Sebagian orang mungkin menganggap kesempatan kedua itu tidak ada,

Namun sesungguhnya itu hanyalah perspektif semata.

Jika memang jiwamu masih menginginkannya, apa kau akan tetap meninggalkannya? Atau mencoba mengulangi semuanya?

.

.


Re-Start of Love


.

.


a NamJin Fanfiction

by

Black Lunalite


.

.

.


Warn!

NamJin, BL, ABO!AU, Fiction.


.

.

.


Part 3 of 3


Part 3: Re-Start of Love


Namjoon mengatakan pada Seokjin bahwa ponselnya masih diperbaiki dan masih membutuhkan waktu beberapa hari untuk selesai. Seokjin menerima keputusan itu namun dia akan menanyakan ponselnya tiap beberapa hari sekali dan Namjoon beralasan dia sibuk dan belum sempat mengambil ponsel Seokjin yang diperbaiki.

Akan tetapi Seokjin semakin bersikeras bahwa dia membutuhkan ponselnya hingga akhirnya Namjoon menyerah dan memberikan ponsel Seokjin, tentunya setelah dia menghapus email Seokjin bersama dengan psikiaternya dan kemungkinan-kemungkinan yang akan membuat Seokjin mengetahui apa yang terjadi belakangan ini.

Seokjin menerima ponselnya yang diberikan oleh Namjoon, saat ini dia sedang duduk di tempat tidur dengan Namjoon yang berdiri di hadapannya. Seokjin mendongak untuk tersenyum pada Namjoon, "Terima kasih, Namjoon."

Namjoon mengangguk, "Lusa jadwal check upmu di rumah sakit, kan? Dokter bilang dia akan melepas gips di tanganmu."

Seokjin melirik gips di tangannya, "Ah ya, akhirnya aku bisa bergerak bebas lagi." Seokjin tertawa kecil, dia menatap Namjoon namun dia tidak melihat Alphanya itu tertawa, Namjoon hanya tersenyum tipis dan ini membuat Seokjin agak bingung.

Seokjin sudah menginterogasi Yoongi melalui telepon (Seokjin diam-diam mencuri kontak Yoongi dari ponsel Namjoon) dan menanyakan soal jadwal pekerjaan Namjoon dan kenapa Alphanya terlihat begitu stress namun Yoongi hanya menjawab itu mungkin disebabkan oleh kelelahan saat bekerja.

Yoongi tidak menjelaskan apapun namun Seokjin sangat khawatir pada Namjoon, Alphanya selalu terlihat murung, dan Seokjin sering menemukan Namjoon menangis seraya memeluknya tiap malam. Seokjin sering berpura-pura tidur untuk mendengarkan apa yang Namjoon katakan saat dia tidur, namun Alphanya hanya akan memeluknya erat-erat seraya membisikkan permintaan maaf dan juga memohon agar Seokjin tidak pergi meninggalkannya.

Seokjin tidak akan pergi meninggalkan Namjoon, itu sudah jelas.

Lantas kenapa Namjoon begitu ketakutan?

Seokjin meraih tangan Namjoon, "Joon.."

"Ya?"

"Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku? Kenapa kau terlihat sangat stress? Kurasa ini bukan masalah pekerjaan karena Yoongi bilang dia sudah mengurangi pekerjaanmu."

Namjoon tersenyum dan menggeleng, "Tidak, aku.."

"Jangan berbohong padaku!" sela Seokjin.

Namjoon terdiam sebentar kemudian dia berlutut di depan Seokjin yang duduk di tempat tidur. "Jinseok, kalau aku melakukan kesalahan padamu, apa yang akan kau lakukan?"

"Tergantung seperti apa kesalahanmu itu."

Namjoon tersenyum tipis, "Bagaimana jika aku mengabaikanmu, aku tidak memperhatikan kondisi emosimu, aku melukaimu karena aku tidak tahu kondisimu dan justru lebih peduli pada hal lain. Apa yang akan kau lakukan?"

"Aku akan marah padamu, dan tentunya aku juga akan marah pada diriku sendiri." Seokjin menangkup wajah Namjoon dengan tangan kanannya, "Aku tentunya akan marah pada diriku sendiri karena tidak bisa mengerti kondisimu, tapi di sisi lain, aku juga akan marah padamu karena kau mengabaikanku."

"Apakah kau bisa memaafkanku jika aku melakukan itu?"

"Tentu saja," Seokjin tersenyum, "Jika kau meminta maaf padaku, aku pasti memaafkanmu."

"Sungguh?"

Seokjin mengangguk, dia menundukkan kepalanya hingga dahinya bertemu dengan dahi Namjoon. "Kau Alphaku, Namjoon. Tidak peduli separah apa kita bertengkar, pada akhirnya kita pasti akan bersama lagi. Aku tidak bisa meninggalkanmu, itu akan melukaiku."

Namjoon memejamkan matanya dan tersenyum, menikmati hangatnya Seokjin di dekatnya. "Aku akan mati jika kau meninggalkanku."

Seokjin tertawa, "Tidak akan, bukankah kau adalah Alpha yang kuat? Kau tidak akan mati begitu saja."

Namjoon membuka matanya dan senyumnya muncul begitu saja saat melihat Seokjin tertawa lepas di depannya. "Aku jelas akan mati, karena semua keinginanku untuk hidup, berasal darimu, Jinseok." Namjoon bergerak bangun, menangkup wajah Seokjin dan sebelum Omeganya sempat bereaksi lebih jauh, dia sudah menunduk dan menciumnya.

Seokjin terkesiap kaget namun Namjoon tidak memberikannya waktu untuk terkejut. Namjoon mencium Seokjin dalam-dalam seolah dia akan benar-benar kehilangan Seokjin. Dia mendorong tubuh Seokjin hingga berbaring di tempat tidur dengan dirinya di atasnya. Seokjin melingkarkan tangannya di leher Namjoon dan menariknya untuk menciumnya lebih dalam sementara Namjoon dengan senang hati melakukan itu.

Namjoon melepaskan ciumannya setelah sebelumnya memberikan sebuah hisapan lembut di bibir bawah Seokjin. Dia memperhatikan Omeganya yang terengah dengan wajah memerah dan selapis airmata di mata beningnya karena Namjoon menciumnya sampai hampir kehabisan napas.

"Joon?" bisik Seokjin.

"I love you, Jinseok. Aku akan selalu mencintaimu, tidak peduli apapun yang terjadi, kau harus tahu bahwa aku akan selalu mencintaimu."

Seokjin tersenyum, "Aku tahu, Joon."

Namjoon menunduk untuk mencium Seokjin lagi, sejak Seokjin kehilangan ingatannya, Namjoon selalu mencium Seokjin tiap kali dia akan bekerja dan sebelum Seokjin tidur. Namjoon mencoba untuk mengukir semua yang ada dalam diri Seokjin agar nanti jika memang Seokjin akan pergi meninggalkannya, Namjoon tidak akan terlalu hancur.

Seokjin sudah seperti menjadi bagian dalam diri Namjoon, namun sayangnya dia tidak bisa terlalu mengekspresikan itu karena Namjoon menghargai personal space Seokjin. Namjoon tahu batasan personal space yang tidak boleh dilanggar maka ketika Seokjin memilih diam dan menjauh, Namjoon tidak berani memaksanya untuk mendekat.

Namjoon mencintai Seokjin, maka dari itu dia begitu menghargai apapun pilihan Seokjin. Namun sayangnya ini justru membuat Seokjin menderita dan Namjoon tidak mau itu terjadi lagi.

Jika memang Seokjin harus pergi agar dia tidak merasakan sakit karena Namjoon, maka Namjoon akan merelakannya.

Airmata Namjoon menetes saat membayangkan Seokjin yang pergi dari kehidupannya, Seokjin yang merasakan airmata itu jatuh di pipinya segera membuka mata dan melepaskan ciumannya namun Namjoon menutup mata Seokjin dengan telapak tangannya.

"Namjoon?"

"Tidak," Namjoon menggigit bibirnya agar Seokjin tidak mengetahui bahwa dia menangis, "Maafkan aku, Jinseok." Namjoon menunduk untuk mencium Seokjin lagi.

Seokjin bisa merasakan Namjoon menangis saat menciumnya, Seokjin ingin bertanya, namun dia tidak tahu apa yang harus dia tanyakan. Seokjin hanya tahu Namjoon terluka karena sesuatu, dan jika Namjoon menangis di hadapannya, maka sudah jelas Namjoon terluka karena dia.

Namun Seokjin tidak tahu apa yang sudah terjadi di antara mereka hingga begitu menyakiti Namjoon.


.

.

.


Seokjin menggerakkan tangan kirinya dengan perlahan, gipsnya sudah dilepas dan sekarang dia sudah diperbolehkan untuk kembali beraktivitas dengan kedua tangannya, walaupun memang hanya aktivitas ringan yang diizinkan oleh dokter yang menangani Seokjin. Seokjin menyandarkan punggungnya ke kursi ruang tunggu rumah sakit seraya menunggu Taehyung yang sedang pergi ke toilet.

Adik Seokjin itu sudah kembali dari urusan pekerjaannya dan dia bersikeras mengantar Seokjin check up ke rumah sakit untuk melepas gipsnya. Seokjin menatap sekitar koridor dan karena dia belum melihat tanda-tanda kemunculan Taehyung, Seokjin memutuskan untuk mengambil ponselnya, dia mengirim chat pada Namjoon dan mengatakan bahwa gipsnya sudah dilepas.

Kemudian setelahnya Seokjin terdiam, dia teringat soal obat-obatan yang dia temui, ketika dia mendapatkan ponselnya kembali, Seokjin hanya memotret obat-obatan itu karena dia belum bisa mencari tahu soal obat itu, Seokjin berniat untuk menunggu gipsnya lepas agar dia bisa lebih leluasa menggunakan ponselnya.

Seokjin mencari foto obat-obatannya dan mulai mengetikkan nama obat itu di mesin pencari, tak lama kemudian hasil penelusuran pun keluar dan Seokjin membuka link paling atas, dia membaca sederet kalimat di sana dan tertegun, itu adalah obat untuk gangguan tidur, Seokjin mencari obat lainnya dan hasilnya mengarah ke obat psikotropika lainnya.

Tangan Seokjin gemetar, apa yang terjadi pada dirinya hingga membutuhkan obat psikotropika?

"Hei Jin, maaf, toiletnya ramai." Taehyung berjalan menghampiri Seokjin dan dia tertegun saat melihat wajah Seokjin yang memucat. "Seokjin?"

Seokjin menoleh ke arah Taehyung dengan pandangan mata agak tidak fokus. "Taehyung.. apa yang terjadi padaku?"

Dahi Taehyung berkerut, "Apa maksudmu?"

Seokjin menunjukkan foto obat yang dia temukan dan juga hasil pencariannya. Taehyung mengepalkan tangannya, dia tahu sebelum kecelakaan kakaknya dalam penanganan seorang psikiater karena Taehyung pernah memergokinya keluar dari ruangan dokternya. Taehyung memaksa Seokjin untuk menceritakan semuanya dan Seokjin mengaku dia dalam perawatan seorang psikiater untuk masalah stressnya. Akan tetapi Taehyung tidak tahu kakaknya membutuhkan obat-obatan karena Seokjin hanya mengatakan dia harus mengikuti sesi konsultasi, walaupun seharusnya Taehyung sudah menduga Seokjin pastinya mendapatkan obat-obatan karena kakaknya ditangani oleh seorang psiakiter dan bukannya psikolog.

"Kita bicara di rumahku saja." ujar Taehyung seraya membantu Seokjin berdiri.

.

Seokjin duduk seraya memeluk lututnya di sofa rumah Taehyung, Taehyung baru saja menceritakan soal dirinya yang ditangani seorang psikiater karena masalah stress berat yang dialaminya. Taehyung juga menceritakan bahwa penyebab stress Seokjin adalah karena kesibukan Namjoon yang menyebabkan Seokjin minim perhatian dan juga keinginan terpendam Seokjin yang ingin memiliki bayi namun terlalu takut itu akan mengganggu Namjoon.

"Aku.. benar-benar mengalami semua itu?" tanya Seokjin untuk kesekian kalinya.

Taehyung menghela napas pelan, dia meraih salah satu tangan Seokjin dan menggenggamnya. "Aku menahan diri selama ini karena aku tidak mau penyembuhanmu terhambat karena beban pikiran. Tapi sekarang kau sudah menemukan faktanya sendiri dan kurasa kau berhak untuk tahu."

"Tapi apa kondisiku benar-benar separah itu?"

Taehyung mengangguk, "Terlebih lagi sejak rumor di antara Namjoon dan Jungkook, kau bahkan mengajukan perceraian pada Namjoon."

"Siapa Jungkook?"

Taehyung menggigit bibirnya, "Kau yakin kau siap untuk ini?"

Seokjin mengangguk. Dia melihat Taehyung mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu di sana kemudian dia memberikan ponselnya pada Seokjin, Seokjin menerima ponsel Taehyung dan dia melihat laman berita di layar ponsel Taehyung.

Berita itu menunjukkan soal Namjoon yang seorang Alpha 'membantu' salah seorang model bernama Jungkook yang sedang mengalami heat di tengah pemotretan. Seokjin melebarkan matanya saat melihat itu, dia menatap artikel itu dan Taehyung bergantian, "Namjoon.. selingkuh dariku?"

Taehyung mengangkat bahunya, "Kalian bertengkar karena itu, dan kau mengajukan perceraian. Kemudian sejak itu kau tinggal di rumahku, hari ketika kau mengalami kecelakaan adalah hari dimana kau akan mengirimkan berkasmu lagi ke pengadilan karena mediasi kalian sudah selesai dan tidak berhasil."

"Namjoon benar-benar selingkuh dariku?"

"Namjoon tidak mengatakan apapun, aku terlalu marah padanya. Dia sempat datang ke sini beberapa kali sejak kau tinggal di sini, tapi kau tidak pernah mau menemuinya, dan aku tidak mau kau bertambah stress sehingga aku juga melarangnya datang. Sejak kau mengajukan perceraian, kau sangat mudah histeris dan aku berusaha semampuku untuk mengurangi penderitaanmu dengan menjauhkan Namjoon."

Seokjin terdiam, jika kondisinya separah itu, maka seharusnya dia tidak mau menemui Namjoon. Seokjin tahu dia hilang ingatan, namun perasaan seorang Omega tidak akan mungkin melupakan semua luka yang diberikan Namjoon padanya. Seharusnya alam bawah sadar Seokjin sadar dan menolak Namjoon, lantas kenapa dia tidak merasakan itu?

Kenapa Seokjin tidak merasa marah pada Namjoon ketika dia sadar? Kenapa dia justru merasa dia begitu merindukan Namjoon ketika dia sadar?

"Seokjin? Kau baik-baik saja?" tanya Taehyung khawatir. "Kau tahu, kau bisa melanjutkan perceraian itu sekarang, aku bisa membantumu mengurusnya jika kau mau."

Seokjin menoleh ke arah Taehyung dan bermaksud untuk menjawab namun dia terhenti saat ponselnya yang diletakkan di atas meja bergetar. Seokjin melihat nama 'Namjoon' di sana dan dia tertegun.

Taehyung melirik ponsel Seokjin dan pemiliknya bergantian, "Kau tidak mau menjawabnya?"

Seokjin masih diam kemudian dia menarik napas dalam, "Tidak, aku tidak mau menjawabnya."

Taehyung mengangguk dan dia membiarkan ponsel Seokjin bergetar hingga akhirnya berhenti sendiri. Taehyung melirik Seokjin lagi, "Kau yakin kau baik-baik saja?"

Seokjin mengangguk, "Taehyung, kau mengenal siapa Jungkook ini?"

"Uuh.. tidak, aku belum pernah bertemu dan bekerja dengannya. Tapi aku tahu beberapa orang yang mengenalnya."

"Bisa bantu aku agar aku bisa menemuinya?"


.

.

.


Namjoon memperhatikan ponselnya yang tergeletak di atas meja, seharian ini dia mencoba menghubungi Seokjin namun tidak ada jawaban. Ketika Namjoon mencoba menghubungi Eleanor, wanita itu hanya mengatakan bahwa Seokjin pergi ke rumah sakit bersama Taehyung dan tidak pulang setelahnya. Eleanor mencoba menghubungi Seokjin namun dia hanya mengatakan bahwa Seokjin akan menetap untuk sementara waktu di rumah Taehyung.

Saat mendengar itu, Namjoon merasa seperti terkena serangan jantung. Seokjin pasti sudah tahu apa yang terjadi dan apa yang dia lupakan dan pastinya dia kembali marah dan membenci Namjoon. Namjoon mencoba berpikir positif dan kembali menghubungi Seokjin tiap jam namun reaksi Seokjin tetap sama, dia tidak mau mengangkat telepon dari Namjoon.

Namjoon menghela napas pelan, ketakutannya akan kepergian Seokjin kembali dan yang sejak tadi Namjoon lakukan hanya duduk diam menatap ponselnya dengan harapan Seokjin akan menjawab pangggilannya. Namjoon sedang menimbang-nimbang apakah dia perlu menghubungi Seokjin lagi atau tidak ketika tiba-tiba saja ponselnya mengeluarkan dentingan pelan.

Tangan Namjoon segera menyambar ponselnya dan dia melihat Seokjin baru saja mengiriminya sebuah pesan di chatroom. Seokjin mengirimkan screencapture dari beritanya dan Jungkook beserta foto obat psikotropika atas nama Seokjin. Namjoon merasa jantungnya berhenti berdetak, dan belum sempat dia bereaksi, Seokjin kembali mengirimkan pesan.

Jinseok: Aku butuh jawaban,

Jinseok: dan aku akan mencarinya sendiri.

Hanya itu pesan yang dikirimkan oleh Seokjin dan ketika Namjoon mencoba menghubungi ponsel Seokjin kembali, Seokjin sudah mematikan ponselnya.

Namjoon meremas rambutnya frustasi, kali ini dia akan benar-benar kehilangan Seokjin.


.

.

.


Seokjin duduk sendiri dalam sebuah café tempat dia akan bertemu dengan Jungkook. Dia sudah meminta Taehyung untuk mengatur pertemuannya dengan Jungkook dan walaupun agak sulit karena Jungkook adalah model yang sibuk, Seokjin berhasil membuat janji temu dengan Jungkook setelah seminggu lebih menunggu.

Sebenarnya Seokjin tidak tahu apa yang harus dia lakukan ketika menerima fakta soal dirinya yang stress dan depresi berat serta fakta soal Namjoon dan Jungkook. Terlalu banyak yang harus diterima namun bukan berarti Seokjin harus gegabah. Seokjin memikirkan semuanya hati-hati dan dengan menjauh dari Namjoon, Seokjin bisa mendapatkan pandangan yang tidak memihak dan dia memutuskan untuk mencari jawabannya sendiri.

Seokjin akan bertanya pada Jungkook soal apa yang sebenarnya terjadi karena jika memang Namjoon berselingkuh darinya, Seokjin akan langsung meninggalkan Alpha itu dan pergi sejauh mungkin dari Namjoon.

Akan tetapi sebenarnya daripada itu, Seokjin lebih tertarik untuk menemukan jawaban dari rasa depresinya dan kenapa dia bisa merasa seperti itu. Seokjin harus menemui dokternya dan menanyakan soal kondisi mentalnya selama ini.

Seokjin yakin jika memang dia mengalami tekanan batin begitu hebat akan kehadiran Namjoon, maka seharusnya dia tidak akan mau melihat Namjoon lagi. Tidak peduli apa yang Seokjin ingat dan tidak ingat, Seokjin yakin hatinya tidak akan berbohong dan jika hatinya menginginkan Namjoon, maka Seokjin harus bisa menemukan jawaban dari apa yang sebenarnya terjadi.

"Uhm.. apa kau Seokjin?"

Seokjin mendongak saat mendengar suara seseorang yang memanggilnya dengan nada ragu-ragu dan dia melihat Jungkook di sana. Omega yang bekerja sebagai model itu terlihat lebih manis dan polos daripada fotonya. Seokjin menganggukkan kepalanya dan mengizinkan Jungkook untuk duduk, "Terima kasih sudah bersedia menemuiku."

Jungkook menggeleng pelan, "Sebenarnya aku sudah menunggu kapan kau akan menghubungiku." Jungkook tersenyum, "Aku juga Omega, dan aku jelas tidak mau Alphaku membantu Omega lain saat heat. Sejak hari itu, aku selalu ketakutan aku akan melukai perasaanmu, tapi Namjoon terus mengatakan agar aku melupakan apa yang terjadi karena dia tidak mau aku terus-terusan merasa bersalah."

Seokjin terdiam, dia bisa menyimpulkan Jungkook adalah anak yang baik karena ketika dia mengatakan itu semua, Seokjin bisa melihat kesungguhan dan juga kesedihan dari matanya. "Sebenarnya apa yang terjadi?"

Jungkook mengulum bibirnya, "Aku memiliki masalah dengan obat heat suppressant, tiap kali mengkonsumsi itu aku akan mengalami gejala keracunan dan pada akhirnya aku akan merasa seperti hampir mati. Dokter melarangku meminum heat suppressant lagi dan memintaku untuk selalu mengawasi tanggal heatku."

Seokjin terdiam sementara kepalanya memutar informasi dari Jungkook. Seorang Omega yang belum memiliki Alpha pastinya akan mengkonsumsi obat heat suppressant untuk berjaga-jaga agar dia tidak mengalami heat secara mendadak dan juga untuk menekan aromanya agar tidak terlalu menggoda. Namun sebenarnya kasus heat yang terjadi secara mendadak itu hampir tidak pernah terjadi dan Omega bisa mengetahui kapan heat mereka akan datang karena kondisinya akan muncul sejak beberapa hari lalu dan biasanya heat itu selalu datang di tanggal yang sama tiap bulannya.

"Lalu apa yang terjadi hari itu?" tanya Seokjin.

"Aku tidak tahu, kami bekerja seperti biasa, kemudian fotografer yang menangani kami mengatakan bahwa siang nanti dia akan digantikan oleh fotografer lain karena dia harus mengejar pesawat ke Kanada. Saat itu tidak ada yang salah, aku merasa aku baik-baik saja sampai kemudian tiba-tiba saja serangan heat menyerang tubuhku. Untungnya semua orang bereaksi cepat, para Beta menutupiku dan mereka juga menyegel studio agar orang lain tidak bisa masuk. Kemudian Namjoon membawaku ke toilet agar tidak mengganggu para Alpha di studio."

Jungkook melirik Seokjin ragu-ragu sebelum melanjutkan ceritanya, "Mungkin ini agak aneh, tapi hanya Namjoon yang tidak bereaksi dengan kondisiku, semua orang mengatakan para Alpha benar-benar di luar kendali tapi Namjoon sangat tenang, dia bahkan tidak menampakkan reaksi saat aroma heatku menyebar di seluruh ruangan."

"Apa kau dan Namjoon.. melakukan seks?"

Jungkook menggeleng cepat seraya mengibaskan tangannya dengan panik, "Tidak! Tidak, aku bersumpah! Aku bersumpah kami tidak melakukan apapun! Namjoon hanya membantuku dengan tangannya, dia bahkan tidak melakukan hal lain selain membantuku agar cepat klimaks." Jungkook menjelaskan dengan terburu-buru dan sangat panik.

Seokjin memiringkan kepalanya, "Hmm, kau yakin? Omega saat heat cenderung kehilangan kontrol akan dirinya sendiri. Aku juga Omega dan aku tahu bagaimana rasanya saat heat menyerang."

"Tidak, aku yakin. Aku ingat karena saat itu Namjoon mengatakan kalau dia hanya ingin membantuku, aromaku saat heat tidak mengganggunya sama sekali karena dia sudah memiliki Omega."

Seokjin mengerutkan dahinya, "Itu tidak akan terjadi, itu hanya terjadi.."

"Pada 'fated pairs', aku tahu. Kukira kau dan Namjoon itu fated pairs, ternyata bukan ya?"

Seokjin menggeleng, "Aku dan Namjoon bertemu seperti pasangan pada umumnya, kami berkenalan, berteman, sampai akhirnya menikah."

"Wah, kalau begitu kurasa Namjoon benar-benar mencintaimu, karena jika kalian bukan fated pairs, maka ini tidak akan terjadi." Jungkook tersenyum, "Kau beruntung sekali, aku juga ingin bertemu Alpha yang mencintaiku seperti itu." Jungkook menopang dagunya, "Tapi kurasa itu tidak akan terjadi padaku, aku menjauhi tiap Alpha yang mendekatiku karena aku takut, heat suppressant tidak bekerja padaku dan aku selalu ketakutan mereka akan melakukan sesuatu yang buruk padaku jika mereka terlalu mendekat."

"Kau tidak menggunakan kontrasepsi? Jika kau menggunakannya, kau tidak perlu khawatir soal Alpha yang mendekatimu. Apapun yang kau lakukan, kau tidak akan hamil."

Jungkook tertawa kecil, "Aku juga tidak cocok dengan itu, tapi anehnya aku tidak alergi pada obat-obatan lainnya. Makanya para dokter hanya mengingatkanku untuk hati-hati, para dokter itu juga tidak tahu apa yang harus mereka lakukan padaku."

Seokjin mengerutkan dahinya, "Lantas apa yang menyebabkan heatmu muncul secara tiba-tiba hari itu?"

Jungkook mengangkat bahunya, "Aku tidak tahu, tapi aku sangat menyesal itu harus terjadi dan membuatmu dan Namjoon bertengkar." Jungkook tersenyum, "Tolong maafkan aku, aku tidak bisa mengontrol kondisi tubuhku sendiri, aku memang selalu menyusahkan orang lain."

Seokjin menggeleng pelan, "Oh, tidak apa, aku menemuimu karena aku menginginkan kejelasan. Dan sekarang aku sudah mendapatkannya." Seokjin tersenyum, "Terima kasih."

"Aku yang seharusnya berterima kasih karena kau tidak marah padaku." Jungkook menarik napas dalam, "Semoga kau dan Namjoon baik-baik saja, aku tahu Namjoon sangat mencintaimu, bahkan jika kalian bukan fated pairs, kurasa kalian sudah lebih dari itu."


.

.

.


Seokjin berjalan menyusuri lorong rumah sakit tempat psikiaternya berada, setelah kemarin dia mengurus masalahnya dengan Jungkook dan mendapat penjelasan, Seokjin bermaksud untuk menemui psikiaternya dan menanyakan terkait riwayat kondisinya.

Taehyung bersikeras menemani Seokjin namun Seokjin bilang dia ingin mengurus semua ini sendiri, Seokjin sudah mengatakan pada Namjoon bahwa dia ingin mencari jawabannya sendiri dan dia akan melakukannya. Seokjin tidak mau penilaian dari orang lain terkait situasinya ini akan mempengaruhi keputusannya selanjutnya.

Seokjin tidak mau gegabah karena dia tahu apapun keputusannya nanti, ini akan menentukan masa depannya dan Namjoon. Seokjin berjalan dengan pandangan lurus ke depan sampai dia terhenti saat melihat Namjoon yang duduk di ruang tunggu periksa dokter. Seokjin berhasil melarikan diri ke balik salah satu dinding dan mengintip Namjoon yang terlihat menunduk dan menatap cincin di jarinya, Seokjin melihat Namjoon memainkan cincin di jarinya kemudian dia berdiri dan berjalan pergi.

Namjoon terlihat buruk, wajahnya pucat, mungkin karena tidak mendapat tidur yang cukup, dan tubuhnya juga sedikit lebih kurus dari terakhir Seokjin melihatnya hampir dua minggu lalu. Seokjin mengawasi sampai Namjoon benar-benar pergi kemudian dia kembali berjalan menyusuri koridor dan mengetuk ruangan dokternya.

Ketika dia dipersilakan masuk, Seokjin segera masuk dan melihat seorang pria yang duduk di balik meja. Pria itu berdiri dengan senyum lebar di wajahnya, "Seokjin, senang melihatmu terlihat baik."

Seokjin melangkah masuk ragu-ragu, "Anda.. Dr. Greene?"

"Edward Greene, tapi kau selalu memanggilku Edward jadi tetap panggil aku seperti itu."

Seokjin mengangguk pelan dan duduk di hadapan Edward, "Kau mengingatku, kan?"

Edward tertawa, "Tentu saja, Seokjin. Aku mengenalmu dengan baik, dan sekarang aku juga mengenal Alphamu, tak kusangka aku akan memiliki pasien pasangan Alpha dan Omega."

Seokjin melebarkan matanya, "Apa maksudmu dengan 'memiliki pasien pasangan Alpha dan Omega'? Bukankah pasienmu hanya aku?"

Edward tersenyum tipis, "Sejak seminggu lalu Namjoon resmi menjadi pasienku. Dia memberi request khusus pada rumah sakit agar dirawat olehku, manajernya juga melakukan itu dan karena aku memang mengenalnya, aku menerima dia sebagai pasienku."

Seokjin menggigit bibirnya, mendadak rasa ingin tahunya terkait riwayat kondisinya menghilang begitu saja digantikan oleh rasa khawatir pada Namjoon. "Apa yang terjadi pada Namjoon?"

"Insomnia, dia mengalami mimpi buruk selama berhari-hari sampai kemudian dia datang ke sini dan minta diberikan obat tidur. Aku menolak, kondisinya terjadi karena stress, dia memikirkan terlalu banyak hal. Aku memintanya untuk tetap tenang dan hanya memberikan jadwal konsultasi dua kali dalam seminggu. Hari ini jadwal konsultasinya, kebetulan sekali kau melihatnya."

"Lalu.. bagaimana?"

"Aku tidak bisa mengatakan lebih jauh, tapi kurasa dia akan baik-baik saja dengan dukungan yang tepat."

Seokjin diam, tapi dia tetap merasa khawatir, bahkan Seokjin hampir melompat dari kursinya untuk pergi mengejar Namjoon namun dia menahannya.

"Ah, kau ke sini untuk menanyakan kondisimu sebelum kecelakaan, bukan? Apa yang ingin kau tanyakan?"

Seokjin terdiam sebentar kemudian dia menatap Edward, "Apa aku membenci Namjoon?"

Edward tersenyum, "Itu hal yang ingin kau ketahui?"

Seokjin mengangguk, "Karena jika aku membencinya, maka aku tidak bisa melakukan apapun. Jika aku membencinya dan Namjoon sendiri mulai menyerah padaku, maka hubungan kami tidak akan berhasil. Hubungan Alpha dan Omega merupakan kerjasama di antara keduanya, jika salah satunya menyerah, maka ini tidak akan berhasil."

"Lalu bagaimana menurutmu?"

"Apa?"

Edward menjalin jemarinya di atas meja, "Apa kau membenci Namjoon?"

Seokjin terdiam sebentar, jika seseorang bertanya apakah dia membenci Namjoon, maka seharusnya Seokjin menjawab tidak. Jika Seokjin membenci Namjoon, maka hal pertama yang harus dia lakukan setelah menemukan apa yang terjadi saat ingatannya hilang adalah meneruskan perceraian mereka dan pergi meninggalkan Namjoon.

Seokjin masih diam dan Edward memanggilnya lagi. Seokjin mengangkat pandangannya dan menatap Edward, dokternya itu masih tersenyum tenang dan sepertinya dia bisa menduga jawaban Seokjin.

"Aku tidak membencinya," ujar Seokjin. "Karena jika iya, maka saat ini aku tidak akan duduk di hadapanmu dan menanyakan riwayat kondisiku."

Edward mengangguk pelan, "Itu benar. Berdasarkan semua sesi konsultasi kita, kau tidak membencinya, rasa stress dalam dirimu muncul karena ketakutanmu pada dirimu sendiri. Kau takut kau akan hamil, kau takut memikirkan reaksi Namjoon, kau takut kau akan membebani Alphamu sendiri. Ini terjadi karena kau dan Namjoon tidak membicarakan ini, padahal sebenarnya tanpa kau ketahui, Namjoon juga takut menghampirimu, Namjoon takut dia akan menganggumu."

Seokjin tertegun, "Apa?"

"Ketakutanmu membuatmu menutup diri dari Alphamu sendiri, sementara Alphamu sangat menghargai dirimu hingga dia merasa bahwa jika kau terlihat tidak ingin ditemui, maka itu artinya kau tidak mau menemuinya. Namjoon memilih diam karena dia takut tindakannya akan membuatmu marah, dia tidak mau membuatmu terluka, tapi diamnya Namjoon justru membuat ketakutanmu membesar hingga akhirnya bom waktu itu meledak dan kalian memutuskan untuk berpisah."

Seokjin tersenyum tipis, "Kesimpulannya, kami berdua sama-sama bodoh dalam hal ini."

Edward tersenyum, "Bukan aku yang mengatakan itu."


.

.

.


Namjoon berbaring di atas tempat tidurnya dengan pandangan kosong. Sejak Seokjin pergi dan menetap di rumah Taehyung lagi, Namjoon lebih banyak menghabiskan waktunya untuk terjaga semalaman dan melakukan apapun yang bisa dia lakukan untuk kemudian kembali bekerja di pagi harinya.

Kondisinya memburuk, jauh lebih buruk daripada saat Seokjin meninggalkannya saat mengurus proses perceraian mereka. Akan tetapi Namjoon tidak mau mengakui itu, dia berusaha sekuatnya untuk tampil biasa saja dan bekerja dengan baik, untungnya biarpun wajahnya pucat karena kurang tidur, efek make-up akan mengembalikan kembali rona wajah Namjoon. Walaupun tentu saja Namjoon mendapatkan ceramah tambahan soal pentingnya mengurus kondisi kulit bagi model dari periasnya di tiap harinya.

Namjoon menghela napas pelan, dia tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan Seokjin untuk mencari jawaban tapi Namjoon bersedia menunggu. Namjoon tidak peduli selama apa Seokjin akan pergi meninggalkannya, asalkan Seokjin kembali, Namjoon tidak akan keberatan.

Akan tetapi saat ini Seokjin tidak memberikan kepastian akankah dia kembali pada Namjoon atau tidak, dan hal ini membuat Namjoon hampir gila. Namjoon berguling di tempat tidurnya dan memejamkan mata, dia mencoba untuk tidur namun matanya kembali terbuka lebar saat mendengar dering ponselnya.

Namjoon meraih ponselnya dan matanya melebar saat melihat Seokjin menghubunginya, Namjoon menarik napas dalam dan menenangkan diri kemudian dia menjawab telepon dari Seokjin.

"Jinseok?"

"Hei,"

Namjoon menghembuskan napas lega saat mendengar suara Seokjin, "Hei,"

"Apa aku membangunkanmu? Maaf karena menelepon tengah malam seperti ini."

"Tidak, tidak apa. Aku belum tidur."

"Namjoon.."

"Ya, Jinseok?"

"Apa yang sudah kita lakukan?"

Namjoon terdiam, dia tidak tahu bagaimana harus merespon Seokjin. Namjoon tidak tahu apa yang harus dilakukan, karena mereka berdua melakukan kesalahan, Namjoon menganggap hubungan mereka baik-baik saja, namun ternyata Seokjin terluka karenanya. Seokjin menganggap Namjoon tidak mau diganggu olehnya, namun ternyata Namjoon terlalu takut memulai.

"Aku tidak tahu.."

"Apa yang harus kita lakukan? Bisakah kita meneruskan ini? Bagaimana jika ini terjadi lagi?"

"Kim Seokjin, jangan pernah ragu apakah kita bisa meneruskan ini karena kita bisa, kita bisa melalui semua ini. Jinseok, aku mencintaimu, lebih besar daripada hidupku, jika ada satu hal yang ingin kupertahankan dalam hidup, itu adalah dirimu."

Seokjin tidak mengatakan apapun dan ini membuat Namjoon mulai pasrah akan apapun yang terjadi pada dirinya dan hubungannya. Jika memang Seokjin tidak sanggup lagi berada di sisinya, maka Namjoon tidak berhak memaksanya.

"Aku tahu kau mencintaiku, Namjoon."

"Jinseok.."

"Dan aku mencintaimu juga." Seokjin menarik napas, "Apa kau masih menyimpan berkas perceraian kita?"

Namjoon merasa darahnya turun ke dasar tubuhnya dan sekelilingnya mendadak menjadi dingin. "K-kenapa?"

"Apa kau masih menyimpannya, Namjoon?"

Namjoon memejamkan matanya rapat-rapat, hatinya terasa hancur namun dia berusaha semampunya untuk menguatkan diri, Seokjin sudah memutuskan, dan Namjoon hanya bisa menghargai keputusan Seokjin. "Ya, aku masih menyimpannya."

"Kapan kau libur? Aku ingin bertemu."

Namjoon menarik napas dalam, "Jadwalku kosong minggu depan."

"Oke, kita bertemu minggu depan, bawa berkas perceraian kita, Namjoon."

Namjoon menggigit bibirnya, "Baiklah," bisiknya.

"Terima kasih," Seokjin menghembuskan napasnya perlahan, "Good bye, Namjoon."


.

.

.


Namjoon sudah berjanji untuk bertemu dengan Seokjin hari ini, Seokjin meminta untuk bertemu di Tocqueville Restaurant, itu adalah restoran tempat mereka makan bersama untuk pertama kalinya di New York. Saat itu Namjoon mengajaknya ke sana untuk merayakan anniversary mereka yang pertama setelah menikah.

Tempat itu memberikan banyak kenangan indah untuk Namjoon, namun sepertinya itu akan menjadi tempat perpisahan mereka kali ini.

Namjoon berjalan masuk ke dalam restoran, dia sudah memesan meja sebelumnya karena restoran ini memang membutuhkan reservasi. Dia duduk di kursinya karena Seokjin belum datang dan menunggu, berkas perceraian mereka diletakkan dengan rapi di atas meja, Namjoon memang belum menandatangani berkas itu, namun tandatangan Seokjin sudah tertera di sana sejak awal.

Beberapa menit yang terasa sangat lama untuk Namjoon berlalu dan akhirnya Seokjin muncul, Omeganya terlihat manis seperti biasanya, dia tersenyum pada Namjoon dan duduk di hadapannya.

"Hai," sapa Seokjin.

Namjoon tersenyum, melihat senyuman Seokjin seolah memberikan angin segar untuk kehidupannya tanpa Seokjin selama beberapa minggu ini. "Hei,"

"Aku baru saja dari rumah sakit." ujar Seokjin dan ini membuat Namjoon terkejut, Seokjin menggeleng pelan saat Namjoon akan menyela dan Namjoon kembali menutup mulutnya. "Aku pergi ke sana karena aku tidak mendapat heat." Seokjin tersenyum miring, "Sudah lebih dari satu bulan sejak aku sadarkan diri dan ternyata aku belum mengalami heat. Apa kau tidak menyadari itu?"

"L-lalu? Apa kata dokter?" tanya Namjoon, suaranya mendadak serak.

"Mereka bilang aku stress, saat ini aku berada dalam masa tidak subur. Dokter menyarankan untuk mengurangi stress dengan melakukan relaksasi, dan aku juga diminta untuk berhenti mengkonsumsi pil kontrasepsi. Jika masih belum berhasil, maka aku perlu terapi." Seokjin mengangkat bahunya dengan gaya tidak peduli, "Aku diberikan beberapa vitamin dan semacamnya kemudian mereka mengizinkanku pergi."

Namjoon menghembuskan napas lega, "Kalau begitu kau harus menyenangkan dirimu sendiri."

Seokjin mengangguk pelan, kemudian dia menuding berkas di atas meja. "Apa itu berkas perceraian kita?"

Namjoon mengangguk pelan-pelan, "Aku.. belum menandatanganinya." ujar Namjoon seraya menyerahkan berkas itu pada Seokjin. "Tapi.. jika kau mau aku menandatanganinya sekarang, kurasa.. aku bisa."

Seokjin menerima amplop besar itu, "Oh, benarkah? Tidak apa." Dia membuka amplop itu dan membaca semua berkas di sana, di sana juga tertera hasil mediasi mereka yang tidak berhasil. Seokjin membacanya cukup lama sementara Namjoon duduk dengan cemas di hadapannya. Kemudian setelah selesai Seokjin memasukkan kembali berkas itu ke amplop lalu memberikannya pada Namjoon.

Namjoon menerima berkas itu dengan pasrah, "Apa kau ingin aku menandatangani berkas ini sekarang?"

Seokjin menaikkan sebelah alisnya, "Siapa yang bilang begitu? Aku memberikannya padamu agar kau membuangnya."

Namjoon membulatkan matanya, "Hah?"

Seokjin tertawa kecil, "Astaga, Alpha. Apa kau mengira aku ingin kita bercerai setelah semua yang harus kita lalui?"

Namjoon kehabisan kata-kata, sejak mereka berkencan dulu, Seokjin memang suka menjahilinya karena dia bilang dia bosan menghadapi Namjoon yang kadang terlalu serius. Akan tetapi biasanya Namjoon tidak pernah jatuh untuk tipuan Seokjin, ini adalah kali pertama tipuan Seokjin berhasil, bahkan dia benar-benar membuat jantung Namjoon hampir berhenti.

Seokjin menunjukkan jarinya dimana cincin pernikahan mereka terpasang, "Aku masih tidak mau melepaskan cincin ini dan itu artinya aku masih tidak mau melepaskanmu." Seokjin menyipitkan matanya, "Aku masih akan terus berada di sekitarmu, Alpha. Akan kutunjukkan padamu apa yang terjadi jika aku berubah menjadi posesif dan tidak akan membiarkanmu mengabaikanku sedikitpun."

Namjoon tertawa pendek, "Kalau saja ini bukan di restoran, aku pasti sudah menciummu sampai kehabisan napas, Omega."

Seokjin menaikkan sebelah alisnya, kemudian dia tersenyum miring dengan mata yang dibuat sepolos mungkin, "Try me, Alpha."

Namjoon menggeram rendah, "Haruskah kita melewatkan makan malam ini dan kembali ke rumah secepatnya?"

Seokjin tertawa, "Oh tidak bisa, aku kelaparan dan masakan restoran ini adalah salah satu kesukaanku." Seokjin mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan. "Lagipula besok kita akan naik penerbangan pagi, kita harus tidur cepat."

Namjoon mengerutkan dahinya, "Penerbangan pagi?"

Seokjin tersenyum lebar, "Kau harus menghadiri fashion week di Paris, kan?"

Namjoon mengangguk, "Ya, tapi itu masih sekitar dua minggu lagi."

"Kita berangkat ke Paris besok, aku sudah mengurus tiketnya dan aku juga sudah mengosongkan jadwalmu sampai fashion week itu bersama Yoongi." Seokjin tersenyum jenaka, "Bagaimana dengan bulan madu kedua untuk relaksasi, hum?"

Namjoon terperangah, "Oh, aku ingin sekali menghukummu, Jinseok." Namjoon membuka buku menu saat pelayan sudah berdiri di sebelah mereka dan Namjoon mulai memesan. "Ah, tapi bagaimana dengan Taehyung? Aku agak takut dia akan menghajarku."

Seokjin tertawa saat mendengar itu, "Taehyung mendukung apapun keputusanku, yah dia memang masih kurang menyukaimu, tapi kurasa jika kau membuktikan bahwa kau bisa lebih baik dari sebelumnya, Taehyung tidak akan keberatan."

Namjoon menghela napas lega, "Oh, dia jelas akan melihatku memanjakanmu dalam taraf yang berlebihan setelah ini."

Seokjin tertawa kecil mendengar itu kemudian dia menyebutkan pesanan mereka dan setelah pelayan mereka pergi, Seokjin mencondongkan tubuhnya ke arah Namjoon. "Hei, Namjoon."

"Ya?"

"Bicara soal kau yang ingin menghukumku.. aku.."

"Aku tidak akan menghukummu, itu tidak akan terjadi, tidak akan." Namjoon menyela dengan cepat.

Seokjin mengangkat sebelah bahunya, "I'm not saying you can't do that, I'm okay with it. You can slap my ass, you know." Seokjin menyeringai saat melihat Namjoon terkejut, "I'm all for your punishment, Alpha." bisik Seokjin seduktif.

Oh, God.

Namjoon benar-benar ingin membawa Seokjin pergi dari sini dan mengurungnya di kamar sampai besok!


The End


.

.

.

.

Tenang, ada sedikit epilog untuk kalian. hehehe

.

.

.

.


Epilogue


Seokjin mengimbangi ciuman Namjoon dengan kewalahan, dia tahu Alphanya itu sudah sangat haus akan dirinya tapi Seokjin tidak mengira Namjoon akan sekacau ini. Seokjin mendesah keras saat Namjoon meremas pinggulnya dari dalam pakaian. Namjoon selalu tahu bagian mana yang harus disentuh untuk membuat Seokjin tidak berdaya.

Padahal saat ini mereka baru saja tiba di hotel mereka di Paris tapi bukannya jet lag atau apa, Namjoon malah bersemangat sekali untuk 'menghabisi' Seokjin. Yah, ini juga setengahnya salah Seokjin sendiri yang menggoda Namjoon selama perjalanan mereka ke Paris, Seokjin sangat menikmati ekspresi Namjoon saat menahan diri untuk tidak melakukan apapun karena mereka berada di pesawat.

Seokjin memeluk leher Namjoon dan mendesah dengan keras di telinga Alphanya ketika Namjoon mulai meraba dadanya dari balik pakaian Seokjin. Namjoon menggerakkan wajahnya dan menempelkannya di sela leher Seokjin, dia menciumi bagian tanda klaim buatannya dan itu membuat Seokjin bergidik karena geli.

"Uhm.. Joon.." desah Seokjin kemudian meraih wajah Namjoon dan membuat Alphanya itu menciumnya.

Namjoon mencium Seokjin dengan dalam sementara tangannya bergerak aktif melucuti celana yang dikenakan Omeganya. Sudah lama sekali sejak terakhir kalinya mereka bercinta dan Namjoon jelas tidak mau menunggu terlalu lama.

Dia sudah terlalu tidak sabar.

Seokjin melepaskan ciumannya untuk mengerang saat merasakan tangan Namjoon meremas pipi bokongnya. Dia tidak sadar sejak kapan bagian bawahnya tidak terlapisi apapun karena kerja tangan Namjoon yang mendadak sangat terampil jika itu berkaitan dengan urusan ranjang bersama Seokjin.

Seokjin sedikit mendorong Namjoon menjauh dan bermaksud untuk membuka pakaian Alphanya itu ketika tiba-tiba saja ponselnya berdering keras. Seokjin menoleh secara refleks dan Namjoon kembali meraih Seokjin dalam ciuman, "Abaikan," desis Namjoon di depan bibir Seokjin.

Namun ponsel Seokjin tidak juga berhenti berdering dan itu membuat Seokjin pusing. Dia mendorong Namjoon dan meraih ponselnya dengan cepat, Namjoon mencoba merebut ponsel Seokjin namun Seokjin berkelit lebih cepat dan menjawab panggilan yang ternyata dari Taehyung.

Namjoon menggeram marah, dia memeluk Seokjin dari belakang dan mencumbu lehernya, membuat Seokjin bergidik geli.

"Ada apa, Taehyung?" ujar Seokjin cepat kemudian setelahnya dia mengerang pelan, "Jangan gigit tanda klaimku, Namjoon!"

"SEOKJIN! I'M SO DONE, WHAT SHOULD I DO?!" teriak Taehyung hingga Seokjin harus menjauhkan ponselnya.

"Hah? Kenapa?" ujar Seokjin kemudian dia mendesah lagi karena Namjoon terus menggigiti lehernya. "Sial, Taehyung aku tidak bisa membahas ini sekarang!" seru Seokjin kemudian dia memutus sambungan telepon, melempar ponselnya asal dan kembali berbalik mengurus Namjoon.


.


Seokjin berguling untuk meraih ponselnya, setelah semalaman mengurus Namjoon di tempat tidur, Seokjin akhirnya memiliki waktu untuk mengambil ponselnya dan menyalakannya kembali karena dia memang mematikannya setelah Taehyung menelepon kemarin.

Seokjin menunggu beberapa saat sampai ponselnya menyala, dia menoleh ke belakang saat Namjoon bergerak di sampingnya, Alphanya itu membuka mata kemudian menggeser tubuhnya untuk memeluk Seokjin dari belakang dan mulai menciumi lehernya lagi.

"Joon, aku tidak mau lagi~" rengek Seokjin dan berusaha menjauhkan kepala Namjoon dari lehernya.

"Hmm, aku hanya ingin memelukmu kok."

Seokjin mendengus pelan dan membiarkan Namjoon memeluknya dan menciumi lehernya. Seokjin melihat ada belasan panggilan tak terjawab dari Taehyung dan juga puluhan chat di ponselnya. Dahi Seokjin berkerut dan dia membaca semua chat yang Taehyung kirim kepadanya dan setelahnya Seokjin menjerit.

Menjerit, dalam artian yang sesungguhnya.

Namjoon yang masih memeluknya jelas terkejut, dia memutar tubuh Seokjin dengan panik. "Sayang, ada apa?" tanya Namjoon panik.

"Taehyung! Taehyung mengklaim seorang Omega!" pekik Seokjin.

Namjoon mengerutkan dahinya, "Bukankah dia tidak memiliki kekasih?"

"Dia bilang dia tidak sengaja mengklaimnya," ujar Seokjin dan menunjukkan layar ponselnya pada Namjoon. "Dan Omega yang dia klaim adalah Jungkook Jeon! Model itu!"

"Hah? Bagaimana bisa?"


End of Epilogue


.

.

.

Oke, seperti yang nampak pada epilog (asek bahasanya resmi banget heheheu), rencananya aku akan membuat sekuel, dan sekuelnya adalah TaeKook.

Anggap saja ini sebagai pengganti Red Droplets yang discontinue yaa. Hehehe

Tapi kapankah sekuelnya akan dipublish aku belum tau, mungkin nanti kalau semua on-going fict saya sudah beres .

Atau mungkin juga secepatnya.

Tunggu saja ya. Heheheu