Inferno

Inspired by Divina Commedia: Inferno the masterpiece of Dante Alighieri

The story itself from the idea of author, moonsea18

All of the character here owned by Riichiro Inagaki and Yusuke Murata

*0*

Chapter 1: Angeli E Demoni

.

.

Università degli Studi di Firenze

Plakat itu bertengger kokoh tak goyah dan tak termakan waktu. Sama seperti kaki jenjang yang berlari membawa peralatan melukisnya, melewati kerumunan mahasiswa-mahasiswa.

Sial, aku terlambat!

Begitulah batinnya berseru, berkat kaki jenjangnya itu ia mampu meminimalisir waktu keterlambatannya. Dosennya juga baru masuk ke kelas, wajahnya penuh peluh membuat sang dosen tahu anak ini berlari dari ujung ke ujung demi tidak terlambat.

"Maaf,saya terlambat." Serunya sambil membungkuk kebiasaan dari negara ia berasal, Jepang.

Sang dosen masih mentolerir keterlambatannya itu dan menyuruhnya untuk duduk. Tak lupa mengucapkan terima kasih dia pun duduk dan mengeluarkan peralatan melukisnya.

"Hampir saja kau di hukum."

"Aku tahu, kalau saja skuterku tidak rusak."

.

.

Matahari semakin terik,terdengar teriakan dari berbagai arah. Entah dalam bahasa Inggris ataupun Italia, cafe yang jaraknya cuma lima menit dari kampus itu menjadi persinggahan selanjutnya setelah berkutat dengan kuas dan kanvas di kelasnya tadi.

"Satu kopi hitam dan satu cheesecake."

"Grazie."

Ia menyerahkan cheesecake kepada temannya yang duduk dihadapannya itu, kelas selanjutnya akan dimulai sejam lagi. Jadi, masih ada waktu untuk pergi ke bengkel dan mengambil skuternya.

"Jangan berpikir untuk mengambil skutermu itu. Kau tahu kan kalau kau terlambat lagi habis sudah kau."

"Tch! Kau tau jalan pikiran kusaja."

Mereka memutuskan untuk kembali ke kampus dan membaca di perpustakaan sambil menunggu waktu untuk masuk kelas. Perpustakaan yang lumayan megah itu menyambut mereka. Terdapat banyak buku yang tersusun rapi di rak, mereka memutuskan untuk berjalan menuju rak buku seni. Tangan jenjangnya itu kemudian mengambil sebuah buku,

"Divina Commedia."

Puisi naratif karangan Dante Alighieri alumni kampus ini, dimana menceritakan tentang perjalanan Dante ke neraka, purgatori dan juga surga demi bertemu sang pujaan hati Beatrice. Ia kemudian membuka lembaran pertama, tertulis judul serta nama pengarang. Kemudian jarinya mulai membuka langsung menuju puisi pertama tertulis.

"Malam sebelum Jumat Agung, di tahun 1300. Nel mezzo del cammin di nostra vita" Bacanya halus, sehalus apapun ia membaca orang yang berada disebelahnya menyadari apa yang sedang ia baca

"Nel mezzo del cammin di nostra vita, setengah perjalanan dari jangka hidup kita. Itu menandakan umur si pengarang itu sekitar 30 tahunan." Terang temannya yang sebenarnya sudah terlalu sering membaca Inferno, ia hapal luar dalam isi puisi itu.

"I get it, his age actually is the half of the biblical lifespan of seventy, right ?" Tanyanya memastikan atau lebih tepatnya sudah tahu betul maksud dari perkataan temannya.

"Tak perlu ku kasi taupun kau tahu."

.

.

Perjalanan Dante menuju surga dan harus melewati neraka dan purgatori sama sekali tidak masuk akal tapi indah dalam waktu yang bersamaan. Ia tidak mengerti buat apa ada orang yang bersusah payah melakukan perjalanan demi menuju tempat kekasih tercinta berada, ia masih terus memikirkan puisi itu berkali-kali.

"Hiruma Youichi!"

Yang terpanggil pun langsung menoleh, didapatinya sang dosen yang terlihat tidak senang karena ia tidak mendengarkan penjelasannya.

"Jelaskan maksud dari Nel mezzo del cammin di nostra vita."

"Halfway along our life's path. Setengah perjalanan dari jangka hidup kita. Menandakan Dante yang berusai kurang lebih 35 tahun, umurnya sendiri waktu itu diperkirakan setengah dari jangka waktu hidup yang tertera pada alkitab. The biblical lifespan of seventy."

Dosen tersebut langsung tersenyum puas, ia tahu mahasiswa terbaiknya tidak mengecewakannya sama sekali. Hiruma tersenyum simpul membalas senyuman sang dosen, ia kemudian duduk kembali. Empat kali beruntung, sepertinya sang dewi foruna menyambarnya dengan hujan peluru keberuntungan.

Kelas pun berakhir dengan tugas yang mengharuskan mereka me-recite puisi karangam Dante, Inferno dari Canto I-II. Sebagian mahasiswa mengerang, mengutuk dosen mereka yang memberikan tugas me-recite puisi yang terlalu imaginatif itu.

.

.

Gadis itu berjalan mengeliling Florence dengan wajah yang riang, Florence merupakan tempat yang menyenangkan baginya. Ia menyayangkan orang tuanya yang tidak mau menyekolahkannya di Florence, tempat ia lahir. Ia mencintai Florence lebih dari Tokyo, tempat sekarang ia tinggal. Florence meninggalkan banyak jejak sejarah dan seni yang selalu memanjakan matanya dan juga lensa kameranya.

Ia melewati jalan yang biasa ia tapaki, di lorong kecil terdengar bunyi erangan. Ia yang penasaran langsung mengintip, di dapatinya dua pemuda bersimbah darah. Nyaris saja ia berteriak kalau salah satu pemuda itu mengisyaratkan gadis itu untuk diam.

"Ka-kalian tidak apa-apa kan ?"

Keduanya mengangguk, sepertinya mereka tidak bisa berbicara karena terlalu banyak di hajar. Gadis itu kemudian mendekati kedua pemuda itu dan mendapati peralatan lukis mereka yang sudah rusak parah. Melihat keadaan mereka yang luka parah dalam posisi meringkuk, sepertinya mereka melindungi perlengkapan melukis mereka.

"Kalian bodoh atau bagaimana sih ? Perlengkapan lukiskan masih bisa beli baru!"

Ia mengomeli orang asing karena melindungi barang mereka dan kedua pemuda itu mendapati situasi mereka sangat lucu. Tidak menyangka mereka di omeli oleh seorang gadis asing yang tidak tahu kenapa melindungi barang mereka sendiri.

Bletak!

"Kalian berdua menelponku karena hal bodoh begini ?"

Sejak kapan dia datang ?

Begitulah batin gadis itu melihat seorang pemuda atau mungkin pria paruh baya yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya. Ia tidak menyangka ada orang yang benar-benar bisa bergerak tanpa mengeluarkan suara.

"Maafkan kedua teman bodohku ini, Nona."

"Ah- tidak apa. Aku cuma kebetulan lewat."

Ia kemudian berpamitan dan langsung pergi kemudian dia menyadari satu hal. Dia daritadi berbicara bahasa Jepang dan mereka merespond, sepertinya mereka orang Jepang. Kemudian dia menoleh dan mendapati lorong itu kosong tidak ada bekas disitu telah terjadi perkelahian.

"Cepatnya, bagaimana bisa mereka bergerak secepat itu ?"

.

.

Caffè Giubbe Rosse

Gadis itu memasuki cafe yang sudah berusia cukup tua itu,cafe yang berdiri pada tahun 1896 ini merupakan cafe yang menyimpan banyak kenangan bagi gadis itu. Ia ingat menangis karena patah hati di cafe ini atau merayakan kelulusan bersama teman-temannya. Langkah kakinya langsung memasuki cafe, aroma passtries dan coffe langsung merangsang indera penciumannya.

"Mamori!"

Kakinya langsung melangkah kearah suara, ia tersenyum dan melambaikan tangannya kepada kedua sahabatnya itu.

"Ako! Sara!"

Reunian hangat itu membuat keadaan cafe menjadi lebih berwarna dari biasanya, Giubbe Rose yang biasanya menjadi tempat untuk literatur meeting atau sekedar mempresentasikan buku itu menjadi tempat kecil namun hangat yang menyajikan banyak cerita. Tak heran cafe ini menjadi tempat yang pas bagi penulis untuk menuangkan ide cerita mereka.

"Mamori, aku kangen?!" Rengek Ako yang terlihat memeluk Mamori dengan erat.

"Bagaimana kuliah fashionmu di Milan ?" Tanya Mamori penasaran, ia sudah lama tak bersua dengan teman-temannya ini semenjak pindah ke Jepang.

"Ugh! Aku berharap tenggelam di kolam yang berada di Piazza San Babila daripada bertemu dengan dosenku di kampus." Jawab Ako yang tidak tahan denga kehidupan perkampusannya itu.

"Piazza San Babila ? Kau yakin mau tenggelam disitu ? Kolam di situ pasti cetekkan ?" Ejek Mamori yang membuat Ako mendengus kecil dan disusul oleh Sara yang tertawa kencang.

"Kalaupun aku harus tenggelam, aku memilih tenggelam di salah satu tempat yang menjadi penghubung street fashion. Daripada tenggelam disungai." Balas Ako yang membuat Mamori dan Sara tertawa.

"Sara sendiri ? Bagaimana kuliah di Stanford ?" Tanya Mamori penasaran, ia juga terkejut temannya ini berhasil masuk Stanford.

"Dosenku terlalu kolot dan aku hampir setiap minggu dapat tugas." Keluh Sara, tidak mudah berkuliah di universitas sekaliber Stanford.

"Hmm, mendengar cerita kalian aku juga jadi kepikiran soal kuliahku di Tokyo." Gumam Mamori yang membuat Ako dan Sara penasaran.

"Aku hampir nyasar karena salah naik subway dan setiap pagi harus berebut masuk kereta." Lanjut Mamori yang setiap hari harus berlari menuju stasiun karena takut kereta yang ia naiki penuh dan sesak.

Ako dan Sara hanya menepuk pundak Mamori, sebagai bentuk bela sungkawa atas kehidupan perkuliahan mereka yang menyedihkan,

"Tiga caramel latte dan tiga cream puffs."

"Grazie."

.

.

Hiruma mengerang, luka disekujur tubuhnya ini membuatnya tidak bisa bergerak. Jujur saja, ia tidak mau ada yang menghancurkan hasil lukisannya itu, apapun resikonya termasuk di hajar sampai hampir babak belur.

"Hiruma! Agon! Sampai kapan kalian mau berantem terus!"

"Enak saja, kita gak berantem! Mereka datang-datang langsung ngajakin berantem!"

Hiruma hanya menutup telinganya, suara memekan telinga itu hampir membuat gendang telinganya pecah. Ia kemudian menatap langit-langit apartemennya, entah kenapa ia terbayang dengan gadis yang ia temui di lorong tadi.

"Gadis itu, untuk apa dia mendatangi kita ?" Tanyanya penasaran, ia penasaran kenapa bisa ada orang sebodoh gadis itu yang mendatangi orang yang tak dikenal terluka parah di lorong sempit dan gelap.

"Artinya dia seorang malaikat. Tidak mungkin ada orang bodoh yang mau mendatangi kita." Jawab Agon yang akhirnya tenang setelah bertengkar hebat.

"Terus dia mengomeli kita berdua, kau tidak sadar itu adalah hal teraneh kedua yang gadis itu lakukan." Lanjut Hiruma lagi, ia tidak mengerti kenapa dia kepikiran soal gadis itu tanpa alasan yang jelas.

"Sudah kubilang hanya malaikat yang melakukan semua itu. Iblis macam kita mana mungkin melakukan hal yang sama." Balas Agon lagi yang kemudian berakhir mendapatkan jitakan.

Hiruma kemudian menutup telinganya lagi dan memilih untuk tidur. Ia tidak mau mendengar pertengkaran dua orang yang berada di sampingnya ini. Andai ia tahu kalau kedua temannya inilah yang membuat apartemennya tetap hidup, mungkin ia akan berterima kasih lebih banyak atas apa yang mereka lakukan sekarang.

.

.

Florence, kota yang selalu penuh dengan nuansa Renaissance. Kota yang membuat Mamori jatuh cinta akan keindahannya setiap saat. Malam ini ia menikmati kembali bulan di kota ini, kota yang selalu membuatnya jatuh cinta akan keindahannya. Ia kemudian memikirkan nasib kedua pemuda yang ia temui tadi siang dalam kondisi babak belur, apakah mereka akan baik-baik saja ? Begitulah pikirnya.

"Signorina, sudah waktunya buat makan malam."

Kakinya melangkah dengan cepat menuju ruang makan, jarak antara kamarnya dan ruang makan sangat jauh. Kamarnya yang berada di paviliun barat dan ruang makan yang berada di paviliun utama membuatnya harus ekstra cepat untuk menuju ruang makan.

"Signorina, pelan-pelan saja. Kita masih ada waktu lima belas menit sebelum makan malam."

Mamori tidak peduli,ia tidak senang membuat orang lain menunggu. Maka dari itu dia berinisiatif agar sampai lebih cepat walau harus menguras tenaganya. Berlari kecil memasuki jalur kecil yang merupakan penghubung kedua paviliun, melewati hamparan bunga violet yang sedang bermekaran, ia pun menyesali tidak membawa pocket kameranya itu. Pemandangan violet dibawah bulan adalah pemandangan yang sangat langka, ia melihat sekilas nampak bunga itu bergoyang mengikut hembusan angin seolah-olah membuat bunga itu menari dibawah bulan.

"Signorina, kenapa tidak berhenti dulu sambil menikmati pemandangan yang bagus ini."

"Tidak, nanti saja kalau itu. Ayo kita segera ke ruang makan."

.

.

Keluarga Anezaki adalah keluarga yang terhomat di Florence. Mereka adalah keluarga mafia yang bekerja langsung untuk pemerintah tak heran kalau mereka menjadi keluarga paling berpengaruh di Florence. Keluarga ini hampir menguasai seluruh Florence, setiap tempat selalu ada bayang-bayang keluarga ini. Anezaki Mamori, putri satu-satunya keluarga ini menjadi jembatan bagi ayahnya untuk melanjutkan kemitraan mereka dengan pemerintah dan keluarga influensial lainnya. Bagai malaikat yang jatuh ke neraka, Mamori tahu cepat atau lambat ia akan tenggelam sepenuhnya menjadi bagian dari kehidupan yang ingin ia lepas.

"Mamori, kau mengertikan. Pertemuan ini sangat penting untuk ayah."

"Iya, aku mengerti ayah."

Topeng baja yang tengah tersenyum itu, telah mati sejak lama. Anezaki Mamori, tidak lagi ada. Ia telah mati sejak dulu, wajah dan sikap malaikatnya hanya perisai dirinya untuk menolak keyakinannya bahwa ia telah tenggelam sepenuhnya ke lubang neraka yang sama sekali tidak ia inginkan. Tidak ada yang bisa menarik Mamori keluar, ia telah terjebak sepenuhnya di lubang hitam pekat ini.

.

.

Matahari telah mengufuk tinggi diudara, minggu pagi yang tenang itu membuat jalanan di Florences sedikit lebih lengang dari biasanya, Hiruma terbangun lebih cepat karena aroma kopi yang menusuk indera penciumannya. Agon tengah berdiri didepan mesin ekspresso miliknya, ia tengah menyiapkan sarapan pagi. Bau bacon dan omelet juga menguar memenuhi indra penciumannya, ia tersadar bahwa hari ini ia harus pergi ke Basilicia of Santa Croce. Ayah angkatnya yang kebetulan juga adalah pendeta disana meminta Hiruma untuk pergi misa pagi dan melakukan pengakuan dosa.

"Father Adriano akan memarahimu habis-habisan hari ini." Ujar Agon yang sedang menyusun meja makan.

"Kau sendiri tidak berangkat misa ?" Tanya Hiruma agak jengkel, ia sepertinya mencium aroma Agon yang akan skip misa pagi.

"Aku misa pagi di gereja dekat sini." Jawab Agon dengan nada mengejek.

"Kalian berdua akan pergi ke Santa Croce suka ataupun tidak!"

Setelah itu terjadi adu cekcok yang membuat Hiruma harus menutup telinganya lagi, sepertinya dewi fortuna kali ini tidak memihaknya.

.

.

Arsitektur dari Basicilia of Santa Croce selalu membuat Hiruma terkagum-kagum. Entah kenapa bangunan ini selalu memberikan kesan anggun atau mungkin lebih tepatnya megah. Misa pagi hampir di mulai, Hiruma langsung duduk dan membuka alkitabnya. Setelah semua jemaat masuk, misa pagi pun dimulai dengan khusuk.

Father Adriano seperti biasa memberikan khotbahnya, Hiruma nampak mendengarkan dengan baik. Sinar matahari yang masuk melalui kubah gereja membuatnya merasa agak sedikit panas, namun ia tidak bisa berpindah tempat dan berakhir dengan bermandikan cahaya matahari.

Andai saja Hiruma tahu, pemandangannya saat ini benar-benar seperti malaikat yang datang dari surga, mungkin ia akan berakhir menjadi sebuah karya seni, entah berupa patung atau lukisan. Nyatanya, ada satu orang yang benar-benar terpukau dengan pemandangan Hiruma yang bermandikan cahaya matahari.

Anezaki Mamori. Gadis itu duduk tepat di belakang Agon dan ia menikmati pemandangan yang secara tidak langsung disuguhkan Hiruma. Jika, Mamori membawa kameranya ke gereja maka ia akan mengambil foto Hiruma saat ini beratus kali. Rambut blonde spikenya yang tertimpa sinar matahari membuat rambut itu nampak berkilau bagai emas, postur tubuh yang tegap serta wajah yang tampan, tidak ada manusia yang benar-benar se-indah itu. Mamori yang terpesona itu membuat kedua sahabatnya menyadari pemandangan yang di lihat Mamori, tidak menyangka ada manusia yang tampan tapi indah dalam waktu yang bersamaan

"Pemuda itu malaikat yang jatuh dari langit apa ? Aku tidak pernah melihat manusia se-indah itu." Bisik Ako penasaran dan juga kagum dengan pemandangan yang berada dihadapannya.

"Aku mulai membayangkan dia mempunyai sayap putih berkilau." Balas Sara yang masih terkagum-kagum dengan pemandangan dihadapannya.

Kelu. Lidah Mamori kelu, ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia terlalu menikmati keindahan yang ada di depannya, ia benar-benar melihat malaikat yang tengah duduk dan beribadah di gereja. Entah kenapa wajahnya memerah hanya dengan melihat pemuda yang berada di bangku depan itu.

"Hiruma, mau tukar posisi tidak ?"

Mamori tersadar, ia melihat orang yang di depannya. Rambut gimbal itu mengingatkannya akan seseorang, ia berpikir keras. Siapa dan dimana mereka bertemu, otaknya yang sempat terbius karena pemandangan indah di depannya membuat kecepatan berpikirnya menurun.

"Tch. Coba kau sadar dari tadi."

.

.

"Si gimbal itu benar-benar merusak pemandangan misa pagi yang seharusnya indah itu."

"Apa-apaan dia tiba-tiba mau tukar posisi segala!"

Misa pagi di akhiri dengan keluhan Ako dan Sara yang tidak tahan lagi ingin bersuara. Sementara, Mamori masih terlarut dalam pikirannya. Otaknya daritadi masih terus mengingat dimana dan kapan bertemu dengan pemuda tadi, entah kenapa hari ini otaknya tidak mau bekerja.

"Father, misa hari ini benar-benar luar biasa."

"Haha, saya juga senang signore Anezaki menyukai hal yang saya sampaikan."

"Kalau begitu saya pamit undur diri dulu, ayo Mamori."

"A più tardi, Father Adriano."

Mamori hanya terdiam, ia tahu ayahnya tidak menikmati misa pagi. Ia hanya melakukan ini sebatas pertemuan sosial, seolah mengatakan mengingatkan kepada Father Adriano bahwa keluarga Anezaki yang berkuasa di Florence.

"Ah-kamu gadis yang kemarin kan ? Terima kasih telah menolong kami."

Pemuda yang ia pandangi tadi pagi adalah pemuda yang ia temukan babak belur di lorong. Mamori mengerjap bingung, ia melihat ayahnya nampak tidak senang. Namun, ia telah di ciptakan untuk selalu menjadi seorang malaikat. Topeng malaikat yang selalu ia tunjukan, demi menjaga reputasi ayahnya dan juga demi menepis keyakinan bahwa ia telah jatuh bebas ke lubang hitam yang ingin ia hindari itu. Ia tersenyum dengan manisnya, sangat manis tanpa semua orang sadari senyum itu adalah racun.

"Prego."

Tidak ada yang tahu, pertemuan keduanya bukan hanya sekedar bertemu dan berpisah layaknya orang asing yang tidak sengaja bertemu, siapa yang akan mengira bahwa keduanya bertemu karena takdir. Benang merahlah yang mempertemukan mereka, sejauh apapun mereka melangkah pergi mereka akan menemukan satu sama lain.

Gadis malaikat yang ternyata telah jatuh ke neraka dan berubah menjadi iblis dan pemuda yang selalu dianggap iblis yang ternyata adalah malaikat penyelamat yang berkilau. Dari sinilah perjalanan kisah mereka dimulai, seperti Dante yang menceritakan kisahnya mengarungi neraka demi menuju surga, agar bertemu dengan kekasihnya. Begitu pula dengan kisah mereka,malaikat malang yang jatuh ke neraka demi menggapai si iblis yang berada di surga yang jauh dari gapaiannya.

.

.

To be continue

.

.

Hola~ perkenalkan saya author baru di fandom ES21. Berawal dari saya yang binge watch lagi ES21 terpikirlah ide untuk fanfic HiruMamo ini, dimana Hiruma sama Mamori nya tukeran tempat. Hiruma yang jadi malaikatnya terus si Mamori yang jadi iblisnya.

FYI, yang bingung kenapa Hiruma sama Agon tiba-tiba masuk kelas sastra tapi mereka itu jurusan seni lukis. Mereka berdua ambil dual degree ya, mereka mau jadi sarjana sastra sama sarjana seni lukis.

Sekian bacotan author jangan lupa untuk menuangkan kritik dan saran di kotak yang tersedia dibawah ya~ Bye