Inferno

Inspired by Divina Commedia: Inferno the masterpiece of Dante Alighieri

The story itself from the idea of author, moonsea18

All of the character here owned by Riichiro Inagaki and Yusuke Murata


Chapter 5: Limbo

.

Hiruma memainkan handphonenya, ia menunggu Mamori mengganti bajunya dan membersihkan diri di toilet. Sementara itu, Yamato menghilang entah kemana. Terkadang, Hiruma ingin menjitak Yamato karena tidak bertanggung jawab atas tunangannya.

"Hiruma-san. Terima kasih atas jaketnya dan maaf jadi bau telur. Ah, lebih baik di buang saja dan ganti baru." Ujar Mamori, sejahat apapun Mamori ia masih tahu adab berterima kasih dan balas budi.

Hiruma menahan tangan Mamori untuk membuang jaket miliknya, "wait, di cuci akan bersih kembali. Tidak perlukan sampai membuang jaketku hanya karena bau telur."

Mamori bingung ada manusia di dunia ini yang masih menyimpan barang yang sudah pernah terkena bau tidak enak, tapi entah kenapa ia mengurungkan niatnya untuk membuang jaket Hiruma. Ia masih memegang paper bag berisi jaket Hiruma dan bajunya yang terkena telur.

"Baiklah, kemarikan jaket ku."

"Tidak. Akan kukembalikan nanti kalau sudah tercuci bersih. Kau minggu nanti misakan ? Akan aku kembalikan ketika misa besok minggu."

Hiruma tersenyum, gawat semakin dilihat ia semakin benar-benar jatuh hati pada Mamori. Tak lama berselang Yamato pun datang sembari membawa Ice Americano dan juga beberapa cemilan.

"Maaf ya. Aku tidak menunggumu karena ku kira ada Hiruma."

"Tidak apa. Oh ya, Takeru-kun. Bisakah aku berbicara denganmu sebentar. Berdua saja."

Hiruma langsung melengos pergi. Jujur saja ia penasaran, tapi bagaimana pun juga dia tidak mau ikut campur masalah temannya dan tunangannya itu. Dari sekian banyak orang ia menyayangkan kenapa harus Yamato yang menjadi tunangan Anezaki Mamori. Ia jadi terkesan jahat kalau berharap Yamato memutuskan hubungan pertunangannya dengan Mamori tetapi jujur ia berharap hal itu benar-benar terjadi.

Sementara itu Yamato dan Mamori terlihat serius dengan perbincangan mereka,

"Kau tidak mau berbuat apa-apa dengan gadis-gadis tadi ?" Tanya Yamato penasaran, ia penasaran apa yang akan Mamori lakukan kepada gadis yang melakukan public humiliate terhadap dirinya.

Mamori menyeringai, sebagai bentuk respond akan pertanyaan dari Yamato itu, kemudian ia bertanya kepada tunangannya itu,

"Kau tidak mau membantu ku melakukannya ? Kurasa kau sama buruknya denganku."

Yamato menimbang-nimbang, tentu saja ia ingin membantu tapi disatu sisi ia yakin Mamori lebih pro daripada dirinya dan lagipula ia tidak keberatan di samakan dengan Mamori. Karena pada dasarnya mereka sama. Hanya saja Yamato berada di batas antara hitam dan putih. Karena pada dasarnya ia tidak peduli kecuali kepada teman-temannya.

"Hmm. Bagaimana ya, I am curious about what you gonna do next."

"Aku kira aku akan melihat sesuatu yang menarik darimu. Ternyata susah juga ya."

.

.

Lain kali saja ya aku ceritakan soal hal itu,Max!

Kalimat itu terngiang-ngiang diotak Sena, jujur saja ia penasaran soal Mamori-nee nya itu. Sosok seperti apakah orang yang telah ia anggap kakak itu,penasaran dan gelisah Sena hanya bisa mengacak rambutnya frustasi. Juumonji yang daritadi memperhatikan Sena hanya bisa mengamati sahabatnya itu, saat seperti ini bagusnya mengajak Sena pergi berkeliling Florence.

"Oi. Bagaimana kalau kita ke Uffizi?" Usul Juumonji secara mendadak. Ia tidak tahu tempat apa yang harus ia kunjungi di Florence.

Togano terlihat menggeleng ia menolak ide Juumonji untuk pergi ke Uffizi, "aku menentang sekali idemu itu. Kau tahu kan ini musim libur? Uffizi pasti penuh dan sesak."

"Sebentar aku lihat dulu di web. Apakah ada tempat menarik buat dikunjungi."

Sena hanya terdiam, ia penasaran dengan cerita soal Mamori dan ia kehilangan mood untuk mengerjakan sesuatu, "maaf ya, aku sepertinya akan pulang ke apartemen. Maaf mengacaukan mood kalian."

"Sena. Kalau kau tidak ikut aku tidak akan menyapamu seumur hidupku." Ancam Juumonji, nadanya terdengar serius walaupun ancamannya terdengar kekanak-kanakan sekali.

"Ha?! Bodoh sekali memangnya kau bocah apa?!" Sena sama sekali tidak percaya mendengar ancaman kekanak-kanakan Juumonji itu. Ia ingin sekali memukul kepala Juumonji agar pemuda itu sadar bahwa dia sudah terjerumus terlalu jauh dan hampir sepenuhnya menjadi makhluk idiot.

"Kau bodoh ya. Memangnya Sena anak SD apa pakai kau ancam begitu." Timpal Togano yang kehilangan harapan setelah melihat perilaku temannya yang sudah menjadi idiot itu. Ia tidak menyangka circle pertemanannya dikelilingi oleh orang-orang idiot.

Juumonji menghiraukan teman-temannya itu dan dia masih mencari tempat yang menarik untuk dikunjungi. Sementara, Sena dan Togano meninggalkannya sendirian berdiri ditengah terik matahari.

"Ah! Ketemu!"

.

.

Suzuna sering menghabiskan waktunya di gereja, semenjak tidak lagi akrab dengan Mamori. Ia berpikir, mendekatkan diri pada Tuhan adalah satu-satunya cara melupakan serta menutupi rasa sakit akibat pengkhianatan oleh orang yang sudah ia anggap kakak sendiri itu. Suzuna menyadari sedari tadi ia dipandangi oleh om-om berbadan besar, namun ia memilih untuk menghiraukan tatapan om-om tersebut. Kalaupun om-om itu benar-benar masih ingat Tuhan kemungkinan besar om-om itu tidak melakukan hal bejat kepadanya di gereja.

"Kau kenal dengan Anezaki?"

Ia kaget, tidak ada yang pernah menanyakan hal tersebut kepadanya. Orang-orang lebih memilih diam dan bergunjing daripada menanyakan apakah benar ia kenal dengan Anezaki Mamori dan apakah benar ia memanfaatkan Anezaki Mamori. Membuatnya tidak pernah percaya lagi pada orang-orang disekitarnya. Statusnya sebagai penyandang disabilitas seolah-olah menjadi senjata bagi orang-orang untuk menghakimi dirinya. Karena itulah ia tidak pernah percaya lagi pada semua orang, kecuali kepada Padre Adriano.

"Tidak! Mana mungkin aku kenal." Ia menjawab dengan bahasa isyarat. Tidak mungkin juga om-om ini paham apa yang ia katakan.

"Oh. Mengejutkan ya, kupikir kau kenal. Maaf sepertinya aku salah orang."

Suzuna terkejut, tentu saja tidak banyak orang yang mengerti bahasa isyarat. Kalaupun ada, mereka tidak selancar ini. Bahkan kakaknya masih sedikit kesulitan berkomunikasi dengannya menggunakan bahasa isyarat.

"Perkenalan aku Gen Takekura, biasa dipanggil Musashi. Kau sendiri siapa?"

"Suzuna Taki. Panggil saja Suzuna."

Suzuna mengulurkan tangannya dan disambut oleh tangan Musashi,mereka berjabat tangan sembari tersenyum. Suzuna merasakan hatinya menghangat sedikit mengetahui ada orang yang mengerti dan mau berkomunikasi dengannya. Sudah lama sekali rasanya ia tidak pernah berjabat tangan dengan orang lain, ia hampir lupa rasanya. Hari ini ia ingin berterima kasih pada Tuhan karena sudah mendatangkan orang seperti Musashi di hidupnya yang menyedihkan ini.

.

.

"Apa-apaan ini?!"

Kedua gadis itu nampak terkukung oleh orang-orang berjas hitam di toilet pusat perbelanjaan. Mereka sedikit takut, sehingga mereka sedikit berjalan mundur ke arah bilik toilet.

"Ka-kalian siapa?"

"Let's just said I am here to make all of you suffer."

Suara gadis itu berteriak dan menangis terdengar dengan kencang di toilet, semua orang sadar tapi tidak berani ikut campur. Mereka tahu akibatnya kalau sampai mereka ikut campur. Di depan toilet berdiri seorang pemuda tinggi semampai dengan setelan jas lengkapnya. Ia kemudian memilih merokok untung menghilangkan suara menjijikan dari gadis-gadis itu. Nyatanya, gadis-gadis itu tetap berteriak dan menangis. Tidak ada pilihan lain, ia pun memilih mendengarkan musik dari handphonenya

Ia kemudian melihat kearah nona-nya yang tengah tertawa riang tanpa sedikitpun berpikir gadis-gadis yang tengah disiksa di toilet ini. Namun, sejelek apapun nona-nya itu, ia tetap berada di sisi nona mudanya itu, walaupun ia tahu ia tidak akan pernah menjadi seseorang yang penting bagi nona mudanya itu. Perumpamaan yang pas adalah seperti berenang di lautan yang luas dan tidak pernah mencapai tujuannya. Sama seperti pemuda itu, pemuda berambut blonde dan ber-piercieng itu. Mereka berdua sama-sama berenang dilautan luas tanpa tujuan. Namun, perbedaan dari mereka berdua adalah ia siap untuk melepaskan dan kembali ke daratan, sementara pemuda itu masih berenang dilautan tiada akhir itu entah sampai kapan.

Suara teriakan dan tangisan itu terdengar berakhir,ia mengintip ke dalam toilet. Ada rasa kasihan yang merasuki dirinya, namun pada akhirnya tetap saja rasa itu hanya sekedar rasa yang lewat sesaat. Kasihan? Pada gadis-gadis ini? Ia tidak mengenal mereka dan gadis-gadis ini pun tidak akan berguna juga dihidupnya. Semua terjadi dengan cepat, gadis-gadis itu keluar dari toilet dengan secepat kilat dan beberapa detik kemudian earphone yang ia pakai untuk mendengarkan musik sudah terlepas begitu saja.

"Matteo, kenapa dengan gadis-gadis itu?"

"Mungkin habis melihat kecoa."

Kemudian fokusnya berganti menjadi pemandangan punggung para anak-anak ini. Ia terlalu larut dalam pikirannya sehingga ia tidak mendengar apapun,

"Matteo? Kau dengar aku tidak?"

"Ah ya, Signorina maaf aku tidak fokus, ada apa ya?"

"Aku dan Yamato ingin membeli burger disitu. Kau temani Hiruma-san untuk mencari tempat duduk."

"Baiklah."

Kadang perasaan itu selalu datang, perasaan seperti ia benar-benar belong in here. Belong to the ocean. Tapi, terkadang ia sadar bahwa itu ilusi yang di ciptakan otaknya karena terlalu lama berada di tempat ini. Mungkin, karena ia pernah merasa terbengkalai dan tak punya tempat yang benar-benar belong for him. The ocean make him feel that way, the ocean make him feel the warmth of it and being one with the waves.

"Matteo, kau merasakannya bukan saat bersama Anezaki. Seperti berenang dilautan yang luas."

"Hmm. Entahlah, mungkin perasaan mu saja."

Hiruma sadar, Matteo merasakannya. Sama seperti apa yang ia rasakan.

.

.

Juumonji dengan kamera digitalnya berkeliling bersama Togano dan juga Sena. Ia lebih tepatnya menyeret paksa mereka berdua. Jujur saja perkataan bocah monyet tadi benar-benar membuatnya khawatir luar biasa. Lebih tepatnya khawatir dengan sepupunya, Hiruma. Tentu saja orang yang di khawatirkan tidak terlalu peduli karena cinta itu buta sehingga matanya benar-benar tertutup dan tidak bisa melihat kelicikan nona muda itu. Jadi, ia mengerti sekali rasa penasaran Sena tentang nona muda itu. Berbeda dengan Sena, Juumonji tidak pernah menunjukkan perasaannya secara gamblang. Orang-orang akan berpikir bahwa ia sama sekali tidak peduli padahal sebenarnya tidak.

"Kazuki, are you kidding me right? We just happened to go to park. I just sick looking at these trees."

"Ini Giardino Bardini, galeri sekaligus villa. Selain itu didalam ada bar sih jadi kita bisa sekalian makan siang."

"Ha?! Terus? Aku tau kan bakal begini jadinya, aku sudah kontak si monyet itu supaya kemari."

Sena langsung berbinar mendengar Togano memberikan harapan padanya, sementara Juumonji ia tidak tahu harus berkata apa. Sepertinya Togano sadar ia mengkhawatirkan Hiruma. Padahal ia sudah berusaha keras menyembunyikannya .

"Baiklah, mari kita berkeliling sebentar dan kemudian makan siang di dalam."

Mereka berkeliling dan mengambil beberapa foto dan mengistirahatkan diri mereka di dalam bar. Mereka memilih tempat duduk di dekat jendela, jadi mereka bisa melihat pemandangan diluar.

"Togano, kau bisa tahu kontak bocah monyet itu darimana?" Tanya Juumonji penasaran, begitupun Sena ia melihat kearah Togano dengan rasa penasaran.

"Oh. Pas kalian sudah pergi jauh aku menyempatkan diri menanyakan nama dan kontaknya." Jawab Togano kemudian ia menyeruput mojitonya.

"Jujur saja, semenjak dia mention soal Anezaki itu. Aku jadi khawatir sendiri." Lanjut Togano lagi tidak hanya Juumonji saja, ia khawatir dengan Hiruma. Ada alasan juga kenapa mereka begitu

"Eh?! Kenapa?" Tanya Sena penasaran atau mungkin ia tidak penasaran entah kenapa ia tahu alasannya hanya saja ia seperti ingin memastikan sesuatu.

"Soal itu, ada dua orang yang aku tahu dekat dengan Anezaki. Tapi aku khawatir sama satu orang saja, kalau si brengsek satu itu sih tidak sama sekali." Jawab Togano, tentu saja ia tidak mengkhawatirkan Yamato. Yamato itu jiwa bertahan hidupnya lebih kuat dari siapa pun. Jadi, Anezaki bisa dibilang sederajat dengan manusia seperti Yamato.

"Oh ya, tadi kau bilang kau tahu nama bocah monyet itu. Namanya siapa?"

Togano membuka mulutnya untuk menjawab dan belum sempat ia menjawab seseorang langsung memotong, "monyet? Siapa yang kau panggil monyet,max? Aku ini punya nama ya dan nama ku Raimon Taro atau Monta!"

"Monta, tenanglah. Juumonji memang seperti itu. Ah, perkenalkan aku Kobayakawa Sena dan dia Juumonji Kazuki. Maaf ya, kalau kami jadi menganggu waktumu."

Monta kemudian duduk, dia menarik napas panjang. Ia jujur saja tidak mengerti kenapa manusia-manusia ini mau mendengarkan ceritanya, jujur saja dia tahu mereka semua ini kenal Anezaki Mamori dan pada akhirnya mereka akan memihak pada nona muda itu.

"Monyet, ceritakan soal kau dan Anezaki Mamori. Kalau benar nona muda itu sejahat yang kau katakan, ayo lakukan sesuatu untuk membalas dendam." Ujar Juumonji membuka percakapan langsung to the point.

"Juumonji, apa itu benar-benar perlu maksudku kita bicara soal Mamori-nee loh." Sena nampak tidak yakin dengan ide balas dendam Juumonji, jujur saja sih ia juga tidak peduli kalau ia akan menjadi musuh orang yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri.

"Sena, bukankah kau juga berpikir begitu? Kau bakal melakukan apapun demi Suzuna bukan? Kau juga tidak peduli mau hubunganmu hancur jugakan dengan Mamori." Ujar Togano, ia tahu apa yang dipikirkan Sena saat ini. Mereka juga satu tujuan, ia tidak mau saja Hiruma dekat dengan gadis seperti itu.

Monta menghela napas lagi, ia tidak tahu apa maksud dari tiga orang ini. Jelas saja ia tidak menargetkan balas dendam pada Mamori. Jujur saja ia tidak mau berhadapan dengan Matteo, terakhir kali ia lihat Matteo mengamuk saja ia sudah merinding ketakutan.

"Kalian berpikir aku mau balas dendam? Kalau balas dendam sudah kulakukan sedari dulu,max." Terang Monta malas, ia nampak menguap lebar. Ia ingin tiduran di rumput rasanya sekarang.

"Terus? Kau tidak ada pikiran untuk begitu dan mau selamanya tinggal di situ?!" Ujar Juumonji emosi, wajahnya nampak terlihat kesal dan ingin sekali menonjok Monta.

"Ha. kau tidak paham ya. Aku belum bisa balas dendam kalau si Matteo aka bodyguard super seram yang masih nempel sama nona muda itu,max. Kalaupun aku ceritakan soal aku dan Mamori, memang kalian siap menghadapi Matteo dan pasukan Anezaki lainnya,max?"

"Makanya ceritakan saja dulu,bodoh!"

"Baiklah-baiklah kalau kalian memaksa, max."

.

.

Sebenarnya Hiruma bingung, sejak kapan bodyguard Mamori ada di Milan. Tentu saja kalau ia bertanya akan terdengar tidak etis, jadi menahannya. Selama perjalanan pulang ia pun masih sibuk memikirkan hal itu, Yamato yang melihat sahabatnya gundah gulana itu langsung menjitak kepala sahabatnya itu.

"Tch! Kau mau cari ribut ya,sialan!" Umpat Hiruma kesal karena dijitak oleh Yamato, ia nampak mengelus kepalanya yang dijitak itu

"Kalau ga mau dijitak jangan pasang wajah galau seperti itu dong." Ujar Yamato

"Lagipula wajahmu mengatakan semuanya. Kau bingungkan kenapa bodyguard Anezaki disini. If I tell you the real reason then will you believe it? Aku tahu sih kau tidak akan percaya jadi aku nggak akan jawab." Lanjut Yamato sembari memandang keluar jendela.

Hiruma hanya terdiam, ia jujur saja tidak paham maksud Yamato. Alasan sebenarnya? Yamato malah terdengar meragukan tunangannya itu, apa yang sebenarnya dipikirkan oleh anak itu? Begitulah pikirnya. Kepalanya sakit sekali memikirkan hal-hal seperti ini.

"Hiruma, kau suka dengan Anezaki?" Tanya Yamato dan pertanyaannya tepat sasaran, Hiruma langsung memerah.

"Ma-mana mungkin bodoh. Mana mungkin aku menyukai tunangannya sahabatku sendiri." Jawab Hiruma panik, sayangnya Yamato tidak peduli dengan jawaban Hiruma.

"Let me tell you something. I am gay. I dated Taka for almost two years."

Seketika jantung Hiruma serasa berhenti karena pengakuan Yamato, jujur saja ia tahu Yamato dan Taka kemungkinan berkencan tapi ia masih menepis soal hal itu karena ia positif saja kalau mereka berdua cuma teman dekat. Namun, ia benar-benar kaget ketika mendapati Anezaki berdiri menatap kearah Yamato dengan tatapan yang sulit diartikan, pasti ia terluka. Begitu pikirnya.

Sementara itu Mamori yang baru saja membeli milk tea dan kembali ke gerbong kereta mereka tiba-tiba saja dikejutkan oleh Yamato yang coming out. Ia tidak menyangka tunangannya ternyata gay, ia tidak melihat ada tanda-tanda bahwa Yamato gay dan punya pacar. Seketika saja ia berpikir ini kesempatan yang bisa dimanfaatkan untuk melepas ikatannya dengan Yamato sebagai tunangan.

"Anezaki? Sejak kapan kau kembali?" Tanya Yamato kaget ketika melihat Mamori sudah berdiri di dekat kursi mereka.

"Sejak kau coming out to him." Jawab Mamori yang kemudian duduk dan mengoper minuman ke Yamato dan juga Hiruma

"Kalau sedari awal kau bilang kepadaku, aku kan bisa setidaknya menolak perjodohan ini." Lanjut Mamori sembari menyeruput milk tea nya

"Kau pikir segampang itu. Orang tuaku lebih konservatif dari orang tuamu. Mereka bisa-bisa mengirim ku ke Vatican." Terang Yamato, ia tidak mau berakhir menjadi priest.

"Jadi kau baru coming out ke Hiruma saja?" Tanya Mamori penasaran

"Ya. It should be him to found out first." Jawab Yamato membuat Mamori penasaran seberapa akrab kedua orang ini

"He. Kalau kalian mau aku yang tahu kenapa baru ngomong sekarang ya." Ujar Hiruma kesal, ia kesal saja ia baru tahu sekarang

"You must be suspect us first right? I mean it almost two years how you not get that gay vibe?" Tanya Yamato penasaran, tentu saja ia dan Taka selalu terlihat frontal ketika di depan Hiruma, Musashi dan Agon. Makanya, ia tidak percaya manusia ini tidak menangkap sama sekali bahwa mereka pacaran

"Ya curiga sih. Cuma positif thinking aja siapa tau kalian temenan. Tapi tetap saja aku merasa ditipu." Jawab Hiruma kesal. Ia masih kesal itu saja inti dari semua ini.

"Hiruma about what I've been asking you before, how about it?" Tanya Yamato penasaran

"Kau taukan jawabannya."Jawab Hiruma malu-malu, Yamato hanya bisa tersenyum yang bisa ia lakukan saat ini adalah mendukung sahabatnya itu.

.

.

Dari sekian banyak manusia, kenapa Agon harus bertemu dengan Unsui di lobi apartemennya? Bukannya ia tidak mau bertemu dengan adiknya tapi untuk beberapa hal tertentu diantara dia dan adiknya itu, ia memutuskan untuk tidak berkomunikasi dengan kembarannya itu. Kenapa dari sekian banyak manusia ia harus bertemu dengan Unsui? Apakah Tuhan sedang memberikan ujian kepadanya? Apakah Tuhan sedang menghukumnya karena mengintip anak-anak basket cewek berganti baju diruang klub kampus? Kalau memang iya, kenapa hukumannya harus bertemu dengan Unsui? Kenapa Tuhan langsung membeirikan hukuman terberat kepada dirinya? Banyak pertanyaan yang menumpuk dikepalanya saat ini membuatnya langsung sakit kepala karena pertanyaan yang menumpuk diotaknya.

"Agon, kukira kau pulangnya masih lama. Untung kita masih sempat bertemu." Ujar Unsui membuka percakapan kepada dirinya, ia merasa seperti mendengar sesuatu yang salah dari perkataan Unsui tadi. Membuatnya ingin memeriksakan telinganya ke dokter THT sekarang juga, mungkin ia sudah mengalami kegagalan fungsi di telinganya sehingga kata yang didengarnya adalah kata yang salah.

"Ha? Kau mencariku atau bagaimana nih?" Tanya Agon tidak yakin, ia masih percaya akan teori bahwa telinganya sudah mengalami kegagalan fungsi jadi ia mendengar sesuatu yang salah, Unsui mencarinya adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi sampai langit terbelah menjadi dua atau Padre Adriano berhenti menjadi Priest ini adalah sesuatu yang mustahil.

"Iya. Aku mencarimu, berhubung aku sedang ada urusan di Florences." Jawab Unsui dengan aura positif dan aura bahagia yang menguar-nguar seperti seorang adik yang merindukan kakaknya, sesuatu yang Agon pikir adalah sesuatu yang mustahil. Kemungkinan besar dia sedang berhalusniasi hari ini dan membutuhkan wake up call dari Musashi.

"Ha? Urusan di Florences, priest sepertimu kesini karena apa? Ada seseorang yang ingin kau exorcist?" Tanya Agon bingung, ia masih berkutat dengan teori bahwa dirinya sedang berhalusinasi dan pendengarannya sedang bermasalah.

"Bukan, Padre Adriano mengundangku untuk menikmati opera di Uffizi. Sekalian juga aku sudah lama tidak bertemu denganmu. Kau aneh deh, seperti orang yang nggak yakin kalau aku beneran datang kesini karena mau menemuimu."Unsui menjawab pertanyaan Agon dengan wajah bingung, ia bingung dengan sikap Agon yang bingung dengan kedatangannya kesini dengan alasan untuk menengok dirinya. Tentu saja Unsui datang kemari untuk bertemu Agon, kalau tidak kenapa ia repot-repot kemari.

Agon hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu, kemudian ia mengajak Unsui untuk naik keatas. Untungnya lift saat ini kosong jadi mereka bisa dengan cepat menuju ke apartemennnya tanpa hambatan. Namun, sialnya perjalanan menuju keatas malah terkesan awkward dan tidak ada satupun diantara mereka yang bersuara. Agon sama sekali tidak berani membuka suaranya, ia tidak mau saja merusak mood yang Unsui bawa menjadi mood yang sangat buruk.

"Kudengar dari Padre, Hiruma berurusan dengan nona Anezaki ya?" Tanya Unsui langsung pada intinya, akhirnya Agon tahu kenapa Unsui bersusah payah datang ke apartemennya saat ini. Entah kenapa ia bersyukur bahwa ia bukan alasan Unsui untuk datang.

"Ah, dia jatuh cinta pada nona muda itu." Jawab Agon tanpa basa-basi entah kenapa ia merasa ada yang janggal dari pertanyaan Unsui kepadanya tadi, ia kemudian mengingat-ngingat kembali pertanyaan dari saudaranya itu,

"Padre tahu darimana?!" Tanya Agon panik, ia menyadari bahwa Padre Adriano tahu soal Hiruma dan Anezaki. Sekarang ia tidak tahu lagi bagaimana menghadapi Padre. Tentu saja orang yang harus mereka hindari saat ini soal Hiruma dan Anezaki adalah Padre Adriano.

"Kau tidak tahu ya beliau sangat peka kalau urusan soal anak angkatnya itu." Jawab Unsui dengan tenang, Agon bingung bagaimana bisa kembarannya ini bisa tenang dan santai seperti sedang liburan di Hawaii. Ia sendiri saja sudah panik setengah mati soal hal ini.

"Agon, sepertinya kau harus rajin ke gereja mulai dari sekarang. Karena akan banyak rintangan dari jalan yang dipilih Hiruma." Lanjut Unsui serius, tentu saja Agon sadar akan hal itu. Mungkin ia akan mengikuti saran Unsui untuk rajin pergi ke gereja, berdoa untuk keselamatannya dan juga keselamtan teman-temannya, khususnya Hiruma.

.

.

Tidak ada satu pun diantara mereka bertiga yang membuka suara setelah mendengar cerita Monta. Pertama-tama, mereka tidak menyangka ada manusia seperti Mamori. Apalagi Sena, ia tidak habis pikir kalau Mamori adalah tipe orang seperti itu. Selama ini Mamori yang ia lihat adalah gadis berwajah dan berhati malaikat, sedangkan cerita Monta terdengar seperti kalau Mamori ini adalah serigala berbulu domba atau iblis yang menyamar menjadi malaikat. Sekarang otaknya sakit memikirkan cerita Monta tadi.

"Sial! Kok aku tidak menyangka nona muda ini sejahat itu ya." Ujar Juumonji membuka percakapan

"Dia itu benar-benar iblis yang patut ditakuti." Timpal Togano menyambung perkataan Juumonji

"Sudah kubilangkan, percuma kita balas dendam. Aku tidak mau orang-orang disekitarku terluka." Ujar Monta sembari memijat kepalanya, ia selalu pusing ketika menceritakan masa lalunya bersama nona muda Anezaki itu, sepertinya karena ingatan yang membekas diotaknya hanya ingatan yang jelek saja soal nona ini.

Sena hanya dapat terdiam dan kemudian ia membuka suaranya dan menyarankan sesuatu kepada teman-temannya, "kurasa kita bisa balas dendam. Kurasa kita bisa melakukannya."

"Ha? Bagaimana caranya,Max? Kau yakin? Bukannya kau dekat dengan Anezaki?" Monta memburu Sena dengan berbagai pertanyaan, sementara Sena hanya terdiam dan Juumonji yang tahu arah pembicaraan Sena langsung menatap Sena dengan pandangan tidak terima.

"Tidak! Aku tahu apa yang ada diotakmu, tidak akan. Aku tidak terima rencanamu!" Ujar Juumonji emosi, apapun alasannya ia tidak mau rencana yang ada diotak Sena terwujud, sebagus apapun rencananya ia tidak mau melakukannya.

"Kazuki, it's not bad idea. I mean it is the perfect idea to bring down that bitch. If that success, he will seeing her worst side and leave her." Ujar Togano meyakinkan Juumonji, sementara Juumonji menatap Togano dengan tatapan tidak percaya, sementara itu Monta bingung dengan arah pembicaraan tiga orang ini.

"Apa yang kalian bicarakan sih, Max?" Tanya Monta kesal dengan arah pembicaraan yang ambigu dan tidak jelas ini, Togano menghela napas panjang dan ia melirik kearah Sena yang masih shock karena cerita Monta. Mungkin pembicaraannya tadi hanya sekedar shock talk.

"Rencana balas dendam terhadap Anezaki Mamori dengan menggunakan sepupunya Juumonji sebagai sarana kita balas dendam." Jawab Sena dengan tenang, ia memutuskan untuk membalas dendam Suzuna kepada Mamori. Ia tidak peduli sejujurnya dengan statusnya dengan Anezaki Mamori, dari awal mereka bertemu ia tidak terlalu peduli dengan nona muda itu, ia mungkin menganggap Mamori seperti kakaknya karena memang ia tidak pernah punya kakak. Selebihnya mereka hanya orang asing.

"Lebih tepatnya, kita menggunakan love as revenge kepada nona muda itu." Sambung Togano yang kemudian membuat Monta tersedak minumannya, tentu saja ide brilian ini tidak pernah terpikirkan oleh Monta, ia juga tidak menyangka nona muda itu bisa jatuh cinta juga.

.

.

Mereka sampai di mansion milik keluarga Anezaki, Hiruma terkesima dengan mansion ini. Ia sama sekali belum pernah melihat mansion di Florence yang sebesar ini. Ia kemudian sadar betapa kaya dan berpengaruhnya keluarga Anezaki jika dilihat dari mansion milik mereka ini, Hiruma merasa sedikit ciut ketika memiliki niat untuk mendekati nona Anezaki ini. Dia hanya rakyat jelata dibandingkan dengan Anezaki yang seperti tuan putri yang tinggal di istana.

"Terima kasih banyak Yamato dan Hiruma. Oh ya Hiruma, jaketmu nanti minggu aku bawa ya."

Belum sempat ia mengatakan sesuatu Mamori telah masuk kerumahnya, kecewa tentu saja namun apa haknya untuk kecewa lagipula ia bukan siapa-siapanya Anezaki. Kekasih juga bukan, ia hanya partikel kecil yang ada dikehidupan nona muda itu. Yamato hanya menghela napas panjang melihat temannya yang menatap rumah Anezaki dengan perasaan sendu. Andai saja Hiruma tahu siapa Mamori sebenarnya, apakah ia akan meninggalkan gadis itu dan melupakannya? Pertanyaan itu terus berputar di otaknya, ia yang sadar masih dihalaman rumah Mamori langsung tancap gas mengantarkan Hiruma pulang ke apartemennya itu.

"Kau yakin soal aku mendekati Anezaki? Apa tidak masalah?" Tanya Hiruma agak ragu, ia ragu setelah sadar perbedaannya dengan Anezaki sangatlah jauh. Bagai langit dan bumi, gadis malaikat seperti Anezaki mana mau sama pemuda beringas dan kayak setan seperti Hiruma ini.

"Tidak masalah sih, tapi keliatannya kau ragu ya. Sangat disayangkan sih, padahal aku bisa membantumu." Jawab Yamato santai, nadanya mungkin terdengar seperti tidak peduli namun sebenarnya ia menyakinkan sahabatnya itu agar tidak ragu dan berjuang sampai titik darah penghabisan.

Hiruma tidak menjawab, ia benar-benar ragu dan bingung apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Ia tidak yakin sama sekali apakah tepat baginya untuk mendekati Mamori, banyak keraguan yang muncul dihatinya. Ia jadi membayangkan dirinya adalah Dante yang pergi ke neraka demi menuju surga dan menemui pujaan hatinya, namun Dante yakin dan mantap dengan keputusannya sementara dirinya ragu dengan keputusannya itu. Apakah ia benar-benar siap untuk hal terburuk ketika mendekati nona muda itu? Kepalanya sakit dan ia akhirnya memutuskan untuk memejamkan matanya membuang semua pikiran yang ada diotaknya. Pikirannya melayang bersamaan dengan mobil Yamato yang menembus jalanan kota Florences yang padat itu.

.

.

Tiga hari kemudian, Hiruma mendapati dirinya duduk disebelah Mamori ketika misa pagi. Semenjak kejadian di Milan kemarin otaknya tida k berfungsi dengan normal. Bahkan ia tidak sadar sekarang sudah hari minggu dan dia juga tidak sadar sekarang ia berada disebelah Mamori dan juga ia tidak sadar bahwa Mamori baru saja mengembalikan jaketnya. Otaknya benar-benar berhenti berfungsi semenjak tiga hari yang lalu, tentu saja hal ini membuat semua orang yang ada disekitarnya selama tiga hari berturut-turut menjadi was-was kalau saja pemuda berambut pirang itu tiba-tiba saja tidak sadar terjun bebas dari atap apartemennya.

"Terima kasih sudah mengembalikan jaketku ya." Ujar Hiruma pada akhirnya membuka pembicaraan mereka disaat Padre Adriano sedang berkhotbah, ia siap dimarahi oleh ayah angkatnya itu karena berbicara ketika misa, daripada ia mengalami kegagalan fungsi otak karena sesuatu hal yang tidak ia ketahui atau mungkin ia tahu alasannya tetapi ia memilih melupakannya.

"Sama-sama, aku mungkin selama ini aneh ya main buang-buang pakaian kalau sudah keterlaluan kotornya." Balas Mamori, matanya boleh saja fokus memperhatikan khotbah tetapi ia lebih fokus berbicara dengan Hiruma. Jujur saja belakangan ini ia tertarik dengan pemuda berambut pirang itu.

Hiruma ingin melanjutkan pembicaraannya dengan Mamori,namun dibelakang mereka aura mematikan dari Matteo menguar dengan sangat kuat membuat Hiruma agak sangsi ingin melanjutkan pembicaraannya lebih lanjut, ia lupa kalau Matteo adalah orang yang harus ia langkahi terlebih dahulu mayatnya kalau mau mendekati nona muda Anezaki itu. Jika dipikir-pikir lagi, ia dan Mamori sama sekali tidak ada progress dan hanya menunggu tidak kepastian saja. Ia tidak mengharapkan progres yang cepat, tapi entah kenapa dia ingin sekali lebih dekat tanpa takut dan ragu. Ia ingin lebih dekat dan menggunakan first name basis kepada nona muda itu. Ragu kembali merasuki dirinya, ia ragu apa yang akan terjadi kedepannya. Keraguannya yang membawanya menuju ketidakpastian dan berakhir menjadi fase tanpa progress.

.

.

limbo (n)

noun

an uncertain situationthat you cannot control and in which there is no progress or improvement

To be Continue


Hola, mohon maaf atas keterlambatan author dalam mengupdate chapter kali ini. Chapter ini paling susah banget pengerjaannya, author sampe beberapa kali bongkar ceritanya karena ga cocok dihati juga dan pada akhirnya setelah beberapa kali dibongkar nemu jalan cerita yang pas untuk chapter ini dan akhirnya update chapter kelima. Padahal di chapter ini mau reveal sedikit hubungan Monta, Suzuna sama Mamori tapi author berpikir keras gimana cara masukinnya dan memutuskan untuk remain as mystery how they know each other. Duh maafkan atas ke plin-planan author ini.

By the way, I wanna say thank you to all of you who read, review, favorite and follow this stupid fanfiction. Terima kasih sekali lagi author ucapkan~

Sekian and see you on the next chap, laddies~

BYE~