"Psstt! Kalian sudah dengar?"
"Ada apa?"
"Katanya, direktur baru kita seorang laki-laki lho! Cakep lagi."
"Direktur baru?! Lantas ke mana direktur kita yang lama? Hinata-sama?"
"Dengar-dengar sih, dia mengundurkan diri."
"Hee?! Serius?!"
Naruto mengembuskan napas secara kasar. Ini adalah hari pertama ia masuk kerja setelah masa cuti bersama selama tiga hari. Perasaan hatinya berada dalam kondisi terbaik. Pernikahan Gaara dan Matsuri kemarin berlangsung lancar. Senang rasanya melihat binar bahagia tercetak jelas di muka si Mata Panda. Akan tetapi, kenangan baik itu seketika rusak oleh gosip tak bermutu. Si Pirang lebih memilih mempercepat langkah kaki agar bisa segera sampai di meja kerja. Namun, bohong jika atensinya tak tertarik dengan kabar yang disebutkan para karyawati itu; tentang Hinata yang mengundurkan diri. Benarkah demikian?
Belum sempat dia menghidupkan komputer, sebuah pengumuman menggema dari interkom; semua pegawai diminta segera pergi menuju aula untuk menghadiri peresmian atasan baru. Entah mengapa, hati Naruto kelesah dan perasaannya bercampur aduk. Semoga saja rumor bahwa Hinata mengundurkan diri itu tidaklah benar.
Aula atau ruang serbaguna milik Hyūga corporation ini besar dan megah, tetapi jarang sekali digunakan; kalian bisa menghitungnya dengan jari jika masih belum memercayai fakta tersebut. Ruangan ini hanya dipakai manakala ada pemberitahuan mengenai pergantian staf pimpinan—tentu saja karyawan biasa seperti mereka tidak memerlukan tetek bengek perkenalan secara luas—saat tamu kehormatan—seperti investor kenamaan—datang berkunjung, atau ketika sebuah acara yang berkaitan dengan bisnis digelar. Di luar acara itu, aula ini akan disegel rapat-rapat.
Seusai menunggu sekitar lima belas menit, para staf atasan pun muncul; semuanya hadir, kecuali Hinata. Di bangku dengan keterangan CEO, duduklah seorang pria dengan surai panjang sebahu berwarna cokelat kehitaman. Pupilnya sama dengan Hinata; bening jernih. Tampangnya memancarkan ambisi dan keangkuhan. Apakah dia berasal dari keluarga Hyūga juga?
Melewati serangkaian acara, tibalah saatnya sang direktur baru mengungkapkan jati dirinya. "Perkenalkan, saya Neji Hyūga. Mulai detik ini dan seterusnya, saya akan menjabat sebagai chief executive officer di perusahaan ini. Mohon kerja samanya."
Di tengah hiruk pikuk tepuk tangan, telinga Naruto seakan menuli sejenak. Pernyataan itu memukul telak kesadarannya. Lantas, jika pemuda itu—tampak jelas dari mukanya—menjadi direktur, ke manakah perginya Hinata?
"Saya akan melakukan inspeksi secara rutin," tegasnya. "Tak ada yang boleh bermalas-malasan selama saya menjabat. Saya juga tidak bertoleransi terhadap keterlambatan. Paham?"
"Paham!" sahut semua orang di sana, kecuali si pemuda Uzumaki.
"Ada pertanyaan?"
Sebuah tangan sawo matang teracung ke udara. Mencoba menetralisir gemuruh rasa dalam dada, pemuda dengan tanda lahir berupa tiga guratan di pipi bertanya, "ano …, sumimasen. Bukan bermaksud menyinggung, tetapi … ada apa dengan Hinata Hyūga-dono? Mengapa tidak diadakan acara serah terima jabatan?"
Ketika nama dara cantik tersebut diucapkan, desas-desus terdengar di sana sini. Wajah para atasan itu tertunduk lesu, seolah gairah hidup tercerabut secara paksa dari mereka; sedangkan badan sang direktur baru tengah berguncang hebat. Gigi-giginya bergeletuk. Urat di pelipis dan lehernya mengencang sehingga tampak jelas bagi siapa yang memandang.
"Jangan pernah sebut nama itu lagi di kantor ini!"
.
.
.
Embun
Chap 3
Setting: AU (Alternate Universe)
Warning: kaidah PUEBI yang masih belum tepat guna, diksi kata yang belepotan, alur biasa-biasa saja, konten Islami.
.
.
.
Hinata menatap hunian megah yang terbentang di hadapannya. Mengeratkan genggaman tangan pada gagang rantang, nona muda yang resmi memeluk agama islam seminggu lalu itu menggigiti bibirnya penuh rasa gugup. Rumah mewah ini rumahnya; atau bisa disebut begitu sebelum ia didepak. Masih teringat ia peristiwa pekan lalu; seolah baru terjadi kemarin sore.
~o0o~
Kilas Balik
"Apa-apaan ini, Hinata?!"
Hiashi naik pitam sejadi-jadinya manakala mendapati gaya berpakaian si sulung yang telah berubah total; kulit putih pualam yang dulu biasanya tampak oleh mata telanjang sekarang hanyalah muka yang bebas jerawat dan telapak tangan halus selembut beledu; selebihnya, termasuk rambut hitam berkilau anak gadisnya, tersembunyi dalam balutan busana tertutup itu.
"Otō-sama, Okā-sama, maafkan aku." Hinata bagaikan menelan sebongkah batu; sulit rasanya menyampaikan pesan yang sudah ia siapkan jauh-jauh hari. Ia menyayangi kedua orangtuanya, ia mencintai kedua orangtuanya. Akan tetapi, cinta gadis ini kepada Allah dan rasulNya melebihi semua itu. "Ha-hari ini … a-aku resmi masuk i-i-islam …. A-aku resmi menjadi seorang mu-muslimah …."
Baik Hiashi, Hikari, maupun Hanabi terhenyak mendengar pernyataan Hinata. Bukankah islam itu agama ….
"Hahaha …. Nee-chan pasti bercanda, 'kan …?" Tawa yang dikeluarkan oleh Hanabi terkesan dipaksa dan ambigu. Maksud si bungsu untuk mencairkan suasana kaku sekaligus mengganti topik, malah membuat atmosfer keluarga Hyūga semakin bertambah kalut. Sadar kalau celetukannya tak berguna, gadis berambut cokelat itu memilih menutup mulut.
"Hinata …." Hikari memanggil lirih sang anak. Jutaan kata yang berseliweran di dalam benak, mendadak beku; tak sanggup dimuntahkan oleh mulut. Ibu dua anak itu paham kalau keputusan si sulung untuk berpindah agama ini amatlah berat. Meskipun sepasang manik bening tersebut memancarkan determinasi, badan Hinata yang bergetar menunjukkan bahwa sang dara masih diliputi pertentangan batin. Ia berusaha keras mencabarnya dan Hikari mengapresiasi hal tersebut.
"Kau serius dengan kata-katamu itu, Hinata?"
Jikalau orang lain mendengar intonasi Hiashi saat berbicara, mungkin mereka akan beranggapan bahwa perkataan kepala keluarga itu tak mengandung emosi sedikit pun. Namun, Hinata mafhum dengan semua tabiat, perilaku, serta kebiasaan ayahnya. Nada itu mengandung kemarahan, tetapi—di saat bersamaan—sarat dengan kasih sayang. Mengapa bisa begitu?
Ada sebuah peraturan dalam keluarga Hyūga; jika ada salah satu anggota keluarga yang berpindah agama tanpa seizin para tetua, maka yang bersangkutan akan dikeluarkan dari keluarga Hyūga, tidak diperbolehkan menjalankan perusahaan atas nama Hyūga, dan tidak berhak memperoleh warisan keluarga; terkesan kolot memang, tetapi begitulah adanya. Inilah risiko yang sudah dipikirkan Hinata masak-masak. Sang dara sudah melangkah sejauh ini. Ia tak mau menoleh ke belakang, apalagi kembali. Cukuplah Allah sebagai saksi atas kesungguhan dirinya; cukuplah Allah sebagai penjamin kemudahan jalannya.
"Ha'i, Otō-sama …."
"Kalau begitu,"—Hiashi menutup mata dan menghirup napas dalam-dalam—"kemasi barang-barangmu dan keluar dari rumah ini."
Hinata mengangguk patuh dan segera berlalu menuju kamarnya. Sementara itu, Hikari dan Hanabi memelas agar pria itu mengubah pilihannya atau paling tidak meminta keringanan dari para tetua. Akan tetapi, Hiashi memperkukuh pendiriannya; apabila Hinata sudah memantapkan hati, maka sebagai orang terdekat kita hanya perlu memberi dukungan moral; begitulah pemikiran pria paruh baya ini.
Hinata memandang lekat kamar yang sudah menjadi tempat bernaungnya selama dua puluh tiga tahun ini. Begitu banyak rasanya kenangan yang membekas; kerja kelompok semasa sekolah, perang bantal pada malam hari saat liburan musim panas maupun musim dingin; kejutan hari ulang tahunnya yang kedelapan belas waktu dini hari, dan masih banyak jika dijabarkan satu per satu. Gadis berkulit putih itu, mengambil koper berukuran sedang dan mulai mengisinya dengan barang-barang yang ia butuhkan. Semakin banyak barang yang dimasukkan, semakin deras air mata sang dara mengalir.
Beberapa menit telah berlalu; kini tibalah saatnya Hinata berpamitan. Ia merendahkan badannya sedikit; sekadar memberi hormat pada orang-orang yang telah mendukungnya sampai detik ini; orang yang selalu menyertainya di kala susah dan membersamainya ketika bahagia menyapa.
"Hanabi …, kau boleh memakai baju-bajuku jika mau …," ujar Hinata sembari memeluk sang adik. "Alat riasku juga boleh kau gunakan …. Jadilah anak yang berbakti pada orangtua, ya …. Jangan pernah bikin otō-sama dan okā-sama menangis …. Tolong ..., jaga mereka berdua untukku, Hanabi …."
Beralih pada sang ibu; Hinata menumpahkan segala penyesalannya dan kesedihannya selama ini; gadis cantik itu tahu jelas bahwa selama ini ia jarang membuat ibunya bahagia. Akan tetapi, jika saatnya tiba, ia akan mencobanya. Sementara itu, Hikari membiarkan kemasygulan mendominasi; ibu dua anak ini ingin menangis juga melepaskan kesenduan yang ada sebelum si sulung pergi jauh dari jangkauannya.
Terakhir Hiashi; setelah acara saling pandang yang seakan berlangsung lama, ayah dan anak ini saling berpelukan. Hinata memaklumi; sang ayah bukan tipe yang pandai berpetuah bijak. Ia irit berkata-kata dan lebih suka berbicara melalui tindakan. Mungkin, pelukan ini terkesan biasa saja. Namun, sang dara akan mengingat memoar ini sepanjang hidupnya. Kapan lagi Hinata bisa melihat si Kaku Hiashi Hyūga memperlihatkan afeksinya padanya?
Sang dara pun meninggalkan hunian megah ini tanpa sedikit pun menengok ke belakang. Selain menyembunyikan lara dan air mata, ia juga tak ingin jika ketiga orang tercintanya memaksa dirinya untuk mengubah azam yang sudah terpatri dalam dada. Kini, ia resmi keluar dari keluarga Hyūga dengan hanya menyandang nama Hinata semata.
Kilas Balik Selesai
~o0o~
"Hi-Hina—"
Sang dara menempelkan telunjuknya di kedua belah bibir; meminta sang penjaga gerbang kediaman Hyūga—Kotetsu Hagane—untuk bungkam. "Konnichiwa, Kotetsu-san." Hinata menampilkan senyuman terbaik yang ia miliki. Sungguh, ekspresi wajahnya yang tenang berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang tak keruan. "Oh ya, apakah okā-sama ada di dalam rumah?"
"Iya, beliau ada."
"Bisakah Anda memberikan ini?" empat wadah makanan yang ditumpuk menjadi satu, alias rantang, tersodor ke hadapan sang penjaga.
Kotetsu memeriksa dengan saksama rantang itu; terdiri dari empat bagian, yang pertama berisi tori katsu[1], yang kedua tamagoyaki[2], yang ketiga nasi pulen, dan terakhir sup miso[3]. Dari bau yang menguar di udara saja, pria berambut jabrik itu bisa merasakan bahwa kelenjar ludahnya mengeluarkan saliva dalam jumlah banyak. Sungguh, makanan ini walaupun terlihat sederhana, ia amat begitu menggoda.
"Ah, sumimasen, saya tidak membawa lebih." Hinata merasa tidak enak hati pada lelaki yang menggunakan perban di sekitar hidungnya tersebut. Akan tetapi, ia tak ingin menarik perhatian siapa pun, terutama keluarga besarnya. "Insya Allah, jika lain kali saya berkunjung kemari, akan saya buatkan juga untuk Anda, Kotetsu-san."
Lelaki bermarga Hagane itu tertegun; sebegitu mudahkah perasaannya terbaca atau kepekaan gadis ini meningkat? Tak masalah apabila Hinata menepati tawaran tersebut, tetapi tuan dan nyonya besar akan curiga nanti. Sepertinya, sang dara tetap ingin menjaga agar keberadaannya sulit terdeteksi.
"Anda tak perlu repot-repot, Hinata-sama."
Mendengar panggilan itu, nostalgia hadir dalam benak si gadis. Ia tak bisa menghentikan laju kenangan yang memenuhi otaknya. Lebih baik ia beranjak pergi daripada kakinya terpaku di sini. "Kalau begitu, tolong sampaikan salam saya pada keluarga besar dan para pekerja di sini, Kotetsu-san. Sampai jumpa."
Kotetsu memandangi kepergian mantan majikannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Hinata, gadis itu, meninggalkan duka mendalam tak hanya bagi keluarganya, ia juga membekas dalam impresi para pelayan di sini. Entah kapan, kepedaran hati ini berlalu. Mereka semua merindukan sang dara, mengharapkan Hinata kembali sepenuhnya ke rumah ini.
~o0o~
"Ayame nee-chan."
Gerakan memutar tangan lentik itu terhenti. Si empunya nama menoleh ke sumber suara; mendapati seorang pria berambut pirang sedang berdanguk di meja makan. Segelas air putih yang berada di samping lengan kirinya telah tandas. Manik safirnya memandang lurus ke depan, tetapi gadis itu tahu kalau jiwa sang pemuda melanglang buana tak tahu rimbanya.
"Ada apa?" Ayame kembali mengaduk sup yang hampir matang. Kuah yang nyaris bening itu disendok sedikit; mencicipi komposisi rempah yang terkandung dalam masakan ini. Dirasa hambar, anak semata wayang Teuchi itu kembali menaburkan sejumput garam ke dalam kuah bening seraya mengaduknya agar tersebar merata.
"Apa maksud dari 'mengisi kekosongan hati'?"
Plung! Genggaman tangan Ayame sampai lepas manakala si Pirang mengucapkan kalimat itu; akibatnya sendok sayur yang terbuat dari bambu itu ikut menyelam bersama potongan sayuran dalam sup. Berusaha tetap tenang, si perempuan berparas ayu mengambil sendok yang terjatuh menggunakan capit besi.
Jujur saja, sang dara masih terkejut; dari mana Naruto mendengar kata itu?
"Me-memangnya kenapa?"
"Entahlah." Naruto mengembuskan napasnya kasar. Pemuda itu tak mempermasalahkan pertanyaannya yang justru malah dibalas kalimat tanya. Dua puluh tiga tahun ia hidup dan baru kali ini ia memikirkan masalah hati; lebih tepatnya si objek yang berkenaan dengan hati tersebut. "Hanya teringat dengan perkataan seseorang."
Ayame memperhatikan si Pirang yang tengah mengisi air di dalam gelas. Benar, kalau diamati lebih jelas aura pemuda berkulit sawo matang tersebut cenderung lebih suram. Biasanya setiba di rumah, Naruto yang kalem, pendiam, dan berkata-kata yang seperlunya saja akan menjelma menjadi orang yang ceriwis dan gemar bercerita tiada habis. Namun, kali ini, ia cuma tertunduk lesu jugan berulang-ulang mengeluarkan napas kasar; pertanda jika seseorang sedang ditimpa masalah berat.
"Mau cerita denganku?" Ayame menyodorkan semangkuk sup hangat yang masih mengepulkan asap.
Maka mulailah si pemuda Uzumaki bercerita; perjalanannya ke Uzushiogakure; pertemuannya dengan keluarga Gaara; pernikahan si Mata Panda yang berlangsung lancar; hingga pergantian direktur perusahaan tempatnya bekerja secara tiba-tiba. Oh, satu hal lagi; perihal apa yang sudah dikatakan Shikamaru padanya sebelum hari pernikahan Gaara.
"Ne, Naruto, apa pendapatmu mengenai Hyūga-san?"
Kening si Pirang berkerut dalam. Wajar saja; sejak mencapai akil balig Naruto mengerti bahwa laki-laki memiliki rambu-rambu khusus apabila hendak bergaul dengan perempuan yang bukan mahram melalui jalur keturunan, ipar, atau sepersusuan; hal yang sama berlaku sebaliknya bagi wanita yang ingin bersosialisasi dengan pria. Di antaranya adalah berbicara seperlunya saja, membicarakan topik masalah secara langsung tanpa berbasa-basi alias to-the-point, dan berbicara dengan nada yang tak mendayu-dayu.
Naruto juga paham bahwa tak sepatutnya kita menyimpan rasa juga memendam asa kepada lawan jenis yang tidak jelas kepastiannya; bisa jadi dia ditakdirkan menjadi belahan jiwa atau justru sebaliknya—jodoh orang yang sudah disiapkan oleh sang Pencipta. Alangkah memalukan dan menyakitkan bukan jika kita malah jadi penitipan calon mempelai orang lain?
Akan tetapi, prinsip-prinsip di atas buyar seketika tatkala Shikamaru menuturkan sepenggal dari kisah hidup Hinata. Naruto yang belum pernah merasa terpaut dengan lawan jenis, kini tertarik dengan kehidupan sang atasan—mantan atasan lebih tepatnya. Pengangkatan kepala direktur baru ini menimbulkan tanda tanya bagi si pemuda; penasaran perihal bosnya terdahulu. Bukannya si CEO yang baru tak becus, melainkan muncul rasa baru dalam lubuk hati yang tidak bisa dienyahkan begitu saja. Bagaimana kabarnya? Di mana dia berada? Sedang apa dia di sana? Itulah pertanyaan yang sering berseliweran dalam benak maupun kalbu lelaki bermarga Uzumaki ini.
"Entahlah, Nee-chan." Naruto mengusap mukanya kasar. "Tapi …, belakangan ini aku memang tak bisa berhenti memikirkan Hyūga-dono. Nee-chan tahu apa penyebabnya?"
Ayame tersenyum simpul. Dengan entengnya, ia berkata, "cinta."
"Cinta?" beo si Pirang.
Kepala bersalut jilbab itu mengangguk. "Ya, cinta." Telunjuk si wanita mengarah pada sang pemuda. "Kamu, Naruto Uzumaki, mencintai Hinata Hyūga."
Kontan kedua belah pipi Naruto merona tanpa bisa dilalau. Buru-buru ia memalingkan wajah supaya tak terlihat oleh lawan bicara. "Nee-chan jangan bercanda!"
Sayang sekali, bias merah yang terlukis di sana tertangkap jelas oleh Ayame. Ia tertawa sejadi-jadinya sambil berusaha menutup mulut—khawatir Teuchi yang sudah terlelap akan terbangun gara-gara suaranya. Suara gelak yang tertahan tersebut membuat sang lawan bicara yang terlanjur malu kini bertambah jengah. Pemuda itu hanya bisa berdanguk menunggu tawa kakak angkatnya berhenti dengan hati dongkol setengah mati.
"Maaf, maaf …." Ayame menghapus bulir air mata yang terbentuk di sudut netranya. "Habisnya lucu sekali melihatmu merona begitu, Naru. Mirip kejadian waktu di SD dulu, 'kan?"
Naruto memberengut; yang dimaksud oleh Ayame adalah peristiwa di mana ia tak sengaja buang air besar di celana; biasanya jika kita buang air besar, tentu diikuti oleh buang air kecil juga, 'kan? Alhasil, celananya menghasilkan bau pesing dan bau kotoran yang melengkapi satu sama lain. Si Pirang rasanya ingin menghilang dari dunia saja; ia jadi bahan tertawaan seluruh penjuru sekolah sampai lulus dari sana. Beruntung saja, memoar memalukan itu hilang dibawa angin. Itu bagus; Naruto justru mengharapkan bahwa kenangan tak menyenangkan tersebut lenyap dari kepala siapa pun yang mengetahuinya.
"Siapa yang bercanda?" Ayame melipat kedua tangannya di atas meja. "Itu benar, Naruto. Kalau bukan cinta, lantas kenapa kamu memikirkan Hyūga-san sampai sejauh itu? Setahuku … kamu belum pernah tertarik dengan satu perempuan pun sejak akil balig."
"I-itu … karena Hyūga-dono adalah atasanku. Y-ya …, atasanku." Si Pirang heran; jawaban itu tak mengandung kepastian, lebih didominasi oleh kegamaman.
"Jadi, atasanmu yang sekarang tidak bagus?"
Ingin rasanya mulut langsung mengeluarkan kata 'ya', tetapi lagi-lagi kalut membelit kalbu. Neji tak kalah baiknya dengan Hinata; lelaki berambut cokelat itu tegas, lugas, berwawasan luas, mampu berpikir cepat dan efisien, serta berwibawa; tipikal sifat pemimpin. Hyūga corporation bahkan mampu menarik investor lebih banyak; pencapaian yang luar biasa, meskipun ia baru menjabat tampuk kepemimpinan seumur jagung.
Akan tetapi …, Naruto tetap merasa ada yang kurang.
"Dia bagus sih …, tapi—"
"Rasanya aneh jika atasanmu bukan Hinata?"
Ajaibnya, untuk kali ini, si Pirang mengangguk. Mungkin, ia sudah lelah menyangkal kakak perempuan angkatnya. Atau … bisa jadi memang hati tak pernah bisa berdusta. Ah, benaknya sudah diinvasi oleh Hinata. Bagaimana ia harus menyikapinya?
"Berdoalah."
Kepala jabrik yang tertunduk lesu itu kembali terangkat.
"Berdoalah agar semuanya menjadi yang terbaik." Ayame kembali menuang sup ke dalam dua mangkuk yang sudah kosong. "Bukan terbaik di mata kita, tetapi terbaik menurut Allah subhanahu wa taala. Aku yakin, Allah menjaga Hyūga-san entah di mana pun ia berada sekarang. Jika kau memang mencintainya, Naruto, maka titipkan rasa cintamu kepada Allah—sang Pemilik hati Hyūga-san. Sesederhana itu, kok." Sup yang menguarkan bau nikmat disodorkan kepada lawan bicara.
Perlahan, sudut-sudut bibir Naruto terangkat ke atas. "Ha'i, Nee-chan!"
~o0o~
"Ini berkas terakhir untuk anda periksa, Hyūga-sama."
Neji melirik sekilas sebelum berkata pada sekretarisnya, "arigatou, Hayato. Kau boleh pulang."
Sepeninggal Hayato, pemuda itu kembali berkutat dengan pekerjaannya. Neraca keuangan stabil, beberapa pengaduan investor sudah berhasil diatasi, dan SDM (sumber daya manusia) juga tidak memiliki kendala yang berarti. Baiklah, usai sudah tugas Neji hari ini. Saatnya melepas penat dengan pulang ke rumah untuk beristirahat.
Tiba-tiba, telepon pintarnya berbunyi. Tanpa perlu melihat identitas sang pemanggil, anak tunggal Hizashi Hyūga itu mendekatkan benda persegi panjang tersebut ke telinga kiri. "Halo?"
"Yo, Neji! Lama tak saling sapa, eh?"
Embusan napas lelah keluar dari mulut sang Hyūga. "Cepat katakan urusanmu, Kiba, sebelum aku matikan teleponnya."
"Eh?! Jangan begitu, Kawan!" Si lawan bicara terdengar panik. "Oke, jadi begini; aku dengar kau sudah dilantik menjadi CEO dari Hyūga corporation. Benar, 'kan?"
"Ya."
"Lalu, ke mana Hinata?"
Mendengar nama sang sepupu membuat suasana hati Neji naik turun. Matanya mencelang; napasnya memburu; berbagai macam rasa bergejolak dalam sanubarinya. Namun, yang menjadi raja dari semua hal itu adalah kemarahan. Ya, kemarahan. Tanpa menjawab Kiba, pemuda berambut panjang itu menutup sambungan teleponnya.
Sebenarnya, apa yang menjadi penyebab keberangan Neji manakala nama Hinata disebut?
~o0o~
Kilas Balik
"Sudah diputuskan; kau, Neji Hyūga, akan menjadi direktur Hyūga corporation yang baru."
Sepasang manik pucat si pemuda membelalak tak percaya. Tidak senangkah ia dengan keputusan para tetua ini? Tentu saja ia girang bukan kepalang mendengarnya. Perusahaan yang bergerak di bidang properti tersebut adalah kebanggaan klan Hyūga; banyak orang mengincar tampuk kepemimpinannya. Akan tetapi, jika ia ditunjuk menjadi CEO, lantas ke manakah gerangan batang hidung adik sepupunya, Hinata Hyūga?
"Ano …, bagaimana dengan Hinata? Apakah di—"
"Kami tak perlu membahas tentang orang di luar Hyūga, Neji."
Di luar Hyūga? Apa-apaan jawaban itu? Seluruh kepala keluarga berbisik-bisik sambil memandangi Hiashi Hyūga yang tampak tenang; tak terpengaruh dengan tatapan-tatapan menusuk atau kata-kata yang mengusik kalbu.
"Tenang!" perintah salah satu tetua. "Kami yakin kalian bertanya-tanya apa maksud kami dari perkataan kami tadi. Pertemuan ini juga membahas mengenai hal tersebut. Hiashi Hyūga, bisakah kau menjelaskan mengapa kita menganggap mantan putrimu sebagai orang luar?"
Sepasang netra yang tersembunyi di balik kelopak itu akhirnya terbuka. "Maafkan saya; sampai kapanpun, Hinata tetaplah putri yang saya sayangi dan saya banggakan; tak ada istilah mantan putri atau mantan anak bagi saya." Hiashi berdehem sejenak. "Menurut peraturan keluarga Hyūga pasal ketiga butir kelima, jika seseorang dari keluarga ini berpindah agama tanpa persetujuan para tetua, maka orang tersebut akan dikeluarkan dari keluarga Hyūga tanpa pandang bulu. Karena Hinata melanggar pasal ini …, maka ia resmi dikeluarkan dari klan Hyūga."
Makin ramai desas-desus para anggota keluarga lainnya tatkala Hiashi dengan sangat jelas dan tenang mengucapkan pernyataan itu. Neji sendiri bingung harus berkata apa atau bersikap bagaimana.
"Apakah kau bisa memberi tahu kami, Hiashi, alasan mengapa orang itu melakukannya?"
Ayah mana yang tak marah saat anak mereka tidak diperlakukan layak seperti ini? Namun, Hiashi tetap bersikap cekal menghadapi sindiran pedas para tetua. "Maaf, saya sendiri tidak mengetahui apa penyebabnya."
Tanpa bisa dicegah, muncul sebuah perasaan baru dalam sanubari Neji; kemarahan. Ia bukan marah kepada Hinata, melainkan ia geram terhadap apa ataupun siapa yang membuat Hinata berpindah keyakinan. Ia bersumpah akan menemukan biang keladi dari semua ini. Ya, ia akan mendapatinya suatu saat nanti. Pasti.
Kilas Balik Selesai
~o0o~
"Baiklah, cukup sekian pelajaran hari ini. Jangan lupa untuk selalu mengulang-ulang materi ini di rumah." Guru perempuan itu merapikan modul pembelajaran serta alat tulis yang ia bawa. "Assalaamu'alaikum warohmatullah wabarokaatuh."
"Wa'alaikumussalaam warohmatullah wabarokaatuh!" sahut para peserta didik.
Suasana kelas terdengar riuh; hal yang wajar, mengingat bahwa liburan musim dingin akan segera tiba. Kelas pembinaan agama islam maupun pendidikan bahasa arab akan diliburkan mulai pertengahan Desember hingga minggu pertama bulan Januari; interval yang cukup lumayan, di samping kelas ini hanya diadakan selama lima hari dalam sepekan. Banyak para peserta kursus ini membicarakan rencana mereka untuk menghabiskan liburan.
"Bagaimana denganmu, Hinata?" sang dara pun tak luput dari pertanyaan. "Liburan ini mau ke mana dan sama siapa?"
Sebetulnya, pemudi bermanik bening tersebut tak mempunyai pemikiran spesifik maupun terperinci; melanjutkan usaha katering kecil-kecilan miliknya atau menjaga Mirai-chan, cucu dari Sarutobi-sensei, di rumah; hanya itu. Namun, tebersit dalam benak satu amanat dari mendiang Sasori yang belum ia penuhi—mengunjungi neneknya, Chiyo, di Sunagakure. Jujur saja, Hinata belum pernah mengunjungi negeri dengan iklim gurun itu. Mantan kekasihnya pun hanya meninggalkan satu petunjuk yang tak terlalu banyak membantu; yaitu, neneknya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di salah satu rumah dinas pegawai pemerintahan.
Harus mulai mana dia mencari?
~o0o~
"Gomen, Sasori-kun," lirih Hinata. "Sudah setengah tahun aku tidak ke sini."
Telapak sang dara yang tertutup sarung tangan menyeka salju yang menutupi nisan ataupun pigura. Gambar lelaki itu terlihat buram akibat debu pekat yang menempel. Hinata merasa miris; lelaki itu memutuskan untuk dikebumikan di kota ini, jauh dari sanak saudara maupun kerabat; sehingga makamnya jarang terurus. Hinatalah yang, setidaknya, cukup rajin berkunjung serta membersihkan kuburan sang mendiang kekasih.
"Ne, aku resmi menjadi muslimah sekarang." Seperti biasa, gadis yang menyembunyikan surai indahnya di balik hijab ini bermonolog. "Apakah kau senang, Sasori-kun? Kuharap begitu. Hihihi …."
Hinata tiba-tiba ingat; Sasori pergi dari Sunagakure untuk mengejar mimpinya menjadi direktur perusahaan ternama. Dan nyatanya, ia memang berhasil. Memulai karir sebagai karyawan bawah dari negeri antah berantah, lelaki berambut merah itu menjelma menjadi CEO Akasuna dengan kekayaan berlimpah. Akan tetapi, Sasori tak lantas menjadi angkuh dan lupa diri; ia tetap bersahaja di tengah godaan dunia yang meliputi. Itulah yang membuat Hinata jatuh hati padanya.
"Sasori-kun, kau ingat pernah memintaku untuk mengunjungi nenekmu di Suna?" netra Hinata terarah ke langit yang tertutup oleh gumpalan awan kelabu. Butir demi butir salju perlahan turun ke bumi. "Kau hanya bilang bahwa nenekmu bekerja di rumah dinas pegawai pemerintahan Suna. Tapi, yang mana? Sunagakure 'kan luas sekali! Dan pegawai pemerintah di sana tidak hanya satu keluarga saja! Dasar, si pelit kata!" Sang dara mengerucutkan bibir sesaat, sebelum tawanya pecah ke udara; menimbulkan uap yang tersapu semilir angin.
Sejak menginjakkan kaki di Konoha, Sasori tak pernah lagi pulang kampung; memikirkan hal itu pun tidak. Akan tetapi, bohong rasanya jika sang pemuda tak merindukan nenek Chiyo. Bisa Hinata tangkap jelas bahwa mendiang kekasihnya tersebut amat mendambakan pertemuannya dengan wanita yang sudah uzur itu; bahwa ia ingin menjelaskan dan meminta maaf karena sudah lancang kabur ke kota tetangga ini tanpa mengantungi izin juga restu.
"Rasannya …, aku tidak enak padamu kalau tidak melaksanakan amanatmu, Sasori-kun." Hinata mengepalkan buku-buku jarinya erat. "Baiklah, sebisa mungkin akan kuusahakan."
~o0o~
"Kau mau pergi sendirian?! Tidak boleh, Hinata!"
Persis dengan perkiraan si gadis; Kakek Sarutobi dan Asuma-san menentang keputusannya untuk pergi ke Sunagakure seorang diri. Ia pun cukup tahu bahwa seorang perempuan tidak boleh bepergian jauh kecuali jika membawa mahram—entah itu suami, ayah kandung, saudara laki-laki kandung, paman dari pihak keluarga, dsb. Dan keluarga Sarutobi ini sama sekali bukan keluarganya, sehingga mereka tidak memenuhi syarat tersebut; ia sendiri juga masih belum mau menghubungi keluarga kandungnya.
"Tapi, Sarutobi jii-san, bukankah Anda bilang bahwa menunaikan amanat itu wajib?" Hinata mencoba kembali bernegosiasi. "Saya hanya mencoba melaksanakan hal itu. Tak perlu berlama-lama, sehari saja cukup."
Hiruzen memijat-mijat keningnya. Di luar dugaan, gadis yang ia tampung sementara di rumah ini cukup keras kepala juga. Sekali tekadnya sudah tertanam dalam sanubari, akan susah untuk mencabut atau menggoyahkannya. Yah, pria paruh baya ini bersyukur bahwa sifat itu yang menuntun Hinata untuk beristikamah memeluk agama islam. Namun, kegigihannya tersebut sama sekali tak membantu dalam situasi seperti ini.
"Baiklah, kau boleh pergi,"—nyaris Hinata berteriak kegirangan, Hiruzen buru-buru menambahkan—"tapi keluarga Asuma harus ikut denganmu."
"Tapi, Ojī-san …."
"Patuhi syarat itu atau kau tak boleh bepergian ke luar kota selamanya, Hinata," tegas pria berambut putih itu. "Di rumah ini, aku menjamin keselamatan dan kesehatanmu. Jadi, sebisa mungkin kau harus mematuhi aturanku. Mengerti?"
Kalau boleh jujur, Hinata tak ingin merepotkan siapa pun. Keluarga Sarutobi ini sudah berbaik hati memberikannya tempat bernaung. Hiruzen bersedia menjadi wali tak resminya; sang anak—Asuma—beserta istrinya—Kurenai—dan juga anak mereka—Mirai—menjadi teman berbagi keluh kesah yang menyenangkan; Konohamaru—cucu Hiruzen—menambah kekocakkan serta menghidupkan keluarga ini. Di balik badai, ada pelangi; kurang lebih seperti itulah yang dialami Hinata selepas berganti keyakinan.
"Wakarimashita, Ojī -san."
~o0o~
"Ada yang bisa saya bantu?"
Cukup jauh juga untuk bisa mencapai tempat ini. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama lima jam menggunakan mobil, mereka harus memacu si kuda besi lagi menuju pusat kota dua jam lamanya. Melelahkan, tetapi mudah; Itu karena komplek perumahan pegawai pemerintahan dijadikan satu; semua masyarakat Suna pun mengetahuinya.
"Etto …, saya ingin mencari seseorang bernama Chiyo, nenek Chiyo," ujar Hinata. "Saya dengar beliau bekerja di sini. Apakah betul?"
Penjaga gerbang perumahan itu tampak semringah manakala nama itu disebut. "Ah, nenek Chiyo? Tentu saja kami tahu, Nona Muda. Kau bisa lihat rumah itu?" sang penjaga mengarahkan telunjuknya ke sebuah hunian dua lantai yang minimalis, tetapi cukup elegan. "Nenek Chiyo bekerja di sana sekarang; menemani Kazekage yang baru saja dilantik bulan lalu, Gaara Rei."
Kazekage? Hinata tak menyangka bahwa neneknya Sasori bekerja sebagai ART (asisten rumah tangga) keluarga Kazekage. Seharusnya, sang mendiang kekasih memberitahu petunjuk penting seperti ini lebih dini; dengan begitu, ia tak perlu memikirkan beragam kemungkinan yang terjadi andaikata nenek Chiyo tidak bekerja di sini, melainkan perumahan dinas pegawai pemerintahan kota Suna yang lain.
Hinata beserta rombongan bergegas menuju rumah yang ditunjuk setelah mengucapkan terima kasih pada si penjaga gerbang yang ramah itu. Ia melirik ke belakang dan mendapati bahwa hidung Mirai yang berada dalam gendongan sang Ibu, Kurenai, memerah karena cuaca dingin. Duh, sang dara makin tak enak hati pada keluarga kecil ini. Namun, Asuma hanya memberikan senyuman simpul kepada Hinata; seakan berkata bahwa mereka tidak merasa direpotkan sama sekali.
Tok! Tok! Tok! "Assalaamu'alaikum."
Dari dalam terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Pintu kayu tersebut pun terbuka. "Wa'alaikumussalaam."
Seorang gadis, Hinata berasumsi begitu dari perawakannya yang masih terlihat sangat muda, menyembul dari balik benda persegi panjang itu; mengenakan jubah panjang berwarna krem yang menjuntai hingga menutupi kedua kakinya serta jilbab senada yang cukup besar sampai sebatas perut bagian atas. Kain jubah dan jilbab itu tampaknya cukup tebal; mungkin sengaja dibuat untuk menghadapi musim dingin seperti ini. Raut muka sang gadis menampilkan ekspresi kebingungan kala mendapati sekelompok orang asing berada di beranda dalam kondisi iklim ekstrem seperti ini.
"Maaf, ada yang bisa saya bantu?"
"Etto …, kami ingin bertemu nenek Chiyo. Apakah betul beliau bekerja di sini?"
Si gadis sempat terdiam sejenak. Beberapa detik berikutnya, seulas senyuman manis bertengger di bibirnya. "Tentu saja boleh. Mari, silakan masuk!"
Ruang tamu menyambut rombongan kecil tersebut. Empat buah sofa berwarna abu-abu dilengkapi dengan bantal-bantal kecil berwarna putih gading; karpet hitam dengan pola riak air berwarna putih; meja kayu yang memisahkan keempat sofa; beberapa lukisan kaligrafi yang ditulis dalam aksara Jepang maupun Arab menghiasi dinding; berbagai tanaman penyerap polutan seperti sri rejeki, tanaman jade, dan lidah mertua juga turut menambah kesan asri ruangan ini.
Sang gadis kembali dari dapur—membawa baki berbahan kayu berisi teko, gelas-gelas, juga dua toples camilan—bersama seorang wanita renta yang mengenakan pakaian dengan model yang kurang lebih serupa dengannya; dengan warna abu-abu. Kerutan juga flek menghiasi wajahnya yang terlihat lelah. Akan tetapi, pandangan mata jelaga itu teduh dan menenangkan; Hinata bisa merasakannya hanya dengan sekali lihat.
"Gomennasai, hanya ini yang bisa kami hidangkan." Sang gadis menata gelas-gelas itu di meja. Lalu, ia menuangkan teko yang berisi teh adeni ke wadah minum. "Menurut berita, cuaca hari ini cukup buruk. Para warga disarankan untuk berdiam diri di rumah."
Wanita paruh baya tersebut menyanggah, "saya bisa keluar untuk berbelanja, Nona Matsuri …."
"Dan membiarkan Anda menggigil di luar sana?!" nada itu meninggi. Bukan kemarahan yang tersirat di sana, melainkan rasa peduli juga khawatir. "Aku tak sanggup memikirkannya, Nek!"
"Ah, maafkan saya." Sadar bahwa tidak mereka berdua saja yang berada di ruang tamu, sang gadis yang dipanggil Matsuri itu mendudukkan diri perlahan di atas sofa kosong; gerakannya halus dan anggun layaknya tarian bidadari. "Perkenalkan, saya Matsuri Rei; istri dari Gaara Rei. Dan beliau,"—telapak tangannya terarah kepada si wanita renta—"adalah orang yang kalian cari, nenek Chiyo."
"Perkenalkan, saya Chiyo; pembantu di rumah ini." Hinata bersumpah, ketika mulut berkeriput itu mengukir kurva senyum, ia bisa melihat sang mendiang kekasih juga ikut tersenyum padanya. "Maaf, sebelumnya apakah kita pernah—"
Tanpa disangka, Hinata mengunci tubuh renta tersebut dalam sebuah pelukan. Bulir-bulir air mata lolos dari manik beningnya yang indah. Berkali-kali ia menggumamkan kata 'maaf' dengan suara parau akibat sedu sedan yang mendominasi. Sang dara pun tak mengerti mengapa ia bisa bertindak hingga sejauh ini. Akan tetapi, perasaannya mengatakan bahwa ia memang harus melakukannya. Semua orang di sana, kecuali Mirai yang sedang terlelap, terenyuh menyaksikan pemandangan ini.
Puas mereguk kehangatan dari nenek Chiyo. Hinata memperkenalkan diri dan memulai ceritanya. Wanita paruh baya tersebut dengan saksama mendengarkan penuturan sang dara. Tidak heran jika ia bisa merasakan keberadaan cucu semata wayangnya ketika gadis ini memeluk tubuh rentanya. Dan perempuan asli Sunagakure ini turut menangis saat mengetahui bahwa sang cucu telah tiada; bahwa bocah kalem yang tak mau dipanggil 'anak nenek' itu sudah meninggalkannya.
"Sasori …,"—berkali-kali nenek Chiyo mengusap bulir asin yang mengalir deras keluar dari pelupuk mata—"rasanya …, baru saja kemarin aku mengasuh dirinya …."
Suasana hati di ruang tamu ini mendadak berubah drastis menjadi suram nan murung, sebelum nenek Chiyo mengeluarkan kata-kata kasarnya. "Heh, dasar, Bocah Bodoh … hiks hiks …. Tentu saja aku memaafkanmu …."
~o0o~
"Assalaamu'alaikum. Tadaima."
Sembari melepas sepatu, alis Gaara berkerut tatkala mendengar suara-suara di bilik dapur; tidak mungkin sang istri dan ART bisa menimbulkan gelak riuh seperti itu. Jam yang tergantung di ruang tamu menunjukkan pukul 19.00 alias pukul tujuh malam. Ada tamu kah?
"Wa'alaikumussalaam. Okaerinasai, Gaara-sama."
Matsuri dengan perlahan melepaskan jas yang membalut tubuh bagian atas sang suami dan dasi yang terlingkar erat di leher si Mata Panda. Senyuman tak pernah luntur dari bibirnya. Namun, itu hanya sesaat sebelum ia memohon klemensi. "Ah, gomennasai, Gaara-sama. Aku belum sempat memberitahu Anda. Nenek Chiyo kedatangan tamu hari ini. Mohon maafkan kelancangan saya."
Istrinya itu seperti seorang budak yang tertangkap basah melakukan kesalahan oleh tuannya. Gaara sudah berkali-kali memberi tahu Matsuri agar bersikap 'sewajarnya' saja. Namun, gadis itu bersikeras karena merasa si Mata Panda, selain kepala negara, adalah suami yang harus ia hormati; terlebih karena ia sudah tak memiliki orang tua lagi.
Tangan kokoh itu mengusap pucuk kepala Matsuri. "Iie, daijobu. Tamu?"
Wanita mungil itu hanya mengangguk pelan. "Anda mau makan atau mandi dulu? Air panasnya sudah saya siapkan."
"Mandi saja." Gaara bergegas menuju kamar mandi.
Tak membutuhkan waktu lama, si Mata Panda telah melaksanakan rutinitasnya membersihkan diri setelah bekerja seharian. Mengenakan baju santai yang terdiri dari kaus lengan pendek berbahan katun yang dibungkus sweter rajutan Matsuri dan celana kain tebal ia berjalan perlahan menuju ruang makan. Di sana ia mendapati sang istri asyik bercengkrama dengan seorang gadis cantik; mungkin saja mereka seumuran. Ada juga seorang laki-laki dengan janggut cukup lebat sedang memangku seorang balita yang disuapi oleh seorang wanita dengan mata sewarna pekatnya darah.
"Ah, Gaara-sama." Matsuri buru-buru menarik kursi untuk sang kepala keluarga. "Anda mau makan apa?"
Dengan kalem, Gaara menunjuk hidangan yang menggugah seleranya. Semangkuk kari daging kambing dengan roti naan[4] juga mugalgal[5] telah berpindah ke hadapan si pemuda. Semua orang menjadi tegang; menunggu kapan sang Kazekage membuka suaranya.
Jujur saja, Gaara belum makan siang. Ia hanya mengganjal perutnya dengan selembar roti maryam[6] dan tiga gelas kopi. Pemuda dengan tato di dahi kirinya ini memaklumi jika sang istri atau asisten rumah tangga satu-satunya di rumah mereka tidak bisa mengantarkan jatah makan siangnya ke kantor. Di tengah cuaca yang cukup buruk ini, ia lebih suka kalau Matsuri atau nenek Chiyo mendekam di rumah daripada memaksakan diri demi dirinya yang lebih sering lupa mengatur pola makan. Si Mata Panda terlalu sayang dengan kedua orang berharganya itu. Itulah yang menjadi penyebab Gaara kalap ketika tiba di meja makan. Tiga roti naan sepanjang wajahnya telah berpindah ke lambung; diikuti oleh daging domba gurih yang bercampur dengan irisan tomat segar dan paprika hijau.
"Perkenalkan; saya Gaara Rei, kepala rumah tangga ini," ujar si pemuda sambil menundukkan kepala sedikit.
"Saya Asuma, Asuma Sarutobi," balas lelaki berjanggut itu dengan bahasa tubuh yang kurang lebih serupa. "Ini istri saya,"—ia menepuk pundak sang wanita bermata darah—"Kurenai; anak saya, Mirai; dan gadis di sana,"—telunjuknya terarah pada gadis yang duduk di samping Matsuri—"namanya Hinata."
Jade Gaara bergerak cepat mengikuti kalimat terakhir Asuma. "Hinata Hyūgakah?"
Mata bening gadis itu membelalak tak percaya, sebelum kembali sediakala. "Sekarang hanya Hinata, Kazekage-sama. Tapi, mohon maaf jika saya lancang, dari mana Anda tahu?"
"Tak usah terlalu formal; cukup panggil saja namaku, Hinata." Gaara menghela napas sejenak. "Aku mengenalmu melalui Naruto."
Lagi-lagi pupil Hinata melebar. "Anda mengenal Uzumaki-san?"
Kepala merah itu mengangguk. "Terakhir kali, kami mengobrol enam bulan lalu; ketika pernikahanku dengan Matsuri sedang diadakan."
Rupanya dunia ini sempit sekali; seperti kata pepatah 'tak lebih luas dari daun kelor'. Dari lubuk hati, saat nama itu terucap, Hinata mengakui bahwa ia merindukan Naruto; ia merindukan cengiran khas lelaki itu; ia merindukan sikap lugas nan hangat si Pirang; ia mendambakan kehadiran pemuda bermarga Uzumaki itu. Dan alangkah terkejutnya sang dara manakala ia menyadari bahwa Kazekage Sunagakure pun mengenali Naruto. Sebenarnya, siapa dia?
"Aku bersahabat dengan Naruto sejak bangku kuliah." Seakan menjawab rasa penasaran Hinata, Gaara mengucapkan hal tersebut setelah menghabiskan selembar roti naan. "Kalau saja Allah tidak mengirim dia ke dalam kehidupanku, rasanya mustahil aku akan menjabat sebagai kazekage. Naruto suka berbicara mengenai banyak hal dan aku akan setia mendengarkannya. Di antaranya adalah dirimu, Hinata."
Orang-orang di sana terhenyak mendengar pernyataan Gaara; terutama si dara yang menjadi objek perbincangan. Benarkah Naruto berbicara dengan sang Kazekage muda mengenai dirinya?
"Mau mendengar pendapat Naruto mengenai dirimu, Hinata?"
~o0o~
Kilas Balik
"Kau ingin meminta saranku?"
Gaara nyaris membuka rahang bawahnya lebar-lebar ketika sang Uzumaki mendatanginya selepas rentetan acara pernikahan ini usai. Untung saja, ia masih memiliki kontrol diri yang sangat baik sehingga ia tetap bersikap tenang seperti biasa.
"Sebenarnya, begini, Gaara …."
Naruto menuturkan kembali apa yang disampaikan Shikamaru tadi malam. Gaara mangut-mangut menanggapi sampai cerita tersebut mencapai bagian akhir. Sangat jarang mendapati si Pirang amat begitu tertarik dengan masalah wanita; apalagi ini urusan pribadi atasannya. Bukan berarti pemuda berisik nan urakan itu penyuka sesama jenis alias homo, melainkan ia hanya belum menemukan jodoh yang tepat.
Si Mata Panda pun kurang lebih memegang prinsip yang sama. Sudah puluhan anak konglomerat, pebisnis, cendikiawan, bahkan bangsawan berusaha dijodohkan olehnya. Semuanya ia tolak; tentu saja mengingat bahwa mereka sama sekali tidak mengerti konsep rumah tangga; nyaris sebagian besar mereka berpendapat bahwa seorang istri itu adalah ratu yang dimanjakan oleh suami; dan tipe pendamping hidup bagi Gaara bukan penganut prinsip tersebut.
Akan tetapi, semua berubah manakala ia mengenal istri yang baru tadi pagi ia nikahi, Matsuri. Gadis mungil itu memang jauh berbeda kasta dengan Gaara; ia seorang yatim piatu yang tinggal sepanjang hidupnya di sebuah panti asuhan di pinggir kota Suna; ia tidak mengenyam pendidikan tinggi; tidak pula memiliki sepeser pun harta warisan. Namun, Pemuda berambut merah itu menyukai sifat lugu, polos, dan sederhana Matsuri; ia mencintai kesalehan gadis itu; prinsip rumah tangganya pun seirama sekata dengan Gaara. Tanpa berpikir panjang, si Mata Panda meminta persetujuan orangtuanya untuk meminang gadis tersebut.
"Kau sudah berdoa? Meminta petunjuk pada Allah Yang Maha Kuasa?"
Kepala pirang itu menggeleng.
"Kenapa?"
"Aku tidak ingin ikut campur dalam masalah pribadi orang lain, Gaara," ringis Naruto. "Apalagi jika orang itu adalah atasanku. Maksudku …, siapa diriku dengan seenaknya masuk ke kehidupannya?"
"Kau meragukan kuasa Allah, Naruto?"
"Bukan begitu, Gaara, aku hanya—"
"Dari jawabanmu saja, aku sudah tahu kalau kau masih bimbang, Naruto." Gaara menepuk pundak sang sahabat. Kontan bahu tegap tersebut langsung terkulai lemas. "Kau pernah mengatakan padaku bahwa segala hal di dunia ini bisa saja terjadi jika Allah menghendaki. Kau pernah bilang padaku kalau kita harus berpikiran positif. Sekarang, kau malah bersikap pesimis seperti ini. Ada apa denganmu, Sobat?"
"Aku … hanya merasa tidak pantas untuknya, Gaara …. Hyūga-dono itu seperti bidadari …, sedangkan aku tak lebih berharga dari ikan teri …. Kemungkinan kami, tidak, perbedaan kami amatlah jauh, Gaara …."
Seulas senyum terpatri di bibir si Mata Panda. "Kau ini mirip sekali dengan Matsuri, Naruto. Kalian berdua terburu-buru mengambil kesimpulan sebelum mencobanya. Dengar, ya; yang menentukan hidup kita itu adalah diri kita sendiri, bukan orang lain. Tak usah memedulikan apa kata orang. Toh, mereka tidak memiliki kontribusi apa pun dalam hidupmu. Ingin bahagia? Raihlah kebahagiaanmu sendiri! Ingin sukses? Gapailah kesuksesanmu sendiri!"
Bisa Gaara rasakan; binar kemasygulan yang terpantul di netra safir Naruto perlahan sirna. Ia hanya bisa berdoa dan berharap semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik atas apa yang pernah pemuda itu dapatkan dari si Pirang.
Kilas Balik Selesai
~o0o~
"Kudengar …, kau sangat akrab dengan Hinata. Apa benar begitu?"
Ada apa ini? Tumben sekali sang atasan berbasa-basi dengan Naruto; apalagi topik pembicaraan kali ini menjurus kepada orang yang tak lekang dari ingatannya, Hinata Hyūga.
"Maaf, saya belum mengerti maksud Anda, Hyūga-sama."
Bisa Naruto dengar decihan Neji, pertanda bahwa pemuda berambut panjang itu tak menyukai responnya. Hei, dia berkata yang sejujurnya; ia tidak tahu-menahu apa maksud Neji menanyakan hal tersebut. Selain itu, si Pirang tak merasa akrab sama sekali; hubungannya dengan gadis berambut indigo tersebut sekadar bawahan dan atasan saja; tak lebih dari itu.
"Saya mohon maaf apabila ada kata saya yang menyinggung Anda, Hyūga-sama. Tapi, saya hanya seorang pegawai di kantor ini," ujar Naruto seraya memandang lurus langit yang masih kelabu. Butiran salju masih betah menghunjam bumi. "Sedangkan Hinata-dono adalah atasan yang saya hormati. Jika yang anda maksudkan itu keakraban seperti teman, saya rasa Hinata-dono tidak menganggapnya begitu."
Neji mengepalkan buku-buku jarinya erat. Ia sudah meminta Kakashi untuk melakukan penyelidikan kecil-kecilan perihal Hinata; baik di rumah maupun di kantor ini. Hasil yang mendekati akurat—di mana ia tak memperoleh apa pun dari keluarga paman Hiashi—mengarah kepada satu nama, Naruto Uzumaki. Dari sana, pemuda bermanik jernih ini memeriksa berkas data diri si Pirang juga pencapaian yang sudah pernah diraih. Beberapa desainnya berhasil memuaskan para investor sehingga mereka tertarik memberikan kucuran dana untuk perusahaan ini. ia bekerja cekatan, ulet, dan tidak pernah sekali pun datang terlambat. Seharusnya, ia pantas mendapat kenaikan jabatan. Namun, rumor para karyawan yang mengatakan bahwa tingkah laku Hinata berubah sejak bertemu lelaki ini membuat Neji perlu mengorek keterangan lebih dalam dari dari si terduga langsung.
"Kau tahu, Naruto? Ada suatu peraturan dalam keluarga Hyūga." Neji meletakkan kedua tangannya di depan dada tumpang tindih; sikap bersedekap. "Seseorang yang berpindah agama tanpa seizin para tetua akan dikeluarkan dari keluarga Hyūga. Ia tak boleh mengenakan marga Hyūga, tak boleh menggunakan atau mengelola aset keluarga Hyūga, serta dikeluarkan dari ahli waris keluarga. Dan Hinata telah melanggar peraturan itu."
Peraturan itu sebenarnya tidak boleh diketahui oleh orang luar. Namun, persetan dengan semua itu; yang ada di pikiran Neji saat ini hanyalah reaksi dari si Pirang. Jika analisis Kakashi benar, maka ini bisa melengkapi kepingan misteri dari seorang Hinata.
Wajah Naruto langsung berubah pias tatkala kalimat terakhir itu terlontar. Kekhawatiran perlahan merayapi sanubari. Sinar matanya terlihat meredup. Dan semua itu bisa tertangkap jelas oleh Neji.
"Hi-hinata-dono … dikeluarkan …?"
"Yah, begitulah." Neji mengendikkan bahu seraya mengangka kedua lengannya ke atas. "Itu terjadi saat para karyawan di perusahaan ini pergi berwisata di Kirigakure enam bulan lalu, Naruto." Pemuda itu menatap tajam sang lawan bicara. "Aku sudah mengumpulkan banyak informasi. Mau mendengar hasil akhirnya? Perubahan Hinata itu mengarah padamu, Naruto Uzumaki. Nah, aku tak akan berbasa-basi lagi. Sebenarnya … apa yang telah kau lakukan pada adik sepupuku sehingga ia rela meninggalkan keluarganya …?"
~o0o~
"Tidak bisakah kalian tinggal sedikit lebih lama?" rajuk nenek Chiyo.
Hinata mendekap tubuh renta itu erat. Jujur saja, ia juga tak rela harus meninggalkan Sunagakure secepat ini. Malam tadi, ia tidur sekamar dengan wanita paruh baya tersebut. Mereka saling bercengkrama dan bercerita mengenai dua hal; Sasori dan Naruto. Sang dara langsung akrab dengan nenek Chiyo dan menganggapnya seolah nenek kandung.
"Maaf, Nek." Gadis bermanik bening itu tersenyum kecut. "Saya tidak ingin merepotkan Asuma-san dan keluarganya."
Nenek Chiyo mengembuskan napas kasar. "Apa boleh buat. Kembalilah ke sini jika kau sempat. Dan jangan lupa bawa suamimu kemari, ya!"
Kedua pipi bakpau Hinata langsung bersemu manakala godaan itu terlontar; membuat yang lain—kecuali Mirai yang memasang raut kebingungan—terkekeh. Gadis berkulit putih susu itu hanya bisa tertunduk malu.
"Hinata nee-chan, ini buat oleh-oleh." Matsuri menyodorkan sebuah tas kertas; isinya terdiri dari yughmish[7], katayef, dan samoosa. Ada juga serbuk daun teh yang sudah bercampur dengan rempah-rempah. "Kalau Nee-chan ingin membuat teh adeni gampang kok; tinggal seduh ramuan serbuk teh itu dan tambahkan krimer; susu juga boleh. Atau diseduh dengan air panas saja sudah sangat enak. Oh, ya aku juga menyelipkan resep daun teh khusus itu. Nee-chan bisa membuatnya sendiri di rumah."
"Arigatou, Matsuri-chan." Hinata baru saja mengetahui bahwa istri kazekage Suna ini masih sangat muda; hanya berjarak dua tahun. Ia sama sekali tidak keberatan dipanggil 'nee-chan'; adalah suatu kehormatan bisa mengenal dan menjalin keakraban bersama first lady kota dengan iklim padang pasir ini. "Akan kubawakan oleh-oleh dari Konoha jika Allah mengizinkanku kemari."
"Senang bisa berkenalan dengan kalian semua." Gaara mengangguk sopan pada Asuma. "Kuharap kita bisa bersua lagi di lain waktu. Hati-hati di jalan."
Setelah saling melambaikan tangan, mobil Asuma melaju membelah jalanan lengang kota Suna. Tumpukan salju tebal ulah dari orang-orang Dinas Tata Kota dan Kebersihan (DISTAKOBER) teronggok di pinggir jalan. Mereka mengagumi kecekatan dan juga kesigapan para petugas kebersihan di kota ini; karena jika salju itu sampai menutupi jalanan, terutama jalan lintas negara, akan menyusahkan aktivitas masyarakat.
Asuma berinisiatif menyupir duluan; Kurenai berada di samping pengemudi; Hinata bersama Mirai bermain di kursi penumpang. Terdengar celotehan lucu dari bayi dengan surai hitam legam itu manakala sang dara berambut indigo mengeluarkan candaan khasnya.
"Ehm …. Jadi, Hinata, bisa kau jelaskan siapa sebenarnya Naruto Uzumaki ini?" lontar Asuma.
Mereka memang sudah mendengar penuturan Gaara mengenai pemuda yang katanya berambut pirang cerah itu. Namun, yang masih menyisakan tanda tanya adalah … hubungan atau korelasi antara Hinata dan si pemuda yang belum jelas rupa maupun sifatnya. Tentu saja, baik Asuma ataupun Kurenai mengerti bahwa itu merupakan urusan pribadi Hinata yang tak berhak mereka campuri. Akan tetapi, jika menyangkut masalah hati, penting bagi mereka untuk menengahi dan mengarahkan agar dara yang menumpang tinggal sementara di rumah mereka ini tidak salah langkah.
"Dia … mantan karyawanku, Asuma-san, Kurenai-san," terang Hinata. "Salah satu alasan mengapa aku memeluk agama ini adalah dia."
"Pemuda itu memaksamu?"
Jilbab ungu yang dikenakan Hinata bergerak ke sana kemari seiring gelengan kepalanya. "Tentu tidak, Asuma-san. Ini murni keputusanku sendiri. Dan aku berpindah keyakinan bukan untuk mengejar cintanya, tetapi meraih kasih sayang Allah tentu saja."
"Kami tidak menyimpulkan sampai sejauh itu, Hinata," kelakar Kurenai. "Tapi, dari jawabanmu kami bisa mengerti kalau kau sangat mencintai pemuda itu."
Dulu, Hinata adalah orang yang tidak gampang untuk tersipu karena malu. Sekarang, keadaan berubah drastis. Lihat, bahkan celetukan 'aka'[8] dari Mirai saja sudah cukup membuat kedua pipinya bersemu merah; semerah tomat ceri yang mencapai masa ranumnya.
"Hiruzen tou-san sudah tahu?" Hinata merespon kembali dengan gelengan.
"Kenapa tidak bilang dari awal, Hinata?" tanya Kurenai sembari menyuapi sang suami dengan samoosa. "Hiruzen jii-san punya banyak koneksi dan kenalan di Konoha. Kalau kau mencintainya dan ingin menikah dengan pemuda itu katakan saja. Semuanya akan—"
"Tidak semudah itu, Kurenai-san," sanggah Hinata. "Keluargaku …."
"Justru keluarga kandungmu harus mengetahui persoalan ini, Hinata," seloroh Asuma. "Merekalah walimu yang sah secara agama maupun hukum negara. Kami sama sekali tidak mempermasalahkan keberadaanmu di rumah kami. Tapi, kami tidak ingin dicap sebagai pemisah antara seorang anak dan keluarganya. Bukan itu tujuan kami menampungmu, Hinata."
Bahu Hinata terkulai lemas. Ia tahu dengan jelas, tidak bisa ia selamanya main kucing-kucingan dengan keluarganya. Mau tidak mau mereka harus bertemu, cepat atau lambat. Lalu, mengenai Naruto … bagaimana tanggapan ayah, ibu, dan adiknya? Apakah mereka mau menerima Naruto sebagai calon suaminya …?
"Jangan khawatir, Hinata." Kurenai menyodorkan yughmish yang sudah dipotong menjadi dua kepada sang anak. Mirai tanpa berpikir panjang langsung melahap makanan berwarna kuning keemasan tersebut. "Kami memang belum mengenal si Naruto Uzumaki ini. Tapi, jika kau sampai rela berpindah agama karena terinpirasi lelaki ini, kuyakin dia orang yang baik; sangat baik."
Nada keibuan dari wanita bermata darah itu membuat Hinata sedikit rileks. "Arigatou, Kurenai-san."
~o0o~
"Jadi, begitu …."
Hiashi, Hikari, dan Hanabi baru saja mendengar penuturan kedua orang di hadapan mereka. Ekspresi kelegaan muncul di wajah karena ada titik terang dalam misteri yang ditinggalkan oleh Hinata. Sementara itu, Neji menghirup tehnya dengan tenang, mencoba mereguk kenikmatan minuman racikan tangan itu; sedangkan Naruto masih setia dengan kepala tertekuk ke bawah. Si Pirang bahkan belum menyentuh satu pun hidangan yang tersaji di atas meja tamu.
"Uzumaki-san, apa pendapatmu mengenai putriku?"
Beginikah rasanya menghadapi calon mertua? Sungguh, Naruto banyak mengeluarkan keringat dingin. Atmosfer di sini amatlah berat baginya. Akan tetapi, ditanya seperti itu pun sang pemuda belum memiliki jawaban pasti. Hinata memang seperti wanita idaman pria; ia cantik, cerdas, berkepribadian menarik, supel, dan berasal dari keluarga berkelas sekaliber Hyūga. Namun, itu semua belum cukup baginya. Harus ada suatu alasan yang melampaui kelebihan-kelebihan tersebut; suatu keunggulan yang hanya dimiliki oleh gadis berkulit putih itu seorang.
"Mohon maaf, Hiashi-sama. Saya hanya menganggap Hinata-sama sebagai atasan saya." Naruto berusaha mengucapkannya setulus hati. "Tapi …."
"Tapi?"
"Saya ingin memastikan satu hal," tegasnya. "Agama apa yang dipeluk Hinata-sama sekarang?"
Hikari kembali teringat momen di mana anak sulungnya pulang ke rumah dengan pakaian yang serba tertutup. Ia tak memungkiri bahwa Hinata jauh lebih cantik dan anggun ketika mengenakan setelan tersebut. "Kalau tidak salah, islam, Uzumaki-kun."
"Apakah ada perubahan tertentu? Maksud saya perubahan perilakunya."
Rambut sebagu Hikari bergoyang seirama dengan anggukan kepalanya. "Tiap akhir pekan ia selalu memberikan paket berisi hasil masakannya kepada kami maupun para pelayan. Walaupun ia tak pernah menunjukkan dirinya, selalu ada sebuah surat yang terlampir mewakili kerinduannya. Oh, Hinata … kami juga merindukanmu, Nak …."
"Sehari sebelumnya,"—Hanabi yang sedari tadi membisu, ikut membuka suaranya—"Nee-chan sering menggumamkan namamu dalam tidurnya, Uzumaki-san. Kupikir itu nama kekasih barunya. Ternyata …."
Naruto meringis. Sebegitu dalamkah Hinata mencintai dirinya? Sampai-sampai terbawa ke alam mimpi? Sanggupkah ia membalas perasaan sang mantan atasan? Patutkah si Pirang mencintai anak sulung dari Hiashi Hyūga ini? Pantaskah ia, seekor katak buduk, bersanding dengan sang bidadari jelita dengan paras memesona? Semua fakta ini dalam sekejap memenuhi kepalanya, membuat diri tak kuasa untuk memprosesnya.
"Jangan bilang kau tidak mencintai Hinata, Naruto?"
Semua pasang mata tertuju pada Neji. Ekspresi wajah pemuda itu sedikit mengeras; rasa kecewa, kasihan, dan marah bercampur aduk jadi satu. Ia sayang pada adik sepupunya, meskipun keluarganya memendam sedikit rasa iri pada keluarga paman Hiashi. Lelaki berambut cokelat sebahu ini bahkan menganggap Hinata maupun Hanabi layaknya adik kandung. Tentu ia tak akan tinggal diam apabila mereka berdua tersakiti, baik secara fisik maupun secara batin.
"Bukan begitu, Neji-sama. Saya—"
Buagh!
Sekejap mata, Neji melayangkan tinju lurus yang mengarah pada hidung si Pirang. Naruto yang tak siap langsung terjerembab ke belakang; pembuluh darah di hidungnya pecah dan mengeluarkan darah; pemuda dengan tiga garis tanda lahir di pipi itu memegang bagian yang terdiri dari tulang rawan tersebut. Pikiran Hiashi, Hikari, dan Hanabi sesaat kosong; detik berikutnya, mereka terperanjat kaget atas apa yang telah terjadi.
Gigi-gigi Neji bergeletuk menahan amarah. Kendatipun Naruto adalah aset perusahaan Hyūga yang berharga, ia tak akan segan jika si Pirang bermaksud mempermainkan hati adik sepupunya saja. Dulu ia pernah melakukan hal yang sama terhadap mendiang Sasori. Mereka berdua bahkan saling baku hantam di halaman depan rumah Hinata. Neji sama sekali tak keberatan dengan hasil kemelut itu—bibirnya sobek, mukanya dipenuhi lebam biru dan bengkak, menggerakan sejengkal otot wajah pun dirasa sulit—hanya demi memastikan ketulusan Sasori.
"Saya belum bisa memastikannya …." Naruto menyeka darah yang mengalir menggunakan lengan bawahnya. Percuma, cairan berwarna merah itu tetap mengalir membasahi bibir atasnya. "Tapi …, jika Hinata memang mencintai saya sampai bertindak sejauh itu … saya hanya ingin meminta satu hal dari Anda selaku ayahnya, Hiashi-sama."
Hiashi merasa iba dengan kondisi Naruto sekarang. "Apa itu?"
"… pertemukan saya dengan Hinata-sama."
~o0o~
"Senang bisa bertemu dengan Anda semua, Tuan-Tuan …."
Di kantor KICAS diadakan sebuah pertemuan keluarga; dihadiri oleh keluarga Sarutobi—Hiruzen dan Asuma—serta keluarga Hyūga—Hiashi dan Neji; tak lupa Teuchi bersama Naruto turut ikut serta. Jamuan yang dilaksanakan setelah salat isya ini guna membahas dua orang, Hinata dan Naruto.
Setelah mendengarkan penuturan Hinata, Hiruzen akhirnya menemukan bahwa pemuda bernama Naruto Uzumaki itu tinggal bersama pemilik kedai ramen halal 'Ichiraku' bernama Teuchi. Untuk menyelesaikan permasalahan yang tak ubahnya mirip benang kusut ini, lelaki paruh baya tersebut meminta sang dara untuk menghubungi keluarganya sekalian. Dan di sinilah mereka; berhadapan satu sama lain; dibatasi oleh meja kayu mapel lengkap dengan penganan ringan seperti yugmish, katayef, dan samoosa ditemani teh adeni yang menguarkan bau sedap.
Sementara itu, di dapur belakang, Hinata melepas rindu juga damba pada si bungsu dan sang ibu. Air matanya mengalir deras tanpa bisa dihentikan, layaknya air yang tak mampu ditahan oleh bendungan. Hikari berkali-kali mengucapkan rasa terima kasihnya pada Kurenai karena sudah menampung dan merawat puteri sulungnya dengan baik. Sementara itu, Ayame mengucapkan selamat pada Hinata atas keislamannya. Puteri Teuchi itu mengatakan bahwa Hinata boleh berkunjung kapanpun ia mau; Ayame bahkan berbaik hati menawarkan sang dara berkulit putih untuk mempelajari masakan-masakan apa saja yang Naruto sukai.
"Terima kasih telah bersedia memberikan Hinata tempat tinggal, Hiruzen-dono." Hiashi membungkukkan badannya dalam, pertanda bahwa ia sungguh-sungguh mengucapkan kalimat tersebut. "Entah bagaimana saya bisa membalas kebaikan Anda selama Hinata pergi."
"Tak perlu berlebihan, Hiashi-dono." Hiruzen tersenyum simpul. "Hinata adalah anak baik, ramah, dan penurut. Kami senang sekali menerimanya sebagai bagian dari keluarga kami. Kami hanya tidak menyangka bahwa ia adalah anak Anda. Suatu kehormatan bisa mengenal Anda dan keluarga, Hiashi-dono."
Reputasi klan Hyūga di kota Konoha sudah terdengar di mana-mana. Kendatipun begitu, Hiruzen sama sekali tidak takut apabila klan pemilik mata bening itu mengincar KICAS. Ia sudah mempersiapkan rencana seribu langkah ke depan; terdengar berlebihan, tetapi begitulah adanya. Lelaki paruh baya tersebut harus siap dengan segala kemungkinan ketika ia membuka tempat untuk mempelajari agama islam dan bahasa arab ini.
Manik hitam Hiruzen beralih pada pemuda dengan rambut mencolok di ruangan ini, Naruto Uzumaki. Melalui penggambaran Hinata—ditambah analisis anak dan menantunya—pemuda itu adalah salah satu alasan terbesar yang menyebabkan sang dara bersurai indigo sampai rela berpindah agama bahkan meninggalkan keluarganya. Tanpa perlu dijelaskan pun, lelaki paruh baya ini mengerti bahwa Hinata menyimpan suatu rasa untuk si Pirang, rasa yang tidak seharusnya ada dalam kalbu sebelum ijab kabul diucapkan di depan wali dan dua orang saksi[9].
"Senang mengenal anda juga, Teuchi-dono." Hiruzen beralih pada pria tambun dengan mata sipit itu. "Kudengar, restoran anda mempunyai menu-menu yang menarik dan lezat. Mungkin suatu saat nanti aku akan mengajak keluarga untuk menyicipinya."
Sebenarnya, bukan pertama kali bagi Teuchi berkunjung ke KICAS. Beberapa perayaan hari besar seperti idul fitri dan idul adha diadakan di tempat ini; itu adalah momen di mana umat muslim di Konohagakure berkumpul untuk bersukacita dan mempererat tali silaturahim. Sebelum restorannya menjadi ramai, pria berambut kelabu ini juga pernah menghadiri kajian rutin akhir pekan yang dilaksanakan setelah salat Magrib berjamaah.
"Suatu kehormatan bisa berkumpul bersama anda, Hiruzen-dono, Hiashi-sama, Neji-sama."
"Baiklah,"—Hiruzen merentangkan tangan kanannya ke arah hidangan; isyarat bagi para tamu untuk menikmatinya—"mari kita langsung bahas ke topik utama. Naruto-san, aku sudah mendengarmu dari Hinata. Tapi, bisakah kau menceritakan hubunganmu dengannya dari sudut pandangmu sendiri?"
Mulailah si Pirang bernarasi; semua orang—meskipun dalam keadaan santai—serius mendengarkan tuturan pemuda dengan tanda lahir berupa tiga garis di masing-masing pipi tersebut. Barulah mereka paham; Naruto tak pernah memaksa ataupun mempermainkan sang dara, sedangkan Hinata berpindah agama karena memang terinpirasi tingkah laku si pemuda semata. Akan tetapi, jika memperhatikan bagaimana bahasa yang Naruto gunakan untuk mendeskripsikan sang gadis bermanik bening juga bahasa tubuh Hinata, orang yang benar-benar peka akan menyadari bahwa ada ikatan yang terjalin di antara mereka; sekalipun mereka belum pernah berhubungan secara intim.
"Begitu rupanya …." Hiashi mereguk kenikmatan teh adeni. "Jadi, apa kau ingin menikah dengan putriku, Naruto Uzumaki?"
Neji berjengit. "Tapi, Paman Hiashi …!"
"Kedua orangtua saya menghilang karena bencana, saya bukanlah orang terhormat seperti anda, dan saya juga bukan orang berduit seperti anda, Hiashi-sama." Naruto mengepalkan jemari yang ada di kedua tangannya erat. "Tapi, selama keimanan saya masih ada dalam dada, saya tak akan pernah membuat putri anda sengsara; selama jiwa ini masih di kandung badan, saya akan mencintai dan menyayangi Hinata sepenuh hati; sebagaimana anda dan istri anda mencintai juga menyayanginya hingga detik ini."
Air mata Hinata lolos manakala rentetan kalimat itu diucapkan. Ia mendekap sang ibu. Seirama dengan anak sulungnya, Hikari menangis haru menyimak ketegasan dari calon menantunya. Sementara itu, Ayame tersenyum bangga karena adik angkatnya telah menemukan belahan jiwa; ia mendoakan agar pernikahan mereka berkah dan dipenuhi dengan rahmat.
"Kalau begitu, kutitipkan Hinata padamu, Naruto-san."
~o0o~
"Kau terlihat panik, Naruto."
"Ya, itu benar."
"Menyedihkan, apa kau tak siap menikah dengan adik sepupuku?"
Si Pirang yang tengah mondar-mandir merasa geram dengan komentar-komentar tak berguna itu. Bulir demi bulir keringat dingin hinggap di dahinya. Oke, untuk dua celetukan pertama—yang berasal dari Shikamaru dan Gaara—ia sama sekali tidak pernah mempermasalahkannya. Akan tetapi, untuk kalimat sarkatis Neji? Hei, pemuda berambut panjang itu saja belum menikah. Bisa-bisanya ia mengatakan hal itu seenak jidatnya.
"Bisakah kalian memberi dukungan moril di sini?! Ini adalah momen seumur hidup yang—insya Allah—tak akan kulewati lagi. Bagaimana jika aku mengacau? Apa kalian akan berpikir sejauh itu?"
Naruto dan Hinata sepakat untuk mengadakan pernikahan dan resepsi yang sederhana. Undangan hanya disebar kepada kerabat, teman sejawat, dan para jamaah yang rutin mengunjungi KICAS. Gaara—selaku tamu undangan—bahkan sampai meminta sekretaris negara, Baki, untuk memberikannya cuti selama tiga hari demi menghadiri acara sakral sang sahabat. Buntutnya, tentu Hokage Konoha, Tsunade, bersama beberapa jajaran staf pemerintahan. juga mengikuti prosesi ini.
"Tenanglah, Naruto." Gaara tak tega juga melihat kondisi sahabatnya seperti ini. "Insya Allah, kau pasti bisa melewati semua ini. Aku dulu juga sama; gugup dan khawatir jika aku salah mengucapkan kabul. Tapi, itu tidak terbukti."
Sementara itu, di ruangan mempelai wanita, Hinata tak kalah paniknya. Sakura, Ino, Temari, bahkan Matsuri sudah berulang-ulang menyuruhnya tetap tenang. Namun, pikiran paranoianya masih kian mendominasi. Misalnya Naruto yang kabur dari tempat ini, para tamu undangan yang minggat tanpa ada alasan pasti, tempat mereka yang rusak karena kekuatan tak kasat mata, dan masih banyak lagi alasan yang membuatnya tidak bisa berpikir jernih.
Cklek! Kenop pintu terputar; Kriet! Engsel yang belum diberi pelumas pun berderit. Berdiri seorang sosok di depan kamar Hinata.
"Okā-san!"
Mengerti dengan kondisi Sakura, Ino, Temari, serta Matsuri pamit undur diri; menyisakan Hinata bersama dua orang yang sangat dekat dengannya. Sesaat, hening masih meraja; tak ada yang mau membuka suara. Sampai Hikari bertanya, "bagaimana keadaanmu, Hinata?"
Alih-alih membalas, sang dara mendekap sang ibu erat. Badannya bergetar; Hikari paham kalau putri sulungnya ini gugup luar biasa. Kendatipun prosesinya berbeda, pernikahan bagi setiap orang adalah hal yang sakral dan suci; wajar jika kau yang akan menjalaninya merasa panik, maklum jika kau yang akan melaksanakannya menjadi cemas; meskipun pada umumnya semua kerisauan itu tak terbukti.
"Shhtt! Jangan khawatir, Hinata! Okā-san yakin semua baik-baik saja."
Tatkala gadis dengan surai indigo itu menegakkan kepala, Hikari terpesona dengan paras Hinata; begitu natural juga indah. Riasan wajah yang terlalu tebal hanya akan menutupi keelokan alami yang dipancarkan sang dara bermanik bening.
"Okā-san, aku masih ragu; apakah aku siap menjadi seorang ibu? Aku takut kalau aku tak bisa menjadi ibu sebaik Okā-san. Lalu, aku harus bagaimana?"
Hikari terenyuh; secara tidak langsung atau tidak sadar, si sulung memuji dirinya. Namun, ibu dua orang anak ini tak mau bersikap jemawa. Pucuk kepala yang tertutup hijab pun ia elus kembali. "Kamu ini terlalu berlebihan, Hinata. Percayalah dengan naluri seorang ibu. Okā-san yakin kau pasti bisa, tidak, kau akan menjadi seorang istri dan ibu yang hebat untuk keluargamu sendiri. Pintu rumah akan selalu terbuka jika kau membutuhkan saran maupun bantuan okā-san."
Di ruangan itu, pasangan ibu dan anak tersebut saling meminta maaf; Hinata memohon ampun atas kesilapannya di masa lalu, sedangkan Hikara meminta klemensi dari si sulung karena tak bisa mencegahnya pergi dari kediaman mereka.
"Semoga kau berbahagia, Anakku tersayang …!"
~o0o~
"Bagaimana, Saksi? Sah?"
"Sah!"
Mendengar kata itu, semua orang di seluruh penjuru masjid menghaturkan doa; meminta kepada Allah Yang Maha Penyayang agar kedua pasangan baru ini selalu berada dalam keadaan sakinah (tentram, aman, dan damai) dan diliputi mawadah (rasa cinta) serta rahmat (kasih sayang).
Naruto menatap lekat istrinya yang dibalut busana pengantin berwarna putih gading. "Hi-hinata-do—"
Telunjuk kanan Hinata buru-buru membungkam mulut si Pirang. "Sekarang, aku adalah istrimu, Naruto-kun; bukan atasanmu." Seulas senyum bertengger di bibir tipis, tetapi ranum itu. "Jadi, mohon bantuan dan bimbingannya ya, Danna-sama[10]."
"Ah, tentu saja, istriku."
.
.
.
Owari.
.
.
.
Extra
"Kā-chan, ini di mana?"
Hinata dan dua orang anaknya sedang memandang Naruto yang berdiri di depan sebuah tugu. Manik beningnya berkaca-kaca, tetapi sebisa mungkin ia menekan perasaannya supaya tidak menimbulkan kepanikan di mata anak-anak.
"Dulu, ini kampung halaman tou-san, Himawari."
"Kenapa kampungnya rusak, Kā-san?"
Walaupun pertanyaan itu terlontar dari anak berumur delapan tahun, Hinata tak bisa mencegah rasa sesak yang mengimpit dada. "Ada gempa dan tsunami yang menghancurkan kampung ini, Boruto; waktu itu tou-san masih seumuran denganmu. Semua keluarganya hilang ditelan bencana."
Kendatipun akal Boruto juga Himawari—anak Naruto dan Hinata—masih belum mampu mencerna kalimat itu, mereka bisa merasakan kesedihan ayah mereka. Sejak pertama kali menikah hingga Himawari berumur lima tahun, si Pirang memang belum pernah menginjakkan kakinya di Uzushiogakure atau reruntuhannya. Namun, kepedaran hati itu masih tetap sama, tak berubah maupun berkurang kadarnya; sebanyak apa pun jarum jam berputar, sebanyak apa pun roda waktu berlalu.
"A-ano … sumimasen …."
Suara bariton itu mengalihkan atensi Naruto; begitu juga dengan Hinata serta kedua anaknya. Netra mereka terfokus pada sepasang manusia berbeda jenis yang belum pernah dilihat ataupun dikenal oleh mereka sebelumnya. Walaupun kerutan demi kerutan mulai menghiasi wajah mereka berdua, si Pirang membelalak begitu menyadari siapa dua sosok ini.
Mengapa?
"Apakah kau berasal dari kota ini? Apa yang terjadi dengan klan Uzumaki?"
Tanpa tedeng aling, pemuda bermanik safir itu memeluk kedua orang ini. Isakan haru yang pelan mulai terdengar. Gumaman kecil 'tou-san' dan 'kaa-san' keluar dari bibir Naruto. Sepasang sosok asing ini awalnya tidak mengerti mengapa lelaki di hadapan mereka tiba-tiba mendekap dan menumpahkan rasa sedihnya. Akan tetapi, mereka pun terhanyut dalam suasana ini juga membalas pelukan itu.
Tentu saja; sejauh apa pun raut orangtua berubah, sang anak pasti akan mengenalinya, bukan?
.
[1] fillet ayam yang telah dibumbui juga dibalur tepung roti; digoreng dalam rendaman minyak (deep frying).
[2] omelet khas Jepang yang terbuat dari telur kocok lepas yang telah dibumbui sedikit garam juga digulung berkali-kali; sebagai isian, bisa ditambahkan potongan sayur, bawang bombay, keju, atau daging.
[3] sup khas Jepang yang terbuat dari tahu, telur, daun bawang, atau sayur-sayuran lain yang diberi kuah dashi juga pasta miso.
[4] roti pipih berbentuk segitiga yang terbuat dari tepung terigu yang dibumbui rempah-rempah; terkadang diberi taburan wijen atau jintan hitam; sangat populer di Asia Barat, Asia Tengah, dan India.
[5] olahan daging domba yang ditumis bersama irisan tomat dan paprika hijau dengan rempah-rempah khas; cukup populer di Saudi Arabia.
[6] roti berbentuk bundar yang terbuat dari tepung terigu, air, minyak samin, telur, dan sejumput garam; bisa disajikan dengan makanan manis seperti madu, sirup; atau bisa dihidangkan dengan makanan asin seperti kari kambing.
[7] penganan ringan mirip dengan pastel berbentuk seperti bantal; berisi daging giling dengan bumbu rempah yang khas.
[8] merah.
[9] mayoritas ulama sepakat bahwa syarat sahnya sebuah pernikahan yaitu: wali dari pihak perempuan, dua orang saksi, adanya dua mempelai (tidak sah jika sejenis :v); adapun golongan hanafiyah menganggap bahwa dua orang saksi tidak diperlukan, cukup dengan mengumumkan pernikahan kepada masyarakat; wallahu a'lam.
[10] suami.
.
Assalaamu'alaikum, salam sejahtera, Minna-san!
Terlalu lama menelantarkan cerita ini? Aku tahu. :v Akan tetapi, jadwalku memang sangat padat sehingga susah mencari inspirasi; pas si insrisapi datang eh, mood menulis gak ada. :v (alesan, wack!)
Dengan ini, embun resmi berakhir; ini adalah cerita bersambung pertama yang kuselesaikan di dua akunku (bisa dicari, id: Zahid Akbar). Eh, tapi, bagaimana jika cerita Gaara dan Matsuri diangkat menjadi side story? Mungkin akan menarik, ya. Bwehehe
Seperti biasa, tuliskan ulasan kalian di kolom komentar; masukan atas karya ini maupun karya-karya lainnya akan sangat berharga sekali. Itu karena anggitanku masih jauh dari kata 'memuaskan' dan sedikit di atas kata 'memuakkan'. (lah?! :v)
Sampai jumpa di karya saya yang berikutnya.
.
.
.
~sincerely,
Hasan Kabar
