The Dawn

Penulis: Naya Hasan

Instagram: specialnay

Sebelum fajar, tepat saat usianya genap 19, Chanyeol hanya mempunyai dua pilihan: Ia harus memakan jantung pertamanya, atau mati. Dan ia menemukan jantung yang manis itu berdetak dalam raga seorang gadis lugu bernama Byun Baekhyun.


ͼ The Dawn ͽ

Cast:

Park Chanyeol
Byun Baekhyun
Kim Junmyeon (aka Ar-Leith)
Wu Yifan
Kim Heechul

Genre:

Fantasy, Romance, Angst

Warning:

Genderswitch!

Rating:

M untuk adegan dan bahasa yang melibatkan kekerasan dan suspense.

Disclaimer:

Fanfiction ini saya tulis sendiri enam tahun silam. Dan waktu itu masih demam-demamnya Twilight, haha. Tulisannya belibet tapi semoga cukup layak baca bagi kalian?

Dilarang keras plagiat!

Dan jika ada kritik ataupun saran, tolong sampaikan secara sopan.


.

PROLOG

Seoul, 2019

"Mulai saat ini… kau milikku."

"Eung?"

Tanpa menunggu reaksinya, aku membenamkan wajahku di ceruk lehernya. Aku tidak bisa menahan diri, oke? Aromanya terlalu menggoda dan rasa laparku begitu membara.

Dan dia, aku tersenyum menatap mata anak anjingnya yang membulat inosen. Tanda yang kubuat bersinar cerah, kontras di kulit putihnya. Aku telah menandainya. Ia telah menjadi milikku. Dan aku, tidak berencana melepaskannya.

Hingga saatnya tiba, dan aku akan memiliki jantungnya yang manis itu.

.

.

.

CHAPTER 1

A HUNT

.

Harbin, China, 1994.

Tempat itu berantakan. Atau hancur merupakan kata yang tepat jika bisa disebut begitu. Jika pohon-pohon yang tumbang tak tentu arah, rerumputan yang seperti habis dipakai untuk bergulat, dan darah yang berceceran di rerumputan masih dapat dimasukkan dalam kategori hancur. Ada mayat juga bergelimpangan. Tidak banyak memang, hanya beberapa pria dengan pakaian yang tidak begitu lazim. Keaadannya mengenaskan. Tidak utuh. Tidak ada yang utuh. Ada yang kepala dan badannya terpisah sejauh satu setengah meter. Yang lain lebih banyak mengalami kehancuran sampai tidak berbentuk di badannya. Ada yang semua bagian tubuhnya, seperti kedua tangannya, tercerai berai dan dadanya terbelah. Dari semua itu, yang pasti adalah mereka semua mengalami kerobekan mengerikan di bagian dada dan kehilangan jantung.

Namun masih ada satu orang —yang ini masih muda— yang masih bernapas.

"Maafkan aku. Seharusnya aku melindungimu lebih cepat." suara jernih seperti angin hangat musim semi yang tiba-tiba saja membelah kegelapan malam itu bersenandung lembut tapi jelas dan tegas. Tidak, bukan senandung sebenarnya, hanya saja oktafnya yang kelewat lembut membuat suaranya terdengar menjadi seperti itu; mengalun anggun seperti melodi. Diiringi kepakan-kepakan lembut yang meyebabkan rerumputan basah sekitar bergoyang pelan, seperti saat-saat di sore musim gugur, dan seolah menguap oleh udara hangat yang mendadak melingkupi mereka, membuat setiap tanaman liar yang bertumbuh di antaranya berubah wangi menjadi setingkat mawar-mawar mahal.

Pria itu mendongak, tidak memerlukan penerangan lebih selain pantulan sinar pucat bulan sabit untuk menampaki objek di hadapannya, karena sosok menyerupai seorang gadis itu seperti memancarkan cahaya aneh dari setiap pori tubuhnya sendiri. Aneh. Karena cahaya itu menyilaukan sehingga mustahil tidak membuat matamu sakit, tapi di saat bersamaan membuatmu semacam… mabuk, sekali menatapnya dan kau tidak akan pernah berpikir untuk melihat benda lainnya lagi.

Pria berpostur jangkung itu masih terlalu lemas untuk bangkit dari posisinya yang tersandar kehabisan kekuatan pada pokok sebatang ek tua, justru membawa manik sendunya bergerilya lagi pada wujud seorang gadis di hadapannya. Benar, gadis! Jika saja ia tidak mengeluarkan cahaya tajam dari tubuhnya, hampir bisa dikatakan begitu, gadis dengan kecantikan tidak bisa dipercaya. Gadis itu masih menggantung di udara mengandalkan kedua sayap lebarnya yang merekah, berwarna tak terdefinisi, antara putih.. namun juga seperti air jernih. Yang jelas semua itu adalah keindahan tak tergambarkan yang bahkan tidak pernah muncul di seindah apapun khayalanmu. Ujung kaki telanjangnya menyapu lembut pucuk rerumputan tapi tidak menginjaknya. Tubuhnya yang tidak besar terbungkus pas oleh sebuah lilitan kain, jalinan yang terlalu rumit untuk dikenali bentuknya, melindungi setiap inchi tubuh bercahaya itu dengan begitu anggun, warnanya sama secara keseluruhan, antara putih dan jernih. Lalu sayapnya… berkali lipat lebih lebar dari tubuh gadis itu sendiri, sehingga sangat memungkinkan untuk menggulung dan melindunginya, jika misalnya ada suatu bahaya mengancam atau sejenis itu, dengan aroma mawar hutan di setiap kepaknya yang tenang.

Dan tatapan itu terhenti di sekitar wajah. Lagi, ia seperti tak habis —tak punya cukup— rasa kagum memandangi setiap gurat yang mewakili kata sempurna terukir di luar batas logika manusia.

Memaksa tersenyum, seperti melupakan nyeri di sudut bibirnya yang membuka jaringan kulit di sana, mengalirkan cairan merah pekat perlahan dan mulai mengering. Ah, memang benar lupa setelah terlalu sibuk merasa takjub pada sosok 'gadis bersayap' di hadapannya.

"Kau datang saja sudah merupakan keajaiban bagiku,"gumamnya, berusaha tersenyum namun justru berakhir dengan ringisan karena bibirnya kembali robek ketika mencoba melakukan itu.

Gadis yang entah dengan alasan apa mengambil wujud tidak cukup tinggi itu balas tersenyum. Oh bukan! Lebih dari itu. Ia… terkikik kecil, memunculkan sebuah lesung pipi kecil di dekat area bibir apelnya serta semburat-semburat merah jambu di seputaran kedua cembung di bawah mata kecil yang sewarna biru safir.

Ia malaikat. Sejak kapan ia menjadi bersifat manusiawi dengan tertawa dan… merasa malu seperti itu?

"Aku adalah penjagamu sampai kau benar-benar menjadi 'yang suci' dan terlindungi karenanya. Tidak seharusnya aku membiarkan makhluk-makhluk kegelapan itu menyentuhmu sedikit saja."

"Sial! Mereka benar-benar mengincar nyawaku!" seru pria itu diiringi batuk yang membuatnya memuntahkan lebih banyak darah.

"Tentu saja. Sebentar lagi kau akan menjadi salah satu yang terkuat yang akan memutuskan perjanjian hidup abadi mereka, lalu kaum kami akan segera mengirim makhluk-makhluk terkutuk itu ke neraka. Mereka tentu tidak akan membiarkanmu hidup, tuan calon pendeta…."

"AKHHH!"

Tubuh pria itu mengejang seketika manakala gadis dengan pakaian putih dan bersinar itu benar-benar menjejakkan ujung kakinya di rerumputan basah, menutup sayapnya yang terkepak lebar hingga menimbulkan desau hangat beraroma rosela ke sekitar, lalu dengan gerakan nyaris tak kentara dan dalam kecepatan tidak masuk akal, ia telah menyingkirkan seluruh lembar pakaian tebal yang membungkus tubuh pria yang nyaris sekarat itu. Membuang benda lusuh dan sudah tak berbentuk itu ke sembarang arah.

Rasa nyeri menguat seiring udara beku yang menyergap kulitnya tanpa ampun, terlebih, daging yang tak seharusnya menganga lebar dan memanjang di bagian dada. Bau karat kian mengental seiring cairan merah pekat yang tak juga berhenti mengalir. Ia kehilangan banyak sekali darah. Mereka hampir saja merobek luka itu lebih luas dan mencongkel jantungnya jika saja tidak segera dihalau sang malaikat dengan cahayanya yang benderang, membuat makhluk-makhluk itu terpaksa memilih bersembunyi ketimbang bertarung dengan makhluk yang disucikan.

Ar-Leith —seluruh penghuni tempat yang manusia menyebutnya sebagai surga memanggilnya dengan nama itu— menarikan jemari halusnya di permukaan kulit dada bidang pria jangkung yang sekarang semakin lemas nyaris tanpa daya itu, beradu dengan tetes-tetes peluh yang ikut membanjiri leher serta seluruh tubuhnya, seakan tak mau kalah dengan cairan merah pekat berbau anyir tadi. Pria itu benar-benar basah oleh keringat dan darahnya sendiri.

"Tsk. Aku benci melakukan ini, Tuan Wu Yi Fan!"

Sekejap saja, dengan pergerakan yang tak mampu disadari mata siapapun, bibir apelnya telah berada di atas permukaan tubuh pria itu, mengecup setiap porinya dan sedikit bermain di daerah sekitar luka, menimbulkan erangan yang kian gusar pada pria lemas di depannya. Mungkin ia sudah terlanjur sekarat dan tidak punya waktu lebih banyak untuk bermain-main. Ar-Leith pun mulai menghisap bagian yang menyiksa itu diiringi rintih ngilu yang panjang, lalu berakhir di bibir. Tidak begitu lama, karena tidak butuh terlalu banyak saliva untuk luka yang masih tergolong kecil itu. Ciuman untuk penyembuhan.

Selesai.

Tidak akan ada yang percaya sebuah luka besar dan terlalu dalam pernah tertoreh dikulit mulus kecokelatan milik pria itu.

"Kau tahu,aku sangat benci seperti ini. Duibuqi (Mandarin: Maaf) … aku… sengaja membiarkan mereka melukaimu, agar aku bisa melakukan hal menjijikkan seperti tadi. Maafk…"

Dan satu hal lagi. Ia sebenarnya sudah tahu hal ini akan terjadi, bahkan ciuman lanjutan ini. Namun tololnya ia tidak bisa menolak, separuh dirinya juga menginginkan hal itu teramat sangat ketika Yifan tidak membiarkannya terus berbicara dengan menutup pergerakan mulutnya dengan bibir pria itu sendiri. Lumatan itu di lakukan dengan lembut. Menempelkan bibirnya yang dingin pada apel hangat sang malaikat, cukup lama. Kemudian mulai penasaran untuk mencicipnya sedikit, mencecapnya pelan-pelan hingga dapat dirasakannya asin darahnya sendiri yang masih tertinggal di permukaan bibir itu. Belum puas, memulai lumatan-lumatan lembut yang semakin lama semakin memaksa, meminta akses dari lawannya untuk memuaskan keingintahuannya tentang hal-hal lain dibalik lengkung apel itu, rongga hangat beraroma (mungkin) kasturi. Menghisap setiap yang ditemui hati-hati lalu kian menuntut dan semakin tak terkontrol. Ciuman innocent yang berubah lapar, dan ganas.

Seorang manusia yang nyaris suci. Dan terlebih, seorang malaikat. Itu tidak seharusnya. Ia sadar benar bahwa ia telah melanggar peraturan langit dengan jatuh ke tingkat paling rendah harga dirinya. Mencintai manusia… seperti manusia.

"Sejak Tuhan mengutusmu, aku sudah kehilangan ketaatanku untuk menjadi yang suci," bisik pria itu mengakhiri pergulatan rendahan mereka.

ͼ The Dawn ͽ

"Bachssszze…"

Desis mengerikan itu bergema terlalu jelas hingga membuat siapa saja tergidik. Detik berikutnya seekor rubah betina terpental keras hingga menabrak pohon bahkan sebelum siapapun sempat berteriak, dan pohon itu patah seketika. Kawanan rubah lainnya bergerak mundur sambil menggeram pelan, tidak ada yang berani bernasib sama seperti temannya yang malang itu, yang sekarang tidak menunjukkan reaksi apa-apa sejak terpental puluhan meter tadi, mudahnya, ia mati seketika. Oh, ia tidak salah apa-apa sebenarnya, hanya seekor Huli Jing—rubah berekor sembilan menurut mitos rakyat China—tidak beruntung yang kebetulan berada dalam jarak paling dekat ketika pria dalam balutan jubah hitam di depannya merasa harus mengamuk.

"Sudah kubilang jangan ikut! Usiamu belum cukup! Kau mau mati, hah?!"

Intonasinya berkali lipat lebih menggelegar kini. Para rubah dan apasaja yang mengikutinya tadi semakin berlomba memastikan diri dalam jarak teraman, dan lari memasuki hutan adalah pilihan terbaik bagi bebarapa yang merasa paling pengecut. Semuanya bergerak mundur kecuali seorang pria berjubah sama, orang yang merupakan objek kalimat-kalimat keras itu ditujukan.

"Aku hampir merobek jantungnya!" ia menyahut, lebih kalem dan terdengar muda, namun tak kalah mengintimidasi.

Sosok dalam balutan jubah hitam itu mendengus keras, mengakibatkan udara lembab sekitar berubah menjadi udara dingin yang tidak nyaman sama sekali, seperti akan membakar apa saja dalam ruang lingkupnya.

"Ðimitri atau para tetua lain pasti akan menertawai sekaligus menyobekku dengan kelengahan ini," gumamnya tidak senang, lebih kepada diri sendiri ketimbang sosok muda labil yang ia ajak bicara.

Dimitri Ivanov Tolstoy, adalah sosok yang ia benci sekaligus segani selama ini. Dan ia tidak pernah mau jika Dimitri lebih hebat darinya, tidak mau mengakui, tepatnya. Manik matanya yang terbiasa berwarna almond cerah kini berubah merah pekat karena kemarahan, membara seolah dengan begitu ia bisa menghanguskan siapa saja yang lancang menatap. Namun, hal itu sepertinya tidak memberi pengaruh apapun pada pria di hadapannya, pria yang lebih muda tapi tidak lebih kecil yang tengah terduduk tenang di atas ranting rendah bangkai pohon. Ia menyeringai ceria seolah tidak ada pertempuran apa-apa beberapa waktu sebelumnya. Pria itu menurunkan tudung penutup kepalanya, membiarkan temaram bulan menyesap pada kulitnya yang pucat, mengarahkan manik matanya yang legam serupa batu onyx menentang tatapan marah 'saudara'nya. Tatap yang sama-sama mengerikan, membungkam setiap suara yang mungkin keluar dari bermacam wujud makhluk di perkumpulan itu, bahkan semua berusaha mengunci pikiran mereka untuk tidak berpikir apapun.

"Tunggu satu tahun lagi sampai kau genap berusia sembilan belas kalau kau mau ikut aku berburu sampah-sampah sok suci itu," desis pria bertudung, menyeringai.

"Aku bisa saja sabar jika satu tahun yang kau maksud sama seperti manusia!" pria lainnya berteriak gusar. Dengan sekali lompat ia telah berada dalam jarak intim dengan lawan bicaranya. Yang lainnya hanya melolong pelan, terlalu takut akan ada pertumpahan darah dan daging yang tercabik-cabik disini.

Pria yang masih dibalut jubah besar dan membungkus hampir tanpa cela tubuhnya itu turut menurunkan tudung kepalanya, membebaskan rambutnya yang sewarna matanya dan beraroma cranberry. Sekejap saja ekspresi membunuh yang tadi menyelimutinya berubah drastis. Ia tersenyum lebar dengan bibir merahnya yang sensual dan mata almond memikat, rambutnya turut bertransformasi mengikuti warna mata si pemilik, kali ini pirang sebahu.

Sosok iblis yang berubah menjadi… cantik. Pria cantik.

"Bersabarlah adik kecil…"

ͼ The Dawn ͽ

Gwangjin-gu, Seoul, 2019.

Bunyi benda-benda jatuh tak berhenti berdenting memecah kesunyian pagi yang tenang itu. Benar-benar berisik. Kebisingan kamar itu baru terhenti total ketika seorang gadis bertubuh... errr katakanlah sedikit mungil keluar kamar dalam pakaiannya yang telah lengkap. Jeans biru, kemeja kotak-kotak berwarna pink, dan syal kuning. Oh, tidak usah terlalu mempermasalahkan penampilannya yang memang bermasalah, ini bahkan bukan musim dingin. Tapi gadis itu seolah tidak peduli, dengan terburu ia memasukkan cepar-cepat kakinya ke dalam sepatu putih bercorak merah jambu, lalu tiba-tiba melepasnya lagi dengan raut kesal. Terburu-buru kembali masuk ke dalam apartemennya, menimbulkan bunyi ribut lagi, lalu keluar dengan tangan kanan mengapit benda persegi panjang hijau, paper hasil begadangnya semalam.

Tangan yang satunya sibuk menjejalkan sepotong roti tanpa selai kedalam mulutnya yang masih penuh. Ia meletakkan papernya disisi, menjejalkan potongan roti terakhir di ujung bibir, lalu mulai sibuk menalikan sepatunya.

Tidak menyadari seorang gadis yang tidak lebih tinggi, dengan kaos tipis putih bergambar bebek tengah memerhatikan aktifitasnya sementara bersandar di samping pintu apartemen gadis berbaju pink itu.

"Kau tidak tidur lagi, Baekhyun-ah? Astaga, lihatlah kantung matamu! Sudah kubilang jangan…,"

"Aku harus menyelesaikan tugas ini, eonni!" potong gadis yang dipanggil Baekhyun cepat-cepat bahkan sebelum benar-benar menelan rotinya. Membuat gadis disampingnya memasang wajah semakin tidak mengenakkan. Baekhyun biasanya bukanlah tipe anak tidak sopan yang rajin membantah, ia tidak ingin mendebat gadis manis namun cerewet yang selalu setia menyambangi apartemennya hanya untuk memberi ceramah harian dan memastikan anak itu masih hidup dengan benar. Tapi kali ini Baekhyun merasa tidak punya lebih banyak waktu untuk mendengar kalimat-kalimat peringatan serupa. Ia berjanji akan meminta maaf sepulang kuliah nanti.

"Kau bahkan lebih cerewet dari ibuku."

Masih sempat memcebikkan bibirnya sesaat setelah tali sepatunya terangkai dengan benar. Gadis itu lalu bangkit dan menepuk punggung gadis disampingnya.

"Aku pergi dulu, eonni…"

Sebelum pamitnya itu dibalas omelan lagi, Baekhyun segera berlari terburu melintasi lorong apartemennya yang tidak bisa dikatakan mewah. Ia juga memang tidak punya waktu untuk bersopan santun saat ini mengingat Miss. Park adalah dosen yang tidak pernah toleran soal keterlambatan dan ia hanya punya waktu dua puluh menit dari sekarang.

"Sudah kubilang, jangan biarkan kegelapan menemukanmu Baekhyunee...," bisik gadis itu dengan mata sayu yang mengantarkan punggung Baekhyun sampai menghilang di balik lift.

ͼ The Dawn ͽ

A/N: Tadaaa. New FF. Masih prolog. Dan nggak yakin layak baca apa enggak. Tanggapannya, please?