Light on Me

Genre : Romance, and Tragedy

Pair : NamJin, and slight YoonMin and TaeKook

Rate : M

Warning : Explicit and Character Death

Disclaimer : The characters are not mine. I have not own anything except this story and idea.

(Chapter 6 : Clover)

Walau kuku jemarinya menghitam, penuh dengan tanah dan dedaunan kering yang basah dan hancur, Taehyung masih terus berkutat pada pekerjaannya selama lebih dari dua jam. Jungkook dan Hoseok yang menemaninya turut mengerjakan hal yang sama, namun tak lama waktu berselang, mereka berdua memutuskan untuk beristirahat, tepat di bawah pohon kacang kenari yang terlambat berbuah. Tak jauh dari tempat Taehyung yang masih sibuk dengan pekerjaannya.

"Taehyung, istirahat 'lah dulu." Seru Hoseok seraya menerima segelas air yang disuguhkan Jungkook, "Terima kasih." Gumamnya kemudian pada pemuda di sebelahnya.

Tanpa menoleh pada mereka, Taehyung menyahut, "Sebentar lagi!" Ia masih sibuk menanam bibit strawberry di pot tanah yang mereka buat sendiri dari tanah liat, sepetak tanah lapang telah penuh dengan pucuk daun strawberry yang siap untuk tumbuh, di lain sisi, melon dan labu yang mereka tanam beberapa minggu lalu mulai terlihat kuncup bunganya.

Mereka sengaja mengisi waktu luang dengan bercocok tanam untuk kemudian mereka tukar dengan sesuatu yang mereka butuhkan dengan masyarakat desa. Tentu saja hal ini mereka lakukan diam-diam tanpa sepengetahuan orang awam, terlebih si pendeta. Lewat bantuan Yeonjun, yang akan dengan senang hati membawakan berbagai macam kebutuhan seperti, sabun, selimut tambahan, sampai sprite dan coca-cola kesukaan mereka untuk ditukar dengan buah-buahan yang mereka tanam, serta kacang-kacangan dan herbal liar yang tumbuh subur di hutan.

"Hyung, mana Monie?" Jungkook melepas topi jerami dan sarung tangan yang ia kenakan, kepalanya menoleh ke segala arah, mencari seekor kelinci putih milik Seokjin yang baru ia sadari telah menghilang dari pengawasannya. "Kalau Monie hilang, aku bisa dimarahi Jin hyung~"

Hoseok tertawa kecil seraya mengacak lembut rambut hitam Jungkook, kemudian ia menunjuk ke arah Taehyung yang masih bercocok tanam, "Dia disana, di dekat kaki Taehyung." Sontak Jungkook melihat ke arah yang ditunjuk salah satu dari hyung-nya itu, dan bernafas lega setelah ia melihat gumpalan bola bulu putih yang sedang memakan rumput seraya menggoyangkan ekor bulatnya. Jungkook segera berlari untuk membawanya kembali ke sisinya, Hoseok menghela nafasnya dan bertanya, "Kenapa kau turut membawanya kesini 'sih?"

"Jin hyung yang menyuruhku mengajaknya, katanya sekalian agar Monie mencari makan di luar kandangnya." Jelas Jungkook. Hoseok mengangguk mengerti, masuk akal baginya karena kasihan juga apabila seekor kelinci atau hewan peliharaan mana 'pun terus berada di dalam kandangnya dan terkekang. Pantas saja Seokjin sering melepasnya tanpa takut kehilangan kelinci putih menggemaskan yang ia temukan sendirian di hutan itu.

"Hyung," Panggilan dari Jungkook memecah lamunannya, Hoseok menoleh padanya, sepenuhnya memperhatikan apa yang hendak ia katakan, "apa menurutmu kita tak terlalu santai?" Sang beta mengerti apa yang dimaksud anggota termuda mereka, kedua bibirnya mengatup dan kedua iris keemasannya membulat, "Kita sudah mengetahui keberadaan jurnal itu dan sama sekali belum melakukan apa-apa."

Dalam benaknya, Hoseok mengalami kilas balik, ia ingat betul saat Yoongi memberitahu mereka tentang jurnal yang selama ini mereka cari sebenarnya berada di tangan pendeta Jung. Saat pertama kali mendengar informasi tersebut, Jungkook dan Taehyung mengusulkan untuk segera mengambilnya, tetapi Namjoon menolak usul mereka, dengan alasan waktu yang belum tepat bagi mereka untuk bertindak, Hoseok setuju, mereka memang harus merencanakan terlebih dahulu bagaimana caranya merebut jurnal itu dari tangan sang pendeta.

Tetapi, semakin cepat mereka mendapatkan jurnal tersebut, maka keadaan akan lebih baik. Resiko pasti ada, mereka akan berada dalam bahaya yang siap mengancam mereka bila pendeta itu tahu dimana keberadaan Namjoon dan kawanannya. Sebisa mungkin mereka harus menghindari perang, walau pada akhirnya mereka semua tahu, akan terjadi sesuatu yang sangat buruk dan membahayakan bagi mereka nantinya.

Bagai menyimpan bom waktu yang dapat kapan saja meledak tanpa mereka ketahui. Hoseok mengerti betul, Namjoon ada dalam posisi yang serba salah saat ini, antara meledakannya sekarang, atau nanti.

"Kemarin aku melihat Jin hyung makan buah apel." Jungkook mengerti kalau pertanyaannya tadi membuat Hoseok berada dalam kebimbangan dan kesulitan untuk menjawabnya, ia mengalihkan pembicaraan saat mengingat tingkah laku Seokjin yang kian tak dapat mereka tebak tiap harinya. "Normalnya, werewolf seperti kita akan sakit saat memakan makanan manusia seperti buah dan sayur, tapi Jin hyung dengan santai memakannya."

Memang beberapa waktu belakangan, Seokjin seperti kembali lagi menjadi seorang manusia biasa. Dan selama apa yang ia lakukan tidak berbaha baginya, Namjoon dan yang lain rasa hal itu tak akan menjadi masalah.

"Sudah berapa lama dia seperti itu?" Tanya Hoseok. Beberapa hari belakangan, ia memang terlalu sibuk mendiskusikan beberapa hal penting terkait pendeta Jung dengan Yoongi dan alpha mereka, Namjoon, sehingga ia menyerahkan sepenuhnya pada Jungkook, yang merupakan adik dari Seokjin untuk terus memperhatikan gerak-gerik dan tingkah lakunya.

"3 hari belakangan," Jawab Jungkook seraya memainkan telinga panjang Monie yang menjuntai kebawah, membuat bagian tubuh paling sensitif dari seekor kelinci itu bergoyang dengan agresif, "aku juga melihat Jin hyung mencari daun semanggi."

"Daun semanggi? Untuk apa? Dimakan?" Alis sebelah kanan Hoseok naik, ia memang pernah mendengar bahwa daun semanggi bisa dimakan, namun akan aneh apabila tidak dimasak terlebih dahulu karena kompor di rumah yang mereka tinggali tak berfungsi dan perabot di dapurnya juga tak memadai.

Jungkook menyendikkan bahunya, "Tidak tahu."

Seokjin memang sudah dapat beraktifitas seperti biasa sekarang, ia sudah sepenuhnya sehat, untuk itu mereka dapat melanjutkan pengintaian, berburu, dan kegiatan lainnya di luar rumah. Tetapi tidak dengan Seokjin sendiri, yang masih harus berdiam diri di dalam rumah, ia boleh keluar dengan catatan; tidak diperbolehkan keluar terlalu jauh dan terlalu lama. Itu sebabnya, Seokjin menyuruh Jungkook untuk 'mengasuh' Monie selama mereka berladang.

"Apa Seokjin hyung sendirian di rumah?" Tanya Taehyung yang melangkah menghampiri mereka, ia memutuskan untuk bergabung dan beristirahat setelah semua pot yang semula kosong telah terisi oleh bibit buah strawberry.

Hoseok menggeleng pelan, "Jimin bersamanya."

"Namjoon hyung?" Taehyung melanjutkan tanyanya.

Kali ini Jungkook yang menanggapi, "Ke desa dengan Yoongi hyung."

Namjoon dan Yoongi tengah melakukan barter sekaligus mencari informasi. Hanya beberapa orang dari desa saja yang mau melakukan hal yang cukup beresiko ini pada mereka, selama tak ada dari penduduk desa yang mengkhianati dan menjadi mata-mata, posisi Namjoon dan kawanannya saat ini masih aman.

Light on Me.

"Jimin?"

Seokjin memanggil. Lima belas menit ia habiskan untuk berdiam dan berkutat dengan kesibukan yang ia buat sendiri. Membuat sketsa merupakan salah satu kegiatan yang selalu digemarinya selain melukis, biasanya Seokjin akan dengan mudah larut di dalamnya, namun tidak kali ini. Ia merasa bosan dan benaknya selalu mendorongnya untuk mencari udara segar supaya lepas dari kebosanan, dan jika ia beruntung, dirinya akan mendapatkan inspirasi di luar sana.

"Oh?" Ekor mata Seokjin menemukan sosok Jimin yang tertidur dalam wujud manusianya di atas sofa. Seokjin lantas berbalik menuju kamar Jimin yang dibagi dengan Yoongi, untuk mengambil selimut dan membawanya ke arah pemuda yang jatuh tertidur dengan pulas itu. Selimut lembut berwara coklat muda itu Seokjin sampirkan diatas tubuh Jimin dengan perlahan, ia tersenyum kala melihat wajah damai salah satu dari dongsaeng-nya itu.

Jimin terlihat seperti malaikat, tanpa perlawanan, begitu tenang, dan tampak rapuh. Berbeda saat ia sepenuhnya sadar. Karena masa lalu yang sangat kelam, Jimin bersikap dingin, tak acuh dan kadang ia bicara kelewat sarkas. Walau begitu, sikapnya yang semula kasar perlahan mulai melunak. Seokjin tahu, disaat kelopak matanya terbuka atau menutup sekali 'pun, Jimin adalah orang baik yang tak akan menyakiti orang lain tanpa alasan.

"Jiminnie, sehat 'lah terus." Bisik Seokjin seraya perlahan-lahan mengecup pelan keningnya.

Setelahnya, Seokjin memutuskan untuk pergi ke luar sendiri, menikmati angin sore yang menerpa wajah tampannya, dengan sengaja ia melangkah tanpa mengenakan alas kaki. Setelah sekian lama berbaring dan beristirahat selama hampir satu bulan, Seokjin begitu merindukan terpaan angin sore yang membawa aroma pinus dari hutan, terlebih deru ombak yang dapat dengan jelas ia dengar karena posisinya yang tak jauh dari pantai.

Ia memutuskan untuk mencari lagi daun semanggi berdaun empat di hutan yang ada di belakang rumah. Seokjin sempat melihat lebatnya hamparan daun semanggi yang tumbuh disana beberapa saat yang lalu, ia mengingat filosofi tentang daun semanggi dengan empat helai daun yang sempat diceritakan mendiang ibunya. Seokjin belum pernah melihat dan menemukannya, untuk itu ia ingin mendapatkannya dan membawanya pada Jungkook dan yang lain.

Rasa penasaran dan keingin-tahuannya tentang empat daun semanggi yang membawa keberuntungan, menuntun langkah Seokjin untuk masuk ke dalam hutan.

'Tak jauh, dan hanya sebentar.' Dalam benaknya Seokjin mengucap janji. Ia membiarkan kaki tak beralasnya bersentuhan dengan pasir dan rumput lembut, suara gesekan dedaunan yang ditiup angin mengiringi langkahnya yang perlahan menjauh, masuk ke dalam hutan. Tak terhitung langkah yang telah ia ambil, senyum Seokjin mengembang kala ia menemukan hamparan daun semanggi yang tumbuh di bawah pohon mangolia tua yang belum berbunga.

Tiga, dan tiga lagi. Semua helai daun semanggi yang tumbuh disana hanya ada tiga. Lima belas menit Seokjin mencari tapi nampaknya tidak membuahkan hasil. Dewi Fortuna tak berpihak padanya hari ini, ia hendak bangkit dari duduknya namun seseorang menyodorkan padanya apa yang ia cari tepat di samping pipi kirinya. Seokjin terlonjak kala ia terkejut, dan sontak menoleh pada sosok yang asing, tapi sudah pernah ia kenal sebelumnya.

"Oh? Maaf, aku mengagetkanmu." Ucap Gongchan, wajah tampannya menatap khawatir pada Seokjin yang masih pada posisinya. "Kau tidak apa-apa?" Ia ikut duduk diatas rumput karena Seokjin tak kunjung menanggapi ucapannya. Gongchan menarik kembali semanggi berdaun empat, yang semula ia sodorkan pada pria yang masih terus memandanginya dengan tatapan terkejut.

"Kau terluka." Ucap Seokjin tiba-tiba, membuat Gongchan melihat di sekitar tubuhnya, untuk mencari luka yang mungkin saja tak ia rasakan namun nampak di bagian tubuhnya, "Disini." Seokjin menunjuk pelipis sebelah kanan Gongchan, tentu saja ia tak mampu melihatnya dengan matanya sendiri, jadi ia meraba bagian yang dimaksud Seokjin.

"Apa lukanya besar?" Tanya Gongchan seraya masih meraba bagian pelipisnya, dan saat jemarinya menekan bagian di kulit pelipisnya yang nampak tergores, ia meringis kecil, mengaduh karena luka yang tak ia sadari keberadaannya sebelumnya itu kini terasa perih.

"Jangan disentuh, tanganmu kotor." Seokjin menahan jemari Gongchan yang terus menekan lukanya, dan membawanya menjauh kemudian mendekatkan wajahnya ke arah pelipis pria yang masih mematung dihadapannya.

Satu jilatan kecil, Seokjin berikan pada luka menganga kecil di pelipis Gongchan yang cukup terkejut dengan tindakannya, ia bergumam, "Terima kasih." Dan Seokjin membalas ucapannya dengan senyuman lembut yang kembali teringat pada Jungkook saat ia melihat sosok dihadapannya.

"Lukamu pasti baru," Gongchan mengangguk kecil, sejujurnya ia tidak mengetahui sebelumnya kalau dirinya terluka, "luka seperti itu seharusnya dapat sembuh dengan cepat." Mereka werewolf, mereka akan dapat segera sembuh dengan cepat, terlebih pada luka goresan yang tak terasa sakit atau perih sehingga tak membutuhkan penanganan lanjut.

"Namamu Gongchan 'kan?" Seokjin mengingatnya, ini adalah kali kedua pertemuan mereka. Dan seperti waktu pertama kali, Seokjin juga tidak meyadari kehadirannya. Gongchan seperti hantu yang datang tiba-tiba, tidak dirasakan keberadaannya atau aroma tubuhnya, tetapi Seokjin tak merasakan aura yang mengancam darinya, untuk itu ia bersikap biasa saja.

"Kau ingat namaku?" Gongchan bertanya, seolah tak percaya kalau Seokjin mengingat namanya. Mereka baru bertemu dua kali hari ini, dan pertemuan pertama mereka juga terbilang singkat dan tak begitu berkesan.

"Tentu saja," Dalam hatinya Seokjin sedikit menyindir Gongchan yang selalu muncul tanpa ia duga dan mengagetkannya, namun ia teringat pada sesuatu yang menurutnya penting, "Ngomong-ngomong, kenapa kau terluka?"

Gongchan menyendikkan bahunya dan berkata, "Aku tidak tahu kenapa, tapi mungkin, saat aku mencari semanggi ini, aku terjatuh dan tanpa sadar telah terluka." Ia berbohong, ia tidak pernah terjatuh.

Seokjin menatap semanggi berdaun empat yang masih ada dalam genggaman Gongchan, kekagumannya terlihat dari pancaran iris hazel-nya yang berbibar, ia terperangah dengan takjub saat pertama kali melihatnya, "Oh? Kau mendapatkannya?" Kemudian muncul pertanyaan, "Kenapa kau mencarinya?"

"Aku mendengar percakapanmu dengan teman-temanmu dari jauh, kau bilang kalau kau sedang mencari semanggi ini." Gongchan mengangkat semanggi dalam genggamannya setara dengan wajah mereka, senyumnya merekah dan perlahan ia menyodorkannya pada Seokjin.

Seokjin menautkan kedua alisnya, keningnya berkerut saat ia merasa curiga, "Kau menguping?"

Bahu Gongchan turun melemas, tangannya yang menggenggam semanggi mungil itu jatuh diatas pahanya, ia menggeleng cepat dan berucap, "Ah, bukan begitu. Aku tidak bermaksud menguping, hanya saja saat kebetulan lewat sini, aku mendengarmu." Jelasnya, ia berusaha meyakinkan Seokjin kalau dirinya tak seperti yang dibayangkan.

Perlahan-lahan, anggukan Seokjin berikan, ia mencoba percaya, "Baiklah..."

Sekali lagi, Gongchan menydorkan pada Seokjin hasil temuannya, "Ini untukmu."

"Untukku? Tapi kau yang menemukannya, jadi keberuntungan itu milikmu." Tolak Seokjin, memang sejak awal, ia berniat untuk menemukan tumbuhan itu saat masih tertanam di tanah, ia tak berniat memetiknya, hanya menemukannya saja, dan kemudian ia akan mengajak Jungkook untuk melihatnya bersama.

"Keberuntungan?" Gongchan memandang daun semanggi yang ada ditangannya dengan heran, mengapa tanaman yang mirip rumput ini dibilang sebagai keberuntungan?

"Ya, daun semanggi berdaun empat memiliki arti kalau yang menemukannya akan mendapatkan keberuntungan selama ia menyimpannya." Saat mendengar ucapan Seokjin, tawa Gongchan hampir pecah, namun ia berusaha menahannya. Terdengar begitu kekanakan dan tidak masuk diakal, walau memang pada kenyataannya semanggi dengan empat helai daun jarang sekali ada karena umumnya hanya ada tiga helai daun yang tumbuh dipucuknya.

"Begitu 'kah?" Gongchan bertanya, ia terus memandangi tumbuhan berwarna hijau diatas telapak tangannya.

"Aku tidak terlalu percaya 'sih. Hanya saja aku teringat ibuku yang pernah menceritakannya saat aku masih kecil, dan saat itu aku berusaha mencarinya tapi tidak ketemu, hingga sekarang aku belum pernah melihat semanggi berdaun empat sampai hari ini." Ucap Seokjin dengan jujur, ia memang tak terlalu percaya akan legendanya, tapi rasa penasaran yang tumbuh dalam benak membawanya untuk mecari. Lagi pula di tempatnya tumbuh dan tinggal, ia belum pernah melihat hamparan semanggi seperti disini kecuali di buku atau televisi.

Dengan terkekeh pelan, Gongchan bertanya, "Lalu kalau kau sudah menemukannya, akan kau apakan daun ini?"

"Aku ingin menunjukkannya pada adikku, dia menyukai hal-hal seperti ini." Setelah akhirnya mereka bertemu dan hidup sebagai kakak-beradik, Seokjin mulai memahami karakter Jungkook, ia sebagian kehilangan masa kecilnya karena teror yang mengancamnya pasca pertempuran yang menewaskan orang tua mereka. Untuk itu, Seokjin memutuskan, ia akan menjadi pengganti orang tua bagi Jungkook, ia ingin membawa sosok sang ibu untuknya.

"Kau kakak yang baik, ku harap aku memiliki keluarga sepertimu." Gongchan bergumam pada kalimat terakhir yang keluar dari bibirnya, ia terdiam menatap Seokjin dengan pandangan kosong.

Seokjin tahu kisah hidup seorang lonewolf, berkelana sendirian dan tidak memiliki keluarga atau kawanan, entah apa yang terjadi pada mereka, Seokjin tidak ingin menanyakannya, ia takut akan membuatnya terkenang dan tanpa sengaja melukai hati Gongchan. "Bagaimana kalau kukenalkan kau, Gongchan-ssi, pada keluargaku, mereka akan dengan senang menyambutmu." Ajaknya, ia harap dirinya dapat membantu pemuda itu, walau mereka baru berjumpa, tapi Seokjin rasa, Gongchan adalah orang yang baik.

"Kurasa tidak demikian." Gongchan menyanggahnya, ia menggeleng pelan seraya tersenyum pahit.

"Kau tidak setuju?" Seokjin sudah menduga Gongchan akan menolak ajakannya, wajar saja karena mereka belum lama mengenal dan, Gongchan belum pernah bertemu dengan Namjoon dan yang lain. Tapi ia berkata jujur, keluarganya tidak akan melukai Gongchan, jika Seokjin yang memintanya.

"Aku seorang lonewolf, berbeda denganmu yang mungkin masih belum mengerti, alpha-mu akan langsung membunuhku ketika pertama kali ia melihatku." Gongchan ada benarnya, Seokjin pernah menyaksikan lonewolf yang terpaksa diusir oleh Namjoon karena dianggap menggangu teritori mereka.

Seokjin yakin, Gongchan berbeda dari lonewolf lainnya, untuk itu ia berusaha menyakinkan, "Tapi aku bisa menjelaskan padanya, kalau kau teman baruku."

Gelengan pelan kembali Gongchan berikan, sebagai reaksi kalau ia tetap menolak ajakan Seokjin, "Tidak, kumohon. Tolong rahasiakan keberadaanku dari kawananmu, dengan begitu aku lebih merasa aman untuk tetap tinggal di dalam hutan." Ia memohon, Seokjin tidak mengerti pada awalnya, jika Gongchan takut pada Namjoon dan yang lain, kenapa ia biasa saja saat berinteraksi denganya?

"Baiklah." Seokjin menyerah. Menurutnya, mungkin saja Gongchan tidak takut padanya karena memang Seokjin tak mengancam, lagi pula ia merupakan seorang omega. Masuk akal bagi Gongchan untuk dapat dengan mudah mendekatinya.

"Terima kasih sudah menganggapku teman." Gongchan tersenyum padanya, dan Seokjin membalasnya.

"Kau pria yang baik, berbeda dengan para lonewolf yang sering diceritakan Hoseokie." Tutur kata Seokjin melembut, membuat senyum di bibir Gongchan melebar, hampir menyeringai, tapi ia tahu kalau seringai yang terpatri pada wajah tampan pemuda dihadapannya pasti karena ia merasa senang.

"Ah, ini," Gongchan menggenggam tangan kanan Seokjin, dan membuat telapaknya terbuka, "sebagai tanda pertemanan kita, keberuntunganku kuserahkan padamu, aku akan mencari keberuntungan yang lain." Kemudian ia menyerahkan semanggi kedalam genggaman Seokjin, yang kali ini menerimanya dengan senang hati.

"Terima kasih, Gongchan." Ucap Seokjin seraya membawa kepalan tangan di mana semanggi itu tersimpan ke dadanya.

Gongchan mengangguk pelan, ia melihat kebelakang, layaknya merasakan sesuatu, kemudian berkata, "Kembali 'lah ke rumahmu, mereka akan langsung panik saat tahu kau tak ada."

Seokjin menyetujui perkataannya, "Baiklah kalau begitu, sampai jumpa Gongchan-ssi." Dalam hatinya ia berharap supaya suatu saat nanti dapat bertemu kembali dengan teman barunya. Sudah lama Seokjin tidak berinteraksi dengan orang asing dan menjadikan mereka teman barunya.

Langkah Seokjin perlahan menjauhinya, sliuetnya menghilang ke arah yang lebih terang di ujung hutan, diantara pepohonan tua dan rindang, Gongchan terus memperhatikan punggungnya hingga menghilang dari pandangan, kemudian larut dalam pikirannya, hingga seseorang datang dari arah kiri tempatnya berdiri, "Kau bisa memasang wajah seperti itu rupanya?"

"Dia.. sesuatu telah tumbuh dalam tubuhnya." Tanpa menoleh atau melirik pria yang datang menghampirinya, Gongchan tetap memperhatikan jalan yang Seokjin lewati menuju rumahnya, ia bergumam, kedua iris jingganya berkilat dan wajahnya yang pucat terus menyunggingkan seringai.

"Keturunan Kim Namjoon?" Dongwoo mengikuti arah pandangan Gongchan, satu revolver dalam genggamannya ia kembalikan ke tempatnya. Tepat di punggungnya ada dua revolver yang sengaja ia siapkan untuk membunuh lawan, yang tak lain lagi adalah werewolf.

Suara Gongchan memberat, ia menjawab singkat, "Ya."

"Itu artinya, tidak lama lagi..." Dongwoo melirik luka yang mulai menghilang di pelipis Gongchan, ia mengambil sebilah belati dari saku celananya dan menyodorkannya pada pemuda yang menatap belati perak itu dalam diam. "Ingat, kau tidak boleh menaruh empati pada omega itu, jika kau gagal, kau tahu apa yang akan Pendeta Jung lakukan 'kan?" Ucapnya.

Gongchan menerima belati itu, kemudian mengarahkannya di pelipisnya, tepat dimana lukanya berada, "Kau pikir aku menaruh empati padanya? Menatap wajahnya saja aku sudah tak sabar ingin mematahkan lehernya." Ucapnya seraya menyayat pelipisnya sendiri, darah mengalir deras sampai dagu, lukanya melebar lagi, lebih lebar dari semula, tapi Gongchan seolah tak merasakan apa-apa.

Dongwoo memperhatikan darah yang mengalir di wajah Gongchan, ia tersenyum seraya berkata, "Hmm.. menarik."

"Diantara ketiga alpha disana, siapa target pertama?" Tanya Gongchan, ia menyerahkan belati yang ujungnya penuh dengan darahnya pada Dongwoo yang segera membalut belati itu dengan kain putih.

"Taehyung, Kim Taehyung."

Light on Me.

"Wow, wow. Jungkook-ah, pelan-pelan." Mendapat pelukan yang kelewat agresif dari Jungkook bukan 'lah perkara mudah sekarang. Tubuhnya telah tumbuh menjadi semakin besar, tingginya hampir menyamai Seokjin dan bisepnya mulai mengeras. Tentu saja Seokjin merasa nyeri di tubuhnya saat Jungkook memeluknya dengan begitu erat.

Tidak peduli pada Seokjin yang terus memprotes tindakannya, dan Namjoon yang menarik pelan bahunya, Jungkook masih pada posisinya dan terus menggumamkan kata, "Hyung, kau adalah hyung terbaik di dunia ini, aku mencintaimu."

"Aku juga mencintaimu, sekarang lepaskan aku." Menyadari tatapan alpha-nya yang mulai berkilat dan memandang Jungkook dengan wajah seolah akan segera murka, Seokjin berusaha melepaskan pelukan adiknya dan tersenyum kecil, ia tahu Namjoon menjadi semakin protektif padanya karena suatu alasan.

"Boleh 'kah aku menaruhnya di dalam air?" Saat akhirnya Jungkook melepas pelukannya, Seokjin segera bersandar dengan lega dan mengangguk. Daun semanggi yang Gongchan temukan dan berikan untuknya akhirnya ia perlihatkan pada Jungkook.

Seokjin merasa kalau keberuntungan yang dibawa semanggi berdaun empat itu nyata, karena saat ia kembali ke rumah Jimin masih tertidur dan yang lainnya pulang tepat saat Seokjin tiba di kamarnya. Terlebih lagi, tidak ada yang menanyakan dimana Seokjin mendapatkan semanggi itu, karena mereka terlalu kagum saat melihatnya untuk pertama kali, apa lagi saat ia mulai menceritakan makna dibalik semanggi langka itu. Seokjin benar-benar beruntung, ia tidakan menimbulkan kegaduhan seperti yang ia kira awalnya karena pergi keluar rumah tanpa sepengetahuan mereka.

"Daun semanggi berdaun empat yang membawa keberuntungan? Kedengarannya seperti dongeng keputus-asaan." Yoongi bergumam, ia sering mendengar dongeng anak-anak atau kisah legenda yang tidak masuk akal, tapi kisah tentang tanaman yang menurutnya sama saja dengan rumput ini sungguh berada di luar akal sehat.

Jungkook menoleh dan menatap sebal pada Yoongi yang duduk tak jauh dari Jimin, selalu, "Ya! Kau akan jadi orang paling sial di keluarga ini, Yoongi hyung."

"Apa kau bilang?" Yoongi balas menatap sebal pada Jungkook, lehernya naik dan kedua alisnya bertaut, siap berkelahi dengan maknae mereka kapan saja. Tapi Jungkook tak mengindahkan ancaman dari pria yang lebih tua darinya itu, dengan santainya ia membawa daun semanggi yang telah ia letakan di dalam botol susu yang terbuat dari kaca dan telah diisi air sebagian.

Seorang pemuda bersurai brunette menggelengkan kepalanya, ia memperingati Yoongi dan Jungkook yang mulai saling mengejek, "Sudah-sudah, lebih baik kita fokus pada apa yang akan Hoseokie hyung katakan," Taehyung sedang tidak berada dalam mood yang tepat untuk ikut dalam pertengkaran kecil anatara Yoongi dan Jungkook. Ia yang duduk bersila di dekat Hoseok bertanya, "Jadi Hoseok hyung, apa yang ingin kau sampaikan pada kami?"

Hoseok menghela nafasnya, ia menatap satu-persatu wajah mereka yang hadir disana, kemudian berkata dengan menyilangkan lengannya di dada, "Kalian sebenarnya sudah tahu, tapi bersikap seolah tak tahu 'kan? Terutama kau, alpha-ssi, Kim Namjoon?" Kini ia memandang Namjoon dengan tatapan menghakimi, membuat mereka, kecuali Seokjin, ikut melihat kearahnya.

"Apa?" Namjoon bertanya, dengan polosnya.

"Dari pada aku yang harus mengumumkan hal ini, lebih baik kau menyampaikannya sendiri." Namjoon membenarkan kata-kata yang Hoseok ucapkan padanya, ia membuat kepalan tangan, kemudian mendekatkan ke bibirnya seraya berdehan pelan. Tapi ia tak kunjung bicara.

Wajah Namjoon terlihat gugup, pertama kali dalam seumur hidup mereka tinggal bersama, baru kali ini mereka melihat sang alpha tengah gugup. Sesekali Namjoon melirik Seokjin yang tahu bahwa mate-nya itu kelewat gugup, terlihat senang namun juga gelisah. Seokjin gemas dibuatnya, untuk itu ia langsung saja berkata, "Aku rasa aku hamil."

Diam seribu bahasa. Hening menyelimuti ruang utama dari rumah itu seketika, tak ada raut wajah yang dapat terbaca. Antara heran, bingung, terkejut, hingga aneh. Satu-satunya yang mampu bergerak saat itu hanya Hoseok, yang menggelengkan kepalanya dan menepuk dahinya sendiri dengan penuh akan rasa lelah.

Yoongi membuka suara, "H-hei, tunggu dulu. Bagaimana bisa?"

"Kenapa?" Jimin bergumam penuh tanya.

"Kapan kau akan melahirkan?" Taehyung bertanya dengan wajah yang ceria, mau tak mau, Hoseok mencubit gemas pipinya.

Seokjin tersenyum geli melihat tingkah mereka, ia menggenggam tangan Namjoon yang bereaksi hampir sama dengan sisa dari anggota keluarganya, "Namjoon-ah, mau menceritakannya untuk mereka?"

Kesadaran sepenuhnya telah hinggap dalam raga Namjoon, ia telah kembali lagi ke Bumi dan berpijak seperti sedia kala setelah larut dalam angan semu. Perlahan, ia mulai menjelaskan, "Jadi, sejak semalam, aku merasakan kalau aroma tubuh Jin hyung berubah, wolf alpha dalam tubuhku selalu bersikap over protective padanya. Aku tidak tidur semalaman untuk melihat dan memastikan apakah ia baik-baik saja," Namjoon membalas genggaman tangan Seokjin, ia membelai lembut punggung tangannya dengan ibu jari, "benakku dipenuhi kegelisahan, seolah kalau Jin hyung terluka sedikit saja, aku akan mati karenanya."

Untuk sesaat mereka yang mendengarkannya, terdiam dan menatap seolah baru saja mendengarkan sebuah kesaksian dari keajaiban, terlebih saat Namjoon berucap, "Disaat terus terjaga semalam, aku mulai merasakan ada yang tumbuh, sesuatu yang tak kukenal tapi aku ingin melindungi serta menjaganya seumur hidupku."

"Bayi? Seorang bayi?" Jungkook hampir berseru, bambi eyes-nya makin terlihat lebih bulat, Seokjin turut menggenggam jemarinya dengan sebelah tangannya yang masih bebas.

Namjoon berkata seraya memandang Seokjin, "Awalnya aku tidak memikirkan sampai kesana, kurasa apa yang kurasakan wajar adanya karena Jin hyung adalah mate-ku, tapi saat matahari mulai terbit aku tersadar. Aku menatap wajah tidur Jin hyung lekat, aromanya yang kian harum dan manis membuatku terus berada ingin disisinya, tanpa disadari olehku sendiri, aku sudah menyentuh perutnya dan dari sana, aku dapat merasakan kalau anak kita sedang tumbuh." Diksi yang Namjoon ucapkan tentang kesaksian atas keajaiban yang baru saja dirasakannya, membuat Hoseok, Jungkook, Taehyung, Jimin dan Yoongi terperangah.

"Wow..." Taehyung dan Jungkook bersamaan bergumam lewat ketakjuban.

"Aku.. tidak bisa berkomentar." Sama halnya dengan Jimin, ia berkata jujur, ia tak memiliki kata-kata yang tepat untuk diungkapkan.

"Aku mengerti, kalian masih bingung." Seokjin menatap perutnya yang masih rata, ia berusaha merasakan eksistensi dari separuh jiwanya yang sedang tumbuh disana, "Sejujurnya sampai detik ini, aku juga masih sulit untuk mempercayainya, aku yang terlahir sebagai manusia dan tidak seharusnya mengandung seorang anak, sekarang, takdir hidupku telah berubah sepenuhnya." ucapnya, ia mengungkapkan isi hatinya dengan jujur, ia yang seharusnya tak mengandung kini tengah diberkahi oleh keajaiban, memang sulit untuk dipercaya, bahkan oleh dirinya sendiri.

"Mungkin, kalian berangan-angan apa yang ada dipikiranku saat tahu kalau aku mengandung. Jika Seokjin yang dulu tahu, pasti ia akan terkejut dan mungkin... sedikit frustasi dan kebingungan," Seokjin melanjutkan penuturannya akan kejujuran dari isi hatinya, "tapi aku, wolf omega dalam diriku seolah membuatku sadar bahwa, jalan hidupku telah berubah, dan menerima serta mengikhlaskannya akan menjadi jalan untuk kebahagiaanku. Dan sekarang, aku bahagia telah mengetahui kalau aku mengandung anakku dan Namjoonie."

"Aku juga ingin punya anak." Taehyung berkomentar, dalam benaknya ia juga memiliki bayi-bayi serigala lucu yang akan berlarian di sekitar kakinya.

Hoseok menepuk dahinya untuk yang kedua kali, "Hush, Taehyung, diam 'lah, kau merusak suasana."

Tawa pelan yang terdengar renyah bagi telinga Namjoon keluar dari mulut Seokjin, "Anak kami juga anakmu, Taehyung-ah."

Jimin memberikan pendapatnya, "Itu namanya, keponakan."

"Keponakan..." Ucap Taehyung, Hoseok, Jungkook dan Yoongi bersamaan.

Tangan Taehyung mengepal erat, kemudian ia mengangkatnya tinggi-tinggi di udara, "Kedengarannya bagus, aku suka keponakan, ah tidak, aku mencintai keponakan."

"Kalian juga merasakannya 'kan? Dia belum lahir tapi kita sudah mencintainya." Namjoon menyentuh lembut perut Seokjin yang masih rata, belum ada detak jantung, gerakan menendang, aromanya saja belum dapat dicium, tapi ia dapat merasakan eksistensi dari calon anak mereka.

Jimin bergerak mendekat, "Aku ingin melindunginya.."

Yoongi mengikuti gerakannya, "Aku juga, aku ingin melatihnya."

Taehyung masih pada angan-angannya, "Aku ingin mencari capung dengannya."

Jungkook mendekatkan wajahnya pada perut Seokjin, "Aku ingin mengajaknya melihat Helikopter."

Hoseok menatap haru pada mereka, "Aku ingin mengajarinya berjalan."

Namjoon menyunggingkan senyum tulus, ia akan menandai hari ini sebagai hari yang spesial, "Sabar 'lah, kalau sudah saatnya nanti, kalian dapat membantu kami merawatnya."

Seokjin tertawa geli, benaknya membayangkan bagaimana Taehyung akan ikut merawat anak mereka nanti, "Aku rasa Taehyung akan jadi paman favoritnya."

"Benarkah?!" Taehyung berseru nyaring, binaran cahaya di kedua iris kecoklatannya bersinar bahagia.

"Aku setuju, anak kecil biasanya suka dengan orang yang... ekstra." Yoongi bergumam seraya tersenyum lebar dan mengangguk kecil.

Yang satu-satunya tidak tersenyum adalah Jungkook, wajahnya ditekuk, dan ia protes, "Tidak adil, aku yang akan jadi paman yang paling disukai Namjoon kecil."

Mendengar hanya nama Namjoon yang disebutkan, Seokjin yang sekarang protes, "Hei, bagaimana denganku? Aku yang mengandung!" Ia memberikan tinju pelan pada bahu Jungkook.

Seringai jahil terpatri pada wajah Jungkook, ia berkata dengan nada meledek, "Aku lebih suka kalau bayinya mirip Namjoon hyung, tidak bawel."

"Apa kau bilang Jeon Jungkook?!" Tinju yang Seokjin berikan kali ini tidak pelan, ia kembali melayangkan pukulannya sampai Jungkook kabur dari sisinya.

"Jinseok, tahan emosimu, tenang 'lah." Namjoon dengan sigap memeluk Seokjin, ia membelai rambut hitamnya dan mengecup pelan pipinya. Seokjin yang semula terlihat ngambek, akhirnya luluh.

'Mudah sekali 'sih~'

Jimin maju perlahan-lahan ke arah Seokjin, ia memandangi perutnya dan bertanya, "Uh, Jin hyung, boleh kupegang perutmu?"

Tanpa berpikir panjang, Seokjin langsung menyetujuinya disertai dengan senyumnya yang riang, "Tentu, Jiminnie."

Memang benar, ada nyawa yang sedang tumbuh disana. Begitu terasa hanya lewat satu sentuhan, dan tanpa sadar, Jimin meneteskan airmatanya, "Dia.. benar-benar ada disana."

"Apa aku juga boleh menyentuhnya?" Yoongi datang menghampiri, ia bersimpuh, dan setelah menatap anggukan dan kalimat persetujuan dari Seokjin, tanpa ragu, Yoongi meletakan tangannya di sebelah tangan Jimin. Mereka berdua saling menatap setelah merasakan keajaiban yang tumbuh dalam diri Seokjin, dalam benak masing-masing Yoongi dan Jimin juga memutuskan untuk memiliki keajaiban mereka sendiri suatu hari nanti.

Satu-persatu dari mereka bergantian menyentuh perut Seokjin yang masih rata. Malam itu mereka habiskan dengan penuh tawa bahagia, walau dalam hati mereka masih menyimpan kekalutan, sebab, mereka masih tidak mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Bisa 'kah mereka menyelamatkan keduanya? Petunjuk harus segera mereka dapatkan agar Seokjin dan bayinya dapat selamat saat hari itu tiba.

to be continued

[A/N]

I can survive! AAAAAA~ Maaf atas keterlambatannya yang sudah kelewat batas, masih ada 'kah diantara kalian yang masih menanti lanjutan dari Fanfiction ini?

Walau Fanfiction ini terkesan underrated, tidak ada review lagi 'pun saya akan tetap update karena saya yakin ada silent reader diluar sana yang butuh hiburan(?)

massive thanks to :

Goldenaidakko

ゴルデンさん、本当に ありがとうございます。ゴルデンさんのお陰で、このストーリーを続けられます!当たり前です!インドネシアは暑い、もう家から出たくない 笑笑 ボゴールに住んでいますか?私はジョグジャカルタに住んでいますよ〜 遠いけど、心が繋がってます!