kuda dengan kecepatan kecil, memimpin telusuran jalan setapak yang diselimuti kanopi sepanjang perjalanan. Perkiraan waktu dari Bergen menuju Laksevag sekitar satu hari menggunakan kuda. Pemukiman penduduk yang sebelumnya sering menyapamu semakin berpendar dengan jarak yang jauh menempati lahan. Perbatasan kota tidak sepadat pusat kota yang selalu ramai siang malam. Rata-rata orang melakukan pekerjaannya sebagai petani kebun atau mengurus perladangan.

Matahari tepat diatas kepala, namun suhu menunjukkan rasa sebaliknya. Permulaan angin musim dingin mulai berhembus, samar-samar membuat tubuh meremang dibalik pakaian tebal yang kau pakai. Enam puluh menit telah kau habiskan untuk memacu kudamu dengan kecepatan yang berbeda-beda, diiringi setia dengan dua kuda dibelakangmu.

Sebuah bangunan kecil tanpa plester lapis yang hanya menampilkan susunan bata merah terhias lumut menarik perhatianmu. Shikamaru menurunkan laju pacuan kudanya saat melihatmu menghentikan jalan, begitu juga dengan Sakura. Beberapa orang terlihat keluar-masuk ke tempat yang mengeluarkan aroma harum tidak asing menurutmu.

"Smalahove!"

Sakura menyahut keras. Indera penciumannya memang sangat tajam untuk mengetahui sebuah kepala domba yang dimasak hanya dari asapnya.

"Walaupun makanan itu memang untuk kalangan bawah, tapi hanya sekali aku pernah memakan itu."

Sakura terdengar semangat saat ini. Masa kecilnya jauh dari kecukupan, namun sesekali ia pernah memakan sesuatu yang menurutnya tidak biasa.

"Ayo, jangan melewatkannya!"

Wanita itu langsung memacu kudanya ringan menuju tempat yang dimaksud. Hal itu mau tak mau membuatmu mengikutinya. Kau tidak bisa menahan senyum saat melihat kesenangan terpancar di wajah Sakura, namun disisi lain juga kau mengkhawatirkan kondisi keuangan yang tersimpan di kantung jerami untuk memenuhi kebutuhan.

Bau daging semakin menusuk hidung saat memasuki ruangan yang sederhana untuk disebut sebagai tempat makan. Lima meja bundar dengan masing kursi yang tersusun rapih, serta meja bar dengan dua kursinya. Lampu sedikit temaram menyinari tempat itu. Hanya ada tiga orang pria paruh baya yang terlihat mengisi tempat, bersama seorang pemuda yang melayani.

Sakura memilih tempat paling sudut diruangan. Kau sekilas melihat orang-orang yang berada disana mengunci pandangan pada kalian bertiga.

"Kenapa dengan mereka?"

Shikamaru yang mendengar gumaman darimu hanya mengangkat kedua bahunya malas.

"Apa rencanamu?"

Kau mengangkat kepalamu saat mendengar suara Sakura yang duduk tepat dihadapanmu. Matanya terlihat menyelidik sesuatu pada dirimu, berbeda dengan Shikamaru yang telah masuk ke alam mimpi disampingmu.

"Disana ada rumah yang biasa kutempati selama menjalani latihan panah."

Jawabanmu membuat Sakura bergerak gelisah, tidak yakin. Wanita itu menyelipkan anak rambutnya, memandangmu khawatir.

"Laksevag? Apa kau yakin disana akan aman?" Tanya Sakura terdengar ragu.

"Tentu saja. Aku membeli rumah itu saat kembali dari misi beberapa bulan lalu."

Ekspresi Sakura melega. Wanita itu menyandarkan punggungnya pada papan kursi. Tak selang beberapa waktu, seorang pelayan datang bersama satu piring Smalahove ditangan. Bersamaan dengan datangnya pesanan, bunyi gemerincing bel menandakan seseorang masuk keruangan sebagai seorang pelanggan, atau tidak?

Karena punggung sang pelayan tiba-tiba tersentak kaget saat terdorong ke depan oleh orang yang baru datang itu. Tidak seorang diri, ada dua orang yang datang berpakaian serba putih bertudung. Suasana berubah menjadi hening, sedikit tegang saat melihat kerah baju sang pelayan dicengkram erat oleh orang bertubuh besar itu. Mata sewarna cognac menyorot tajam pada tubuh ringkih sang pelayan yang terlihat bergetar. Diam-diam kau melirik kejadian itu melalui ekor matamu, sedangkan Sakura menatapmu penuh makna dengan Shikamaru yang masih bersikap tenang, terkendali. Sakura terkejut saat melihat tubuh sang pelayan disentak kasar menabrak pinggiran meja yang kau tempati. Seperti mencari sesuatu yang akan sangat berbahaya dampaknya jika sudah menemukannya. Tak sengaja kau melihat jalinan serat benang membentuk sebuah tanda pada jubah yang dikenakan orang asing itu.

Fireflies.

Sesaat kau merasa kaku ditempat. Orang-orang ini tentunya anak buah Shimura, antek-antek gereja yang tengah mencari seseorang.

Siapa lagi jika itu bukan kau?

Langkah berat dua orang itu mengarah pada tiga orang pria paruh baya yang posisinya tidak jauh darimu. Salah satu dari orang tua itu menatap sengit pada dua orang asing bertubuh besar yang datang mendekatinya.

"Sombong sekali kalian berlagak seperti itu!"

Kau mendengar suara khas orang tua yang menyahut keras. Sakura dengan gerakan yang tidak menimbulkan banyak suara menyuruhmu untuk bertukar posisi tempat duduk, dan memakaikanmu topi tudung yang sempat dibawanya.

"Cepat, cepat!"

Sepintas kau merasa terkesan dengan perilaku Sakura. Bersikap biasa layaknya tidak terjadi apa-apa, kau mulai menyendok butiran nasi yang mengepulkan uap panas, mencoba untuk tidak menghiraukan apa yang sedang terjadi di dalam ruangan ini. Namun, sesuatu yang buruk terjadi. Orang-orang gereja itu dengan mudahnya mematahkan leher pria yang sebelumnya berdebat dengan mereka, membuat orang-orang di dalam tempat ini terkejut, membelalakan mata. Sakura menutup mulutnya dengan telapak tangan, memandang ngeri terhadap apa yang barusan terjadi di depan mata kepalanya. Bahkan makanan yang tersaji di meja terlihat tidak lagi memanjakan mata.

Kau meremat gagang sendok yang kau genggam. Perasaanmu melonjak tinggi untuk menghajar habis orang gereja itu, menyiksanya, lalu membunuhnya.

"Jangan ceroboh."

Kau melirik kearah Shikamaru yang tengah menatapmu tajam saat mendengar suaranya. Seolah mengetahui apa yang ada di dalam benakmu saat ini, pria nanas itu terus memperhatikan gerak-gerikmu. Kau menghembuskan nafasmu pelan. Mungkin ke depannya akan sangat sulit melakukan perjalanan. Kau, dan dua temanmu itu harus selalu waspada di setiap sisi.

Langkah berat terdengar mendekat ketempatmu. Bagi Sakura, ini adalah pengalaman terburuk yang pernah ia alami jika sudah berurusan dengan antek-antek gereja yang merepotkan itu. Kau bisa melihat jelas sikap Sakura yang sedang gugup saat ini. Wanita itu berusaha memusatkan perhatiannya pada kepala domba yang teronggok di atas piring, ingin disentuh. Tidak seperti apa yang kau duga, mereka melewati tempatmu, namun kembali berhenti di ambang pintu. Pria bertubuh besar dengan manik cognac tersebut menempelkan dengan keras selebaran putih berisi profil seseorang.

Uzumaki Naruto

1.000.000 Krona

Hidup atau Mati

Kau memicing kearah daun pintu yang terdapat selebaran kertas menempel disana. Dua orang gereja itu telah hilang dibalik pintu, membuatmu terdorong melangkah untuk sesuatu yang menarik minatmu dari kertas itu. Kau merobeknya, membaca setiap kata yang tercetak disana. Perilakumu membuat Sakura ikut menyusul menghampirimu, dan seketika terkejut melihat namamu dijadikan sebagai buronan kota.

"Apa kepalaku semurah itu hingga hanya dihargai satu juta krona!?" Ucapanmu mengundang decakan dari Sakura.

"Bodoh! Kita harus bergegas dari tempat ini!" Ujar Sakura bergerak tidak tenang.

Wanita itu merebut selebaran kertas darimu, lalu meremasnya hingga tak berbentuk. Sepintas kau melihat keadaan di dalam ruangan tersebut yang tidak bisa dibilang nyaman semenjak kedatangan orang-orang gereja itu. Kau menghampiri dua pria paruh baya yang tampak bingung dan takut melihat keadaan temannya yang cukup mengenaskan. Kau merogoh kantung kecilmu dan memberi beberapa koin emas pada salah satu pria paruh baya itu.

"Urus jasadnya, berikan koin itu pada keluarganya, dan kalian bisa ambil beberapa."

Tanpa melirik untuk yang kedua kalinya, kau pergi meninggalkan tempat yang sebelumnya harum makanan kini samar-samar tercium aroma anyir tak asing. Kau memacu kudamu dengan cepat, diikuti Sakura yang tepat dibelakangmu, dan Shikamaru sebagai penutup. Pergi meninggalkan kota yang selama ini menjadi teman hidupmu, kini perlahan bergerak bagai sulur yang menarikmu untuk mati.

.

Salju pertama turun dengan cukup lebat, membuat cemara yang berdiri tangguh terselimuti oleh benda dingin namun membekas itu. Uap napasmu mulai tampak, menunjukkan bahwa keadaan sudah berbeda dari beberapa waktu yang lalu yang masih gugur. Jarakmu hanya tinggal beberapa meter lagi untuk menemui perbatasan Laksevag. Namun seketika, kau menarik tali pacu kudamu untuk menghentikan jalan.

"Ada apa!?"

Sebuah anak panah yang menembus permukaan tanah bersalju itu menjawab pertanyaan Sakura. Benda itu menghadang perjalananmu, tak ayal hal itu membuatmu berdecak kesal. Kau memutar arah kudamu, begitu juga dengan Sakura, dan Shikamaru. Sepuluh kuda dengan sepuluh pengendara berjubah putih menyambutmu bagai iblis berkedok malaikat, membuat Sakura yang berada di sampingmu menahan nafas.

"Persiapkan diri kalian, musuh di depan mata." Sahutmu bagai genderang perang. Perasaan itu datang untuk yang kesekian kalinya. Perasaan yang sama saat membunuh Danzo. Sesuatu yang membuat adrenalinmu terpacu tinggi, tapi kau menyukainya.

"Mereka Fireflies, orang gereja pengikut Shimura." Ujar Shikamaru seraya merendahkan suaranya. Sakura yang mendengarnya tersenyum miring walau tak bisa dipungkiri rasa takut menghantuinya.

"Sudah lama aku tidak menghajar musuh seperti ini." Sahut wanita bersurai merah muda tersebut, terdengar bertekad dalam suaranya. Tangan putihnya sudah gatal untuk membuat wajah-wajah orang gereja itu habis babak belur. Kau tersenyum. Entahlah, tiba-tiba semangat bertarung semakin mendorong memenuhi tubuhmu sekarang.

"Hati-hati, mereka punya senjata rahasia."

.

To Be Continued.


Author Note :

Gatau kenapa mungkin ide-ide yang ada di otak saya sudah bocor deras keluar, dan saya gak tahan untuk nuanginnya dalam bentuk cerita baru. Padahal cerita yang lain aja belum pada kelar, dasar author yang tidak berperikeauthoran #slap

Jadi guys, mohon dengan segala mohon -ngomongapadehauthor- saya selalu girang sambil lompat2 gajelas kalo dapet review dari kalian untuk cerita saya #nangisterharu

Yahh tapi beda cerita yaa kalo yang berbau hate review (asik dah kaya netijen Budiman aja)

Oke sekian penutup dari saya. Chapter 2 fic ini bakal di apdet beberapa hari lagi, cepet kogg hehehe~ #doakanya

Jangan lupa reviewnya!

Salam hangat

Author