"Ingin menciumku ya?"

"—ho-howahh!"

Hinata terdorong mundur ke ranjangnya. Seperti baru mendapat kejutan listrik, ia merasakan dalam dadanya berdebar hebat.

Sementara pria yang membuat jantungnya tergemap setengah mati tampak duduk. Lindow mengucek mata sebelum menoleh memandang Hinata.

"A-apa?"

Gadis itu menutupi pipinya yang memerah menyerupai gulali rasa stroberi. Pelan-pelan Hinata bergerak mundur—menarik jarak—sebisa mungkin menghindari kontak mata dengannya

"Haah ... aku ketiduran ya?" desah Lindow mengusap rambut dengan kasar. Matanya yang jernih masih lekat menatap iris rembulan yang menunduk malu-malu.

Tatapan Lindow aneh, membuat bulu kuduk Hinata meremang. Seperti seekor singa yang sedang mengincar buruannya dari jauh. Apalagi ketika menyadari pria itu turun dari ranjang. Sorot matanya yang tajam membuat Hinata tak berkutik, sama sekali.

"...?!"

Hinata terperanjat kala Lindow mendekat. Punggungnya spontan terdorong mundur. Rebah, tatkala dada Lindow yang bidang dan lebar mengungkung di atasnya.

"Ma-mau apa?" suara Hinata terdengar bergetar. Ada rasa takut di dalamnya. Jarak mereka setipis kertas. Maju sedikit, Lindow bisa menekan penuh dada Hinata.

"Diam ..." tangan Lindow membekap bibir Hinata membuat gadis itu terbelalak. Ingin sekali ia teriak.

"—umm!"

"Salju kelabu."

"...?"

Lindow melepas bekapannya. "Seharusnya jendela ini ditutup. Angin membawa abu sisa pembakaran terbang lebih jauh. Tidak bagus untuk kesehatan."

Lindow berdiri selepas membuka jendela. Pipi Hinata yang memerah menjadi atensinya. Ia penasaran.

Dengan tampang polos, Lindow pun bertanya, "Kau kenapa? Wajahmu mirip kepiting rebus."

Sumpah! Hinata ingin melempar sebanyak-banyaknya bantal ke wajah pria itu.

Dasarrrrrrrr!

Kau mengagetkanku, tahu!

.


Masa pergi dari depan gerbang setelah Mayor Tsunade kembali menemui mereka. Awalnya musyawarah berlangsung alot, mulai berjalan lancar setelah pesawat logistik yang mengangkut kebutuhan pokok terbang rendah menuju landasan pacu Kami no Kuni.

Demonstran membubarkan diri. Api pun berhasil dijinakkan. Tidak sampai jatuh korban, hanya saja kerugian dari segi materiel kembali harus ditanggung Fenrir di tengah krisis yang mereka alami.

.


"Aku ikut denganmu!"

Sekeluarnya dari balai kesehatan, Hinata memaksa Lindow yang hendak kembali ke Fenrir untuk mengajaknya.

Alis Lindow naik sebelah, apa gunanya membawa gadis ini?

"Tidak. Kembalilah ke penampungan, atau kau ingin aku mengantarmu ke penjara bawah tanah?"

Hinata mendengus. Yang benar saja? Jelas sampai mati pun ia tak kan mau.

"Kumohon, Kapten. Aku hanya ingin melihat-lihat. Setelah itu aku janji akan keluar. Aku tak kan menyentuh apa pun, dan tak kan bercerita pada siapa pun."

Wajah memelas Hinata tidak berarti apa-apa bagi Lindow. Pria itu tetap pada pendiriannya. Menolak.

"Tidak. Gedung Fenrir hanya diperuntukkan bagi anggota. Bahkan pihak kepolisian tidak bisa masuk tanpa izin."

"Johan pasti mengizinkan! Aku yakin kok!"

Lindow menggeleng. Dia menekan tombol segiempat yang ada di muka gerbang.

"Ini aku, Kapten Amamiya. Tolong buka gerbangnya."

Tak lama, tanah seakan bergetar. Dinding raksasa di hadapannya perlahan membelah jadi dua sisi.

Hinata tertegun. Baru ini ia melihat dinding Fenrir menunjukkan bagian dalamnya.

Sialnya, harapan Hinata terlalu besar. Dinding tak membuka sempurna, hanya akses untuk dilalui satu orang.

"Sudah sana kembali." Lindow memantik rokok yang baru ia ambil dari saku dada.

"Tidak, aku ingin masuk!"

"Hei, menurutlah sekali ini sa ..." kalimat Lindow terpenggal melihat mata Hinata tiba-tiba membelalak. Gadis itu menatap puncak dinding, seperti ada sesuatu di sana.

"I-itu kan ..."

Lindow langsung menatap ke atas. Nahas, tiba-tiba ia merasakan sakit di tangan kirinya.

"Akhh—!"

Hinata menggitnya. Saat pria tersebut mengibaskan tangan, gadis itu justru menarik lengannya yang kanan, sehinga membuat tubuhnya menjauhi dinding. Hinata berhasil masuk!

"Oi!"

"Hahaha ... tak kusanggka aku bisa menipumu."

Hinata lari ke dalam lebih dulu

.

Dari yang ia bayangkan, tempat ini adalah oasis tersembunyi di tanah Kami no Kuni. Taman bunga yang indah, dedaunan hijau, pohon yang tinggi, bunga matahari, juga gedung pencakar langit di mana bisa melihat sampai keluar dinding. Hinata salah besar. Tempat ini nyatanya sama hal pengungsian. Bedanya sedikit lebih modern. Kesamaan paling aktual di antara keduanya adalah tanah kering yang tampak mengalun, serta tak adanya tumbuhan hidup. Mungkin, Kami no Kuni merupakan tanah mati yang hanya bisa ditempati manusia.

Hinata melenggang dari halaman depan melewati pintu kaca yang bisa membuka sebdiri. Ia masuk, disambut ruang besar di mana ada beberapa tempat duduk dan meja. Ini sepertinya ruang bersantai.

Kaki Hinata melangkah lagi menelusuri lorong sisi kiri. Dinding kaca membuatnya dapat melihat patuh ayahnya yang terpahat sempurna di taman air mancur. Hanya air mancur saja, tanpa tanaman.

Ia baru tahu ada yang seperti ini. Kakinya berhenti melangkah untuk memandangi patung sang ayah lebih lama.

"Monumen Perdana Menteri. Ayah yang selalu kau jadikan tameng untuk diperlakukan spesial itu, kami sangat menghormatinya. Patung ini dipesan khusus oleh Ketua Johannes."

"Johan?" Hinata bahkan sempat mengira pria itu sudah melupakan jasa-jasa ayahnya.

"Iya. Ketua Johannes von Shicksal. Kau pikir siapa lagi?"

Hinata terdiam.

"Oh ya, dari sini kau bisa lurus. Di sana ada kantin yang biasa kami gunakan. Aku mau mandi." Lindow sekali lagi mengisap rokoknya.

Hinata yang tampak melamun membuat bibir Lindow gatal untuk sekali lagi membuka suara. Ia menjentikkan jari di depan mata gadis itu.

"Kau mengerti kan? Atau ingin ikut bersamaku mandi?" kata-kata Lindow yang seduktif menampar Hinata dari lamunannya. Membuat pipinya merona. Sepuh merah jambu yang tidak bisa disembunyikan oleh pipi pucat itu kentara sekali.

"A-apa sih?" Hinata terkesan kikuk menanggapi candaan Lindow.

Pria itu hanya bercanda, Hinata lah yang menanggapinya berlebihan.

"Dari tadi kau melamun. Kau mau kerasukan?"

"Kerasukan setan mesum sepertimu? Tidak. Aku akan menunggumu di kantin!"

Hinata melenggang pergi. Ia terlihat sebal, tapi di saat yang sama tampak lucu lantaran bibirnya cemberut. Membuat pipinya yang gembil semakin menggemaskan.

Lindow pun mengedikkan bahu. Ia melangkah ke sisi berlawanan, menuju toilet untuk membersihkan diri.

Pertempuran semalam, juga saat menyelamatkan Hinata tadi membuat sekujur badannya lengket.

.

Bisa dibilang penampilannya lah yang paling berbeda di antara orang-orang yang ada di sana. Terutama bagian pergelangan yang tak mengenakan semacam gelang pemberat dari logam.

Ia duduk di salah satu meja persis di bawah pendingin ruang. Sedari tadi sibuk memperhatikan cara orang-orang di sini mengambil makanannya.

Mereka menggunakan semacam kartu chip yang diletakkan di depan sebuah alat sensor, kemudian menekan menu yang dipilih. Yang keluar nantinya berbentuk makanan kaleng dan harus dihangatkan sendiri dalam microwave yang tersedia.

Pertanyaan Hinata, di mana ia bisa mendapatkan kartu chip itu?

"Kau yang waktu itu kan?"

Perhatian Hinata teralih pada dua orang yang (entah sejak kapan) berdiri di sampingnya.

Suara lembut berasal dari gadis berambut putih, bersama seorang lelaki berambut pirang. Tangan si wanita masih dibalut perban, persis kali terakhir ia melihat.

"Kau gadis yang menyelinap ke luar dinding."

"Luka itu ..." Hinata menujuk lengan Alisa.

.

"Kata dokter ini akan sembuh dalam 5-7 hari. Aku bersyukur tulangku tak ada yang retak."

Senyum Alisa tak mampu mengurai rasa bersalah dalam hati Hinata. Masih teringat jelas dalam cerebrum-nya, bagaimana perempuan berdarah Rusia ini mati-matian mengalihkan perhatian Vajra. Suara sabetan senjata, auman, dan dentuman bahkan masih terngiang di telinganya sampai kini.

"A-aku minta maaf untuk hari itu!" Hinata membungkuk. "maaf sudah membuatmu terluka ..." Suaranya memelan.

"Tidak. Kau salah. Ada tidaknya kau di sana, itu tidak terlalu berpengaruh."

"...?"

"Takdir kami adalah melihat Neraka. Vajra baru bagian kecil dari neraka-neraka itu."

Uzumaki Naruto menginterupsi. Ia membawakan tiga makanan kaleng yang baru ia angkat dari microwave. Anehnya, meski tak memakai alas, Naruto sama sekali tak merasakan tangannya panas.

"Kau datang bersama kapten? Di mana dia?" Naruto bertanya sambil melongok ke kanan dan kiri.

"Orang itu sedang di kamar mandi."

"Oh ... kalian jadi akrab ya?"

Hinata tersentak.

Tidak sama sekali!

"Omong-omong namamu? Aku lupa."

"Hyuuga Hinata—" Sekelebat, Hinata teringat kata-kata Lindow.

Ayah yang selalu kau jadikan tameng untuk diperlakukan spesial itu ...

"Aku gadis dari pengungsian."

Sudah seharusnya, ia tak lagi menyombongkan diri dengan membawa nama ayahnya.

.

.


"Ketua?"

Dari CCTV yang terpasang di kantor Fenrir, Johannes tahu bila diam-diam Hinata ada di tempat ini.

Untuk biasanya, Johannes pasti akan marah, tapi kali ini, hati pria itu sedikit melembut.

"Biarkan saja. Dia datang bersama Kapten Anamiya kan? Biar dia yang bertanggung jawab."

Rasa sayangnya pada Hinata melebihi rasa kesalnya melihat gadis itu masih suka membangkang dan membuat ulah setiap hari.

.


"Aku akan keluar. Kau mau kuantar ke pengungsian?"

Pada malam hari, sudah menjadi aktivitas rutin bagi para God Eater ke luar dinding. Lindow mempersiapkan bekalnya, sementara gadis yang tadi masuk bersamanya mengayun-ayunkan kaki di atas ranjang.

"Tidak. Johan kan sudah mengizinkanku." Hinata memutar pandangan. Walau di sini sangat sempit, tapi lebih nyaman dari barak tempatnya bermukim.

Hinata merebahkan punggungnya. Kasur ini tak begitu empuk, tapi lebih lumayan dibanding tidur di atas kasur gulung, di lantai semen yang dingin. Hinata menarik napas. Matanya memejam ...

Andai selamanya aku tinggal di dalam sini ...

"Oi, aku barus berangkat sekarang."

Dari ranjang, Hinata melihat Lindow menghadapnya.

Gadis itu duduk. Pria ini membuyarkan segala lamunannya yang indah.

"Huum, hati-hati ya ..."

"Kau yakin tak ingin ku antar ke pengungsian?"

"Aku yakin untuk tidur di sini malam ini."

Lindow membuang napas, "Yahh, meski aku masih ragu, tapi kumohon jangan membuat ulah. Tetaplah di kamar, atau hanya berjalan sampai air mancur. Jangan masuk ke tempat yang ada tanda stiker tengkoraknya. Itu hanya diperuntukkan bagi peneliti, dan God Eater. Kau mengerti?"

Hinata menggaruk lehernya. Kenapa pria ini cerewet sekali?

"Iya, aku paham."

Lindow menenteng ransel di tangannya.

"Kau adalah tanggung jawabku selama di sini. Jadi kumohon jangan macam-macam. Kecuali kau ingin aku macam-macam padamu!"

Hinata mencebik.

.

Sesungguhnya, nasihat Lindow tadi hanya dianggap angin lalu yang masuk ke telinga kanan, dan keluar melaui lubang telinga kiri.

Faktanya sekarang, Hinata justru berjalan-jalan semakin jauh ke dalam. Ia begitu penasaran, kenapa tempat ini sangat eksklusif sehingga orang yang bukan Fenrir dilarang masuk. Gerbang setinggi 65 meter menjulang mengepung tempat ini, cukup memberitahu bila dalam zona Fenrir ada rahasia yang tak ingin diketahui siapa pun.

Hinata berjalan melewati sebuah lab berdinding kaca. Ruangan itu gelap, ada segel di pintu yang mengindikasikan ruangan tersebut dilarang dimasuki.

Bangunan ini terdiri dari satu lantai, akan tetapi memiliki lorong-lorong yang panjang. Hinata ingin menelurusi tempat ini sampai bagian paling belakang.

Melihat sebuah ruangan mirip auditorium, pintunya yang membuka sedikit seperti memanggil-manggil Hinata untuk mengintip. Sebuah tempat dengan pintu menjulang tiga kali tinggi badannya. Apa ini gudang? Atau kah sebuah tempat perakitan senjata God eater?

Hinata menarik sedikit pintunya.

"Nona Hinata?"

Suara perempuan mengejutkannya. Hinata berbalik.

Wanita berbadan sintal memandangnya dari jarak satu meter.

Seperti maling yang ketahuan mencuri, Hinata merasakan situasi kikuk yang tidak enak. Terlebih saat si wanita berjalan mendekatinya.

Belum lagi, terdengar suara keras saat wanita itu menutup pintu di belakang tubuh Hinata.

"Apa yang Anda lakukan?"

"A-ah ... bu-bukan apa-apa, Mayor."

Mayor Tsunade mengernyit, "Lalu?"

Hinata yang gugup memilih tak menjawab.

"Huum ... Nona, sudah jam 9. Lebih baik Anda kembali ke kamar. Anda lihat tanda peringatan ini?" Tsunade menunjuk stiker yang menempel di pintu.

Itu ... gambar tengkorak yang dimaksud Lindow!

"Anda tidak boleh memasukinya karena berbahaya."

"I-iya, aku mengerti."

.

.

.

Bersambung