::The Dark Legacy— Full Moon::
By: Morning Eagle
Disclaimer :: Bleach belong to Kubo Tite ::
Just to warn you all :: AU, OOC, Misstypos...for this story
.
.
.
Chapter 2: Fear and Misery
.
.
.
Suasana terlalu canggung hingga rasanya seperti mencekik tenggorokan sang Beta. Dia tertegun, mencuri pandang saat sedang mengambil potongan daging dari piring di meja makan. Di depannya, Byakuya masih mengunyah nasi dengan gerakan rahang konstan yang begitu ringan. Bahkan, hampir tak terlihat bahwa sang Spring Fairy sedang menyantap makan malamnya, di ruang makan keluarga yang terlihat terlalu normal. Keanggunannya sebanding dengan sikap dingin layaknya musim dingin yang datang terlalu dini. Sang peri yang sedang duduk di takhtanya.
Rukia menahan diri untuk tidak mempertanyakan kecanggunan itu terlalu cepat. Rasa seperti tertohok tepat di tengah dada dan ketika kakaknya bahkan tak menegurnya saat kebiasaan gadis itu menyingkirkan brokoli di piringnya kembali terulang.
Terlihat jelas Byakuya menunjukkan benteng dirinya untuk menekan sang werewolf di dalam ruang makannya.
"Kurosaki," panggil Byakuya. Suaranya rendah tapi berhasil membuat Ichigo tersentak. Tak biasanya sang Beta gentar akan keberadaan orang di sekitarnya.
Rukia memainkan sumpitnya dengan sebelah tangan sambil menghitung dalam hati. Penghakiman akan segera dimulai.
"Ya?" Ichigo membalas dengan keraguan di tatapan gentarnya.
"Isshin menghubungiku tempo hari," ujar sang peri. Dia mengangkat wajahnya, tatapannya masih terlihat begitu dingin. "Ini mengenai dirimu."
"Aku?" Mata Ichigo terbelalak.
"Isshin memintaku untuku mengawasimu."
Ichigo mendengus, tidak memercayai apa yang baru saja didengarnya. "Aku tidak butuh pengasuh, terima kasih. Kupikir kau tidak perlu mendengar kata-kata old man itu."
"Karena kau berada di sekitar adikku, maka aku pun berhak bertindak. Lagipula kau sekarang berada di wilayah para peri, Kurosaki."
Ichigo memutar bola matanya. Rukia melihat itu, menyikut sang Beta yang bergeming di sebelahnya. Kulitnya bahkan sudah sekeras batu.
"Juga mengenai masa depan Rukia," lanjut Byakuya, mengambil gelas tehnya yang tak lagi mengepulkan asap panas. "Apa kau akan terus mengikuti adikku seperti seorang anjing penjaga?"
"Serigala," ralat Ichigo, mendengus kesal. "Kurasa kau tidak mengerti cara kerja mate, huh?"
"Yang membuat akal pikiranmu tertutup sehingga kau tidak bisa berpikir matang? Apa yang akan kaulakukan di masa depan untuk adikku, Kurosaki? Apa yang bisa membuatmu membuktikan bahwa kau pantas untuknya?"
"Nii-sama," tegur Rukia. Gadis itu khawatir ketika pertanyaan Byakuya mulai keluar jalur. Terlalu menekan Ichigo dengan hal-hal yang sang Beta tak pernah duga sebelumnya. Dia menyebutnya terlalu manusiawi—hal-hal mundane.
"Apa yang akan kaulakukan untuk masa depanmu sendiri?" lanjut Byakuya menghiraukan adiknya.
"Kurasa ini bukanlah tanggung jawabmu," balas Ichigo ketus. Matanya memicing tajam dengan rahang mengeras. "Ini bukanlah kuasamu, Kuchiki-san."
"Sebagai calon Alpha penerus ayahmu, itu bukanlah sebuah jawaban yang kuharapkan."
"Dan akan mengubah pandanganmu terhadapku?"
"Pada hubungan kalian berdua lebih tepatnya." Byakuya menatap Rukia cukup lama hingga gadis itu memalingkan wajahnya gugup. "Aku tidak menyetujui hubungan ini seandainya kau tidak bisa menentukan masa depanmu sendiri."
Hening.
Rukia tak bisa melontarkan sepatah kata pun ketika tatapan Ichigo tak teralih dari kakaknya. Byakuya dan mate-nya memiliki kekeraskepalaan yang serupa. Kekukuhan mendarah daging dan harga diri sebagai sang pangeran dunia peri.
Ichigo mendesah singkat, sedikit mendengus geli. Jari tangannya mengepal kuat di atas meja. Dia menunjukkan rasa jengkelnya terlalu kentara.
Rukia menelan rasa tegangnya bulat-bulat.
"Kami sebagai keturunan serigala dari sang Ancestor—darah serigala yang mengalir dalam nadi kami tak bisa dilawan. Insting juga aturan yang kalian percayai sebagai mitos, itu semua adalah jalan kehidupan kami. Termasuk mate, walaupun pada awalnya aku menyangkal itu sebagai sebuah sugesti tak berdasar," jelas Ichigo, sesekali menggertakkan giginya. "Kini aku meyakininya, sejelas arti dari kehidupanku sendiri. Bahkan kalian yang berasal dari bangsa fairy— kekuatanmu Kuchiki Byakuya sang keturunan Spring Fairy tak bisa mematahkan ikatan mate dari darah kami. Apapun alasannya."
"Entah aku harus mengatakannya kau terlalu keras kepala pada pendirianmu atau tak bisa mengontrol emosi batinmu—"
"For fuck sake, Byakuya! " Ichigo menggebrak meja dengan kepalan tangannya. "Ini bukan sebuah perjodohan yang manusia biasa lakukan! Mau tidak mau Rukia terikat denganku, begitu pula sebaliknya."
Byakuya terlihat berpikir keras, setengah menahan diri untuk tidak menendang keluar sang Beta. Ichigo membangun pertahanan dirinya semakin kuat. Setidaknya ini bisa melindunginya dari kekuatan sekat pembatas milik Byakuya—yang kali ini tidak berbahaya baginya.
Tidak ada yang bisa menebak seperti apa alur emosi seorang Spring Fairy. Mereka setenang permukaan laut tanpa angin, namun kemarahannya sekuat badai yang berkecamuk di tengah samudra.
Itu yang pernah didengar Ichigo dari perbincangan anggota kelompoknya saat mereka harus berhadapan dengan fairy yang murka beberapa tahun lalu. Entah apa yang sebenarnya terjadi saat itu, mungkin kesalapahaman anggota kelompoknya yang melanggar batas privasi kaum fairy di klub malam. Apa pun bisa terjadi di New York.
Tapi situasinya berbeda dengan saat ini. Byakuya yang memicingkan matanya itu hampir serupa dengan cheetah yang mengintai dari balik semak belukar.
"Rukia adalah adikku. Kau tidak bisa mengakuinya sebagai bagian dari dirimu, werewolf," balas Byakuya tajam. "Dan kau tidak bisa menghalanginya sebagai keturunan terakhir winter fairy. Ini bukan lagi wilayahmu."
"Tapi dia mate-ku!" Ichigo menggeram rendah, bangun dari duduknya.
Rukia mulai panik, menjangkau lengan Ichigo dan berusaha menenangkan sang Beta. Gemerincing kalung rantainya mulai terdengar. Ichigo yang tak bisa membendung emosinya membuat gadis itu takut setengah mati.
"Ichigo, tenanglah," bisik Rukia, menancapkan kukunya kuat-kuat pada tangan Ichigo agar pria itu menyadari keberadaannya. Rukia terlalu kecil bagi Ichigo, ditambah perhatian sang Beta terfokus pada Byakuya yang juga ikut berdiri dari duduknya.
Byakuya yang menantang balik sang serigala. Sinar mata sang fairy berubah segelap malam tanpa bintang. Sebelah tangannya terangkat, menarik sekat tak kasatmata. Puluhan kelopak bunga sakura membatasi dirinya dari Ichigo.
Rukia melotot kaget. Bulu kuduknya berdiri karena kekuatan kakaknya yang terbangun. "Nii-sama! Tunggu dulu—"
"Minggirlah, Rukia."
"Milikku!" gertak Ichigo, menarik tubuh Rukia ke belakang tubuhnya. Emosinya semakin tak terkendali hingga rantai di lehernya menekan kuat. Ichigo tak bisa berpikir jernih ketika kekuatannya meluap tak tertahankan.
Jari-jariya mencengkram erat bahu Rukia, membuat gadis itu mengernyit sakit. "I-Ichigo!"
"Lepaskan Rukia," perintah Byakuya, suaranya menggema di dalam rumah seperti gaung kemurkaan yang terlalu nyaring. Kelopak-kelopak sakura berterbangan dan menghantam tubuh Ichigo hingga terlempar ke samping. Pegangan pria itu pada Rukia terlepas paksa.
Ichigo menghantam dinding terlalu keras; suara tulang yang beradu membuat Rukia semakin mengernyit.
"Kau tidak pantas menyentuh adikku dan menyebutnya sebagai milikmu, serigala!" hentak Byakuya, mencekik Ichigo semakin kuat.
Ichigo tak bisa melawan. Tulang bahunya yang retak juga kemarahan tak terbendung dalam dirinya membuat pria itu kewalahan. Sang Beta yang kesulitan untuk berpikir jernih.
Rukia merasakan kepanikan membuat dadanya bergemuruh. Rasa panas yang mengalir dari jantung ke seluruh tubuhnya. Telapak tangan terasa terbakar bara api. Bukan api yang mengecup permukaan kulitnya, melainkan es. Kekuatan sang ratu keluar mengikuti kata hatinya.
'Ichigo'. Nama itu berkumandang dalam kepalanya. Hentakan bunga es melawan ratusan kelopak sakura yang pecah di udara. Byakuya terbelalak saat adiknya menghancurkan kekuatan miliknya. Sang ratu musim dingin yang rambutnya memutih hampir seluruhnya.
"Rukia," panggil Byakuya berhati-hati.
Rukia sadar sepenuhnya kali ini. Dia menarik lagi es miliknya. Hawa dingin di sekitar tubuhnya perlahan memudar. Rambut hitamnya kembali ke asal. Gadis itu segera beranjak ke sisi Ichigo, memeriksa keadaan pria itu yang masih terbaring di lantai, bertumpu pada tembok.
"I-Ichigo!" Rukia melihat bahu kiri sang Beta yang terkulai tanpa tumpuan. Pria itu tak menunjukkan rasa sakit pada raut wajahnya. Ichigo menatap kosong pada Byakuya sambil berusaha mengatur napasnya.
"Kau terluka," gumam Rukia, tangannya tak tahu harus diletakkan di mana. Dia tak ingin menyakiti Ichigo lebih dari ini.
Kalung rantai di lehernya tak lagi bergemerincing menahan kekuatan werewolf-nya yang memberontak. Ichigo sudah lebih stabil. Lebih tepatnya merasa bersalah.
Seperti apa yang Byakuya katakan, dirinya belum mampu untuk mengontrol emosinya yang labil. Apalagi melindungi Rukia, pasangan hidupnya.
Untuk pertama kalinya Ichigo merasa tak berdaya dalam hidupnya.
Untuk pertama kalinya Ichigo merasa iri pada Kokuto—dia yang lebih stabil dalam mengendalikan emosi di dalam dirinya. Calon Alpha yang lain, yang lebih mampu dibandingkan dirinya. Beta yang belum berkembang.
Sang Beta yang putus asa untuk menggapai kedudukan Alpha dalam kelompoknya.
"Yang kaulakukan terlalu berlebihan, nii-sama," tegur Rukia. Suaranya gemetar karena percampuran emosi tak bisa terbendung.
Byakuya sudah kembali tenang, bahkan terlalu tenang di dalam kondisi ruang makannya yang sebagian hancur berantakan. Es dari kekuatan Rukia membekukan meja makan juga sebagian lantainya. Dinding retak akibat benturan kekuatan musim semi melawan musim dingin.
"Dia menyakitimu, Rukia."
"Lalu nii-sama balas mematahkan tulang bahunya?" balas Rukia sengit.
Ichigo mendesah. Dia duduk dan berusaha berdiri dengan bahu kiri terkulai. Menahan sakit, sang Beta berusaha berdiri tegap untuk menunjukkan eksistensinya.
"Tulangku tidak patah. Aku baik-baik saja."
Rukia memelototinya. Gadis itu tidak percaya pada apa yang baru saja dilontarkan sang Beta.
"Tidak patah tapi kau terluka!"
"Byakuya benar. Aku hampir melukaimu seandainya dia tidak menghantamku dengan kekuatannya," ujar Ichigo. Tak ada emosi dalam suaranya. Itu membuat Rukia takut.
Putus asa. Kedua mata yang penuh harapan juga kepercayaan diri kini memudar. Rukia takut Ichigo semakin menjauh darinya.
"Seharusnya aku yang melindungimu, Rukia. Tapi, lihat? Aku hampir melukaimu tanpa kusadari," ucap Ichigo kecut.
"Itu hanya kesalahpahaman. Kau tidak akan pernah melukaiku."
"Bahkan aku belum bisa mengontrol kekuatanku sendiri," kata Ichigo, tertawa remeh. "Kau benar, Kuchiki-san. Aku belum pantas menyandang nama Alpha milik ayahku."
Ichigo berdiri tegap, tapi tidak dengan jiwa serigalanya. Dia yang berjalan keluar tanpa melihat ke belakang. Bahkan, tidak bisa menatap Rukia tepat di mata.
Gadis itu spontan mengikuti Ichigo ke pintu depan. Berulang kali memanggil Ichigo dengan suara lirih.
"Mengapa kau melakukan ini?" tanya Rukia, mencegah langkah Ichigo dengan berdiri di hadapannya. Langit malam menjadi saksi bisu mereka berdua. Langit yang tanpa bintang itu.
Ichigo terdiam, menatap lesu. Di dalam hatinya dia berteriak sekuat tenaga. Menginginkan Rukia agar tetap berada di sisinya. Menjaga gadis itu seperti apa yang sudah terucap dari mulutnya. Janji sebagai mate.
Kehancuran harga dirinya sebagai pelindung Rukia membuatnya mengambil langkah mundur. Dia ingin menarik napas sejenak, kabur dari realita.
Sang Beta yang putus asa di negeri asing. Entah apa yang harus dilakukannya selain lari menjauh dan melolong pada sang rembulan. Jantungnya bergemuruh terlalu kencang.
"Ichigo," panggil Rukia lagi, meraih tangan Ichigo dan menggenggamnya erat. Pria itu tidak membalas. "Kumohon, biar aku yang merawat lukamu?"
Ichigo tidak menjawab. Dia hanya tertunduk dan berusaha melawan kegetiran di dalam hatinya.
"Aku bisa menjaga diriku sendiri," lanjut Rukia. "Seperti yang kaulihat tadi, aku sudah bisa mengontrol kekuatanku."
"Dan kurasa keberadaanku tidak dibutuhkan di sini."
Rukia terkesiap. Mulutnya ternganga lebar menahan rutukan yang hampir keluar.
Dia tak mengenal Beta yang sekarang sedang berdiri di hadapannya. Sosok Ichigo yang seperti seorang pengecut.
"Kau memegang janjimu, Beta! Kau adalah penjagaku dan tetap akan menjadi penjagaku!" teriak Rukia keras. Dia tak memercayai ketakutannya berubah menjadi sebuah amarah tak terkendali. "Mate—itu yang selalu kaupercayai. Kau rela membuang itu dan meninggalkanku?"
Ichigo mendesah singkat. Mata sendunya beradu dengan kilat kemarahan Rukia yang memancar kuat. Sang ratu yang murka.
Gelitik dingin udara menyentuh permukaan kulit. Ichigo bisa merasakan kekuatan Rukia semakin kuat, berkembang.
Akankah sang Beta bisa berpacu pada langkah yang sama dengan sang keturunan Winter Fairy terakhir—Ichigo mulai meragukan dirinya sendiri.
"Aku butuh waktu, Rukia," ucap Ichigo berbisik. Dia tersenyum getir. "Bisakah kau berikan itu kepadaku?"
Rukia tidak memercayai apa yang baru saja didengarnya. Dia terpaku di tempat, memerhatikan punggung Ichigo yang menjauh pergi. Bahu pria itu merosot, menunjukkan kerapuhan dirinya sebagai keturunan serigala.
Werewolf yang kehilangan harga diri terlihat lebih buruk daripada yang kalah di medan perang.
Rukia menarik napas panjang setelah Ichigo tak lagi nampak di ujung jalan. Air matanya keluar sebelum berubah menjadi kristal es. Separuh jiwanya yang hilang kini beranjak pergi tanpa meninggalkan sepatah kata untuk dirinya.
Mate yang kehilangan arah.
.
.
…..~***~…..
.
.
Malam itu terlalu dingin untuk dilalui seorang diri. Langkah kaki Ichigo bergema dalam keheningan ruang kosong terbengkalai—di sisi kota yang tak lagi dilalui para penjelajah kota. Napas sang Beta tersengal, punggungnya bersandar pada tembok beton yang sudah menampakkan alur retak termakan usia.
Jari-jarinya mencengkram kalung di lehernya, melepas perlahan dan meletakannya di sisi tubuhnya. Matanya terpejam, memanggil jiwanya yang mengerang kesakitan di alam bawah sadarnya. Sisi liarnya, sang serigala yang mulai melolong pada bulan.
Tangannya mengepal ketika derak tulang seakan merobek kulitnya. Juga luka di bahu yang berteriak nyaring. Ichigo mengernyit, menggertakkan giginya kuat. Rasa sakit yang diderita tubuh manusianya membuat perubahan seorang werewolf dirasa terlalu sakit berkali-kali lipat.
Suara langkah kaki ditangkap pendengaran tajamnya. Mata Ichigo menyala terang di tengah kegelapan, menangkap siluet yang muncul dari balik bayang-bayang.
Dia mengenal sosok itu—berdiri tegap dan tinggi seperti malaikat pencabut nyawa.
Pria paruh baya yang tersenyum simpul kepadanya; menatap prihatin.
"Kau terluka," ucap Kyouraku, berjongkok di sisi Ichigo, menatap bahu pria itu yang terkulai lemah. "Tidak parah tapi transformasi akan membuat lukanya terasa sangat menyakitkan."
"Aku tidak akan pulih bila tetap berada dalam tubuh manusiaku," kata Ichigo mendengus kesal.
"Tidak ingin mencoba pergi ke rumah sakit?"
Ichigo memicingkan matanya pada Kyouraku. "Serius? Ketika tubuhku bisa pulih lebih cepat dalam hitungan menit dalam wujud serigalaku?"
"Di tengah kota akan sangat riskan melakukan hal ini." Kyouraku menggelengkan kepalanya. "Ini bangunan terbengkalai tapi tidak mencegah orang asing masuk dan menemukanmu berubah wujud, Ichigo."
"Dan apa yang sedang kaulakukan di sini, Kyouraku-san?"
Kyouraku mengedikkan bahunya, tertawa santai sambil menatap ke sekeliling. "Aku? Hanya beberapa urusan yang perlu diselesaikan pria tua ini, tidak banyak. Dan Isshin-san sudah menjelaskan situasi yang terjadi di New York, mengenai dirimu juga Rukia-chan. Situasinya cukup rumit dengan apa yang bisa terjadi di wilayah kekuasaan Spring Fairy ini. Kita tidak bisa berbuat banyak walau perjanjian damai ada di antara kaum fairy juga werewolf."
Ichigo tak menjawab. Dia tahu situasinya tak begitu menguntungkan baginya. Ditambah dia harus melepaskan Rukia untuk beberapa waktu ini. Rasanya sungguh menyakitkan. Hatinya yang terluka dengan torehan tak kasatmata.
Kyouraku mendesah singkat, menatap pada langit gelap tanpa bintang. Dia terlalu tua untuk kembali terlibat dalam pertikaian dunia bawah. Segalanya akan menjadi lebih rumit daripada kelihatannya. Nyawa menjadi taruhan adalah hal umum—pertumpahan darah karena hal sepele seperti melanggar batas wilayah.
Ichigo terlalu muda untuk menghadapi segalanya seorang diri. Seorang werewolf muda yang terlalu keras kepala dengan bahu tegap menantang bayangan di bawah kakinya sendiri.
Pergumulan diri yang perlahan menghancurkannya dari dalam. Keegoisan juga harga diri, tipikal sifat werewolf muda yang belum mengenal dunia sepenuhnya.
Kyouraku teringat akan masa mudanya, di mana keempat kaki serigalanya masih memijak kokoh pada tanah juga alam liar di utara sana. Dia yang sangat mencintai angin juga hujan yang membasahi tanah gembur. Wangi batang pohon bercampur dengan matahari di atas kepalanya.
Ketika dirinya masih terlalu bodoh untuk mengerti pertikaian leluhur yang harus dibebani pada takdir di dalam darahnya.
Ichigo, pria itu berdiri sekali lagi untuk melakukan transformasi. Suara kertakan tulang dan erangan menahan sakit menggema di dalam gedung. Kyouraku memerhatikan diam, bagaimana sang Beta melawan rasa sakit di dalam dirinya. Perlahan pria muda itu menemukan insting kuatnya, berubah menjadi sosok mengerikan di tengah malam. Serigala berbulu coklat keemasan. Tubuhnya hampir sebesar sang Alpha, Isshin. Mata tajamnya menatap sendu ke kejauhan.
Luka di bahunya sembuh hanya dalam hitungan detik. Tulang yang tak lagi keluar dari posisi seharusnya. Kekuatan fisik sang Beta tak diragukan lagi. Kyouraku pun mengakuinya dengan tersenyum simpul.
"Aku seperti melihat bayanganku beberapa puluh tahun yang lalu," kata Kyouraku, berkomentar. "Kau salah satu keturunan yang kuat, Ichigo. Darah yang mengalir dalam nadimu lebih kuat dari Beta yang pernah kutemui selama ini. Kuharap kau bisa meyakini itu dan menggunakannya sebaik mungkin sebagai penerus Isshin."
Ichigo menatap Kyouraku, mendengus. Ekornya bergerak ringan melawan gravitasi.
Kyouraku mengerutkan alisnya, menyadari sesuatu yang Ichigo rasakan dalam hatinya.
"Kau merindukan mate-mu. Aku tahu tatapan itu."
Ichigo menggeram rendah. Matanya memicing tajam.
"Memiliki mate dari bangsa fairy dan lagi adalah keturunan darah biru. Ini sangat rumit, Ichigo." Kyouraku menggelengkan kepalanya. "Aku bahkan tak memercayainya, seorang winter fairy keturunan terakhir—Rukia-chan pun menghadapi takdir sulit dalam hidupnya. Gadis itu terlalu rapuh untuk menyandang gelar ratu, di usia manusia mudanya."
Ichigo terdiam, duduk di sisi bayangan yang menyamarkan sosoknya. Dia menatap pada sang rembulan, menunggu ketika rasa sakit di hatinya tak kunjung pulih. Tidak akan bisa dalam waktu dekat.
Obatnya hanyalah sang mate. Rukia. Dia memanggil nama itu dalam kehampaannya berulang kali.
Yang dilakukannya hanyalah menunggu. Berusaha memperbaiki harga dirinya sebagai sang Beta yang tercoreng—harga diri seorang werewolf terlalu angkuh hingga menyakiti dirinya sendiri. Ichigo tak pernah menunduk atau menurunkan bahunya sepanjang hidupnya. Kali ini Rukia yang membuat perasaannya terombang-ambing. Bahkan dia sendiri mulai lupa seperti apa dirinya yang tangguh itu.
"Jagalah dirimu baik-baik, Ichigo," ujar Kyouraku, tersenyum simpul sambil menarik jubah panjangnya. Rambut ikalnya yang kini diselipi uban penanda waktu tertiup belaian angin malam menutupi garis luka di wajahnya. Tak begitu kentara tapi itu tandanya sebagai mantan sang Alpha yang pernah berjaya pada masanya. "Kau bisa mencariku bila kau membutuhkan bantuan. Aku selalu berada di pihakmu, Beta muda."
Ichigo kembali dalam wujud manusianya ketika Kyouraku sudah pergi meninggalkannya seorang diri. Yang sang Beta butuhkan hanyalah waktu juga kesendirian. Dia rela dirinya ditelan kehampaan yang mencengkram bayangannya terlalu lama. Semenjak dirinya menginjakkan kakinya di tanah asing, Tokyo bukanlah rumahnya.
Ichigo pulang ke apartmentnya yang terasa hampa. Mandi di bawah guyuran air dingin tak merubah keadaan. Berbaring di ranjang yang tak lagi terasa hangat membuatnya semakin terlihat menyedihkan. Hatinya selalu kembali dan memanggil nama yang sama.
"Rukia…."
Dia meregangkan tubuhnya, menarik otot-ototnya yang memberontak sakit. Bahkan, rasa sakit itu berubah menjadi rasa putus asa yang mengerikan.
Dirinya jatuh dalam tidur tanpa mimpi karena kelelahan. Sang Beta membiarkan tubuhnya beristirahat beberapa saat, namun tidak pada jantungnya yang berdetak canggung memanggil belahan jiwanya.
…..~*(to be continued…)*~…..
.
.
.
.
.
.
.
Author's note:
Setelah sekian lama akhirnya aku bisa update fic! Berasa nemu oase di padang pasir, ya selama kurang lebih setahun ini kehidupan di RW ku bisa dikatakan kurang baik. Aku mulai tidak bisa menulis dan melupakan bagaimana merangkai kata-kata yang baik seperti apa. Dan memulai kembali yang belum terselesaikan itu sangat sulit. Aku stuck untuk beberapa waktu di chapter ini dengan berbagai pikiran, "Apalagi yang harus kutulis?" atau "Apa alur seperti ini tidak membosankan?" Aku tersesat untuk waktu yang lama.
Aku pun mulai merilis ulang karya fiksiku (di akun wattpad orificku, link bisa lihat di fb-ku) dengan maksud menaikkan mood menulisku. Tapi itu pun belum cukup. Susah sekali menemukan ritme yang sebelumnya udah terbentuk tapi harus berhenti di tengah jalan. Dan semoga chapter 2 ini bisa memulai kembali apa yang pernah kulakukan, walau aku pun nge stuck dengan jumlah words yang kutulis, ini tidak sepanjang yang seharusnya, tapi semoga ini bisa mengobati. Maaf bagi kalian yang sudah terlalu lama menunggu bahkan sudah lupa alur fic ini. Dan terima kasih bagi kalian yang masih mau membaca dan menyempatkan waktu kalian untuk datang kemari.
Terima kasih bagi yang sudah mereview. Maaf bila tidak bisa kubalas satu per satu, dan kubalas pun mungkin sudah terlalu lama ya. Aku akan mulai membalas pertanyaan reviewers di chapter berikutnya. Terima kasih sekali lagi buat dukungan kalian.
Dan playlist untuk chapter ini sendiri aku lupa…. Karena menulisnya aku mencari-cari waktu kosong juga setengah memaksakan diri jadi aku tidak membuat playlist khusus. Tapi di part terakhir chapter ini, aku mendengarkan Lauv feat BTS (Jimin, Jungkook) yang judulnya Who. Ini aku ulang berkali-kali karena vibe-nya dapet banget. Rasa sakit hatinya mengena banget.
See you on the next chapter! Love you!