Summary: Setelah kedua orang tua mereka sembuh, Naruto mengajak Sakura ke perancis, namun ada hadiah kecil menanti di tokyo/"Aku ingin kau berkencan dengan dia, lalu putuskan perasaanmu sekali lagi."/
Disclaimer: Naruto Masashi Kishimoto
WARNING: Mainstream, Typo, OOC
Note: Saya saranin kalian baca fic saya yang berjudul He Can't Tame Me dulu karena ini omake dari fic tersebut
Blam.
Sakura menghela napasnya; berada di ruang psikolog selama tiga jam membuat tubuhnya letih, ia melirikan matanya ke jam tangannya—sudah malam rupanya; ia tak mengetahuinya sebab area parkir mobil berada di bawah gedung.
"Bagaimana hasilnya?"
Sakura terkesikap pelan.
'Suara itu—!?'
Sakura menaikan wajahnya dan melihat Naruto sedang bersandar di mobil ferrari dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya. Ia terkejut sesaat sebelum buru-buru mendekati Naruto dan memeluknya erat.
Naruto membalas dengan iringan tawa kecil. "Aku juga kangen padamu, chérie." katanya lembut.
Sakura tersadar reaksinya sedikit berlebihan, ia pun segera melepas pelukannya juga ingin menjauh tapi Naruto tak mengijinkan dengan tetap memeluk erat pinggangnya jadi ia tak memiliki pilihan selain harus menatap kekasihnya dari jarak yang dekat—membuat jantungnya berdegub lebih cepat.
Dua bulan.
Dua bulan ia tidak bertemu dengan Naruto, hanya bisa berkomunikasi lewat video call—dan... setelah akhirnya bertemu juga, ia justru gugup, tidak bisa menatap mata biru Naruto—menatap sepasang mata biru kesukaannya yang mengembalikan perasaan rindu akan kekasihnya—rindu sentuhan Naruto yang penuh lembut cinta kepada dirinya.
Sakura memainkan jemarinya main-main di dada bidang Naruto—mengalihkan segala keinginannya yang sedang terbayang di kepalanya. "Kau menepati janjimu Naruto..." katanya.
"Tentu saja," sahut Naruto. "Aku lelaki yang memegang teguh perkataanku."
Sakura tersenyum kecil mendengarnya; ia sungguh senang, dan juga berharap Naruto takkan berubah. "Kemajuan, aku mengalami kemajuan yang bagus, bahkan aku hanya meminum obat penenang sekali dalam sebulan ini."
"Bagus sekali," kata Naruto senang. "Aku tahu kau bisa, chérie."
Sakura sendiri juga tidak bisa menyangka ini, ia senang sekali mengetahui dirinya mengalami kemajuan ketika mendengarnya, ia selalu berpikir bahwa ia takkan bisa sembuh dari PTSD yang dideritanya, sebab ia menilai PTSD-nya sudah terlalu parah, tetapi sekarang ia bisa perlahan melihat cahaya harapan di kegelapan setelah bertahun-tahun.
"Aku senang kau mengalami kemajuan," kata Naruto. "Aku sungguh berharap bisa ada di sampingmu ketika kau menghadapi ini, tetapi karena aku mengambil alih bisnis ayahku lagi dan membuat perusahaan baru, aku hanya bisa meneleponmu saat kau ke psikolog."
"Naruto," melihat mata biru kekasihnya meredup sedih membuatnya ikut sedih. "Apa yang kau lakukan cukup bagiku. Kau tidak ingat? Tanpamu, hubunganku dengan ayahku takkan pernah selesai, aku tetap terus melarikan diri dari kenyataan."
"Wow, aku tidak pernah berpikir kau menilaiku begitu tentangku." kata Naruto malu dengan pipi rona merah yang samar-samar.
"Apa?" kata Sakura dengan nada tersinggung. "Apa kau tidak ingat itu kata-kataku saat di pantai? Atau kau tidak mendengarkan?"
Naruto menggaruk belakang lehernya gugup. "Aku mendengar kok," sahutnya. "Aku hanya berpikir kata-katamu waktu itu terlalu—"
"Melebih-lebihkan?" Sakura menebak, sedikit kesal. "Apa aku harus mengingatkanmu lagi kalau kau yang mintaku untuk jujur saat itu? Well?"
Wajah Naruto tertunduk sedih.
Sakura mengembuskan napasnya.
Sial.
Ia membuat kekasihnya bersedih lagi, mereka berdua sudah dua bulan tidak bertemu jadi seharusnya pertemuan ini penuh kebahagiaan bukanlah kesedihan.
Ia tahu Naruto hanya begitu cemas dengan kondisi mentalnya dan selalu ingin mendukungnya.
Sakura mengembuskan napasnya lagi.
Ia rasa kali ini, ialah yang salah, jadi ia harus meminta maaf.
"Naruto/Sakura..." kata mereka berdua bersamaan.
Mereka berdua terkejut.
"Kau dulu..." kata mereka berdua bersamaan lagi.
Lagi. Mereka berdua terkejut.
Hening...
Sakura tertawa kecil, diikuti Naruto.
Untuk sesaat mereka tertawa bersama-sama, menghilangkan ketegangan di antara mereka.
Sakura berhenti tertawa. "Kau mau duluan?"
Naruto menggelengkan kepalanya. "Kau duluan,"
"Ok," sahut Sakura. "Maafkan aku, ya?"
Mata biru Naruto melebar. "Untuk apa, dattebayo!?" tanyanya heran.
"Untuk terlalu keras padamu," kata Sakura. "Aku sedikit terbawa perasaan, kau tahu? Sebab jika benar kau tak percaya atau pun lupa dengan kata-kataku, berarti ada sesuatu yang salah dariku. Maksudku, aku selalu ingin kau ingat bahwa kau masuk ke dalam kehidupanku itu adalah yang terbaik setelah kepergian ibuku."
"Aku takkan lupa," kata Naruto serius. "Aku janji," lanjutnya.
Sakura terkesikap pelan akan sentuhan Naruto di pipinya—keinginannya yang berhasil dihilangkannya pun kembali memenuhi kepalanya lagi, ia mengambil napas dalam untuk menghapus itu namun tidak berhasil ketika merasakan jemari kekasihnya menelusuri pipinya hingga berhenti di dagunya—membuatnya gugup.
"Kau tahu kan aturan yang kita buat? Soal bertengkar?" tanya Naruto.
Tentu saja ia tahu.
"Tetapi kita kan tidak bertengkar," Sakura memprotes namun nadanya terdsngar ragu.
"Kau tahu seratus persen jika kita tadi bertengkar, dokter Sakura." kata Naruto sedikit menyindir menekankan kata dokter.
Sakura mengembuskan napasnya, terkadang ia ingin menampar dirinya yang dulu karena memilih Naruto, seharusnya ia tidak memilih lelaki yang kepintarannya hampir setara Shikamaru.
Tetapi...
Sakura menatap Naruto yang menunggu respon darinya, ia tersenyum kecil kemudian berjinjit memberi kecupan singkat di bibir kekasihnya.
Jika ia tak memilih Naruto, ia takkan merasakan seperti apa dibutuhkan, dicintai, dan yang terpenting merasakan menjadi dirinya sendiri lagi.
Naruto tersenyum, kali ini ia yang bergerak dan mengecup bibir Sakura, bukan sekali melainkan beberapa kali.
Sakura mengerti dari setiap kecupan singkat dari Naruto menandakan betapa kekasihnya merindukannya, jadi ia membiarkannya Naruto berbuat sesukanya sebab ia pun memiliki perasaan yang sama.
"Get a room, you two!"
Sakura terkejut akan teriakan yang—familiar tersebut, ia melirikan matanya di celah bahu Naruto, dan membeku melihat Ino di dalam mobil menyeringai kecil padanya.
Habislah ia digoda habis-habisan oleh sahabatnya.
Naruto membalikan tubuhnya. "Ino!? What the fu—!?" serunya syok. "Bukankah kau sudah pulang naik taksi, dattebayo!?"
"Kenapa kau di sini?" Sakura menimpali, sama syoknya sebab Ino mengirim email padanya memberitahu kalau pulang terlebih dahulu karena ada urusan penting.
"Pulang? Dan menyia-nyiakan kesempatan melihat ini?" tanya Ino. "Mana mungkin," lanjutnya. "Aww... aku ngerti sekarang, kalian berdua sungguhan jatuh cinta," katanya dengan mata berbinar-binar.
"Ino kau membuatku takut," kata Sakura melihat sahabatnya begitu bahagia
"Karena aku nge-ship kalian garis keras!" kata Ino mendeklarasikan dirinya
Naruto dan Sakura sweatdrop.
Ino tertawa kecil melihat reaksi mereka. "Sorry, fergie yang meng-setting diriku seperti ini..."
Hening...
"Lagi pula," Ino membuka suara lagi karena kedua sejoli di depannya menatapnya seperti dirinya 'crazy women'. "Aku pikir kau bohong soal perasaanmu ke Naruto."
"Aku tidak berbohong!" seru Sakura tidak terima.
"Semua orang akan berpikir seperti itu," sahut Ino enteng. "Saat kau berpisah dengan Naruto karena bisnis selama dua bulan, kau ini sama sekali tidak menunjukan frustasi... ? Siapapun curiga." jelasnya. "Dasar ice queen."
"Ice queen? Apa?" tanya Naruto syok.
"Ice queen yang kau sebut itu dinamakan mengontrol diri Ino..." kata Sakura frustasi; ia bukanlah tipe wanita yang membiarkan hati menguasai dirinya, tentu ia tak memungkiri terkadang ia merasa kesepian dan rindu Naruto berada di sampingnya ketika tanpa sengaja ia melihat sepasang kekasih berpapasan dengannya tapi ini sudah biasa baginya.
Kesepian sudah menjadi temannya selama bertahun-tahun jadi perasaan itu bukanlah hal yang spesial.
Jika dulu ia tidak memiliki penyembuh untuk mengusir perasaan tersebut, sekarang ia punya, dan itu Naruto.
"Yeah, yeah," sahut Ino malas, ia takkan menang jika Sakura memakai ilmu 'logisnya' jadi ia mengeluarkan satu buket bunga lily berwarna merah yang sejak tadi berada di pangkuannya. "Romeo, kau melupakan ini."
"Romeo si—" Naruto kebingungan, dan baru menyadari rencananya setelah Ino mengulurkan buket bunga dari dalam mobilnya. "Sial—" umpatnya pelan, dengan rona merah malu ia pun mengambilnya dan menyodorkannya ke Sakura. "Untukmu,"
Sakura terkejut, "Untuk aku?" tanyanya, ia mengamati buket bunga tersebut, isinya adalah bunga favoritnya yaitu lily merah. "Naruto, kau tidak perlu melakukan ini, kau tahu?" keluhnya, meski begitu ia menerimanya dan menghirup aroma bunga lily pemberian Naruto. "Terima kasih,"
Naruto terdiam sesaat, melihat Sakura senang dengan hadiahnya membuatnya senang namun hatinya—"Sial," umpatnya frustasi. "Kenapa aku malah merasa seperti pecundang?" tanyanya pada diri sendiri. "Ini seharusnya romantis, dattebayo." keluhnya.
Sakura tertawa kecil; mungkin karena Ino mengetahui buket bunga buatnya jadi Naruto merasa dipermalukan? "Aku mengapresiasikan kau melakukan ini, tapi kau tahu aku bukanlah tipe wanita yang suka hal romantis."
"Tidak menyukainya sampai-sampai lelaki yang mengejarmu mengira hatimu terbuat dari es," Ino menimpali dengan santai.
"Ino cukup." Sakura memutar bola matanya; ia tidak memprotes hanya meminta sahabatnya untuk tidak menceritakan sesuatu yang harusnya ia ceritakan.
"Sorry," kata Ino. "Aku cuma mengeluarkan fakta kecil tentangmu,"
Sakura menghela napasnya, dengan ragu-ragu ia kembali menatap mata biru Naruto yang sejak tadi mengawasinya—mengamatinya dengan intens. "Ya, memang benar, aku sendiri tidak mengerti." katanya mengakui.
Mungkin hatinya berubah dingin karena efek PTSD juga, ia dulu kan trauma menjalin cinta lagi dan semenjak itu setiap kali ia menonton atau pun bermain game jika ada yang romantis seperti kata-kata puitis atau memberikan hadiah untuk orang yang disukai, hatinya sama sekali tak tersentuh.
Sakura justru tersentuh bahkan menangis dengan pasangan yang berakhir tragis—mungkin karena ia seperti melihat dirinya sendiri yang selalu gagal di masalah cinta.
"Well, aku tidak kaget sih," sahut Naruto enteng.
"Kau? Tidak?" tanya Sakura syok.
"Nah," sahut Naruto sekenanya. "Saat kita double date di taman bermain, kau satu-satunya yang tidak teriak ketika naik roller coaster, aku menyimpulkannya dari situ."
"Oh," Sakura tak mengerti apa persamaan dari adrenalin dengan hatinya namun mengetahui Naruto oke dengan itu, ia merasa lega—?
"Dari pada membicarakan soal ini," Naruto membuka percakapan, mata birunya menatap malas mata aqua Ino. "Bukankah lebih menarik membicarakanmu? Hm?" tanyanya. "Dimulai dari pertanyaan dariku: mau sampai kapan kau disitu, Ino? Kau tahu aku dan Sakura sedang tidak ingin diganggu."
Sakura syok mendengarnya, kemudian terbatuk; tidak ingin diganggu? Berarti Naruto merencanakan kencan bersamanya—?
Di luar?
Di apartemennya?
Dimana pun itu berhasil membuat Sakura bersemangat sekaligus gugup. Ia selalu suka apa pun itu jika bersama Naruto namun yang membuatnya gugup adalah setelah berkencan yaitu melakukan 'sexy time'.
—sudah dua bulan mereka tidak melakukannya itulah membuat Sakura gugup sekali, terakhir kali mereka melakukannya semalam sebelum Naruto berangkat ke kamakura.
Sakura masih ingat betul ketika Naruto membisikan kata-kata penuh menggoda padanya.
'Pesawatku berangkat dua jam lagi jadi selama itu kau milikku. Aku akan mengeluarkan semua karismaku ketika menyentuhmu sehingga kau hanya memikirkan diriku, merindukanku.'
Naruto benar-benar menepati apa yang dikatakannya, mereka melakukannya selama dua jam—dan sukses membuatnya merindukan pria berambut pirang itu satu jam setelah mereka berpisah.
'Kami-sama.' kata Sakura dalam hati.
Hanya memikirkannya membuat tubuhnya memanas, dan sukses membuatnya semakin gugup.
"Kalian tidak membutuhkanku lagi?" tanya Ino dengan akting sedih andalannya. "Kalau begitu pergilah kalian, aku akan naik taxi." lanjutnya sambil keluar dari mobil Naruto lalu melangkah menjauh.
Sakura tersadar dari lamunan panjangnya dan berusaha menghentikan sahabatnya. "Ino!"
"Tunggu!" Naruto yang berada lebih dekat dengan Ino menghentikan langkah kaki wanita muda tersebut, lalu menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mengijinkanmu naik taksi lebih baik Shikamaru menjemputmu dan juga kami berdua akan menunggu sampai dia datang."
"Eh?" Ino dan Sakura syok.
"Apa... ?" kata Naruto polos. "Kau pikir aku akan meninggalkanmu sendirian malam-malam begini? Setelah apa yang kau lakukan pada Sakura? Tidak."
"Naruto," memang benar selama Naruto tidak berada di sampingnya, Ino-lah yang menemaninya, mendukungnya di level terendahnya. Ia mengerti kenapa kekasihnya itu melindungi sahabatnya; mata hijaunya menatap Ino kali ini lalu menggelengkan kepalanya; meskipun ia tahu ini hanyalah sandiwara Ino belaka, ia justru terkaget Naruto tidak paham Ino sedang berakting.
"Naruto, kau sungguh teman yang baik, tidak sia-sia aku memperjuangkanmu dengan Sakura," kata Ino terharu. "Akan lebih baik lagi jika kau yang memberitahu Shika."
Mata biru Naruto melebar. "Apa!? Kenapa harus aku?" tanyanya heran.
Sakura hanya mengembuskan napasnya.
"Itu karena um..." Ino kebingungan mencari kata-kata yang pas. "Um... aku dan Shika sedang bertengkar—?"
"Apa!?" seru Naruto syok. "Kalian bertengkar, dattebayo!?"
Ino mengangguk sementara Sakura menggelengkan kepalanya.
Naruto menepuk keningnya. "Sekarang aku mengerti kenapa Shikamaru seharian hanya memandang awan bersama Chouji dan seperti orang cemburu buta saat mengetahui aku email-an denganmu."
Mata aqua Ino melebar syok. "Benarkah!?" setelah mengatakannya bibirnya mengukir senyum lebar, membayangkan Shikamaru cemburu pada Naruto.
"Wow, aku tersanjung kau menyukai aku tersiksa," sindir Naruto.
"Maaf deh," kata Ino malu; perasaannya mudah sekali ditebak, kemudian ia memasang puppy eyes. "Please, Naruto?"
"Tidak," sahut Naruto cepat; ia benci masuk ke urusan percintaan orang lain apalagi sahabat-sahabatnya; ia takkan masuk kecuali mereka minta bantuan padanya; semua menghargai privasi masing-masing jadi ia pun juga.
"Please?" kata Ino masih dengan puppy eyes andalannya. "Dengan cherry di atasnya."
Hening...
Naruto mengembuskan napas gusar; ia lemah ketika seseorang memandangnya dengan wajah seperti itu. "Women," keluhnya. "Oke, tapi aku cuma memintanya kemari, sisanya urusanmu, dattebayo!"
"Yeay!" kata Ino sambil bertepuk tangan ria.
Naruto memutar bola matanya. "Aku menelepon dia sekarang." katanya kemudian ia mencari tempat yang sepi untuk menelepon.
Setelah merasa benar-benar hanya berdua, Sakura membuka suaranya. "Baiklah! Katakan padaku apa alasanmu kali ini."
"Apa? Alasan apa?" tanya Ino balik sepolos mungkin.
Sakura memutar bola matanya. "Skenario 'bertengkarmu dengan Shika' tadi terlalu bagus hanya untuk candaan."
"Jahat," sindir Ino.
"Kau lupa ya, aku ini bisa mengerti dirimu seperti membaca buku," keluh Sakura. "Apa pun itu pasti sesuatu yang besar."
"Oh ya? Aku lupa," sahut Ino menjulurkan lidahnya jahil. "Sejujurnya aku menemukan ini di dalam mobil Naruto." katanya sambil mengeluarkan dua lembar kecil persegi panjang di tasnya.
Sakura menerimanya dan membacanya. "Tiket ke paris?"
Ino mengangguk. "Sebelum menemanimu ke psikolog, aku bertemu Shika terlebih dahulu dan tanpa sengaja dia membocorkan rahasia rencana Naruto padaku."
"Sungguh?" tanya Sakura tidak percaya, mengenal Ino sudah sejak lama dan Shikamaru yang tipe menghindari masalah karena 'menyusahkan', ia yakin sahabatnya itu memaksa pria berambut hitam tersebut.
"Kau mau bocoran atau tidak?" tanya Ino balik, tersinggung Sakura mengetahui kebohongannya.
Sakura menepuk keningnya, dan mengangguk kecil; ia penasaran bagaimana pun juga.
"Shika bilang padaku bahwa Naruto memiliki rencana mengajakmu liburan ke paris hanya berdua." kata Ino.
"Apa!?" seru Sakura syok.
Liburan ke paris berdua?
Bila memang benar, berarti Naruto sungguh menepati janji padanya padahal dulu ia hanya bergurau, ia tidak menyangka kekasihnya menanggapinya dengan serius.
"Aku rasa di sana dia juga berniat melamarmu, Sakura!" kata Ino bersemangat.
Sakura terbatuk, terkejut akan pernyataan Ino yang tiba-tiba. "Apa... ?" tanyanya ragu-ragu.
Mana mungkin, kan? Naruto—? Kan—?
"Shika juga bilang padaku betapa frustasinya Naruto merasa jauh darimu." kata Ino semangat.
Sakura tertunduk diam.
Naruto bilang padanya juga dulu, karena pernah berhubungan jarak jauh dan gagal membuat rasa kepercayaan dibangun lebih sulit. Meski begitu ia menyelesaikan ini dengan menelepon jika sedang senggang, Naruto awalnya oke namun jadi ragu lagi ketika salah satu rekan dokternya jatuh cinta padanya.
Flashback ON
Blam.
Sakura keluar dari kamar mandi, melilitkan handuk ke rambut pink-nya yang basah sehabis mandi barulah ia berjalan menuju lemari sambil bersenandung—di saat itulah ia melihat Naruto dan berhenti.
"Apa yang kau lihat?" tanyanya.
Naruto melirik melalui celah bahunya. "Nah," jawabnya sekenanya dan kembali menatap keluar jendela. "Mau bergabung denganku dan Pink-chan?" tanyanya sambil membelai lembut kucing yang berada dipangkuannya.
"Bergabung... ya... ?" kata Sakura ragu-ragu; memandang matahari pagi bersama? Pikirannya otomatis mengingat kenangannya bersama ibunya, yang membuat mood-nya perlahan turun. "Naruto, aku masih belum bisa, maaf,"
Naruto menurunkan Pink dari pangkuannya lalu bangkit dari duduknya mendekati Sakura. "Kupikir membawamu ke pantai bisa merubahmu, kurasa tidak semudah itu ya, aku mengerti." katanya.
Sakura merasa bersalah, Naruto melakukan segala cara untuknya agar tidak takut memandang matahari namun belum berhasil. "Kau tahu aku akan ke psikolog, kan?"
"Aku tahu," kata Naruto.
Kenapa ucapan kekasihnya terdengar seperti ketidakpuasaan di telinganya?
"Ada masalah?" tanya Sakura.
"Aku frustasi Sakura," sahut Naruto. "Kau melakukan langkah besar tetapi aku hanya bisa meneleponmu," keluhnya. "Semua ini jauh lebih mudah kalau kau ikut denganku."
Ikut dengan Naruto? Berbisnis? Berpindah-pindah? Mana mungkin dilakukannya, langkah hubungan mereka terlalu cepat. "Kau tahu kan itu juga membantuku?" kata Sakura lembut. "Sesuatu yang kecil pun berarti bagiku,"
Kata-kata tadi membuat sudut bibir Naruto tertarik ke atas. "Aku tahu, kau ini kan tipe wanita sentimental, hal-hal kecil berarti bagimu."
"Huh?" Sakura tidak tahu Naruto menilainya seperti, ia terkejut. "Aku tidak seperti itu,"
Naruto melipat tangannya di depan dadanya. "Sakura... kau kesulitan melupakan seseorang, kau tidak suka hal-hal yang disukai wanita pada umumnya, kau mudah juga memaafkan tapi tidak bisa melupakannya contohnya itu Hanare dan ayahmu. Ngomong-ngomong aku masih tak menerima soal keputusanmu tentang Hanare. Semua ini jelas merujuk seseorang yang sentimental," jelasnya.
"Aku tidak pernah menilai diriku sendiri," kata Sakura.
"Menjadi orang yang sentimental bukanlah hal yang buruk, kau tahu?" kata Naruto serius. "Karena itu aku jatuh cinta padamu."
Sakura mengembuskan napasnya; mendengar sekali lagi Naruto mengungkapkan perasaan padanya bikin dirinya sedikit tidak nyaman sebab ia belum terbiasa dengan ini namun ia juga tidak memungkiri bahwa ia merasa bahagia mendengarnya.
"Meskipun kurasa awalnya aku jatuh cinta sama sisi 'perfect'-mu sih," Naruto menambahkan.
Sakura tidak menjawab.
Tentu saja Naruto akan menyukai sisi palsunya, siapa yang tidak? Ia membuat dirinya sesempurna mungkin supaya ia tidak memiliki masalah dengan orang-orang.
"Itai!" Sakura tersadar dari lamunannya merasakan kedua pipinya dicubit oleh Naruto, tak sampai situ, pria itu juga menarik pipinya ke atas ke bawah. "Lefaskhan..."
Naruto berhenti bermain tetapi ia tidak menyingkirkan tangannya dari pipi Sakura, ia mendekatkan wajahnya lalu menatap lekat-lekat mata hijau di depannya serius. "Berhenti berpikir yang tidak-tidak,"
"Aku tidak," kata Sakura. "Aku hanya tidak terkejut kau suka pada sifat palsuku."
"Sungguh?" tanya Naruto tidak percaya, mendekatkan wajahnya lagi—mencari kebenaran di mata hijau itu.
Terlalu dekat!
Sakura dapat merasakan pipinya memanas—ia dapat memastikan bahwa ia sedang merona. "Benar kok," ia menjawab sekalem mungkin, memandang serius balik kekasihnya namun kontrolnya hilang saat ia merasakan jari Naruto membelai bibir bawahnya.
"Kau tampaknya suka sekali dihukum ya, chérie," kata Naruto dengan seringai kecil dibibirnya. "Apa servisku terlalu baik hingga kau terus berbohong padaku untuk mendapatkan hukuman?"
"Naruto, aku serius." kata Sakura, "Maksudku, aku selalu menduganya sejak dulu, lagipula memang aku ini palsu ketika pertama bertemu denganmu."
Naruto lantas melepas segala kontak fisiknya di tubuh Sakura membuat wanita muda berambut merah muda itu menghela napas lega—ia tidak yakin akan sanggup menahan perasaannya jika Naruto terus menyentuhnya, untunglah kekasihnya percaya padanya dan berhenti.
"Aku sudah mengenalmu selama satu bulan, kurasa sifatmu tidak berubah drastis." kata Naruto.
"Aku sudah melakukannya selama bertahun-tahun jadi kurasa itu menjadi kebiasaan," kata Sakura. "Aku selalu takut orang-orang berpendapat jelek tentang aku sejak dulu, jadi sisi 'sempurna' itu sudah mendarah daging."
"Tetapi kau sudah berbaikan dengan ayahmu jadi kau bisa jadi dirimu sendiri lagi," kata Naruto.
"Aku tahu," kata Sakura lembut. "Kaulah yang mengeluarkan diriku yang terbaik."
"Sungguh?" tanya Naruto senang, ia melangkahkan kaki mendekati Sakura. "Kalau begitu mana hadiah atas jerih payahku?"
Sakura tertawa kecil. "Kau hanya ingin 'itu', kan?" tanyanya.
"Jangan salahkan pria yang berusaha, dattebayo." kata Naruto tidak terima.
Sakura tertawa lagi, sebelum kemudian memberikan ciuman singkat di bibir Naruto; kekasihnya mengambil kesempatan ini dan memperdalam ciuman mereka.
Sakura terkejut awalnya sebelum akhirnya menutup mata hijaunya dan perlahan menikmatinya. "Uhm—"
Naruto mengakhiri ciuman mereka, ia mengambil napas panjang. "Aku ingin memberitahumu sesuatu." katanya.
"Hm... ?" Sakura bergumam sekenanya, masih sibuk mengambil napas.
Naruto terdiam sesaat, memilih-milih kata-kata yang tepat dikatakan tanpa melukai perasaan Sakura. "Selama dua bulan ke depan kita tidak bisa bertemu,"
Sakura terkejut sekali mendengarnya. "Apa!?" serunya panik, kemudian berubah sedih. "Kenapa memangnya?" tanyanya pelan.
"Kau tahu aku kembali berbisnis, aku harus mengetahui banyak hal selama aku keluar setahun ini karena banyak yang berusaha menyingkirkan kepemimpinan ayahku..." sahut Naruto sedih. "Ditambah juga aku akan membuka perusahaan sesuai saranmu dengan uangku sendiri, jadi aku akan sibuk sekali. Aku beruntung jika dua bulan bisa selesai tapi mustahil sepertinya, aku berusaha agar bisa jadi aku bisa bertemu denganmu di akhir pekan lagi."
"Oh," gumam Sakura kecewa; ia memang tidak tahu banyak tentang bisnis namun ia mengerti ketika hendak membangun perusahaan baru akan benar-benar sibuk, ia melihat itu saat ayahnya membuat perusahaan di kyoto, ayahnya sama sekali tidak pulang ke rumah selama tiga bulan.
"Kau bisa ikut denganku kalau mau," Naruto memberi saran. "Lagi pula aku tidak suka ide meninggalkanmu bersama dokter lelaki itu," lanjutnya sedikit kesal ingat rekan kerja Sakura yang beberapa hari lalu menyatakan cinta pada kekasihnya.
"Naruto, kau tahu aku tidak bisa," sahut Sakura cepat, menolak. "Kau ingat kan kata-kataku di pantai dulu?"
"Tentu saja aku ingat," sahut Naruto kecewa. "Aku hanya memberimu pilihan terbaik untukmu." lanjutnya. "Kita," ia menambahkannya lembut.
Sakura tidak menjawab.
Mendengar Naruto berkata seperti itu membuatnya kembali tersadar betapa beruntungnya ia memiliki kekasih seperti Naruto yang begitu mengerti dirinya, memilih kepentingannya lebih dahulu.
Terkadang Sakura bahkan sampai berpikir Naruto terlalu baik untuknya, tetapi meski dari semua sisi positif itu, ia tetap harus mematahkan harapan kekasihnya. "Aku tidak bisa Naruto, kau tahu kan, maaf." sesalnya.
Hening...
Sakura memberanikan melirikan mata hijaunya melalui bulu matanya, dan melihat Naruto seperti berada dalam pemikiran serius—mencerna penolakan darinya, ekspresi wajah kekasihnya yang berubah marah, kalem, kemudian yang membuatnya menurunkan matanya ke bawah lagi ketika melihat ekpresi Naruto berubah seperti terluka.
'Aku menyakitinya,' kata Sakura dalam hati.
Siapa yang harus disalahkan? Ia—? Ataukah Naruto—? Sebelum memulai ini semua, ia sudah memberitahu bahwa ia tak bisa berjanji apapun mengenai hubungan mereka namun Naruto tetap menyetujui ini.
Jadi harusnya ia tidak merasa bersalah—kan—?
Sakura menggigit bibir bawahnya.
Tentu saja ia merasa bersalah sebab ia mencintai Naruto. Sangat.
Naruto mengambil napas dalam lalu mengeluarkannya "Aku mengerti," katanya pelan.
Sakura menatap Naruto lagi, ragu-ragu. "Kau yakin?"
"Tentu saja," sahut Naruto.
"Kalau memang itu maumu," kata Sakura sekenanya, lalu berbalik dan menggendong kucing peliharaannya yang dari tadi bergelayut manja di kakinya meminta perhatian, ia membelai lembut kepala kucingnya Pink, menikmati suara dengkuran imut dari peliharaannya—namun hanya sebentar saja ia dapat melakukannya sebab setelahnya ia merasakan kedua tangan memeluknya dari belakang, membuatnya otomatis mundur ke belakang dan berhenti di dada bidang pemilik tangan tersebut yang tak lain itu adalah Naruto; kucingnya secara otomatis jatuh ke lantai membuatnya sedikit kesal. "Apa yang kau lakukan sih?"
"Aku pergi hari ini." kata Naruto.
Berita tersebut seperti sebuah hantaman keras baginya, "Begitukah?" katanya. "Kyaa—!?" ia menjerit histeris tiba-tiba tubuhnya diangkat oleh Naruto, tangannya otomatis melingkar di leher kekasihnya agar ia tidak terjatuh. Saat ia menengadahkan kepala mau bertanya, bibirnya sudah dikunci oleh bibir Naruto penuh gairah yang membuat ia melupakan pertanyaannya, dan membalasnya.
Mereka takkan bertemu selama dua bulan atau mungkin lebih jadi Sakura membiarkan Naruto berbuat sesukanya lagi pula ia yakin kekasihnya takkan melakukan apa pun yang tidak disukainya.
Sakura membuka mata hijaunya perlahan ketika Naruto mengakhiri ciuman panjang mereka, dan di saat itulah ia menyadari tubuhnya tengah berbaring di ranjang dengan kekasihnya berada di atasnya; ia memperhatikan tangan Naruto perlahan membuka kancing kemeja bajunya, itu dilakukan secara seksi sekali di mata hijaunya, membuat ia melirikan matanya ke lain arah—hanya sesaat sebab ia kembali menatap Naruto karena satu kecupan singkat di sudut bibirnya.
"Aku ingin kau melihatku, jika tidak, aku akan memberimu ciuman," kata Naruto serius, lalu wajahnya berubah menggoda. "Meski... aku tahu kau akan dengan senang hati melanggarnya."
"Aku tidak," sahut Sakura, ragu.
Naruto tertawa, dan wajahnya berubah serius lagi dengan seringai kecil seksi dibibirnya. "Pesawatku berangkat dua jam lagi jadi selama itu kau milikku. Aku akan mengeluarkan semua karismaku ketika menyentuhmu sehingga kau hanya memikirkan diriku, merindukanku."
Sakura speechless.
"Kau akan menikmatinya, chèrie. Di setiap detiknya..."
Flashback OFF
"Halooo..."
Sakura terbangun dari lamunan panjangnya. "Maaf,"
Ino memutar bola matanya. "Kita sedang berdiskusi serius, dan kau malah melamun." keluhnya. "Pastilah imajinasimu itu jauh lebih bagus dari percakapan kita huh?"
Sakura terbatuk gugup; imajinasi yang bagus? Lebih dari itu. Luar biasa. Ia terbatuk lagi. "Itu... tidaklah penting..."
"Benarkah?" Ino jelas tidak mempercayainya, ia dapat melihat dengan jelas Sakura gugup ketika menjawab.
Sakura mengangguk. Ganti topik. Ganti topik. "Apa yang mau aku katakan, Naruto takkan mungkin melamarku."
"Duh," Ino memutar bola matanya. "Kau bukanlah pembaca pikiran orang. Naruto pasti melamarmu."
"Kau pun bukan orang yang bisa membaca pikiran," Sakura membalik kata-kata sahabatnya. "Dan Naruto takkan melamar, diskusi ini selesai."
Ino menepuk keningnya. "Baiklah aku menyerah," katanya. "Tapi Sakura, aku ingin bertanya serius padamu, apa kau pernah memikirkan hubungan kalian?"
"Tentu saja," sahut Sakura cepat.
"Bukan itu, maksudku memikirkan hubungan kalian akan mengarah ke mana," kata Ino serius.
"Oh!" Sakura mengerti sekarang; hubungan mereka—ya? Sayangnya, ia sama sekali tidak memikirkannya.
Menyedihkan?
Sakura hanya menikmati apa yang ada sekarang, jadi ia sama sekali tak memikirkannya ditambah ia pun sudah mengatakan hal tersebut pada Naruto bahwa ia belum siap ke tahap serius—ia tidak bisa menjanjikan apa-apa jika mau menjalin cinta dengannya.
"Sudah kuduga kau pasti tidak," kata Ino.
"Huh?" bagaimana Ino bisa mengetahuinya? Ia kan belum mengatakan apa pun.
Seperti mengerti pikiran sahabatnya, Ino berkata santai. "Wajahmu mengatakan segalanya, duh."
Sakura terdiam.
"Aku tidak percaya ini." kata Ino sedikit kesal. "Disinilah aku, berpikir kalau kau bisa melakukan lebih buruk lagi dari ini."
Sakura tersinggung mendengarnya. "Ino, aku katakan padamu, ini bukan urusanmu."
Mata biru Ino melebar. "Apa?"
"Ini bukan urusanmu," Sakura mengulanginya dengan senang hati, "Kau tahu tidak? Kau sahabatku, jadi aku berharap lebih padamu yang mengetahui semua masa laluku, tapi kau justru menekanku. Seberapa sedih aku, kau pikir?"
"Aku..." Ino tidak dapat berkata-kata, apalagi setelah melihat ekpresi kesedihan terpancar di wajah Sakura. "Aku hanya ingin kau bahagia, tapi kurasa kali ini aku kelewatan, maaf. Aku begitu semangat saat akhirnya kau bilang kau mencintai Naruto,"
"Ino tidak apa-apa," kata Sakura lembut. "Naruto lelaki yang baik tapi hubungan kami belum lama, aku belum tahu dia sepenuhnya juga, kalau Naruto melakukan itu seperti yang kau kira, aku akan menolaknya." jelasnya.
"Hm," Ino bergumam kecewa.
Sakura tersenyum penuh kemenangan; tiba-tiba sebuah ide jahat muncul di kepalanya. "Ino, kalau aku menikah bukankah kau harusnya marah? Sebab aku dan Naruto hanya membutuhkan tiga bulan bukan bertahun-tahun sepertimu dan Shikamaru."
"Ah!" Ino berseru syok; benar juga apa yang dikatakan Sakura, itu akan jadi penghinaan baginya.
"Maaf, menunggu lama."
Sakura menoleh, di belakangnya ada Naruto bersama Shikamaru—? Sejak kapan?
Wajah Ino sumringah seketika melihat kekasihnya. "Kurasa obrolan kita sampai sini dulu, Sakura."
Sakura mengangguk. "Hati-hati," katanya sambil melambaikan tangannya.
Ino balas melambaikan tangannya, kemudian mengikuti Shikamaru menuju mobil yang terparkir tak jauh darinya.
"Akhirnya dia pergi juga." kata Naruto menghela napas lega.
"Kau tahu aku ini sahabatnya kan?" tanya Sakura.
Naruto melipat tangannya di depan dada, memandang kekasihnya tidak tertarik. "Ya, dan sampai kini aku tidak mengerti kenapa kau bisa tahan dengannya,"
"Jangan berpikir begitu, Ino selalu menemaniku sebelum aku bertemu denganmu." kata Sakura menasehati, meski ia tak menyangkal jika Ino terkadang terlalu ikut campur.
Naruto tertawa. "Dan begitulah caraku memaafkan Ino," sahutnya.
Sakura tersenyum samar. "Ngomong-ngomong karena kau di sini, bagaimana jika kita ke pet shop? Kau janji mau menemaniku membeli pasangan untuk Pink-chan."
Mood Naruto turun seketika. "Tidak, dattebayo," sahutnya malas.
"Tapi kau sudah berjanji!" seru Sakura marah.
"Aku tidak berjanji apa pun soal membeli peliharaan baru. Kaulah yang memaksaku di saat-saat pesawat yang kutumpangi mau berangkat." kata Naruto malas.
Sakura tertunduk sedih; memang benar ia memaksa Naruto kala itu sebab setelah ia berpacaran, kucingnya menjadi kesepian karena ia tidak pernah punya waktu bersama jadi ia mendapat ide mungkin akan lebih baik membeli satu lagi sebagai teman bermain.
Naruto benci sekali melihat kekasihnya sedih apalagi karena dirinya. "Dengar Sakura, kau sudah biasa nitip Pink-chan ke Shizune-neesan jadi aku tak melihat ada masalah." jelasnya selembut mungkin. "Lagi pula aku rasa cukup satu saja, dia itu nakal sekali... Pink-chan selalu mengganggu 'sexy time' kita! Bahkan di kamar mandi, dattebayo!" serunya frustasi. "Aku sama sekali belum pernah menemukan kucing yang suka dengan air!"—semua gangguan itu membuat mood-nya untuk menyentuh Sakura menjadi turun bahkan pernah ia tak menyentuh kekasihnya lagi karena terlalu kesal.
Sakura tertawa mendengarnya—ia tentu teringat ketika Naruto diam-diam mendekatinya yang lagi shower-an, lalu memeluknya dari belakang dan berbisik menggoda memberi saran untuk mandi bersama, namun semua itu musnah saat kucingnya meraung minta masuk buat ikut mandi bersama juga.
"Ras bengal memang suka air bahkan suka bermain air di westafel dapur, Pink-chan selalu mandi bersamaku," kata Sakura.
Naruto membatu syok setelah mendengarnya. "Kita takkan membeli kucing lagi, dan ini keputusan final."
"Tapi—" Sakura mau memprotes.
"Tidak, Sakura." potong Naruto serius.
Sakura tertunduk sedih; sepertinya Pink takkan memiliki teman baru—kecuali ia membelinya tanpa ijin Naruto—?
"Baiklah chérie, aku akan memikirkan ulang ini," kata Naruto mengalah, ia sungguh tidak tahan melihat raut sedih di wajah kekasihnya.
Wajah Sakura kembali berseri. "Thanks,"—ia tahu Naruto takkan mengecewakannya.
"Aku akan menyesali ini..." gumam Naruto pelan. "Ngomong-ngomong, kau sudah makan, chérie?"
Mendengar kata makan, Sakura baru menyadari jika ia belum makan sejak siang—ia terpaksa melewatkannya karena ada operasi mendadak.
Kruuuyuuukkk...
Sakura dan Naruto membatu; mencoba memproses apa yang baru saja terjadi.
Hening...
Naruto tertawa keras setelah mengetahui suara keras tersebut ada suara perut kekasihnya yang kelaparan.
Pipi Sakura merona merah malu, ia sesungguhnya sudah terbiasa akan suara perutnya, ia suka melewati jam makan siang akan tetapi ada Naruto sekarang ini ia jadi merasa malu sekali; ia merasa seperti bukan wanita berkelas.
"Kalau kau selapar itu kita makan di luar," kata Naruto. "Atau kau ingin aku yang masak?" ia menyarankan.
Wajah Sakura berubah cerah; ia sudah lama tidak makan masakan buatan Naruto jelas ia ingin mencicipinya lagi, tetapi bila kekasihnya yang memasak itu berarti mereka akan makan di apartemennya, dan ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya—jadi opsi terbaik berada di luar. "Aku ingin mencoba menu baru di artnia. Kali ini tema menu makanannya kingdom hearts tiga,"
Naruto tertawa. "Kau sungguh-sungguh tidak menahan dirimu ya?"—ia bukanlah fans game tersebut jadi ia tak terlalu gembira.
"Well um..." ia bukanlah tipe wanita yang suka hal-hal romantis, ditambah Naruto adalah hubungan cinta pertamanya setelah tujuh tahun lamanya sendiri; ia tak tahu tempat-tempat romantis. "Di sana ada bar,"
"Kau berhasil merayuku kalau begitu chérie," kata Naruto, lalu berpikir sesaat. "Walaupun ada kemungkinan mereka tidak menyajikan martini."—itu kan bar bertema game bukanlah bar biasa.
"Aku sudah lama tidak ke sana Naruto jadi aku sudah lupa apakah mereka menyajikan martini." kata Sakura menggaruk lengannya malu.
"Apa yang kita tunggu? Ayo pergi," kata Naruto sambil membukakan pintu mobilnya untuk kekasihnya.
Sakura mengangguk sekali sebelum masuk ke dalam mobil dan memakai sabuk pengaman lalu menunggu Naruto yang masih berjalan ke bagian di sebelahnya.
Cklek.
Naruto masuk ke bagian mengemudi dan memakai sabuk pengamannya, "Kau tahu kan restoran artnia di shinjuku?" tanyanya memastikan.
Sakura mengangguk. "Tidak terlalu jauh kok dari sini, hanya butuh waktu lima belas menit," jelasnya lalu ia mengeluarkan ponselnya. "Cukup buat aku memesan meja untuk kita lewat website."
Naruto menutup pintu mobilnya. "Apa? Apa sepopuler itu?" tanyanya sambil menyalakan mesin mobilnya.
Tanpa mengalihkan mata hijaunya dari ponselnya, Sakura menjawab. "Ya kau tahu sendiri kan restoran khusus penggemar game."
"Well," Naruto menjalankan mobilnya menembus kota shibuya. "Aku pernah makan di bar capcom di shinjuku dan ramai sekali." keluhnya mengingat pengalamannya.
Sakura tertawa. "Aku juga pernah ke sana. Kue otak mereka enak sekali,"
"Hm," Naruto bergumam.
Sakura memperhatikan Naruto dalam diam; nampaknya kekasihnya tak tertarik, ia bisa lihat dengan jelas pikiran Naruto berada di tempat yang lain. "Ada masalah?"
Naruto tidak menjawab, fokus mengendari mobilnya, kemudian ketika mereka berhenti di lampu merah, ia membuka suaranya. "Ada yang mau aku tanyakan,"
Sakura terkesikap pelan. "Apa?" tanyanya cemas; ia berharap itu bukanlah soal paris yang Ino bicarakan tadi, ia belum memikirkan kata-kata halus untuk menolaknya; ia terkesikap lagi saat Naruto mencondongkan tubuhnya ke arahnya.
'Apa? Dia mau melakukannya di sini?' tanya Sakura dalam hati.
Mengikuti nalurinya—kemungkinan Naruto akan menciumnya, ia pun menutup kedua matanya.
Hening...
"Kenapa kau menutup matamu?" tanya Naruto tanpa dosa.
Sakura lantas membuka matanya, syok, malu, dan yang terpenting kecewa. "Aku pikir kau akan m—"
"Menciummu?" Naruto menebak, menggoda. "Seberapa pun menggiurkannya idemu. Mana mungkin kan, chérie? Aku sedang mengemudi dan kita kan di tempat umum."
Sakura menepuk keningnya; mendengar penjelasan Naruto membuatnya semakin malu; tidak bertemu selama dua bulan membuat pikiran logisnya kalah dengan perasaannya.
Naruto tidak bisa menyembunyikan tawanya. "Maaf, chérie. Begitu menyenangkan sekali menggodamu."
Sakura menggembungkan pipinya yang masih merona, kesal; ini salahnya juga memang, tidak seharusnya tadi ia menutup mata hijaunya sebab ia tahu Naruto senang sekali mengerjainya—menggodanya.
Naruto mengelus lembut pucuk kepala Sakura, lalu ia mencari-cari sesuatu di dashboard lacinya, namun hasilnya nihil. "Aku ingat menaruhnya di sini. Kemana perginya?" keluhnya.
Sakura mengeratkan kepalan tangannya di pangkuan pahanya gugup; apakah yang dicari-cari Naruto tiket pesawat? Sebab bila benar, tiket tersebut masih ada padanya, ia belum sempat menaruhnya kembali, Ino juga tidak memberitahunya mengambilnya di mana.
'Apa yang harus aku katakan? Naruto pasti marah besar.' kata Sakura dalam hatinya.
Tetapi Sakura benci menyembunyikan sesuatu atau pun berbohong pada kekasihnya—hubungan yang transparan adalah pegangannya sejak dulu.
"Kau mencari tiket?" tanya Sakura ragu-ragu.
Mata biru Naruto melebar syok.
Hening...
Untuk sesaat mereka saling menatap satu sama lain dalam diam.
Naruto akhirnya mengerti situasi yang dialaminya dan menghela napas gusar. "Ino..." keluhnya tak habis pikir. "Dia sungguh-sungguh tahu cara mengetes diriku."
Sakura tahu itu bukanlah hal yang lucu namun ia tidak bisa menahan tawanya sebelum kemudian ia kembali gugup. "Kau mau ke paris?"
Naruto mengangguk. "Aku berencana mengajakmu,"
"Aku cuma bergurau dulu, kau tahu," sahut Sakura.
"Sungguh?" Naruto tidak percaya. "Matamu berkata tidak dulu,"
Sakura tidak menjawab.
Naruto sungguh-sungguh bisa membaca pikirannya hanya dengan tatapan mata?
Penyair favoritnya William Shakespare pernah mengatakan: the eyes are the window to your soul.
Sakura bukanlah fans untuk hal-hal yang masih ditahap logis atau tidak, ia juga tidak mempelajari psikologi tapi ia memberi pengecualian kali ini.
"Aku akan memikirkannya, Naruto," kata Sakura.
"Aku sebenarnya tidak ingin memaksamu, tapi jadwal penerbanganku satu jam lagi." kata Naruto.
"Apa?" Sakura syok berat. "Kalau begitu kita tidak bisa bersiap-siap!"—waktunya terlalu cepat dan lagi mereka kan mau makan bersama, tidak ada waktu mengemas pakaian dan keperluan yang lain.
Naruto menjalankan mobilnya lagi melihat lampu berubah hijau. "Kita di sana hanya dua hari jadi kita akan membeli baju di paris saja. Aku hanya menghadiri rapat dengan CEO dan para investor."
"Sasuke?" tanya Sakura; itu akan jadi canggung sekali, setelah ia mengetahui Sasuke menaruh hati padanya, pandangannya pada sahabat Naruto menjadi berbeda; pada dasarnya ia tidak pernah berniat mem-friendzone Sasuke.
"Ya, Sasuke kan CEO di hotel milikku sekarang," kata Naruto.
"Oh,"
"Chérie, kau tidak usah cemas, kau bisa tetap di hotel jika mau, kau tidak perlu selalu ikut denganku." Naruto memberi saran.
Mendengarnya membuat senyum terukir di bibir Sakura. "Baiklah,"—ia belum siap berhadapan dengan Sasuke.
"Jadi?" tanya Naruto.
"Aku masih memikirkannya,"—semua yang Naruto tawarkan menggiurkan hanya saja ia masih ragu.
Apalagi ia juga belum memberitahu mengenai lelang kencan yang akan diadakan beberapa hari lagi.
"Baiklah," sahut Naruto. "Jangan terlalu dipikirkan juga, ya? Nikmati saja kencan kita malam ini."
Sakura mengangguk kecil mengerti; merasa tidak ada lagi yang ditanyakan, mata hijaunya memandang keluar kaca mobil, berpikir mau ikut ataukah tidak.
"Whoa..."
"Meskipun sudah malam, tetap ramai," keluh Naruto melihat orang-orang memasuki kafe artnia. "Jangan lupakan juga tidak ada parkir mobil, seharusnya naik kereta saja kita, dattebayo."
Sakura memutar bola matanya; ia sudah lama tidak ke sini jadi tidak ingat jika artnia tidak menyediakan lahan parkir, dan karena ini Naruto menggerutu di sepanjang jalan.
Mereka berdua memang menyukai game tetapi selera mereka jauh berbeda.
'Karena ini kencan.'
Sakura berusaha berpikir positif lagi; mereka kan tidak bertemu selama dua bulan jadi takkan ia biarkan kencan ini menjadi buruk, jadi ia pun mengaitkan lengannya ke lengan Naruto penuh semangat. "Ayo kita ke dalam, aku sudah lapar."
"Oke," Naruto meresponnya dengan singkat namun melihat kekasihnya begitu mengantisipasi kencan ini membuat senyum kecil terukir di bibirnya.
Sakura memasuki kafe, memperhatikan sekelilingnya setiap kali melangkah ke dalam lalu tertawa kecil.
"Apanya yang lucu?" tanya Naruto penasaran.
"Aku hanya teringat soal Choco," kata Sakura masih tertawa. "Sehabis makan, kita ke tokonya ok? Aku ingin membeli Moogle untuk teman Choco..."
"Oh," itu membuat rasa percaya diri pada Naruto muncul. "Aku memang sempurna,"
"Kau menghancurkan mood," kata Sakura sambil memutar bola matanya.
"Aku bisa mengembalikannya kok, chérie." kata Naruto mengedipkannya mata birunya, merasa itu tidak cukup untuk membuktikannya, ia menggerakan tangannya ke punggung Sakura secara perlahan dan menggoda.
Sakura terkesikap pelan, namun tidak mengatakan apa-apa; sentuhan Naruto di punggungnya mengingatkannya akan sesuatu yang dihilangkannya sekuat tenaganya. Ia terbatuk. "Sini," katanya menunjukan arah meja yang tadi dipesannya lewat online.
Naruto mengikuti, dan duduk di seberang kekasihnya dengan kedua tangan terlipat di dadanya, tidak tertarik.
Sakura memanggil pelayan, dan membuka daftar menu yang diberikan oleh pelayan tersebut. "Hm, ohh.. begitu banyak menunya."
"Sakura kau fangirl berat, ya?" tanya Naruto tertawa melihat sikap kekasihnya seperti anak kecil yang baru mendapatkan permen.
"Menunggu enam tahun itu tidak cepat," kata Sakura. "Bahkan kesabaran author pun ada batasnya."
Naruto membatu; what the f—? Meninggalkan Sakura bersama Ino hanya beberapa menit adalah ide yang buruk. Catat itu. "Sakura, kau sekarang ini seperti Ino,"
"Maaf," sahut Sakura, lalu melanjutkan lagi membaca menu, dan mata hijaunya berbinar-binar menemukan ada menu sandwich berbentuk buah paopu, ia melirikan matanya diam-diam lewat buku menu; mata biru Naruto sedang mengamati dengan tertarik deretan botol-botol di bar.
'Apa dia tahu?' Sakura bertanya-tanya dalam hatinya.
Naruto bilang padanya bukanlah fans game kingdom hearts, bukan fans, bukan berarti tidak pernah memainkan game tersebut, kan? Lagipula Naruto kan seorang gamer kelas berat.
"Aku mau pesan the promised sandwich," kata Sakura. "Minumannya jelly of the night sky dan sea salt frozen yogurt!"
Naruto speechless; itu nafsu makan yang besar. "Wow, kau benar-benar tidak menahan diri, ya?" tanyanya, lalu mengambil buku menu yang diberikan oleh Sakura dan mulai memilih-milih.
Sakura menanti was-was Naruto yang dalam diam perlahan-lahan membalik buku menu, dan bibirnya mengulas senyum samar ketika melihat mata biru kekasihnya melebar syok selama sedetik kemudian memandang balik dirinya.
Pertanda Naruto mengerti maksudnya.
Naruto perlahan tersenyum. "Aku memesan the promised sandwich juga," katanya. "Apa kalian menyajikan martini?"
Pelayan wanita tersebut mencatat pesanan Naruto. "Maaf, di sini kami tidak menyajikan itu,"
Naruto menepuk keningnya; sudah diduga takkan ada minuman favoritnya.
"Tetapi tuan bisa mencoba Shiva cocktail yang memiliki kadar alkohol tertinggi di sini." pelayan tadi memberikan saran.
Naruto membaca kembali menunya. "Shiva, hm... ?" di menu tertulis rum putih. "Baiklah, aku memesan Shiva, kuharap ketika aku meminumnya aku tidak membeku." candanya, mengingat Shiva adalah eidolon bermagis es.
Pelayan tersebut tidak tertawa hanya tersenyum sambil mencatat pesanan Naruto. "Ada lagi?"
Naruto menggelengkan kepalanya.
"Satu botol air putih," kata Sakura.
"Oke," kata pelayan tersebut lalu berjalan pergi.
"Kenapa kau memesan air putih?" tanya Naruto heran.
"Kau harus tersadar," kata Sakura. "Aku bisa mengendarai mobil tapi tidak bisa jika mobilnya sepertimu."
Naruto memutar bola matanya. "Sakura, aku hanya memesan satu gelas dan ukurannya kecil, itu tidak cukup membuatku mabuk. Aku tidak sepayah itu."
"Aku hanya berjaga-jaga, aku tidak mau menyeret tubuhmu nanti," kata Sakura tidak mau mengalah.
Menyeret? Romantis sekali. "Terserah," sahut Naruto mengalah.
Sakura bangkit dari duduknya. "Aku mau ke bagian musik sebentar ya?"
"Hm," sahut Naruto sekenanya.
Sakura berjalan menuju bagian musik, mengecek deretan kaset-kaset soundtrack game, dan mata hijaunya tertarik pada tulisan kingdom hearts, ia mengecek monitor, dan tersenyum lebar ternyata memang benar ada lagu dearly beloved, ia pun memasang headphone dan memutar lagu tersebut.
Sakura menutup matanya, terhanyut akan instrumen pianonya; ia merasa bernostalgia, dulu di saat masih bekerja di bar sebagai seorang pianis, ia memainkan lagu ini setiap bekerja, namun setelah lulus kuliah ia sudah jarang bermain piano, apalagi sekarang tugas sebagai dokter menyita waktunya, ia tak ingat kapan terakhir kalinya ia bermain piano.
Memutuskan kursus piano awalnya Sakura hanya ingin ayahnya melihat dan bangga padanya, namun seiring berjalannya waktu, ia jadi menyukai bermain piano dan piano juga yang bisa membuatnya mendapatkan uang dulu di saat umurnya masih tidak diperbolehkan bekerja.
Meskipun itu atas bantuan diam-diam ayahnya sih...
Sakura mencari lagi list soundtrack yang lain di layar monitor, di saat itulah ia mendengar suara yang begitu familiar.
"Bisa kita ke tempat lain? Aku tidak suka game, kan?"
Sakura berhenti memainkan jarinya di layar, "Terdengar seperti suara Shion," gumamnya, penasaran ia menoleh ke sumber suara Shion yang ternyata berasal dari ruang play arts figure; tak jauh darinya ada Shion yang tengah merungut kesal ke seseorang yang berada di samping wanita muda berambut pirang itu; mata hijaunya tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang bersama Shion karena sosok tersebut memakai tudung sweater yang menutupi wajahnya dan mereka berdua membelakangi dirinya sehingga ia tidak bisa mengenali sosok tersebut.
'Mungkin aku harus sapa?' Sakura bertanya-tanya dalam hati.
Sakura sedikit ragu dengan ide itu sebab hubungannya dengan Shion buruk, bagi versi Shion tentunya, baginya hubungan mereka biasa saja.
'Ini takkan menyakitiku, kan? Oh, well,' kata Sakura dalam hati.
Sakura melirikan mata hijaunya ke arah Naruto—yang ternyata sedang meminum-minuman pesanannya; ia merungut kesal; kenapa kekasihnya tidak memberitahu jika sudah sampai? Hanya minuman sih. Ia memutar bola matanya—jangan sensitif. Ia mengambil napasnya lalu melangkahkan kakinya menuju ruangan play arts figure—akan tetapi langkah kakinya terhenti saat sosok yang menjadi bahan penasarannya menolehkan kepala ke arah Shion—menjawab komplain wanita muda itu.
"Sebentar lagi," kata sosok tersebut.
Tubuh Sakura membeku seketika, dengan mata melebar ketakutan.
Tidak beberapa jauh darinya ada sosok yang sangat dirindukannya sejak kuliah—sosok yang membuat ia terus merasa bersalah dan pembawa mimpi buruk di setiap tidurnya, dan yang terpenting yang membuat ia merasakan seperti apa itu cinta dan kehancuran.
'Shi-senpai... ?'
Sakura tertunduk dan mengerjapkan mata hijaunya—mungkin ini hanya halusinasi saja—sama seperti dulu, tak mungkin Shi berada di sini, seniornya itu tinggal di kyoto! Jadi pasti ia salah! Ia menaikan kepalanya lagi untuk mengecek ulang—dan terkesikap syok ini bukan halusinasinya semata—itu benar-benar Shi.
What—!? Bagaimana bisa—!?
Sakura mulai panik ketika Shion dan Shi mulai bergerak, ia ingin kabur tetapi tubuhnya—!
'Mereka semakin mendekat!'
Sakura memaksa tubuhnya bekerja dengan cara sekuat tenaga mencubit punggung tangannya, dan keluar dari ruang play arts menuju tempat Naruto berada. "Naruto... bisa kita pulang?" tanyanya lemah.
Naruto menaikan alisnya heran. "Bukankah kau ingin mencoba menu baru?" tanyanya.
"Aku sudah tidak tertarik," sahut Sakura sedih; melihat lagi Shi setelah tujuh tahun membuat nafsu makannya hilang. "Please?" pintanya memelas.
Naruto tidak mengerti apa yang terjadi pada Sakura tetapi ia menurut dan membayar menu yang mereka pesan, barulah keluar dari kafe dalam keheningan.
Sakura memberi saran untuk membeli makanan di mesin penjual makanan otomatis di seberang gedung apartemennya, ia memesan udon sementara Naruto ramen—tentu saja. Ia terlalu depresi untuk mengomel masalah makanan tidak sehat.
Sepanjang jalan menuju kamar apartemennya, tidak ada satu pun dari mereka yang membuka topik pembicaraan bahkan ketika mereka makan bersama di dapur. Hening.
Mood Sakura berubah drastis, ia merasa tidak enak dengan Naruto sebab ia tahu betul kekasihnya memilih diam juga karena ingin ia berbicara terlebih dahulu.
Naruto membuang mangkuk ramennya ke tong sampah plastik dan sumpit ke tong sampah yang mudah dibakar. "Apa ada sesuatu, chérie?" tanyanya cemas.
Sakura meletakan mangkuk udonnya di meja makan dan menghela napas berat.
Apa yang harus dikatakannya pada Naruto? Ia ingin sekali jujur namun ia yakin ini akan menghancurkan mood Naruto juga.
"Aku hanya teringat akan mimpi burukku," kata Sakura sedih; ia tak sepenuhnya berbohong, hanya kurang detail saja. "Maaf ya." sesalnya.
Naruto memperhatikan Sakura secara intens, yang membuat wanita muda itu menghela napas gugup.
"Kau tahu kan kau bisa membicarakan apa pun padaku, chérie?" kata Naruto membelai lembut rambut panjang pink Sakura. "Jangan memikul beban sendirian, ya?"
Sakura semakin berasa bersalah. "Aku tahu, aku hanya berharap ini akan berbeda,"—berharap ia tidak bertemu Shi di kafe artnia.
"Itu hanya mimpi buruk jadi tidak usah dipikirkan," kata Naruto menenangkan.
Sakura akan mencobanya. "Hm," gumamnya murung, ia bangkit dari kursinya, melangkah mendekati Naruto dan berhenti tepat di belakang kekasihnya. "Aku sudah tahu keputusanku soal ajakanmu ke paris." katanya pelan.
Naruto langsung bangkit dari duduknya. "Ya?" gumamnya tertarik.
Sakura membuang mukanya, tidak tahan melihat pancaran iris biru Naruto yang menatapnya penuh harapan. "Aku menolak ikut, maaf." sesalnya. "Aku sungguh-sungguh minta maaf," katanya lagi.
Dua hari—waktunya terlalu dekat dengan lelang kencan, kalau ia ikut, begitu sampai di tokyo, tanpa beristirahat ia langsung mengikuti lelang kencang, itu melelahkan. Ia tahu Naruto selalu mencemaskan kesehatannya.
Hening...
Sakura masih menolak untuk beradu pandang dengan Naruto, hingga akhirnya iya ketika mendengar helaan napas yang panjang keluar dari bibir kekasihnya.
"Aku mengerti," kata Naruto murung. "Mengetahui yang kuajak itu kau, seharusnya aku tidak banyak berharap,"
Sakura menutup mata hijaunya melihat ekspresi Naruto yang terluka ketika mengatakan 'banyak berharap'. Ingin sekali ia berteriak jika melihat Naruto bersedih membuat ia terluka juga.
'Aku menderita juga, kau tahu.' kata Sakura dalam hati.
Sakura berjalan ke arah pintu keluar, diikuti oleh Naruto. "Kau akan pergi ke bandara kan?" tanyanya.
Naruto mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ya, lima belas menit lagi."
Sakura syok sesaat. "Terkadang aku kagum dengan keahlian mengemudimu,"—pulang-pergi shinjuku ke shibuya hanya tiga puluh menit dan ia selama itu tak menyadari kalau Naruto mengebut, pikirannya benar-benar menandakan kacau malam ini.
"My pleasure," kata Naruto membungkuk hormat. "Kau tahu, meskipun aku mengebut itu takkan cukup, sebab dari apartemenmu ke bandara bisa sepuluh menit atau lebih karena macet,"
"Memang benar sih," kata Sakura setelah dipikir-pikir. "Kau akan membeli tiket penerbangan berikutnya?"
"Paman Yamato sudah mengurusnya," sahut Naruto, ia melangkahkan kakinya dua langkah mendekati kekasihnya. "Dua jam lagi sebetulnya," katanya disertai sentuhan lembut di rambut pink Sakura. "Jadi... selama itu aku ingin menghabiskan waktu bersamamu."
Sakura mengembuskan napasnya ketika Naruto memberikan kecupan di keningnya memberikan 'undangan' padanya, karena mood-nya buruk jadi kekasihnya itu meminta 'ijin' terlebih dahulu.
Sakura bisa menolak ajakan ini, mood-nya sedang buruk kan? Namun membayangkan tidak bertemu Naruto dua hari ke depan atau mungkin lebih membuat ia sedih dan mungkin kekasihnya pun merasakan hal yang sama.
Sakura tidak mau merasakan itu atau pun Naruto, jadi ia mencondongkan wajahnya dengan mata hijau tertutup.
Awalnya Sakura merasakan tangan Naruto berada di pipinya—menyentuhnya dengan lembut lalu bergerak menyingkirkan rambut pink-nya yang menutupi wajahnya, menyisipkannya ke belakang telinganya, dan berhenti—yang membuat wajahnya mulai memanas sebab ia tahu Naruto sedang memperhatikan wajahnya sekarang.
Hening...
Merasakan Naruto tidak melakukan apa-apa, Sakura perlahan membuka mata hijaunya, ia hendak protes karena menggodanya lagi namun ditelannya kembali olehnya setelah akhirnya Naruto maju dan menyatukan bibir mereka.
Sakura menutup mata hijaunya lagi dan perlahan membalas, terhanyut dalam ciuman panjang mereka; ia mencoba mendominasi namun berujung kegagalan.
'Kenapa dia begitu ahli... ?'
Ketika berbicara soal ini, Sakura merasa ia amatiran meskipun mereka sudah tiga bulan menjalin cinta, ia tak memiliki pilihan selain mengikuti apa yang dilakukan Naruto padanya.
"Mm..." Sakura mendesah pelan merasakan Naruto menjilat bibir bawahnya, meminta ijin memperdalam ciuman mereka—ia pun tanpa pikir panjang membuka bibirnya membiarkan kekasihnya menjelajahi mulutnya.
'Tubuhku...'
Setiap sentuhan Naruto membuat tubuhnya semakin panas—keinginan disentuh lebih semakin meningkat; Sakura tidak bisa berpikir jernih, tubuhnya tidak mau mendengarkan dirinya.
Naruto menyudahi ciuman mereka, membuat Sakura menghela napas lega; sentuhan kekasihnya tadi jauh lebih baik dari terakhir kali mereka bertemu, luar biasa faktanya—atau mungkin karena tidak lama bertemu ia menjadi jauh lebih sensitif akan sentuhan Naruto?
Sakura tidak tahu, ia hanya senang bisa bersama pria yang dicintainya.
"Oh!" Sakura terkesikap saat tiba-tiba Naruto mendorong tubuhnya hingga mengenai dinding apartemennya; ia tak merasakan sakit sebab tangan kekasihnya melingkar di punggungnya sehingga Naruto yang merasakan sakit itu, ia ingin bertanya mengenai kondisi tangan Naruto tetapi bibir kekasihnya mengunci semua itu.
Lagi.
Sakura mencengkeram erat punggung Naruto.
Ciuman kali ini Sakura merasa berbeda dari sebelumnya, jauh dari kata lembut, Naruto nenciumnya dengan penuh gairah dan sedikit—kasar? Seperti memberitahu sesuatu padanya.
Sakura sendiri tidak begitu paham, ia menyimpulkan ini ungkapan perasaan rindu Naruto padanya dan juga rasa kecewa karena menolak ajakan ke paris.
Sakura tidak memiliki masalah dengan itu—ia merasa pantas mendapatkannya, ia membuat Naruto kecewa memang. "Uhm..."—desahnya ketika Naruto menggigit bibir bawahnya kuat.
Meskipun sentuhan Naruto sedikit kasar, anehnya Sakura menemukan dirinya menyukainya.
Ia suka Naruto sedikit kasar. Selama ini Naruto selalu memperlakukannya seperti gelas yang rapuh jika hanya tersentuh akan pecah, makanya terkadang ketika mereka di situasi seperti ini, Naruto seperti menahan diri untuk menyentuhnya lebih liar lagi.
Sakura merasakan kakinya melemas, beruntung Naruto memeluknya dengan erat serta dinding apartemennya membantunya tetap berdiri.
'Aku tidak.'
Dengan sisa kesadaran dan kekuatan yang ada, Sakura mengakhiri ciuman panas mereka, ia bahkan menutupi bibirnya dengan punggung tangannya agar Naruto tidak lagi menyerangnya.
Sakura butuh istirahat sebentar mengambil oksigen serta menetralkan jantungnya yang berdegub cepat sekali.
Sayangnya ketenangan ini hanya sementara, karena Sakura memalingkan wajahnya, Naruto mengambil kesempatan dengan mulai mencium lehernya yang terbuka.
"Uhm—!?" Sakura tak bisa menyembunyikan desahannya disentuh tiba-tiba begitu, refleks ia mencengkeram bahu Naruto erat agar bisa meredam suaranya; tubuhnya yang tadi normal kembali panas akan sentuhan menggoda di lehernya.
'Kapan dia... ?'
Sakura tidak menyadari jika tesleting jaketnya sudah terbuka—memperlihatkan halter top yang dipakainya; ciuman panas tadi mendapat perhatiannya seutuhnya hingga ia tidak memperhatikan tangan Naruto.
'Naruto benar-benar tidak menahan dirinya...'
"Oh!" Sakura terkesikap merasakan tubuhnya terangkat dari lantai—ia menengadahkan kepalanya ke kekasihnya akan tetapi Naruto tidak sedang menatapnya—fokus ke depan.
Sakura menyadari arah mereka ke mana—pipinya merona mengetahuinya—tentu saja ke kamar tidur.
Ketika Naruto membaringkan tubuhnya di ranjang, Sakura berharap kekasihnya itu langsung mencium bibirnya lagi agar ia tidak merasa malu akan tetapi Naruto justru memilih diam memandanginya dari atas tubuhnya.
Sakura mengaitkan jemari Naruto yang menahan tangannya di samping kepalanya—menggenggam erat untuk menetralkan degub jantungnya, ia yakin sekarang pipinya merona hebat.
Untunglah lampu kamarnya tidak menyala, hanya cahaya rembulan yang menerangi kamarnya, jadi rona di pipinya tidak terlalu kentara—itu spekulasinya.
Seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Sakura, Naruto berkata. "Aku bisa melihatmu dengan jelas, chérie."
Sakura terkejut, dan semakin malu hingga ia memalingkan wajahnya. "Kalau begitu jangan terus menatapku," ia ingin suaranya terdengar marah tapi ketika diutarakan justru lemah.
"Kau benar chérie," Naruto menyetujuinya santai, lalu bibirnya menyeringai menggoda. "Lebih baik langsung ke menu utama, itu kan maksudmu? Aku setuju."
Apa?
Maksud dari kata-katanya bukan itu—! Oh! Tentu saja, Naruto kan memang senang sekali menggodanya!
Sakura menggembungkan pipinya kesal.
'Naruto selalu bilang dia suka dengan rona merah di pipiku karena membuatku semakin imut makanya dia jadi senang menggodaku.' keluh Sakura di dalam hati.
Perhatian mata Sakura kembali lagi pada Naruto yang membebaskan tangannya dan beralih melepas sweater v neck merah gelap dari tubuh kekarnya.
Sakura membeku di tempatnya.
Ia tidak ingin melihat ini tetapi tubuhnya tidak mau menurut. Jadi ia melihat perlahan Naruto melepas kancing-kancing kemeja hitamnya—membuatnya meneguk air liurnya gugup.
Kenapa—?
Setiap gerakan yang Naruto lakukan terlihat seksi di mata hijaunya? Padahal kekasihnya saat ini sedang menggodanya, dan ini juga bukanlah pertama kalinya tetapi kenapa ia tetap menemukan itu sesuatu yang seksi—?
Perasaan aneh ini.
Sakura refleks membuang mukanya ke samping tepat sebelum Naruto membuka kemejanya.
Tubuhnya sudah bisa dikontrolnya. Syukurlah.
Mata hijaunya melebar ketika merasakan kecupan di sudut bibirnya.
Déjà vu—?
"Aku pernah bilang padamu, kan? Kalau kau tidak mau menatapku, aku akan memberimu ciuman." kata Naruto.
Sakura mengambil napas yang dalam, sebelum akhirnya memandang sepasang mata biru yang berada di atasnya tengah menyeringai lebar padanya.
"Kau mau play-hard-to-get, chérie?" tanya Naruto, tertarik.
Sakura terkejut ketika merasakan tangan Naruto menyentuh pahanya lalu merangkak naik perlahan diiringi sentuhan menggoda yang membuat bibirnya mengeluarkan desahan pelan. "Um! Berhenti Naru—"
Naruto berhenti tepat di ujung rok micronya. "Kau ingin aku berhenti? Sungguh? Aku kira, kau berpakaian seperti ini demi aku?" tanyanya menggoda.
Sakura speechless.
Bagaimana bisa Naruto tahu—?
Dan jujur saja ini bukanlah idenya...
.x.
Flashback ON
.x.
Sakura keluar dari kamar tidurnya dengan perasaan yang tidak nyaman. "Ino, aku tidak yakin dengan ide ini."
Ino yang sedang asyik mengecat kuku tangannya, berhenti, dan berdiri untuk melihat sahabatnya, ia tersenyum sumringah melihat 'karya' cemerlangnya. "Jangan begitu, ini ide sempurna! Sempurna!" katanya serius.
"Rok ini terlalu pendek, Ino!" seru Sakura marah. "Aku bisa pastikan saat mengambil sesuatu yang terjatuh, bokongku kelihatan!"
Sakura sudah sering memakai rok mini namun ia belum pernah satu kali pun memakai rok micro karena baginya terlalu pendek di matanya.
"Itulah tujuannya!" sahut Ino tidak mengalah. "Tunjukan tubuh seksimu! Buat Naruto menyesal meninggalkanmu selama dua bulan! Buat dia menginginkanmu hingga dia tidak mau pergi jauh darimu lagi Sakura!"
Kedengarannya manis dan mudah sekali tapi kenyataannya—?
"Kau tahu ini bulan januari, kan?" keluh Sakura sambil menepuk keningnya. "Dan Naruto akan menjemputku setelah aku selesai ke psikolog. Gedung itu ada di luar yang berarti aku akan menggigil kedinginan!" serunya emosi. "Kalau aku sakit, kau mau tanggung jawab?"
"Tenang saja kau takkan sakit." kata Ino penuh percaya diri.
Sakura speechless.
Memakai halter top yang bagian belakang punggungnya terbuka dan rok micro yang memperlihatkan bokongnya kapan saja jika ia membungkuk atau pun ketika berjinjit, tidak membuatnya jatuh sakit? Oke. Catat itu.
Ino mengembuskan napas gusar. "Maksudku... kau bisa memakai jaket panjangmu buat menutupi bagian belakang pahamu serta juga membuatmu tetap hangat."
Sakura berpikir; itu bukanlah ide yang buruk.
"Terus kakimu pakai high boots," Ino menambahkannya dengan berapi-api. "Sekarang aku tidak mau mendengar kau mengeluh lagi! Cepat ambil!" perintahnya galak.
Sakura menepuk keningnya, "Aku akan menyesali ini," keluhnya lalu berjalan pasrah kembali ke kamarnya.
"Kalau ini ideku takkan mungkin kau menyesal," kata Ino mengibaskan rambut pirangnya penuh percaya diri. "Kau akan berterima kasih padaku, Sakura."
Flashback OFF
"Earth to Sakura!"
"Hah!?" Sakura kembali dari lamunan panjangnya, ia menepuk keningnya mengetahui Naruto kesal karena dicuekin. "Ini ide Ino, sungguh,"
"Aku tahu," sahut Naruto tanpa dosa.
"Kau tahu?" tanya Sakura.
Naruto memutar bola matanya. "Tentu saja, aku tidak pernah melihatmu memakai rok sependek ini dan juga atasan terbuka tanpa sebab, ini juga musim dingin, jadi aku menyimpulkan kalau kau ingin membuat seseorang terkesan dengan tubuh indahmu. Seseorang itu bukanlah dari keluargamu karena kau akan tampil feminim bukan seksi jadi seseorang itu pasti lelaki yang kau cintai atau kekasihmu. Simple."
Entah kenapa penjelasan Naruto tadi membuat Sakura tersenyum lebar bahagia—ia senang kekasihnya itu mengetahui apa yang membuatnya nyaman dan tidak nyaman. Namun senyumnya hilang ketika ia merasakan tangan Naruto yang berada di ujung roknya bergerak lagi ke atas. "Naruto!"
"Heh," Naruto terkekeh. "Aku akan menikmati ini,"
Sakura memegang tangan Naruto yang berada di pahanya, berupaya menyingkirkannya, yang sayangnya gagal karena tangan kekasihnya yang menganggur langsung menahan kedua tangannya di atas kepalanya.
Sakura tidak bisa berkutik kali ini, yang membuat Naruto semakin berani menyentuhnya, ia mencengkeram erat tangan Naruto agar tidak mendesah ketika merasakan celana dalamnya terlepas dari tubuhnya, di saat itu juga kuku panjangnya melukai pergelangan tangan Naruto tanpa sengaja.
"Aw!" Naruto meringis kesakitan. "Sial, seharusnya aku melepas ini,"
Sakura menghela napas lega, untunglah sentuhan Naruto berhenti meski hanya sesaat, cukup baginya untuk mengontrol dirinya, detik berikutnya ia tersadar jika itu adalah salahnya.
Sakura membuka mata hijaunya yang tertutup, untuk melihat keadaan Naruto apakah baik-baik saja—ia menengadah dan matanya melebar melihat sosok di atasnya bukan kekasihnya melainkan—Shi!?
Déjà vu?
Di atasnya Shi sedang berusaha melepas jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, setelah ia berhasil melepasnya, ia pun menatap Sakura disertai senyuman yang amat dikenal oleh wanita muda itu.
'Tidak mungkin!?'
Napas Sakura menjadi tidak teratur.
'Ini halusinasi!'
Sakura mengerjapkan mata hijaunya, namun sosok Shi tidak menghilang melainkan sekarang Shi menurunkan wajahnya ke arahnya dengan mata tertutup dan pria itu juga memajukan bibirnya—bersiap memberikan ciuman padanya.
'Tidak!'
Sakura refleks mendorong kuat-kuat wajah Shi—menolak dicium.
"Ittai,"
"Huh?" suara erangan kesakitan tadi terdengar seperti Naruto? Sakura membuka mata hijaunya perlahan—ia dapat melihat Naruto memegangi wajahnya yang baru saja kena 'dorongan cinta' darinya—di atasnya sekarang adalah kekasihnya bukanlah Shi.
Bukan. Itu adalah Naruto.
Sakura langsung bangkit dari tidurnya dan memeluk erat Naruto.
Syukurlah. Halusinasinya sudah berakhir.
Naruto tentu saja terkejut akan pelukan tiba-tiba oleh kekasihnya namun ia tidak memprotes, melingkarkan satu tangannya ke tubuh Sakura. "Chérie, kau baik-baik saja?" tanyanya cemas.
"Aku baik-baik saja," sahut Sakura sambil mengeratkan pelukannya. "Maaf ya, aku sudah mendorong wajahmu." sesalnya.
"Um... iya?" sahut Naruto sekenanya masih mengelus wajahnya yang sakit. "Pukulanmu membuatku teringat lagi kau bisa karate," candanya.
Sakura melonggarkan pelukannya agar bisa memandang mata biru kekasihnya. "Kau di saat begini masih saja bisa bergurau." katanya disertai tawa kecil.
"Kalau begitu kita bicara serius." Naruto menyarankan. "Ada apa denganmu, Sakura?"
Sakura terdiam.
'Ada apa denganku—?'
Sakura sendiri tidak tahu ada apa dengan dirinya; Shi sudah menjadi bagian masa lalunya dan sekarang ia mencintai Naruto, tapi kenapa pikirannya mengingat kembali kenangan Shi ketika bersamanya?
Ketika Naruto membuka jam tangannya, ia pernah melihatnya sebelumnya—dan itu ketika ia bersama dengan Shi, mungkin itulah yang menjadi pemicu halusinasi tadi.
Yang Sakura tidak mengerti, kenapa bisa memicu hal tersebut, apakah karena melihat di kafe artnia memicu kenangan Shi bersamanya—?
Ia mencintai Naruto, tidak ada alasan lain untuk memikirkan pria lain, kan—?
Hubungannya dengan Shi sudah selesai tujuh tahun yang lalu.
Sudah selesai—kan—?
"Aku teringat mimpi buruk itu lagi," sahut Sakura sedih.
"Mimpi buruk soal apa?" tanya Naruto penasaran.
"Aku—" Sakura mau menjawab jika mimpi buruknya adalah Shi akan tetapi lidahnya terasa lumpuh saat hendak meneruskan kata-katanya. "Aku—"
"Sakura, sudah cukup, kalau kau belum siap, tidak apa-apa," kata Naruto lembut. "Cuma ingat, jangan pernah nemikul beban itu sendirian, ok? Aku di sini."
"Naruto," Sakura tersentuh sekaligus merasa bersalah. "Terima kasih," lanjutnya disertai senyuman kecil.
Naruto bangkit dari ranjang, dan merenggangkan otot-ototnya. "Lebih baik aku harus bersiap-siap ke paris."
"Eh?" Sakura terkejut. "Tapi bukankah masih dua jam lagi?" tanyanya.
Naruto menangguk. "Memang, tapi dengan keadaanmu yang seperti ini, lebih baik kita berhenti." katanya.
"Oh," gumam Sakura kecewa.
Naruto mengelus pucuk kepala Sakura lembut. "Beristirahatlah, chérie. Aku akan meminta Ino atau Shizune-neesan untuk menemanimu."
Sakura tidak menjawab, masih kecewa karena sikapnya tadi membuat mood Naruto turun. Ini salahnya.
Naruto keluar dari kamar untuk menelepon Ino.
Sakura mengembuskan napasnya.
Seharusnya ini hari yang menyenangkan bukan kacau.
Apa maksud dari halusinasi ini?
Shi berada di shinjuku bukan di shibuya.
Terakhir kali kabar yang ia dengar juga, Shi memutuskan menetap secara permanen di kyoto.
Lalu kenapa bisa ada di shinjuku? Dan lagi bersama Shion?
Jika diingat, Shi dan Shion tidak bergandengan tangan atau melakukan kontak fisik lainnya, tapi itu kan saat ia melihatnya, ia tidak tahu sudah berapa lama mereka di sana berdua sebelum ia dan Naruto tiba di artnia.
Sakura menemukan ini tidaklah aneh, lagi pula dulu Shion-lah yang pertama dekat dengan Shi, bukan dirinya. Tentu kedekatan itu dengan alasan ingin menjadi 'cupid' demi dirinya, padahal sesungguhnya Shion naksir teman Shi.
Sakura tertunduk.
Mengingat itu, membuatnya sedih, ia masih tidak percaya apa yang terjadi antara ia dan Shion.
Sakura tidak percaya, seseorang bisa memilih lelaki yang disuka dari pada sahabatnya sendiri. Untunglah saat itu Shi dan Ino ada untuknya di titik terendahnya.
Sakura mengembuskan napasnya.
'Apa yang kulakukan sih? Mengenang masa lalu dengan lelaki lain, sementara kekasihmu mencemaskan dirimu di ruangan sebelah?'
Sakura merasa jijik dengan dirinya; merasa jijik akan masa lalu yang melintas di pikirannya.
Sebelum bertemu dengan Naruto, ia sudah berjanji akan akan mencintai diri sendiri bukan melukainya, tidak akan lagi terjebak di masa lalu meski setiap hari memimpikan itu—penyesalan terbesarnya dulu.
Tapi sekarang? Hanya bertemu lagi, dinding kuat yang dibangunnya dengan mudahnya runtuh—?
'Aku begitu menyedihkan.'
Sakura tersadar dirinya memikirkan pria lain, dan ia membenci ini; meski hanya memikirkan ia merasa ia sudah selingkuh dari Naruto. Ia selalu benci dengan orang yang selingkuh, tapi di sinilah ia menjadi pelaku itu sendiri.
'Apa aku ini tidak setia?'
Tidak mungkin—kan—?
Di saat Sakura tidak bisa menemukan jawaban dari masalahnya, ia merindukan sosok ibunya yang selalu memberikannya saran serta semangat.
Mebuki pernah berkata padanya: cari lelaki yang memperlakukan ibunya dengan baik sebab itu mencerminkan cara mereka mencintai seseorang.
Sakura menemukan itu dalam diri Naruto, dan hingga kini ia sama sekali tak menyesal sudah keluar dari zona nyamannya untuk mencintai Naruto.
Sakura bangkit dari ranjangnya dan berjalan menuju jendela kamarnya lalu membuka tirai yang menutupi.
Langit malam ini indah, ditemani cahaya bulan serta bintang-bintang.
Langit malam ini mengingatkannya akan malam di saat ia menceritakan masa lalunya pada Naruto, di saat itu juga ia perlahan mencintai pria itu, meskipun ia tidak menyangkal jika ia menaruh rasa suka ketika mereka pertama bertemu, sebab Naruto adalah tipenya ketika masih sekolah.
Naruto menemaninya di titik terendahnya, mendengarkannya bahkan tidak segan memberikannya kritik keras atas setiap keputusannya, Naruto jatuh cinta padanya tapi tidak membiarkan perasaan cinta tersebut menguasainya, seseorang yang selalu dicarinya selama ini.
Ino juga sama seperti Naruto, yang membedakan, sahabatnya itu tidak bisa bersikap keras jika sudah berhubungan dengan masalah keluarganya.
Ino tempatnya bersandar, ia selalu bersyukur memiliki sahabat seperti itu meskipun ia memperlakukan tidak baik sahabatnya itu ketika masih di sekolah.
Sementara Naruto? Kekasihnya memiliki segalanya meskipun ia selalu bosan mendengar sifat narsis yang keluar dari bibir kekasihnya itu ketika ia memujinya.
Sakura mengepalkan tangannya kuat.
'Hanya bertemu satu kali, takkan membuatku goyah!'
Sakura berbalik, lalu melangkah keluar ruangan dengan senyum di bibirnya, senyumnya semakin lebar ketika ia menemukan apa yang dicarinya, tanpa berpikir panjang, ia memeluk erat Naruto dari belakang.
"Wakh!" Naruto terkejut bukan main tiba-tiba dipeluk seperti itu hingga ia hampir menjatuhkan ponselnya. "What the—!? Chérie!?" wajahnya dihiasi kebingungan mengetahui penyerangnya tak lain kekasihnya; mood Sakura seingatnya tadi sedang turun tapi ini—?
"Aku ikut," kata Sakura semangat.
"Apa... ?" Naruto masih belum mengerti apa yang terjadi.
Sakura menatap kekasihnya lembut. "Aku ikut ke paris bersamamu," katanya. "Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu,"
Naruto speechless.
Hening...
"Aww, romantis sekali,"
"Apa... ?" Sakura bersumpah ia mendengar suara Ino.
Naruto tersadar dari syoknya, terbatuk gugup. "Aku sedang menelepon Ino," katanya sekalem mungkin.
Tubuh Sakura membatu seketika.
Fix.
Selama beberapa minggu ke depan, ia akan jadi bahan godaan sahabatnya. Check.
Tidak ingin membuat Sakura lebih malu lagi, Naruto mengakhiri teleponnya dengan Ino. "Kau ingin ikut ke paris?" tanyanya memastikan lagi.
Sakura mengangguk semangat. "Kuharap kau memesan dua tiket?" tanyanya cemas.
Ekspresi Naruto langsung berubah sedih; seberapapun ia ingin menjawab iya namun ia tidak bisa. "Sayangnya aku hanya memesan satu, kau sudah menolak tadi." jelasnya.
"Begitukah?" gumam Sakura kecewa.
"Kau bisa naik ke penerbangan berikutnya tapi besok pagi," kata Naruto.
Besok pagi? Naik pesawat sendiri ke paris?
Mana mau Sakura melakukannya, ia harus memikirkan cara lain agar bisa berangkat bersama ke paris malam ini.
Ada satu cara tapi Sakura tidak yakin sepenuhnya namun jika tidak mencoba mana kita tahu kan?
"Sejujurnya, ayahku punya pesawat pribadi, aku bisa meminta ke ayah untu mengantarkan kita ke paris," Sakura memberikan saran, ragu.
Mata Naruto melebar syok.
"Ini satu-satunya cara." Sakura menambahkan.
Naruto tersadar dari syoknya. "Jadi seperti ini cara seorang milyader membakar uangnya? Aku terkejut."
Sakura memutar bola matanya. "Aku tersanjung dipuji oleh orang yang menghabiskan uangnya membeli mobil sport."
"Sakura, aku mungkin kaya tapi aku tidak sekaya itu." kata Naruto kalem. "Perawatan mobil dan pesawat itu jauh berbeda, chérie."
"Haruskah aku mengingatkanmu bahwa yang memiliki uang sebanyak itu ayahku?" tanya Sakura malas.
Naruto melipat tangannya di depan dadanya. "Apa bedanya? Kau punya kartu kredit infinite."
Sakura syok; ia memang mempunyainya namun ia baru mendapatkan setelah berbaikan dengan ayahnya, itu pun bukan permintaannya, ayahnya yang memberikannya.
"Apa kita serius bertengkar soal ini?" tanya Sakura gusar. "Jika ayahku tidak menyetujuinya, aku akan menyewa jet pribadi."
Mata Naruto melebar lagi. "Obrolan kita ini kembali mengingatkanku betapa jauhnya aku dengan kau soal masalah uang," katanya sekalem mungkin. Mungkin. "Aku tidak heran rumor menyebutkan kau dan Sasuke akan menjadi pasangan paling kaya."
Sakura memutar bola matanya; mulai lagi Naruto membandingkan ini. Tentu ayahnya berada di peringkat satu setiap tahun di majalah bisnis jepang, dan Sasuke berada di urutan dua. Tetapi yang memiliki semua uang itu ayahnya, ia hanyalah dokter biasa, dengan gaji biasa, dan kehidupan biasa.
'Ayahku dan Sasuke bakal jadi pasangan terbaik lebih tepatnya.' keluh Sakura dalam hati.
Sakura mengambil ponselnya di saku roknya, kemudian menekan panggilan telepon ke ayahnya.
Selama beberapa saat hanya terdengar nada sambung di telinganya.
"Sakura?"
"Ayah?" mendengar suara ayahnya lewat telepon membuat sensasi aneh padanya; ia tidak pernah menelepon Kizashi hanya mengirim email atau ia meminta bertemu untuk 'family time'.
"Hm? Ada apa?" tanya Kizashi kalem. "Bagaimana kabarmu?"
"Aku baik-baik saja. Ayah sendiri bagaimana? Jangan sampai lupa minum obatnya ya? ayah memang sudah dinyatakan sembuh, tetapi pemulihannya masih belum selesai." kata Sakura.
"Ayah tahu," sahut Kizashi. "Lalu ada hal lain kenapa kau menelepon?"
Sakura mengembuskan napasnya. "Sejujurnya ada." katanya cemas. "Aku dan Naruto ingin ke paris tetapi tidak dapat tiketnya, sementara bisnis Naruto dimulai besok. Jadi boleh kami meminjam pesawat jet ayah?"
"Bisnis? Atau liburan?" tanya Kizashi.
Pipi Sakura merona. "Keduanya, ayah," sahutnya malu. "Hanya dua hari, ayah. Jadi apa bisa?" tanyanya penuh harapan.
Hening...
Sakura menanti-nanti dengan was-was, ia tahu ayahnya sedang mempertimbangkan ini apalagi selama dua hari, mungkin ayahnya juga mengecek jadwal bisnisnya apa ada yang menggunakan pesawat pribadi.
Sakura berharap ayahnya tidak keluar negeri sebab ayahnya masih harus rutin check up ke rumah sakit.
"Kalian beruntung," Kizashi membuka suara akhirnya. "Dokter Tsunade masih belum mengijinkanku keluar negeri atau luar kota jadi kalian boleh memakainya."
Wajah Sakura berseri-seri. "Oh, terima kasih, ayah!"
"Hm..." Kizashi bergumam. "Aku akan memberitahu pilot serta kru untuk berangkat malam ini. Mungkin agak lama persiapannya karena harus mengontak pihak bandara di paris terlebih dahulu."
Sakura mengangguk paham. "Baiklah,"
"Dan Sakura," kata Kizashi pelan. "Hati-hati,"
Sakura merasa tersentuh mendengarnya; sejujurnya ia masih tidak percaya hubungan mereka bisa sebaik ini. "Thanks," katanya lembut. "Dan ayah..."
"Hm?"
Sakura mengambil napasnya; ia bisa mengatakannya. Bisa. "Aku mencintaimu," katanya pelan.
Hening...
Sakura menunggu dengan cemas; mungkin ini terlalu cepat—? Ia dan ayahnya baru mencoba memperbaiki hubungan selama tiga bulan. Selama ini ia tak pernah membenci ayahnya hanya kecewa dan terluka, tak ada rasa benci.
Mungkin ini salah—
"Aku juga mencintaimu, Sakura." Kizashi membuka suara akhirnya. "Ibumu juga, selalu."
Sakura menahan napasnya; mendengar itu membuat air matanya tidak terbendung. Kali ini ia merasa dicintai.
Seandainya ibunya masih ada bersamanya menyaksikan ayahnya kembali seperti dulu, mungkin mereka akan jadi keluarga yang sempurna.
"Jangan lupa ke rumah sakit dan minum obat, ayah." Sakura memberi peringatan lagi.
"Ya," sahut Kizashi.
"Bye," kata Sakura, lalu mengakhiri teleponnya.
Naruto memandang Sakura sesaat, lalu mengulurkan tangannya untuk menghapus air mata yang berkumpul di sudut mata kekasihnya. "Kau menangis? Apa ditolak?"
Sakura menggelengkan kepalanya. "Tidak kok, ayahku mengijinkan kita," sahutnya. "Aku menangis karena terbawa suasana, maksudku, aku masih tidak percaya aku dan ayahku bisa mengobrol seperti anak dan ayah pada umumnya."
Naruto tersenyum lembut. "Aku senang kau berusaha memperbaiki ini. Kau tahu tidak? Mungkin ada banyak anak yang lebih memilih membenci orang tua mereka jika berada di posisimu," jelasnya. "Dan aku bangga kau tidak menjadi bagian dari mereka, chérie." lanjutnya.
"Thanks," kata Sakura tersentuh.
"Oke cukup bersedihnya," Naruto menepuk tangannya. "Kita harus segera menuju tempat pesawatmu berada, kau tahu kan?"
Sakura mengangguk; tentu saja ia mengetahuinya, ia pernah naik pesawat jet pribadi ayahnya dulu. "Bandara haneda,"
"Kalau begitu kita naik mobilku lagi," Naruto memberi saran.
"Bukankah lebih bagus naik kereta? Mobilmu nantinya bagaimana, Naruto?" tanya Sakura.
"Aku akan memberitahu paman Yamato untuk ke sana," kata Naruto. "Meski aku rasa dia masih di sana sih, dia kan memegang tiketku."
"Baiklah,"
Bruk.
Sakura terbangun dari tidurnya merasakan tubuhnya terhempas ke depan, "Ittai," keluhnya sambil memijit pelipisnya, lalu duduk lagi di kursi, ia menyadari bila dirinya berada di dalam taksi. Ia pasti tertidur sesaat setelah duduk, di dalam pesawat ia sama sekali tidak bisa tidur karena belum terbiasa.
"Kuso," sepertinya bukan ia saja yang jatuh ke depan karena sopir mengerem mendadak.
"Maaf, ada orang yang melanggar lampu merah, jadi aku terpaksa mengerem mendadak," sesal sopir sedih.
"Tidak apa-apa," kata Sakura.
"Baiklah aku akan lebih berhati-hati lagi," kata sopir itu lagi.
Sakura mengangguk.
"Ouch," rintih Naruto lagi.
Sakura melirikan matanya ke sampingnya dan melihat Naruto lagi mengelus-elus hidungnya yang memerah akibat benturan kursi di depannya. Ia mendekatkan diri sedikit ke kekasihnya. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.
"Hm," gumamnya masih memegangi hidungnya; kedua kalinya hidung mancungnya menjadi korban, ia berharap tulang hidungnya tidak retak. "Kau sendiri bagaimana?"
"Aku baik-baik saja," sahut Sakura; benturannya tadi tidak terlalu parah sebab ia memakai sabuk pengaman beda dengan Naruto yang tidak. Padahal sudah diperingatkan olehnya tetapi tetap bandel. "Aku masih belum mengerti kenapa kita menginap di hotelmu dibanding rumahmu."
"Karena aku tidak mau bertemu Karin," keluh Naruto. "Dia membuat kepalaku seperti ingin meledak, aku tidak mau kau mengalami hal yang sama sepertiku."
"Apa sepupumu seburuk itu?" tanya Sakura. "Apakah aku aneh jika aku justru semakin ingin bertemu Karin setelah kau menjelekan dia?"—ia semakin penasaran, ia tahu jika terkadang Naruto mengeluh soal sifat Ino yang cerewet; tapi mendengar kekasihnya mengeluh soal wanita yang mampu membuat Naruto pusing tujuh keliling membuat ia semakin ingin bertemu.
"Aku berbicara fakta bukan menjelekan dia, terakhir kali aku ke sini, tubuhku sampai kesakitan karenanya." kata Naruto. "Aku tidak mau tubuhku ini mengalami hal yang sama, ada banyak event besar yang mesti kuhadiri."
Sakura sedikit tertunduk.
Banyak event eh? Itu berarti Naruto akan sibuk sekali, yang kemungkinan tidak ada waktu bersama; ia tidak bisa mengeluh, berkencan dengan pebisnis memang seperti ini, ia sudah melihat ini di hubungan ayah dan ibunya.
Sakura selalu mendukung apa pun yang Naruto putuskan selama itu hal baik namun sekuat apa pun dirinya, rasa kesepiannya terkadang mengganggunya.
Menjalin cinta dengan Naruto membuatnya mengerti bagaimana perasaan ibunya terhadap ayahnya, yang terus menunggu.
Sakura melirikan mata hijaunya ke luar jendela mobil, dan terkesikap takjub melihat pemandangan menara eiffel di luar. "Cantiknya,"
Naruto mengikuti arah pandangan Sakura. "Ini belum seberapa, nanti saat di hotel, kau akan lebih terkejut lagi."
Semangat Sakura naik seratus persen; ia tidak sabar ingin cepat-cepat sampai di hotel milik Naruto. Pasti pemandangan di sana jauh lebih bagus. Mata hijaunya kembali memandang keluar; kali ini mereka melewati jembatan, lalu mereka belok kanan, menelusuri sungai. "Hm?" sepertinya ia tidak asing dengan sungai ini—"Ah!" ia tahu, sungai ini bernama seine, yang berarti jembatan yang mereka lewati tadi adalah pont d'léna.
Melihat foto-foto liburan Gaara bersama Matsuri di paris satu bulan yang lalu tidaklah sia-sia.
Sakura sedikit cemburu ketika melihat foto-foto Gaara dengan tunangannya kala itu, namun sekarang ia tidak menyangka sedang bersama Naruto di paris.
"Hm?" Sakura merasakan laju taksi yang mereka tumpangi melambat, ia mengecek keluar, melihat mereka memasuki area parkir gedung tinggi.
Tunggu dulu!
"Kita sudah sampai chérie," kata Naruto.
Cklek.
Sakura keluar dari taksi, lalu menengadahkan kepalanya, "Whoa..."—hotel milik Naruto terbilang tinggi dengan cat putih klasik yang cocok berbaur dengan gedung-gedung di sekelilingnya; ia terkesikap merasakan tangan Naruto melingkari pinggangnya.
"Apa kau mau menganga memandangi hotel dari luar atau mau masuk ke dalam?" tanya Naruto.
Sakura otomatis menutup bibirnya. "Biarkan diriku takjub sebentar, Naruto."—ia kan berada di paris.
"Kau mau langsung keluar? Tidak istirahat sebentar di kamar?" tanya Naruto.
Mendengar kata 'istirahat' membuat Sakura kembali merasakan pusing di kepalanya. "Terdengar bagus," sahutnya memijit pelipisnya; keliling parisnya nanti setelah jet lag ini hilang.
Naruto mengangguk, dengan Sakura berada di pelukannya, ia berjalan memasuki hotel.
Sakura mengembuskan napasnya gugup; ia tahu Naruto pemilik hotel namun ia syok mengetahui sambutan akan kedatangan kekasihnya meriah; semua staff berbaris di depannya, membungkuk penuh hormat. "Hm," mungkin Naruto atau Sasuke mengajarkan para staff tradisi dari jepang.
"Selamat datang, tuan Namikaze."
"Thanks," kata Naruto. "Aku tidak mengharapkan akan seperti ini sambutannya. Sasuke yang meminta kalian?"
"Ya," kata mereka bersamaan.
"Tentu saja dia akan melakukan hal seperti ini, dasar." kata Naruto. "Sudahlah, aku mau beristirahat di tempat biasa, aku harap Sasuke tidak memakainya? Konan!"
Sakura melihat wanita berambut ungu yang berada di tengah-tengah staff, maju ke depan hingga berhenti di depannya dan Naruto; ia rasa wanita muda ini bernama Konan?
"Tuan Sasuke sudah mengosongkannya setelah tahu anda akan kemari," kata Konan.
"Dimana dia?" tanya Naruto.
"Tuan Sasuke sudah kembali ke apartemennya, dia bilang ada teman bisnisnya mengunjunginya hari ini," jelas Konan sopan. "Dia baru bisa ditemui besok,"
Sakura menghela napas lega; syukurlah Sasuke tidak ada, jika pria itu berada di sini, ikut menyambutnya, itu akan menjadi reuni yang canggung.
"Ini kunci kamar anda tuan," Konan mengulurkan tangannya yang berisi kunci putih dengan tulisan bernomor 200 VIP.
Naruto menerimanya, "Thanks," katanya. "Kalian bisa kembali bekerja seperti biasa,"
Konan mengangguk paham. "Selamat datang kembali sekali lagi Naruto, semoga anda menikmati kunjungan kali ini,"
Naruto mengangguk. "Thanks Konan," katanya. "Bye,"
Sakura kembali berjalan, kali ini menuju lift, ia melirikan matanya ketika Naruto memencet tombol. "Hm?" kamar yang dipesan oleh kekasihnya bukanlah bagian teratas? Kenapa? Bukankah view terbaik adalah kamar tertinggi?
"Ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?" kata Naruto.
"Aku hanya berpikir kenapa kau tidak memilih kamar paling... atas?" tanya Sakura.
"Itu karena akan menyusahkan, ruang kerjaku berada di lantai bawah, jika aku memilih paling atas, akan banyak sekali pemberhentian lift, itu memakan waktu, jadi aku memilih bagian sedikit ke atas agar menghemat serta memiliki pemandangan yang bagus juga," jelas Naruto panjang lebar.
Oh! Sakura tidak berpikir ke situ. "Kau sungguh-sungguh memperhitungkan ini, ya?" tanyanya kagum.
"Well, hotel ini adalah hotel terakhir sebelum aku keluar berbisnis di luar negeri jadi aku yang merancangnya sendiri dan aku juga yang memiliki saham terbesar, tapi semenjak aku keluar, sahamku di sini turun karena ayahku berfokus di jepang jadi Sasuka menggantikan ayahku karena dia pemilik saham terbesar sekarang," jelas Naruto.
"Oh," jadi hotel ini bukanlah milik Naruto seorang? Ia sedikit mengerti bisnis, untuk memilih CEO mereka harus rapat dengan investor lain karena mereka juga termasuk pemilik hotel, dan tampaknya kekasihnya ini kalah karena selain sahamnya bukan terbesar tapi juga karena waktu itu ayah Naruto berfokus di jepang jadi sulit untuk memimpin perusahaan di luar perancis.
Atau ada hal yang lain yang Sakura belum mengerti. Itu hanya pemikiran simplenya.
"Aku ingin memimpin di sini lagi, hotel ini sudah seperti bayiku karena semuanya hampir ideku," kata Naruto. "Tetapi setelah aku tahu bahwa Sasuke-lah yang akan menggantikan aku, saat itu juga aku tahu hotel ini akan baik-baik saja," lanjutnya dengan senyum kecilnya.
Sakura terbatuk setelah mendengar kalimat 'bayi' yang membuatnya otomatis mengingat perkataan Ino tadi di parkiran; melamar. "Dan kau benar, eh?" tanyanya ragu.
"Aku belum melihat laporan bulan ini jadi tidak tahu," kata Naruto kalem. "Tapi setelah melihat karyawan yang menyambutku ada yang baru, kurasa hotel ini baik-baik saja. Memang menilai satu hal tidak signifikan tetapi itu bisa jadi acuan awal, sebab pengurangan karyawan itu awal ada sesuatu yang salah dengan hotel, ini berlaku di perusahaan seperti ayahmu juga."
Sakura tersenyum.
Wow.
Ia baru pertama kalinya melihat Naruto di mode 'bisnis' dan sekarang ia mengerti kenapa Kushina bilang kalau kekasihnya lebih cocok berbisnis; semua penjelasan dari Naruto tadi mengubah pikirannya dan setuju dengan apa yang dikatakan oleh ibu Naruto, kekasihnya itu memang terlahir menjadi leader, dan ia kagum akan hal tersebut.
Meskipun ia belum melihat sepenuhnya Naruto di mode 'programmer', terakhir kali melihat ketika memperbaiki roomba, dan ia sungguh-sungguh kagum; ketika itu juga ia jujur saat mengatakan Naruto terlihat keren.
Ting.
Sakura melangkah keluar lift ketika sampai, mata hijaunya tidak henti-hentinya memandang di sekelilingnya sekaligus mengecek nomor kamar.
Naruto berhenti melangkah ketika sampai di kamar bertuliskan nomor 200 dan memasukan kunci yang diberikan oleh Konan tadi lalu memutarnya.
Sakura memiringkan sedikit kepalanya, bingung tidak ada tulisan VIP melainkan private.
Cklek.
"Selamat datang di ruanganku," kata Naruto.
Sakura memasuki kamar tersebut, pertama kali yang dilihatnya adalah jendela besar yang membuat bibirnya ternganga, bukan karena besar jendela tersebut tetapi karena ia bisa melihat pemandangan menara eiffel, ia bergegas menuju ke sana, "Wah," ia berdecak kagum.
Sakura belum melihat menara eiffel sebelumnya, tentu ia pernah melihat lewat Gaara atau internet tapi ketika melihat langsung seperti ini, ia tidak bisa menghentikan perasaan kagumnya apalagi ia melihatnya di malam hari sebab ada aturan dilarang mengambil foto atau video menara eiffel di malam hari; sekarang ia tahu kenapa Naruto memilih kamar ini.
Pemandangannya sempurna.
"Hm?" Sakura merasa mendengar suara air mengalir, ia berbalik dan tidak mendapati Naruto; mungkin di kamar mandi? Ia pun berjalan menuju kamar mandi, mengetuk pintunya satu kali namun tak ada jawaban, ia agak ragu untuk masuk sebab ada kemungkinan kekasihnya mandi kan? Tetapi air mengalir tersebut tidak terdengar keras dari dalam kamar mandi—? Ia akhirnya memberanikan diri memutar kenop pintu—terkejut itu tidak terkunci. Ia berhenti, ragu lagi.
Apa Naruto sengaja tidak menguncinya? Agar ia masuk?
Tetapi jika benar, Naruto pasti langsung memanggilnya ketika ia membuka pintu kan? Ini kan tidak.
Sakura mengambil napas panjang, lalu mulai melangkah ke dalam.
Sepi...
Tidak ada siapa-siapa.
Bukan di sini sumber air mengalir tersebut.
Apa mungkin dari kamar sebelah?
Sakura menggelengkan kepalanya.
Suaranya terdengar jelas untuk suara air dari kamar sebelah.
"Ah!" Sakura terkesikap pelan melihat tempat shower, yang membuatnya terkejut adalah, ruangan itu hanya dilindungi oleh kaca transparan, iya transparan, siapa pun yang mandi di situ, tubuhnya akan terlihat dari luar!
What the—!?
Kemudian Sakura teringat Naruto dan memutar bola matanya malas. "Kenapa aku tidak terkejut? Oh iya... karena dia kan tukang pamer." katanya.
'Dasar narsis,'
Naruto selalu kagum dengan tubuh atletisnya, bahkan ia pernah sesekali memergoki kekasihnya mengagumi diri sendiri di depan cermin! Cermin!
Sakura tahu Naruto memiliki tubuh yang bagus, hanya saja ia terkadang tidak tahan dengan narsisnya itu, ia ingin memprotes tetapi ragu jika Naruto akan memutar balikan fakta bahwa ia mengagumi tubuh kekasihnya.
Sakura terbatuk.
'Pervert,'
"Chérie?"
Sakura terkesikap, ia lantas berbalik dan keluar dari kamar mandi, mendapati Naruto berdiri di depan jendela tempatnya tadi berdiri. "Aku di sini,"
Naruto berbalik ke arah sumber suara Sakura, baru berjalan mendekat, "Aku mencarimu," mata birunya melirik ke belakang Sakura. "Aku rasa kau sudah tahu kamar mandi,"
Sakura mengangguk. "Kau mesum," katanya sambil memutar bola matanya.
"Aku?" Naruto menunjuk dirinya sendiri polos. "Kenapa bisa? Siapa pun yang melihat tubuh indahku beruntung."
"Itulah alasannya," sindir Sakura.
"Hm," Naruto bergumam. "Kau tidak pernah memprotes ketika melihatnya," godanya diiringi kedipan mata jahil.
Sakura merona merah; inilah yang dimaksud Naruto akan memutar balikan apa kata-katanya. Malu, ia lantas membalikan tubuhnya marah.
"Maaf chérie, Aku hanya bergurau saja." kata Naruto. "Kau pasti lelah, kan? Aku sudah menyiapkan air hangat untuk kita."
"Eh?" air hangat. Sakura menatap Naruto lagi. "Tapi tadi aku ke kamar mandi tidak ada air di bak mandi."
"Maksudku jacuzzi," kata Naruto.
"Jacuzzi?" Sakura juga tidak melihatnya di kamar mandi. "Dimana?" tanyanya penasaran.
"Di bawah," sahut Naruto santai.
"Di bawah!?" seru Sakura syok.
"Akan aku tunjukan," kata Naruto.
Sakura dengan raut wajah kebingungan mengikuti dari belakang—yang menuju ke sebuah pintu, ia yakin itu pintu menuju kamar tidur sebab sejauh ini ia belum melihat kamar tidur.
Cklek.
Sakura masuk dan lagi terkesima dengan desain kamar tidur tersebut, ia berspekulasi jika Naruto akan memberi cat oranye sebab ia tahu betapa sukanya kekasihnya itu akan warna tersebut namun pemikirannya salah, desain warna kamar tidur justru klasik, berwarna abu-abu muda, tua, dan sedikit sentuhan hitam, terdapat ranjang ukuran king size. "Oh!"—ketika mata hijaunya menjelajahi, tanpa disengaja ia melihat sebuah tangga—?
Naruto mengikuti arah pandang Sakura. "Iya, di bawah ada jacuzzi, chérie."
'Sungguh?'
Sakura lantas mendekati tangga tersebut untuk memastikan, dan benar saja ketika ia memeriksa ke bawah terdapat jacuzzi yang sudah terisi air.
Naruto menuruni anak tangga, lalu menengadahkan kepalanya. "Kau mau ikut?" tanyanya.
"Eh?" ikut? Maksudnya mandi bersama? Pemikirannya sukses membuat rona di pipinya. "Tapi aku tidak bawa baju renang," bahkan baju ganti, Naruto kan berinisiatif membeli baju di paris, kan?
"Apakah itu penting?" tanya Naruto tanpa dosa. "Ini bukanlah pertama kalinya aku melihatmu telanjang," setelah mengatakannya, ia turun sambil membuka pakaiannya. "Aku tunggu,"
Sakura terdiam di tempat.
Tentu saja ini bukanlah pertama kalinya ia melihat Naruto tanpa pakaian atau pun sebaliknya, namun ini pertama kalinya mereka bersama setelah dua bulan, makanya ia gugup; saat mereka bersama di apartemen pun ia menyadari jika ia sensitif, padahal Naruto hanya menyentuhnya sedikit.
Kali ini tidak ada yang menghalangi mereka.
Sakura menepuk keningnya.
Tidak pernah terpikir olehnya ia akan mengalami dilema konyol seperti ini.
'Cukup.'
Sakura melepas pakaiannya satu per satu, ia merasa tidak nyaman jika turun ke bawah dengan keadaan seperti ini, jadi ia pun kembali menuju kamar mandi untuk mengambil jubah handuk sebab tadi ketika ia memeriksa, ia yakin melihatnya.
"Aha," Sakura berhasil menemukannya, senang, ia pun membentangkannya dan menemukan suatu keanehan.
Tunggu!
Ini bukanlah jubah mandi, cuma handuk biasa, dan—Sakura melilitkan handuk putih tersebut ke tubuhnya kemudian menghela napas pasrah mengetahui handuk itu pendek.
'Ini hampir sama seperti rok yang tadi kupakai,' keluh Sakura dalam hati.
Sakura kembali ke kamar mandi, dan berhenti di depan anak tangga, ia semakin gugup.
Inilah dia.
Naruto takkan kasar padanya kan—? Takkan melakukan sesuatu yang tidak disukainya kan—?
Sakura mengembuskan napasnya.
Kenapa ia jadi meragukan Naruto? Ia tahu betul, kekasihnya itu takkan melakukan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.
Sakura berjalan menuruni tangga, ia berhenti ketika sampai di bawah, mengamati sekeliling ruangan itu; ia terkejut ruang bagian bawah sama besarnya seperti di atas bahkan di sini ada alat olah raga—dan ada pintu terbuat dari kaca—?
'Ini bukan kamar hotel tapi penthouse,' kata Sakura dalam hati.
Sakura melihat Naruto sedang membelakanginya, memandang kota paris lewat jendela yang sama besarnya seperti di atas.
Naruto sungguh-sungguh menunggunya; apa yang akan terjadi jika ia lebih memilih tidur?
Ia sedikit senang mengetahui ini, dan juga Naruto tidak telanjang, terdapat handuk melingkar di pinggangnya, karena mungkin tahu itu akan membuat ia tak nyaman.
Sakura berjalan perlahan mendekati Naruto, setelah cukup dekat, ia memeluk kekasihnya dari belakang; ia dapat merasakan tubuh Naruto menegang, sebelum rileks kembali di pelukannya.
"Kau mengagetkanku," kata Naruto.
Sakura melepaskan pelukannya. "Sekali-sekali aku ingin berbuat jahil bukan korban."
Naruto berbalik. "Kau berhasil," katanya disertai senyum kecil.
Sakura membalas tersenyum juga. "Sejujurnya ada yang ingin aku bicarakan,"
"Apa itu?"
Sakura mengambil napas. "Aku dan yang lain sepakat mengadakan lelang kencan lagi,"
Naruto membeku, memproses apa yang terjadi.
Sakura menggaruk lengannya cemas.
Hening...
"Apa... ?" Naruto akhirnya mengerti apa dikatakan Sakura, ekspresi wajahnya kini berubah menjadi kesal. "Bukannya kau bilang hanya setahun sekali?" tanyanya.
"Well... kan ini sudah pergantian tahun," sahut Sakura. "Kurasa maksudmu lelang ini lebih cepat, benar kan? Sejujurnya, setelah sumbangan terbesarmu, tim peneliti mendapat kemajuan untuk menghambat sel kanker. Tetapi karena kabar gembira itu juga, kami butuh uang yang lebih besar jadi—"
"Aku akan membayar kekurangannya, dattebayo." Naruto memotong berapi-api. "Masalah selesai."
"Aku tidak mengijinkanmu," kata Sakura.
"Apa... ?" Naruto sama sekali tidak percaya apa yang baru saja didengarnya.
"Naruto, aku hanya memberitahumu bukan meminta uang padamu," kata Sakura. "Kau tidak usah cemas,"
"Tidak usah cemas?" Naruto mengulangi diiringi tawa mengejek. "Tidak usah cemas kau bilang? Bagaimana bisa aku tidak cemas jika kau akan berkencan dengan lelaki lain, hah?" lanjutnya sedikit emosi.
"Oh!" Sakura teringat soal itu; tentu saja, ia akan menjadi peserta seperti biasa dan akan ada yang menawar. "Kau bisa ikut seperti dulu," ia memberikan saran.
"Tentu saja," sahut Naruto cepat. "Aku akan mengatur jadwalku, mana mungkin aku membiarkan kekasihku disentuh lelaki lain."
Kata-kata Naruto terdengar posesif, namun lagi, Sakura menemukan itu hal yang manis, membuktikan perasaan Naruto kepadanya kuat.
Meski semanis apa pun itu, ia tetap berharap Naruto akan bersikap dewasa seperti dulu soal ia dekat dengan pria lain, mungkin pemicu ini karena rekan kerjanya jatuh hati padanya.
"Sesungguhnya... acara lelang itu akan dimulai tiga hari lagi," kata Sakura cemas.
Naruto speechless dengan mulut terbuka.
"Maaf ya aku tidak memberitahumu sejak awal, sebab aku tidak mau mengganggu bisnismu, kau kembali ke tokyo juga tiba-tiba," kata Sakura sekalem mungkin.
Naruto menepuk keningnya pasrah. "Chérie, kau selalu mengejutkanku setiap kali kita bertemu," keluhnya. "Ini mulai membosankan, kau tahu?"
"Sama seperti godaanmu," Sakura membalasnya malas.
"Kalau itu tidak akan pernah membosankan, melihat wajahmu merona menjadi kepuasan tersendiri bagiku." Naruto membalas tanpa dosa.
Sakura memutar bola matanya. "Mempermalukanku menjadi kepuasanmu? Itu maksudmu?"
Naruto menggelengkan kepalanya. "Melihatmu semakin cantik dengan rona merah di pipimu menjadi kepuasan tersendiri bagiku,"
Sakura syok, lalu ia merasakan pipinya memanas, dan menghela napas gusar; selama ini rayuan macam itu tidak pernah membuatnya tersanjung, kenapa Naruto yang mengatakannya berhasil membuatnya percaya? Merasa dirinya spesial?
Mungkin inilah perasaan wanita yang jatuh cinta; apa pun yang dikatakan pria yang dicintai mereka terdengar manis meskipun rayuan itu sederhana.
Sakura belum pernah berkencan dengan tipe pria seperti Naruto, ia selalu kencan dengan pria lebih pendiam, seperti Neji, berkencan dengan Naruto menjadi hal yang baru baginya.
"Kau mau berendam sekarang, dattebayo?" tanya Naruto, mengalihkan topik pembicaraan; semua berita ini membuat kepalanya tambah pusing.
Sakura terdiam.
Berendam sekarang?
Bagaimana dengan tidak?
Sakura terbatuk.
"Kau mau tetap berdiri?" tanya Naruto lagi setelah cukup lama tidak mendapat jawaban. "Aku duluan deh, chérie." lanjutnya, lalu berjalan menuju tempat jacuzzi berada, ia melepas handuknya.
Sakura yang melihatnya tidak bisa menghentikan otaknya untuk mengagumi tubuh Naruto; ia dapat melihat perubahan yang signifikan di tubuh kekasihnya, lengannya serta pahanya menjadi lebih kencang dan berotot; ia selalu tidak percaya Naruto selalu push up seribu kali sebab selama tinggal bersama seminggu, ia hanya melihat kekasihnya mencari pekerjaan, minum dan mengejar hatinya, tidak pernah melihat melakukan push up yang dibicarakan.
Mungkin setelah masalah selesai, Naruto kembali menjalani rutinitas sehatnya, menyewa personal trainer yang pernah disewanya sewaktu masih berbisnis dulu. Naruto harus berhenti menyewa karena memutuskan ke tokyo dengan uangnya sendiri.
Naruto pernah bilang padanya, motonya yaitu work hard, play hard, chérie.
Dan Sakura paham sekarang, mata hijaunya kini melihat perut six pack kekasihnya, terkagum lagi.
'Aku memanggil Naruto mesum, tapi sekarang ini aku mengagumi tubuh dia seperti orang mesum,' keluhnya dalam hati.
Perasaan cintanya ini membuatnya terkadang mual namun disaat bersamaan membuatnya juga senang.
Sakura memegang kepalanya yang pusing akan pikiran kacaunya.
"Kau masih berdiri?" tanya Naruto yang bersandar di jacuzzi sambil membentangkan tangannya, mengembalikan Sakura ke dunia nyata. "Berendam di jacuzzi tidaklah buruk, chérie."
Bukan jacuzzi yang membuatnya enggan berendam tapi kekasihnya.
"Aku akan jika kau tutup matamu," kata Sakura.
"Apa?" Naruto tidak mengerti. "Kenapa aku harus melakukannya?"
"Sudah lakukan saja!" perintah Sakura galak.
Naruto terhenyak sesaat, takut, untuk beberapa detik ia mengira tadi ibunya bukanlah Sakura. Ekspresi mereka mirip tadi. "Baiklah..." sahutnya pasrah, kemudian ia pun menutup kedua mata birunya.
Sakura memperhatikan sesaat apakah benar Naruto melaksanakan perintahnya, ketika ia mengetahui memang benar, ia pun berjalan menuju tempat Naruto berada, dan ia memeriksa kekasihnya lagi. "Kubilang tutup kan!?" serunya mengetahui Naruto mengintip.
"Gezzh," gerutu Naruto pelan.
Sakura melepas handuknya perlahan dan melilitkannya ke rambut panjangnya agar tidak basah barulah duduk di jacuzzi; untung Naruto memakai busa mandi jadi bagian bawah tubuhnya tidak kelihatan. "Buka matamu," katanya dengan senyuman.
Naruto membuka kedua matanya perlahan, dan mengembuskan napasnya kecewa mengetahui Sakura duduk di seberangnya. "Apa sih masalahmu?"
"Masalahku?" Sakura mengulanginya polos.
"Iya," Naruto mengangguk. "Aku tidak mengerti, ini bukan pertama kalinya, tapi kau bertingkah seperti kita belum," lanjutnya. "Kalau kau tidak nyaman, lebih baik shower-an saja, chérie. Aku takkan memaksamu,"
"Aku bukannya tidak nyaman," sahut Sakura.
"Lalu apa?" tanya Naruto malas. "Kau tidak suka aroma bunga iris?"
"Eh?" Sakura baru menyadari aroma tersebut bahkan ada kelopak bunga iris mengambang di antara busa-busa; ia terlalu fokus akan tubuh Naruto jadi tidak menyadarinya. "Aku suka kok,"
Naruto tidak menyahut. Menunggu.
Sakura mengembuskan napasnya. Satu. Dua. Tiga.
Ia akan menyesali ini.
"Aku gugup," kata Sakura pelan, terlalu pelan hingga ia bisa pastikan suaranya seperti bisikan.
"Apa... ?" Naruto tidak dapat mendengarnya, suara Sakura terlalu kecil. "Bisa kau ulangi?"
F—k it!
Peduli amat!
"Aku gugup!" seru Sakura.
Mata Naruto terbelalak, syok. "Untuk apa?" tanyanya polos.
Naruto benar-benar senang memancing perasaannya yang sesungguhnya.
Sakura berbalik, "Aku gugup karena ini pertama kalinya setelah dua bulan kita bersama." jelasnya. "Gugup soal sudah lama kau tidak menyentuh aku..."
Tuh, ia mengatakannya.
Sakura dapat memastikan pipinya merona merah.
Hening...
'Kenapa dia tidak mengatakan apa-apa?' Sakura terheran-heran.
Penasaran, Sakura melirikan mata hijaunya lewat bahunya, dan syok mengetahui pipi Naruto sama sepertinya merona merah.
Apa—?
Kenapa Naruto juga ikutan malu? Apa ia mengatakan hal salah?
"Hm?" pemikirannya terputus saat merasakan sesuatu melingkar di perutnya, detik berikutnya dengan gerakan cepat ia mendapati dirinya berada di depan Naruto.
Apa yang terjadi?
Ia masih sedikit melamun jadi ketika Naruto menariknya ke belakang, ia tidak melawan.
Sakura tidak bisa menjauh karena Naruto memeluknya. "Whaaa—?"
"Inilah yang membuatku tidak percaya jika kau bukan virgin," bisik Naruto di telinga kekasihnya, jahil.
Sakura speechless.
Apa—yang—dikatakan—Naruto—tadi—?
Satu kedutan muncul di kening Sakura. "Aku mengutarakan perasaanku sesuai permintaanmu tapi kau malah menganggapnya sebagai lelucon!?"
"Kau tahu bahwa ini fakta," kata Naruto tanpa dosa. "Kau bertingkah seperti wanita virgin." lanjutnya diiringi tawa.
Sakura naik darah sekarang, ia membalikan tubuhnya dan memukul dada Naruto secara brutal. "Kau baka!"
Naruto tetap tertawa.
Sakura syok. "Kau sungguh berpikir ini lucu?" tanyanya sambil menekankan di setiap kata-katanya.
"Tentu saja tidak," sahut Naruto tanpa dosa.
"Apa?" Sakura syok—lalu kenapa tertawa?
"Merasa baikan?" tanya Naruto lembut.
"Apa... ?" Sakura terheran-heran.
"Kau bilang gugup denganku," kata Naruto. "Sudah tidak lagi kan?"
'Oh...'
Sakura mengerti sekarang maksud Naruto sesungguhnya, ingin membuatnya nyaman.
Memang berhasil, ia tidak gugup lagi meskipun degub jantungnya berdetak lebih cepat, tetapi dipeluk dalam kondisi seperti ini tidak membuatnya gugup, ia merasa seperti mereka sedang kencan biasa.
Naruto selalu memakai cara unik untuk membuatnya lebih baik, meskipun kali ini ia tak terlalu setuju sebab tadi ia melukai dada kekasihnya, tapi ia tetap tersentuh.
Sakura yang tadinya selalu menolak beradu pandang, kini memandang Naruto dengan intens. Entah karena sebagai ucapan terima kasih atau terhanyut akan mata biru indah Naruto, ia memberikan satu kecupan singkat di bibir pria itu.
Naruto syok awalnya, sebelum kemudian tertawa lagi. "Sekarang kau menjadi dirimu sendiri lagi," candanya. "Heh... aku ini memang terhebat, dattebayo." godanya sambil mengedipkan matanya.
Sakura masih menatap Naruto serius, tidak tersinggung sama sekali akan gurauan kekasihnya. "Kau benar, koi."
Naruto kembali terkejut, ekpresinya yang tadi main-main berubah ikut serius. "Aku hampir lupa dengan sebutan itu karena kau hampir tidak pernah mengatakannya."
"Aku masih belum terbiasa," Sakura mengakuinya. "Aku akan tetap mencoba lebih sering,"
"Aku suka idemu," kata Naruto, lalu mengangkat tubuh Sakura ke pangkuannya. "Tapi sekarang, aku hanya ingin kau menyebut namaku." bisiknya sambil membelai naik-turun punggung halus kekasihnya.
Sakura memberikan senyum kecil, sebelum kemudian menyatukan kembali bibir mereka...
Malam itu, Naruto menunjukan seberapa rindunya bisa bersama denganya lagi...
.x.
Sakura membuka mata hijaunya perlahan, mendapati dirinya berada di depan gerbang universitas kyoto.
"Kenapa aku di sini?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Ingin mencari jawaban, Sakura berjalan memasuki universitas tersebut dengan ekspresi cemas sebab selama berjalan tidak ada siapa pun.
"Oh!" mata hijau Sakura melihat dua orang berdiri tidak jauh darinya, penasaran, ia pun mendekati kedua orang tersebut, bermaksud ingin bertanya, akan tetapi langkah kakinya berhenti ketika mengetahui kedua orang yang sedang beradu argumen tersebut adalah dirinya sendiri dan Shi—!?
'Apa yang terjadi!?' seru Sakura panik.
Di depannya adalah dirinya—? Apakah ini halusinasi—?
Sakura mengedipkan mata hijaunya berharap dirinya yang sedang berargumen dengan Shi lenyap, sayang usahanya gagal.
'Aku yang asli mana? Yang sedang berargumen? Tidak! Dia palsu!' seru Sakura dalam hati.
Mata hijaunya kembali memandang kedua insan tersebut.
"Aku ke sini karena ingin bersamamu!" seru Sakura palsu tidak mau mengalah.
Shi memandang tidak tertarik. "Kembalilah ke tokyo Sakura, selesaikan sekolahmu,"
Lalu Sakura palsu mulai menangis. "Kau berjanji padaku jika kita akan terus bersama, hiks."
"Dengan membawamu kabur, huh?" tanya Shi. "Sakura, aku ini hanya lelaki biasa dengan kehidupan biasa, sementara kau berbeda, kehidupan kita berbeda," lalu ia berbalik. "Tidak seharusnya kita bersama sejak awal."
"Apa!?" mata hijau Sakura palsu melebar syok. "Apa maksudmu? Kau mau bilang hubungan kita palsu!?"
Shi terdiam.
"Jawab aku!" seru Sakura palsu penuh emosi.
Shi berbalik, memandang Sakura palsu dengan tatapan mata yang dingin. "Kau benar, ini semua palsu..."
Sakura terbangun dari tidurnya syok, bulir-bulir keringat mulai keluar dari kulitnya.
'Mimpi—?'
Sakura bangkit dari ranjang dan berjalan menuju jendela, memandang kosong keluar yang kini sedang hujan salju.
Tadi itu bukanlah mimpi—ia pernah mengalaminya, bahkan kata-kata pertengkarannya dengan Shi sama persis.
Wajahnya tertunduk.
Kenapa ia memimpikan masa lalunya—? Apa otaknya sedang ingin menyampaikan sesuatu padanya—?
Jika benar—kenapa? Hubungannya dengan Shi sudah selesai ketika ia mengunjungi Shi di universitas kyoto.
Sudah berakhir—
—kan—?
Sakura punya Naruto sekarang, tidak ada yang perlu dicemaskan.
Ngomong-ngomong soal Naruto.
Sakura melirikan mata hijaunya ke ranjang lewat bahunya, dan menaikan sebelah alisnya heran tidak menemukan Naruto sedang tertidur di sana, lalu ia mengecek ke sisi lain, dan menemukan kekasihnya tengah tertidur di meja kerja.
'Apa setelah aku tertidur, Naruto bekerja!?' kata Sakura dalam hati, syok.
Mana mungkin kan—? Mereka melakukan 'sexy time' hingga—ugh, Sakura tidak mau mengingatnya sebab membuat tubuhnya panas lagi teringat yang sudah di lakukan oleh Naruto padanya.
Tetapi mata hijaunya tidak berbohong, Naruto sungguh bekerja, bisa diketahui dari buku—dokumen di atas meja yang sedikit berantakan menandakan ada aktifitas di sana.
'Stamina dia sungguh luar biasa,'
Sakura berjalan menuju ranjang untuk mengambil selimut barulah mendekati Naruto dan meletakan selimut tersebut di tubuh kekasihnya agar hangat.
Hening...
Sakura mendapati Naruto yang tertidur dengan wajah tertempel kertas hal yang imut jadi ia memotretnya memakai ponsel miliknya, kemudian memberi simbol hati, kecupan, serta awan. "Hm..."—kalimat apa yang harus ditulisnya di dalam awan putih ya? Ramen? Atau konsol game?
"Ah!" ia tahu apa yang harus ditulisnya! Dengan segera ia mengetiknya, dan memasang foto tersebut menjadi foto layar depan ponselnya. "Lebih baik," gumamnya puas; ia kembali menatap Naruto lagi, dan tersenyum lembut.
Sakura tadi bermimpi buruk membuatnya tidak nyaman untuk tidur lagi, namun setelah melihat Naruto tertidur dengan polosnya menaikan perasaannya lagi anehnya.
Sama seperti ketika ia memutuskan memeluk Naruto ketika ia mengalami mimpi buruk.
Naruto seperti memiliki daya tarik yang membuatnya berpikir positif, ia tidak bohong ketika kekasihnya itu adalah obatnya—candunya.
Sakura menyingkirkan poni yang menghalangi wajah Naruto dengan sangat hati-hati agar tidak terbangun.
Tetapi ia malah memimpikan pria lain setelah mereka bersama...
Sakura merasa dirinya seperti habis berselingkuh.
Menjijikan. Kesal. Dan yang terpenting dari itu semua, sedih.
Sakura kembali memandang keluar, menempelkan tangannya di jendela, menyaksikan salju yang turun perlahan ke bawah dalam diam.
'Aku tidak setia...'
Bersambung...
Note :
Artnia, Shiva and Moogle Square Enix
Capcom Bar Capcom
Kingdom Hearts 3 Square Enix dan Walt Disney
Kalian mau tau kenapa saya publish omake duluan?
Karena bulan januari-februari adalah masa mood terbaik saya, game yang saya tunggu bertahun-tahun, Kingdom Hearts 3 dan Resident Evil 2: Remake keluar di bulan itu
Makanya saya kesulitan nulis final chapter HCTM karna itu terlalu dark yang akhirnya bikin mood saya balik ke buruk makanya saya mutusin buat ini dulu
Meski banyak spoiler bertebaran dan mungkin kalian ga bakal kaget pas baca final chapter HCTM, bodo amat #plak
Kalian kaget dengan perubahan Sakura? Omake ini diambil tiga bulan setelah fic HCTM
Saya bingung sebenernya, fic ini dewasa atau engga, tetep rate M atau balik ke T? Saya minta pendapat kalian ya...
Klo kalian mau rating tetep M karena cuma minta lemon, nope, saya ga bakal buat, saya malu dan ga percaya diri bikinnya /
Buat yang penasaran sama NS di sini, saya pakai body Sakura di manga gaiden tapi rambutnya panjang, manga loh ya bukan anime, kalian tau seberapa f* design anime Sakura -_- klo body Naruto tetep yang di manga dewasanya bukan gaiden, pas Pain arc itu loh pas dia baca novel Jiraiya di gunung myoboku, ngebayangin jadi karakter novel Jiraiya, itu model Naruto yang saya bayangin, yang sebelah poninya rada panjang :3
Saya baca chapter itu tuh kirain spoiler Naru pas dewasa tapi ternyata... :')
Chapter ini bikin kepala saya pusing #cemburu*uhuk*
Saya mau tanya sama kalian, saya udah dipertengahan ngetik fic He Can't Tame Me, jadi kalian mau saya publish setengah itu atau nunggu selesai? Jawab ya
Thanks for reading...