Luhan terbangun di pagi hari saat matahari sudah meninggi. Ia meraih tongkat sihir yang ia letakkan dengan aman di nakas meja dekat tengkorak yang mulai menghitam, mengayunkan lembut dan membuat semua jendela terbuka. Udara segar membuat paru-parunya gembira dan Luhan merasakan sesuatu yang berbeda.

Luhan menatap selimut yang melingkupi, dan dia tersenyum mendapati ada dua lapis di sana. Pantas ia bangun terlambat, pasti Sehun diam-diam masuk dan menambah jumlah selimut.

Luhan bangkit dan merapikan ranjang dengan satu jentikan ringan. Ia keluar ke belakang rumah dan membersihkan diri, menghirup dalam-dalam udara pagi yang segar dan juga air dingin yang menyapa kulit putihnya. Luhan langsung menuju dapur dan menyalakan perapian, berkata dalam hati ia akan memasak daging panggang kesukaan Sehun.

Tapi saat ia mulai mengambil rumput rosemary dalam botol kaca, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Udara di sekitarnya terasa berbeda. Aromanya terasa kurang dari seharusnya. Ia bisa mencium aroma sihir milik Sehun dan benang-benangnya, tapi ia tak bisa merasakan keberadaan Sehun.

Ia melangkah ke meja kerja, dan menemukan perkamen dan amplop surat yang seharusnya ada di sana telah lenyap. Digantikan selembar kertas dengan sederet tulisan rapi yang sangat ia kenali. Luhan membacanya dan seketika menggigit bibir.

Matanya berkaca-kaca. Luhan berusaha tersenyum, tapi tak dipungkiri ia merasa pedih.

"Bocah nakal itu, dia pergi seenaknya dan membuatku harus sarapan sendiri." Luhan membisik.

Hubungan yang aku inginkan tak akan berhasil jika kau masih teguh dengan pendirianmu, jadi aku akan pergi dan kembali nanti. Membuktikan bahwa sejauh apapun aku pergi dan seindah apapun dunia di luar semesta yang aku jalani; kau tetap menjadi tempatku pulang.

Jangan mengunjungiku di kastil, biarkan aku bekerja di sana dengan tenang. Kau hiduplah dengan baik di rumah; kurasa banyak yang memerlukan bantuanmu. Aku yakin kau pasti bisa; kau penyihir favoritku kan?

Aku tak tahu kapan akan pulang, tapi mungkin cukup lama agar kau sadar betapa kau akan sangat kesepian tanpa aku.

.

.

.

Luhan melewati tahun-tahun yang berjalan dengan rasa sepi yang berusaha ia tepis keras.

Absennya kehadiran Sehun di rumah membuat perbedaan besar yang kerap membuat Luhan menggeram kesal; belasan tahun ia habiskan bersama Sehun dan melihatnya tumbuh, dan ia kini kembali sendirian seperti sebelum ia membawa Sehun di malam badai itu. Sehun tak pernah berkirim surat, membuat Luhan harus menahan kesal meminta adiknya untuk mengirimkan kabar bocah nakal yang sudah tumbuh menjadi pria dewasa itu.

Sehun melakukan pekerjaan di kastil keluarga dengan sangat baik; dia tak pernah bertahan di satu seksi yang sama. Dan perkiraan Luhan tentang kepiawaian dan kepandaian yang Sehun miliki akan membawanya menjadi salah satu dari jajaran penyihir terbaik memang benar; dia mencatat rekor hebat di berbagai bidang. Sehun piawai berdiplomasi, kemampuannya mumpuni untuk menyelesaikan kasus penyihir hitam yang meresahkan, dan ia kritis terhadap para penyihir yang tak sepenuhnya setia pada kastil keluarga. Luhan tertawa saat membaca surat adiknya; tentang Sehun yang berhasil menghukum belasan penyihir bermasalah dengan raut wajah dingin dan sombong. Dengan kecerdasannya Sehun menyumbang beberapa mantra tingkat tinggi yang cukup mematikan saat Luhan membaca detailnya; Luhan berpikir jika Sehun tumbuh di tangan yang salah, mungkin dia bisa menjadi penyihir hitam yang menakutkan.

Segala pelajaran dan latihan berat yang ia berikan sejak Sehun kecil; mencetaknya menjadi pengajar yang hebat di sekolah sihir. Sorot mata dingin dan sikap tegas yang seharusnya membuat para murid ketakutan malah menjadi pedang bermata dua; para gadis muda mengejarnya sepanjang waktu dan tiap ia mengajar seisi sekolah gempar dan berebutan menjejalkan hadiah-hadiah. Luhan hanya pasang senyum masam saat adiknya menulis bahwa Sehun pernah mendapat surat cinta beraroma memabukkan bersama celana dalam berenda merah muda.

Sehun seolah membuktikan bahwa ia bisa merengkuh dan menggenggam berbagai dunia, bahwa dia bisa berjalan tegak di semesta yang berbeda.

Dan Luhan lebih dari sekadar percaya.

Beberapa kali Luhan mendatangi kastil; mau bagaimanapun itu adalah tempat tinggalnya yang resmi. Ia mengurus beberapa hal yang hanya dia yang berhak menangani—sejujurnya, Luhan mulai berpikir untuk kembali ke kastil dan mengambil alih kekuasaan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya, tapi mungkin itu untuk nanti. Ia setengah berharap ia bisa melihat Sehun walau sekilas, karena ia tak akan melanggar janji meski ia bisa saja mengikat Sehun di suatu tempat dan datang sekejap mata. Luhan bisa merasakan di mana Sehun berada, terdapat satu koneksi aneh yang membuatnya bisa merasakan Sehun meski terpaut jauh. Tapi Sehun selalu tak terlihat saat ia datang. Entah melakukan apa.

Dan Luhan hanya bisa tersenyum karena ia tahu Sehun menghindarinya; mungkin sesuatu tentang aku akan langsung mencumbumu di lantai jika aku melihatmu.

Sehun tak muncul saat tanggal 31 Oktober, tapi setiap Luhan datang ke sana sudah ada seikat bunga bakung di atas pusara ibunya. Luhan mendengar bisikan dari makhluk yang menjaga perbukitan makam itu bahwa seorang pria tinggi berkulit pucat sudah berkunjung lebih dulu dan menyampaikan salam.

Di ulang tahunnya sendiri saat Luhan sudah menyiapkan semua hal dan berharap Sehun akan datang; pria itu tetap tidak muncul dan membuat Luhan harus duduk sendirian sampai lilin habis terbakar. Pergi tidur dengan perasaan kacau dan marah, membuat semalaman udara berputar dalam pusaran energi besar dan menyesakkan nafas para makhluk di sekitarnya.

Luhan berusaha keras menyibukkan diri dengan berbagai urusan. Ia pernah berpergian selama beberapa bulan untuk melihat lebih dekat bagaimana jalinan hubungan antar makhluk yang ada di wilayahnya—sesuatu tentang melihat rakyatnya lebih dekat, atau mengunjungi beberapa teman lama saat ia masih sekolah dulu dan mengerjakan sesuatu di sana. Tapi ia tetap menemukan dirinya kesepian saat semua kesibukan itu selesai.

Sehun benar-benar menepati semua janjinya.

Hari itu Luhan baru selesai dari perjalanan kesekian kali, ia baru saja mengunjungi wilayah utara yang memiliki salju abadi sepanjang tahun, yang makin parah jika musim dingin melanda. Tersenyum lembut saat hangat familiar menyapa tubuhnya, begitu menenangkan dan menyesakkan sekaligus.

Luhan melepas jubahnya yang masih meninggalkan kepingan bunga salju dan melemparnya ke tiang gantungan di sisi pintu. Menatap sejenak ke luar jendela di mana salju turun dengan lembut. Luhan sudah enggan menghitung ini adalah musim dingin keberapa yang ia lewati tanpa Sehun, pun menghitung musim-musim lainnya.

"Mungkin aku akan mencoba membuat ramuan yang Hemsword sarankan." Luhan berbisik, mengingat kembali resep ramuan yang ia peroleh dari petinggi di wilayah utara itu.

Luhan sedang memasukkan beberapa lembar daun perilla dan segenggam rumput peppermint ke dalam kuali yang meletup saat ia merasakan tirai pelindung rumah bergetar samar. Luhan mendengar suara pintu terbuka dan saat ia menoleh, ia mendapati seorang pria tinggi berambut panjang yang terikat rendah tengah melepas jubah dan mengibaskan salju yang menempel, menggantungkannya di sisi jubah Luhan.

Luhan masih menatap pada pria yang kini tersenyum sendu padanya itu.

"Kau sedang membuat apa? Aku kemari beberapa hari lalu, tapi ternyata kau sedang pergi ke wilayah utara."

Luhan tak menjawab, ia mengangkat telapak tangannya ke udara dan begitu tongkat sihir sudah ada dalam genggaman, Luhan melecutkan tongkatnya ke depan dan membuat Sehun terhantam keluar rumah. Cahaya merah terang kembali melecut seiring langkah Luhan, ia masih tak berhenti merapalkan mantra non-verbal dan membuat Sehun kembali jatuh tersungkur. Sehun terdorong ke belakang setiap menerima kutukan mantranya, tapi dia sama sekali tak melakukan apapun meski dia pasti bisa melakukan sesuatu untuk melindungi diri.

Luhan masih melecutkan mantra selama beberapa saat, sampai ia jatuh terduduk dengan wajah berlinang air mata. Tangannya gemetar hebat dan tongkat sihirnya tercampakkan di atas tumpukan salju. Gaun marunnya penuh salju, Luhan merasa kedinginan karena bahunya terbuka, dan tiba-tiba semua kerinduan yang ia pendam dalam menyeruak ke permukaan.

"A-akh… Akh…" Luhan berusaha keras menghentikan tangis.

Sehun mendekat tertatih, tumpukan salju memberatkan tubuhnya yang nyaris remuk karena Luhan tak bermain-main dengan kutukan mantranya, tapi dia tetap tersenyum. Sehun berhenti di depan Luhan, mengulurkan tangannya yang juga gemetar ke Luhan yang masih menunduk dan menangis.

"Mau kembali?"

Luhan bangkit, menerjangnya dan membuat mereka bertumpuk di bawah hujan salju.

Sehun terkekeh berat. "Aku akan kesakitan jika kau menimpa tubuhku seperti ini. Kau sangat ringan, tapi aku remuk karena mantramu." Katanya susah payah. "Jadi, bukankah lebih baik kita ke dalam?"

"Bodoh. Pria bodoh. Kenapa kau baru kembali sekarang?! Hah?! Kenapa kau sama sekali tidak berkunjung dan terlalu menepati janji?! Kenapa kau membuatku menjadi sangat menyedihkan seperti ini hah?! Brengsek, kau sangat brengsek. Pria bodoh."

Luhan masih menangis, lalu merasakan pelukan Sehun mengerat.

"Jadi sekarang aku sudah tidak menjadi bocah nakal lagi untukmu, hmm?"

"Kau sudah menjadi Sehun bagiku sejak lama." Luhan membisik serak.

Sehun tertawa, tapi Luhan bisa mendengar Sehun menahan isak. Suaranya memberat dan nafasnya tertahan. "Kau tahu betapa aku sangat merindukanmu, Luhan."

Sehun berbisik di dekat telinganya, dan Luhan merasakan sesuatu yang hangat membasahi sisi wajahnya. Sehun menangis dalam diam.

Setelah mereka sama-sama bisa mengontrol emosi dan menenangkan batin, mereka masuk dan membenahi kesalahan. Luhan sama sekali tak menyesal mengutuk dan membuat Sehun kesakitan, karena ia tahu ia bisa menyembuhkan dan merawatnya.

Lalu saat Luhan beranjak ke dekat perapian untuk menyingkirkan gelas piala bekas ramuan—sekaligus kabur sejenak karena ia terus saja merasa matanya pedih, Sehun meraih pinggangnya.

"Rapikan rambutku? Kau pernah bilang kau tak suka rambutku panjang."

Luhan hanya diam, tapi tetap mengambil sisir dan gunting kaca. Tangannya sedikit gemetar saat tangannya menyentuh helai rambut hitam tebal yang terasa magis itu. Luhan melakukannya dengan pelan, sembari mengamati bagaimana bahu Sehun sudah lebih lebar dan kokoh dari terakhir kali ia melihatnya, bagaimana kini Sehun sudah tinggi melampaui dirinya. Saat pekerjaan yang tak dinyana begitu Luhan rindukan itu selesai, Luhan tak kuasa lagi. Sisir dan gunting kaca terjatuh, dan Luhan memeluk Sehun dengan sangat erat. Menumpukan dahinya ke bahu kokoh itu dan kembali menangis di sana.

"Aku sangat kesepian tanpa dirimu." Luhan melirih.

Sehun menggenggam tangan Luhan di depan dadanya. "Apa kau merasa kehilangan?"

"Aku sudah sangat kehilangan sejak aku membaca surat bodohmu itu."

"Apa aku berhasil?"

"Bodoh, kau masih bertanya." Luhan merasa makin pedih, tapi kenyataan bahwa Sehun sudah berada di dekatnya sangat membantunya menyembuhkan hati.

"Jika begitu, mengapa kau sama sekali tidak mengunjungiku?"

Luhan terkekeh lirih. "Aku yang memintamu melihat dunia luar dan jika aku datang untuk melihatmu, akan terdengar sangat menyedihkan. Aku berusaha menepati janji karena kau—sialnya—juga sangat menepati janji."

Sehun melepaskan lengan Luhan yang melingkupinya, berbalik dan mengangkat tubuh ramping Luhan ke atas meja. Barang-barang berjatuhan ke lantai batu, tapi tak ada yang keberatan saat hembusan nafas saling menerpa wajah.

Sebelah tangan Sehun membelai wajahnya, dan Luhan memejamkan mata menyamankan diri. Ia merasa kehilangan, dan saat ini ia merasa begitu lengkap saat Sehun begitu dekat. Dahi mereka menyatu bersama Luhan yang sepenuhnya pasrah dengan mengalungkan tangannya ke leher kokoh itu.

"Apa aku boleh?" Sehun mencoba memastikan.

"Masihkah kau perlu bertanya?"

Sehun terkekeh lembut, untuk kemudian mencium bibir merah Luhan yang gemetar. Setelah sekian lama ia menahan diri untuk tidak menemui Luhan, hanya mengandalkan bayangan di dalam pikirannya, mendapatkan Luhan di mulutnya hanya membangkitkan semua gairah dan rasa rindu yang ia pendam dalam. Bibir Luhan terasa lembut, panas dan menggetarkan. Sehun seolah merasakan sengatan-sengatan energi lembut yang menggelitik saat mereka bersentuhan.

Sehun tak berhenti melumat, menarik dan menggigit belah bibir penuh itu tanpa henti, tanpa perlu menahan diri. Jemari lentik milik Luhan sudah berada di antara helai rambutnya, meremat dan menariknya mesra.

Sehun merasakan sekujur tubuhnya panas, lemas oleh kebahagiaan.

Lalu tautan itu lepas, dengan Luhan yang merah terengah. Mata biru kelabunya menatap sayu.

"Hanya ciuman lembut?" Luhan berbisik di depan bibirnya, Sehun menggeram dengan undangan menggoda itu.

Jadi dia benar-benar melepaskan semua kendali diri, menyerang Luhan dengan ciuman basah. Lidahnya menelusup masuk, menjelajah dan mengacaukan rongga basah dan hangat itu. Luhan terasa manis dan magis saat lidah mereka bertemu dan saling membelit.

Mereka berebut dominasi, tapi Luhan berakhir menyerah dan membiarkan mulutnya diinvasi sedemikian rupa. Tubuh merapat, sangat dekat sampai Sehun bisa merasakan detak jantung yang juga menggila. Sehun merasa ia bisa menang atas Luhan untuk pertama kalinya.

Ciumannya turun ke leher jenjang Luhan yang mulai berkilat basah, menyesap aroma menenangkan yang sangat ia rindukan. Ia membiarkan Luhan menggigit bibir menahan erangan, karena itu terdengar sangat menarik. Luhan seperti sudah pasrah akan dibawa kemana dan diapakan saja, dan itu hanya membuatnya bertambah semangat.

Luhan mengerang lemah ketika lidahnya menyusuri bilur pembuluh nadi di lehernya, Sehun menggigitnya pelan, meninggalkan bekas kemerahan yang tak akan hilang—Sehun akan memastikan Luhan tidak menyentuh tongkat sihirnya untuk itu. Ia menyebar banyak tanda kemerahan di leher sehalus porselain bersama desah nafas pelan yang membuat kepalanya berputar.

Sampai Luhan memeluknya terlalu erat dan rusuknya terasa nyeri.

Sehun mengaduh pelan; efek kutukan mantra Luhan memang tidak main-main.

Cumbuan mereka terhenti dan mereka saling menatap. Kemudian Luhan tersenyum lebih dulu, bibir merahnya tergigit menahan tawa anggun. Sehun tersenyum pasrah ketika denyutan ngilu di rusuknya mulai bertambah.

"Sepertinya kau harus tidur lebih dulu, Sehun."

"Kutukanmu memang sesuatu Luhan, apakah tadi kau berniat membunuhku?"

Luhan tersenyum, mendekatkan wajah dan membuat dahi dan hidung mereka bersentuhan.

"Aku ingin kau tahu; rasanya seperti itu, saat tahu kau melakukan banyak hal menakjubkan dan aku hanya bisa mengetahuinya lewat perkamen surat. Jahat sekali."

Apakah Sehun baru saja mendengar nada merajuk di sana?

Sehun tertawa pelan, memeluk Luhan lebih dekat. Kini Luhan tepat berada di bawah dagunya saat mereka berdekatan, dan Sehun lebih dari sekadar bahagia dengan hal itu.

"Aku merindukanmu, Sehun…" kata Luhan.

Sehun menggigit bibir, merasa dirinya baru saja menenggak ramuan bahagia-tanpa-akhir yang membuatnya merasa akan terbang sebentar lagi.

"Aku tahu." —karena di sini mungkin aku mengalami yang jauh lebih parah.

Mereka memutuskan untuk berpindah ke kamar Luhan; Sehun memerlukan tidur yang berkualitas untuk memulihkan kondisi dan membuat mantra dan ramuan penyembuh yang Luhan berikan padanya bekerja maksimal. Sehun duduk menyandar di kepala ranjang dengan wajah lesu, sama sekali tak menyembunyikan ekspresi ah-sial-aku-melepaskan-kesempatan-nya yang terlihat lucu.

Luhan tertawa lembut saat melihatnya.

"Jadi, lebih baik kau bercerita, Sehun. Aku ingin mendengar darimu langsung." Luhan berkata saat ia mulai menarik tali yang ada di garis punggung gaun marunnya. Sehun mengamati bagaimana jalinan tali menyilang itu terlepas dan membuat gaun lembut itu meluncur jatuh, memperlihatkan pemandangan punggung dan pinggul Luhan yang mengundang. Sehun menjilat bibir, akan sangat bagus jika gaun dalam yang setipis kelambu itu juga Luhan lepaskan. Ah, Sehun bisa melihat bayang samar dari garis celana dalam sutera yang Luhan kenakan.

"Aku memintamu bercerita, Sehun, bukan menelanjangi tubuhku dengan tatapan itu."

Sehun terkekeh, tapi sama sekali tak mengalihkan pandang dan mulai bercerita.

"Aku mencoba melakukan semua yang ada di kastil; tak perlu sesuatu yang detail karena aku yakin kau sudah tahu. Memang menyenangkan, aku menemukan banyak hal dan belajar banyak hal pula." Sehun menghentikan kalimatnya saat Luhan mengambil gaun tidur hitam dari lemari prismanya. Ah, gaun itu sangat pendek dan mengundang.

"Dan?"

"Dan aku menemukan bahwa aku benar; semenakjubkan apapun hal yang aku jalani di luar semestaku; aku tetap merasa ingin pulang. Beberapa kali aku merasa sekarat merindukanmu, tapi aku sudah berjanji akan memenuhi permintaanmu untuk melihat dunia luar dan juga, membuatmu sadar bahwa kau membutuhkanku. "

Luhan naik ke ranjang, mengambil tempat di sisi Sehun sembari memutar bola matanya malas. "Bocah nakal."

Sehun tertawa saat panggilan itu kembali lagi, dan sialnya, Sehun sangat suka. Pria itu merendahkan tubuhnya, memeluk Luhan dari samping dan menenggelamkan wajahnya ke dada Luhan yang separuh terbuka.

"Aku bertemu dengan banyak gadis, mereka cantik dan berbakat."

"Ya ya ya… Pasti masih ada lebih dari satu Gadis Celana Dalam itu; karena itu mereka… Lantas?"

Sehun merasakan ada energi yang menekan kuat dan menyesakkan atmosfer saat Luhan mengatakannya, auranya menjadi sedikit gelap dan Sehun tersenyum idiot. Luhan cemburu, dan itu benar-benar menyenangkan.

"Lantas aku selalu membandingkan mereka denganmu. Mereka memang cantik, tapi tidak secantik dirimu. Mereka memang berbakat; tapi bagiku tetap hanya kau yang bisa membuatku takjub. Bagaimana kau mengayunkan tongkat, bagaimana bibirmu bergerak saat merapalkan mantra, dan lebih dari semua itu; hanya kau yang terlihat menakjubkan bahkan dengan ekspresi yang membuat anak gadis ketakutan…"

Luhan tertawa, menepuk kepala Sehun dengan lembut. Kemudian menciumnya perlahan, menikmati aroma dari sana yang tak pernah berubah; cendana, musk dan aroma musim semi yang makin maskulin seiring waktu.

"Kadang aku merasa aku harus segera pulang, tetapi aku menemukan ada hal lain yang belum aku lakukan… Jadi aku menepikan perasaan itu. Di sana aku benar-benar sendirian; kau tahu tatapan mencela yang diberikan para penyihir murni saat mengetahui setengah penyihir sepertiku masuk ke kastil berbekal perkamen darimu."

"Tapi kau bisa mengatasinya, kan?"

"Kenapa tidak? Bukankah aku adalah Sehun?"

"Kau masih sama percaya dirinya dengan dulu." Sehun tersenyum, mengeratkan pelukannya.

"Aku kesepian, tapi entah mengapa aku selalu merasa dekat denganmu. Aku bisa merasakan samar-samar aroma dan benang-benang sihir milikmu; beberapa kesempatan sangat kuat dan memenuhi seluruh udara."

"Aku juga kerap merasakannya." Luhan mengakui. "Dan aku masih tidak mengerti kenapa."

Sehun mengangkat wajahnya, mencuri satu kecupan kecil di pipi Luhan dan menatapnya lembut. "Bukankah aku memiliki lebih dari setengah darahmu yang mengalir di pembuluh nadiku? Dan lagi, inti tongkat sihirku—"

"Helai rambutku…" Luhan membisik takjub, seakan baru menyadarinya.

"Ya, Gretel, pembuat tongkat itu pernah mengatakan tentang bagaimana inti dan tongkat berikatan. Dan aku berpikir; jika aku memiliki satu bagian lagi dari Luhan, aku akan benar-benar terikat dengannya."

"Jadi ternyata sejak kau masih sangat muda kau sudah menaruh perasaan seperti itu?"

Sehun menyembunyikan wajahnya yang merona tipis. "Saat aku ketakutan kau membuatku tenang; kau menyelamatkanku. Kau mengajarkan banyak hal menakjubkan dan membuatku terpana. Bagaimana aku tidak jatuh cinta?"

Luhan tersenyum. "Aku sangat tersanjung."

Sehun merinding penuh ekstasi mendengar nada lembut itu. "Kemudian, saat aku menyadari aku sudah melakukan semua hal yang ada," Sehun melonggarkan pelukannya, membuat mereka bertatapan dalam jarak dekat. "aku merasa sudah saatnya aku pulang. Jika aku berlama-lama lagi, mungkin aku akan dikutuk. Aku tidak menyesali semua rasa rindu dan tahun-tahun menyiksa yang aku jalani, aku sangat berterimakasih kau mendorongku untuk merasakan dan melihat dunia luar, karena itu membuat aku benar-benar yakin dengan perasaanku padamu."

Luhan mengangkat telapak tangannya dan mengelus wajah Sehun dengan penuh kasih sayang, Luhan mendekat lebih dulu, memberikan ciuman manis penutup hari. Hanya menempel lembut, tanpa lumatan, tanpa sapuan lidah.

"Pergi tidur, dan pikirkan hari esok saat kau bangun nanti."

Sehun terkekeh lembut, mengingat kalimat yang sama yang pernah Luhan ucapkan di malam badai belasan tahun lalu itu.

Mereka berbaring tanpa jarak, dengan Sehun yang menyamankan diri ke pelukan Luhan. Luhan menemukan dirinya mendesah tenang mendapatkan Sehun di dadanya; posisi ini sama persis dengan saat pertama kali Luhan tidur memeluk Sehun kecil, hanya saja, bocah kecil itu sudah tumbuh menjadi pria dewasa.

Luhan tersenyum, menghirup aroma Sehun sejenak sebelum meraih tongkat sihir milik Sehun di nakas, mengucap mantra sederhana. Cahaya meremang padam dan hawa hangat menyelimuti bersama selembar selimut sutra yang menutupi tubuh mereka.

Jemari Sehun bergerak melepaskan tali di depan dada Luhan; membuatnya benar-benar terbuka dan Sehun melesakkan wajahnya makin dalam. Luhan tertawa tak percaya saat mendengar hirupan nafas Sehun yang keras.

"Kau lembut sekali, Luhan…"

"Aku baru saja membatin kapan mulut kotormu kembali, Sehun."

Sehun tersenyum, lalu memejamkan mata dan membiarkan kegelapan menelan kesadarannya. Mungkin ini adalah tidurnya yang paling menenangkan setelah bertahun-tahun; karena ia tahu ia memiliki Luhan di dekatnya.

.

.

.

Luhan terbangun saat matahari sudah cukup tinggi. Matanya mengerjap, lalu menatap selimut yang bertambah selapis. Perasaan ini menimbulkan sedikit trauma, jadi tanpa pikir panjang ia langsung menyibak selimut dan keluar kamar dengan langkah terburu. Ia mengedarkan pandang dan hatinya langsung leleh saat melihat Sehun masih di sana, pria itu tengah kembali berhadapan dengan musuh besarnya sejak lama; kuali dan perapian. Sehun memang berbakat, tetapi sangat payah soal memasak.

Luhan pergi ke belakang rumah dengan langkah pelan setelah meng-accio tongkat sihirnya. Ia membersihkan diri di danau yang nyaris membeku karena salju; tapi mantra penghangat udara adalah mantra favorit saat musim dingin. Lalu sumber panas lain timbul karena mengingat salah satu kalimat nakal Sehun. Tentang danau dan dirinya yang telanjang.

Luhan menampar diri, pikirannya pasti gila karena memikirkan hal itu padahal danau nyaris beku. Tapi, mungkin mereka bisa melakukannya saat musim semi tiba nanti. Nah, Luhan menampar diri lagi.

Luhan mengeringkan tubuhnya dan memakai gaun safir panjang dengan kerah Sabrina. Ia membiarkan rambut panjangnya terurai. Lalu saat ia masuk ke rumah, ia mendapati Sehun tengah meremat rambutnya frustasi. Luhan nyaris menyemburkan tawa melihat kuali yang mengepulkan asap hitam.

Dengan murah hati ia menggunakan tongkat sihirnya untuk membereskan itu semua dan memeluk Sehun dari belakang. Luhan terkekeh saat Sehun terkesiap.

"Terimakasih sudah berusaha. Tapi untuk urusan memasak tolong jauh-jauh saja; kau sangat kacau… Kuali hanya bersahabat denganmu saat membuat ramuan, bukan begitu?"

Sehun tersenyum, berbalik dan memeluknya erat.

"Senang sekali menemukanmu memelukku lebih dulu seperti ini. Dulu selalu aku yang melakukannya."

Luhan mengangguk.

"Aku akan melakukannya lebih sering kalau begitu."

"Senang mendengarnya, Luhan."

Setelah Luhan selesai menyiapkan piring-piring berisi makanan yang layak; mereka sarapan dengan tenang. Atau, tidak sepenuhnya. Luhan harus susah payah membagi konsentrasi antara piringnya sendiri dan Sehun yang terus menggodanya; Sehun bersikeras untuk memangkunya dan Luhan tak punya alasan untuk menolak. Lagipula, hal itu terasa sangat menyenangkan.

Brengsek satu itu, hari masih pagi dan tangannya sudah bermanuver di sepanjang tubuh Luhan yang bisa ia capai.

Hari itu mereka habiskan dengan bermesraan, berjalan menerjang salju dengan tangan bertautan juga bertukar cerita yang tertahan selama bertahun-tahun. Lalu tiba-tiba saja langit mulai menggelap, biru terang digantikan biru gelap dan hitam; bulan purnama memendarkan cahaya biru lembut yang membuat Luhan sempat terpaku beberapa saat sebelum mereka masuk ke rumah.

Luhan mengamati bulan biru yang terasa sangat dekat, jemarinya terangkat seakan hendak merengkuhnya. Lalu tiba-tiba saja, tangan lain dalam sarung tangan hitam yang hanya membalut beberapa jari meraihnya. Luhan menoleh, menemukan Sehun menatapnya dengan tatapan yang belum pernah Luhan lihat.

Penuh cinta, kasih dan rasa ingin memiliki.

Lebih dari yang pernah ia temukan sebelumnya.

Luhan nyaris gemetar.

"Upacara pengikatan di bawah bulan biru; apa kau menyukainya?"

Luhan menggigit bibir, matanya berkaca dan penglihatannya terasa sedikit kabur. Tapi ia mengangguk.

Luhan membiarkan Sehun menuntunnya ke dalam rumah. Mereka menghilang ke balik pintu kamar masing-masing. Luhan duduk diam di atas ranjang bulu angsanya dengan hati berdebar kencang. Lalu tanpa kata mengambil gaun hitam dari lemari prisma terdalam. Gaun itu berwarna pekat dengan bagian depan terbuka dan dijalin dengan tali yang saling menyilang.

Ia menatap cermin perak di hadapannya dan mulai mengikat rambutnya dengan jalinan yang diajarkan ibunya dulu. Rambut pirang kelabunya terjalin indah dan disemat sirkam perak. Luhan melengkapi dirinya dengan sarung tangan hitam yang mengait jari tengahnya dan jubah panjang tanpa tudung.

Luhan menatap bayangannya untuk terakhir kali sebelum mengambil tongkat sihir dan menghilang.

Luhan membuka mata saat ia sudah menapak ke tempat tujuan; sebuah bangunan tua dari dinding batu yang nampak tak terawat, dengan kaca patri putih yang masih terpasang kokoh dan memendarkan cahaya. Pintu tinggi terbuka dan Luhan melihat keseluruhan bangunan yang berpendar oleh biasan cahaya bulan dan lilin api biru yang melayang di langit-langit tinggi.

Sehun berdiri di altar, membelakanginya dan menampilkan punggung kokoh berbalut jubah hitam yang membuatnya nampak gagah. Luhan mulai melangkah, memperdengarkan ketukan langkah di lantai batu. Aroma mistik menyapa indra penciumannya dan bunyi-bunyian samar mulai mengisi kesunyian.

Luhan mencapai altar lalu menatap Sehun di sampingnya.

Mereka berhadapan. Sebuah bayangan hitam terbang mengelilingi seluruh langit ruang sebelum berhenti di antara mereka. Bayangan hitam itu membungkuk sopan di depan Luhan dan Luhan membalasnya dengan senyum kecil. Bayangan hitam itu mengayunkan lengannya. Sebuah ukiran pentagram dengan tulisan kuno muncul di meja batu setinggi pinggang.

Luhan bersitatap dengan Sehun. Pria itu diam, tapi sorot matanya mengatakan segalanya.

Luhan menyayat pergelangan tangannya dengan bilah perak tajam di sisi meja batu sementara Sehun menggigit pergelangan tangannya; mereka membiarkan darah menetesi ukiran pentagram itu. Mengalir di semua garis ukiran dan menyatu.

Bayangan hitam itu membisikkan deretan kalimat tak terdefinisi dan pendaran cahaya biru muncul dari pentagram itu, membakar habis garis-garis darah di sana dan melenyapkannya ke udara dengan pendaran warna merah samar.

Saat itu pula, Luhan merasakan ada sesuatu aneh menelusupi pembuluh darahnya, menyebar ke seluruh bagian dan tiba-tiba saja, Luhan merasa dirinya lengkap.

Cahaya bulan makin terang ketika ritual itu selesai. Bayangan hitam itu kembali membungkuk dalam pada Luhan dan Sehun secara bergantian.

Sehun tersenyum, menatapnya dengan tatapan hangat sebelum menariknya mendekat dan menggendongnya ala pengantin. Mereka keluar dari sana bersama bayangan hitam yang terbang mengiringi mereka kemudian lenyap di udara. Cahaya lilin biru mati saat pintu tertutup.

"Kedinginan?" Sehun bertanya.

Luhan menggeleng, mengeratkan pelukannya di leher Sehun. "Tapi sebaiknya kita segera pulang."

"Tentu, kita punya ranjang bulu angsa yang menunggu." Alis runcing Sehun bergerak provokatif dan Luhan tertawa. Menatap wajah Sehun di antara hujan salju.

"Kau bersikap sangat serius dan membuatku gemetar beberapa saat lalu, dan sekarang kau sudah kembali menjadi Sehun yang penggoda."

Sehun menyeringai. "Tentu saja, kali ini aku tak akan melewatkan kesempatanku."

Mereka ber-apparate dan tahu-tahu saja Luhan sudah dihempas lembut ke ranjang. Luhan tak sempat membuka mata karena bibir Sehun sudah menekan keras.

"Kau sangat tidak sabar." Luhan mengerang sesaat Sehun menjauh dari bibirnya. Luhan terengah, menatap Sehun yang menatapnya bergairah.

"Aku menahan diri bertahun-tahun, apa yang kau harapkan?"

"Bocah nakal."

"Ya ya," Sehun membuka kaitan jubah Luhan, mengangkat tubuhnya dan menarik jubah itu untuk dilempar ke lantai. "dan bocah ini akan membuatmu mengerang semalaman."

Luhan melempar seringai tipis dan melakukan hal yang sama.

Kancing kemeja hitam milik Sehun dilepasnya dengan susah payah; Sehun sama sekali tak bisa diam, lidahnya sudah membuat jalan sendiri dan membasahi lehernya. Saat kemeja itu tercampakkan, Sehun menekannya ke ranjang dan mencumbu habis-habisan.

Tangannya menarik gaunnya ke bawah, membuat payudaranya tersentuh udara dingin. Luhan bergidik ketika Sehun meremasnya sugestif. Sehun masih memainkan lidah di mulutnya dan Luhan nyaris kehabisan nafas.

"Sehun…"

"Hmm?" Bisiknya serak.

Luhan tidak menjawab karena tubuh bagian bawah Sehun yang mengeras sudah menekan celah selangkangan, membuat kepalanya melesak ke bantal karena sensasi nikmat itu. Benda itu keras, besar dan terasa mendebarkan ketika terus mendesak miliknya sendiri. Luhan gemetar dan kepalanya penuh dengan pikiran kotor. Membayangkan seperti apa jika milik Sehun menekan miliknya tanpa penghalang; kulit ke kulit. Luhan makin basah.

Sehun terus menggesekkan bagian sensitif mereka selama beberapa waktu, menggeram rendah di dekat telinganya. Tangannya meraup seluruh payudaranya, meremasnya penuh-penuh dan bermain di sekitar putingnya. Luhan merasa setengah gila.

Sebelah tangan Sehun yang bebas menelusuri kulitnya dan menyibak belahan gaun yang tinggi, melebarkan pahanya dan menyelip ke dalam celah kain tipis berenda.

Oh astaga!

Sehun memainkan jarinya di sana, membelai dengan gerakan lambat menyiksa dan menekan-nekan ke celah yang mulai basah. Lalu Sehun menciumnya lagi, dan dua tangannya sama sekali tak berhenti mengerjai tubuhnya.

"Akh… Ah… Angh…" Luhan mengerang tak tahu malu. Ngilu yang nikmat menyerang puting dan kewanitaannya dan membuat kepalanya berputar.

Jari tengah Sehun menelusup masuk dan Luhan nyaris tercekik nafasnya sendiri saat jari itu menekuk dan menekan-nekan bagian dalamnya.

"Sehun!" Luhan memekik tertahan saat jari itu bergerak makin cepat, membuat seluruh pikiran warasnya berterbangan lalu meledak menjadi bunga api saat ia mencapai pelepasan pertamanya.

Rasanya nikmat tak terdefinisikan, membuat tubuhnya lemas dan lega secara bersamaan.

Luhan membuka kelopak mata, menemukan Sehun menatapnya dengan bibir tergigit dan senyum seringai. Luhan masih terengah saat menariknya mendekat, menciumnya kuat-kuat dan membantu Sehun melucuti celananya sendiri.

"Agh sial ini merepotkan…" Sehun menggeram dan meraba-raba meja nakas, meraih tongkat sihir dan melepaskan semua pakaian yang melekat di tubuh mereka tanpa melepaskan ciuman.

Desahan tipis mengudara saat tubuh polos tanpa balutan kain bersentuhan. Luhan merasakan sekujur tubuhnya memanas dan lemas, Sehun terasa liat, halus dan lembab berkeringat. Otot kerasnya terasa jantan saat Luhan menelusuri tubuh Sehun dengan gerakan mengambang. Mulai dari bahu kokoh, menjalar ke punggung keras lalu merangsek lembut ke otot perut terik dan dada bidangnya.

Sehun benar-benar pria dewasa yang menakjubkan, pantas para gadis nyaris setengah gila terhadapnya.

Sehun mengigit bibir, tak mengijinkan desahan terlalu jujur keluar dari mulutnya meski perlakuan Luhan membuat kulitnya meremang.

"Tidak menyentuh sesuatu di bawah sana?" Bisiknya penuh gairah saat jemari lentik Luhan hanya bermain di perut bawahnya.

Luhan mengangkat wajahnya, merangsek maju dan menggigit bibir bawah Sehun, meloloskan desahan lirih saat Luhan sedikit bermain dengan milik Sehun yang sudah sangat menegang di bawah sana.

"Aku bisa … akh," Luhan merinding saat mulut Sehun mencapai putingnya, menghisap keras dan nyaris melumatnya. "a-aku bisa melakukannya … n-nanti. Sekarang masukkan." Luhan mendesah lirih. "Aku bisa gila jika kau terlalu lama."

Sehun bangkit, menatapnya dengan sudut bibir terangkat. Jelas sekali pria itu merasa menang, mendapatkan Luhan di bawah tubuhnya tentu melambungkan egonya. "Apa? Ini?"

Sehun mengarahkan organ intimnya ke milik Luhan yang sudah sangat basah, menggodanya di pintu masuk dengan tekanan lembut, malas dan tak terburu-buru. Keduanya bergidik oleh sensasi nikmat itu.

"Jangan bermain atau aku akan—a-ah." Luhan tergagap saat Sehun mendorong masuk lebih keras.

"Atau kau akan?" Sehun menyeringai, dan sialnya itu sangat seksi dan membuat Luhan nyaris frustasi.

"Kau masih saja brengsek!" Luhan menggeram, kakinya terangkat dan ia mengaitkannya ke belakang pinggang Sehun yang masih bermain. Menekannya lebih keras karena demi semua kutukan tak termaafkan, Luhan sangat membutuhkan Sehun untuk masuk kedalamnya!

Sehun menegakkan punggung, mencari posisi dan mulai mendorong masuk. Pria itu menggeram ketika Luhan menghimpitnya terlalu erat. Milik Luhan sangat basah, panas dan ketat; dinding itu meremasnya lembut. Berdenyut nikmat dan membuatnya nyaris kehilangan akal.

Luhan terengah, wajahnya terasa sangat panas dan semua kewarasannya tertampar saat milik Sehun mulai memasukinya. Sangat besar, keras dan penuh. Jemarinya mencengkeram erat punggung basah Sehun saat pria itu masuk dengan cepat. Rasa sakit menyengat punggungnya sampai membuat gigitan bibirnya mengalirkan darah.

"Tenanglah… Aku tidak akan menyakitimu." Sehun berbisik di telinganya, lalu menciumnya lembut dan mulai bergerak. Nafas Luhan serasa ikut tertarik saat organ kelamin besar itu keluar perlahan, lalu masuk dengan tempo yang sama perlahan.

Desahan lirih membuai telinga.

"Kau sangat nikmat Luhan… Aku bisa bercinta denganmu semalaman."

Kalimat itu bagai pelecut.

"Lebih cepat… Lebih keras…" Bisiknya pelan.

Dan Sehun mengabulkannya dengan suka cita. Sehun bergerak, menghentakkan kejantanan dengan keras dan cepat, tak membiarkan Luhan menarik nafas dengan benar. Luhan sangat ketat dan sempit, meremas kejantanannya dengan sangat nikmat.

Luhan terhentak mengikuti irama gerakan pinggul Sehun yang makin lama tak terkendali. Sehun menghentak kuat, menghantam titik nikmat terdalamnya dan membuat Luhan melengkungkan punggung dengan kulit meremang.

"Di sana?" Sehun menggigit daun telinganya, mendecap dan menghisap dengan suara erotis.

"S-sehunhh… Akh… Akh… Ya, di sana!"

Sehun terus menumbuk titik manisnya dan Luhan hanya bisa memejamkan mata, setengah terisak saat kenikmatan luar biasa mengaliri seluruh pembuluh darah. Tubuhnya gemetar saat Sehun melebarkan kedua pahanya dan mendorong masuk tanpa terkendali.

Pandangannya mulai memutih, seluruh tubuhnya mengejang dan satu hujaman keras membawanya ke puncak. Punggungnya membusur indah dan ia memeluk Sehun sangat erat, menginterpretasikan kenikmatan yang membasuh tubuhnya.

Tak seberapa lama Sehun mendapatkan orgasme; denyutan kuat pada dinding Luhan membuatnya klimaks. Sehun memenuhi milik Luhan; begitu melimpah dan hangat. Cairan mereka menyatu dan mengalir perlahan dari sela-sela kejantanan Sehun yang masih mendorong pelan.

"Ahh…" Luhan mendesah nikmat dan mencium bibir bengkak Sehun dengan sisa kekuatannya. Tubuhnya sudah sangat lemas.

Keduanya terengah, terbuai dengan kenikmatan duniawi yang baru saja mereka alami.

Sehun bangkit, menatap wajah bersemu indah di bawahnya dengan senyum lembut.

"Kau sangat cantik…"

Luhan hanya memalingkan wajah dengan warna merah yang makin pekat, tak sanggup menjawab karena suaranya habis untuk mendesah.

Sehun menunduk, mencium wanita terkasihnya penuh hasrat.

Luhan baru akan membalas cumbuan itu saat pinggul Sehun kembali bergerak pelan, miliknya bahkan masih keras di bawah sana. Membuatnya yang masih sangat sensitif kembali terangsang.

"S-sehun…" Luhan susah payah mendapatkan suaranya. "Apa kau…"

"Hmm?" Sehun menciumi lehernya, menggigitnya dan menghisap keras. Tanda-tanda kemerahan mulai bertebaran. "Kau tidak berpikir aku akan cukup dengan satu sesi kan? Kita bisa mencoba banyak posisi…"

"Sehuunnn…" Luhan mengerang manja.

"Ya, Sayang?"

"Kau gila." Kata Luhan. "Biarkan aku istirahat sejenak." Lanjutnya serak.

Sehun hanya menyeringai, sebelah tangannya kembali mengerjai payudara Luhan yang masih tegang karena gairah. Ia mulai bergerak dengan konstan.

"Akh, brengsek."

"Nama tengahku, Luhan." Bisiknya menggoda. Mengangkat tubuh Luhan dan memutar posisinya tanpa melepas tautan tubuh mereka; Luhan mengerang keras. Sehun menghentaknya kuat tanpa jeda, tak membiarkan Luhan berbicara kecuali untuk mendesah.

Luhan khawatir, apakah ia bahkan bisa tidur malam ini.

.

.

Setelah upacara pengikatan dan juga malam panas yang mereka lalui; mereka dihadapkan dengan suatu hal yang sebelumnya tak terlintas sama sekali.

Ya, mereka melakukannya begitu saja tanpa mempersiapkan segala sesuatu yang seharusnya ada dalam upacara pengikatan seorang penyihir paling berpengaruh; setumpuk surat dan perkamen dari kastil juga para pemimpin wilayah membanjir di rumah kayu mereka yang hangat. Beserta segunung boks berbagai ukuran, beberapa dari mereka merupakan kotak kayu berukir indah, sebagian lagi dibungkus kertas-kertas mahal, yang sudah dapat dipastikan berisi hadiah dari berbagai pihak. Luhan mengerang, apakah semalam ia lupa memasang tirai pelindung?

Luhan memijit keningnya saat akhirnya ia menemukan surat dari adiknya; mengomel panjang lebar soal semua serbuan pos burung hantu di kastil yang isinya menanyakan perihal pengikatannya dengan Sehun, yang tanpa pemberitahuan, tanpa persiapan dan segala printilan yang membuat Luhan mendesah; astaga, mungkin seharusnya aku tidak melakukannya kemarin.

"Wow, aku menemukan sirkam kristal biru di sini, Sayang." Luhan menoleh, menatap Sehun yang tengah membuka kotak kayu berukir ombak. "Dari Sylvey; Laut Timur. Hei, apa dia seorang siren?"

Luhan mengangguk. "Dia temanku dulu saat di akademi. Apakah ada surat?"

"Ya, ada—"

"Dan jangan membukanya jika tidak ingin telingamu berdenging. Dia pasti murka aku tidak mengundangnya."

Sehun menghela nafas lega, ia baru saja akan membuka surat itu. Sehun meletakkannya, mendekat ke Luhan yang tampak pening.

"Aku menyusahkanmu, ya?" Sehun terkekeh lembut, memegang bahu sempit dan mencium rambut Luhan yang harum.

"Memang sejak dulu kau menyusahkanku; aku heran, kenapa kemarin aku iya-iya saja saat kau melamarku? Astaga, aku tidak bisa membayangkan segala hal merepotkan yang harus kita lakukan setelah ini."

"Pesta dan pertemuan dan teman-temannya?"

"Ya, dan itu akan merepotkan." Luhan mendesah, tapi tampak tak menyesal, sama sekali.

"Aku tidak menyangka kabar ini akan menyebar secepat bara memercik ranting kering; padahal setahuku makhluk itu tidak banyak bicara?" Ya, bayangan hitam yang mengurusi pengikatan antar penyihir itu hanya datang saat dibutuhkan dan pergi ketika tugasnya selesai.

"Para roh menyebarkannya secepat angin, kau tak tahu betapa sangat penggosipnya mereka hingga membuat seluruh penjuru wilayah tahu kabar ini." Luhan mencampakkan perkamen yang membuatnya pusing, menatap sejenak tumpukan hadiah yang lebih dari setengahnya belum dibuka, kemudian bangkit dan duduk menggeser semua tumpukan surat di meja.

Luhan maju dan mengecup bibir Sehun, terpejam menikmati kehangatan itu. Tautan mereka terlepas dan Sehun mengalungkan tangan Luhan ke lehernya, membuat tubuh mereka lekat tanpa jarak. "Ini akan sangat merepotkan, kita harus segera pergi ke kastil dan menyelesaikan semuanya."

"Apa kita bisa kembali sebelum tengah malam?" Sehun bertanya, bernafas di depan bibirnya.

"Dengan semua hal merepotkan yang menunggu di sana; aku takut kita tidak. Kenapa?"

"Kalau begitu aku hanya punya sedikit waktu untuk bercinta denganmu; sangat disesalkan." Katanya pura-pura cemberut.

Luhan mendengus; menggigit bibir bawah Sehun tanpa ampun. Sehun tertawa renyah, tampak sangat bahagia. "Mulut kotormu Sehun, brengsek sekali."

"Dan aku tahu kau sangat menyukai mulut brengsek ini; yang sudah membuatmu mengerang sepanjang malam?" Sehun menyeringai dan Luhan mendapat ledakan semu merah.

"U-uh…"

"Sangat menyenangkan melihatmu tersipu seperti ini, Luhan."

Luhan hanya memalingkan wajah, tak tahan dengan tatapan Sehun kepadanya. Lalu Sehun melepaskan pinggangnya, salah satu tangannya merogoh saku celana dan mengeluarkan kotak beludru hitam dari sana. Luhan menatap bertanya dan Sehun tersenyum lembut.

Sehun membuka kotak kecil itu dan sepasang cincin berkilat menyilaukan pandangan. Luhan menatapnya, menemukan batuan permata menghiasi sepasang cincin berbeda ukuran itu. Sehun mengambil cincin yang lebih kecil dan memakaikannya ke jari manisnya.

"Seharusnya aku memberikan ini padamu kemarin saat upacara pengikatan; tapi aku tak menemukan celah."

Luhan tertawa mendengarnya. "Ah, ini tradisi para manusia saat mereka … menikah? Kami juga melakukannya, tapi tak semuanya."

Sehun mengangguk, lalu memakai cincinnya sendiri di jari manisnya. Sehun mengecup jemari Luhan, tepat di cincin indah itu melingkar manis. "Kau menyukainya?"

Luhan mendekatkan wajah, berbisik dengan senyum merekah. "Suka sekali."

Mereka menautkan jemari dan bertukar pandangan penuh emosi.

"Luhan…"

"Hmm?" Luhan menatap Sehun penuh perhatian.

"Apakah kembali ke ranjang adalah ide yang bagus? Aku sudah tidak sabar untuk memiliki anak denganmu."

"Apa kau tahu bahwa mulut kotormu itu sangat merusak suasana?" Luhan sebal setengah mati. "Aku bahkan baru tidur saat fajar tinggal beberapa jam; apa kau lupa itu?!"

"Jangan berharap apapun, Sayang. Kau tahu seperti apa diriku."

"Oh, tentu, bocah nakal yang isi kepalanya hanya tentang tubuh telanjangku."

Sehun tertawa, mengangkat Luhan ke depan tubuhnya tanpa susah payah. "Ya ya ya, aku bocah nakalmu yang berhasil membuatmu mendesah. Bukankah kau sangat menikmati sisi dewasa dari bocah ini, hmm?"

"Sehun aku peringatkan kau, ini masih terang dan—astaga, sejak kapan kau bergairah?!"

Pintu tertutup, dan sepertinya perjalanan mereka ke kastil akan tertunda beberapa saat, atau mungkin mereka tak akan pergi.

Tapi, toh, Luhan suka.

Luhan menatap Sehun yang mengurungnya di antara lengan-lengan kuat, mengusap lembut wajah suaminya—astaga, sebutan itu membuat Luhan bersemu dan bahagia bukan main. Mendekatkan wajah mereka dan berbisik sangat pelan, sehalus semilir angin, membuatnya hanya bisa didengar Sehun.

"…"

Pupil mata Sehun melebar, lalu berkaca-kaca. Pria itu tersenyum lembut, mengecup bibir wanita cantik di bawahnya mesra.

"Kau tahu, Luhan, Sayang? Akulah yang paling beruntung di sini."

.

.

"You know …"

.

.

"… I thanks the faith that made us together; the stormy night, cold rain and breeze, and everything that comes with. I thank you, I never know I would be the lucky one with having you."

.

END

.

Ini pada baca warnMature Content di part 1, kan? Soalnya Chi kaget sampai gelindingan waktu sadar ada scene anu-anu (Kinda like: da Hell kamu nulis naena?! UwU) Oke maaf kalau scene itu agak kaku karena yah… sudah lamaaa sejak saya nulis scene begituan haha *slapped

Ini terinspirasi dari anime art yang saya temukan di IG, udah lama banget sebenarnya, tapi ketika mikir "Pengen nulis rate M, huhu, tapi stuck sama ide Domestic!HunHan" *ehemketahuan akhirnya scroll saved IG dan ini pun tertulis begitu saja. Pakai referensi setting di film Hansel and Gretel, dan sedikit kecampur dengan Harry Potter!AU. Dan saya nulis fantasy lagi, ah biarlah.

Saya pengen post ini di Watty juga karena di sana bisa nyantumin art-nya. (Tapi itu buat besok lagi deh, post di sini saja masih curi-curi waktu hehe) Maunya pendek, tapi ternyata saya terlalu menikmati dan akhirnya words-nya tumpah sebegini banyak. Ah sudahlah, saya menulis karena saya ingin hehe. Soal umur, saya waktu nulis nggak terlalu mikir itu, jadi yah, nikmati seperti ini saja ya heuheu.

Semoga kalian suka ya… (Saya sejujurnya agak kaget—dan senang sekaliii, melihat respon kalian yang masih baca HunHan, padahal saya insekur publish ini hehe. Terimakasih atas review-nya, saya seneng banget bacanya dan kasih semangat.) Maf kalau AN ini panjang sekali.

Semoga bisa cepet ketemu dengan VVL dan oneshot-oneshot lainnya ya! (Because next month is APRIL and APRIL IS ALL ABOUT HUNHAN! *I'mgoingcrazy)

.

Anne, 2019-03-23