–sebelumnya–
Suzaku terkejut dan cukup terkesan saat melihat semua orang-orang dari klannya telah tumbang dengan mudah setelah melawan pemuda pirang itu.
Omong-omong, soal Ojiisan no Kakkoi. Dia masih terlihat tenang-tenang saja 'tuh.
Naruto Namikaze.
Entah bagaimana caranya, pemuda itu tidak sedikit pun mendapat luka, bahkan luka gores sekecil apapun. Begitu pun dengan lawan-lawannya. Padahal Suzaku jelas-jelas melihat Naruto tadi menebas lawan-lawannya dengan tak kenal ampun.
Ekspresi pria muda itu datar, matanya mirip seperti mata ikan. Mati. Dingin dan tak menunjukkan emosi.
Lalu…
"Che! Mana mungkin mainan anak-anak seperti ini bisa membuatku senang."
Naruto menghela bosan, mendapati bilah katana di tangan kirinya… perlahan melebur menjadi debu, kemudian mengurai tertiup angin. Menyisakan gagangnya saja.
Dan untuk pertama kalinya, Ojiisan no Kakkoi menunjukkan ekpresi berlebihan. Dia kaget melihat hal itu.
"Pria itu…! Dia bukan manusia!"
Suzaku yang mendengar Ojii-sama berkata seperti itu pun terkesiap. Itu lebih mengejutkan ketimbang dia melihat sebuah bilah katana melebur jadi debu. Dia tidak mengerti. Namun, ketika ingin menanyakan maksud dari ucapan Ojii-sama, dia dikejutkan oleh suara Naruto.
"Aku tidak punya urusan lagi disini. Jadi jangan menggangguku."
Pria pirang itu melenggang, memunggungi Suzaku dan Ojiisan no Kakkoi sambil tetap memegang gagang katana yang tersisa di tangan kirinya.
Namun, langkah Naruto terhenti karena seruan Ojiisan no Kakkoi.
"Tunggu! Beraninya kau pergi begitu saja setelah apa yang kau lakukan pada cucuku! Kau harus bertanggung jawab!"
"Sudah kubilang aku tidak ngeue sama cucumu! Kuso Ojiisan!"
"Kapan kau pernah bilang begitu!—Ittei!"
Pagi hari menjelang siang di hari minggu tersebut, berakhir dengan sebuah gagang Katana yang dilempar penuh cinta dan mengenai telak kepala dari seorang Ojiisan yang kehilangan image kerennya dimata seorang pemuda.
Begitulah, emosi bisa membutakan seseorang. Jadi, lupakan soal menghormati orang yang lebih tua.
.
.
Disclaimer:
Naruto @ Masashi Kishimoto
High School DxD @ Ichiei Ishibumi
.
Warning: AU, absurd, bahasa ancur, OOC-OC, humor gak mutu, typo sudah pasti. Yang lain hati-hati di jalan!
.
Chapter 2 : Escalayers
[Bagian-1]
.
.
.
.
~soste~
.
Namaku Naruto, keturunan Uzumaki. Klan sesat yang menganut paham ekstrimis, pengabdi iblis. Menurut orang lain adalah [Iblis] tetapi bagi klan Uzumaki adalah [Dewa] mereka. Entah apa yang dimaksudkan dari kedua perbedaan diatas.
"Terima kasih, Tuan. Mohon datang kembali."
"Yah."
Aku merasa seperti orang bodoh.
Kalau dipikir-pikir lagi, entah bagaimana bisa aku berakhir disini. Berdiri di depan minimarket di dekat stasiun kereta, Himejima-eki, sambil menenteng sekantung plastik berisikan beberapa camilan ringan serta soda kaleng dan satu selop rokok.
Aku bukan seorang perokok, meski kadang-kadang juga mengkonsumsinya. Biasanya itu hanya ketika aku sedang merasa jenuh yang berlebihan. Tapi, rokok yang baru saja aku beli ini jumlahnya juga berlebihan, kan?
Aku tidak tahu kenapa. Menghabiskan semua ini sendirian pasti akan sangat membosankan. Ah, sepertinya aku tahu harus pergi kemana.
Memang perasaanku masih agak sedikit kesal, walau pun pagi tadi setidaknya orang-orang Himejima sudah berbaik hati dan memberiku obat penawar kekesalan yang cukup bagus.
Sayangnya, mereka terlalu lemah!
Hh!
Omong-omong, ini hari minggu. Tidak kusangka akhir pekanku jadi seperti ini. Padahal biasanya aku akan menghabiskan waktuku seperti biasa, bersantai-santai di apartemenku sendiri. Tapi seringnya Karin akan mengomeliku dan menyebutku pemalas atau apalah itu, lalu menyeretku ke berbagai tempat yang sudah dia agendakan; biasanya pergi ke game center. Itupun kalau aku mau, atau setidaknya saat aku memang benar-benar tidak ada kerjaan.
Dia memang pemaksa, tapi tahu batasan.
Karena ini hari minggu dan juga karena sudah lama tidak bepergian, sepertinya mengunjungi salah satu rekanku adalah hal yang bagus. Apalagi dengan barang-barang bawaanku ini, berharap saja dia senang nantinya.
Kalau naik kereta, dari Himejima-eki sini kupikir harus melewati beberapa stasiun lainnya serta pemberhentian di Tokyo, dan itu semua akan memakan waktu cukup lama.
Heh, sepertinya aku harus menggunakan jalur alternatif agar bisa segera sampai ke…
"Namikaze Naruto."
…siapa?
Di trotoar seberang jalan berdiri seorang lelaki muda berpakaian cukup mencolok dan kontras dengan musim dingin, kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Dia memandangku dengan senyum menjijikan.
Lalu, tanpa ada seorang pun yang menyadari, kecuali aku, pemuda itu sudah berada dan berdiri didekatku.
"Kau lapar?"
"Ya–tidak, bukan itu maksudku. Cih!"
"Kenapa jadi kau yang kesal, Vali?"
Setidaknya, kalau dia tidak akan merepotkanku seperti biasanya akan dengan senang hati kutanggapi kunjungan dadakannya. Jadi, tolong jangan menatap kantung plastik di tanganku ini.
.
~soste~
.
"Kau mau?"
"A-Ah, terima kasih."
Memandangi air sungai dari atas jembatan sambil meminum soda dingin disiang hari memang mantab! Akan terasa lebih mantab seandainya yang menemani adalah Onee-san cantik dan pengertian, bukannya malah anak bermasalah dan maniak gulat.
Vali Lucifer
Seperti nama belakangnya. Dia seseorang yang memiliki garis darah berlabel tinggi dan asli dua kelinci dari Maou Lucifer. Terlepas dari apakah dia keturunan Maou Legendaris atau seorang anak bermasalah, sebenarnya dia adalah seseorang yang lebih bermasalah dari semua itu.
Hakuryuukou terkuat sepanjang masa!
Saat ini, orang yang berdiri di sebelahku adalah orang berbahaya seperti itu, dan aku mengenal orang berbahaya seperti itu sejak dia masihlah seukuran botol kecap, ah! Maksudku, saat usianya sekitar anak kelas satu SMP.
"Aku tidak punya ramen, untuk saat ini."
"Geh! Aku tidak datang untuk itu!"
Dan dia juga seorang maniak makanan kelas dewa. Aku yakin karena hal itulah dia menjadi sekuat saat ini.
"Mau konsultasi?" saat aku bertanya begitu, Vali mengangguk pelan, kemudian menggeleng. Dasar plin-plan!
Yah, setidaknya aku sudah sedikit berbaik hati.
Padahal ini hari minggu.
Seharusnya aku menolak saja keputusan Miyuna yang ingin putus dariku. Dengan begitu kupikir aku bisa menghabiskan akhir pekanku dengan cara yang lebih sehat, dalam damai. Bukan malah berdua-duaan bersama pemuda plin-plan yang seenaknya menyeretku kesini dan seenaknya pula mengabaikanku, lalu tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Memikirkan kata-kata itu saja membuatku jijik.
"Omong-omong, bagaimana, Sekiryuutei itu?"
"Heh, heh."
Apa maksudnya itu? Sepertinya aku menyentuh topik yang membuatnya bersemangat, huh.
"Dari reaksi menjijikanmu, sepertinya dia orang yang menarik, huh."
"Yah, dia sangat menarik. Perkembangannya tidak biasa, setidaknya aku tak perlu malu karena lawanku adalah orang yang pantas."
Seolah tidak mendengar cibiranku, Vali dengan penuh perasaan tetap mengatakan beberapa hal tentang rivalnya.
Sejak zaman dulu Hakuryuukou memiliki saingan yang sama kuatnya dengannya: yakni Sekiryuutei. Dan tanpa kujelaskan sekali pun semua orang sudah pasti tahu. Tapi bagiku yang sedikit tahu perangai Lucifer muda ini, melihat dan merasakan atmosfir kesenangan di sisinya, sepertinya Sekiryuutei lebih menarik dari yang kukira.
Adapun hal-hal yang membuatku tertawa….
"Oppai Dragon. Chichiryuutei. Haha! Kau pasti kesulitan karena lawanmu jauh lebih maniak darimu 'kan? Benarkah dia orang yang seperti itu?"
Runtuh!
Ekspresi senang di wajah Vali langsung musnah, dan digantikan dengan raut bermasalah. Sudah kuduga!
Seorang yang berpikiran rasional takkan mungkin mendapat kemudahan saat harus menghadapi seseorang yang berpikiran irrasional. Saranku; hal pertama yang harus dilakukan agar kau tidak terpengaruh, maka kau hanya harus menjadi gila atau bila perlu jadilah lebih gila lagi dari seorang irrasional.
Dengan kata lain, Sekiryuutei ini adalah orang yang sulit ditebak, kurasa? Dan juga maniak oppai!
.
"Naruto. Apa kau masih independent?"
Hh?
Kenapa orang ini tiba-tiba serius, dan tolong jangan menatapku dengan ekpresi seperti itu.
"Tidak juga. Memang benar aku sering bertindak seorang diri, tetapi sudah ada orang-orang aneh yang menyertakanku sebagai salah satu anggota di sebuah Klub Kecil yang baru-baru ini dibentuk." jelasku, seringkas mungkin yang malah memuat Vali curiga.
"Klub Kecil, huh?"
"Terserah. Aku tidak butuh kepercayaanmu."
Vali mengendikan bahunya, lalu…
"Tidak, bukan itu. Aku hanya tak menyangka saja orang seperti Kau mau berurusan dengan hal seperti ini. Bahkan kau menolak bergabung denganku!"
Dia kesal, tapi tak seharusnya 'kan dia mengatakan itu? Bergabung denganku, katanya? Yang benar saja!
"Alasan penolakanku tidak sulit, pondasi kelompok anehmu masih lemah. Lagipula aku adalah seorang yang menikmati waktu santaiku, bukan pengangguran tidak jelas seperti Kau dan klub senang-senangmu itu."
"Kau menyebalkan seperti biasa!"
"Dan Kau masih saja bocah bermasalah."
Mungkin dia masih kesal karena penolakanku waktu itu. Tapi, terlepas dari seberapa menyebalkan aku baginya, atau seberapa bermasalah dia bagiku, sekali pun kami tak pernah bersitegang. Memang ada banyak hal yang membedakan kami, tetapi ada juga beberapa kesamaan diantara kami. Yah, dia juga maniak makanan kelas dewa!
Sudah kuduga. Dengan mengabaikan perbedaan, dan lebih mementingkan keberagaman, ramen adalah pemersatu dunia!
.
"Sebenarnya…. Aku tidak ingin mengatakan ini. Tapi Vali. Kau tampaknya sedikit tergesa-gesa?"
Biasanya dia akan mengatakan apa yang ingin dia katakan tanpa menahan diri, tapi saat ini Vali sedikit berbeda dari dirinya yang biasanya. Di dalam, dia terlihat murung.
"Kau benar—"
Seperti itu. Vali akhirnya menjelaskan tujuannya datang menemuiku; masa lalunya terasa menyakitkan. Selama ini dia hidup sambil membawa kebencian dalam dirinya, sejujurnya dia bukan tipe orang yang akan mengatakan tentang dirinya sendiri begitu saja, tapi aku sudah tahu sejak lama karena dia sendiri lah yang menceritakannya padaku. Sebagai sebab akibat, beberapa waktu lalu pusat kebencian Vali, orang yang disebut Rizevim Livan Lucifer, Putra Bintang Fajar, yang juga sebenarnya adalah Kakek Vali, memunculkan batang hidungnya bersama ideologi gilanya.
Aku pikir hal semacam itu bagus untuknya, tapi sepertinya tidak semudah itu….
"Sacred Gear Canceller! Si bedebah itu memiliki sesuatu seperti itu!"
Aku paham aku paham, jadi kau tak seharusnya membawa keluar emosimu didekatku. Jika dibiarkan dia akan menarik perhatian, dan itu pasti akan membuatku kerepotan.
Meski begitu, aku tak bisa hanya diam begitu saja ketika tahu orang yang sedikit sama sepertiku dalam kesulitan.
"Mendengar namanya saja pasti merepotkan, jadi kau tidak bisa menendang pantatnya si Livan itu secara langsung, huh. Lalu tujuanmu menemuiku adalah…?"
Sementara aku bertanya begitu, Vali tidak lekas membalas. Dia diam untuk sesaat, lalu tiba-tiba terkekeh seolah-olah menemukan hal yang lucu.
Aku pun sama.
"Heh, akan kubantu sebisaku."
"Uh-huh."
Aku tak akan memaksanya mengatakan sendiri karena sebagai Hakuryuuko, dia memiliki harga diri tinggi. Untuknya meminta bantuan kepada orang biasa sepertiku, tentu saja akan membuatnya merasa malu sekali. Dan juga merusak reputasinya. Heh, memiliki Naga Legendaris sebagai rekan adalah hal yang benar-benar bagus!
"Terima kasih."
"Jangan berterima kasih padaku. Itu membuatmu tidak seperti dirimu, Vali."
Dia bocah bermasalah. Terlepas dari apakah dia keturunan Maou Lucifer, atau Hakuryuukou yang legendaris, sebenarnya dia adalah pemuda biasa yang dipaksa menjadi tidak biasa. Dalam dirinya, terdapat celah kerapuhan diantara sifat maniak gulatnya.
Walaupun awalnya dia bertindak seolah menolak berkonsultasi denganku, pada akhirnya dia malah curhat sendiri tentang masalahnya.
Dasar bocah plin-plan!
Omong-omong, siang hari di hari mingguku entah kenapa berakhir seperti ini. Mendengar curhatan seorang anak bermasalah, dan berusaha memahami perasaan serta sedikit berbagi kesulitan.
"Hubungi saja kalau ada sesuatu. Jaa na!"
Aku bahkan hampir lupa kalau tujuan awalku adalah untuk mengunjungi salah satu rekanku. Aku agak merindukan mulut pedasnya ketika mengomeliku.
Lalu, aku mengambil langkah pertamaku berniat untuk pergi. Disaat yang sama, Vali berbicara….
"Namikaze Naruto. Klub senang-senangmu pasti sangat menarik, huh. Mengingat Kau orang yang seperti apa, bahkan mau keluar dari sangkarnya."
Heh?
Kupikir sudah tak ada lagi yang perlu dibicarakan, dan juga sepertinya dia merasa lebih baik. Untuk beberapa alasan, sepertinya Vali tertarik dengan Klub Kecil yang aku naungi, huh?
"Kami [Alter Arrive]! Tidak akan kalah dari para pengguna Longinus seperti kalian! Ingat itu!"
Karena…
Meski sedikit, Klub kami berisikan orang-orang gila!
.
.
~soste~
.
.
Sejauh mata memandang, hanya ada pohon-pohon bambu disini. Aura mistis yang sangat kental begitu terasa disetiap pori-pori kulit.
Aku Namikaze Naruto. Saat ini sedang berada di suatu tempat yang sangat sulit untuk dijamah, bahkan oleh sekelas dewa sekali pun, tetapi tidak untukku.
Karena beberapa alasan, dan mengingat masa lalu yang pernah kualami disini, sang penguasa wilayah ini mau berbaik hati memberiku akses khusus agar bisa keluar-masuk ke wilayah kekuasaannya.
Suara gemerisik daun bambu yang tertiup angin terdengar begitu khas.
Meski hanya hutan bambu, orang yang tidak diizinkan akan mendapat masalah bila berani datang kemari, salah satunya adalah kau bisa tersesat selamanya disini hingga ajal menjemput. Tempat ini lebih membingungkan dibanding labirin. Omong-omong, aku juga sedikit kebingungan kemana aku harus pergi agar bisa sampai ke tempat tujuan. Sudah cukup lama tidak berkunjung kesini membuatku sedikit lupa area-area tertentu yang harus dihindari.
Masalahnya, disini hanya ada beribu-ribu pohon bambu yang mana cahaya matahari pun begitu redup karena terhalangi dedaunan yang begitu lebat.
"Bagaimana kalau aku bakar saja, huh?"
Yah, sepertinya itu ide bagus. Dengan begitu aku pasti akan menemukan jalan yang benar dengan lebih mudah, mungkin? Sementara aku memikirkan ide briliant itu, tiba-tiba angin berhemebus kencang membuat semua pohon bambu disini berguncang, dan daun-daun bambu yang sudah mengering terbang berhamburan ke segala arah.
Haha! Sepertinya aku mengatakan hal yang tidak perlu. Penguasa Hutan ini pasti mendengar kata-kataku.
"Setidaknya, jangan merubah-rubah tempatmu ini. Aku tidak ingat harus ke arah mana."
Diam.
Tidak ada yang membalas ucapanku barusan. Kalau saja ada yang melihatku seperti tadi, mereka pasti akan menganggapku tidak waras karena berbicara sendirian. Tapi aku lebih tahu dengan apa yang kulakukan.
Tunggu dulu, serius! Aku sudah menunggu sekitar lima menit, tapi kenapa tidak ada seorang pun yang menjawab kata-kataku?
"Hei. Kau marah padaku? Aku hanya bercanda."
.
"…Hoo? Kupikir babi hutan ternyata kau, Kiiroi."
Hh! Babi hutan? Dia benar-benar marah padaku, bahkan menganggapku babi hutan!
"Itu keterlaluan, Birdy!"
Kalau kau yang berada diposisiku saat ini kau pun pasti kesal 'kan, mendengar suara yang khas seperti seorang gadis tomboi menganggap dirimu adalah babi hutan, iya kan!?
"Heh, sampah!"
Ugh!
Nada meremehkan yang begitu tajam seperti biasa. Untung saja aku seorang pria bejat yang keren, kalau bukan, mendengar satu kata menyakitkan seperti itu mungkin saja aku sudah menangis. Meski dia tidak mewujudkan dirinya di hadapanku, tetapi aku tahu kalau saat ini dia pasti tengah tersenyum angkuh seperti dia yang kukenal!
Tiba-tiba pepohonan bambu di depanku terlihat memudar, bak ilusi, seolah sebelumnya disana tak pernah ada apapun disana; menciptakan jalan setapak selebar empat meter yang diapit oleh pepohonan bambu di kiri dan kanannya.
Jauh di depan sana, terlihat ratusan anak tangga batu sudah menunggu untuk diinjak-injak. Lalu di atas sana, di puncak tangga, sebuah Torii megah berdiri kokoh yang menjadi penghubung ke jalan menuju kuil besar bercatkan warna merah pekat.
"Aku masuk. Oke?"
Aku hanya memastikan kalau dia saat ini sedang tidak menjebak diriku, seperti yang sudah-sudah.
"Aku sedang malas. Sudah, masuklah."
Sepertinya begitu. Lalu, aku melangkah dengan agak berhati-hati.
.
Setelah beberapa saat, akhirnya aku melewati lorong bambu tadi. Kira-kira panjangnya sekitar 100-meter. Jadi sekarang, aku berjalan menitik anak tangga yang terbuat dari batu ini satu persatu.
Pertama kali aku kesini, hutan ini adalah hutan mapel. Tapi, sekarang berganti menjadi hutan bambu. Heh, dia memang seenaknya sendiri.
Kalau kuhitung-hitung, ini anak tangga yang ke 163? Wow, tidak kusangka aku sudah berjalan sampai sejauh itu tanpa mengeluh.
Dan, tepat ketika di anak tangga yang entahlah ke berapa itu, akhirnya aku sampai juga di depan Torii setinggi enam meter ini. Ukuran yang tidak biasa.
Di depan sana, berdiri kokoh sebuah Kuil megah bercat merah tua. Kalau diperhaikan lagi, kuil itu mirip dengan Senso-ji yang ada di Tokyo. Hanya saja ukurannya lebih kecil, halamannya pun tak terlalu luas. Disamping itu tak ada hal mencolok seperti tulisan-tulisan Hiragana yang berbunyi ini dan itu di tiap-tiap tiang penyangga kuil tersebut.
Kecuali…
Ada sebuah tumpukan kain putih di teras kayu kuil itu. Kupikir agak aneh, kenapa orang itu asal menaruh kain disana? Tidak biasanya.
Heh, terserah.
Bisa dibilang, bagi orang itu kuil ini adalah rumahnya.
Begitu aku menoleh ke belakang, sudah kuduga! Kalau pemandangan dari sini berbeda dari yang aku pikirkan. Seharusnya… di bawah sana adalah hutan bambu, kan. Dan apa yang kulihat saat ini?
Aku berada di atas puncak sebuah gunung, yang mana terdapat salju yang menumpuk di atas dedaunan hutan dari pohon mapel ini. Berbicara soal salju…. Benar juga. Saat ini menjelang akhir tahun.
Jadi begitulah.
Hutan bambu yang tadi hanyalah ilusi.
Jujur, aku bukan orang yang pandai dalam menjelaskan sesuatu.
Yang kutahu, aku hanya akan melakukan apa yang bisa kulakukan. Saat ini pun, masih ada banyak yang mesti kupelajari seperti arti dari kata sosialisasi. Tidak tidak. Karena itu tidak penting, lupakan dulu.
"Mmhn…Lama sekali kau?"
Karena aku mendengar erangan yang terdengar malas dan juga sebuah suara yang sama malasnya. Itu seolah berbicara padaku. Maksudku, kau disini tidak lain adalah aku. Karena aku satu-satunya orang yang berada disini?
Iya 'kan?
Jadi, dari mana suara yang terdengar agak teredam tadi ber—.
"Hah?"
Ternyata, ada sebuah kepala berambut darksilver yang dipotong pendek sebahu menyembul keluar dari… kain putih tadi, serius!
Ketika kepala itu berputah 180 ke arahku, terlihat sebuah paras cantik nan sayu dari seorang wanita muda diawal 20-an tahun. Meski kedua matanya terlihat mengantuk, setengah tertutup, Dia memiliki iris merah yang sangat indah dan berkilauan bagai mutiara.
Sementara aku berpikir begitu— sambil dia mengucek matanya dengan penampilan yang kelewat imut, wanita muda itu….
"Kiiroi! Aku sudah menunggumu! Ketua yang tidak punya spesifikasi sebagai Ketua juga menitipkan pesan padaku untukmu! Katanya; lusa nanti akan diadakan pertemuan! Semua [Alter Arrive] …tidak. Semua [Escalayers] harus hadir bagaimana pun caranya! Kalau sampai ada yang tidak datang, Dia berjanji, akan Memotong Garis—nya!"
—Jelasnya.
Aku pikir, dia akan menyambut kedatanganku ini dengan cara yang lebih normal.
Tapi apa!?
Hal pertama yang dia beri tahukan padaku adalah suatu hal yang terdengar sangat berbahaya! Mengejutkan!
"K-Kau bercanda, kan… Mokou?"
Sungguh!
Aku tak bisa menyembunyikan perasaan gugupku. Mau bagaimana lagi. Aku baru saja mendengar sebuah kabar berbau mengerikan.
"Uuh! Aku juga tidak ingin keluaaar! Musim dingin adalah yang terburuk!"
Huh?
Aku lupa kalau wanita satu ini membenci udara dingin. Padahal aku serius ingin memastikan ucapannya yang tadi, akan tetapi dia malah kembali memasukkan kepalanya ke dalam selimut.
Namanya Mokou.
Hanya itu.
Tidak memiliki nama belakang atau semacamnya. Meski penampilan fisiknya seperti wanita muda diawal 20-an tahun, usia sebenarnya tidak kuketahui. Kadang-kadang, dia bersikap agak brutal.
Dia manusia, tetapi bukan manusia. Tidak seperti manusia yang bisa ditemui dimana pun dan kapan pun.
Karena dia sama sepertiku.
"Jujur saja, aku pun sama kagetnya. Tapi Mokou. Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?"
"Mana mungkin aku mau keluar! Udaranya dingin!"
Lagi-lagi dingin….
Yah, mau bagaimana lagi. Karena tak ada respon yang memuaskan dari Mokou, aku pun menghampirinya.
"Yah, kalau Ketua sudah bilang begitu, maka tak ada pilihan lain, kan?"
Oke. Namanya Mokou. Ingat?
"Diantara ke dua puluh dua orang, yang berhasil hanya separuh. Pengkhianatan. Keegoisan. Keraguan. Kecerobohan. Kebencian. Ketakutan. Bahkan Cinta. Apakah tidak apa-apa memiliki sebuah emosi?"
Dia ini…!
Padahal aku hanya setengah bercanda, tapi dia malah mengatakan hal-hal yang sangat sensitif.
"Memiliki atau tidak, meski begitu, emosi adalah hal yang penting untuk diperhatikan."
"…! Kau tidak memiliki keraguan sama sekali, ya?"
"Kau boleh saja meragukan orang lain, tetapi jangan meragukan dirimu sendiri."
Percakapan ambigu ini pun berakhir tiba-tiba, sebagaimana halnya itu dimulai.
Aku tertawa pelan saat melihat Mokou menyingkap selimut yang menutupi kepalanya, menatapku apatis.
"Kau selalu terdengar serius saat bicara denganku. Kau tahu? Aku ini dari masa yang berbeda dengan kalian."
Wanita satu ini memang memiliki passion yang kuat. Tatapan mata beriris vermillionnya tampak bosan seperti biasanya. Wajahanya pun tetap cantik. Tak ada yang berubah kecuali gaya rambutnya yang dipotong pendek.
Aku tak tahu betul bagaimana masa lalu Mokou, tapi aku senang memiliki partner seperti dirinya.
"Pada akhirnya, kau juga hidup di masa ini, kan? Lagian, Kita memang memiliki latar belakang yang tidak jelas. Haha!"
Aku kembali tertawa saat mengambil tempat dan duduk di sampingnya.
"Apanya yang lucu, baka!"
Meski dia berkata kasar begitu, Mokou tampak tersenyum simpul seraya bangun dari rebahan, lalu dia duduk di sampingku sambil memandang ke kejauhan, seperti mengenang sesuatu.
"Tapi Narr.—"
"Tidak. Jangan panggil aku Itu. Karena kau tidak tahu bahasa Jerman sama sekali!"
Tentu saja aku tidak terima dipanggil Narr–yang artinya; bodoh. Lagian, siapa pula yang mau namanya diubah seperti itu.
"—Kau dan ketua yang tak berkomitmen menjadi ketua itu, entah kenapa tidak pernah akur…. Mungkin? Tapi, yang lain malah bilang kalau kalian partner yang serasi."
Jangan mengabaikanku!
Terserah!
Nada bicaranya terdengar penasaran, dan dia menatapku heran. Tapi, agak lucu saat dia berbicara tentang Ketua.
"Kami tidak pernah benar-benar bertengkar atau apa. Ketua hanya senang menjahiliku."
"Souka?"
Dasar! Dia masih saja seenaknya.
"Mm…Kiiroi."
"Apa?"
"Tidak ada."
Cih!
Omong-omong, aku kelupaan membawa sesuatu. Gara-gara terlalu asyik ngobrol dengan Vali, sepertinya aku meninggalkan kantung plastik belanjaanku di jembatan itu? Padahal tujuanku kesini sekalian ingin memberikan barang belanjaanku ke Mokou.
"Bakaruto, mau keluar sebentar?"
Ampun dah…
Dia ini seenaknya saja mengganti-ganti namaku ya? Lalu apa bedanya Bakaruto dengan Narr. Ujung-ujungnya dia masih memanggilku bodoh.
"Sebenarnya, Ketua menitipkan sesuatu padaku. Untukmu. Tapi kupikir, itu nanti saja sekalian. Jadi, mau keluar denganku tidak?"
Sebenarnya aku penasaran apa sesuatu itu? Apa yang dititipkan Ketua untukku? Tapi yang lebih mengherankan, kenapa Mokou tiba-tiba ingin mengajakku keluar rumahnya?
"Kau yakin? Bukankah kau bilang–musim dingin adalah yang terburuk, eh?"
"Jadi kau tidak mau?—Hmph!"
Mokou merengut, pipinya pun ikut mengembung ketika dia menatapku dengan ekspresi sebal—menggemaskan!
"Aku tidak bilang tidak mau. Hanya memberitahu, diluar—prefektur Miyagi sedang turun salju."
"Cih! Aku jadi ingin membakar seseorang!"
Buset dah nih cewek!
Baru saja dia bersikap imut, sekarang dia malah terdengar seperti ketua geng Yakuza.
Mokou tiba-tiba berdiri….
"Pokoknya, kau harus ikut denganku!"
….Selimut tebal yang menutupi tubuhnya dalam sekejap langsung tersingkap, lalu dia melenggang pergi tanpa memperdulikan bagaimana penampilannya saat ini!
"Tunggu disana! Jangan coba-coba lari dariku!"
Aku hanya bisa mengangguk lemah.
Sementara Mokou masuk ke dalam kuil… disini, aku hanya bisa megap-megap sambil menyumbat hidungku yang tiba-tiba mengeluarkan darah!
Jadi, sejak tadi di dalam selimut itu, dia sama sekali tidak memakai pakaian! Dia telanjang bulat!
Padahal ini baru dimulai….
Si-Sial!
.
.
.
.
—TBC—
.
Hallo, Minna-sama!
Semoga ada yang inget sama penulis newbie bin gajelas dengan cerita gajelasnya ini:v
Pertama-tama, saya ucapkan terima kasih, terima kasih, terima kasih, banyak sebanyak-banyaknya kepada para Reader-sama yang sudah mau menyempatkan waktu berharganya untuk mampir disini. Juga, atas dukungan Senpai-tachi dan semuanya
Untuk reviewers saya tidak menyangka ada lebih banyak yang positifnya. Haha! Itu membuat saya sangat senang! Karena ada juga beberapa tanggapan negatif, ini sangat membantu dan membuat saya cukup tertantang untuk menghasilkan tulisan yang lebih dan lebih baik lagi! Jadi, akhirnya saya berhasil menyelesaikan Chapter kedua ini dalam tiga hari, lho!
Sayangnya, karena keasyikan main game, jadinya lupa di-Up deh. Hehe
Sumimasen! Sumimasen!! Sumimaseeeeeennnn!!!
Nb: (Chap-2 Remake)
Re'zorla is Out!