Malam menjelang, bulan beserta kawan baiknya—bintang telah muncul untuk menggantikan sang surya yang akan menerangi tempat lainnya.

Seiring bertambahnya gelap, bertambah pula suara jangkrik yang mengerik memecah hening.

Kediaman Daikaku tampak lenggang. Namun jauh berbeda dengan atmosfir tegang di ruang tengah.

Ichiro dan Jiro duduk mengapit Saburo ditengah. Didepan mereka, Daikaku dan Miwa tengah menyeruput teh.

"Jadi... Darimana kau tau jika Saburo hamil?" Ichiro memberanikan diri membuka suara. Tadi setelah Miwa mengucapkan pertanyaan yang bagi mereka dapat menyebabkan gempa bumi–okay itu lebay. Tapi benar benar mengejutkan dan Ichiro yang panik langsung meminta tolong Kuroh untuk membelikan testpack. Dan hasilnya benar benar mengejutkannya. Positif!

"Hm? Bukankah hal itu terlihat jelas? Bau feromonnya berbeda."

"Hah?" Ichiro melongo, Jiro yang baru menyadari sedikit perubahan bau feromon adiknya langsung mengendus perpotongan lehernya.

"Baumu memang sedikit berbeda, Saburo. Tapi kupikir itu karena sabun yang kau pakai..."

Saburo mendelik, menyentuh lehernya yang barusaja diendus Jiro dan merapat pada Ichiro. "JA-JANGAN MENGENDUSKU!"

Ichiro tidak terlalu ambil pusing pertengkaran kedua adiknya. Sudah biasa. Yang jelas... Jika Saburo hamil, berarti usia kandungannya sudah berusia sekitar 3 bulan.

"Apa kau sama sekali tidak merasakan sedikit perubahan pada adikmu, Ichiro? Perutnya yang sedikit membesar, misalnya? Atau moodnya yang mudah berubah?" Daikaku bertanya serius. Jika Saburo benar sedang hamil, maka mereka harus secepatnya memberi tau sang alpha.

"Em... Aku memang merasakan ada yang sedikit berubah darinya. Ia lebih sering menempel pada Jiro. Tapi aku tak sampai berpikir bahwa ia... Ia..." Ichiro menunduk. Kalut dengan semua hal yang berhubungan dengan adik adiknya.

"Ssh, tak apa, Ichiro, tak apa, itu bukan salahmu." Daikaku berdiri, memutar dan menepuk pundak Ichiro. "Semua itu bukan kebetulan. Walaupun kau menentangnya, semuanya akan tetap seperti ini. Karena ini adalah takdir."

"Daikaku-san, aku rasa kami akan kembali pulang ke Ikekuburo besok." Jiro yang sedari tadi terdiam lantaran tidak percaya bahwa ia melewatkan hal sepenting itu akhirnya membuka mulut, membuat tatapan semuanya terarah padanya. "Niichan, kita tidak bisa selamanya bersembunyi. Cepat atau lambat, baik kuso ona maupun geng Yokohama itu pasti akan menemukan kita."

Ichiro mengangguk mengiyakan. Lebih cepat lebih baik. Toh, Saburo sudah meminta untuk pulang tadi.

"Baiklah, kita pulang besok." ucapnya final.

.

.

.

.

Hypnosis Mic bukan punyaku. Mereka punya King Record.

Dibuat untuk menambah asupan karena asupan MTCxBB mulai (sangat) berkurang. Dan tentu saja, bersenang senang.

Typo dan OOC mohon dimaafkan. (Ah, juga, aku benar benar minta maaf atas keterlambatan updatenya. RLku benar benar menyusahkan hingga aku tak ada tenaga untuk ngetik.)

Happy Reading.

.

.

.

.

Yamada bersaudara baru saja keluar dari kediaman Daikaku dan akan memasuki mobil jika saja suara seseorang tidak mencegah mereka.

"Buster Bros. Rupanya kalian bersembunyi disini selama ini."

Ketiganya mendadak kaku. Suara ini...

"Bersembunyi di wilayah netral dan meninggalkan rap battle begitu saja selama 3 bulan... Hebat sekali." wanita yang kita kenal bernama Otome itu tersenyum kecil. Begitu menawan namun beracun.

"K-kau! Bagaimana bisa kau—"

"Tentu saja dengan memanfaatkan sistem keamanan yang tersebar dimana mana. Untungnya, divisi Yokohama juga membutuhkan waktu untuk melacak kalian." senyum berubah menjadi seringai, dan Ichiro cepat cepat menyembunyikan kedua adiknya dibalik punggung.

"Apa yang kau inginkan?!"

"Tidak ada, hanya ingin melihat apa yang akan kalian lakukan selanjutnya." wanita itu berbalik pergi dengan tangan bertautan dibalik punggung, tampak menyerah tapi Ichiro tau bahwa tak semudah itu. "Dan kusarankan, gugurkan saja bayi itu. Divisi Yokohama dan divisi Ikekuburo tak akan pernah berdamai."

Saburo didalam rengkuhan Jiro membatu. Jika divisi mereka tak akan pernah berdamai maka—

"Hei, kuso ona." Jiro memanggil dengan datar. Membuat Ichiro dan Otome yang tersenyum sadis berbalik. "Kalau kau sebegitu bencinya dengan divisi Yokohama, bagaimana jika kau mencari rapper lain saja?"

"Ap—"

"Na, kuso ona, adikku ini telah bonding dengan salah satu member Yokohama. Dengan ini kau bisa membebaskan kami dan membiarkan kami menjadi warga sipil biasa bukan?"

Itu benar. Urusan dunia bawah memang bukan urusan mereka jika mereka adalah warga biasa. Mereka bebas berpergian kemanapun. Menikah dengan orang yang dicintai walaupun berbeda kota.

Otome tampak terkejut sebelum setelahnya tersenyum sombong. "Memang aku berminat begitu." lantas ia berbalik dan memasuki mobilnya. Meninggalkan Yamada bersaudara yang kini sibuk menenangkan adik bungsu mereka.

"Tenanglah Saburo, aku pasti akan membuat kalian bersama—"

"Ichinii, aku tidak mau meninggalkan kalian!" Saburo menjerit, ia mengeratkan cengkramannya pada baju Jiro. "Aku tidak mau... Bersama alpha itu... Aku hanya ingin bersama kalian."

Baik Ichiro maupun Jiro tidak sanggup merangkai kata. Tidak sanggup menolak. Karena bagaimanapun, Saburo adalah adik mereka. Seorang kakak tidak mungkin mampu menolak keinginan adiknya.

Menghela nafas, Ichiro mengangguk. Tapi ia akan menghack jaringan Yakuza Yokohama itu untuk menghentikan pencarian mereka.

"Ayo. Kita pulang ke Ikekuburo." ajaknya.

.

.

.

.

Mereka sampai dengan selamat. Saburo tertidur dengan memeluk lengan Jiro erat dan karena tak ingin membangunkan bocah itu, Jiro lagi lagi menggendongnya walau kali ini sedikit risih dengan feromon Saburo yang keluar tanpa pertahanan.

"Niichan... Feromon Saburo..." ia membisik pelan, tak ingin membangunkan Saburo di gendongannya.

"Keluar lagi? Aku membacanya di internet. Omega hamil memang kadang feromonnya keluar dengan tak teratur. Bawa Saburo kekamar, Jiro. Aku akan memasak untuk makan siang." Ichiro mengusap kepala Jiro, beralih ke kepala Saburo. Tatapannya menyendu.

"... Baik Niichan."

Hijau-merah masih menyendu. Sebenarnya sampai sekarang ia masih menyalahkan diri karena kelewatan tidak menyuntikkan obat pencegah hamil. Tapi Ichiro tidak tega mengatakannya pada Saburo yang tampak biasa saja. Entah bagaimana perasaan anak itu sekarang.

Belum lagi artikel yang tadi dibacanya. Omega laki laki yang hamil dibawah usia 18 tahun memiliki kesempatan hidup dibawah 5%. Tambahan, feromonnya akan keluar secara mendadak dan tak terkontrol jika terlalu jauh dari sang alpha.

Mengusap pipi—yang tanpa sadar telah basah—Ichiro beranjak ke dapur dan mulai memanaskan air. Mungkin setelah makan siang nanti mereka harus membeli beberapa bahan makanan. Tidak baik makan mie terus menerus. Apalagi 2 kali dalam sehari.

.

.

.

.

Yokohama.

Kota pelabuhan yang dikelilingi oleh badan militer, Mafia, Yakuza, dan orang berkekuatan aneh baik di lautnya maupun darat.

Samatoki Aohitsugi adalah salah satu dari 5 tangan kanan bos Yakuza yang beroperasi tidak hanya di Yokohama. Namun juga di beberapa tempat lainnya.

Dan sekarang... Dia tengah marah besar.

"OIIII! KUSO USAGI! BAGAIMANA BISA KAU BILANG JARINGAN KITA DI HACK?!" ia mengumpat kasar setelahnya karena Jyuto memukul kepalanya dengan setumpuk kertas.

"MANA AKU TAU BAKA SAMATOKI! YANG LEBIH PENTING, DIMANA RIOU?!?" Jyuto menatap rendah Samatoki saat pria albino itu menarik kerah kemeja putihnya.

"HAA?! KAU LEBIH MEMIKIRKAN RIOU DARIPADA—"

"Yamada bersaudara sudah kembali kerumah mereka." ucapan Jyuto membuat amarah Samatoki langsung surut. Padam.

Oh. Tunggu.

"Kau bilang mereka sudah kembali?"

Jyuto melepaskan cengkraman Samatoki pada kemejanya dan mengangguk. "Mereka baru saja kembali 2 jam yang lalu."

Samatoki diam sejenak sebelum Sasara Nurude—tangan kanannya—bertanya tenang, "Yamada Ichiro adalah hacker. Tidak... Semua Yamada itu pintar mencari informasi. Menurutmu apa mereka yang..."

"Meng hack jaringan kita." Samatoki tampak benar benar kesal. "Panggil Riou, Sasara, siapkan mobil. Kita ke Ikekuburo sekarang."

"Kau yakin pergi sekarang? Kita akan sampai sore—"

"Sudah lakukan saja!" Samatoki mengeluarkan rokok, menyulutnya kemudian menghisapnya kasar. "Aku benar benar ingin menghabisi bocah tengik itu. Berani beraninya mereka meng hack jaringan kita..."

"Siapa yang meng hack jaringanmu, Samatoki?"

"Riou!" Samatoki menyapa. Ia membuang rokoknya diatas asbak, memeluntirnya dan menekannya hingga tak berbentuk. "Kemana saja kau?"

"Shoukan baru saja menerima telfon dari atasan." Riou berwajah datar seperti biasanya. Tapi tampak kilat sedih dikedua matanya. "Dia meminta shoukan kembali ke Amerika. Ada perang saudara dan mereka kekurangan tentara untuk melindungi warga."

"Riou, kapan kau harus berangkat?" Jyuto angkat suara. Keadaan ini akan makin runyam jika Yamada bersaudara mengira Riou kabur dari perbuatannya tempo lalu.

"Malam ini."

Samatoki dan Jyuto bertukar pandangan, "Kalau begitu kau harus ikut kami sekarang. Masih ada waktu. Yamada kembali."

Terkejut, Riou menunduk, badannya bergetar, "benarkah itu?"

"Ya! Dan kita harus cepat atau kau akan terlambat nanti malam. Ayo!" Samatoki mengambil rokok baru, menyulutnya sambil berlalu bergi, diikuti Riou dan Jyuto dibelakangnya. "Akan kuhajar bocah brengsek yang mengacaukan jaringan ku itu."

.

.

.

.

Mereka sampai lebih cepat—karena cara menyetir Jyuto benar benar sesuatu. Samatoki yang duduk dibelakang sampai terjungkal dan terjeduk kaca hingga jidatnya–yang disebut sebut seksi–memerah.

Salah sendiri sok sokan duduk ditengah tanpa sabuk pengaman.

"Ini rumah mereka?! Cepat masuk! Atau—" Samatoki sudah nyaris menggedor pintu kayu tua jika saja Jyuto tidak mencegahnya.

"Samatoki, ini bukan rumah mereka. Rumah mereka ada disebelahnya." Jyuto berujar kalem. Menghampiri rumah sederhana bertingkat 2 disebelah rumah malang yang seenaknya dijadikan tempat parkir diikuti Riou. Sedangkan Samatoki mengumpat umpat. (Rumahnya itu gaada pager. Cuman garasinya lumayan luas buat parkir mobil pribadi. Mereka ga parkir di rumah Ichi karena depan rumahnya Ichi ada beberapa barang dan pot bunga gede.)

Memang sama gobloknya mereka. Untung rumah yang jadi lahan parkir mendadak adalah rumah kosong.

Jyuto dengan sopan–atau mungkin setengah sopan, mengetuk pintu kayu dengan cat coklat muda.

Dak dak dak dak!

"Haloo. Saya Jyuto, dari kepolisian—" belum selesai berbicara, Samatoki dengan kasarnya sudah menarik Jyuto dan ganti menggedor kasar.

"Oii! BUKA PINTUNYA BOCAH BANGSAT! KELUAR—" Gedoran belum selesai dan Samatoki belum siap dengan hilangnya pintu yang mendadak.

Cklek

"BERISIK BANGSAT!" sebuah suara mengumpat kasar, bersamaan dengan tubuhnya yang refleks melompat mundur saat Samatoki jatuh...

BRUAGH!

Terjembab dan mencium karpet bertuliskan 'Home Sweet Home' dengan mesra.

"ADUH GOB—ANJ*NG JANGAN INJAK ORE SAMA BOCAH TENGIK!" Samatoki makin ngegas saat Ichiro dengan santainya menginjak punggung Samatoki. Ia tidak bisa bergerak karena tubuh Ichiro lebih berat dari tubuhnya, terlebih lagi Ichiro menginjak bahu kanan dan tulang tengah punggungnya.

"Mau apa kalian kesini?" tatapannya terarah pada Riou yang memandangnya dengan ekspresi yang tak dapat dijelaskan. "Masuk. Saburo sedang tidur dengan Jiro."

Sengaja, saat berbalik kakinya makin menekan kuat tubuh dibawahnya hingga kalian dapat mendengar bunyi 'Kraaak!' dari punggung Samatoki.

"Ada apa? Masuk. Aku tau kalian langsung kesini saat kepulangan kami terdengar." Ichiro berkata rendah. Memang ia sudah meng hack jaringan milik Samatoki. Tapi ia tidak menyangka bahwa ada beberapa bawahan mereka yang masih mengintai.

Samatoki sudah tak dapat berkata apapun lagi. Ibaratnya sudah jatuh dari atas atap tertimpa tangga, tertimpa genting pula. Punggungnya encok. Memang sepertinya dia sudah tua.

Jyuto dengan baik hatinya memapah Samatoki yang bergetar sakit dan mendudukkannya di sofa panjang. Sedangkan Riou menatap punggung Ichiro yang menghilang di balik tembok.

"Adududuh... Bangsat! Bocah sialan itu... Adududududuh punggungku..."

Jyuto mengeplak belakang kepala Samatoki kasar, "salahmu sendiri ngegas!"

"ADUH! BISA GAK SIH LO—" Samatoki dan Jyuto nyaris baku hantam jika saja suara rendah Ichiro tidak menghentikan mereka.

"Tolong jangan bertengkar disini. Kalian menambah polusi suara." tiga pasang mata langsung mengarah pada Ichiro yang muncul dengan Saburo dan Jiro di belakangnya.

"Sabu–..." Riou langsung berdiri, nyaris melangkah saat Saburo makin bersembunyi dibalik Ichiro.

Jiro cepat memeluk Saburo, adiknya itu sedikit bergetar dengan ekspresi tak terbaca. "Niichan, kenapa mereka ada disini?"

Ichiro menghela nafas. Kepalanya serasa mau meledak. "Ayo duduk dulu. Kita bicara. Pada akhirnya cepat atau lambat ini akan terjadi."

Ichiro duduk di sofa tunggal, berhadapan dengan Riou. Samatoki dan Jyuto duduk di sofa double, berhadapan dengan televisi didepan. Jiro dan Saburo duduk menyender di lengan sofa tunggal yang Ichiro duduki.

"Kau tau kami punya banyak pertanyaan. Tapi yang paling harus mendapat jawaban adalah Riou." Jyuto melirik Saburo yang mencengkram lengan Ichiro. "Tidakkah kalian seharusnya berbicara saja berdua?"

Saburo memandang kedua kakaknya bergantian, mendapat anggukan yakin dari Ichiro dan tatapan cemas Jiro. Lalu terakhir... Dia menatap Riou yang tampaknya... Benar benar ingin memastikan sesuatu.

"Ikut aku. Kita bicara di teras belakang." ia turun, berjalan tanpa menoleh kearah Riou yang langsung berjalan mengikutinya.

Hening mengisi setelahnya. Kecanggungan mulai mengudara sampai Jiro memecah hening dengan bisikannya yang lumayan keras seakan menyindir.

"Kenapa kita harus berurusan dengan mereka sih? Terutama kuda bodoh tukang ngegas sepertinya."

Ichiro nyaris menjawab jika saja Samatoki dengan otaknya yang bersel satu itu tidak langsung membentak.

"Berisik bocah! Ini kan salahmu juga yang membuat masalah dengan Underground!"

Jiro langsung diam. Tampak begitu bersalah akan masalah itu. Benar juga. Pertemuan mereka dengan MTC juga gara gara dirinya. Saburo jadi seperti sekarang... Itu karena dirinya.

Ichiro juga diam. Ia tak bisa membantah. Sekalipun ia merasa bahwa Jiro tak perlu bertanggung jawab.

"Maa, sudah lupakan saja itu. Masalalu biarkan saja. Toh sudah berlalu. Sekarang, ayo duduk dan minum selagi menunggu mereka berdua menyelesaikan masalah mereka. Ichiro-kun, kau bisa menjamu tamu dengan baik kan?" Jyuto melerai. Tak ingin terjadi keributan antara seekor kuda pemarah disebelahnya dengan dua orang bocah manis.

Ichiro diam tak menjawab, ia hanya menatap dingin kedua tamunya sebelum pergi kedapur diikuti Jiro yang tidak mau ditinggal.

Jyuto menatap Samatoki yang duduk menyender seraya memijat pelan pinggangnya. Ouch, mister Yokohama badboy yang katanya hardcore rupanya sudah setua ini. Pantas saja rambutnya putih semua.

"Bocah sialan itu menginjak tubuhku hingga remuk rasanya—adududuh..." Samatoki mengumpat. Sebenarnya berapa berat badan Ichiro sampai ia tak kuat menahan tubuhnya.

Jyuto menahan tawa. Itu salahnya sendiri yang tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak. Membuat Samatoki meliriknya kesal.

"Jangan tertawa!"

"Pffft—maaf Samatoki, mau ku bantu memijat punggungmu?"

Samatoki menatap ngeri, yang benar saja kelinci mesum ini mau memijatnya. "Ogah! Jangan menyentuh ku! Dasar mesum!"

"Kau membuatku seperti akan melakukan pemerkosaan padamu."

"Memang begitu kenyataannya bangsat!"

"Siapa yang kau katakan bangsat, bangsat?!"

"Tolong tidak berteriak kalau kalian tidak mau ku tendang dari sini." Ichiro muncul dengan nampan membawa kopi dan teh. Diikuti Jiro yang membawa setoples besar kue kering.

"Niichan, usir saja mereka." Jiro memanasi sambil menatap tajam Samatoki dan Jyuto dari balik punggung Ichiro.

"Apa katamu bocah?!" Samatoki langsung ngegas. Padahal punggungnya masih sakit. Ckckckck...

"Jangan membentak adikku sialan!" Ichiro menaruh nampan berisi minuman diatas meja dengan sedikit kasar, diikuti oleh Jiro.

"Maa, sudahlah kalian ini... Aku lelah. Izinkan aku keluar untuk merokok. Dan kau, jangan buat masalah." manik hijau Jyuto melirik tajam Samatoki yang mendengus kesal. Inginnya ikut merokok, tapi punggungnya sakit. Ia tidak bisa terlalu banyak bergerak.

"Sialan." berakhir dengan mengumpat pelan seraya menyender lemas pada sofa. Membiarkan saja dua Yamada yang menyalakan televisi dan melupakannya.

.

.

.

.

Riou mengikuti dengan tenang sekalipun sesuatu didalam dirinya memaksa untuk segera memeluk bocah didepannya. Aroma manisnya sedikit berbeda, ada bau buah buahan didalamnya. Dan hal itu membuatnya ingin segera memeluk bocah yang telah menjadi matenya itu.

"... Riou...San," Saburo berhenti melangkah, menundukkan kepala membelakangi Riou. Suaranya bergetar seperti nyaris pecah. "Ma—"

"Panggil saja shoukan dengan panggilan Riou, Saburo-kun." Riou berujar rendah. Kakinya melangkah mendekat sehingga punggung Saburo nyaris menempel pada dadanya. "Shoukan... Ingin bertanya banyak hal."

"... maaf Riou... Maaf..." tanpa disangka Saburo menangis. Berbalik dengan cepat dan memeluk Riou yang dengan sigap menangkap tubuhnya. "Maafkan aku... Hiks..."

Sejujurnya Riou sangat ingin bertanya apa kesalahan Saburo. Tapi ia mengurungkannya. Membiarkan Saburo menangis sampai puas di pelukannya dan menunggu Saburo tenang adalah pilihan bijak.

"Riou... Hsk... Riou..." Saburo yang hanya sampai sedagu Riou membenamkan wajahnya di dada bidang yang membuatnya nyaman. Memenenangkan diri sebelum membuka suara. "Sebenarnya... Aku takut."

Riou mengusap usap punggung Saburo, berusaha membuatnya tenang dengan feromon alpha yang dengan sengaja dikeluarkannya.

"Aku takut Riou marah. Aku meninggalkanmu begitu saja tanpa penjelasan. Menghilang berbulan bulan dan saat kembali... Riou..."

"Lanjutkan, Saburo-kun. Tidak apa apa." Riou melepas pelukan mereka dan menangkup kedua pipi Saburo yang lembab. Mengusap air mata yang turun dan tersenyum menenangkan.

"Riou... Aku... Aku mengandung anakmu." Saburo mengatakannya dengan suara bergetar. Ah... Mungkin saja pria ini akan memintanya menggugurkan anak ini. Pria ini tentara... Bukan? Saburo sempat mendengar kabar bahwa perang saudara tengah terjadi di Amerika dan mereka kekurangan tentara untuk melindungi warga dari dampak perang. Mungkin saja pria ini jijik padanya. Tidak ingin berhubungan dengannya lagi. Mungkin saja–

Cup.

Kecupan singkat membungkam pikiran negatif Saburo yang berkelana bebas.

"Riou...?"

"Terimakasih, Saburo-kun. Terimakasih karena kau tidak mengugurkannya." pelukan Riou mengerat, hangat, menenangkannya. "Shoukan... Sangat bahagia saat Saburo-kun kembali..."

Air mata kembali leleh. Kali ini penuh kebahagiaan. "Riou... Terimakasih kau menerimaku... Terimakasih... Jangan pergi, jangan pergi dariku Riou."

Ciuman dalam kembali tercipta, saling mengait penuh kerinduan, kebahagiaan.

Tapi... Riou tidak bisa menyembunyukna fakta bahwa kali ini ia yang harus meninggalkan Saburo. Pasangan yang sudah dipilihnya.

"Saburo-kun... Sebenarnya... Shoukan ingin memberi tau sesuatu."

Saburo menatap tidak paham, tapi kemudian senyum sedih tercipta di bibirnya. "Kau akan pergi ya?"

.

.

.

.

End.

Sebenarnya lebih panjang dari ini. Tapi karena buru-buru, yasudah segini aja. Yang penting SamaIchi-nya dapet dan RiouSabu-nya manis.

Dan aku benar-benar Hiatus setelah ini selesai.

Jadi, sampai jumpa tahun depan!