CAN YOU HEAR ME

.

.

KAISOO VER

.

.

GENRE : - school life

- friends

- love

- bullying

.

.

WARNING! B x B , YAOI

.

.

Cerita ini terinspirasi dari drama berjudul "I can see your voice", akan tetapi alur ceritanya berbeda dari alur cerita drama tersebut. FYI, cerita ini mengandung unsur boy x boy, boyslove, jadi yang memiliki homophobic disarankan untuk tidak membaca cerita ini. Jika masih memaksa untuk membaca, dimohon untuk tidak meninggalkan komentar jahat dan sejenisnya. Terimakasih!

.

.

ENJOY IT

.

.

"Musim semi?" Ujarnya dalam hati, siswa laki-laki bername tag Kim Jongin itu terdengar menghela nafas kasar sambil melihat jalanan dari kaca jendela bus yang tengah di tumpanginya. Wajah tampannya sama sekali tidak memancarkan kecerahan seperti kebanyakan penumpang lainnya, yang tengah begitu asyik membicarakan festival musim semi tahunan yang akan segera diselenggarakan. Alih-alih senang, Jongin malah terlihat begitu muram dan sedih. Pikirannya berkecamuk, penuh dengan seseorang yang saat ini tidak Ia ketahui dimana keberadaannya.

Jika saja waktu itu Ia tidak meninggalkan negara kelahirannya, mungkin sampai detik ini Ia dan juga orang itu masih bisa bersama. Tapi mau apa dikata, dulu dirinya hanyalah seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun yang hanya bisa mengikuti kemanapun kedua orang tuanya pergi untuk mengembangkan usahanya. Selama satu tahun Jongin pindah, komunikasi mereka masih begitu lancar. Mereka akan saling menghubungi satu sama lain setiap malam secara bergantian menggunakan telephone rumah hingga larut malam. Bahkan tak jarang, orang tua mereka akan marah akan hal itu. Selain mengganggu jam tidur, tagihan telphone rumahpun ikut membengkak karena mahalnya biaya panggil antar negara.

Sayangnya, komunikasi itu tidak bertahan lama, memasuki awal tahun berikutnya Sooie —nama orang yang ada di pikiran Jongin saat ini atau sebut saja sahabat kecilnya— menghilang tanpa jejak beserta keluarganya. Komunikasi mereka terputus begitu saja. Bahkan kedua orang tuanya yang juga bersahabat dengan kedua orang tua Sooiepun tidak bisa menghubungi keluarga tersebut. Sejak saat itulah hidup Jongin berubah, dari anak laki-laki yang ceria menjadi anak laki-laki yang pemurung dan pendiam. Semakin hari, sifat itu bertambah buruk. Lebih parahnya, Jongin hanya akan berbicara jika hanya ada yang bertanya tidak terkecuali kepada kedua orang tuanya sekalipun. Perubahan itulah yang membuat kedua orang tua Jongin begitu khawatir dengan kesehatan psikologi sang anak.

Hingga lima tahun berikutnya setelah perusahaan yang mereka bangun di Kanada stabil, mereka memilih kembali ke Korea dan menyerahkan perusahaan itu kepada orang kepercayaan mereka untuk di kelola. Saat itulah sikap Jongin mulai sedikit berubah, meskipun tidak begitu signifikan, akan tetapi mulai menunjukkan kemajuan yang baik. Jongin mulai mau berbaur dengan orang lain, dan mulai mau berteman dengan anak seusianya saat memasuki tahun ajaran baru sekolah menengah pertama. Namun dibalik itu semua, tidak pernah sedetikpun Jongin melupakan Sooienya. Bahkan semakin hari rasa ingin bertemu itu semakin tinggi hingga membuatnya sering kali tidak bisa menggontrol emosinya saat merasa begitu putus asa.

"Aku merindukanmu, kau dimana."

. Kaisoo .

Bus yang beberapa menit lalu berbaur dalam keramaian jalan kini mulai mengurangi kecepatannya, hingga alat transportasi umum itu benar-benar berhenti dengan mulus di tempat pemberhentian. Sebagian besar penumpang mulai turun dari bus dengan begitu tertib, tidak ada yang saling mendahului satu sama lain. Begitupun juga dengan Jongin yang berada di barisan paling belakang, Ia begitu sabar menunggu giliran untuk turun.

Tidak perlu menunggu lama, kaki jenjang itu kini sudah berpijak pada trotoar halte. Ia memejamkan mata sejenak sambil menghirup udara dalam-dalam untuk mengisi paru-parunya yang terasa sesak. Namun hal itu nyatanya tidak bisa membantu banyak, dadanya masih tetap terasa sesak meski sebanyak apapun Ia memasukan udara. Karena sesak di dalam dadanya bukanlah berasal dari kurangnya pasokan udara yang masuk melainkan dari rasa sesak yang dihasilkan oleh hal lain.

Sret...

Tubuh Jongin sedikit oleng saat seseorang tidak sengaja menabraknya.

"Ma-maaf, sa-saya tidak sengaja." Ucap seorang laki-laki berseragam sekolah yang sama dengan Jongin, akan tetapi laki-laki itu memiliki postur lebih mungil dibandingkan Jongin. "Se-sekali lagi sa-saya minta maaf." ucapnya lagi dengan nada terbata, laki-laki mungil itu bahkan membungkuk beberpa kali kepada Jongin sebagai bentuk hormat permintaan maafnya.

Jujur saja, Jongin sedikit risih. Menurutnya, laki-laki itu sedikit berlebihan dengan permintaan maafnya. Terlebih dirinya juga tidak terlalu mempermasalahkannya, karena hal itu lumrah terjadi ditengah keramain dan di jam-jam sibuk seperti saat ini. "Jangan berlebihan," balasnya kemudian. Matanya menelisik tubuh laki-laki itu sejenak, dahinya mengeryit merasa familiar. Akan tetapi Ia juga merasa tidak pernah bertemu dengan laki-laki ini sebelumnya, tapi entahlah mungkin saja Ia pernah tidak sengaja melihatnya di lingkungan sekolah mengingat laki-laki itu memakai seragam yang sama dengan miliknya. "Lain kali lebih berhati-hatilah agar kau tidak melukai dirimu sendiri dan orang lain." lanjutnya. Ia kemudian melanjutkan langkahnya untuk menuju tempat penyeberangan jalan, berbaur kembali dengan orang-orang dari berbagai macam profesi —Menunggu lampu penyeberangan jalan menyala.

Laki-laki mungil itu masih berdiri di tempat yang sama sambil menghela nafas lega. "Dia orang yang baik, seperti Nini Hyung." Ia menundukkan kepalanya kembali, matanya melihat ke arah sepatunya dengan sendu. Sarat akan kesedihan yang mendalam. "Aku sangat merindukanmu Hyung." Ucapnya lagi dengan nada lirih yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.

.

Jongin menggerak-nggerakkan kaki jenjangnya dengan random, Ia saat ini sudah berdiri di dekat tiang traffic light sambil menunggu warna lampu penyeberangan tersebut berubah warna. Satu dua kali Ia mengecek ponselnya yang bergetar di dalam saku celananya. Terlihat di layar ponselnya ada beberapa notifikasi pesan dari teman karibnya Sehun dan Chanyeol yang menanyakan keberadaan dirinya. Alih-alih membalas, Jongin lebih memilih untuk mengabaikannya dan menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana seragam.

Sedikit bosan, Jongin membawa indera pengelihatannya untuk menjelajah tempat umum tersebut. Sejauh matanya memandang hanya kesibukan yang Ia dapatkan. Sebagian besar orang-orang sibuk dengan gadget di tangan masing-masing, hanya satu dua orang yang saling mengobrol dengan orang-orang di sebelahnya. Bukan pemandangan yang mengherankan, apalagi di jaman dengan kemajuan teknologi yang menggila semua yang ada didalamnya lebih menarik dari pada dalam dunia nyata.

"jika saja dia tidak kaya, aku tidak mau berteman dengannya. Sungguh menjijikkan!"

"bagaiman ini, tugasku tertinggal di rumah"

"dia selalu saja terlihat tampan"

"semoga saja hari ini aku bisa mendapatkan pekerjaan, semangat kau pasti bisa"

"aku harap dia menyukai kejutanku ini"

"Aaiissstt... menyebalkan rok ku jadi kotor kan"

"si brengsek itu, kenapa pagi-pagi sudah membuat moodku buruk."

Itulah beberapa suara yang di tangkap oleh telinga sensitif Jongin di tengah keterdiamannya. Bukan, suara itu bukan berasal dari bibir orang-orang yang tengah berdiri di sekelilingnya, melainkan berasal dari suara hati orang-orang tersebut. Suara hati? Ya, Jongin adalah salah satu manusia yang memiliki kemampuan bisa mendengarkan suara hati orang lain sejak Ia menginjak umur lima tahun. Merasa risih? Tentu saja, karena Ia harus mendengarkan gerutuan orang-orang yang sebenarnya tidak perlu Ia dengarkan, kapanpun dan dimanapun Ia berada.

Namun Jongin tidak pernah mengeluh akan kebisingan yang Ia dengar, Ia malah merasa beruntung bisa memiliki kemampuan yang tidak setiap orang miliki tersebut. Ia berharap dengan keistimewaan yang Ia miliki sekarang ini, Ia bisa menemukan Sooie sama seperti dulu saat mereka masih kecil dulu. Karena itulah, Jongin memilih untuk tidak pernah memakai penutup telinga untuk menghilangkan kebisingan tersebut. Dengan harapan, suatau saat nanti Ia bisa menemukan suara Sooie diantara suara-suara asing tersebut. Harapan besar itulah yang hingga saat ini membuat Jongin bertahan dan teguh dengan pendiriannya untuk menemukan Sooie dan menjadikan sahabat masa kecilnya tersebut satu-satunya seseorang yang layak menghuni hatinya yang hingga saat ini memang sengaja Ia kunci rapat-rapat untuk orang lain.

Pip..

Penanda lampu penyeberangan telah berbunyi, orang-orang yang sejak tadi menunggu di tepian trotoarpun berhambur menyebrangi jalan secara bersama-sama untuk menuju tempat tujuan mereka. Entah itu kantor, sekolah, atau tempat tujuan lainnya. Tidak terkecuali Jongin yang kini mulai melangkahkan kakinya dengan santai sambil memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya, sebuah kebiasaan yang sering Ia lakukan ketika berjalan kaki sendirian di tengah keramain.

"Ya Tuhan, Sooie ingin sekali segera bertemu Nini hyung. Sooie sangat merindukannya. "

Jongin menghentikan langkahnya tepat di tengah jalan. "Sooie.." gumamnya, lalu tubuhnya berputar untuk mencari sumber suara yang di dengarnya. Wajah yang tadinya datar digantikan dengan raut kebinggungan. Matanya menjelajah dengan cepat, memperhatikan setiap orang yang lewat, tidak memperdulikan lagi jika banyak orang tengah memandangnya dengan tatapan aneh.

"Sooie ingin segera pergi dari rumah itu, Sooie takut. Nini Hyung, aku harap kau segera menjemputku. Rumah itu menakutkan."

Lagi, Jongin mendengarnya suara itu, nama itu, itu jelas Sooienya karena Nini adalah panggilan kesayangan yang diberikan Sooie padanya. Dan kata-katanyapun masih sama seperti empat hari yang lalu, saat pertama kali Ia tidak sengaja mendengarnya disini.

Kali ini, Jongin tidak ingin mensia-siakan kesempatannya seperti empat hari yang lalu. Ia tidak ingin kehilangan jejak Sooienya lagi. Dengan tidak sabaran Ia melihat orang-orang sekitarnya, memindai dengan indera pengelihatannya orang-orang yang menurutnya mirip Sooie jika sudah dewasa. Terlebih anak sekolahan yang seumuran dengan Sooie.

Akan tetapi masalahnya sekarang adalah, anak sekolahan di sekitarannya saat ini begitu banyak. Tidak hanya dari sekolah yang sama dengannya, akan tetapi dari sekolah lain juga. Selain itu, Ia juga tidak tahu bagaimana rupa Sooienya saat ini. Sedikit frustasi, tapi Ia sudah bertekad untuk tidak menyerah lagi. Maka dengan tidak sabar, Ia membawa langkah kakinya kesana kemari memperhatikan anak laki-laki yang lewat. Sesekali memberhentikan mereka sekedar untuk melihat name tag dan juga membandingkan wajah anak tersebut dengan wajah Sooie sewaktu kecil. Terkadang juga Ia akan menepuk bahu anak laki-laki yang Ia kira-kira di benaknya, postur tubuhnya mirip dengan Sooie. Mustahil memang, namun Jongin sungguh yakin jika dirinya bisa mengenali Sooie meskipun sudah dalam kurun waktu yang lama tidak pernah saling bertatap muka, meskipun hanya wajah Sooie kecil yang memenuhi memory otaknya.

Apa yang dilakukan Jongin saat ini jelas saja menggundang umpatan pejalan kaki lainnya, mereka merasa terganggu oleh ulah Jongin. Terlebih tanpa permintaan maaf yang terlontar dari bibir laki-laki tan tersebut setelah mengganggu beberapa orang yang diberhentikannya secara paksa.

Pip.. pip... pip...

Kali ini peringatan lampu penyeberangan akan segera mati terdengar. Angka pada traffic light dengan simbol orang berjalan terus berhitung mundur, memperingatkan orang-orang untuk segera menyeberangi jalan dengan cepat.

Gagal! Lagi-lagi Jongin gagal untuk menemukan Sooienya. Sampai semua orang selesai menyeberangpun Ia tidak bisa menemukan Sooienya. Lampu penyebranganpun sudah berganti warna, kendaraan-kendaraan yang tadinya berhenti di lampu merah mulai berjalan kembali. Namun Jongin masih tetap berdiri di tengah jalan sambil mengacak rambutnya frustasi. Tidak hanya itu saja, sesekali Ia akan berteriak seperti orang yang kesetanan, dengan berbagai umpatan terlontar dari bibirnya.

"Apa dia sudah gila.?"

"Hey nak, kau mau cari mati ya?"

"Brengsek, kau mau membuat orang lain celaka ya"

Dan masih banyak lagi cibiran-cibiran yang diterima oleh Jongin. Akan tetapi lagi-lagi Jongin tidak peduli, bahkan sesekali Ia malah mengumpati balik orang-orang yang menegurnya. Seolah-olah orang itulah yang salah bukan dirinya.

Sedang disisi lain tanpa Jongin sadari, seorang anak laki-laki dengan seragam sekolah yang terlihat begitu lusuh namun rapi sedang berjalan sambil menundukan kepalanya dalam-dalam. Ia melangkahkan kakinya dengan begitu cepat, semakin menjauh dari tempat penyeberangan. Sesekali Ia menggerakan matanya dengan begitu gelisah dan ketakutan. Kedua tanganya memegang erat tali ransel sekolahnya, hingga tali itu sedikit terangkat dan memperlihatkan sebuah name tag dengan nama Do Kyungsoo tercetak disana. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah laki-laki yang sama, yang tidak sengaja menabrak tubuh Jongin beberapa saat lalu.

. kaisoo .

Pagi itu Kim Woo Bin —Ayah Jongin— tidak berangkat ke kantor karena merasa tidak enak badan. Jadi, pria baruh baya itu memilih untuk beristirahat di rumahnya. Hitung-hitung sambil berquality time bersama sang Istri yang sengaja Ia minta untuk tidak pergi ke butik yang dikelolanya. Sebut saja jika pria baruh baya itu bucin, tetapi memang itulah adanya. Jika sudah bersama sang Istri, Ayah Jongin akan berubah sangat manja dan tidak lagi ingat umur. Lebih parahnya lagi, hal itu Ia lakukan tidak mengenal tempat. Maka tidak heran, jika Jongin sering merasa kesal dengan sifat Ayahnya yang menurutnya itu sangat mengganggu tersebut.

"Berhentilah merokok Kim," Shin Min Ah —Istri Kim Woo Bin, Ibunya Kim Jongin— mengintrupsi sang Suami sambil merebut batang rokok yang ada di tangannya. Kemudian membuang batang rokok tersebut dengan kasar ke asbak di atas meja. "Sudah berapa kali aku bilang untuk berhenti, ingat kesehatanmu Kim." Min Ah mulai mengeluarkan jurus mengomelnya. Bukannya takut, Woo Bin malah terkekeh, melihat bibir sang Istri yang bergerak cepat dan terkadang manyun tersebut.

"Kenapa malah tertawa? Kau mau mati huuhh?" wanita itu semakin berkacak pinggang.

"Sudah, jangan ngomel-ngomel, ini masih pagi Yeobo" Godanya, tanpa merasa berdosa sedikitpun, padahal dirinyalah yang membuat Istri cantiknya itu ngomel di pagi hari.

Min Ah melotot, kekesalannya semakin menjadi. " Aku mau berangkat ke butik saja kalau begitu, Kamu urus aja sendiri urusan Kim." Wanita itu berbalik untuk pergi.

Dengan cekatan Woo Bin beranjak dari kursi goyangnya, lalu memeluk tubuh Min Ah dari belakang. "Jangan pergi sayang, Aku kan membutuhkanmu." Tolong di garis bawahi, selain bucin ternyata Ayahnya Jongin ini juga suka sekali mendrama. "Suamimu yang tampan ini minta maaf deh, janji aku tidak akan merokok lagi. Tapi, kamu jangan pergi hmmm." Woo Bin menggoyang-nggoyangkan tubuh istrinya ke kanan dan ke kiri. "Kalau kamu pergi, aku bagai ambulan tanpa wiuw-wiuw loh sayang."

Min Ah memutar bola matanya malas merasa geli dengan tingkah suaminya, Ia kemudian melepas pelukan Woo Bin dan duduk di kursi sebelah kursi goyang yang tadi di duduki oleh Suaminya. Melihat hal itu, Woo Bin kegirangan merasa jika jurusnya berhasil. Padahal dibalik itu Min Ah memang hanya mengertak Suaminya saja.

"Kim.." nada suara Min Ah berubah serius, Ia melihat ke arah Woo Bin yang saat ini sudah duduk di kursi awalnya dengan mata berkaca-kaca. Min Ah terdengar menghela nafas berat, bibirnya bergerak ingin mengutarakan sesuatu akan tetapi terlihat begitu sulit.

"Ada apa sayang? Apa terjadi sesuatu?" Woo Bin mulai khawatir dengan gelagat sang Istri yang tiba-tiba berubah drastis, terlebih saat isakan-isakan kecil keluar dari bibir Istrinya tersebut. Woo Bin segera menghambiri Istrinya. Ia memposisikan dirinya setengah berdiri dengan menggunakan kedua lututnya sebagai tumpuan. Kemudian membawa tubuh bergetar itu ke dalam pelukannya. "Sssttt." Ia mengusap punggung Min Ah dengan pelan. "Kenapa menangis?"

"Me-mereka su-sudah meninggal, Kim." Min Ah mulai membuka suara disela-sela isakannya.

Woo Bin merenggangkan pelukannya, lalu bertanya dengan kedua alis yang saling bertaut, "Mereka siapa sayang?". Tangannya terulur menghapus lelehan air mata Min Ah.

"Do Seo Joon dan keluarganya." Jawabnya lirih.

Deg

Pergerakan tangan Woo Bin berhenti. "Ma-mana mungkin sayang. Kamu dapat info dari mana? Sedangkan orang-orang kepercayaanku saja sampai detik ini belum membuahkan hasil."

Min Ah mengatur nafasnya dan sebisa mungkin menghentikan tangisannya, lalu kemudian Ia menceritakan awal mula Ia bisa mendapatkan info tentang sahabat mereka yang sepuluh tahun terakhir ini menghilang tanpa kabar. Min Ah bercerita pada Woo Bin jika kemarin, dirinya tidak sengaja bertemu dengan seseorang yang dulu merupakan salah satu tetangga mereka saat di rumah lama.

"Tapi kenapa kejadian itu tidak masuk berita, kita semua tahu jika mereka merupakan keluarga terpandang. Hal yang mustahil jika kabar sebesar itu tidak dimuat di surat kabar manapun."

"Aku juga tidak tahu Kim, dia hanya bercerita sedikit tentang kecelakaan itu. Bahkan tetangga kita yang dulu tidak banyak yang tahu. Kebanyakan dari mereka tahunya keluarga Do Seo Joon hanya pindah rumah, sama seperti yang mereka katakan ketika pertama kali kita kembali kesini"

Woo Bin hanya diam tidak berkomentar apapun, akan tetapi pikirannya sibuk menelah berita yang baru saja Ia dengar. Jujur saja Ia sedikit tidak yakin dengan kebenaran berita itu, tapi jika menilik lagi kebelakang hingga sekarang, berita itu masuk diakal juga. Jika kebenaran itu merujuk pada informasi keluarga DO hanya pindah, keluarga itu tidak mungkin memutuskan komunikasi begitu saja dengan keluarganya. Terlebih lagi, dirinya dan Seo Joon adalah sahabat karib sejak kecil yang tidak pernah berpisah hingga sampai mereka berkeluargapun begitu. Dan kepindahannya dulu ke Paris adalah kali pertama mereka berjauhan. Selain itu, hubungan persahabatan mereka juga tidak pernah merenggang meskipun sering sekali di hiasi oleh perdebatan kecil.

Dan jika merujuk pada informasi yang baru saja di sampaikan oleh istrinya, semua ini lebih masuk akal lagi. Namun yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah, kenapa berita sebesar ini tidak ada yang mengetahui sama sekali, bahkan cenderung sangat tenang. Dan itulah yang membuatnya begitu heran, karena banyak sekali kejanggalan yang Ia rasakan.

"Sekarang apa yang harus kita lakukan Kim?" pertanyaan sang Istri membawa eksistensinya kembali ke alam sadarnya. "Apa yang harus kita lakukan pada Jongin, aku tidak sanggup memberitahukan ini padanya. Aku tidak mau melihat dia lebih terpuruk lagi." Lanjutnya, Kini wanita itu sudah kembali menangis.

Woo Bin memijat pelipisnya yang terasa sedikit pening. "Untuk saat ini, jangan beritahu Jongin dulu. Aku akan memastikan terlebih dahulu kebenarannya." Ia membawa tubuh Istrinya kembali kedalam pelukannya. "Sudah jangan menangis, semua akan baik-baik saja sayang."

"Ya... semoga saja semua baik-baik saja."

.KAISOO.

Rambut acak-acakan, baju lusuh berantakan, raut wajah kusut bagai benang yang tidak bisa diurai, itulah yang saat ini menggambarkan seorang Kim Jongin. Sungguh mengenaskan bagi seorang pemuda yang memiliki wajah tampan sepertinya. Jauh dari kata normal untuk seorang siswa yang datang ke sekolah.

Dengan langkah lunglai, Jongin membawa kaki jenjangnya menyusuri lorong-lorong kelas. Pandangan matanya hanya lurus ke depan tanpa peduli dengan beberapa pasang mata yang sedang memperhatikan dirinya sedari awal Ia memasuki area gedung sekolah. Sesekali terdengar bisik-bisik beberapa siswa perempuan yang sedang membicarakannya, akan tetapi Jongin hanya tak acuh dan lebih memilih meneruskan langkahnya menuju kelas.

"Good morning bro" seperti biasa, sapaan Chanyeol yang menyambut Jongin, saat Ia baru saja memijakkan kaki melewati pintu kelas.

"Ada apalagi dengannya?" kini giliran Sehun yang bertanya pada Chanyeol, saat melihat Jongin hanya melewati mereka begitu saja.

Jongin menarik kursinya dengan kasar sambil membanting ranselnya begitu saja ke atas meja, lalu merebahkan kepalanya dengan tangan sebagai bantalannya. Melihat hal itu, Chanyeol dan Sehun yang merupakan sahabat Jongin hanya bisa bertukar pandang dan saling menghela nafas dalam-dalam. Bukan hal yang mengherankan lagi bagi keduannya jika mendapati sikap Jongin yang seperti itu, karena hampir setiap hari mereka akan disuguhi dengan hal yang sama. Jika sudah seperti ini, baik Chanyeol maupun Sehun hanya bisa memberikan waktu pada Jongin untuk sendiri. Oleh karena itu, mereka berdua memilih untuk meninggalkan Jongin sendiri di dalam kelas, yang kebetulan saja masih sepi.

"Apa kau belum juga mendapatkan info sedikitpun?" Tanya Chanyeol.

Sehun menggelengkan kepalanya lemah. "Kau sendiri?"

Pemuda yang lebih tinggi menghela nafas pelan. "Nol"

" Arrgghhh Kemana lagi kita harus mencarinya dengan amunisi yang sangat minim seperti ini. Bahkan kita tidak tau seperti apa rupa orang yang selama ini dicari oleh Jongin." Sehun mengacak surai karamelnya dengan gemas. Sedikit merasa frustasi karena apa yang dilakukan selama ini untuk membantu Jongin belum juga membuahkan hasil. Sebenarnya bukan hanya Sehun saja yang merasakannya, akan tetapi Chanyeol juga merasakan hal yang sama. Beberapa tahun mereka berupaya membantu Jongin untuk mencari teman masa kecilnya yang mengilang, namun hingga detik ini sedikitpun belum juga menemui titik terang. Meskipun begitu, mereka berdua tidak pernah sekalipun berpikir untuk menyerah, karena mereka tahu seberapa pentingnya orang itu di kehidupan Jongin.

Meninggalkan mereka berdua yang saat ini tengah memikirkan cara terbaru untuk mencari Sooie, di dalam kelas, Jongin masih setia dengan posisi bertelungkupnya. Meskipun suasana kelas sudah mulai ramai, akan tetapi tidak sedikitpun hal itu mengganggunya.

Mata itu terpejam, namun tidak membuat sang empunya terbawa ke alam bawah sadar. Ia masih tetap terjaga, dengan pikiran yang masih juga tertuju dengan hal yang sama. Sedikit rutukan untuk dirinya sendiri karena lagi-lagi gagal menemukan Sooienya. Meskipun Ia benar-benar yakin jika Sooie selama ini berada disekitarnya, hanya saja Ia tidak menyadarinya. Atau memang sebuah takdir yang kini tengah ingin bermain dengannya, ingin menguji seberapa besar Ia berusaha untuk menemukan Sooie dengan keistimewaan yang tengah dimilkinya.

"Aku sangat merindukanmu Sooie, semoga kita bisa segera bertemu kembali." Gumamnya masih dengan mata terpejam dengan memory masa kecil yang menjadi background dalam angannya.

.

TBC

.

"SEE YOU NEXT CHAPTER... Chu~"