Lewat tengah malam.
Petir menyambar langit yang kelam. Awan hitam memenuhi pandangan dan menurunkan hujan lebat yang seakan tak ada habisnya. Angin kencang menerbangkan hawa dingin mencekam bersama semerbak aroma bebungaan mistik.
Malam badai mencekam yang membuat seisi penduduk pemukiman menutup pintu dan jendela erat-erat, tak ada cahaya apapun selain dari lentera sekarat yang tergantung di setiap teras rumah kayu; cahayanya antara hidup segan mati tak mau. Bebunyian aneh menggelitik gendang telinga; benturan antar ranting, gemerisik daun ditimpa kucuran air, angin yang membelai setiap benda yang dilewati, dan sayup-sayup nyanyian merdu lirih di antara hujan.
Seorang wanita muda berjalan menapaki jalan tanah yang basah. Jubah hitam panjang yang membalut gaun serupa basah kuyup menyapu jalanan seiring langkahnya. Tangan pucat kurus menggenggam tongkat kayu cokelat tua di depan dada yang setengah terbuka; tepat di depan liontin yang menggantung indah. Rambut panjangnya menempeli jubah, membentuk pola sulur acak yang mempesona. Dan wajah putih sebening kristal itu menunduk, menghindari tetesan air dari celah topi kerucut tinggi yang ia kenakan.
Bibir semerah ceri masak itu menggumam samar, mengalunkan melodi lirih yang bisa ia pastikan terdengar kepada makhluk manapun yang masih terjaga.
Light wouldn't come…
Light wouldn't come…
Let the dark spreading all the way…
Light wouldn't come...
Light wouldn't come…
Why don't you following my way?
Wanita muda serba hitam itu terkikik ketika pendengarannya menangkap isakan lirih dari gadis kecil di salah satu rumah, serta bisik-bisik lain yang menyuruhnya diam.
Lalu ia mengulang lirik dan melodi yang sama dengan suara sedikit lebih keras, dan ia mendengar pekikan lirih yang membuat kikikannya makin menjadi. Seringai menghiasi bibir merah itu dengan mempesona.
Langkah perlahan membawa kakinya sampai di perbatasan, ia menatap bersama senyum kecil hutan gelap dan mencekam di depan sana. Ia baru akan kembali berjalan ketika ia mendengar suara lain di dekatnya. Juga aroma lain yang membuat dahinya mengernyit.
Isakan kecil dan aroma anyir besi yang memualkan.
Pembunuhan? Batinnya heran.
Ia berbalik, membiarkan langkahnya menuntun jalan sampai ke sebuah rumah yang tak memiliki lentera di depan teras. Pintu terkunci, tapi satu jentikan mudah di ujung tongkat sepanjang sebelas inchi menjadi pemecah. Ia masuk, gelap gulita. Saat petir membelah udara bersama gemuruh guntur, mata biru kelabunya menemukan sesosok bocah lelaki kecil meringkuk di sudut ruang. Di depannya tubuh seorang pria gempal berlumur darah tergeletak tanpa nyawa. Punggungnya melukis garis-garis merah darah dari tancapan-tancapan pisau yang tak jauh dari sana.
Oh, betapa menarik… Batinnya.
Ia menatap bocah berambut hitam gagak itu dalam diam. Dia kecil, rapuh dan pucat. Lalu bocah itu mendongak, memperlihatkan mata kelam yang mendung dan sembab. Wajahnya terciprat darah dan air mata. Tampak ketakutan, terror dan kesedihan di sorot mata itu.
Wanita muda itu menyeringai tipis, memutar jalan dan menemukan bocah itu. Ia merendahkan tubuh, mengulurkan sebelah tangannya pada bocah kecil yang menatapnya takut itu.
"Mau pergi?"
Langit masih menumpahkan hujan, petir dan angin makin semarak memporak-porandakan seisi pemukiman. Wanita muda itu kembali melangkah, dengan bocah kecil yang kini meringkuk dalam pelukan, menyembunyikan isak di perpotongan leher.
Light wouldn't come…
Light wouldn't come…
Let the dark spreading all the way…
Light wouldn't come...
Light wouldn't come…
Why don't you following my way?
Mereka menghilang di antara gelapnya hutan.
.
.
.
Arianne794 Present
A non-profit 'miserable' HunHan GenderSwitch FanFiction
.
.
"ENCHANTER"
.
.
Romance, Fantasy, Lilbit!Hurt&Horror / M Rated, Mature Content
HalfWizard!Sehun x PureWitch!Lu Han
.
.
.
Rumah kayu di tengah hutan lebat itu sudah sibuk dengan cerobong mengepulkan asap sejak matahari menampakkan eksistensi. Aroma daging panggang bercampur rerempah harum memenuhi udara, bersama semerbak roti gandum manis yang masih beruap hangat.
"Hei bocah, aku tahu kau sudah bangun. Cepat keluar dan sarapan!" Wanita muda bergaun safir gelap itu melirik ke pintu di ujung ruang dengan tatapan tajam, dan seorang bocah lelaki tanggung muncul dengan wajah datar dan acak-acakan.
"Aku baru saja akan keluar dan kau sudah berteriak seperti itu."
Getokan sendok kayu menyapa dahi bocah lelaki itu, membuatnya meringis tapi tak mengerang protes.
"Aku lupa, sejak kapan aku menjadi "kau" dan bukannya "nona" seperti dulu." Wanita muda berambut pirang kelabu itu melotot jengkel. Bocah lelaki itu mengedikkan bahu acuh tak acuh, duduk di meja makan yang penuh dengan piring makanan juga tabung-tabung kaca berisi banyak benda aneh; akar-akar berwarna hitam dan merah menyolok mata, bubuk perak berkilau, lilin dengan chandelier tulang berukir, sampai cakar-cakar hewan tak lazim yang tenggelam dalam air. Tapi ia sudah sangat terbiasa sampai ke tahap bisa makan dengan lahap di depan mereka.
Wanita pirang kelabu mendekat dengan sepiring daging panggang menggiurkan yang baru saja ia angkat dari kuali, meletakkannya di meja. Ia duduk sembari menjentikkan ujung jari berpoles cat hitam, dan seketika saja lilin-lilin menyala dengan api biru menakjubkan.
"Selalu api biru untuk hari ini?" Bocah lelaki itu bertanya. Wanita muda itu mengangguk.
Memejamkan mata sejenak, mengucap sebaris kalimat cepat tak terdefinisi lalu serbuk perak dari dalam botol keluar, menyebar lembut mengelilingi makanan di sana lalu menghilang.
"Cepat makan." Katanya. Dan bocah lelaki itu menurut tanpa banyak tanya.
Berganti-gantian antara daging panggang, roti gandum, kudapan manis berbalut madu dan buah segar menyambangi indra perasa mereka. Bocah lelaki itu sedang menikmati apel merahnya, saat kalimat dari si Pirang Kelabu membuatnya tersedak tidak elit.
"Kapan kau setuju masuk ke sekolah sihir?"
"Uhuk!" Bocah lelaki itu segera mengambil gelas piala berisi air dan meminumnya, terbatuk hebat sampai membuat wanita muda itu menepuk punggungnya. "Luhan jangan memaksaku." Katanya meringis.
"Sejak kapan aku menjadi "kau" dan "Luhan" bukannya "nona" untukmu, heh?! Kenapa makin besar kau makin kurang ajar saja padaku?! Kemana Sehun kecilku yang manis dan menggemaskan?" Wanita muda yang dipanggil Luhan itu jengkel bukan main, menggerutu dengan bibir maju beberapa senti. Dan, malah dia yang terlihat menggemaskan di sini.
Bocah lelaki itu, Sehun, menyeringai tipis. "Aku sudah enambelas sekarang."
"Dan apa hubungannya dengan kesopanan?" Luhan mengerang, menatapnya kesal sebelum membuang muka. "Aah! Sudahlah!" Luhan menggebrak meja, menatapnya serius. "Kembali ke sebelumnya. Hari ini kau tepat enambelas, dan kapan kau setuju untuk masuk sekolah sihir? Bocah seumuranmu sudah di tingkat enam jika kau masuk sejak umur sebelas apa kau tahu itu?!"
Sehun memainkan apelnya. "Kenapa aku harus masuk ke sana di saat pelajaran yang kau berikan padaku sudah melampaui tingkat terakhir di sekolah itu?"
Luhan merona, teringat pelajaran-pelajaran dan kelas-kelas yang ia berikan pada Sehun sejak belia. Oh, ya, buku-buku berdebu di rak tanpa batas itu.
"Sehun…"
"Aku tidak mau masuk ke sana! Di sana aku mungkin satu-satunya yang setengah penyihir." Katanya dengan raut sebal, merajuk dengan caranya sendiri. Luhan tersenyum lembut.
"Sepertinya kau menyesal hidup denganku. Apakah kita harus mencari pembalik waktu dan mengubahnya?" Kata Luhan tenang, mengamati bocah lelaki tanggung di depannya ini.
"Siapa yang bilang begitu!" Sehun menyentak defensif. Teringat ke masa lalu, ke masa yang dimaksud Luhan. Saat ia berumur dua belas dan kehabisan darah karena kecelakaan di tebing jurang. Luhan memang memiliki kekuatan sebagai penyembuh, tapi ia tak bisa menyelamatkan orang sekarat yang berada di ambang kematian. Satu-satunya pilihan saat itu hanya membuat Sehun menggigit pengelangan tangannya kuat-kuat dan mencekokkan darahnya sendiri.
Pertukaran darah itu membuat Sehun menjadi setengah penyihir.
"Sepertinya kau menyesal, Sehun. Sepertinya akan lebih baik jika malam itu aku tidak mengambil dirimu, aku tidak perlu merawatmu selama tujuh tahun dengan susah payah." Luhan menatapnya dingin, dan Sehun merasa ia masih berumur sembilan.
Memori mengerikan di malam badai itu menyeruak dan membuat pupil matanya melebar ketakutan. Udara menjadi sedikit lebih dingin padahal dia dekat dengan perapian.
"Kau tidak bisa melakukannya!" bisiknya. Luhan menyeringai.
"Kau tahu aku bisa melakukannya." Dan Sehun benar-benar percaya Luhan bisa melakukannya, Luhan tak akan kesulitan mencari pembalik waktu meski benda itu begitu terlarang dan kembali ke masa lalu. Dia bisa terus berjalan di malam badai, abai dengan dirinya yang ketakutan. Luhan pernah berkata itu bisa merusak konsep waktu, tapi Luhan tak akan keberatan jika dia sudah bertekad.
Sehun gemetar, lalu hawa hangat menyebar dari ujung jemari Luhan yang menyentuh bilur nadi di lehernya. Sehun mengangkat pandangan dan menemukan Luhan tersenyum kecil padanya.
Sehun menyentak kursinya sampai terguling dan ia menyembunyikan wajah di pangkuan Luhan; selalu seperti ini, hal yang tak pernah berubah jika ia tengah ketakutan. Luhan mengelus rambut hitam lebat Sehun yang mencapai tengkuk dengan lembut.
"Jadi? Alasan sebenarnya? Kau selalu mengelak dengan alasan bodoh bertahun-tahun." Luhan berucap lembut.
"Aku tidak mau pergi dari sini. Masuk ke sana sama saja tinggal di sana, dan hanya bisa mengunjungimu di waktu-waktu tertentu. Dan waktu-waktu tertentu itu sialan sedikitnya." Luhan terkekeh mendengar alasan itu, tapi ia tahu Sehun jujur. "Kenapa aku tidak bisa tinggal di sini saja? Kau sendiri yang berkata aku melampaui mereka."
"Bukannya aku bilang kau tidak bisa tinggal di sini, tapi memangnya kau tak mau mencari teman, kekasih atau pengalaman di dunia luar? Bocah seumuranmu di luar sana tengah sibuk dengan buku usang, merapal mantra dan mencari karir, juga bersenang-senang dengan alkohol dan gadis cantik, memangnya kau tidak tertarik?"
Sehun terdiam, memainkan ujung gaun safir gelap Luhan. "Aku bersenang-senang dengan alkohol kok, saat kau tidak di rumah."
Luhan tertawa, menepuk kepala di pangkuannya. "Bocah nakal!"
"Dan aku memilikimu di sini, dan mereka yang sibuk dengan buku usang, merapal mantra dan mencari karir di luar sana tidak memiliki dirimu. Bukankah kau akan tetap menjadi gadis cantik?"
Luhan tersenyum lembut. Sehun memang terus bertambah baik umur, fisik maupun pemikiran, tetapi dia tetap memiliki sisi Sehun kecil yang manis. Ah, Luhan jadi benar-benar merindukan Sehun kecil dulu.
"Bocah nakal." Katanya lagi. Luhan menepuk puncak kepala Sehun sekali lagi. "Baiklah, aku tidak akan memaksamu lagi. Tapi kau harus janji tidak akan mengeluh saat belajar denganku."
Sehun mengangkat wajahnya, tersenyum dan mengangguk. Luhan mencubit ujung hidung mancung itu. "Sekarang kita harus memotong rambutmu, aku tidak mau punya anak lelaki dengan rambut gondrong menyebalkan."
Sehun mengernyit tak suka dengan kalimat Luhan, lebih ke sebutan anak lelaki yang Luhan sematkan, tetapi dia tak bicara apapun.
Mereka beralih ke ruang tengah dengan Sehun yang duduk di kursi tinggi. Luhan berdiri di belakangnya dengan sisir porselain dan gunting kaca. Mengetuk jemari di ujung dagu, berpikir akan seperti apa ia memotong rambut Sehun.
"Sudahlah, mau bagaimanapun kau berpikir dan mengandai-andai, rambutku akan tetap jelek seperti biasa." Komentar Sehun jahil. Luhan menepuk kepala Sehun gemas dan jengkel.
"Mulutmu yang tidak sopan kembali lagi. Kalau bukan kau yang bilang kalau ibumu dulu memotong rambutmu dengan telaten maka aku tak akan susah payah dan menggunakan sihir untuk mengurus rambut sialan ini sampai botak!"
Sehun tertawa, teringat saat ia berumur sepuluh dan mengatakan bahwa ibunya selalu memotong rambutnya. Membuat Luhan menggunakan tangannya sendiri alih-alih sihir untuk melakukan hal yang sama. Dan, kalimat panjang itu benar-benar menggemaskan.
Satu hal lagi, Sehun berbohong soal rambut jelek; mau sekacau apapun Luhan mengurus rambutnya, ia akan tetap suka.
Pekerjaan itu selesai setengah jam kemudian dengan keluhan Luhan yang menggerutui tinggi Sehun yang sudah hampir menyamainya. Sehun hanya menyeringai.
"Kau mandi dan berpakaian yang layak," Luhan yakin Sehun sudah hafal maknanya, itu berarti Sehun harus menyamarkan penampilannya. "kita akan pergi."
Sementara Sehun menghilang ke belakang rumah, Luhan membereskan sisa sarapan dan merapikannya ke rak atas. Luhan mengganti pakaiannya; gaun ungu gelap yang menyentuh mata kaki dan jubah hitam bertudung dengan jalinan benang emas sebagai pengikat di depan leher. Luhan baru saja menerbangkan boots hitam dari kamar tidurnya saat Sehun muncul dengan tampilan tak begitu berbeda dengannya; semuanya hitam.
"Sudah selesai?"
Sehun menggeleng. Dia mengambil tongkat Luhan dan menyentuhkan ujung tongkat itu ke rambutnya sendiri, mengubahnya menjadi pirang gelap dengan potongan berbeda.
Luhan tertawa. Dia mengambil kembali tongkatnya dan rambut pirang kelabunya berubah menjadi semerah api. Sehun tersenyum masam. "Kontras sekali."
"Aku tidak butuh komentarmu, Bocah." Sehun memutar bola matanya malas.
Mereka mengunci rumah dan memantrainya dengan tirai pelindung kuat, lalu berjalan menelusuri jalan setapak di sisi kanan dengan langkah beriringan. Tak ada yang berbicara apapun sampai mereka melewati tabir tak berwarna dan sebuah pemukiman yang padat dilalui penyihir berjubah muncul di hadapan mereka.
"Menemui Paman Albert?"
Luhan hanya mengangguk. Mereka berjalan memasuki toko di ujung persimpangan jalan batu dengan plang kayu berukir Albert's. Toko itu bernuansa hitam gotik, dengan semerbak aroma aneh melayang-layang di antara rak-rak tinggi berisikan berbagai barang, mulai dari yang normal sampai yang teraneh. Mereka berhenti di meja kasir, membunyikan bel perak di sisi meja.
"Aku tahu kau akan datang, Nona Luhan!" Suara serak menyenangkan terdengar menggeletarkan udara.
Seorang pria baya berambut putih datang dari balik pintu dengan senyum cerah dan lebar. Penampilan dan pembawaan pria itu sangat kontras dengan toko yang dikelolanya, tapi Sehun sudah berhenti berkomentar sejak lama.
"Jadi kurasa aku tidak perlu mengatakan apa tujuanku, kan?" kata Luhan dengan senyum kecil.
"Aih, aku kecewa tidak melihat rambut pirang kelabumu."
Luhan mengedikkan bahu. "Kemari tanpa penyamaran sedikit beresiko."
Albert tersenyum, begitupun Sehun. Mereka sudah tahu alasannya dan sepertinya itu hanya ungkapan semata.
"Dan kau membawa anak lelakimu yang tumbuh makin dewasa kemari." Albert beralih menatapnya dan Sehun hanya membungkukan tubuh sekilas sebelum memalingkan wajah dengan jengkel. Lagi-lagi sebutan itu.
"Dia perlu belajar. Jadi, berikan apa yang aku mau."
"Tentu, Nona."
Albert menghilang ke balik pintu. Beberapa saat hening, Luhan tersenyum geli pada Sehun yang mengamati barang-barang yang melayang dari rak lalu menghilang ke balik pintu dengan tatapan malas. Beberapa tahun lalu, saat pertama kali Luhan mengajak Sehun kemari, Sehun menatap hal itu dengan mata membulat takjub yang menggemaskan.
Albert muncul lagi dengan kotak kayu besar berisi barang-barang yang Luhan beli. Kotak itu berdebam ketika diletakkan di meja. Sehun tanpa kata mengambil tongkat Luhan di balik jubah dan mengayunkannya malas pada kotak itu, kotak itu lalu mengecil dan Sehun mengantonginya dengan santai. Luhan memberi beberapa lembar uang pada Albert sembari menggumam terimakasih.
"Kurasa anak lelakimu sudah membutuhkan tongkat sihirnya sendiri. Hari ini Gretel baru saja membuka tokonya, kurasa jika kalian cepat kalian akan jadi pelanggan pertama di sana."
"Hmm…" Luhan baru akan mempertimbangkan hal itu sampai Sehun menyela lebih dulu. Pemuda itu menatap tongkat Luhan di tangannya dan berkata.
"Luhan membuat tongkatnya sendiri, kan? Kalau begitu aku juga akan membuatnya sendiri." Luhan mengerjap. "Apa boleh?" Sehun menoleh padanya dan Luhan hanya bisa tertawa. Luhan mengusak rambut Sehun.
"Tentu kau boleh, tapi kita tetap kesana untuk berkonsultasi."
Mereka menghabiskan waktu satu jam penuh di toko Gretel untuk mendengar celotehan panjang soal tongkat sihir, bagaimana memilih material kayu yang tepat dan inti yang sesuai, bagaimana setiap gesekan pahat pada tubuh tongkat akan membangun kekuatannya sendiri, dan bagaimana mendapatkan kesetiaannya. Sehun menggumam malas, ia sudah tahu itu, tapi ia tetap mencoba mendengarkan karena tatapan Luhan begitu tajam padanya.
"Jadi, aku menyarankan kayu—"
Sehun akhirnya tetap tidak mendengarkan. Dia bangkit dari duduknya, berjalan dan mengamati kayu-kayu yang terpatri di rak tinggi, mengamatinya dalam diam lalu meraih sebuah kayu berwarna hitam arang yang mengkilap.
"Bagaimana dengan ini?"
Gretel, perempuan tua itu tersenyum jengkel, tetapi tetap mengangguk sopan demi menghargai Luhan yang kini nyaris berguling dan tertawa di atas lantai. "Pilihan yang bagus, Anak Muda. Kayu elm akan menjadi tongkatmu yang sempurna. Lalu apa inti yang kau inginkan?"
"Aku sudah memikirkannya." Tapi Sehun tampak tak ingin memberitahu, jadi sebelum Gretel menyambar tongkatnya sendiri dan mengutuk Sehun menjadi katak rawa, Luhan bangkit dan membawa Gretel ke kasir. Saat membayar Luhan melirik Sehun yang tampak teliti dengan material kayu yang di pegangnya.
"Kau sangat tidak sopan, Sehun." Luhan mencoba garang saat mereka sampai di rumah. Tapi Sehun hanya mengedikkan bahu, mengeluarkan barang bawaan dari saku dan membiarkan Luhan mengembalikan ukurannya. Sehun langsung mengambil bungkusan berisi kayu elm yang berbalut kain dari tumpukan barang itu, lantas bergegas keluar rumah dan duduk di atas batu datar dan memulai pekerjaannya.
Luhan datang ke sana saat selesai membereskan belanjaannya, lalu menemukan Sehun tengah menekuni kayu elm-nya dengan mata tajam. Kayu hitam mengkilap itu terlihat sangat keras, tapi Luhan tak akan menawarkan bantuan karena ia tahu Sehun lebih suka melakukannya sendiri. Jadi, Luhan hanya duduk di samping Sehun dan mengamati.
"Kau tidak menyangka kayunya akan sesulit itu?" Luhan bertanya, menjentikkan tongkat sihirnya ke rambut Sehun.
Sehun menggeleng. "Aku sudah tahu kok."
Luhan tersenyum, mengusak rambut Sehun yang sudah kembali ke semula. Luhan tanpa sadar bermain-main di tengkuk Sehun, mengelus rambut yang terpangkas rapi dan terasa sedikit tajam. Luhan tak menyadari Sehun sempat menahan nafas dan menghalau rona.
"Kau ingin inti apa? Bulu phoenix? Surai unicorn? Serat jantung naga? Atau benang harpa putri duyung? Hmm, mana yang akan bagus?" Luhan berpikir sendiri, sementara Sehun tersenyum kecil.
"Itu barang mahal semua."
"Apa sih yang tidak buatmu—hati-hati mengukirnya, jika patah aku tak mau tanggung jawab—katakan saja, apa yang kau mau?"
"Surai unicorn boleh?" Sehun menatap Luhan dan menghentikan pekerjaannya sejenak. Luhan tersenyum manis dan mengangguk.
"Itu akan sempurna, kau pandai sekali."
Luhan mengayunkan tongkat sihirnya dan merapalkan sebaris mantra, tanpa tahu Sehun mengamati gerak bibirnya yang lembut dengan tatapan lain. Lalu sebuah kotak kayu melayang ke arah mereka dan membuat Sehun terkejut bukan main.
"Kau sudah memilikinya?!"
Luhan mengangguk, menatap terhibur pada Sehun. Luhan membuka kotak itu dan helaian surai unicorn yang perak berkilau muncul perlahan. "Ini milik ibuku dulu, kau boleh memilikinya."
"Kau tidak bercanda?"
Luhan mengangguk.
"Tapi, ini…"
"Iya, aku tahu. Ini inti dari tongkat sihir ibuku yang patah saat ia berperang dulu." Luhan menatap sendu pada helai perak berkilau itu, tapi hanya itu. "Tenang saja, surai unicorn ini masih sangat baik dan masih sama bagusnya dengan dulu; berterimakasihlah padaku yang bisa menyelamatkannya."
Luhan menyerahkannya kepada Sehun. Sehun tersenyum kecil. "Boleh aku meminta satu hal lagi?"
"Hmm?" Luhan menatap Sehun bertanya.
"Minta sehelai rambutmu?"
Dan Luhan merona pekat.
"Akan sangat bagus jika tongkat ini punya inti dari penyihir seperti dirimu." Sehun cepat-cepat menambahkan. Luhan tersenyum susah payah.
"Aku belum pernah dengar soal itu, dan, kau ini banyak maunya, ya? Untung aku sayang padamu."
Luhan lantas menghilang ke dalam rumah setelah memberikan apa yang Sehun mau. Sehun mengerjakan tongkat sihirnya sampai malam hari, lalu kembali ke rumah dengan tubuh tongkat yang sudah jadi. Luhan menatap pada benda-benda yang terhampar di meja, menunggu penyatuan yang akan Sehun lakukan dengan tongkatnya.
"Kau yakin bisa?" Luhan bertanya sembari menyerahkan tongkat sihirnya. Menyipitkan mata saat melihat helaian surai di dalam kotak kayu yang terjalin rapi.
"Tentu saja." Sehun menjawab cepat. Pemuda itu lantas memejamkan mata, merapalkan deretan mantra panjang dengan hati-hati. Sebuah cahaya berwarna biru muncul dari ujung tongkat, menyapu dan membalut material-material di atas meja dan saat cahaya itu makin terang, sebuah ledakan kecil terdengar dan setelah itu menghilang bersama cahaya biru yang mulai memudar.
Tongkat itu melayang sebentar sebelum jatuh ke atas meja. Sehun menatap puas pada tongkatnya yang telah sempurna. Tongkat itu berwarna hitam pekat, tampak mengkilap dan kuat. Ukiran halus melingkar ada di pangkal dan ujungnya meruncing dengan bilur garis perak yang menawan.
"Bagus sekali. Kau sangat berbakat membuat tongkat ternyata." Luhan tak mampu menyembunyikan senyum bangganya, ia mengambil tongkat Sehun dan mengamatinya dari dekat. Lalu tiba-tiba Luhan memejamkan mata, merapal mantra non-verbal dalam hati dan membuat tongkat hitam itu melayang di atas telapak tangannya.
Bunga api berwarna biru muncul di sana dan saat itu, keduanya merasakan sesuatu yang aneh merasuk ke dalam dan memberikan sensasi menyenangkan yang terasa sedikit asing.
Luhan terkejut merasakan sentakan itu, tapi ia tak berkomentar apapun. Saat proses penyempurnaan terakhir itu selesai, Luhan memberikan tongkat itu pada pemiliknya dan mengambil tongkatnya sendiri.
"Kita akan mencobanya besok. Sekarang kau harus membersihkan diri dan aku akan menunggu di meja makan."
.
.
.
Tahun-tahun berlalu dengan berbagai macam hal yang mulai Sehun lakukan. Sehun tak pernah lagi memanggilnya nona seperti dulu saat masih kecil dan menggemaskan, dia melakukan semua hal sesuka hati dan bertingkah sangat menyebalkan. Tak jarang menggoda Luhan dengan godaan mesum dan kotor sampai membuat Luhan murka dan membuat rumah mereka bergetar karena hempasan energi. Berkali-kali Luhan menghukum Sehun, tetapi dia tak pernah kapok.
Lalu tiba-tiba saja, setelah ulang tahun Sehun yang ke duapuluh lima, Luhan merasakan sesuatu yang berbeda. Dia tidak nakal lagi—sebenarnya kejahilan Sehun sudah mulai berhenti sejak umur duapuluh, tapi kini dia sedikit lebih pendiam dan dewasa. Luhan berpikir itu hanya pendewasaan pada umumnya, tapi ia tahu ada sesuatu yang lain di balik perubahan itu.
Luhan tidak bodoh untuk mengetahui apa itu, hanya saja, beberapa tahun belakangan sejak ia menyadarinya, ia tetap bungkam dan bersikap seolah tak tahu apa-apa.
"Luhan, apa kau abadi?"
Luhan tersentak, perkamen yang tengah ia periksa terjatuh dari genggamannya, pun begitu dengan pena bulu yang ia gunakan. Luhan menatap Sehun yang tengah sibuk dengan buku mantra tingkat tinggi yang tengah dipelajarinya—entah untuk keberapa kali.
"Kenapa bertanya begitu? Bukankah aku pernah mengatakannya padamu?"
"Hanya memastikan, apakah kau memiliki informasi yang kau tahan karena saat itu aku terlalu muda." Luhan sadar, Sehun tak suka jika masa kecilnya diungkit dan diingatkan dengan masa lalu.
Luhan menyingkirkan perkamennya, bangkit dan duduk di samping Sehun. "Baiklah jika kau ingin aku mendongeng." Luhan menyamankan sandaran. "Penyihir dari garis darah utama memiliki umur yang jauh lebih panjang dari penyihir biasa; pendewasaan dan penuaan tubuh berhenti pada rentang umur dua puluh sampai tiga puluh, tapi kami tidak abadi. Penyihir dari garis darah utama yang memiliki umur terpanjang adalah Walther Baldz, dia berumur sampai tujuh ratus tahun. Beberapa keluarga dari garis darah utama tersebar di benua ini, dan aku salah satunya. Kebanyakan dari mereka menurunkan garis darah kepada keturunan lelaki, tapi keluargaku menurunkannya pada keturunan perempuan. Dan ibuku mati saat dia berumur empat ratus tahun, tercatat paling tua juga dari sejarah keluarga. Kami memegang daerah kekuasaan sendiri dan memiliki struktur sendiri untuk menangani kriminal dan penyihir hitam, juga memasang tabir pelindung kuat di perbatasan wilayah. Kami juga menjaga keseimbangan antara manusia, penyihir, juga makhluk mistis yang menjadi dongeng di kaum manusia."
"Dan kau memilih tinggal di sini dan mewakilkan kekuasaanmu di kastil?"
Luhan mengangguk, teringat pada kastil keluarga yang kini dipegang oleh adik lelakinya. "Aku tak terlalu menyukai hal seperti memegang tampuk kekuasaan, dan aku tahu adikku tak akan berkhianat."
"Bagaimana denganku?"
"Karena setengah darahmu sekarang berasal dariku, maka kau juga sama denganku. Kurang lebih, sepertinya." Sejujurnya, Luhan pernah berpikir ia akan menyerahkan hal itu kepada Sehun sejak pertukaran darah yang mereka lakukan.
"Tapi bukankah kau harus menurunkan garis darah itu?"
Luhan tersentak, sedikit mencelos ketika Sehun menyinggung hal yang paling dihindarinya selama belasan tahun ini. "Yah, begitulah."
"Tapi kenapa kau tak juga menikah?"
Aku takut dikhianati seperti ibuku… Luhan membatin. Luhan memang salah seorang penyihir terkuat, tetapi ia pun memiliki luka. Ibunya mati karena berperang, memang, tapi perang itu diciptakan oleh ayahnya sendiri. Pria dari kalangan penyihir biasa yang gila kekuasaan. Pernikahan terdengar sedikit mengerikan baginya setelah semua kejadian penuh trauma itu.
Luhan sudah pernah bercerita, dan ia merasa tak perlu mengulangnya lagi pada Sehun.
"Kau kan sudah tahu alasannya. Suatu saat aku akan menikah kok, tapi tidak untuk sekarang. Memilikimu sudah cukup bagiku."
Sehun menutup bukunya, dan Luhan tahu Sehun sudah berhenti membalik halaman sejak lama. "Memilikiku? Sebagai apa?"
Dan ini dia, Sehun akan mulai menuntut posisinya. Luhan sudah hidup cukup lama, ia bisa membedakan tatapan Sehun padanya dari tahun ke tahun. Saat dia masih kecil setelah memungutnya di malam badai itu, ia adalah seorang ibu pengganti. Menemaninya tidur dan melindunginya dari gemuruh dan kilatan petir. Lalu saat beranjak remaja, saat Sehun berhenti memanggilnya Nona Luhan, Luhan tahu Sehun tak lagi memandangnya sebagai ibu, mungkin sebagai kakak dan teman. Dia berusaha membuat Luhan untuk tidak memperlakukannya seperti anak kecil. Dan puncaknya saat ia masuk ke usia pendewasaan, Sehun tak lagi memandangnya sebagai ibu, kakak atau bahkan teman. Sehun sudah memandangnya sebagai Luhan, hanya sebagai Luhan.
Luhan tersenyum kecil, harusnya ia sudah tahu ini sejak pertama kali Sehun menolak memanggilnya Ibu.
"Sehun, apakah tidak bisa kita tetap seperti ini?"
"Seperti ini? Kau yang menganggapku sebagai anak kecil? Aku memang pernah menangis di pelukanmu saat aku kecil, tapi tidak bisakah kau melihat bahwa aku sudah dewasa sekarang?"
Luhan melihat kilatan luka di sorot mata Sehun yang mengeruh.
"Kau mencintaiku?" Luhan bertanya langsung, tak mengalihkan pandangan.
"Kau sudah tahu itu sejak lama, Luhan." Sehun membalas getir.
"Kau hanya takut kehilangan aku." Luhan berkata lagi.
Sehun tersenyum pahit, seolah mengatakan bahwa itu memang benar.
"Kau tinggal bersamaku selama bertahun-tahun, kau tidak melihat dunia luar dan kau hanya hidup di semesta yang sama. Itu yang membuatmu menyalah-artikan perasaan yang kau miliki padaku." Luhan meraih tangan Sehun, menggenggamnya erat. Dan dalam hati ia berharap itu memang benar, meski di sudut hatinya ia tahu ia hanya bertaruh.
"Apakah salah jika kau menjadi semestaku? Apa kau keberatan, Luhan?"
"Sehun, kau tahu aku menyayangimu…"
"Dan kau tahu aku mencintaimu!" Sehun menyentak kalimatnya, menatap Luhan dengan kilatan marah yang kentara.
Luhan menghela nafas, mereka sudah pernah membahas hal ini dan semuanya hanya berakhir di titik yang sama. Sehun yang tak mau mengerti penjelasannya, atau dirinya yang tak mencoba menerima perasaan yang sama; Luhan tak tahu mana yang benar.
Sehun tumbuh menjadi pria yang sangat menawan. Luhan tahu Sehun bukan lagi Sehun kecilnya yang manis dan punya senyum menggemaskan. Dia tumbuh dewasa dengan sangat menakjubkan. Luhan pernah berpikir suatu kali, apakah memang ini yang seharusnya terjadi ketika ia memutuskan untuk mengambil Sehun di malam badai itu? Tapi Luhan selalu dihinggapi keragu-raguan.
"Sehun, cobalah kau melihat ke luar… Dan jika setelah itu kau tetap pada pendirianmu, kita mungkin bisa bertemu lagi dengan hal yang berbeda…" Itu hanya kalimat lain bahwa Luhan masih belum sepenuhnya yakin, bahwa ia membutuhkan Sehun untuk itu.
Sehun tak menjawab. Ia hanya menatap Luhan sarat arti, lalu maju dan menawan bibir merah Luhan dengan ciuman penuh hasrat. Luhan memejamkan mata saat belah bibir tipis itu menarik bibir bawahnya, menyesap kuat dan menyapukan lidah basah ke permukaan. Tanpa sadar Luhan mengerang, mencengkeram kerah kemeja yang Sehun kenakan dengan erat.
Sehun terlalu berhasrat. Luhan bisa merasakan emosi kuat yang mengaliri pembuluh darahnya saat Sehun mulai menelusupkan lidah dan menghisap nafasnya. Luhan makin terdorong hingga ia merasakan lembutnya bantalan sofa di bawah rambutnya. Sehun mengenggam dan mengunci sebelah tangannya yang mencoba mendorong, dan untuk pertama kalinya Luhan merasa ia tak lebih kuat dari Sehun setelah sekian lama.
Nafas berkejaran saat bibir mereka menjauh beberapa mili. Tatapan Sehun terlalu dekat, terlalu dalam dan terlalu menggetarkan.
"Kau memberikan kesempatan padaku untuk meyakinkanmu, bukan begitu?" Sehun berbisik rendah di depan telinganya, Luhan tak kuasa menjawab saat bibir sepanas bara itu menelusuri lehernya dan menimbulkan geletar nikmat bersama hembusan nafas hangat.
"Akh…"
Luhan memekik lembut ketika Sehun menyarangkan gigi taringnya yang tajam ke bilur nadi, melukainya dan menghisap darah yang mengalir perlahan dengan lidah yang menjilat lembut.
Luhan gemetar, ia panas dingin dengan sekujur tubuh lemas.
"Dan kau tidak boleh memprotes apapun yang kulakukan, bukan begitu?"
Luhan hanya bisa mengerang lemah.
.
.
.
Hari berjalan seperti biasa, Sehun tak lagi menuntut posisinya di mata Luhan secara verbal. Tapi tingkahnya berubah menjadi sangat menjengkelkan. Entah sudah berapa kali Luhan meneriaki Sehun, tapi semua itu hanya membuahkan senyum seringai atau bahkan kecupan nakal yang Sehun layangkan.
Brengsek sekali bocah lelaki—ah, dia sudah bukan bocah lagi…
Luhan sedang sibuk menyiapkan sarapan, sembari mengingat masa lalu saat Sehun kecil yang sudah terbangun mengintip di balik pintu kamar dengan ekspresi takut-takut. Kemudian Luhan akan memanggilnya untuk mendekat, Sehun akan memeluk kakinya dan bersembunyi di balik juntaian jubah yang ia kenakan. Bertanya dengan suara kecil apakah sarapan mereka seperti yang ia makan di rumah dulu? Ataukah Luhan akan menyajikan makanan aneh yang meletupkan asap hijau? Dan sederet pertanyaan menggemaskan yang membuat Luhan mengangkat Sehun kecil ke gendongannya, untuk memperlihatkan bahwa menjadi penyihir bukan berarti memasak makanan aneh. Dan Sehun kecil akan berbinar mendapatkan roti gandum hangat dan daging panggang; yang menjadi menu wajib saat bocah itu berulang tahun.
Ah, betapa Luhan sangat merindukan—
"Selamat pagi, Sayang. Tidurmu nyenyak?"
—brengsek satu itu!
Luhan melempar tatapan sadis dan nyaris menghempaskan Sehun ke belakang, tapi dia tak setega itu. Sehun menyeringai tipis, menempatkan dagu runcingnya di bahu sempit Luhan dan kedua lengan kokoh itu memeluk pinggangnya.
"Apa sarapan kita, Luhan?"
Luhan seolah mendengar pertanyaan yang biasa dilemparkan oleh sepasang kekasih di pagi hari, dan ia nyaris menampar diri karena memikirkannya. Luhan menggelengkan kepala mengusir pemikiran itu, dan tak sadar membuat Sehun menahan senyuman.
"Bukankah akan lebih baik jika kau duduk manis saja dan menunggu?" kata Luhan, mencoba membuat nada suaranya menjadi manis, namun terdengar mematikan.
Dan Sehun sudah terlalu kebal dengan semua itu, dia tak menjauh, malah makin mengeratkan pelukan dan kini tulang hidungnya yang tinggi itu mulai menelusuri lehernya yang terbuka. Luhan memejamkan mata, mencoba sabar dengan kelakuan kurang ajar Sehun ini.
"Bisakah kau tidak nakal? Ini masih pagi, Sehun."
"Jadi aku boleh nakal jika sudah malam?"
"Mulut kotormu, Sehun." Luhan mengerang. "Aku sungguh merindukan Sehun kecilku yang manis."
Sehun menyeringai lebar. "Kenapa kau merindukan bocah kecil itu ketika kau sudah punya versi dewasanya yang lebih menawan?" Luhan mendengus tak percaya dengan kalimat itu. Tapi Sehun tetap melanjutkan. "Bukankah lebih baik jika kita membuat satu bocah kecil agar kau tidak merindu?"
"Sekali lagi kau mengatakan hal itu aku benar-benar akan menenggelamkan kau di danau belakang." Luhan mendesis.
"Dengan kau yang telanjang? Oke, kita harus cepat."
Luhan gerah bukan main dengan segala godaan dan kalimat kotor itu. Dia menarik nafas menetralkan energi yang bergejolak. Ia menggunakan tongkat sihirnya untuk menyelesaikan semua masakannya, dan saat piring-piring berisi sarapan melayang ke meja makan, Luhan memegang tangan Sehun yang mengait di pinggangnya.
"Sehun, tidakkah kau berpikir perbedaan umur kita terlalu jauh?"
"Berapa umurmu? Lebih dari seratus tahun?"
"Aku tidak setua itu! Tidak sopan menanyakan usia seorang perempuan!" Luhan mendelik sadis. Sehun tertawa, sangat terhibur.
"Bukannya kau sendiri yang mengungkit soal usia? Dan lagi, kau tahu bahwa aku tidak peduli dengan hal remeh semacam itu. Kita tahu, kita memiliki banyak waktu." Sehun hanya tersenyum, dan itu cukup untuk membuat Luhan menelan semua umpatannya. Senyum itu terlihat tulus dan membuat Luhan harus memalingkan wajahnya yang terasa panas. Dalam hati membatin tidak seharusnya ia merasakan perasaan semacam ini dengan seseorang yang pernah ia gendong dengan sayang.
"Ini terasa aneh untukku…" Luhan mengaku.
Sehun diam, dia mengeratkan pelukannya yang sudah erat dan makin menenggelamkan wajah ke perpotongan lehernya, menyesap aroma dari sana. "Untuk dirimu yang melihat aku tumbuh, mungkin ya. Aku bisa mengerti itu; kau merasa aneh dan canggung, karena aku yang memeluk dan menciummu sekarang pernah menjadi bocah kecil yang menangis di pelukanmu saat malam badai."
Luhan tersenyum tipis. Memejamkan mata saat Sehun mulai mencium lehernya.
"Tapi bukankah itu bagus? Kau bisa melihat dari sudut pandang lain, dan aku yakin kau akan menemukan bahwa itu semua membuatmu tahu seperti apa diriku, dan kau tak perlu merasa khawatir."
Ya, rasa khawatir akan pengkhianatan dan segala ketakutan lainnya…
"Kau masih berusaha meyakinkanku, ya?"
"Akan selalu seperti itu." Sehun menjawab tegas, dan oh astaga, Luhan tahu Sehun tidak bermain-main. Luhan melepaskan lengan Sehun dan berbalik, menatap wajah tampan Sehun yang menampilkan ekspresi penuh arti.
Sehun sudah benar-benar tumbuh menjadi pria dewasa. Luhan tersenyum kecil. Ia membiarkan tangannya menemukan jalan untuk memeluk leher kokoh. Luhan mencoba peruntungan untuk bermain api.
"Bagaimana jika aku menerima lamaran dari keluarga Hammond? Hmm, atau keluarga Delacour barangkali?"
Sehun mencoba terlihat tenang, tapi sorot matanya tak bisa berbohong. Sehun menatapnya dingin, tapi di dalam sana Luhan bisa melihat percikan api. Luhan menggigit bibir menunggu respon.
"Terserah padamu, tapi jangan salahkan aku jika calon pengantinmu tidak akan datang saat upacara pengikatan. Menghilang tanpa jejak, entah karena dia tenggelam di danau beku atau kediamannya terbakar habis. Atau mungkin ingatannya hilang secara permanen dan dia berkeliaran di jalan seperti orang gila."
"Itu melanggar ketentuan dan kau bisa dihukum."
"Kau tahu aku bisa melakukannya." Dengan semua yang Luhan paksakan kepada Sehun untuk dipelajarinya, Luhan yakin dia bisa. Bahkan jika Sehun memiliki sedikit keinginan, dia bisa menjadi pemimpin yang sangat hebat. "Dan kenapa aku harus khawatir dengan hukuman saat aku memiliki dirimu? Aku yakin kau tidak tega bocah kecilmu ini disakiti, aku benar?"
Luhan tersenyum, mendapati seringaian Sehun sangat menarik untuk dilihat. Luhan menarik Sehun mendekat. Sehun menegang, tapi setelah itu rileks dan balas memeluknya.
"Sehun, kau tahu aku menyayangimu…"
"Dan kau tahu aku mencintaimu, Luhan…"
Suasana hening, hanya ada suara samar dari hutan dan suara perapian yang tengah membakar kayu. Mereka tak berpindah pun mengubah posisi, masih di sana untuk diam dan merasakan. Luhan tersenyum geli ketika menyadari bahwa kini Sehun sudah lebih tinggi, jika mereka bertelanjang kaki Luhan hanya akan mencapai telinga Sehun. Sedikit kesal, tapi Luhan tahu ia menyukainya.
"Hari ini malam 31 Oktober kan?"
"Hm-mm." Luhan hanya menggumam.
"Aku ingin ikut denganmu nanti malam."
"Oh, dan kenapa kau ingin ikut?" Luhan melepaskan pelukan mereka dan mencoba menahan senyum yang mengembang karena Sehun terlihat kecewa saat mereka memiliki jarak. "Terakhir kali kau ikut adalah saat kau berumur tujuh belas."
"Aku hanya ingin ikut, melihat pemukiman itu?" Sehun tampak menimbang-nimbang sesuatu kemudian menyeringai. "Dan meminta restu pada pusara ibumu?" Sehun mencuri satu kecupan kecil pada bibir Luhan, lalu berlari menjauh ke meja makan sebelum Luhan murka.
Namun Luhan hanya tertawa, menatapnya geli dan Sehun setengah menyesal melepaskan diri. Jika tidak, mungkin ia bisa lebih dari sekedar mengecup.
"Singkirkan pikiran kotormu dan kita sarapan!" kata Luhan.
Malam 31 Oktober adalah malam di mana Luhan akan menunjungi makam ibu dan leluhurnya yang sudah meninggal di dekat perbatasan wilayah. Luhan akan kesana dengan apparate, melakukan ritual kecil kemudian berjalan pulang dan menyanyikan lirik lagu yang hanya punya dua bait dengan lirih. Malam yang sama di mana ia memungut Sehun kecil yang ketakutan di salah satu pemukiman yang dilewatinya saat pulang.
Beberapa saat lagi tengah malam, dan Luhan sudah menyiapkan segalanya. Gaun dan jubah hitam yang panjangnya menyentuh lantai, juga topi kerucut tinggi yang masih sama setelah bertahun-tahun. Warna itu mengontras sempurna kulit Luhan yang begitu putih. Luhan tak banyak bicara, hanya tersenyum dan memakaikan tudung dari jubah hitam yang Sehun kenakan sebelum ber-apparate lebih dulu dengan keranjang rotan yang tertutup kain hitam. Meninggalkan Sehun yang menatap rumah kayu mereka yang remang dengan cahaya lilin, pria itu menatap meja kerja Luhan, ke sebuah perkamen yang diikat dengan jalinan benang emas juga surat berstempel lilin merah lambang keluarga.
Sehun menatap dalam diam, kemudian melindungi rumah dengan tirai pelindung yang sama kuatnya dengan milik Luhan, sebelum menghilang dan meninggalkan udara hitam samar yang lenyap sepersekian detik.
Perbukitan itu hanya bisa dimasuki oleh keturunan dari garis darah yang sama, dan Sehun menemukan Luhan berdiri diam di depan makam yang sudah usang dengan keranjang rotan tergeletak. Tertulis di nisan batu nama mendiang ibu Luhan. Tak ada bunga apapun di sana karena entah mengapa Luhan tak pernah melakukan apapun dengan tongkat sihirnya jika memasuki makam ini.
Sehun mengayunkan tongkatnya dari balik jubah, menyihir seikat bunga bakung di atas makam itu. Luhan hanya menatapnya, senyumnya mengucapkan terimakasih. Cahaya purnama membuat wajah Luhan begitu indah dan berkilau.
Sehun hanya berdiri di sana, mengamati gerak bibir Luhan yang melantunkan sederet mantra yang sampai sekarang tak bisa ia dengar pelafalannya. Udara di sekitar mereka berputar-putar dan hujan mulai turun dan membasahi tanah pemakaman yang selalu lembab sepanjang tahun. Dingin mencekam mengingatkan Sehun akan masa kecilnya, saat ia meringkuk di pelukan Luhan saat berjalan di tengah hutan. Tapi ia menemukan dirinya begitu tenang. Semerbak aroma mistik menyapa indra penciumannya bersama suara-suara aneh yang terdengar samar di antara gemericik hujan. Geraman hewan, tangisan menyayat hati juga suara piano dengan melodi perlahan.
"Aku pergi, Ibu."
Hanya itu yang Luhan katakan, sebelum berjalan lebih dulu meninggalkan perbukitan itu. Sehun menatap keranjang rotan Luhan yang tergeletak, yang kemudian kain penutupnya terbuka oleh bayangan hitam dan kemudian lenyap setelah barang-barang tak lazim di dalamnya melayang keluar. Sehun seakan mendengar beberapa suara mengucapkan terimakasih, tapi Sehun hanya tersenyum sangat tipis dan berbalik mengikuti Luhan yang sudah sampai di gerbang.
"Familiar dengan suasana ini?" Luhan berkata lirih saat mereka keluar dari gerbang bukit. Sehun yang berjalan di belakangnya hanya mengangguk, memejamkan mata sejenak merasakan seluruh pakaiannya basah.
"Sudah bertahun-tahun sejak kau keluar di malam ini."
Sehun mengangguk lagi.
Lalu lantunan lirih itu kembali terdengar.
Light wouldn't come…
Light wouldn't come…
Let the dark spreading all the way…
Light wouldn't come...
Light wouldn't come…
Why don't you following my way?
Sehun serasa melayang ke masa lampau, di malam badai itu ia tak mendapat pelukan apapun saat ia ketakutan. Ayahnya pulang dalam keadaan mabuk dan setengah gila, mencerca dan memukulnya yang meringkuk di sudut ruang. Menghina bahwa tak seharusnya seorang anak lelaki takut dengan malam itu dan sederet dongeng dan mitos yang berhembus di antara udara dingin. Pria pemabuk itu tak pernah percaya adanya penyihir atau makhluk apapun yang menjadi mitos para penduduk. Sejujurnya Sehun juga tidak terlalu percaya, karena semua cerita terhenti saat ibunya meninggal di saat ia masih sangat muda.
Sehun tak ingat jelas apa yang membuatnya memiliki keberanian untuk mengambil pisau, dan menusuk punggung ayahnya dengan membabi-buta. Saat ia tersadar, ayahnya sudah tumbang bersimbah darah dan ia hanya bisa kembali meringkuk di sudut ruang.
Sampai pintu rumah terbuka dan seseorang masuk dan menawarkan tangan; sosok itu bagai malaikat paling indah bagi Sehun kecil yang dihantui ketakutan.
"Mau pergi?"
Luhan menggendongnya dan ia menyembunyikan wajah di pelukannya. Hujan terlalu deras dan angin terlalu membekukan, tapi Sehun kecil mendapati dirinya tenang dan aman. Lantunan lagu lirih itu seperti lullaby yang membelai lembut.
Sehun kecil memejamkan mata sepanjang jalan, mendengar semua suara mengerikan dari arwah-arwah yang keluar dan berkeliaran. Lolongan serigala yang panjang bersama desisan-desisan lirih yang mencipta melodi mengerikan. Begitu menakutkan, tetapi jemari panjang yang menepuk punggungnya menjadi penenang.
Sehun kecil baru membuka mata saat ia tak lagi merasakan hujan menimpa tubuh. Menemukan dirinya berada di rumah kayu hangat yang kental dengan suasana mistik dan aroma tak familiar. Sehun didudukkan di sofa, melihat wanita berjubah hitam itu mengayunkan tongkat sihir dan membuat perapian menyala dengan api menjilat. Sebuah kain tebal menyelimuti dirinya, lalu rambutnya dikeringkan.
Senyum seringai yang ia lihat dari bibir merah itu membuatnya bertanya-tanya, apakah wanita muda yang membawanya pergi ini adalah penyihir? Jika iya apakah dia penyihir putih atau penyihir hitam? Pertanyaan menjejali kepala kecilnya, tapi semua itu buyar saat tiba-tiba saja ia kembali digendong. Ia dibawa ke ranjang bulu angsa yang nyaman, dan dia tertidur bersama lantunan lagu yang sama.
"Pergi tidur, dan pikirkan hari esok saat kau bangun nanti."
Sehun kecil tidur di pelukan hangat, bersama petir dan gemuruh yang membuat bayangan mengerikan di jendela.
Sehun tersenyum kecil mengingat masa itu.
Sehun mengedarkan pandangan, dan mendapati langkah pelan telah membawa mereka sampai di pemukiman yang pernah Sehun tinggali.
Tak jauh berbeda dengan yang Sehun ingat terakhir kali, lentera-lentera sekarat diterjang angin badai bergerak-gerak di depan teras tiap rumah. Ada samar-samar suara tangisan gadis kecil yang ketakutan, dan Sehun tak bisa menahan senyum saat Luhan terkikik dan menambah volume suara lantunan lagunya.
"Apa kau tertarik membawa pergi seorang anak lagi?" Sehun bertanya pelan.
Luhan yang ada di depannya hanya menoleh sejenak, dan Sehun bisa melihat seringai di ujung bibir. "Bukankah kau sudah sangat menyusahkan?"
Lalu Luhan kembali melantunkan lagu.
Mereka sampai di perbatasan, dan Sehun hanya menatap rumah lamanya yang sudah lapuk dan nyaris rubuh dengan tatapan dingin. Penduduk desa percaya bahwa penyihir telah mengutuk ayahnya, mengira ia dihukum karena menghina dan tidak percaya, dan hilangnya dirinya adalah sebuah penebusan. Sehun menyeringai, tidak seperti itu, batinnya. Mungkin akan sangat menarik jika mereka melihatku berjalan bersama penyihir yang mereka sebut-sebut, lanjutnya lagi.
Lalu Sehun mendapat satu sentakan di pinggangnya.
Sehun tersenyum, Luhan pasti tahu apa yang sedang ia pikirkan.
Mereka memasuki hutan, dan suara-suara mengerikan mulai terdengar jelas. Sehun bisa merasakan aura-aura negatif mulai menyesakkan udara. Matanya bisa menangkap bayangan-bayangan hitam yang bersembunyi di antara celah pohon tinggi dan langkah-langkah pelan mengikuti di belakang. Sehun baru akan menarik tongkat sihirnya untuk memasang tirai pelindung sampai sebuah cahaya samar melingkupinya dan terasa hangat; Luhan sudah melakukannya lebih dulu.
"Mereka sedikit marah." Luhan berkata pelan.
"Masih tidak terima aku memiliki setengah darah darimu?" Sehun menjawab jenaka.
Luhan hanya tersenyum, dan melanjutkan lantunan lagunya.
Light wouldn't come…
Light wouldn't come…
Let the dark spreading all the way…
Light wouldn't come...
Light wouldn't come…
Why don't you following my way?
Badai masih mengamuk, tapi keduanya seakan sama sekali tak tersentuh hawa dingin membekukan.
.
.
.
Luhan terbangun di pagi hari saat matahari sudah meninggi. Ia meraih tongkat sihir yang ia letakkan dengan aman di nakas meja dekat tengkorak yang mulai menghitam, mengayunkan lembut dan membuat semua jendela terbuka. Udara segar membuat paru-parunya gembira dan Luhan merasakan sesuatu yang berbeda.
Luhan menatap selimut yang melingkupi, dan dia tersenyum mendapati ada dua lapis di sana. Pantas ia bangun terlambat, pasti Sehun diam-diam masuk dan menambah jumlah selimut.
Luhan bangkit dan merapikan ranjang dengan satu jentikan ringan. Ia keluar ke belakang rumah dan membersihkan diri, menghirup dalam-dalam udara pagi yang segar dan juga air dingin yang menyapa kulit putihnya. Luhan langsung menuju dapur dan menyalakan perapian, berkata dalam hati ia akan memasak daging panggang kesukaan Sehun.
Tapi saat ia mulai mengambil rumput rosemary dalam botol kaca, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Udara di sekitarnya terasa berbeda. Aromanya terasa kurang dari seharusnya. Ia bisa mencium aroma sihir milik Sehun dan benang-benangnya, tapi ia tak bisa merasakan keberadaan Sehun.
Ia melangkah ke meja kerja, dan menemukan perkamen dan amplop surat yang seharusnya ada di sana telah lenyap. Digantikan selembar kertas dengan sederet tulisan rapi yang sangat ia kenali. Luhan membacanya dan seketika menggigit bibir.
Matanya berkaca-kaca. Luhan berusaha tersenyum, tapi tak dipungkiri ia merasa pedih.
"Bocah nakal itu, dia pergi seenaknya dan membuatku harus sarapan sendiri." Luhan membisik.
Hubungan yang aku inginkan tak akan berhasil jika kau masih teguh dengan pendirianmu, jadi aku akan pergi dan kembali nanti. Membuktikan bahwa sejauh apapun aku pergi dan seindah apapun dunia di luar semesta yang aku jalani; kau tetap menjadi tempatku pulang.
Jangan mengunjungiku di kastil, biarkan aku bekerja di sana dengan tenang. Kau hiduplah dengan baik di rumah; kurasa banyak yang memerlukan bantuanmu. Aku yakin kau pasti bisa; kau penyihir favoritku kan?
Aku tak tahu kapan akan pulang, tapi mungkin cukup lama agar kau sadar betapa kau akan sangat kesepian tanpa aku.
.
Tbc
.
Ini twoshot, dan minggu depan (atau mungkin lebih cepat) akan saya publish bagian keduanya. Ini genrenya sepertinya campur aduk, karena jujur saya nulis ini untuk melepas stress, hehe. Saya kesambet publish ini di hari Senin ini karena lihat FF HunHan update setelah empat tahun. :"D
Saya sedang nggak punya banyak ruang untuk menulis VVL, karena menulis chaptered itu nggak semudah bikin oneshot. :" And ofc, life fucks me as hell. ._.
Yah, semoga kalian suka dan terimakasih sudah membaca… ^^
.
Anne, 2019-03-18