Chapter 5 - Imperfection

Disclaimer: I own nothing. I don't own Inuyasha, I'm just renting them from Rumiko Takahashi, Viz, etc. I will make no money from this fic, I write for my own enjoyment and the enjoyment of my readers.


Pagi menjelang siang. Cakrawala teramat cerah, biru terang tanpa selapis tipis pun awan. Kicauan burung bersahut-sahutan. Angin sepoi-sepoi mempermainkan helaian rambut Kagome yang berdiri di halaman kuil dengan sapu dalam genggaman.

"Langit yang indah." Matanya menatap jauh ke depan kala Kagome tersapu arus kenangan.

Ia mempercepat langkah demi menghampiri pria yang sudah menunggunya sedari tadi di stasiun. "Maaf telah membuatmu menunggu lama, ada sesuatu yang harus kukerjakan terlebih dahulu. Maafkan aku," katanya sembari membungkuk berkali-kali.

Tadaoki yang saat itu mengenakan celana jin biru, kaos polos hitam dibalik jaket model varsity berwarna ungu dengan bagian lengan berwarna abu-abu, melirik jam tangannya sekilas. Dengan intonasi tenang dan paras kalem, kalimat lelaki itu berhasil menepis semua rasa tidak enak di hati Kagome, "Hanya lima belas menit, penantian yang layak untuk bertemu denganmu."

"Kau tidak marah?"Pria itu hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman yang dapat mencairkan es di puncak Gunung Fuji sekalipun. "Syukurlah!" ucapnya lega.

Hanya dengan mengingat pria itu, kurva manis sudah tertempel di tampang Kagome. Namun, rasa tidak enak hati kembali menaungi. Gadis itu lantas menggelengkan kepala, berusaha mengusir memori tertentu dari kalbu.

Sekumpulan sampah daun telah ia buang, gadis yang terbalut pakaian tradisional berwarna merah dan putih khas miko itu baru saja menyandarkan sapu yang ia pegang saat menatap helaian-helaian daun kembali dihantarkan ke tanah oleh udara yang bergerak.

Manami muncul dari belakang dengan membawa dua kotak kardus cukup besar. Kemudian ia berseloroh, "Kagome, kau jadi membantu atau tidak?" Kedua alisnya terangkat beberapa kali dengan jenaka.

Sambil mengekor ibunya, Kagome balas menggoda, "Kukira, Mama tidak membutuhkan bantuanku."

Pustakawan itu hendak meraih dua kotak sekaligus, tapi sang ibu memotong, "Cukup satu." Setelah gadis itu sudah meraih salah satu kardus, ia menggumamkan terima kasih. Mereka berjalan berdampingan menuju kuil. "Tentu seorang ibu akan merasa lebih tenang jika putrinya dekat. Terutama dengan musim panas seperti sekarang, cukup banyak wisatawan yang berkunjung ke sini setiap harinya."

Sebagai reaksi, Kagome memanggil lirih, "Mama ... "

"Jangan dipikirkan, mama hanya sekadar berkata," bertentangan dengan tawa pendeknya, rupa wanita paruh baya itu menyatakan kesenduan. Tanpa menelengkan kepala untuk melihat mata anak gadisnya, si ibu lanjut berceloteh, "Berbicara pengunjung, kau tahu 'kan kalau para wisatawan mancanegara itu terkadang bisa sangat merepotkan. Mereka tidak membawa pemandu tur tapi meminta untuk dijelaskan panjang lebar." Pada kalimat berikutnya, suaranya dibuat sedikit berat dan bergetar, Manami menirukan cara bicara mertua laki-lakinya yang telah tiada, "Tidakkah mereka tahu bahwa nihonjin pantang berbicara bahasa Inggris?"

Teringat akan mendiang sang kakek yang selalu mengutamakan nasionalisme dan menentang masuknya kebudayaan asing—khususnya segala hal tentang Amerika, sebab perang yang pernah beliau alami—Kagome mengikik lalu menyahut, "Mama terdengar seperti jii-chan."

"Jika hanya terdengar sih tidak apa, yang penting aku tidak terlihat sepertinya." Ibunya berhenti sebentar, meraba dua garis halus kerutan di ekor mata kanan dan melanjutkan dengan santai, "Setidaknya belum," timpalnya pura-pura lesu.

Di sudut luar kuil utama, tak jauh dari tempat untuk membunyikan lonceng dan memanjatkan doa, berdirilah stan khusus untuk menjual jimat, cenderamata, juga plakat kayu untuk menuliskan harapan yang kemudian digantung di tempat tertentu (emma), dan sebagainya. Bagian muka bangunan kecil itu setengah terbuka. Di atas sebuah meja lebar beralas kain merah, terdapat kotak kayu bersekat yang memuat puluhan benda penolak bala yang dijual ke pengunjung Kuil Higurashi. Tempat itulah yang hendak ditata ibu dan anak itu.

Seraya melepaskan alas kaki sebelum memasuki bangunan sempit itu, Kagome berucap, "Aku menyukai pekerjaanku di Karuizawa. Seminggu sekali, perpustakaan kami mengadakan sesi cerita khusus untuk anak-anak. Memang tidak terlalu ramai, tapi akan selalu ada yang datang di akhir pekan. Aku suka membacakan anak-anak itu dongeng."

Nada sang ibu monoton saat menambahkan, "Sepertinya kau melupakan perpustakaan umum yang hanya berjarak lima belas menit jika berjalan kaki dari rumah kita."

Tak mengindahkan gerutuan orangtuanya, dengan sumringah, Kagome menambahkan, "Aku suka mengamati reaksi anak-anak itu. Mereka sangat menggemaskan!"

Sambil menimbang-nimbang komentar yang akan ia lepaskan, Manami meletakkan kotak yang ia bawa di lantai, sang anak mengikuti tindakannya. Kini, kedua wanita itu duduk bersimpuh, saling berhadapan. Manami melepas lakban dan membuka penutup kardus. Kemudian, ia meletakkan satu-persatu azimat dalam kantung kain yang masih terbungkus plastik itu di laci khusus di bawah meja.

setelah diam beberapa puluh detik lamanya, ia kembali menyuarakan pikiran,"Jika kau memang mencintai anak-anak, mengapa tidak segera berkeluarga dan memiliki anak sendiri?

Kagome tertawa pendek, "Mama, kita sedang membicarakan anak di sini."

Sepasang iris cokelat nan bijak milik wanita itu tengah memperhatikan jimat berbentuk gantungan kunci dengan bandul yang menyerupai permata bulat berwarna merah muda. Bola matanya beralih untuk menatap sang anak lurus-lurus. Kemudian, dengan polos seakan tiada berdosa ia bertanya, "Lalu?"

Sambil mengangguk-angguk kecil demi menyakinkan diri sendiri, gadis itu membalas, "Memiliki seorang anak sama saja memiliki tanggung jawab seumur hidup."

"Tidak ada yang salah dengan itu."

Kagome menahan diri untuk tidak memutar bola mata atau menghela kesah. Iya, tentu saja tidak ada yang salah dengan kodrat sejati seorang wanita. Apabila ibunya sejak awal berpikiran hal itu keliru, tentu saja ia tidak akan terlahir ke dunia. "Mama benar, akan tetapi ... "

Setelah sepuluh detik berlalu dan tak ada tanda-tanda putrinya melanjutkan, Manami tak ingin begitu saja melepaskan pokok pembicaraan, "Tetapi?" desaknya.

Seketika, Kagome teringat Yuka yang menahan diri meski telah menemukan pasangan sejati. Sahabatnya itu mengeluh tentang ibunya yang terus menerus mengingatkan untuk memakai pengaman bila berhubungan dengan pacarnya agar tidak terjadi kehamilan yang tidak diinginkan. Ibu Yuka ingin anaknya itu terus mengejar karir sehingga dapat menimbun uang demi masa depan.

Kagome tidak tahu mana yang lebih mudah untuk dihadapi sebagai seorang anak, ibunya? Atau ibu Yuka?

Diam-diam Kagome mengambil napas panjang sebelum mengemukakan dengan lemah-lembut, "Mama, menurut hukum di negara ini, aku baru dewasa beberapa bulan yang lalu. Tiga hari lagi, usiaku baru dua puluh tahun lebih enam bulan tepatnya. Bukankah terlalu cepat untuk membicarakan hal itu?"

"Baiklah, kita ganti topik," Manami mengalah dan kembali menekuni pekerjaannya.

Sejenak, gadis muda itu menatap heran sang ibu yang tidak biasanya mudah menyerah.

Dua detik kemudian, wanita itu menoleh, ketika tatapannya bersirobok dengan putrinya, "Ceritakanlah tentang Tadaoki!" pintanya.

Firasat Kagome benar, ibunya mengalihkan pembicaraan hanya jika ada topik lain yang lebih menarik. Sudah sewajarnya seorang ibu ingin mengenal teman dekat atau kekasih sang anak, hanya saja, bila dipinta untuk menjelaskan hubungannya dengan Tadaoki saat itu, Kagome tak tahu harus berkata apa.

Dengan intonasi yang kelewat antusias, Manami mengawali wawancaranya, "Bagaimana kalian bertemu?"

"Kami bertemu di perpustakaan tempatku bekerja. Pada awalnya, ia kebetulan berkunjung. Beberapa hari kemudian, ia jadi rutin datang, kami sering berbincang, dan-"

"Dan cinta pun berkembang," tukas sang ibu ceria.

"Tidak secepat itu," sangkal Kagome.

"Itu bagus. Mama memang tidak mengharapkan putrinya dengan mudah jatuh cinta pada sembarang orang."

"Tadaoki bukan sembarang pria," bela Kagome tanpa pikir panjang. Sang ibu malah menyambut reaksi anaknya dengan senyum paham. "Meski memiliki pengetahuan yang luas tentang banyak hal, kerendahan hati, dan sifatnya yang hangat membuatku merasa nyaman kala berdekatan."

Kagome mengamati wanita yang telah melahirkannya. Meski usia sedikit banyak berhasil menggerus kulit terluar, tapi teduh itu masih damai seperti dahulu. Rasa damai menyebar di dalam dada, gadis itu kian membuka diri. "Mama tahu, setelah kami saling mengenal beberapa waktu, ia mengajakku makan siang sambil menikmati alam," sahut gadis Higurashi itu dengan lengkungan bibir tipis tapi manis.

"Piknik?"

"Semacam itu." Ibunya menarik kepala ke bawah, Kagome melanjutkan dengan berseri-seri. "Pemandangan kala itu luar biasa menakjubkan"

"Tak lama setelah itu, ia pasti mengundangmu makan malam," celetuk ibunya.

Kagome tak lantas menjawab, matanya menatap jauh ke depan kala ia tersapu arus kenangan.

Siang itu, kali pertama Kagome menghabiskan masa liburnya bersama Tadaoki. Matahari mengintip dari balik gerombolan awan tebal, benderang, tapi tidak menyilaukan. Peralihan musim membuat cuaca menjadi sejuk, bahkan dengan jaket tipis, orang-orang dapat dengan nyaman berlalu lalang di jalan.

Hari itu sangatlah menyenangkan. Ia dan Tadaoki berjalan dengan bahu saling menempel di tepi telaga selagi membicarakan banyak hal yang menjadi kesukaan. Kagome ingat senyum tak pernah lepas dari rautnya dan ia banyak tertawa ketika Tadaoki bercerita. Namun, yang paling diingat olehnya adalah ketika mereka berdiri bersisian di jembatan, sambil menggenggam cup kertas berisi kopi panas.

Pada waktu itu, Kagome dan Tadaoki bagai tenggelam dalam kekaguman atas megahnya panorama. Ratusan meter di depan mereka adalah hamparan luas telaga. Pohon-pohon birch perak tinggi menjulang dengan batang berkulit putih memagari sekeliling danau. Gunung hijau gelap menjadi jarak terjauh yang dapat dijangkau oleh mata, pancang menuju awang-gemawang itu terlihat begitu agung dengan segala rahasia yang belum dijamah manusia.

Bagai cermin raksasa yang menyimpan dunia paralel yang memesona, permukaan air nan tenang menampakkan pantulan gunung, deretan bayang-bayang pepohonan, serta langit. Semuanya terlukis dengan warna lain, lebih misterius, sedikit kelam, tapi tak kalah menawan bila dibandingkan dengan yang ada di hadapan.

"Pemandangan di sini cantik sekali, ya?" ungkap Kagome seakan meminta persetujuan.

Pria itu menggeleng. "Kalah cantik bila dibandingkan denganmu," imbuh Tadaoki dengan cepat.

"Jangan bercanda!"

"Aku serius!"

Semburat merah yang mempermanis romannya kian menjadi-jadi ketika Kagome menambahkan, "Kalau begitu, berhentilah serius!"

Dan mereka tergelak bersama.

"Ternyata sulit juga, ya?" gumam Tadaoki, setelah tawa keduanya surut.

Dekahnya menghilang, tapi keceriaan yang membelah wajah Kagome tak jua tanggal. "Apanya yang sulit?"

"Cukup sulit untuk membuatmu terkesan." Sebagai reaksi atas pernyataan barusan, sepasang permata gadis itu sedikit melebar.

"Itu tidak benar. Bila aku harus jujur, hanya dengan membawaku ke tempat luar biasa ini kau sudah membuatku sangat terkesan, Tadaoki-san."

Sejenak, keduanya saling memandang dalam-dalam. Layaknya meresapi perasaan masing-masing sebelum kembali memalingkan muka untuk menatap apapun yang ada di sekeliling telaga.

Dengan pipi yang merona malu, Kagome berkata lagi, "Apa kau sering datang ke tempat mengagumkan ini?"

Tadaoki dapat meraba pertanyaan yang sebenarnya dari Kagome. Oleh karena itulah, "Biasanya aku ke sini bersama keluargaku, tapi itu sudah lama sekali. Selain itu, hanya kau satu-satunya wanita yang kuajak ke sini."

Demi menyembunyikan rasa tersanjung yang mulai membumbung, Kagome berkomentar, "Pasti menyenangkan mengunjungi tempat ini bersama keluarga yang kau sayangi." Si sulung Higurashi menatap jauh sembari meracau panjang lebar. Ia banyak bercerita tentang tempatnya dibesarkan, sebuah kuil di kota Tokyo yang terletak di puncak bukit dan dikelilingi oleh hutan kecil. Mengambil peran sebagai pria sejati yang mampu menjadi pendengar yang baik, Tadaoki memasang telinga.

Kagome lanjut bermonolog, "Aku sangat menyukai musim semi, tapi tidak dengan musim gugur." Gadis itu dapat merasakan kedua alisnya berkumpul di tengah, suaranya merendah dan ia berbicara dengan teramat pelan kala melanjutkan, "Dengan daun kering yang berjatuhan, cabang-cabang pohon yang perlahan telanjang, musim gugur itu bagai alam yang menanti kematian. Dan itu, bagiku, terasa sangat mengerikan."

Di akhir kalimat, gadis itu menoleh untuk menatap lawan bicaranya dan yang ia dapati saat itu adalah ekspresi terperanjat Tadaoki. Kagome tertegun menatapnya; raut santai pria itu tergantikan dengan kedua mata yang membelalak, mulut sedikit terbuka, dan kedua alis yang terangkat ke atas. Selapis ketakutan menyelubungi air muka pria itu kala memandangnya.

Apakah saat itu ada sesuatu yang pria itu lihat pada dirinya? Sesuatu yang aneh atau menakutkan yang bahkan tidak ia sadari? Atau, ada sesuatu yang salah yang telah ia ucapkan?

Kagome sendiri tidak tahu.

Terlempar keluar dari renungan, Kagome mengangguk, dan membenarkan pendapat sang ibunda, "Iya, setelah itu, ia mengajakku makan malam."

"Seperti apa Tadaoki itu?" tanya Manami sembari membuka selotip di bagian bawah kardus-kardus yang sudah kosong, melipatnya dengan rapi, lalu menyimpannya di pojok ruangan.

Bola mata Kagome bergerak-gerak ke kiri atas sesaat sebelum mengetengahkan pemikirannya, "Tadaoki adalah pria yang sopan, pintar, ramah, dan …," kedua bahunya terangkat ke atas, "ia seperti pria baik-baik biasanya."

Wanita itu berdiri dan Kagome mengikutinya. Selagi ia memakai sandal, wanita itu bertutur, "Mendengar penjelasan darimu dan Souta membuat mama semakin ingin mengenalnya."

Kagome yang membuntuti sang ibu berucap dalam benak, 'Begitu pun diriku, Mama.'

.

.

.

Miroku merentangkan tangan ke atas, menegakkan punggung, menghela napas, dan menggerakkan kepala searah jarum jam untuk meredakan ketegangan otot. Sudah lebih dari seratus menit, ia terus menatap komputer untuk mencari petunjuk di berbagai kamera pengintai. Sampai-sampai, ia bisa melihat cahaya persegi berwarna-warni meski dari kelopak mata yang tertutup.

Setelah rapat terakhir di markas Tim Investigasi Gabungan, tidak hanya Fukuda Miroku dan Hachi Ishii, tetapi seluruh anggota yang ada di bawah naungan Kepolisian Kawaguchi juga harus memeriksa setiap rekaman CCTV dalam radius satu kilometer dari jenazah korban ditemukan. Itulah tugas prioritas yang mereka emban sebagai Tim Pendukung. Tiada lagi instruksi dari pusat sebelum semua video berhasil dikonfirmasi.

Padahal, Kawaguchi adalah wilayah mereka. Jalan-jalan tersembunyi maupun gang sempit di antara dua toko tak ubahnya garis tangan yang mereka kenal. Namun, mereka sama sekali tidak dilibatkan dalam tugas besar seperti pencarian saksi yang dipimpin oleh Kepala Unit Divisi Satu.

Mereka malah diharuskan memeloti hasil yang ditangkap kamera keamanan di jalur yang diambil Sakura Kaneko kala meninggalkan hotel tempat lomba tari diadakan hingga ke bar, juga rute-rute lainnya. Tak hanya satu atau dua jam sebelum waktu pembunuhan, tapi juga sepanjang malam selama dua minggu sebelum kejadian tragis itu berlaku. Tidak pula hanya manusia, tapi juga setiap mobil yang melintas.

Para detektif yurisdiksi bahkan memutar ulang rekaman berkali-kali dalam gerakan lambat, mengulang frame demi frame agar mampu menangkap plat nomor kendaraan yang melewati area sekitar pembunuhan.

Miroku memindai sekeliling, sang senior yang bernama Ishii Hachi dan segenap rekan yang di ruangan itu masih fokus pada layar. "Beristirahatlah sebentar, Pak Ishii!" sarannya.

"Kau menghinaku, ya?" balas polisi yang tengah berapi-api itu. "Jika informasi yang kau dapatkan itu benar adanya, dan selama ini aku tidak pernah meragukanmu, aku harap, kita bisa segera menemukannya."

Si junior tersenyum dan mengangguk.

Mimik Ishii Hachi kian masam. "Jika tidak melakukan yang diperintahkan, maka kita akan dianggap melanggar aturan internal layanan publik. Peringatan yang merendahkan!" gerutunya.

Miroku tertawa meledek. "Orang pusat sama sekali tidak mengenal kita."

Peringatan yang disampaikan MPD kepada para detektif Kawaguchi memang tidak diperlukan. Walupun tugas yang dilemparkan secara blak-blakan meremehkan kemampuan polisi wilayah, dan para detektif Kawaguchi sendiri tidak terlalu senang dengan pekerjaan yang dilimpahkan, tetapi mereka sudah mereka bertekad untuk menuntaskan kasus tersebut. Karena, bagaimanapun juga, sejak awalnya kasus Sakura Kaneko memanglah milik Distrik Kawaguchi.

Baru saja Miroku hendak membuka dokumen selanjutnya, seorang polisi wanita memanggil dan menginformasikan bahwa ia dipanggil ke kantor Kepala.

Hanya berselang beberapa menit, pria itu sudah berpindah lokasi. Kini, Miroku duduk di mebel empuk dengan dua pasang mata yang mengawasinya.

"Bukankah saya sudah menekankan tugas yang seharusnya Anda kerjakan?" tanya Matsuno Kouga pada si detektif tanpa berbasa-basi.

"Suatu kehormatan untuk bertemu anda di sini." Miroku tetap menampilkan sikap tenang meski Inspektur Pusat yang duduk di seberang mendelik ke arahnya dengan cara yang sudah pasti membuat perwira baru bergidik ngeri.

"Selain memiliki urusan yang harus diselesaikan langsung dengan Pak Kepala Mushi, saya ingin menegaskan bahwa, tidak boleh ada penyidik yang berkeliaran di beberapa tempat tanpa adanya perintah."

"Apakah ini tentang kedatangan saya ke Bar Genesis? Saya sudah memberikan laporan pada Pak Kepala."

Dengan tegas, lelaki yang saat itu tidak didampingi oleh dua pengikut setianya berkata, "Jika sudah paham, berarti Anda pun sadar telah melakukan investigasi tanpa izin."

Sang Kepala Kantor Polisi lantas mengambil peran sebagai penengah. "Miroku memang terkadang lupa untuk selalu memberi laporan. Tetapi, bila dibandingkan dengan semua detektif yang ada di sini, ialah yang paling banyak memecahkan kasus-kasus pelik.

"Atas nama kesopanan dan hormat pada orang yang lebih tua, Kouga memandang sosok yang menyuarakan pendapat dan memberi anggukan tanda menyimak.

"Miroku cuma mengikuti naluri. Aku percaya ia melakukan itu hanya demi ketuntasan kasus ini," lanjut si pria tua.

Setelah kalimat pemimpin Kawaguchi usai, anggota pusat itu kembali memaku atensi pada detektif yurisdiksi. "Sebaiknya, lain kali, Anda tidak bergerak hanya dengan mengandalkan intuisi pribadi. Investigasi harus berlandaskan teori dan itu mutlak dilakukan berdasarkan aturan di dalam organisasi." Ia menarik udara, lalu mengimbuhkan, "Memang, itu tak lagi menjadi masalah jika membuahkan hasil. Kendati demikian, mulai detik ini juga, laporkan setiap penyelidikan yang Anda lakukan, mengerti?!" Bukan pertanyaan, kalimat itu lebih seperti penegasan tanpa menyediakan sela untuk bantahan.

"Sekarang, aku ingin mendengar secara langsung darimu tentang detail tambahan pada malam kejadian."

Miroku mengangguk. "Baik!"

Dan detektif berwatak arif itu pun menerangkan.

.

.

.

Sesampainya di kediaman, tanpa merasa perlu menyalakan lampu-lampu di lantai dasar, Tadaoki Hitomi lantas menaiki tangga. Peranti elektronik di dalam saku celananya bergetar, ia berhenti. Mata yang mendadak sendu, kedua alis yang berkumpul di tengah, serta garis-garis wajah yang melukiskan keelokan semakin dipertegas oleh sinar putih kebiruan yang berasal dari gawai pintarnya.

Setelah melihat notifikasi yang masuk dan mengetahui bahwa pemberitahuan yang ia terima bukan dari gadis tertentu, selapis kekecewaan dan kelegaan melintas di air mukanya pada waktu yang sama. Untuk sejenak, lelaki yang usianya memasuki pertengahan dua puluh itu mempertimbangkan untuk menelpon si pustakawan. Seiring detik yang berlalu, keraguannya kian meredup. Ia butuh menjernihkan masalah di antara mereka secepatnya. Akan tetapi, pemikiran lain berhasil mencegahnya.

Tadaoki melanjutkan langkah. Sambil menyusuri lorong, ia menutup aplikasi yang masih terbuka. Dengan menekan satu tombol kecil, layar itu kembali hitam. Laki-laki itu mengantongi alat komunikasi ketika tiba di depan kamar tidurnya. Kemudian, ia memasukkan anak kunci, setelah bunyi khas terdengar, ia memutar kenop. Setelah daun pintu kembali tertutup, Tadaoki menyalakan lampu.

Betapa terkejutnya ia ketika menyadari ada seseorang yang duduk nyaman di sofa samping jendela yang terletak di sudut ruangan. Sosok yang mengenakan kemeja ungu dan celana panjang berwarna gelap itu duduk berselonjor; kaki kanan menindih yang kiri, dengan siku bertopang di lengan kursi, dan jari-jemari yang terkait di atas perut.

"Terkejut melihatku di sini?" Kepercayaan diri seakan menguar dari senyum tipis pria yang dengan lancang telah masuk ke kamar orang.

Untuk beberapa saat, mereka saling menatap tajam. Pada akhirnya, Tadaoki memalingkan muka. Tanpa memedulikan sosok itu, ia melepaskan lapis terluar pakaian dan menyampirkan mantel itu secara asal ke sandaran kursi. Lelaki muda itu membelakangi meja belajar, menyilangkan tangan di depan dada, kemudian menuntut jawaban, "Apa yang kau lakukan di sini?"

Ada nada geli yang terdengar dari orang yang dimaksud ketika ia malah balik bertanya, "Apa yang aku lakukan di rumahku?"

"Apa yang kau lakukan di kamarku?" ulang Tadaoki.

Untuk kedua kali, pria itu menjawab pertanyaan yang dilontarkan dengan pertanyaan lainnya, "Bukankah sudah jelas bahwa aku sedang menunggumu?"

Jeda sejenak.

Manik licik pria itu memandang ke sekitar, intonasinya merendah ketika berucap, "Semenjak kepergiannya, semakin jarang aku pulang ke rumah ini." Nadanya hampir terdengar sedih, "Sejujurnya, aku sedikit kecewa dengan sambutan yang kau berikan." Ia menegakkan duduknya. "Aku tahu, sebenarnya kau senang menerima kunjunganku," imbuh pria itu lagi.

Lagi-lagi, tidak ada respons dari Tadaoki.

Sosok yang menerobos batas privasi itu kembali memulai perbincangan, "Mari kita bercakap-cakap sejenak," ajaknya lembut.

"Kurasa, tidak ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu saat ini," sahut Tadaoki. Dalam hati ia mengumpat eksistensi kunci duplikat bilik pribadinya.

"Tidakkah kau ingin bertanya bagaimana hariku?" Pria itu menarik napas lalu mengembuskannya dengan teramat keras. Dengan datar ia menuturkan kasus pelik yang ia tangani siang tadi, "Seperti biasa, sangat melelahkan. Hari ini ada seorang pasien dengan kerusakan katup parah yang disertai diabetes, gagal ginjal, dan beberapa penyakit sistemik lainnya." Dengan bangga ia berkoar, "Namun, aku berhasil."

Waktu terentang dengan lamban, detik berjalan, menit pun berlalu. Tetap tak ada sahutan. Tadaoki terus menatap lawan bicaranya dengan kewaspadaan.

"Jika aktivitasku tidak menarik untukmu, aku tahu cerita yang akan menggugah perhatianmu." Kedua alis pria bernama Kagewaki itu terangkat. "Kau pikir aku tidak tahu?"

Tadaoki hanya memberikan orang itu pandangan garang. Di dasar hati, ia berharap bahwa topik apa pun yang akan diangkat jauh dari figur yang selama ini ia pikirkan. Akan tetapi, harapannya berbanding terbalik dengan yang berlaku kemudian.

Pada momen berikutnya, Kagewaki mengutarakan apa yang Tadaoki takutkan. "Higurashi Kagome, berumur dua puluh tahun, seorang pustakawan, entah mengapa datang dari Tokyo dan memilih bekerja di kota kecil-yang-membosankan ini. Apa aku benar?" Sang kakak menghirup udara sebelum melanjutkan, "Ia tidak cantik, tapi kurasa parasnya manis dan penampilannya juga cukup menarik."

Tadaoki sama sekali tidak terkesan dengan sikap pria itu. Ia bertanya dengan sengit, "Apa inti dari pembicaraan ini?"

Kagewaki yang tertawa setengah hati kemudian berhenti. "Bukankah ini adalah obrolan wajar antar saudara?"

Kedua tangan Tadaoki mulai mengepal. Lelaki itu memejamkan mata, mencoba mengusir denyut yang mulai menghunjam kepalanya. Sungguhpun begitu, usahanya sia-sia. Secara terang-terangan, ia menampakkan kejengkelannya dan menuntut, "Apa yang kau inginkan?"

Dengan keterkejutan yang dibuat-buat, Kagewaki berkilah, "Apa itu cara yang sopan ketika berbicara dengan kakakmu?" Dengan sengaja, kata terakhir dibuat menonjol oleh dokter itu.

Rahang Tadaoki terkatup rapat kala menyampaikan ultimatum, "Jangan ganggu dia!"

"Jika aku tidak mau?"

"Jika tidak, aku ... "

Pria bernama Hitomi Kagewaki itu berdiri, menyelipkan kedua ibu jari di saku celana panjangnya, lalu mendekati si adik. Perlahan, ia mencondongkan badan. Roman rupawan keduanya hanya berjarak satu jengkal. "Kau akan melakukan apa?" goda sang kakak.

Hanya keheningan yang menjadi balasan. Tadaoki menunduk, emosi mulai menguasai. Ia mengatur napasnya yang mulai memendek. Lelaki itu memaksa diri agar tidak dirundung gentar kala menjelaskan, "Lupakan saja. Lagi pula, sekarang ia bukan siapa-siapa." Lelaki itu menggeleng. "Kami sudah tidak lagi memiliki hubungan."

Dengan tangan kanan, pria yang berprofesi sebagai dokter itu menyapu rambut hitam bergelombangnya ke belakang. Ia meluruskan punggung, memperlebar jarak, lalu mengeluarkan suara decak. "Sayang sekali, ya." Bertentangan dengan yang dilisankan, air mukanya penuh kepuasan tanpa tebersit rasa iba.

Masih menatap tajam sang kakak, Tadaoki bergeming.

Seulas senyum tipis terpatri di bibir Kagewaki. "Baiklah, tapi sebaiknya kau bersiap." Dengan langkah mantap, pria tegap itu meninggalkan adiknya sendirian.

Daya bagai terkuras tanpa sisa. Ketika pintu telah ditutup dan sosok sang kakak menghilang dari penglihatan, Tadaoki merosot di tempatnya berada. Ia terduduk di lantai, kepalanya bersandar pada kaki meja belajar. Ia menatap hampa langit-langit kamar dengan pikiran yang dipenuhi penyesalan.

.

~To be continued~

.

Terima kasih banyak atas dukungan kalian selama ini *ojigi

#stayathome and hopefully things get better soon, aamiin.