Disclaimer: NARUTO belongs to MASASHI KISHIMOTO

Setting: AU(Alternate Universe)

Warning: PUEBI masih kacau, diksi semrawut, konten islami

Embun chap 1

.

.

.

Ganjil.

Begitulah isi kepala Hinata ketika melihat lelaki di hadapannya. Rambut pirang, mata biru jernih, dan tiga guratan tipis di pipi mirip kumis kucing. Secara fisik, Naruto Uzumaki memang sangat menarik. Namun, ada satu hal yang menjadi tanda tanya bagi Hinata.

Mengapa sejak memasuki ruangan ini Naruto tak berani mengangkat kepalanya?

"Uzumaki-san, angkat kepalamu," ujar Hinata seraya membolak-balik data diri Naruto.

Naruto adalah seorang pria berumur dua puluh lima tahun, tiga tahun lebih tua daripada Hinata. Kampung halamannya terletak di Uzushiogakure, kota sejauh seratus tiga puluh dua kilometer dari Konoha. Ia memperoleh gelar sarjana di bidang arsitektur. Pernah bekerja di beberapa tempat—

"Kau belum pernah bekerja di perusahaan besar?!"

Sekalipun ditatap seperti itu, Naruto tetap tidak bergeming. Pandangan matanya terus saja terarah ke lantai. Seakan deretan marmer indah itu lebih menarik dibandingkan dengan paras ayu sang calon bos.

"Uzumaki-san!"

"Maaf, Hyūga-dono," ujar Naruto. "Sebenarnya saya sudah berkali-kali melamar pekerjaan pada beberapa perusahaan. Alhamdulillah, belum ada satu pun yang diterima."

Kepala Hinata berdenyut nyeri. Lantas bagaimana bisa bagian personalia menerima lelaki ini begitu saja? Apa mereka tidak tahu kalau pengalaman Naruto di dunia kerja itu nol besar? Mau jadi apa perusahaan ini?

Tiba-tiba si nona Hyūga teringat sesuatu.

"Kau bisa bekerja cepat, Uzumaki-san?"

Naruto berpikir kalau ia akan diterima. "In syaa Allah saya akan berusaha jika hal itu diperlukan, Hyūga-dono."

Sebuah map dilemparkan di atas meja. "Ada konsep bangunan yang dikacaukan salah satu anak buahku. Aku mau kau memperbaikinya dalam sehari. Jika berhasil kau akan diterima di perusahaanku."

Mata Naruto terbelalak saat melihat rancangan itu. Diperbaiki dalam waktu sehari adalah hal yang mustahil. Akan tetapi, lelaki berkulit cokelat ini tak akan menyerah begitu saja. Ia yakin Allah pasti akan membantunya.

"Saya akan berusaha, Hyūga-dono." Naruto mengambil map itu. Setelah membungkuk hormat, batang hidung si Pirang tak terlihat lagi.

Hinata bertopang dagu menatap langit Konoha yang berselimutkan awan tipis. "Mari kita lihat sejauh apa kemampuanmu, Naruto Uzumaki."

~o0o~

"Wah, kau kejam sekali, Hinata."

Kalimat sarkatis itu dengan santainya diucapkan oleh seorang Sakura Haruno, atau bisa dibilang Sakura Uchiha. Ia merupakan salah satu teman dekat Hinata. Mereka bersahabat sejak kelas satu SMP.

"Aku hanya ingin tahu keahliannya saja, Sakura," kilah Hinata sambil menyeruput milkshake blueberry-nya. Jenuh dipandangi terus-terusan si nona Hyūga mengaku, "oke, sebenarnya aku sedang kesal. Jadi, kulampiaskan saja kekesalanku pada lelaki itu."

"Bagaimananapun juga aku kasihan dengan lelaki itu," tukas Ino Yamanaka. "Belum resmi bekerja saja sudah mendapatkan pekerjaan seberat itu. Bagaimana nanti jika ia jadi pegawai tetapmu?"

"Malah bagus 'kan? Aku jadi bisa tahu kinerjanya. Dari sana aku juga bisa menilai para pegawai bagian personalia itu." Hinata tanpa ampun menyeruput milkshake itu hingga tandas. "Apa mereka tidak tahu kalau lelaki itu hanya pernah bekerja di konbini dan kedai ramen?!"

"Ha?!" Baik Ino maupun Sakura sama-sama terbelalak.

"Kalian saja saat mendengarnya tidak percaya. Kepalaku nyaris meledak saat melihat CV lelaki itu. Sungguh membuat frustasi."

"Demo, Hinata. Bagaimana jika lelaki itu berhasil menaklukan tantanganmu?" sang nyonya Uchiha tersenyum penuh arti.

Inilah yang tidak Hinata persiapkan. Ia hanya memikirkan kalau Naruto tidak akan pernah bisa menyelesaikan tugas itu. Sama sekali tidak terlintas di benaknya jika seandainya Naruto berhasil.

"Ah, aku tidak peduli! Ia pasti gagal!"

~o0o~

Salah satu kemungkinan yang Hinata pikirkan menjadi kenyataan. Naruto berhasil menyelesaikan rancangan itu tepat waktu. Terlebih lagi, desain yang tergambar di kertas itu adalah desain yang ia inginkan. Para investor juga pasti akan menyetujui pembangunan resort jika memakai desain ini.

"Bagaimana Hyūga-dono?" Kelopak mata bagian bawah Naruto membengkak juga menghitam. Pupilnya sedikit memerah. Hinata merasa tidak sanggup melihat raut kekecewaan di wajah pria itu.

"Haah … Kau diterima di perusahaan kami, Uzumaki-san." Dengan berat hati Hinata mengucapkan kalimat itu. "Terima kasih atas kerja kerasmu. Kau bisa mulai bekerja dengan normal besok."

Kening Naruto berkerut. "Besok? Tidak sekarang, Hyūga-dono?"

Hinata memalingkan wajah. "Bagaimana bisa aku memperkerjakanmu di hari pertama? Penampilanmu saja berantakan begitu. Cepat pergi dan beristirahat, Uzumaki-san. Sebelum aku berubah pikiran dan menolak lamaran pekerjaanmu."

Binar bahagia tampak di wajah Naruto. "Arigatou gozaimashita, Hyūga-dono." Setelah membungkuk sopan, lelaki pirang itu undur dari hadapan Hinata.

Sepeninggal Naruro, entah mengapa hati Hinata berdesir melihat wajah semringah lelaki itu. Kedua pipinya terasa menghangat beberapa derajat, padahal penyejuk ruangan sedang menyala. Senyuman manis terpatri di bibir gadis bermanik bening itu. Perasaan seperti ini hanya ia rasakan pada kekasihnya beberapa tahun lalu.

"Siapa kau sebenarnya, Naruto Uzumaki? Mengapa kau bisa membuat hatiku berdebar-debar seperti ini?"

~o0o~

"Assalaamu'alaikum. Tadaima, jii-san, nee-san!"

"Oh, Naruto!" seru seorang lelaki gempal mengenakan pakaian serba putih khas koki. "Wa'alaikumussalaam, okaeri! Bagaimana dengan pekerjaanmu?"

Sambil tersenyum lembut Naruto menjawab, "alhamdulillah, aku diterima, jii-san."

"Wah, ada Naruto rupanya." Seorang perempuan ayu menginterupsi pembicaraan keduanya. "Biar kutebak, kau berhasil mendapatkan pekerjaan itu?"

"Alhamdulillah, Ayame nee-san." Naruto meneguk segelas air putih. "In syaa Allah mulai besok aku akan bekerja. Namun, jangan khawatir. Selepas dari sana aku akan bekerja juga di sini."

"Lebih baik kau fokus pada pekerjaan barumu, Naruto," ujar Ayame. "Masih ada aku dan ayah. In syaa Allah, kami masih sanggup mengurusnya berdua."

"Tapi—"

"Putriku benar, Nak," timpal sang lelaki tambun. "Tugas pertamamu saja sudah seberat itu. Bagaimana dengan tugas berikutnya? Selain itu, kau perlu beristirahat. Matamu tidak bisa membohongi kami."

Naruto menguap lebar, tetapi mulutnya masih tertutup dengan telapak tangan. "Baiklah kalau begitu. Tapi, sebentar lagi zuhur. Aku takut jika beristirahat sekarang aku akan ketinggalan salat, Teuchi jii-san."

Lelaki paruh baya itu mendesah. "Aku mengerti. Bantu Ayame mengantarkan pesanan-pesanan ini, Naruto. Ingat! Hanya sampai waktu zuhur tiba. Setelah itu kau harus makan siang dan beristirahat."

"Siap, Ojii-san!"

~o0o~

"Aku tidak mau!"

Hinata merasa jemu. Ayolah, ini sudah kesekian kali ia dijodohkan dan berulang kali juga ia menolaknya. Ini abad kedua puluh. Apakah ia dinilai tidak cukup dewasa untuk mencari pasangan hidupnya sendiri?

"Hinata, ini demi kebaikanmu." Ibunya, Hikari Hyūga, membujuk sang putri. "Usiamu sudah pas untuk menikah. Selain itu, ibu tidak pernah melihatmu membawa seorang pria sejak si … kau tahulah."

Hikari memilih untuk tidak menyebut nama mendiang mantan kekasih Hinata.

"Ibu, aku hanya belum menemukan pengganti Sasori-kun," ujar Hinata dengan berat hati. Sudah sekian lama nama itu tak terucap oleh bibirnya. "Lagipula, jika aku mencari kekasih bagaimana dengan perusahaan kita? Aku tidak ingin hasil kerja keras ayah terbengkalai sia-sia."

Hiashi sungguh senang mendengar kalimat tersebut. Akan tetapi, ia tidak ingin melihat sang putri terkungkung dengan pekerjaan. Pria kalem itu ingin Hinata menggapai kebahagiaannya sebagai seorang wanita.

"Sudah banyak kolega ayah yang menanyakan dirimu, Hinata." Hiashi akhirnya memutuskan untuk ikut dalam pembicaraan. "Kami pada awalnya tidak mau memaksamu. Tapi, jika kau terus mengelak maka apa boleh buat. Minggu depan akan ada salah satu anak kolega ayah yang berkunjung kemari. Bersikaplah yang sopan padanya."

Mendengar kalimat itu Hinata sungguh ingin menghilang dari dunia sekarang juga.

~o0o~

Keputusan untuk menerima Naruto tidak bisa dibilang buruk. Sebaliknya, Hinata bersyukur lelaki itu bisa bekerja di perusahaannya. Banyak inovasi yang lahir dari kepala pirang tersebut. Para investor juga berdatangan untuk membuat kontrak kerja sama.

Namun, masih ada beberapa hal yang mengganjal di pikiran Hinata mengenai Naruto. Salah satunya adalah sikap lelaki itu.

"Ah, itu benar, Hyūga-sama," ucap salah satu pegawai wanita. "Uzumaki-san hanya berbicara kepada kami jika diperlukan. Selebihnya ia akan menganggap kami seperti tidak ada."

"Satu lagi, Hyūga-sama," timpal pegawai wanita lain. "Beberapa waktu lalu, kami mengajak seluruh pegawai di sini bersenang-senang di salah satu restoran Yakiniku. Tapi, Uzumaki-san dengan halus menolak tawaran itu. Ia juga menolak tawaran kami untuk pergi ke tempat karaoke."

Mendengar percakapan mereka seorang pegawai laki-laki ikut menimbrung, "selepas makan siang Uzumaki-san tidak langsung pergi ke kantin untuk makan, Hyūga-sama. Biasanya ia akan pergi ke ruangan OB. Oh, ia juga pergi ke sana saat kita mau tutup."

Untuk membuktikan kebenaran informasi itu, Hinata sengaja untuk pulang terlambat hari ini. Ia menyuruh Izumo, sopir pribadinya, untuk menunggu di lobi. Sementara itu gadis berkulit putih ini mengamati dari jauh ruangan OB(Office Boy).

Tepat seperti yang dikatakan, Naruto tiba. Lengan kemejanya tersingsing hingga siku. Celana hitamnya tergulung sampai pertengahan betis. Sepasang pantofel hitam mengilat tertenteng di lengan. Wajah, rambut, lengan, dan kaki basah.

Setelah pintu tersebut tertutup, Hinata mengendap-endap layaknya pencuri menghampiri ruangan. Gadis itu menggeser pintu perlahan. Alangkah terkejutnya Hinata ketika mendapati apa yang dilakukan Naruto di ruangan ini.

Lelaki pirang itu berdiri tegap dengan tangan bersedekap di depan dada. Mulutnya komat-kamit membaca sesuatu yang tak bisa Hinata dengar. Kedua safir jernihnya menghujam lurus ke tanah.

"Lho, Hyūga-sama …? Sedang apa Anda di sini?"

Seorang OB memakai kacamata hitam sedang menenteng sebatang sapu dan sebuah pel. Alisnya naik sebelah. Tidak biasanya ia mendapati pemimpin perusahaan ini mau menengok tempat beristirahatnya para pramuwisma.

"Apa yang dilakukan Uzumaki-san di tempat ini?"

Sang OB melirik objek pembicaraan mereka. Detik berikutnya ia manggut-manggut paham. "Anda bisa memanggil saya Ebisu. Dan Uzumaki-san sedang beribadah, Hyūga-sama."

"Beribadah?"

Ebisu membetulkan letak kacamatanya. "Hari pertama ia masuk kerja, Uzumaki-san masuk ke ruangan ini waktu istirahat makan siang tiba. Ia meminta izin apakah boleh jika ia menggunakan tempat kami untuk beribadah. Awalnya kami ragu. Namun, setelah berulang kali memohon akhirnya kami menyetujuinya. Uzumaki-san bahkan menawarkan diri untuk membantu kami membersihkan seluruh kantor selepas para karyawan pulang."

Naruto sampai bertindak seperti itu hanya untuk beribadah? batin Hinata.

"Arigatou gozaimasu, Ebisu-san." Naruto membungkuk sopan pada karyawan senior itu. "Mana sapu— Lho? Hyūga-dono?"

"Besok pagi datang ke ruanganku, Uzumaki-san!" perintah Hinata sambil melangkahkan kaki. "Kau harus menjelaskan semuanya padaku. Ingat itu!"

Cepat atau lambat, Naruto sudah menebak kalau hal seperti ini akan terjadi. Ia memasrahkan semuanya kepada Allah. Semoga ini tidak serumit yang ia duga.

~o0o~

"Jadi, kau punya kewajiban beribadah lima kali dalam sehari?"

Bisa dibilang Hinata memiliki waktu lebih luang dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Oleh karena itu, sang nona Hyūga mau repot-repot bertanya(baca: menginterogasi) Naruto. Ia juga penasaran dengan semua tindak-tanduk lelaki yang memiliki tiga guratan halus di kedua pipinya tersebut.

"Benar, Hyūga-dono."

"Dari laporan yang aku terima kau jarang sekali berinteraksi dengan pegawai perempuan. Apakah kami membuatmu tidak nyaman?"

Naruto menelan ludahnya. Kata ganti "kami" merujuk juga pada sang bos. Ia tidak mau dicap sebagai pegawai kurang ajar. Setelah memilah kalimat yang tepat dan tidak menyinggung, lelaki bermanik safir itu berkata, "aturan di keluarga saya mengatakan kalau seorang laki-laki dewasa lebih baik membatasi pergaulan dengan lawan jenis. Perempuan juga berlaku sebaliknya, Hyūga-dono."

Hinata terperanjat kaget. Belum pernah ia mendengar aturan semacam itu. "Mengapa?"

"Mohon maaf, Hyūga-dono." Sama seperti pertama kali menginjakkan kaki di ruangan ini Naruto terus saja menunduk. "Saya akan memberi sebuah permisalan. Jika saya adalah seorang rakyat jelata, apakah boleh saya berinteraksi dengan seorang putri raja begitu saja?"

"Tentu saja tidak boleh."

"Begitulah aturan yang berlaku di keluarga saya. Saya menganggap lawan jenis yang bukan termasuk keluarga seperti itu, Hyūga-dono."

Diperlakukan layaknya seorang putri raja? Walaupun bukan hanya tertuju pada dirinya, entah mengapa Hinata tak bisa menahan diri untuk tersenyum. "Lalu, kenapa kau menolak ajakan karyawan lain untuk pergi ke restoran yakiniku? Kau juga menolak tawaran mereka untuk pergi ke tempat karaoke?"

"Ada makanan yang bisa saya makan dan ada makanan yang tidak bisa saya konsumsi, Hyūga-dono," ujar Naruto kalem. "Selain itu, kedua tempat tersebut menyediakan minuman keras. Saya takut jika saya mabuk, meskipun tidak disengaja."

Alis Hinata naik sebelah. "Kau belum pernah mabuk?"

"Belum pernah, Hyūga-dono."

"Merokok?"

"Saya belum pernah melakukannya juga, Hyūga-dono."

Bukan perokok ataupun pemabuk. Satu nilai plus bagi Naruto di mata Hinata.

"Mengapa kau pilih-pilih soal makanan?"

"Saya memilih makanan yang sesuai dengan aturan keluarga saya, Hyūga-dono." Naruto akui untuk menjelaskan perkara halal dan haram ia perlu ekstra hati-hati agar sang lawan bicara tidak tersinggung. "Mulai dari sumber makanan tersebut sampai cara pengolahannya. Hal itu ditujukan supaya makanan berkah, sehat, dan higienis."

Hinata tertarik mendengar penuturan Naruto. "Kalau begitu, bisa kau bawakan masakan sesuai aturan keluargamu? Aku ingin mencobanya."

Beruntung Naruto pernah bekerja di warung ramen milik Teuchi jii-san. "Anda bisa mencoba ramen di kedai bernama Ichiraku. Saya pernah bekerja di sana."

"Sebentar lagi jam makan siang." Hinata melirik jam tangan mewah di pergelangan kirinya. "Pesankan aku semangkuk ramen dari sana. Jika kau melakukannya, aku akan menganggap pembicaraan hari ini tidak pernah ada. Kau mengerti, Uzumaki-san?"

Naruto semringah. "Baik, Hyūga-dono."

~o0o~

"Hyūga-dono, ini pesanan anda."

Hanya satu orang yang memanggil Hinata seperti itu di kantor. Si empunya nama menoleh dan mendapati Naruto sedang membawa nampan berisi semangkuk ramen yang dibungkus plastik.

Si Pirang meletakkan semangkuk ramen di atas meja dengan hati-hati. Ia membuka plastik penutup. Tak lupa dua bilah sumpit disodorkan kepada sang atasan. "Selamat menikmati hidangan Anda, Hyūga-dono."

Belum sempat Naruto berbalik, Hinata menyergah, "tunggu dulu, Uzumaki-san!"

"Ada lagi yang anda perlukan, Hyūga-dono?"

Hinata membelah kedua sumpit kayu itu menjadi sama panjang. "Bagaimana jika makanan ini tidak enak?"

Naruto tertawa. "In syaa Allah, ramen itu higienis dan aman, Hyūga-dono. Saya jamin Anda akan ketagihan begitu mencobanya.

"Masalahnya … aku belum pernah makan ramen …," cicit Hinata.

"Baiklah kalau begitu, Hyūga-dono. Jika tidak enak, Anda boleh meminta saya untuk memesan makanan baru," tawar Naruto.

Ragu-ragu Hinata menyumpit sejumpit mie yang menguarkan bau sedap itu. Sambil memejamkan mata ia memasukkan makanan itu ke mulut.

Detik berikutnya, Hinata menyesal telah menuduh Naruto yang tidak-tidak. Ramen ini enak sekali. Tekstur mienya lembut dan kenyal. Bumbunya begitu kaya, meresap hingga ke tiap incinya. Tanpa ragu sang nona Hyūga memakan ramen itu bak orang kelaparan. Tak membutuhkan waktu lama ramen tersebut habis tak bersisa.

"Bagaimana, Hyūga-dono?"

Melihat Naruto yang sedang menahan tawa membuat wajah Hinata merah padam. "Y-ya, kau benar …. Ramen itu enak, sangat enak …."

"Kalau begitu," Naruto memungut mangkuk ramen, "saya permisi dulu, Hyūga-dono."

Setelah batang hidung lelaki itu tak terlihat lagi, Hinata bertopang dagu melihat pemandangan di luar jendela. Senyum indah merekah di wajah cantiknya.

Klek! Pintu terbuka. Suara hak sepatu beradu dengan lantai semakin lama semakin nyaring, pertanda kalau si empunya mendekat. Akan tetapi, sang nona Hyūga tetap bergeming. Bahkan, jika diperhatikan di kedua pipi putih tersebut ada rona merah yang begitu kentara.

"Hyūga-sama?" Yūki Hotaru melambaikan tangan kanannya di depan muka sang atasan.

"Eh?" Hinata terkesiap. "Ah, ada apa, Hotaru-san?"

"Ada seorang tamu yang ingin menemui Anda. Dia bilang kalau ia adalah calon tunangan Anda."

Seketika Hinata memberengut.

~o0o~

"Tempat ini sungguh menakjubkan, Hinata-chan."

Jujur saja, sang nona Hyūga dongkol mendengar panggilan itu. Kesannya terlalu mendayu-dayu. Toneri Ōtsutsuki, nama lelaki di hadapannya ini, jelas sudah tersingkir dari kandidat calon pendamping hidupnya. Namun, Hinata teringat petuah sang ayah bahwa ia harus bersikap sopan demi menjaga nama baik keluarga.

"Te-terima kasih atas sanjungannya, Ōtsutsuki-san," balas Hinata.

"Oh, ayolah. Jangan terlalu formal begitu." Toneri melambaikan tangannya di depan. "Umur kita tidak terlalu jauh berbeda, Hinata-chan. Lagipula, bukankah kita akan bertunangan dalam waktu dekat?"

Urat di pelipis Hinata berkedut. Selain memiliki gombalan yang receh, lelaki berambut putih kebiruan ini mempunyai tingkat kepercayaan diri di ambang batas normal. Sang nona Hyūga tidak mau anaknya kelak mewarisi ke-pede-an pria ini.

"Mohon maaf, saya masih memerlukan waktu untuk berpikir, Ōtsutsuki-san. Ini adalah pernikahan, hal yang sakral. Menentukan nasib kebahagiaan kedua pasangan. Akan lebih bijak jika saya menimbang-nimbang baik-buruknya terlebih dahulu."

"Yah, kau tidak akan bisa menolak pesonaku, Hinata-chan." Toneri mengerling pada gadis bersurai indigo itu. "Hanya tinggal menunggu waktu sebelum kau—"

"Hotaru-san!"

"—jatuh ke pelukannku."

Naruto berlari menghampiri mereka bertiga. Lelaki bermanik safir itu hanya menyadari keberadaan sekretaris Hinata tanpa memerhatikan sekelilingnya. Ia membawa sebuah map berisi arsip-arsip penting. "Rancangan bangunan ini memerlukan pengesahan direktur. Bisakah Anda—"

Belum selesai si Pirang menjelaskan, Hinata sudah menyabet lembaran arsip tersebut dari tangan Naruto. "Mohon maaf saya tidak bisa menemani Anda lebih lama, Ōtsutsuki-san. Silakan berkunjung ke rumah pekan depan. Mungkin saat itu saya sudah menemukan jawaban atas lamaran Anda. Permisi."

Sepeninggal Hinata dan Yūki, baik Naruto maupun Toneri sama-sama terdiam. Merasa tidak ada lagi yang perlu dilakukan Naruto bergegas pergi dari sana, meninggalkan Toneri yang mencak-mencak tidak karuan di koridor yang sepi.

~o0o~

"Sasori-kun, aku minta maaf baru datang setelah sekian lama."

Hinata meletakkan dua batang dupa di pedupaan. Kedua telapak tangannya terkatup, mulutnya komat-kamit berdoa. Sebuah foto lelaki berambut merah pekat dibalut pigura bersandar di batu nisan.

"Ne, Sasori-kun. Apa yang harus kulakukan?" Jemari lentik Hinata membersihkan pigura yang sedikit kotor. "Ayah berniat menjodohkanku dengan seseorang yang tidak kukenal. Menurutmu aku harus bagaimana?"

Dulu sewaktu mendiang Sasori masih hidup Hinata sering sekali menceritakan segala keluh kesahnya kepada pria itu. Mulai dari hal sepele hingga masalah serius seperti karirnya. Oleh karena itu, setiap kali datang ke makam Sasori sang nona Hyūga selalu mencurahkan isi hatinya, walaupun ia tahu tak akan ada balasan yang ia terima.

"Selain itu, aku bertemu dengan seorang lelaki. Kalau dibandingkan denganmu tentu kau lebih tampan, Sasori-kun. Hihi …. Apakah kau cemburu?"

Tak jauh dari sana, Izumo memerhatikan sang majikan dengan pandangan sendu. Masih terlihat jelas di mata Hinata tatapan penuh damba. Sudah sekitar dua tahun Sasori berpulang, tetapi namanya tak lekang dari ingatan sang nina Hyūga.

"Menurutmu apakah aku boleh jatuh cinta sekali lagi?" Hujan perlahan turun membasahi bumi. Namun, Hinata urung untuk berteduh. "Selama ini duniaku hanya terpusat padamu, Sasori-kun. Saat aku menemukan poros baruku, apakah aku boleh meninggalkanmu? Apa aku bisa mencari penggantimu?"

"Tentu Anda bisa, Ojou-sama," timpal Izumo sembari mendekati sang majikan. Sebuah payung terbuka lebar, siap menaungi tubuh yang terlanjur basah itu. "Mohon maaf jika saya lancang. Menurut saya, Sasori-sama juga tidak akan senang jika Anda terus-terusan begini. Sasori-sama pasti ingin Anda bahagia. Oleh karena itu, kejarlah kebahagiaan Anda, Ojou-sama!"

Hinata terpaku mendengar kalimat itu. Ia teringat jika kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Sasori adalah harapan agar sang nona Hyūga bahagia. Dengan demikian, ia harus bisa move-on dan mencari kebahagiaannya sendiri.

"Kau benar, Izumo-san. Terima kasih sudah menyadarkanku."

"Itu sudah menjadi kewajiban saya, Ojou-sama."

~o0o~

"Mohon maaf, Toneri-san. Setelah berpikir masak-masak, saya tidak bisa menerima lamaran Anda."

Hinata mengatakan kalimat tersebut tanpa keraguan. Hiashi terdiam; Hikari mendesah kecewa; Hanabi, adik Hinata, hanya tersenyum simpul.

Hamura Otsutsuki, kakek dari Toneri, mencoba bernegosiasi kembali. "Apakah keputusan itu sudah bulat?"

Sang sulung Hyūga mengangguk mantap. "Itu hasil pertimbangan saya dua minggu terakhir. Dan ya, itu sudah bulat. Sekali lagi, mewakili keluarga saya mohon maaf tidak bisa menerima lamaran cucu Anda, Otsutsuki-dono. Saya harap cucu Anda menemukan perempuan yang lebih baik dari saya."

Pria paruh baya itu lantas berdiri. "Baiklah kalau begitu. Kami harus pergi. Senang bisa mengenal gadis baik dan sopan sepertimu, Hinata-san." Hamura beranjak dari tempat itu, disusul Toneri yang terlihat dongkol setengah mati.

Sepeninggal keluarga Otsutsuki tidak ada satu pun yang berbicara. Ruang tamu tersebut hening hingga Hikari membuka suaranya. "Hinata, ibu dan ayah sama sekali tidak ingin mendesakmu. Namun, kalau seperti ini terus kapan kami menggendong cucu? Usia kami sudah tidak muda lagi, Hinata."

"Ibu, Ayah, aku sudah berhasil move on dari Sasori-kun." Hinata menggenggam telapak kedua orang tuanya. "Kumohon … untuk urusan pendamping hidup biar aku yang mencarinya sendiri. Ini demi kebaikanku dan kebaikan kita bersama."

"Kau sudah mempunyai calon?" tanya sang ibu.

"Jika orang itu bukan dari orang berada seperti kita, apakah Ayah dan Ibu mau menerimanya?"

"Selama dia bisa membuatmu bahagia," Hiashi menimpali, "kami akan menerimanya."

~o0o~

"Aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan padamu, Uzumaki-san."

Hinata mengatakan hal itu sambil membolak-balik pekerjaan si Pirang. Memuaskan seperti biasa. Tak hanya mereka berdua, ada Yūki Hotaru juga di sana. Sekretaris perusahaan itu ingin undur diri. Akan tetapi, Naruto keburu mencegahnya dengan alasan tak nyaman berduaan dengan sang direktur dalam satu ruangan.

"Aku melihat kalau kau cukup rajin beribadah. Mengapa?"

Naruto mengeryitkan dahi. Bukankah beberapa waktu lalu sang atasan berjanji tidak akan mengungkit hal ini? "Kalau boleh dikatakan itu memang sudah menjadi kewajiban kami, Hyūga-dono. Namun, bagi saya sendiri beribadah merupakan salah satu kebutuhan hidup. Sama seperti mengasup makanan atau beristirahat."

"Apa yang kau dapat dari beribadah?"

"Mohon maaf jika saya bertanya kembali. Hyūga-dono, jika kita mencintai seseorang, bukankah kita akan melakukan hal-hal yang disenanginya?"

"Tentu saja," ujar Hinata.

"Saya menganggap Tuhan yang saya sembah seperti itu." Wajah Naruto terlihat sedikit semringah saat membicarakan hal ini. "Saya beribadah hanya mengharap cinta dan kasih sayang-Nya. Sesederhana itu, Hyūga-dono."

Baik Hinata maupun Yūki merasa kagum dengan lelaki di hadapan mereka ini. Tak banyak orang seperti Naruto hidup di Konoha. Biasanya mereka menganggap ibadah hanya sebagai bentuk formalitas atau sekedar adat-istiadat. Akan tetapi, konsep tentang mencintai Tuhan benar-benar tak disangka juga menarik.

"Boleh kau beritahu apa nama agamamu, Uzumaki-san?"

"Islam, Hyūga-dono. Saya seorang muslim."

~o0o~

"Begitu rupanya …."

Jam di dinding kamar Hinata telah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, si empunya ruangan tidak berniat sedikit pun untuk mengistirahatkan tubuh. Dengan posisi duduk di atas nakas dan ditemani laptop tipis hadiah ulang tahunnya yang kesembilan belas, ia asyik berselancar di dunia maya, mencari informasi tentang agama Islam.

Banyak hal yang ia dapatkan. Mulai dari latar belakang Islam, beberapa syariat umum bagi pemeluknya, hingga zaman keemasan Islam. Sang nona Hyūga juga mendapati beragam komentar tentang agama ini dari orang-orang non-muslim.

Ternyata, Islam pernah berjaya di masa lalu. Luas wilayah kekuasaan kekhalifahan Abbasiyah saja mencapai dua pertiga dunia. Beberapa wilayah di eropa seperti Spanyol dan Portugal pernah menjadi salah satu saksi bisu betapa digdayanya kekhalifan Islam di masa itu. Sungguh merupakan sebuah prestasi mengingat jarak dari semenanjung Arab menuju benua biru amatlah jauh.

Islam juga memiliki cendekiawan yang tak kalah hebat. Di antaranya: Al Khawarizmi, penemu konsep dari aljabar, Abu Bakar Muhammad Ar Razi, penemu asam sulfur, pencetus ide tentang operasi syaraf dan operasi mata, Jabir ibn Hayyan, ahli di bidang kimia yang menyempurnakan proses kristalisasi, distilasi, kalsinasi, sublimasi, serta penguapan, dan masih banyak lagi. Beberapa konsep dari para cendekiawan muslim tersebut bahkan masih digunakan hingga sekarang.

Jam berdentang dua belas kali, pertanda hari sudah mulai berganti. Hinata mematikan laptop. Kedua matanya sudah tidak bisa diajak berkompromi. Badannya mulai terasa kaku. Besok ia juga harus bekerja.

Biasanya seusai makan malam bersama keluarga, pukul sembilan malam tepat sang nona Hyūga akan langsung tertidur. Akan tetapi, rasa penasarannya terhadap Naruto seolah menghilangkan kelelahannya setelah bekerja seharian. Ia ingin mencari tahu segala hal tentang lelaki itu.

"Anda bisa mencoba ramen di kedai bernama Ichiraku. Saya pernah bekerja di sana."

Salah satu petunjuk tentang si Pirang terlintas di kepala, membuat Hinata taksabar menunggu pagi tiba.

.

.

.

Tsudzuku …

.

Karya pertama saya di fandom ini. Moga para pembaca berkenan memberikan ulasan, kritik mengenai tanda baca, typo, dan saran agar saya bisa mengembangkan kemampuan menulis sehingga ke depannya bisa lebih baik lagi.

Ngomong-ngomong, saya juga punya akun lain. Silakan ditelusuri untuk membaca hasil imajinasi saya. Zahid Akbar

Sampai jumpa di karya saya berikutnya

.

.

.

~sincerely,

Hasan Kabar.