Be With You

A fanfiction by mashedpootato

.

.

Character(s) : Park Chanyeol, Byun Baekhyun, Kim Jongdae, Kim Minseok, Doh Kyungsoo, Kim Jongin, Hwang Hojun (oc)

Pairing(s) : Park Chanyeol/Byun Baekhyun, Kim Jongin/Doh Kyungsoo

Genre(s) : Romance, enemy to lover, slow burn, mutual-pining

Additional tag(s) : mention of MPREG, typos

Rating : M

Disclaimer : Tulisan ini hanya sebuah karya fanfiksi, penggunaan nama dan karakterisasi dalam tulisan tidak ada kaitannya sama sekali dengan tokoh di dunia nyata.

.

.

.

[END] Chapter 5 : Be With You

.

.

.

"Berhenti memandangnya, Byun Baekhyun. Kau bisa saja membuat lubang di kepalanya dengan tatapan laser semacam itu." Kometar Jongdae ketika ia menemukan sahabatnya itu memandang Park Chanyeol dari kejauhan.

Saat itu adalah siang hari. Jongdae dan Baekhyun tengah dalam perjalanan menuju kafe seberang gedung perusahaan mereka untuk makan siang, ketika perhatian Baekhyun teralihkan oleh sosok Chanyeol tak jauh dari posisi mereka.

"Apa menurutmu mereka memiliki hubungan khusus?" Tanya Baekhyun tanpa mempedulikan ucapan Jongda. Tatapannya masih tetap tertuju pada pria yang sama.

Jongdae mengikuti arah pandangan Baekhyun. Memperhatikan Chanyeol yang kini duduk bersama seorang lelaki muda berpakaian formal yang nampak tidak asing baginya. Jongdae memutar bola matanya.

"Are you kidding? That's Kim Hyunsik, wakil ketua bidang kreatif. Hyunsik dekat dengan hampir semua karyawan yang ada di gedung ini. Dan kau mencurigai mereka memiliki hubungan khusus hanya karena mengobrol satu sama lain?"

"Bukan hanya mengobrol, Dae." Kilah Baekhyun dengan pout kecil di bibirnya. "Park Chanyeol jelas-jelas tersenyum begitu lebar ketika berbicara dengannya. Kau lihat? Apa menurutmu ia meyukainya?"

Jongdae menghela nafas dan memutar bola matanya untuk yang ke sekian kalinya hari itu.

"Oh, God. You're so hopeless, Byun Baekhyun. You need to fucking stop. Jika kau memang telah yakin dengan perasaanmu, angkat pantat besarmu itu dan datangi ia. Katakan bahwa kau meyukainya, dan ajak ia pergi berkencan sepertihalnya yang orang lakukan ketika jatuh cinta. Bukan memandangnya diam-diam dari kejauhan dan mencurigai semua orang yang berada di dekatnya!" Ujar Jongdae dengan suara berbisik, tak ingin orang-orang di sekitar mereka mendengar apa yang mereka bicarakan.

Baekhyun mencebikkan bibirnya, memilih untuk tidak berkomentar dengan ucapan sahabatnya itu.

Sudah berhari-hari berlalu sejak Baekhyun menceritakan segalanya pada Jongdae mengenai apa yang terjadi dengannya dan Chanyeol selama perjalanan bisnis mereka. Dan seperti yang ia duga, ia mendapatkan omelan panjang lebar ketika ia selesai menceritakannya.

Di antara banyak saran (dan omelan) yang Jongdae berikan, salah satunya adalah saran agar Baekhyun mengambil inisiatif lebih dulu untuk berbicara dengan Chanyeol. Namun tentu saja bukan Baekhyun namanya jika ia tidak menolak hal tersebut. Alih-alih, ia memilih untuk menghindari berpapasan dengan Chanyeol sepanjang waktu, sama seperti yang ia lakukan saat ini.

"He said we need a time, Jongdae. Aku hanya akan nampak seperti seseorang yang murahan jika dengan mudahnya datang kepadanya dan menyatakan perasaanku. Bagaimana jika ia menganggapku terlalu berpikir pendek dan meremehkan perasaannya padaku? Bagaimana jika ia masih butuh waktu untuk meyakinkan diri tentang apa yang sebenarnya ia rasakan?" Baekhyun dengan panjang lebar memberikan pembelaan untuk menolak saran Jongdae.

"You know damn well that it is your insecurity that's talking right now, Byun Baek. Kau tidak bisa selamanya seperti ini."

Persetan dengan Jongdae dan sifat terus terangnya.

"I know." Lirih Baekhyun, merasa tak bisa mengelak dari tuduhan Jongdae. "But… really, I need a time."

Dan di sinilah ia. Berhari-hari sejak saat itu dan belum juga menemukan keberanian untuk menyampaikan perasaannya.

Ketika Jongdae dan Baekhyun baru melangkahkan kakinya keluar dari gedung bangunan, seketika langkah Baekhyun terhenti. Darahnya membeku, dan tatapannya melebar kaget kala melihat sosok pria yang berdiri beberapa meter dari mereka.

"Hojun?"

Jongdae sontak menoleh ke arah pandangan Baekhyun dan ikut menghentikan langkahnya dengan kaget.

Di hadapan mereka adalah sosok yang paling tidak ingin Baekhyun temui saat ini. Berdiri dengan setelan jas kerjanya serta senyuman penuh ekspektasi, seakan telah menanti kedatangan Baekhyun sejak lama.

Baekhyun bergidik. Tubuhnya seketika membeku oleh alasan yang tidak ia pahami.

I memiliki firasat buruk dengan semua skenario tak terduga ini.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Baekhyun nyaris tidak mengenali suaranya sendiri kala mengucapkan pertanyaan tersebut.

"Aku berusaha untuk menemuimu. Namun bagian keamanan berkata aku tidak memiliki akses masuk jika tanpa kartu ID perusahaan atau janji resmi. Aku berusaha menghubungimu, dan kau tidak menjawab. Jadi aku berpikir untuk menunggu di luar hingga waktu istirahat, berharap akan menemuimu saat kau keluar untuk makan siang." Ujar Hojun dengan panjang lebar, tersenyum seakan tidak menyadari ketidaknyamanan Baekhyun sedari tadi.

"Kau belum menjawab pertanyaanku. A-apa yang kau lakukan di sini?"

Hojun menghela nafas, melangkah mendekat hanya untuk membuat Baekhyun mengambil langkah mundur.

"Aku kemari untuk berbicara denganmu, Baek."

"Aku sudah menyampaikan apa yang perlu aku sampaikan melalui pesan yang aku kirim padamu. Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Hojun-ah."

"Oh, come on, Baek. Dan kau tidak memberikan kesempatan padaku untuk menanggapi pesan yang kau kirim dan langsung memblokir nomorku begitu saja?"

"Jaga suaramu, Hwang Hojun. Kita ada di tempat umum!" Desis Baekhyun kesal.

"Kalau begitu, ikut denganku dan kita akan bicara." Hojun dengan tiba-tiba menarik lengan Baekhyun kasar.

Baekhyun dengan reflek cepat menarik tangannya kembali seakan sentuhan Hojun telah membakar kulitnya.

"Don't touch me." Desis Baekhyun pelan dengan tatapan mengancam.

"Baek, listen to me." Hojun kembali mendekat, memasuki area pribadi Baekhyun yang membuat lelaki tersebut berjengit takut.

"Hey, hey, easy there, Hojun-ah. Kau tidak bisa memaksa Baekhyun jika ia memang tidak mau pergi denganmu." Jongdae, untuk pertama kali akhirnya memutuskan untuk ikut campur dalam hal ini. Terlebih setelah melihat reaksi kaget yang Baekhyun berikan.

Jongdae mendorong dada Hojun pelan untuk membuatnya mengambil jarak, namun agaknya hal itu membuat lelaki tersebut tersinggung.

"Apa urusanmu, Kim Jongdae? Semua ini antara aku dan Baekhyun! Aku hanya ingin berbicara dengannya dan kau tidak perlu ikut campur dalam hal ini." Hojun mendorong bahu Jongdae cukup kasar dan itu membuat Baekhyun semakin ketakutan.

"Hojun-ah... Kumohon… kita berada di tempat umum -"

"Shut up, Baek! Kau yang meminta semua ini!" Bentakan Hojun seketika membuat Baekhyun bungkam. Rasa takut menyelimutinya, dan ia bisa merasakan tubuhnya membeku oleh rasa kaget.

Hojun mengambil nafas, dan kemudian kembali berujar. "Jangan berani-beraninya berkata bahwa ini bukan bagian dari kesalahanmu, Baekhyun. Aku datang kemari untuk mengajakmu bicara dengan baik-baik. I was waiting for hours! Dan aku tidak akan kehilangan emosiku jika kau mau diajak bekerja sama untuk berbicara empat mata!"

Baekhyun teramat sangat malu saat itu. Dan marah. Ia tidak mengangkat kepalanya, namun ia bisa merasakan tatapan-tatapan orang yang lalu lalang di sekitar mereka. Dadanya terasa sesak. Tapi sebelum ia bisa menenangkan dirinya, Hojun kembali menarik lengannya.

"Hey. Tidakkah kau bisa mendengar? Ia tidak mau kau menyentuhnya."

Sebuah tangan yang lain menghentikan tangan Hojun. Baekhyun mengangkat wajahnya untuk menemukan Park Chanyeol, berdiri dengan wajah dingin dan tatapan kesal pada mantan kekasihnya.

Demi Tuhan. Apakah mungkin hariku bisa lebih memalukan dari ini?

Hojun menghela nafas, mengacak rambutnya dengan kesal.

"Siapa lagi kau, dan untuk apa kau ikut campur? Aku hanya ingin berbicara dengan kekasihku."

"I'm not your boyfriend anymore, asshole." Desis Baekhyun, nyaris meludahi wajah bajingan itu jika saja ia tidak menahan emosinya.

"Kalau begitu kau memerlukan persetujuannya. Kau tidak bisa memaksanya pergi denganmu begitu saja hanya karena kau ingin. Walaupun kalian memang sepasang kekasih sekalipun." Ujar Chanyeol tenang.

Kali ini, Baekhyun ingin menendang kaki Park Chanyeol. Ia jelas-jelas menjadi saksi bahwa hubungan ia dan Hojun telah berakhir! Bagaimana bisa ia berbicara begitu?!

"No. I'm fine. Aku akan menyelesaikan ini. Kami hanya akan berbicara." Ujar Baekhyun cepat, melepaskan tangan dari dua pria di depannya. Seketika ia mendapat sebuah kepercayaan diri dari rasa kesal yang dirasakannya.

Chanyeol memandang wajah Baekhyun, seakan memastikan bahwa memang tak ada lagi hal yang perlu dikhawatirkan.

"Hey. Are you sure?"

Baekhyun menghela nafas dalam.

Ia tidak yakin. Namun bola benang yang terlanjur kusut harus segera diurai, bukan?

"Absolutely."

.

.

.

Baekhyun tidak benar-benar ingat kapan terakhir kali dirinya dan Hojun meluangkan waktu untuk benar-benar berbicara empat mata seperti ini. Baekhyun ingat Hojun memiliki kebiasaan untuk menghindar setiap kali Baekhyun meminta waktu untuk berbicara. Jadi ia rasa, kesempatan ini bisa dibilang cukup berharga baginya.

"Aku ingin menanyakan tentang pesan yang kau kirimkan kepadaku." Hojun memulai pembicaraan langsung pada intinya.

Baekhyun bersyukur oleh hal itu, karena ia yakin dirinya tidak akan kuat berpura-pura melakukan obrolan kecil, sementara apa yang ingin ia lakukan adalah menghantam wajah pria di hadapannya ke atas meja.

"Aku serius dengan setiap kata yang aku kirimkan dalam pesan itu, Hwang Hojun. Hubungan kita telah berakhir. Kurasa tidak ada lagi yang perlu dibahas."

Hojun menarik nafas dalam. "Baiklah. Aku akui aku telah melakukan kesalahan. Aku minta maaf, oke?"

"Kesalahan? Apa kau baru saja mengatakan bahwa melamar orang lain sementara kau masih memiliki sebuah hubungan serius denganku adalah 'sebuah kesalahan'? Ini lebih dari itu, Hwang Hojun. Kau membohongiku, kau mengingkari janjimu, dan kau; lebih dari apapun telah menyakiti harga diriku!"

Persetan dengan semua tatapan orang di kafe tersebut yang seketika menoleh ke arah mereka. Rasa marah telah terlanjur membunuh saraf malu Baekhyun saat ini.

"Kau juga tak jauh berbeda denganku, Baekhyun-ah. Kau dan lelaki yang tadi. Kalian memiliki hubungan spesial dengan satu sama lain bukan?"

"Who - oh my God! You mean Park Chanyeol?" Baekhyun tertawa miris. "Kau menanyakan apakah kami memiliki hubungan spesial saat ini, Hwang? Jawabannya, adalah tidak. Tidak ketika aku menghormati hubungan kita yang aku kira belum berakihir. Namun jika kau bertanya apakah aku menyukainya, hell yes.Dan aku jatuh cinta padanya dengan alasan sederhana, yaitu karena ia mengajarkan kasih sayang yang tidak pernah kau kenalkan padaku!" Baekhyun memandang pria di hadapannya tajam. "Kau tidak pernah mencintaiku, Hwang."

"It's not true. Aku pernah mencintaimu, Byun Baekhyun. Kau tidak bisa mengelak bahwa kita pernah salih mencitai satu sama lain. Jadi jika kau berani bilang bahwa perasaanku tidak pernah mejadi milikmu, kau jelas melakukan kesalahan besar."

Baekhyun menelan ludah. Kerongkongannya seakan penuh oleh segenggam pasir kering saat itu. Namun ia memaksa dirinya untuk terus berbicara.

"Kau selingkuh dariku. Kau tidak jujur padaku. Itu adalah kesalahanmu. Tapi kau tahu, kurasa aku juga melakukan sebuah kesalahan besar."

Hojun memandang Baekhyun. Dan Baekhyun tersadar, sepasang mata itu tak lagi membuat dirinya terpesona seperti yang dulu pernah ia rasakan.

"Hubungan kita telah lama berubah. Perasaanmu padaku telah lama berakhir. Aku menyadari itu sejak lama, namun dengan bodohnya aku memilih untuk mengelak. Memilih untuk menciptakan harapan sempurna tentang hubungan kita. Hingga aku gagal menyadari bahwa itu semua hanya caraku untuk menghindar dari kenyataan. Harusnya aku bertanya padamu. Harusnya aku memastikan keraguanku. Tapi kenyataannya aku hanya diam dan memberikanmu keleluasaan untuk menghancurkan hubungan ini."

"Baek…"

"No. Please. Tidakkah kita bisa menyelesaikan ini dengan mudah? Kau mencintai seseorang yang lain. Dan akupun sudah tak mencintaimu lagi. Jadi bisakah kita selesaikan semua ini di sini?" Ujar Baekhyun, nyaris memohon.

Hojun memandang Baekhyun di hadapannya, membiarkan ia berpikir tentang apa yang baru saja didengarnya. Mulut Hojun terbuka untuk mengucapkan sesuatu hanya untuk terkatup kembali, mengurungkan niatnya.

Keduanya membiarkan diri mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tentang apa yang telah mereka lalui. Tentang apa yang telah mereka pelajari selama ini.

"Kapan pernikahan kalian?" Suara parau Baekhyun memecahkan keheningan di antara mereka.

Hojun termenung sejenak hingga kemudian menjawab. "Kami baru resmi bertunangan. Jadi kami belum memiliki tanggal yang pasti tentang hal itu. Kemungkinan besar di pertengahan tahun depan."

Demi Tuhan. Baekhyun sudah menduga bahwa ini akan menyakitkan. Namun ia sama sekali tidak menduga rasa sakitnya akan sedalam ini kala mendengar semuanya langsung dari mulut Hojun.

"Well, congratulations."

Hojun mengangkat wajahnya dan dirinya tak menyangka Baekhyun memberikan sebuah senyuman lembut kepadanya. Senyuman yang tulus.

Menyakitkan.

Namun paling tidak, tanpa cercah kemarahan di sana.

"Kau tahu, kau nampak bahagia bersamanya. Sesuatu yang jarang aku lihat ketika kau masih bersamaku. Jadi aku bahagia untukmu." Lirih Baekhyun.

"Baekhyun, I'm really sorry."

"Tentu saja kau harus merasa bersalah, Hojun-ah. Dan tentu kau harus minta maaf. You're an asshole. You cheated on me, and I was plainly stupid to believe on you. Aku masih sangat ingin memukul wajahmu. Namun aku akan memaafkanmu saat ini, hanya jika kau berjanji tak akan melakukan hal yang sama pada wanita yang kau cintai itu."

Hojun memandang Baekhyun. Dan keduanya tersenyum samar pada satu sama lain.

"Aku tahu mengapa aku pernah jatuh cinta padamu, Byun Baekhyun. You're an amazing person. Dan kau berhak atas seseorang yang lebih dari seorang brengsek sepertiku."

Baekhyun tesenyum.

"Tentu, Hojun-ah. Tentu."

.

.

.

"Sorry I'm late." Ujar Baekhyun ketika memasuki ruangan kantor department nya.

Ia hanya telat lima menit dari jam makan siang berakhir, namun ia tetap merasa bersalah telah memberi contoh yang buruk pada karyawan bawahannya.

"Mr. Byun." Panggil Joohyun sebelum Baekhyun memasuki ruangannya. "Saya meletakkan laporan uji coba barang yang anda minta dari Hyejin di meja anda. Anda bisa menyerahkannya pada saya setelah setelah memeriksanya"

"Ok. Thanks." Baekyhun mengangguk. Namun sebelum sempat membuka pintunya, ia kembali terhenti. "Joohyun-ah, tidak ada jadwal pertemuan ataupun tamu untukku sore ini, bukan?"

Joohyun memandang clipboard di mejanya sekilas dan mengangguk mengiyakan.

"Good. Bisa tolong jangan biarkan siapapun ke ruanganku untuk sementara? Aku ingin fokus menyelesaikan pekerjaan yang tersisa. Aku akan mengambil jam lembur sore ini."

Joohyun nampak sedikit bingung, namun kembali mengangguk paham.

Baekhyun mengatakan hal itu karena ia tahu Jongdae akan mendobrak pintu ruangannya dan memintanya menumpahkan semua update yang ia dapatkan dari obrolannya dengan Hojun siang tadi. Dan Baekhyun belum siap untuk itu. Tidak ketika dadanya masih terasa berat dan sesak untuk mencerna apa yang terjadi.

Anehnya, tak ada rasa sedih yang ia rasakan. Semuanya murni kekecewaan yang tidak bisa ia pahami.

Ia merasa tertolak. Dan sekali lagi, hati kecilnya bertanya: 'Apa yang kurang dariku hingga mereka meninggalkanku?'.

Namun paling tidak, tak ada air mata yang tumpah kali ini. Tidak ketika ia telah menangiskan semua kesedihannya di dada Chanyeol saat itu.

Baekhyun kemudian teringat oleh tatapan khawatir yang Chanyeol berikan ketika menanyakan apakah ia baik-baik saja siang tadi.

Hingga lamunannya buyar kala pintu ruangannya diketuk dari luar.

"Mr. Byun? Maaf telah mengganggu. Tapi saya diminta menyampaikan ini pada anda." Ujar Joohyun dengan wajah bersalah seraya masuk membawakan satu pack take out sandwich dari store favorit Baekhyun.

"Ini untukku? Siapa yang membawakan ini?"

"Mr. Park dari department keuangan. Saya mengatakan bahwa anda sedang tidak bisa ditemui jadi beliau memintaku menyerahkannya. Beliau bilang, anda kemungkinan belum makan siang karena harus menyelesaikan urusan mendadak siang tadi."

"O-oh." Baekhyun seketika salah tingkah. "T-thank you. Aku akan menghubunginya untuk menyampaikan terimakasih."

Joohyun tersenyum penuh arti dan Baekhyun berharap pipinya tidak nampak memerah saat itu.

Baekhyun memandang sandwich di hadapannya dan menghela nafas.

Jongdae benar. Sepertinya dirinya harus melakukan inisiasi untuk berbicara pada Chanyeol, atau ia akan selamanya dihantui rasa penyesalan.

Dengan antusias Baekhyun menggigit sandwich tersebut, dan sebuah senyuman kecil seketika muncul di bibirnya.

Bacon strip dan egg sallad; tanpa acar ketimun. Tepat seperti apa yang ia sukai.

.

.

.

"Mr. Park ijin untuk mengambil cuti hari ini, Mr. Byun." Wajah Seulgi nampak bersalah ketika mengabari Baekhyun dengan info tersebut.

Setelah beberapa hari berlalu, Baekhyun akhirnya menemukan keberanian untuk menuju lantai dimana defisi Chanyeol berada, hanya untuk mendapati pria tersebut tidak sedang berada di ruangannya.

"Cuti? Apa sesuatu terjadi?"

"Agaknya ia sedikit tidak enak badan. Hari-hari ini cukup melelahkan bagi department kami. Beliau bahkan sempat memintaku mengantarnya ke rumah sakit untuk meminta infus karena kelelahan yang dialaminya tempo hari. Apa ada sesuatu yang perlu aku sampaikan pada beliau, Mr. Byun?"

"Um, tidak." Jawab Baekhyun, bersusah payah untuk nampak tidak gugup. "A-apa kau akan mengecek kondisinya? Bukankah seharusnya seseorang memastikan ia baik-baik saja?"

"Aku sudah berencana seperti itu. Namun beliau meneleponku bahwa kondisinya sudah membaik dan hanya butuh istirahat. Agaknya ia tahu hari ini adalah anniversary pertama pernihakahanku jadi ia menyuruhku segera pulang alih-alih menjenguknya. Tapi sepertinya aku tetap harus memastikan kondisinya-

"It's okay. Aku akan menjenguknya." Potong Baekhyun tanpa pikir panjang.

Seulgi melebarkan matanya tak percaya. "S-sungguh? Apakah itu tidak akan mereporkan anda?"

"Aku sebenarnya berencana memberikan beberapa barang yang tanpa sengaja terbawa olehku saat perjalanan bisnis kami. Tapi - ya, sepertinya aku tidak keberatan untuk sekaligus mampir dan memastikan ia baik-baik saja."

Seulgi nampak berusaha menahan senyumannya, yang mana membuat Baekhyun semakin salah tingkah.

"Syukurlah. Aku akan sangat terbantu jika begitu. Aku akan memberikan alamat rumah beliau, Mr. Byun."

.

.

.

40 menit.

Baekhyun sudah berdiri di teras depan rumah Chanyeol selama 40 menit. Menekan bel rumah, mengetuk pintu, dan menelepon nomor ponselnya berkali-kali. Namun tetap tak ada tanda-tanda kemunculan Chanyeol.

Baekhyun mencoba menekan bel untuk kesekian kalinya, dan dadanya mulai dipenuhi kekhawatiran kala tetap tak seorangpun menjawab dari dalam.

Apa ia sedang keluar rumah?

Namun mobilnya terparkir di depan garasi.

Pintu gerbang juga dengan cerobohnya tidak sepenuhnya terkunci.

Baekhyun mengetuk keras pintu rumah Chanyeol dengan dada bergemuruh tidak tenang.

Udara di luar sangat dingin, namun itu menjadi hal terakhir yang Baekhyun khawatirkan saat ini. Chanyeol bisa saja ada di dalam rumah, tidak cukup kuat untuk bangun, atau mungkin lebih parah jatuh pingsan karena sakit.

No, no, no. Please.

Baekhyun mengetuk keras pintu rumah tersebut untuk yang kesekian kali. Dalam hati bersumpah akan memanggil telepon panggilan darurat untuk mendobrak pintu ini jika Chanyeol tidak juga memberikan tanda-tanda dirinya baik-baik saja di dalam sana.

Hingga kemudian pintu terbuka, menampakkan sosok tinggi Park Chanyeol.

Wajahnya nampak pucat dan berantakan, memandang sosok lelaki yang lebih mungil dengan tatapan kaget bercampur bingung.

Baekhyun tidak pernah merasa selega ini seumur hidupnya.

"What the fuck are you thinking, Park?! I fucking knocked your door hundreds time and you didn't answer! Aku kira sesuatu yang buruk terjadi denganmu! Aku kira kau mati di dalam sana!" Maki Baekhyun, membiarkan dirinya meluapkan kelegaan sekaligus kekesalan dan ketakutannya.

Chanyeol menenangkannya, dengan susah payah menghentikan pukulan pelan Baekhyun.

"Hey, hey, hey. Byun. Stop it. Stop." Chanyeol berusaha menahan kedua tangan Baekhyun. "I'm fine, okay? A-apa yang kau lakukan di sini?"

Baekhyun menelusurkan pandangannya pada Chanyeol. Dan seketika rasa khawatir kembali menyelimutinya ketika melihat sosok Chanyeol yang nampak lemah dan lebih pucat dari biasanya.

"Apa kau sungguh baik-baik saja? Apa sesuatu terjadi? Aku nyaris satu jam mengetuk pintunya, namun kau tidak menjawab barang sedikitpun."

"Yeah. Aku baik-baik saja. Aku rasa ini efek obat yang aku minum siang tadi." Ujar Chanyeol dengan suara serak. Langkahnya gontai membawa tubuh jangkungnya menuju sofa di ruang tengah dan membaringkan tubuhnya.

Baekhyun memperhatikannya dengan khawatir. Lalu memutuskan untuk berjalan pelan menuju Chanyeol, dan berlutut di sisinya. Baekhyun membuat Chanyeol kaget kala tangan dingin lelaki mungil itu menyentuh dahinya pelan, tatapan penuh kekhawatiran terpusat padanya.

"You're burning, Park." Gumam Baekhyun, memberikan belaian lembut di dahi dan sisi wajah Chanyeol yang terasa begitu panas di sentuhannya. Dan Chanyeol menemukan dirinya tak bisa mengalihkan pandangannya dari paras mempesona di hadapannya itu.

"Bagaimana kau bisa ada di sini?" Chanyeol memaksa tenggorokannya yang terlampau sakit untuk tetap berbicara.

Baekhyun bangkit berdiri. Meraih selimut tebal dari bahu sofa dan menyelimuti tubuh Chanyeol dengan penuh perhatian.

"Aku ke ruang kantormu sore tadi, bermaksud mengembalikan jaket hoodie mu yang tanpa sengaja terbawa olehku. Aku bertemu Seulgi, dan dia bilang kau mengambil cuti karena sakit. Jadi aku menawarkan diri untuk menjenguk, karena Seulgi memiliki janji kencan dengan suaminya sore ini."

Chanyeol menghela nafas dalam, mengerang pelan ketika sakit kepalanya kembali menyerang hanya dengan gerakan sedikit saja.

"Ya, aku memintanya untuk tidak perlu datang. Aku tahu ia sudah merencanakan makan malam anniversary nya sejak lama. Jadi aku sama sekali tidak menduga seseorang akan datang sore ini. Terlebih dirimu."

"Ow, it hurts, Park." Komentar Baekhyun, dan Chanyeol hanya memberi senyuman lelah dengan mata yang sudah kembali terpejam.

Sepertinya efek obat yang Chanyeol minum masih bekerja, atau ia memang amat sangat lelah. Karena satu atau dua menit kemudian, Baekhyun menemukan Chanyeol sudah kembali terlelap.

Sekarang, apa yang harus Baekhyun lakukan di sini?

Apakah tak apa membiarkan Chanyeol tidur lagi?

Apa ia bahkan sudah makan?

Baekhyun menyapukan pandangannya ke penjuru ruang tengah. Memperhatikan rumah bergaya minimalis yang cukup besar untuk ditinggali seorang diri tersebut. Ia akui, rumah berlantai dua ini cukup mengagumkan bagi Baekhyun yang terbiasa hidup seorang diri di ruang apartment.

Dengan hati-hati Baekhyun memutuskan untuk membereskan area dapur, menata buku-buku dan lembaran berkas di meja tamu, dan membersihkan kamar serta ruang keluarga di lantai atas. Dan setelah Baekhyun selesai dengan semua itu, ia tak menemukan pekerjaan lain selain terduduk di sisi sofa, mengompres kening Chanyeol dan memastikan suhu ruangan cukup lembab dan hangat untuk kenyamanannya beristirahat.

Ketika hari telah mulai gelap dan Baekhyun baru saja selesai memasak semangkuk bubur, Chanyeol perlahan terbangun. Mata lelahnya mengerjap pelan, memandang Baekhyun yang hanya bisa memberikan senyuman khawatir.

"Hey. How are you feeling?" Tanya Baekhyun pelan.

Chanyeol memandangnya dengan tatapan sayu. Berusaha tersenyum untuk mengatakan ia baik-baik saja.

"It's okay. Kau tidak perlu bangun. Tetaplah berbaring. Aku akan mengambilkan segelas air untukmu." Ujar Baekhyun ketika Chanyeol berusaha mendudukkan posisinya.

Hari sudah semakin larut, jadi Baekhyun memutuskan untuk membantu Chanyeol memakan bubur yang dibuatnya dan memastikan ia meminum obat.

"Kau harus lebih bisa menjaga kesehatanmu, Park. Kesehatanmu sangatlah vital. Aku akan membelikan beberapa suplemen dan vitamin harian untuk kau konsumsi mulai saat ini." Omel Baekhyun dengan nada kesal. Namun alih-alih nampak menyesal, Chanyeol justru tersenyum kecil.

"What?"

"Nothing. Rasanya sudah lama sekali sejak seseorang mengomeli gaya hidupku. Aku senang mendengar itu darimu, Byun." Chanyeol kembali tersenyum lembut. Dan hal itu lagi-lagi memberikan efek yang berlebihan pada jantung Baekhyun.

"Apa kau akan pergi?" Tanya Chanyeol ketika Baekhyun membantunya berbaring di ranjang kamarnya, dengan hati-hati menyelimuti tubuhnya dan memastikan posisi Chanyeol cukup nyaman untuk beristirahat.

"Ya, aku harus segera pulang. Aku juga perlu beristirahat, Park."

"Stay." Lirih Chanyeol, dahi berkerut dengan ekspresi memohon. "Saljunya sangat deras dan akan sangat sulit untuk mendapatkan taksi di cuaca dan malam selarut ini."

Baekhyun memadang Chanyeol yang nampak berusaha membuka matanya meski dengan mata lelah yang nyaris terpejam.

Lelaki yang lebih mungil tahu dirinya tidak akan bisa tidur di rumah dengan tenang jika seperti ini caranya. Ia yakin bayangan Chanyeol yang sakit dan sendirian di rumahnya cukup untuk menghantui dirinya sepanjang malam.

Baekhyun menghela nafas dan memberinya senyuman.

"Baiklah. Aku akan tetap tinggal. Namun biarkan aku memakai kamar mandi dan berganti pakaian terlebih dulu. Kau beristirahatlah, oke?"

Chanyeol tersenyum. Baekhyun tahu ia telah mengambil keputusan yang tepat.

.

.

.

"Tidurlah, Park. Tidakkah kau merasa mengantuk?" Gumam Baekhyun. Ia telah memejamkan matanya selama lebih dari lima menit sejak ia berbaring di sisi ranjang Chanyeol, dan selama itu pula ia merasakan tatapan intens pria yang lebih tinggi kepadanya.

"Aku sudah terlalu banyak tidur seharian ini. Aku rasa aku bisa menghabiskan sisa waktuku memandangmu tertidur hingga pagi hari."

Sekarang adalah pukul satu dini hari, dan Park Chanyeol bukan hanya telah kehilangan beberapa derajat demam tubuhnya, namun ia juga telah kehilangan rasa kantuknya.

"Stop it. Kau akan membuatku sulit tidur. Dan kau tahu aku memiliki jadwal kerja hari ini." Baekhyun menarik selimutnya, berusaha menutupi wajahnya yang merona merah.

"Hey, Byun."

"Hm?"

"Pernahkah kau berpikir. Kita seumuran, mengapa kita tidak mencoba memanggil nama satu sama lain dengan nama panggilan?"

Baekhyun membuka sedikit selimutnya dan memandang Chanyeol dengan picingan matanya.

"No. Aku suka menjaga hubungan ini tetap formal di antara kita. Aku akan tetap memanggilmu dengan nama margamu."

"Baek."

Baekhyun seketika bergeming.

Chanyeol tersenyum.

"Baek. Baekhyun. Wow, it sounds nice. Try it."

Baekhyun menelan ludahnya, mempertahankan tatapannya tetap pada sepasang mata almond itu.

"Yeol."

Pipi Baekhyun merona, dan Chanyeol terkekeh pelan.

Ya Tuhan. Ini memalukan. Baekhyun ingat satu-satunya saat dimana mereka memanggil satu sama lain dengan nama panggilan adalah saat mereka melakukan 'hal itu', beberapa waktu lalu. Dan sekarang, memanggil nama satu sama lain dengan santai seperti ini, membuat Baekhyun tak bisa mencegah ingatan itu untuk kembali.

"Hey, Park." Lirih Baekhyun pelan.

Chanyeol menaikkan alisnya. Dan Baekhyun sesaat bertanya-tanya apakah ia harus melanjutkan kalimatnya.

Melihat keraguan di mata Baekhyun, Chanyeol mengulurkan tangannya. Memegang dagu Baekhyun pelan dengan ibu jari dan telunjuknya.

"Hey. Apa yang sedang ada di kepala cantikmu ini, Byun Baekhyun? Tell me."

Baekhyun menelan ludah. Memandang mata Chanyeol dalam diam. Chanyeol memiliki sepasang mata yang cantik. Almond shaped, dengan iris coklat gelap yang nampak pekat dan dalam.

"Kau tahu, Byun," Ujar Chanyeol ketika lelaki di hadapannya tidak juga berbicara. "Jika aku memiliki sebuah kekuatan super, aku ingin itu adalah kekuatan untuk membaca pikiran dan perasaanmu."

"Kau tidak akan senang mengetahui apa yang aku pikirkan." Baekhyun menanggapi dengan senyuman kecil di bibir.

Chanyeol menaikkan sisi alisnya. "Why? Apa kau sedang memikirkan sesuatu yang nakal?"

Baekhyun menghadiahinya dengan pukulan pelan di dada.

"Aku tahu apa yang ada di pikiranmu tanpa perlu memiliki kekuatan super." Ujar Baekhyun setelah beberapa saat berlalu dengan keduanya hanya mamandang satu sama lain.

Chanyeol menunjukkan emosi dan perasaannya bagai sebuah buku yang ia biarkan terbuka. Itu tidak akan sulit bagi siapapun untuk melihatnya.

"Really? Kalau begitu baca diriku."

Baekhyun mengerutkan dahinya sesaat, berpura-pura berpikir keras sebelum akhirnya menjawab.

"Aku melihat kekhawatiran di wajahmu. Aku tidak yakin itu disebabkan karena apa, tapi yang pasti aku tidak suka melihatnya."

Chanyeol tersenyum, memunculkan lesung pipinya.

"Kau juga merasa lega; atau mungkin senang." Jari Baekhyun menyentuh ujung lengkung mata Chanyeol, sesuatu yang selalu muncul ketika pria tinggi itu tersenyum. "Kemungkinan karena aku ada di sini, menyelamatkan nyawamu yang bisa saja mati karena sakit demam seorang diri di rumah."

Chanyeol terkekeh pelan. Suaranya terdengar dalam dan berat, sesuatu yang Baekhyun akui sangat ia sukai.

"Kau kesepian dan bosan. Karena itulah kau ingin aku di sini. Atau mungkin kau tidak mau aku pulang karena kau merindukan pancake andalanku untuk sarapan esok hari."

Tanpa banyak bicara, Chanyeol melingkarkan tangannya ke tubuh Baekhyun. Membuat lelaki mungil itu memekik pelan kala ia menggulingkan posisi tubuh mereka, membuat Baekhyun berbaring tengkurap di atas tubuh Chanyeol.

Tatapan mereka bertemu satu sama lain. Dan cara Chanyeol memandangnya membuat dada Baekhyun seketika merasa begitu tenang.

Ia merasa begitu aman.

"Harus aku akui, kau membaca apa yang aku rasakan dengan cukup tepat, Mr. Byun. Aku tidak ingin kau pergi malam ini. Aku ingin kau membuatkan pancake untukku esok pagi." Chanyeol menyusupkan wajahnya ke ceruk leher Baekhyun.

"Bisakah kau membaca pikiranku?" Tanya Baekhyun ragu, membuat Chanyeol kembali memandangnya.

Pria tinggi itu mengerutkan dahi, berusaha menunjukkan ekspresi berpikir yang dibuat-buat sebelum mulai berbicara.

Katakan bahwa kau bisa membaca pikiranku.

Katakan bahwa kau tahu aku menyukaimu.

"Kau merasa kesal." Chanyeol tertawa pelan. "Kau merasa kesal karena aku menahanmu di sini alih-alih membiarkanmu pulang setelah merawatku."

Bodoh. Aku senang berada di sini bersamamu.

"Kemungkinan, kau sedang memikirkan pekerjaan saat ini. Tentang bagaimana kau akan menyelesaikan pekerjaanmu yang tertunda karena harus di sini bersamaku malam ini."

Kau. Aku hanya memikirkanmu saat ini.

"Dan kau…"

"Aku menyukaimu."

Chanyeol bergeming.

Baekhyun ingin bumi terbuka dan menelan dirinya hidup-hidup saat itu juga. Ia tidak tahu makna dari ekspresi yang Chanyeol berikan, dan itu mulai membuatnya takut. Namun tidak ada kata mundur ketika ia telah terlanjur mengatakannya.

"Kau ingin tahu apa yang ada di dalam pikiranku saat ini, Park Chanyeol? Kau. Kau yang ada di pikiranku saat ini."

Baekhyun memandang wajah Chanyeol, dan ia merasa aneh ketika merasakan keyakinan yang seketika muncul.

"Jongdae bilang aku bodoh karena tidak menyadari perasaanku padamu sejak lama. Biasanya aku akan menyangkal jika ia mengatakan hal semacam itu padaku. Namun kali ini aku mengakuinya. Aku memang bodoh. Terlalu lama bagiku untuk menyadari dan mengakui ini. Aku-"

"Oh my God." Erang Chanyeol dengan helaan nafas, menyusupkan wajahnya ke ceruk leher Baekhyun. "Katakan aku tidak bermimpi saat ini." Gumam Chanyeol. Bibirnya bertemu langsung dengan kulit bahu Baekhyun yang terekspos.

"I really want to kiss you right now." Keluh Chanyeol, memandang Baekhyun dengan cebikan kesal pada dirinya sendiri.

Baekhyun tidak bisa menahan senyumannya. Pipinya semerah cherry dan dengan perlahan ia menelusurkan jemarinya di garis rahang Chanyeol.

"Segera setalah kau benar-benar sembuh, Park. Kau bisa mendapatkan ciuman sebanyak yang kau mau setelah kau sembuh."

"Oh, God…" Erang Chanyeol, melampiaskan ciumannya pada leher Baekhyun, yang mana sukses membuat lelaki mungil itu terkekeh geli.

"So… we are boyfriends now?" Tanya Chanyeol penuh harap, beberapa saat setelah ia selesai menghujani tiap titik di leher Baekhyun dengan kecupan. "Maksudku, aku menyukaimu. Sangat. Dan kau... Kau juga menyukaiku. Jadi..."

"Hanya jika kau mau, Park." Jawab Baekhyun.

"Tentu. Dengan senang hati." Chanyeol memberikan kecupan lembut di dahi Baekhyun. Dan lelaki mungil itu bisa merasakan kupu-kupu di dadanya kembali beterbangan.

.

.

.

"Kau tahu, sepertinya nenek moyang kita pernah berbuat kesalahan pada dewa cuaca hingga kita harus terjebak dalam badai salju terus menerus seperti ini." Komentar Baekhyun seraya berdiri di jendela kaca lebar yang mengarah langsung ke balkon lantai dua rumah Chanyeol.

Ini adalah hari ke empat keduanya resmi menjadi sepasang kekasih. Baekhyun memutuskan untuk menginap di rumah Chanyeol untuk menghabiskan akhir pekan setelah minggu melelahkan di tempat kerja. Dan ia sama sekali tidak menduga mereka harus membatalkan makan malam mereka di restaurant favorit Chanyeol karena sebuah badai salju yang cukup mendadak.

"Oh, come on. Pengalaman kita terjebak dalam badai bisa dibilang adalah sebuah keberuntungan. Lihat kemana itu semua membawa kita berdua." Ujar Chanyeol dari atas sofa, tak jauh dari tempat Baekhyun berdiri.

Ya, mungkin Chanyeol benar. Terkadang fakta bahwa mereka berdua adalah sepasang kekasih masih begitu sulit Baekhyun bayangkan. Namun sejauh ini, Baekhyun tidak pernah lebih bahagia.

"Aku terbiasa menghabiskan waktuku di dalam rumah. Kau tahu, melakukan hal-hal yang membosankan. Namun mengingat bagaimana dirimu, tidakkah terjebak seperti ini akan sangat membosankan?"

Baekhyun menjatuhkan tubuhnya ke atas tubuh Chanyeol. Dan secara naluriah, seakan ia telah melakukannya ribuan kali, pria yang lebih tinggi melingkarkan lengannya ke pinggang ramping Baekhyun dan memberikan pelukan erat.

"Well, jika aku terjebak seorang diri mungkin aku sudah akan mati bosan saat ini." Chanyeol melayangkan sebuah kecupan kecil ke sisi wajah Baekhyun. "Namun seperti yang kubilang. Terjebak bersamamu adalah sebuah keberuntungan. Lagipula, kita memiliki banyak hal untuk bisa dilakukan di cuaca seperti ini."

Chanyeol menyeringai pelan. Dan untuk sesaat, hal itu sedikit mengingatkan Baekhyun pada seringai serigala dalam buku dongeng kesukaannya.

Dengan gerakan yang lihai, Chanyeol membalik posisi tubuh mereka. Memastikan Baekhyun terbaring dengan nyaman sebelum meraup bibir mungilnya yang manis.

Ciuman mereka dimulai dengan serangkaian kecupan nan polos. Baekhyun membiarkan pria di atas tubuhnya merengkuh sisi wajahnya, sementara lengan yang lain masih melingkar pada pinggangnya.

Kupu-kupu yang semula tertidur di dalam rongga dada Baekhyun seketika terbangun, dan jantungnya berdesir kuat oleh tiap sentuhan yang bibir Chanyeol berikan. Dan Baekhyun membiarkan ia membuka matanya pelan setelah sesaat membiarkan Chanyeol memimpin itu sama. Dan untuk sesaat bernafas menjadi hal terakhir yang Baekhyun pikirkan saat itu.

Baekhyun menemukan Chanyeol memandang matanya dengan begitu dalam. Iris coklat matanya nampak begitu gelap, dan terpusat pada dirinya. Sesuatu yang seketika mengirim gelombang kebahagiaan pada sekujur tubuh Baekhyun. Hingga Chanyeol meraih nafas Baekhyun ke dalam sebuah ciuman yang lebih dalam, intens, namun juga penuh kelembutan.

Baekhyun bahagia.

Ia tidak pernah lebih bahagia dari saat ini. Detik ini. Bersama pria ini.

Mereka menghabiskan beberapa menit mereka hanya dengan menikmati bibir satu sama lain. Dan seharusnya Baekhyun tidak kaget ketika semua itu membawa mereka ke sesuatu yang lebih. Terlebih mengingat minggu itu adalah minggu yang melelahkan bagi keduanya, yang mana tak ada waktu untuk seks, kecuali di akhir pekan seperti ini.

Tangan Chanyeol mulai menyeruak masuk ke balik sweater Baekhyun, membuat pakaiannya perlahan tersibak dari tubuhnya. Belaian-belaian kecil membuai Baekhyun, hingga seketika ia tersadar oleh sesuatu.

"W-wait."Baekhyun menahan dada Chenyeol ketika pria itu semakin menjalarkan tangannya.

Chanyeol dengan cepat menghentikan dirinya. Memandang Baekhyun dengan tatapan memastikan apakah ia baik-baik saja.

"Kau tak apa?" Hati Baekhyun meleleh oleh pertanyaan sederhana yang penuh arti tersebut.

"K-kau - punya persediaan kondom, bukan?" Baekhyun berusaha mengalihkan tatapannya ketika mengucapkan pertanyaan itu.

Chanyeol tersenyum mendengarnya, kali ini sebuah senyuman yang penuh pengertian. Pria itu memberikan kecupan pelan pada kening Baekhyun.

"Sure. Apa sesuatu mengganggu pikiranmu? Apa kau sedang tidak ingin melakukannya?"

"Bukan begitu." Lirih Baekhyun, nyaris tak terdengar.

Chanyeol menaikkan alisnya tak mengerti.

"A-aku mau melakukannya. Hanya saja…" Baekhyun menggigit bibir bawahnya ragu. "Aku ingin kita lebih hati-hati dan memastikan kita hanya melakukannya dengan kondom mulai saat ini."

"Apa maksudmu?"

Baekhyun menarik nafas dalam, memandang Chanyeol seakan ingin menyaksikan ekspresi kekasihnya ketika ia mengucapkan kalimatnya yang selanjutnya.

"Aku seorang male carrier, Chanyeol."

Chanyeol memandangnya. Satu detik, dua detik, hingga perlahan bibirnya ternganga. Baekhyun tak mengerti apa maksud ekspresi yang Chanyeol berikan. Terlebih katika ia tak memberikan tanggapan apapun atas berita yang Baekhyun katakan.

"Maksudku… aku belum mulai mengkonsumsi pil pencegah kehamilan sejak aku melakukan tes dan mendapati hasilnya positif. Jadi jika kita tidak hati-hati, kau bisa saja menghamiliku. Hanya itu. Aku bersumpah aku tidak bermaksud menakut-nakutimu. Aku-

Chanyeol seketika meraih Baekhyun dalam sebuah pelukan erat. Baekhyun terkaget. Namun ketika Chanyeol mulai menghujani rambut Baekhyun dengan kecupan lembut, keraguan dan rasa takut oleh kemungkinan bahwa Chanyeol bisa saja tidak suka dengan berita tersebut seketika menguap dari diri Baekhyun.

"Kau melakukannya lagi, Baek. Kau membuatku jatuh semakin dalam padamu."

Baekhyun tertawa pelan. Sebuah suara yang paling Chanyeol sukai melebihi hal apapun di dunia ini. Dan hanya dengan bayangan menjalani hari-hari bersama lelaki dalam pelukannya ini cukup untuk membuat Chanyeol bahagia.

"Thank you." Bisik Baekhyun pelan. "Terimakasih karena bersedia menerimaku apa adanya."

"Kau tidak tahu seberapa mudahnya bagiku untuk jatuh hati padamu, Byun Baekhyun."

Lelaki mungil itu tersenyum, menenggakkan kepalanya untuk meraih bibir Chanyeol dalam ciuman lembut.

Selama ini Baekhyun melihat cinta sebagai sebuah ancaman. Namun pada momen ini, Baekhyun tersadar.

Cinta bukanlah sebuah ancaman, melainkan suatu kesempatan.

Ada banyak kemungkinan menanti di hadapan mereka. Namun Baekhyun membiarkan semua keraguan itu terhapus mulai saat ini.

Dalam diri Chanyeol, ia melihat kesempatan untuk bahagia. Dan ia hanya berharap Chanyeol melihat hal yang sama pada dirinya.

"I love you. I'm so happy to be with you."

.

.

.

- FIN -

.

.

.

Author's note & announcement

Maaf kalo chapter terakhir ini sedikit jauh dari ekspektasi. Walaupun ini juga jauh dari harapanku, paling enggak aku sudah berusaha semampunya.

Secondly, terimakasih sebanyak-banyaknya kepada reader-nim cerita ini, terlebih pada kalian yang udah bersedia memberikan komentar, kritik dan saran. Minggu-minggu ini bener-bener berat, dan komentar kalian udah ibarat sumber kebahagian kecil buat aku. Seneng banget tiap baca komentar yang ada. Kadang sampe nangis bacanya haha. I know this fic is far from perfect. Kadang aku takut, malu dan minder banget. Tapi kalian bantu aku ngelawan semua itu. Thank you. Thank you. Thank you so much.

Ada yang bilang fic ini terlalu panjang. Tapi itu karena sejak awal aku memang nggak ngerancang plot yang panjang. Dan takutnya nanti malah makin bosenin kalo dipaksa dipanjang-panjangin.

TAPI, ada satu hal yang emang aku rencanakan sejak awal:

Fic ini bakal punya SEQUEL.

Dan di sequelnya nanti, aku kemungkinan akan lebih fokus ke kehidupan domestic chanbaek pasca jadian dan menjalin hubungan yang lebih serius.

Kenapa nulisnya di sequel? Kenapa enggak jadiin satu di fic ini?

Karena nantinya, genre fic sequel tersebut bakal agak beda dari fic ini. Banyak tags baru yang bakal aku tambahkan (e.g: MPreg, domestic AU, marriage life, dsb.). Jadi bagi kalian yang kurang nyaman sama genre tersebut bisa berhenti cukup baca sampai di sini aja. Sedangkan yang suka, silakan buat lanjut ke fic sequelnya.

Cukup dari aku. Sekali lagi, terimakasih banyak buat kalian semua. See you in the next story!

XX, mashedpootato