I'll always love you and make you happy

If you will only say the same

But if you leave me to love another

You'll regret it all some day

-You Are My Sunshine-

Jimmie Davis

.

.

Seokjin adalah pendamping hidup Kim Namjoon sejak tiga tahun yang lalu. Pendamping hidup yang tidak diinginkan namun harus diterima. Sebenarnya tidak ada yang buruk dari Seokjin, lelaki muda itu pintar dalam berbagai hal, memiliki banyak prestasi, dan parasnya cantik untuk seukuran lelaki. Seokjin juga tidak pernah terlibat kasus apapun semasa hidupnya, Seokjin sempurna. Hanya saja Namjoon tidak menaruh hati pada Seokjin.

Andai saja ayahnya berbaik hati, mungkin Namjoon sudah menikahi perempuan yang sekarang menjadi simpanannya. Namjoon tidak masalah dengan pernikahan sesama jenis, hanya masalah hati. Hatinya terletak pada orang lain.

"Aku berangkat, sarapan sudah kusediakan di meja makan, kopimu masih panas, dan jangan lupa untuk bercukur." dan kecupan ringan menjadi penutup ceramah pagi Namjoon.

Lihat, Seokjin itu sama sekali tidak buruk.

Namjoon terdiam sejenak sebelum melangkah. Bukan ke ruang makan, namun ruang kerjanya. Amplop coklat menjadi pusat perhatian Namjoon, amplop coklat berisikan surat cerai yang sejak minggu lalu ingin sekali Namjoon serahkan pada Seokjin untuk ditandatangani agar Namjoon bisa bebas. Namjoon yakin Seokjin juga ingin bebas sepertinya. Namun Namjoon takut jika Seokjin tersinggung dan melaporkannya pada ayahnya.

Jadi surat itu terus tergeletak di meja kerjanya sejak minggu lalu.

"Astaga, andai lebih mudah."

Tak ingin ambil pusing, Namjoon memilih untuk memakan sarapannya. Surat cerai itu bisa diurus kapan saja.

Ting!

Namjoon meraih ponselnya,

Seokjin: Nanti malam pulang cepat ok? Ada kejutan untukmu

Dan kembali menaruhnya. Kejutan? Bukan lagi kejutan jika diberitahu. Tapi Namjoon hanya akan menurut.

Omong-omong, rumah kosong hari ini. Seokjin bilang dia menyuruh para maid untuk mengambil libur selama dua minggu dalam rangka anniversary mereka. Namjoon bahkan tidak ingat kapan itu, mungkin besok atau lusa.. bisa saja sudah lewat.

Terasa sepi hari ini. Biasanya ada beberapa maid yang berlalu lalang dan Seokjin yang duduk di seberangnya, memakan salad dan menyesap teh hijau sembari menatap ipadnya, terkadang mengangkat panggilan. Hari ini Seokjin harus mengurus sesuatu yang penting katanya, Namjoon tidak tahu apa. Dia tidak peduli, mungkin ada hubungannya dengan pagelaran busananya minggu depan.

Poselnya kembali berbunyi, kali ini seseorang menghubunginya. Namjoon angkat sambungannya dengan senyum lebar. "Soojung, ada apa?"

"Aku harus bertemu istrimu hari ini."

"Untuk?"

Namjoon mendengar decakan dari seberang sana. "Teman-temanku bilang dia tidak merekrutku dalam pagelaran busananya, tapi aku harus! Brandnya itu terlalu berharga untuk dilepas!"

"Biar aku bicara padanya."

"Terima kasih, kau yang terbaik!" dan sambungannya diputus.

Namjoon menghela nafas dan menyesap kopinya. Ada yang salah dengan otak Seokjin karena tidak merekrut kekasihnya. Kekasihnya adalah top model dan tidak merekrutnya dalam sebuah pagelaran busana adalah tindakan bodoh.

Ah sudahlah

Namjoon beranjak dan memilih untuk mandi.

.

.

.

".. berikan aku kabar jika sudah ada peningkatan."

Tok, tok!

Pria tua yang duduk di kursi nyamannya melirik ke belakang sekretarisnya, setelah itu memberi kode untuk pergi pada bawahanya itu.

"Masuklah."

Namjoon melangkah masuk dan membungkuk pada pria tua itu, "Ayah."

"Duduk, ayah harus bicara serius padamu." dan Namjoon menurut.

Raut wajah ayahnya tak enak dipandang mata, mengartikan bahwa Namjoon berada dalam masalah besar sekarang.

"Masih bertahan bersama Soojung, huh?" tak ada bentakan, Namjoon heran walau tak bisa dipungkiri dia merasa luar biasa lega.

"Y-ya."

"Berani kau?!" Ayah Kim menahan amarahnya, sekali lagi Namjoon heran. Apa yang membuat ayahnya menahan amarahnya?

"Ayah tidak memaafkanmu! Semoga karma menemukanmu 'nak, karena menyia-nyiakan Seokjin adalah kesalahan besar!"

"AKU HANYA MENCINTAI SOOJUNG!"

"Semoga karma menemukanmu dan mencabikmu hingga ke jantungmu!"

Cukup, Namjoon merasa cukup. Tanpa penghormatan lelaki itu pergi dan membanting pintu ruang ayahnya.

Namjoon rasa ayahnya sudah gila. Menyumpahi anaknya sendiri seperti itu dan apa-apaan dengan karma itu? Pria tua itu bertingkah seolah dirinya suci saja.

Namjoon merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya, "Apa?!" Namjoon membentak tepat setelah menekan tombol hijau.

"Kau membentakku?"

"A-ah, Soojung. Tidak, maaf, ada kondisi tidak mengenakkan di sini."

"Lupakan. Kau belum bilang pada istrimu ya?! Aku masih belum bisa ikut dalam pagelarannya!"

Namjoon memijat batang hidungnya, "Maaf, aku lupa. Akan kuhubungi dia."

Sambungannya dimatikan. Terkadang Namjoon jenuh dengan sifat Soojung itu, perempuan itu terlalu kekanakan. Ada saja rengekan setiap harinya, entah karena hal kecil atau hal besar yang bagi Namjoon masih merupakan hal kecil.

Itu yang membedakan Seokjin dengan Soojung selain gender mereka. Tapi tetap, Seokjin tidak bisa menarik hatinya.

"Halo Seokjin.."

Namjoon menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan melangkah mendekati kaca yang menyajikan pemandangan kota di siang hari. Tubuhnya bersandar pada railing kayu di sana.

"Suatu keajaiban kau menghubungiku, ada apa?"

"Euh, aku ingin minta tolong padamu." Namjoon menjeda sebentar karena ragu dengan permintaannya.

"Apa?"

"B-bisa rekrut temanku, Soojung, untuk pagelaran busanamu? Dia penggemar berat brandmu."

Seokjin tidak menjawab, Namjoon hanya bisa mendengar suara keramaian di seberang sana. Namjoon mengira-ngira apa yang Seokjin pikirkan saat ini, dan tak ada hal baik yang bisa dia dapatkan.

"Baiklah."

Namjoon nyaris melompat saking terkejutnya. Tak disangka Seokjin menerima permintaannya.

"Hanya jika kau pulang cepat untuk kejutanmu nanti malam. Pukul 8."

"Terima kasih Seokjin!"

.

.

.

Sebuket bunga dan sekotak coklat berada dalam genggaman Namjoon malam itu. Khusus untuk Seokjin khusus untuk malam itu, sebagai ungkapan terima kasihnya.

"Aku sampai."

"Hai Namjoon."

Namjoon mematung..

"Selamat datang, suami. Senang melihat apa yang ada di depanmu?"

Kotak coklat dan buket bunganya terjatuh dari genggamannya yang melemas. Pandangannya tertuju pada sofa putih yang Seokjin beli tiga tahun yang lalu.

Sofa putih yang diselimuti merah darah.

Darah Soojung.

"K-kau.."

"NAMJOON! ISTRIMU GILA! CEPAT BEBASKAN AKU DAN BAWA AKU PERGI!"

PLAK!

Tangan lentik yang sesekali memijat punggung lelah Namjoon itu menampar pipi kekasihnya. Ingin rasanya Namjoon membentak Seokjin, tapi tak ada yang keluar dari mulutnya.

"NAMJOON!"

PLAK!

Tamparan lainnya Seokjin layangkan, namun Namjoon tetap diam di tempatnya.

"Bagaimana suami? Kekasihmu ini minta diselamatkan.." Namjoon memandang Seokjin yang menyeringai padanya. "Kuberikan dua pilihan. Pertama, kau pergi dengan perempuan ini, dan akan kuberikan kalian kejutan lainnya. Kedua, tinggal bersamaku dan semua akan baik-baik saja." lelaki itu berjalan mendekati Namjoon, tangannya terulur untuk mengelus dada bidang Namjoon yang terbalut kemeja putih -yang tak lagi putih-.

Jangan pernah bermain di belakang Dia yang berpakaian putih.

.

.

.

Ini twoshot, tenang..