OOC DON'T LIKE DON'T READ

PRODUCE 101 S2 FANFICTION

FANTASY, ROMANCE, FRIENDSHIP, FAMILY

M, ABO!AU

MOSTLY FLASHBACK

YUNHWA

.

.

.

Mohon bersabar membaca chapter ini.

Disarankan untuk membacanya dengan agak teliti. Karena chapter ini penuh dengan alur yang bertele-tele dan bercampur antara flashback dengan present.

.

.

.

Omega itu duduk terpejam, membiarkan hembusan angin yang panas menerpa wajahnya melalui jendela. Bibirnya bergerak perlahan, menggumamkan sebuah irama lembut yang disusun dengan asal-asalan.

Tangan kirinya menumpu pada bingkai mahoni bercat hitam itu, dan tangan lainnya bergerak mengelus perut yang terbalut sweater yang dipenuhi bau alpha. Sesekali omega itu meringis sakit akibat rasa bergejolak yang berputar-putar di perutnya setelah makan siang.

"Seongwoo hyung."

Omega itu menoleh pada sumber suara. Menemukan alpha muda bertubuh tinggi yang menatapnya dengan sorot mata khawatir.

"Guanliinn~" panggil Seongwoo dengan mata menyipit karena senyuman. "Mana Seonho?"

"Dia tertidur," jawab Guanlin singkat. Ia memperhatikan postur kurus Seongwoo yang duduk di kursi kayu dengan tubuh condong menumpu pada bingkai jendela yang terbuka.

"Kau sudah tidak menunggunya, kan? Dia tidak akan kembali." Kata Guanlin. Tak terasa sudah hampir dua bulan sejak Daniel tidak kembali ke sana, dan selama itu pula omega itu setia duduk di depan jendela kamarnya. Menghabiskan waktu seharian dengan tubuh berbalut sweater, mantel, atau cardigan yang kesemuanya memiliki jejak bau sang alpha.

Seongwoo mengernyit. Sejenak ia menggerakkan bibirnya tanpa suara dan matanya menerawang ke atas sebelum mengeluarkan suaranya. "Menunggu? Siapa?"

Alpha itu menghela napas panjang. Ia melangkah mendekat kepada sang omega dan menutup jendela yang terbuka itu dengan hati-hati. "Kau bisa sakit kalau terus terpapar udara luar yang penuh polusi, Hyung."

"Aku memang sedang sakit, Guanlin-ie ..." Seongwoo mencebikkan bibir. Ia memandang jendela yang sudah tertutup dan Guanlin yang berdiri di depannya secara bergantian. "Makanya aku membutuhkan lebih banyak udara."

Guanlin menggeleng. "Ani. Udara di luar sana banyak polusi. Kau bisa tambah sakit, hyung." Alpha itu beranjak menyalakan kipas angin di ujung ruangan. Hawa sejuk mulai terasa di seisi ruang kamar yang tidak terlalu luas tersebut.

Wajah Seongwoo merengut tak terima. Ia merasakan perutnya semakin bergejolak mual karena angin dingin yang menerpa seisi kamarnya tersebut. Omega itu berlari mematikan kipas angin.

"Ya, Hyung! Itu baru dinyalakan!" seru Guanlin.

"Aku tidak ingin memakai kipas angin!" tukas Seongwoo tak kalah keras kepalanya.

"Setidaknya agar udara di dalam kamar ini berputar dan lebih sejuk." Guanlin bersikeras dan hendak menyalakan kipas anginnya lagi.

"Aku tidak--ng ... uhukk."

Mata Guanlin membulat saat wajah hyung-nya mengernyit menahan sesuatu. Salah satu tangan Seongwoo memegang perutnya. Sedangkan tangan kanannya menahan sesuatu di mulutnya agar tidak keluar saat itu juga. Seketika, omega itu melesat ke kamar mandi, disusul Guanlin yang menyerukan namanya dengan intonasi panik.

Yah ... dan sudah hampir dua bulan terakhir ini juga Seongwoo sering muntah-muntah.

.

.

.

"Hooeeekk ... uhuk, uhukk."

Woojin menyeka ujung bibirnya yang terdapat sisa muntahan. Isi perutnya baru saja terlempar keluar setelah otaknya terkuras dalam diskusi alot dengan guru tata krama yang berwajah datar.

Ugh, Woojin meringis mengingat betapa melelahkannya diskusi yang bertujuan untuk mengetes seberapa jauh ilmu yang dimilikinya itu. Di depan pintu kamar mandi, Daehwi berdiri dengan wajah khawatir.

"Gwaenchanha, Woojin-ah?"

Woojin menggeleng sebelum mencuci mulutnya dengan air kran lalu mengeringkan wajahnya dengan sembarang handuk kecil yang tergantung di dekatnya.

"Sekarang aku mengerti kenapa Daniel hyung bilang bahwa aku akan kehilangan masa kecilku--bukan kehilangan masa kecil. Tapi kehidupan tenangku terusik!"

"Sshhh ... pelankan suaramu!" desis Daehwi. Matanya bergulir ke sembarang arah. "Appa atau orang suruhannya mungkin akan mendengar itu."

Woojin mendecih. "Lalu mau apa? Mereka tidak akan tega menghukumku dengan berat. Aku adalah pure alpha satu-satunya di Korona. Itulah kenapa. Mereka tidak akan sudi menyia-nyiakan aku." Anak itu membubuhkan sedikit pasta beraroma mint di sikat giginya dan mulai membersihkan mulut yang dipenuhi aroma sisa muntahan.

Daehwi menghela napas. Ia melongok keluar kamar mandi seolah memeriksa keadaan di sana.

"Woojin-ah?" panggil omega itu pelan.

Woojin menoleh dengan mulut penuh busa. Alisnya mengernyit ketika Daehwi bukannya berbicara malah kembali melongok-longok ke luar ruangan tempat kamar mandi itu berada.

Woojin mengangkat bahu dan memilih untuk berkumur. Beberapa lama kemudian, omega itu kembali menghadap Woojin dengan senyum jenaka. "Sekarang aman," katanya membuat alis sang alpha muda bertaut. "Ayo kita pergi dari sini."

"Kemana?"

"Yah ... ke tempat dimana kau bisa istirahat dan menghibur diri sejenak. Lama-lama aku ikut jenuh melihatmu belajar terus."

Woojin menggaruk pipinya. Tak ayal, ia tersenyum mendengar penuturan hyung-nya yang manis ini. Selintas pengalamannya ke taman bermain dengan Daniel lewat di pikirannya. Namun, bola lampu lain menyala di sana. "Tunggu sebentar, hyung."

Kening Daehwi mengerut ketika alpha mungil itu berlari ke sudut ruangan. Menghampiri kotak kayu usang yang selama ini tidak pernah ia buka. Woojin membongkar kotak besar yang sempat dibongkarnya beberapa hari yang lalu itu dan menahan napas meraih buku harian lapuk dengan foto yang terselip di sana. Ia mendekap buku itu dan menunjukkannya kepada Daehwi.

"Ini milik ibuku, bukan?"

Daehwi mengangguk. "Semua barang di dalam kotak itu milik ibu kandungmu."

"Nah!" pekik Woojin sambil menatap carikan foto dari buku itu. Membaca ulang tulisan kabur yang ada di belakangnya. "Sudah tersimpan selama ini dan aku baru membuka benda ini kemarin."

Mata Woojin dipenuhi binar keingintahuan. "Hyung, bagaimana kalau kita pergi ke wilayah Barbarian?"

.

.

.

"Woojin hyung!" seru Woojin kecil melihat prajurit alpha bernama sama dengannya itu berjalan menyusuri pertokoan menuju istana.

Yang dipanggil menoleh. Ia sempat mengerutkan dahi bingung sebelum tersenyum memamerkan gigi-giginya yang kurang rapi.

Kedua Woojin itu berangkulan seperti sahabat yang sudah lama tidak berjumpa. Mungkin memang itu kenyataannya.

"Kau sedang bebas?" tanya Park Woojin setelah mereka mulai berjalan bersisian. Prajurit muda itu tahu kalau Woojin kecil tengah menjalani ledakan pendidikan yang mengharuskannya terkurung di rumah untuk belajar.

"Aku kabur," sahut Woojin cuek. Ia menghentikan langkahnya dan menoleh kepada Daehwi yang berada sekitar lima meter di belakang. "Hyung! Dasar lamban!"

"Ya!" teriak Daehwi tidak terima. Ia berlari dan menyejajarkan langkah dengan kedua Woojin. Ia sudah memperlihatkan wajah bingungnya sejak adiknya itu memanggil nama prajurit muda di hadapannya ini.

"Park Woojin." Woojin inisiatif mengulurkan tangan. Ia tampak lebih kalem dibandingkan saat berkenalan dengan Woojin waktu itu.

Daehwi menjabat tangan itu sambil memperhatikan wajah sang pemilik tangan. "Park Woojin? Aish. Kenapa nama kalian sama," celotehnya dengan bibir merengut. "Lee Daehwi imnida."

"Kalian kabur berdua?" tanya Park Woojin kepada kakak beradik Lee itu.

Lee Woojin mengangguk. "Hyung, aku ingin menanyakan sesuatu."

Woojin bermarga Park memiringkan kepala memerhatikan Woojin yang lebih muda membuka lipatan carik foto usang dari sakunya. Daehwi hanya ikut diam mengikuti gerak-gerik adiknya.

Alpha Lee membentangkan carik foto berukuran 4R itu di hadapan sang prajurit muda dengan kondisi terbalik. Memperlihatkan tulisan kabur di halaman polos itu.

"Lee Yoojin. Aku pernah mendengar nama ini disebut oleh Panglima Kwon. Siapakah dia?"

Woojin yang lebih tua meraih foto itu dan menatapnya seraya berpikir. Ia jelas mengenal orang di foto itu. Sejarah Barbarian mencetak namanya dengan tinta emas sebagai prajurit alpha terhebat yang rendah hati sepanjang masa.

Kening alpha Park itu berkerut.

"Apakah kalian mau ikut aku ke suatu tempat? Untuk memastikan sesuatu." Park Woojin bertanya kepada dua Lee bersaudara yang langsung berpandangan.

"Kemana?" tanya Lee Woojin kemudian karena sejak menginjakkan kaki di wilayah ini, Daehwi tampak jadi lebih pendiam dan hemat bicara selain saat ia berkenalan dengan Park Woojin.

"Kembali ke wilayah kalian. Korona."

Lee Woojin nyaris melayangkan protes. Namun, alpha Park dengan cepat meneruskan bicara. "Aku punya kenalan di sana. Ia seorang peramal yang bisa melihat masa lalu dan masa depan. Mungkin pertanyaan itu akan terjawab. Seandainya kecurigaanku benar ..."

"Apa yang kau curigai?"

"Kau, Lee Woojin ... adalah bagian dari kami. Klan Barbarian."

.

.

.

Klan Barbarian. Klan terbesar di dunia. Mereka menaklukkan klan-klan kecil dan membangun kerajaan berperadaban. Meskipun memiliki nama Barbarian, yang berarti liar dan primitif, mereka hanya memperlihatkan keaslian nama itu dengan cara bertahan hidup mereka yang berprinsip menaklukkan alam. Sisanya, mereka adalah bangsa besar yang hebat.

Namun ...

Hanya satu kekurangan Klan Barbarian.

Putera pertama Keluarga Kang yang terhormat, Putera sang raja, calon penerus kerajaan, menderita kecacatan pada hormonnya.

Ia impoten. Dan hanya bisa sembuh setelah menemukan fated mate-nya.

"Appa, apa jadinya seorang raja tak mampu memiliki keturunan? Aku tak pantas menjadi raja."

Raja Kang menghela napas mendengar penuturan putera tertuanya yang kala itu berusia 12 tahun, Kang Dongho. Pure Alpha muda itu menunduk, memberikan gestur menyembah sebagai penghormatan kepada sang Raja. Ia adalah pure alpha yang sempurna di balik kecacatan kecilnya.

Ia kuat, gesit, cekatan, dan memiliki tata krama yang sempurna.

Singkatnya, ia adalah calon raja yang sempurna.

"Memang, aku bisa disembuhkan bila bertemu dengan fated mate-ku. Tapi ... garis takdirku mengatakan bahwa fated mate-ku berada sangat jauh, dan hanya terdapat tabir tipis yang memisahkan antara kemungkinan aku bertemu dengannya dengan kemustahilan."

Sang Raja memijat pangkal hidungnya pelan. Puteranya kembali memberikan gestur penghormatan yang sama dengan sebelumnya. Ia mengibaskan tangan, mengisyaratkan kepada puteranya untuk berhenti mengulang gestur tersebut.Ditatapnya manik hitam sang putera tertua.

"Puteraku, Kang Dongho ... adalah hakmu untuk memilih jalan hidupmu. Namun, siapa yang akan menggantikanku saat tua nanti?"

Dongho tersenyum, "Adikku Daniel, dia lebih pantas menduduki tahta setelah appa."

Kang Daniel, putera bungsu keluarga Kang yang saat itu baru berusia 8 tahun, membelalak tak percaya.

Menjadi seorang calon pemimpin kerajaan bukanlah perkara mudah. Daniel mengalaminya. Ia harus hidup terpaku pada sistem kerajaan, peraturan, ketentuan, dan pendidikan yang menjejali seluruh kehidupan.

Asalnya, Daniel kecil adalah pure alpha muda yang menginginkan kebebasan. Ia lebih senang menjelajah sendiri daripada duduk menekuri buku berjam-jam dan mendengarkan ceramah dari guru dan para penasihat kerajaan. Semua hal itu membuatnya pening.

"Appa," panggil Daniel kecil pada suatu hari. Ia menatap sang raja yang berjalan dengan tenang menghirup semilir angin udara pagi di taman utama. "Kenapa hyung pergi?"

"Pilihan hidupnya," jawab sang raja tanpa menoleh. Beberapa pelayan hilir mudik dengan kepala menunduk. Dan beberapa pengawal berdiri tegap tak bergerak seperti boneka kayu yang kaku.

"Kalau begitu, bukankah aku juga memiliki pilihan hidup?"

Sang Raja menoleh kepada putera bungsunya yang kini sudah berusia 10 tahun. Manik bundar itu berbinar menunggu jawaban.

"Takdirmu adalah menjadi raja."

"Bukankah itu takdir Dongho hyung? Ia putera tertua. Ia yang seharusnya menjadi raja," sanggah Daniel. Ia menatap lurus kepada sepasang mata tajam ayahnya. "Ia pergi dengan alasan cacatnya untuk menghindari proses menjadi raja. Ia sengaja membuatku yang merasakan betapa tersiksanya dikurung dan belajar selamanya. Aku tidak ingin menjadi raja!"

Para pelayan wanita di taman itu tersentak mendengar seruan pangeran kecil mereka. Sedangkan sang raja menghela napas, melambaikan tangan memanggil guru sang pangeran muda.

"Peraturan Pengantar Undang-Undang Kerajaan poin ke 1101. Apa bunyinya?"

Mendengar jumlah peraturan itu saja membuat Daniel muntah.

.

.

.

Daniel menarik napas dan menghembuskannya kasar. Pelayan-pelayan istana hilir mudik mengantarkan hidangan makan malam ke ruangan dengan meja panjang berlapis emas murni itu. Beberapa pelayan lain mondar-mandir membenahi penampilan dan tatanan rambut sang pangeran yang beberapa kali terusik akibat ulah tangan Daniel sendiri.

Tidak ada acara khusus malam ini. Hanya makan malam keluarga kerajaan seperti biasanya. Raja, Ratu, Putera Mahkota, dan segala sivitas penting kerajaan. Sama seperti makan malam biasa.

Satu bulan telah berakhir dengan keadaan seperti ini. Sejak Hyunbin ditemukan sekarat di luar wilayah klan, setelah secret rendezvous kecil-kecilan dengan Minhyun yang diam-diam diketahui Daniel, alpha itu belum juga membuka mata dengan selang-selang peralatan medis yang memenuhi sekujur tubuhnya.

Dan tololnya, saat keluarga raja klan sebelah datang untuk membicarakan tetek bengek mengenai perluasan kerajaan dan kerajaan baru sialan itu, seluruh keluarga kerajaan Barbarian dibuat percaya dengan keanggunan dan ramah-tamah Raja Hwang yang licik.

Tadinya hanya suara denting alat makan yang mewarnai suasana malam itu. Namun, setelah denting itu berhenti beradu, kini suasana usai makan malam dihiasi diskusi politik mengenai pernikahan politik, pengakuan wilayah baru, dan yang paling Daniel benci, penobatan Raja. Kang Dongho sebagai Raja Muda Barbarian, dan Kang Daniel yang memimpin wilayah baru setelah menikah.

Daniel menatap Dongho yang hanya diam tak bersuara. Ia yang tadinya menentang keras pembuatan wilayah kerajaan baru, kini hanya mengangguk menyetujui apapun yang diucapkan sang raja. Jujur saja, Daniel mengharapkan Dongho menentang seperti waktu itu.

Tapi ini keputusannya sendiri. Menuruti perintah sang ayah, atas perjanjian dengan Raja Hwang.

Cih.

"Ini adalah konspirasi," ujar Daniel menarik atensi seluruh anggota keluarga kerajaan kepadanya.

Daniel tersenyum. Senyumnya terkesan sinis dan dingin. Ia menggerakkan telunjuknya memutari mulut gelas kristal berisi anggur di hadapannya.

"Ini adalah konspirasi," ulangnya dengan penekanan.

Putera mahkota kedua itu berdiri dari tempat duduknya dan bersiap untuk beranjak. "Aku butuh udara segar," ujarnya seraya meninggalkan tempat.

Keluarga kerajaan menatap kelakuan sang putera kedua dalam diam. Kening sang Raja berkerut dalam, tak suka akan sikap Daniel.

Dongho berdehem pelan. Ia bangkit dan membuat gestur penghormatan kepada seluruh keluarga kerajaan yang ada di sana. "Biar aku menyusulnya."

.

.

.

"Bertingkahlah dengan tata krama, Kang Daniel. Kau seorang calon raja."

Dongho menghampiri sosok berbahu lebar yang bersandar pada pembatas balkon istana.

Daniel mendelik. Ia berdehem pelan menanggapi ujaran kakaknya dan kembali memejamkan mata menikmati angin malam.

"Maafkan aku, tidak mampu melakukan apapun untukmu."

"Kau tidak perlu melakukan apapun," sahut Daniel akhirnya. "Mau berusaha sekeras apa, konspirasi itu akan tetap berjalan."

Alpha muda itu menghembuskan napas. Uap napas yang panas terlihat samar di udara malam yang dingin.

Sejenak, kakak beradik Kang itu diliputi keheningan. Sang kakak tidak tahu apa yang harus diucapkan kepada adiknya. Mereka tidak pernah melakukan percakapan sedalam ini. Ia menatap visual samping wajah sang adik yang rautnya sulit dibaca.

"Yah, tidak apa. Lama-kelamaan aku menikmatinya juga." Daniel angkat bicara pada akhirnya. Dongho menggelengkan kepala pelan.

"Apa yang ada di pikiranmu, Daniel?"

Kekehan kecil keluar dari kedua belah bibir Daniel. "Menurutmu, apakah semua ini masuk akal?" Ia menarik napas sejenak. "Kau menolak kewajiban menjadi raja dengan alasan bodoh, impoten. Lalu menimpakan semua warisan masalah kerajaan itu kepadaku. Kau pergi bagai pahlawan dermawan yang merelakan tahta untuk adiknya ..." kalimat itu menggantung, Daniel tersenyum miring.

"Pada akhirnya aku tetap menjadi raja," desah Dongho lelah. Ia menunduk di samping adiknya yang lagi-lagi terkekeh dengan suara rendah dan berat.

"Itu takdirmu. Dan kuharap takdirku adalah menjatuhkan Raja Hwang."

Dongho membelalak tak percaya. Kalimat itu terlalu berani. Bahkan bagi seorang pure alpha muda seperti Daniel.

"Ha. Aku beruntung terlahir sebagai seorang brengsek yang senang bermain-main. Dengan itu, aku bisa mengorek kebusukan politik dengan lebih baik."

~"Ini semua adalah konspirasi."

Pangeran muda berusia 12 tahun itu membenturkan kepalanya ke pilar tembok istana.

"Hyung, kau tidak apa-apa?"

Ia mendelik menatap alpha muda lain di belakangnya. Mencebikkan bibir, ia mengomel. "Tentu saja aku tidak baik-baik saja! Aku lelah. Kepalaku mau meledak rasanya."

Alpha yang menjadi lawan bicaranya itu mengangguk, kemudian duduk di samping Daniel. "Mau latihan sedikit? Aku sudah berlatih 724 jam untuk mengalahkan skill pedangmu."

"Tidak!" sela sang pangeran tegas. "Kau berlatih lagi saja sendiri. Mau berlatih sekeras apapun kau tidak akan mengalahkanku."

"Cih sombong. Hanya karena kau calon raja, bukan berarti kau tak terkalahkan, Kang Daniel."

"He. Dasar Kwon tidak sopan." Daniel mendaratkan satu pukulan kecil di dahi Hyunbin. Kemudian ia menunduk membetulkan tali sepatu yang terlepas. Beberapa detik kemudian, pangeran muda itu mendongak. "Kau mau ikut denganku?"

"Kemana?" tanya Hyunbin sedikit antusias.

"Banyak hal yang akan kita lakukan. Aku ingin bermain ke wilayah sebelah." Daniel menaik-turunkan kedua alisnya menunggu jawaban Hyunbin. Alpha muda itu mengerutkan dahi.

"Itu ilegal, Hyung."

"Kalaupun ilegal dan ketahuan, mereka hanya akan mencabut hak tahta dariku."

Mendengar itu, Hyunbin terkekeh. "Baiklah, dan tahta itu akan diberikan kepadaku?"

Daniel mengangguk antusias. "Tentu saja, bodoh! Aku akan bermain dengan kucing-kucing jalanan di luar sana. Itu lebih baik daripada memikirkan sistem kerajaan yang menggerogoti pikiran.

"Mata Hyunbin memicing. Ia menggeleng tak setuju. "Kau tahu, Hyung. Untuk memiliki kuasa penuh atas dunia, terlebih dahulu kau harus menjadi raja."

Daniel tertawa. "Persetan dengan kuasa penuh!" teriaknya sambil berlari melompati gerbang istana menuju perbatasan wilayah klan.

Daniel menundukkan kepala dan tersenyum samar mengingat masa kecilnya dengan Hyunbin. Melarikan diri dari ruang belajar dan bermain-main dengan kucing jalanan di perbatasan wilayah Barbarian dan Korona adalah hal yang paling menyenangkan. Terkadang, ia dan Hyunbin akan melemparkan belati ke udara. Belati itu berputar-putar dan jatuh menancap pada tubuh kuda terbaik istana Korona. Kemudian mereka akan berlari sambil tertawa keras dengan keringat dingin mengucur di wajah.

Kalau ada laporan tentang kenakalan itu ke kerajaan, Daniel akan dengan santainya menunjuk Hyunbin sambil mengatakan, "ia yang melakukannya. Aku tidak ikutan."

"Apa kau sedang melantur, Kang Daniel?" tanya Dongho melihat Daniel yang tersenyum-senyum setelah mengucapkan kalimat-kalimat aneh. Ia sungguh tidak mengerti jalan pikiran adiknya saat ini.

Daniel mengangguk. "Ya. Ya, aku sedang melantur." Ia menerawang ke langit tak berbintang. "Aku kalut memikirkan keadaan Hyunbin." Selintas wajah lain yang ia rindukan muncul di kepalanya. "... dan mate-ku."

"Aku juga memikirkan mate-ku," gumam Dongho.

Daniel menoleh. Kakaknya memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. "Aku telah merasakan kehadirannya sejak tadi siang. Masih dalam bilangan kilometer jaraknya dariku. Dan ... ia masih sangat muda."

.

.

.

"Appa memberikanku tiga permintaan sebagai hadiah ulang tahunku," kata Daniel kepada Hyunbin yang duduk di sampingnya. Kedua alpha muda berusia 13 tahun itu tengah menyelonjorkan kaki di tengah padang ilalang di perbatasan wilayah klan.

Hyunbin memasang raut kesal mendengarnya. "Untuk apa kau memberitahuku?"

Daniel mengangguk. "Karena aku pikir aku akan menghabiskan ketiganya sekaligus. Tapi ternyata aku baru menggunakan dua."

"Apa saja itu?" tanya Hyunbin penasaran.

Daniel berdehem pelan." Pertama, aku meminta kebebasan. Agar aku diperbolehkan melakukan apapun yang kumau selain belajar. Dan yang kedua, aku memberikan hak permintaan itu untuk putera mahkota Korona."

"Kau mengenalnya, Hyung?"

"Tidak," jawab Daniel pendek. Membuat Hyunbin terperangah. "Maksudku belum," ralatnya kemudian.

"Lalu kenapa--? Argh, apa kau gila, Hyung?"

"Tidak juga," sahut Daniel.

"Kau jatuh cinta dengan putera mahkota korona?" tebak Hyunbin membuat Daniel terbahak.

"Tentu saja tidak. Aku hanya ... uhm ..." Daniel menggantungkan kalimatnya sejenak. "Saat aku pergi ke Korona, aku melihatnya bersama seorang anak laki-laki manis berseragam rumah sakit."

"Tunggu! Kau menyelinap ke Istana Korona?" potong Hyunbin tak percaya.

Daniel mencebik, ia menghadiahi satu jitakan di dahi Hyunbin. "Aku belum selesai bercerita! Ya, aku memang menyelinap ke istana." Putera mahkota itu menerawang. "Aku sudah biasa melakukannya. Dan kembali pada anak manis yang kulihat itu. Mm ... maksudku pangeran Hwang dan anak manis itu. Pangeran Hwang merengek kepada Raja Hwang bahwa ia ingin menjadikan anak itu sebagai sahabatnya. Tapi kau tahu Raja Hwang ..."

Hyunbin mengernyit. "Kenapa Raja Hwang?"

Sang putera mahkota meringis. "Ah, sudahlah. Kau tidak tahu, ya. Pokoknya karena janji ayahku untuk mengabulkan tiga permintaan itu sangat kuat, aku memberikan satu hak permintaan kepada Putera mahkota Korona sehingga dia bisa membawa anak laki-laki manis itu pulang."

"Lalu?"

"Tidak ada lalu-lalu lagi. Kembali ke topik awal. Aku punya satu permintaan tersisa. Apa yang harus kuminta?"

Hyunbin meletakkan tangannya di dagu. Berpose seolah berpikir keras.

"Aku akan meminta agar kedudukan tahtaku dipindahkan kepadamu."

"Heol!" pekik Hyunbin mendengar keputusan sepupunya. Daniel tersenyum.

"Itu yang kau inginkan juga, kan?"

Hyunbin mengangguk penuh kepuasan dan mata berbinar-binar. "Tapi tetap saja, Hyung. Aku masih ingin bisa mengalahkan skill bertarungmu!"

"Kalau yang itu sudah jelas tidak akan pernah bisa." Tawa Daniel menggema. Menciptakan raut kesal di wajah Hyunbin kembali. "Sudahlah, aku akan mengajukan permintaan terakhir itu. Untukku, dan untukmu."

Daniel duduk di ruangan putih yang dipenuhi bau obat-obatan. Menghadap kepada sang sepupu yang masih terbaring, koma. Wajah itu pucat, seolah tak ada darah yang mengalir di balik kulit itu.

Daniel tersenyum miris. Kondisi sepupunya koma dan tidak mengalami peningkatan apapun selama lebih dari satu bulan, tapi tak satupun keluarga kerajaan yang mencoba mengusutnya. Bahkan panglima Kwon sekalipun.

Seolah kehadiran sepupunya itu tak dianggap, atau dibutuhkan.

Daniel memukul kepalanya sendiri, frustrasi. Sejak awal, ini adalah kesalahannya.

.

.

.

Raut wajah Daniel tampak tegang. Pangeran muda itu duduk di samping Sang Raja tanpa suara.

Ratusan dokumen penting kerajaan terbakar. Tidak, lebih tepatnya, dibakar seseorang. Abunya ditebarkan di atas mahkota Sang Raja. Sebuah penghinaan. Sebenarnya, tanpa perlu bertanya-tanya, Hyunbin tahu siapa pelakunya. Yang menyebabkan ia duduk bersimpuh menundukkan kepala di tengah aula kerajaan. Disidang oleh para menteri dan keluarga raja. Ayahnya menggelengkan kepala menatapnya.

"Aku yang melakukannya," ulang Hyunbin untuk yang kesekian kalinya. Mengaku bahwa ialah yang berulah kekacauan tersebut.

Bukan, bukan ia sebenarnya. Tapi sudah bertahun-tahun ia terbiasa mengakui kesalahan yang diperbuat oleh sang sepupu, Kang Daniel.

Seluruh keluarga kerajaan bergumam dengan tatapan marah. Raja Kang tetap dalam wibawanya, mempersilahkan saudaranya, Panglima Kwon untuk memutuskan hukuman apa bagi puteranya.

"Aku merelakan hukuman apapun untuknya."

Para penasihat Raja mulai angkat bicara. Pengucilan dan hukuman mati adalah dua opsi utama bagi pelaku penghinaan sepertinya.

Daniel membelalakkan matanya tak percaya. Ia berdiri dengan cepat, dan menghadap kepada sang Raja.

"Appa, aku akan mengajukan permintaan terakhirku."

Raja Kang mengernyit. Ia menggelengkan kepalanya. "Bukan saatnya, Daniel."

"Tidak!" seru Daniel. "Aku akan memintanya sekarang. Permintaan terakhirku. Urungkan hukuman Hyunbin. Biarkan ia tetap tinggal. Aku yang akan mengurusnya."

Kali ini Hyunbin yang membelalakkan matanya tak percaya. Ia ingin bicara, namun lidahnya kelu karena terkejut.

"Kau terlalu banyak bermurah hati, Kang Daniel," tukas Raja Kang dingin.

Daniel menatap Sang Raja dengan berani. "Bukankah Appa sendiri yang mengajarkanku untuk bermurah hati?"

Sang Raja tersenyum kaku, meski tidak menghilangkan wibawa di wajahnya, namun kemarahannya atas kekacauan itu cukup membuat sorot matanya menajam dan bersikap nyaris gegabah. "Tapi kau terlalu murah hati. Pertama, kau bermurah hati kepada Putera Raja Hwang yang tak ada sangkut pautnya denganmu. Dan kedua, kau bermurah hati kepada pengacau yang hina ini." Raja Kang mengacungkan telunjuknya ke arah Hyunbin.

Daniel menahan napas sejenak. Kemudian ia berkata dengan intonasi tegas. "Aku berjanji tidak akan bermurah hati lagi setelah ini. Aku akan melakukan apapun perintah appa. Aku akan menerima seluruh kewajiban menjadi raja. Asalkan appa bersedia mengabulkan permintaan terakhirku."

Dan janji Daniel adalah janji. Ia tidak akan bermurah hati lagi sejak saat itu. Ralat, tidak akan terlihat bermurah hati lagi.

"Kita hidup seperti biasa saja, Hyung. Tak perlu memikirkan insiden itu lagi. Anggap saja aku memang pengacau yang melakukan penghinaan itu terhadap Raja."

"Kau tetap putera Panglima Kwon, kan?" tanya Daniel was-was.

Hyunbin tertawa miris. "Tentu saja. Tapi mungkin ... tidak dianggap lagi. Mungkin aku akan tinggal bersama Taedong di rumah keluarga Kim sampai aku bisa memiliki apartemen sendiri.".

.

.

Daniel berjalan tersaruk-saruk. Keluar dari ruang rawat Hyunbin, ia melangkah meninggalkan istana. Lolos dari perhatian para pelayan dan prajurit penjaga.

Tubuh pangeran itu terhuyung menyusuri jalanan malam hari yang sepi. Denging elektrokardiogram yang memekik tanpa jeda terngiang-ngiang di telinganya.

"Nyawa Tuan Kwon tidak dapat terselamatkan."

Daniel mengeraskan rahang. Tenggorokannya perih setelah meneriaki para perawat yang bertanggungjawab atas kondisi Hyunbin.

Langkahnya terhenti di sebuah jalan di daerah perbatasan wilayah klan. Ia mendongak, menemukan sebangun rumah dengan jendela berbingkai mahoni bercat hitam.

Ah, akhirnya ia kembali lagi ke sini.

Rumah Ong Seongwoo.

"Daniel ...?"

Alpha itu menoleh kepada asal suara. Dilihatnya sosok omega yang sangat dikenalnya berdiri di depan pintu rumah yang terbuka.

"Ong Seongwoo ..." gumam Daniel pelan. Aroma feromon Seongwoo terasa begitu pekat. Terutama saat omega itu melangkah ke arahnya.

Daniel terpaku saat langkah sang omega sampai di hadapannya. Ujung kaki kaki telanjang sang omega bersentuhan dengan ujung sepatu Daniel. Feromon itu semakin menyengat di hidungnya. Daniel nyaris tak bisa menahan diri.

Sruk.

Tercekat, mata sang alpha membola ketika kedua tubuh itu berhimpit dengan tangan sang omega melingkar di pinggangnya.

Wajah Seongwoo dibenamkan di ceruk leher sang alpha. Menghirup feromon Daniel dengan rakus.

Masih mengumpulkan kesadarannya, Daniel perlahan membalas pelukan sang omega. Menumpukan dagu di pucuk kepala Seongwoo.

Daniel menahan napasnya saat sebuah palu gada menghantam hatinya.

Satu bulan tersisa. Satu bulan sebelum pernikahannya dengan Hwang Minhyun.

"Maafkan aku ..." bisik Daniel penuh penyesalan. Wajahnya dibenamkan di ceruk leher mate-nya.

Rasanya amis, namun beraroma manis. Sangat memabukkan.

Ya, Ong Seongwoo adalah mate-nya.