Tiga bocah berseragam sekolah dasar termangu di palang jembatan penyeberangan. Senja sudah nyaris hilang dan langit malam mulai menelan matahari. Tidak ada yang beranjak sekalipun tahu ibu mereka akan marah kalau ada yang pulang terlambat lagi.
Sasuke namanya. Dia yang paling tinggi dan berambut paling gelap. Ransel biru tuanya dicangklong di satu sisi bahu. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku.
Di sebelahnya ada Sakura. Satu-satunya anak perempuan di antara mereka bertiga. Matanya yang hijau terang sedang menatap lurus ke bawah jembatan dengan takzim. Menyaksikan kendaraan saling mendesak dan membunyikan klakson. Sementara itu angin meniup helai-helai merah mudanya ke sana kemari.
Terakhir adalah Naruto, yang rambut pirangnya paling sulit dirapikan. Yang setiap hari menerima omelan Sensei karena malas belajar. Yang nilai-nilainya selalu jatuh sampai sering ditertawakan.
Tiga bocah berseragam sekolah dasar masih termangu di palang jembatan penyeberangan. Tidak ada yang membuka suara kendati lampu-lampu jalan sudah menyala. Kendati cahaya warna-warni yang berasal dari papan iklan semakin terlihat mencolok mata. Kendati desau-desau angin malam mulai menenggelamkan derum mobil di bawah sana. Kendati suara serangga-serangga kecil mulai terdengar bersahutan bersama.
"Kita harus janji bakal sama-sama terus."
Sakura yang pertama bicara dengan suara serak. Sasuke menolehnya. Memandang butir air mata yang sudah menggantung di pipi si anak perempuan.
Hari itu adalah hari dimana Hyuuga Hinata pindah ke Tokyo. Teman sekelas mereka, teman bermain mereka, teman terbaik
Sakura.
Sasuke diam saja melihat Sakura menangis, walaupun sesuatu ikut menyekat tenggorokannya. Dia tahu Sakura pantas menangis. Selain karena dia perempuan, juga karena mereka sedang kehilangan seseorang. Sasuke pun merasa kehilangan Hinata. Gadis itu teman yang baik. Dia selalu bisa menghentikan pertengkaran di antara mereka. Dia juga selalu bisa menenangkan emosi Sakura yang meledak-ledak dan mengurus Naruto yang manja. Dia juga selalu bisa menunjukkan kesalahan Sasuke saat mengerjakan soal matematika.
Sasuke tidak menangis, tapi dia mungkin mengerti perasaan Sakura.
Naruto yang lebih dulu memecah suasana. "Sakura-chan cengeng!" oloknya. "Cengeng, cengeng! Masa sudah kelas lima masih menangis?"
Sakura buru-buru menghapus air matanya. "Enak saja! Aku tidak cengeng, tahu!"
"Haahh, tidak cengeng apanya? Tadi aku lihat Sakura-chan nangis kok!" Naruto cekikikan.
"Naruuu-kun!" Sakura berkacak pinggang. "Kubilang aku tidak cengeng!"
"Sudah lah," Menggantikan posisi Hinata yang biasanya memisah adu mulut seperti ini, Sasuke menyela. Sakura berbalik ke arahnya, masih dengan alis tertaut jengkel. Sasuke hanya mengedikkan bahunya ke arah langit. Memberitahu kalau matahari sudah sepenuhnya pergi, digeser titik-titik bersinar yang mereka sebut bintang. "Kalau tidak segera pulang, nanti kita dimarahi lagi seperti kemarin lusa."
"Itu kan memang salah Naru-kun!" omel Sakura, mendadak senang karena ada kesempatan membalas. "Ngapain juga bolos kelas? Kita jadi harus membantunya membersihkan lapangan sepulang sekolah!"
"Aku tidak suka belajar!" seru Naruto kesal. "Aku juga tidak butuh bantuan Sakura-chan! Sakura-chan kan perempuan, pasti takut kotor waktu membersihkan lapangan! Ya kan, Sasuke?"
Sasuke tertegun ditanyai seperti itu. Naruto menatapnya penuh harapan, sementara Sakura meliriknya tajam. Bocah itu akhirnya hanya menggeleng.
"Tidak. Sakura juga membantumu sampai roknya kotor semua."
Telinga Naruto memerah. "Aaahh, kau ini! Selalu membela Sakura-chan! Kalau begitu kalian berdua saja lah yang sama-sama!"
Sakura baru akan membuka mulut ketika Naruto berbalik marah, kakinya dipaksa melangkah cepat-cepat ke ujung jembatan. Anak perempuan itu akhirnya cuma mendengus. "Dasar pemarah."
"Sudah," tutur Sasuke untuk kedua kalinya. "Dia hanya sedang emosi. Dia pasti tidak memaksudkan perkataannya."
Sakura mengangkat dagunya. "Biar saja. Tidak ada dia pun masih ada Sasuke-kun. Ya, kan?"
Sasuke mengangkat alisnya.
"Ya, kaann?" rajuk Sakura lagi. "Sasuke-kun tidak akan meninggalkanku apa pun yang terjadi, kan?"
Butuh beberapa detik sebelum bocah yang satunya menghela napas dan mengangguk.
Sakura nyengir sebelum melompat dan memeluk Sasuke kuat-kuat di pinggangnya.
.
a sasusaku fanfiction written by GinevraPutri
.
ad astra
—to the stars
.
Naruto © Masashi Kishimoto
.
Saya tidak mengambil keuntungan materiil apa pun dalam pembuatan fanfiksi ini.
.
Ada yang bilang, takdir manusia sudah lama digariskan pada bintang-bintang.
.
"Sakura-chan?"
Waktu mereka kelas tiga, Sensei pernah memanggil nama Sakura sebelum pelajaran dimulai. Biasanya dia dipanggil cuma karena dua hal: nilainya sangat bagus atau dia baru saja menang kompetisi mewakili sekolah. Tapi hari itu Sensei memanggilnya untuk alasan lain.
"Hari ini ada murid pindahan. Dia pasti belum mengenal sekolah dengan baik. Karena Sakura-chan pintar, Sensei minta untuk mendampinginya, ya?"
Sakura belum sempat mengiyakan ketika suara lain menjawab pertanyaan itu untuknya.
"Aku tidak butuh pendamping."
Mereka berdua sama-sama menoleh ke arah pintu kelas.
"Aku sudah selesai berkeliling dan melihat-lihat. Aku mungkin tahu segala hal tentang sekolah ini lebih banyak daripada dia."
Haruno Sakura belum pernah bertemu anak-anak seperti Uchiha Sasuke.
.
Aku tidak pernah mengerti kenapa kau selalu meledak-ledak tanpa bisa ditebak.
.
"Apa kau tahu kamar mandi laki-laki ada di sebelah sana?"
Sasuke tidak suka anak perempuan. Mereka selalu berisik, aneh, dan menyebalkan. Mereka suka menangis seakan rengekan mereka akan mengubah sesuatu. Mereka terlalu lemah.
"Tidak lucu kan kalau kau salah belok ke kamar mandi perempuan— hei, tunggu aku!"
Karena itulah Sasuke mengarang soal dia sudah berkeliling sekolah. Karena itulah dia menolak memiliki seorang pendamping anak perempuan. Dari dulu Sasuke pintar berbohong.
"Sasuke-kun, jangan jalan cepat-cepat! Nanti kau bisa— aduh!"
Sasuke otomatis berhenti. Anak laki-laki itu memutar tubuhnya untuk melihat justru rambut merah muda itu sendiri yang terjatuh di lantai, jemarinya mengusap-usap lutut dengan kesakitan. Air mata sudah menggantung di kelopak matanya, siap meluncur turun. Sasuke bisa melihat Sakura berusaha keras menahan isak. Sasuke bisa tahu anak perempuan itu benci menangis.
Aneh.
"Sasuke-kun, tolong aku." Merah muda itu mengulurkan tangan ke arah Sasuke, tatapannya memohon. Netra hijaunya berkilauan seperti berlian.
Sasuke merasakan gerakan halus di pucuk-pucuk jemarinya— sebuah refleks dari sudut hatinya yang terdalam.
Oniks hitam itu menahan diri.
"Jangan panggil aku Sasuke-kun."
Haruno Sakura belum pernah bertemu anak-anak sejahat Uchiha Sasuke.
.
Seperti bom waktu, hanya saja aku tidak pernah memiliki waktu.
.
"Kenapa aku tidak boleh memanggilmu Sasuke-kun?"
Kenapa anak perempuan selalu bertanya seolah mereka harus tahu jawabannya? Seolah itu adalah hal penting, seolah mereka berhak tahu rahasia seseorang. Sasuke benci. Sepatunya menendang kerikil ke tengah sungai, supaya ditelan arus.
"Hei, kenapa kau tidak mau bicara padaku?" Nada Sakura perlahan meninggi, khas anak perempuan (lagi). "Kau sudah membuatku jatuh dan tidak minta maaf!"
Sasuke terus saja berjalan. Toh rumahnya tidak jauh lagi. Dia bisa masuk rumah dan membanting pintu di depan wajah Sakura supaya anak perempuan itu kapok dan tidak mau kenal Sasuke lagi.
Itu rencana yang bagus.
"Sasuke-kuuunn, berhenti!"
Sasuke berbalik, menggeram. "Sudah kubilang jangan panggil aku—"
"Biarkan saja!" seru Sakura. "Aku akan memanggilmu Sasuke-kun seumur hidup!"
Pintu sebuah rumah sederhana terbuka di belakang punggung Sasuke.
"Wah, Sasuke-kun sudah pulang." Seorang wanita berambut panjang tersenyum hangat. "Ada teman baru, ya? Sini, sini, masuk!"
Sasuke memejamkan matanya kesal. Sakura tertegun, tidak tahu harus berbuat apa. Maka dia diam saja waktu Sasuke menarik tangannya, membawanya masuk ke dalam rumah.
"Kaa-san, ini Sakura, teman baruku."
Padahal Haruno Sakura belum pernah menyebutkan namanya kepada Uchiha Sasuke.
.
Seperti kerikil di tepi sungai, hanya saja tidak pernah tertelan arus.
.
Sasuke-kun, Kaa-chan membuatkan ini untukmu, sebagai ucapan terima kasih karena sudah mengajakku makan di rumahmu kemarin. Arigatō.
Kotak bekal berpita biru tua itu sudah ada di atas mejanya saat dia masuk kelas. Justru yang tidak Sasuke temukan adalah helai merah muda khas Sakura, seperti menghilang begitu saja. Anak perempuan itu tidak duduk di kursinya, bahkan sampai pelajaran dimulai.
Aneh.
Sasuke membawa kakinya melangkah menyusuri koridor-koridor panjang alih-alih berbelok ke kantin saat jam istirahat tiba. Lehernya celingukan mencari warna yang terlihat familiar di matanya. Satu-satunya cerah di antara abu-abu dinding sekolah. Tapi Sasuke tidak kunjung menemukannya.
Sampai dia berhenti di depan pintu sebuah ruangan di sayap barat gedung. Haruno Sakura sedang duduk manis di atas kursi, netra hijaunya memandangi bunga-bunga bermekaran dari balik kaca jendela. Sinar matahari menerobos masuk ke ruangan itu, dan Sakura terlihat—
—cantik.
Kali ini Sasuke tidak menghentikan kakinya melangkah mendekat.
Itu adalah bilik kecil, dengan beberapa ranjang berseprai putih senada. Ada bau obat yang kental saat Sasuke masuk. Sakura kelihatannya terkejut melihat anak laki-laki itu di sini.
"Sasuke-kun, kau sakit?"
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Sakura mengangkat alisnya kebingungan. "Aku dan Hinata-chan menjaga ruang kesehatan setiap hari Selasa." Anak perempuan itu perlahan berdiri dari kursinya. "Hinata-chan baru saja ke kantin untuk membelikan kami berdua roti."
Sasuke diam saja.
"Jadi, Sasuke-kun, apa yang kau lakukan di sini?"
Sasuke tidak bisa bilang dia mencari Sakura.
"Aku sakit perut."
Dari dulu, Sasuke selalu pintar berbohong.
"Benarkah?" tanya Sakura menyelidik. "Kau tidak sedang mencari alasan untuk bolos, kan?"
Bukan, Sasuke ingin bilang.
"Karena kalau benar begitu, bakal kuadukan ke Sensei." ancam Sakura, matanya menyipit. "Lagipula kau tidak terlihat seperti orang sakit perut. Mengaku saja, kau pasti mau bolos, kan?"
"Bukan—"
Sasuke menahan dirinya (lagi).
"—urusanmu."
Haruno Sakura belum pernah bertemu anak-anak senakal Uchiha Sasuke.
.
Seperti kaca yang begitu transparan, tapi tertutup kabut.
.
"Berikan padaku alamatmu."
Sakura menoleh heran. Sasuke duduk di sampingnya, dengan seragam olahraga yang basah oleh keringat dan sebotol penuh air mineral.
"Kau bicara padaku?"
Sasuke meneguk air minumnya dan memutar mata. "Jangan bodoh. Cuma kau yang duduk di sini."
Sakura merengut kesal, menatap bocah laki-laki itu. "Bisa tidak kau bersikap baik?"
Sasuke mengangkat bahu sekenanya. "Bagian mana yang kurang baik menurutmu?"
Dia merasa terlalu banyak bicara hari ini.
"Semuanya." tukas Sakura, mengomel. "Mau apa kau meminta alamatku?"
"Mengembalikan kotak bekalmu."
Sakura mengulurkan tangan kanannya. "Berikan saja padaku."
"Kenapa?"
"Apa maksudmu 'kenapa'?"
Sasuke mengangkat sudut bibirnya. "Kau bilang yang memberiku kotak bekal itu ibumu, kan?"
"Ya, lalu—"
"Kalau begitu akan kukembalikan pada ibumu."
Sasuke merasa menang waktu wajah Sakura mendadak pucat. "T-tidak perlu begitu. Kaa-chan p-pasti lebih suka kalau kau menitipkannya padaku."
"Atau Kaa-chan-mu memang tidak pernah memberiku kotak bekal itu."
Sasuke meletakkan kotak bekal berpita biru itu di tangan Sakura yang terulur. Ada catatan kecil di bawah tulisan tangannya sendiri.
Aku tidak percaya ibumu bisa memasak seasin ini.
Sakura merasakan kedua pipinya menghangat, sementara dirinya berusaha mengingat berapa banyak garam yang dia masukkan pagi itu.
Sasuke tertawa. Mungkin kali pertamanya dia tertawa dalam ingatan Sakura.
.
Tapi.. dari mana harus kumulai?
.
"Sasuke-kun, tolong bantu Sakura-chan membersihkan kelas, ya. Hinata-chan hari ini tidak masuk."
Sensei menutup pelajaran hari itu dengan senyum penuh permohonan ke arah Sasuke. Waktu bocah itu menoleh, oniks hitamnya bertemu dengan netra hijau milik Sakura. Masih berkilauan seperti berlian.
Sakura mendatanginya setelah semua anak keluar kelas. "Kau pulang saja. Aku tidak butuh bantuan."
Sasuke mendengus. "Siapa juga yang mau membantumu?"
Sakura mengembuskan napas kesal dan mulai merapikan meja dan kursi. Sasuke tidak membantu, tapi juga tidak beranjak pergi dari kursinya. Nyaris lima menit berlalu saat suara derap langkah tiba-tiba terdengar nyaring dari luar kelas. Seorang anak laki-laki dengan rambut pirang berantakan berlari masuk ke dalam kelas, mendorong meja kursi ke sana kemari, kemudian buru-buru berjongkok sambil menutupi wajahnya. Dia bolak-balik mengintip ke arah pintu dengan cemas, tapi belum sempat Sasuke tahu apa yang dicemaskannya, Sakura sudah menjerit.
"SIAPA KAU?!"
Rambut merah muda itu benar-benar marah melihat meja kursi yang semula sudah dia rapikan menjadi kembali berantakan. Apalagi pelakunya adalah bocah tak dikenal.
"Rapikan atau kulaporkan ke Sensei!" seru Sakura, lagi.
"SSTTTT!" Si pirang malah menekankan telunjuknya ke bibir, memelas supaya Sakura menutup mulut. Dia kelihatan ketakutan.
"Siapa namamu?"
Sasuke angkat bicara dari kursinya. Baik Sakura maupun anak laki-laki satunya menoleh.
"N-naruto. Uzumaki Naruto."
"Dan kenapa kau berlari ke sini seperti itu?"
Sakura menyilangkan tangannya di dada mendengar pertanyaan Sasuke, siap menunggu jawaban si penyusup.
Naruto menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sensei baru saja bilang pada Kaa-san kalau nilai matematikaku keterlaluan jeleknya."
Sasuke mengangkat alis. Sakura yang menyuarakan keheranannya. "Jadi?"
"Jadi aku kabur sebelum dia memarahiku di depan seluruh sekolah. Hal itu bakal terlihat sangat memalukan."
Sasuke dan Sakura bertukar pandang.
"Lalu apa rencanamu sekarang?"
Naruto malah mengangkat bahu. "Kabur? Entahlah, aku belum memikirkannya sampai sana."
"Kulaporkan." Sakura menggumam pada dirinya sendiri. "Akan kulaporkan."
Naruto merengek. "Kau tidak bisa melakukannya!"
"Tentu saja aku bisa." tukas Sakura. "Kau sudah mengacaukan pekerjaanku."
"Aku akan membantumu merapikannya lagi!" tawar Naruto.
"Kau pasti bohong."
"Tidak! Aku akan membantumu membersihkan kelas selama se-seminggu!"
"Aku tidak percaya."
"Sebulan? Dua bulan? Setahun!" Naruto memelas. "Kalau kau lapor, Kaa-san akan benar-benar melarangku bermain bola."
"Dan kenapa itu jadi urusannya?" dengus Sasuke tiba-tiba. Anak laki-laki itu berdiri dari kursinya dan melangkah ke arah Sakura, menggenggam tangannya. "Rapikan ini sekarang, atau dia bakal benar-benar melaporkanmu."
Kemudian si oniks hitam membawa si netra hijau keluar kelas.
Haruno Sakura belum pernah melihat Uchiha Sasuke terganggu seperti itu.
.
Dari sebuah dongeng sebelum tidur tentang tuan putri dan pangeran? Atau mungkin dari legenda tentang ksatria tampan yang tiba-tiba muncul di wilayah kerajaan?
.
"Bagaimana kalau dia tidak merapikan kembali kelas kita?"
Sakura melempar tanya setelah Sasuke melepas genggaman tangannya di dekat sungai pada perjalanan pulang.
"Ya sudah, laporkan saja dia."
Sakura menautkan jemarinya ragu, memandang punggung mungil Sasuke beberapa meter di depannya. "Aku tidak akan melakukannya."
Sasuke terus melangkah sekalipun bibirnya menyambung percakapan, seolah dia peduli. "Kenapa?"
"Kasihan." tutur Sakura. "Dia pasti benar-benar suka bermain bola."
Tidak ada jawaban.
"Sasuke-kun?"
"Hn."
"Bagaimana kalau besok kita mencarinya ke kelasnya?" usul Sakura. "Kelihatannya dia tidak punya teman. Kita bisa menolongnya. Supaya nilainya juga tidak terlalu jelek."
"Aku tidak peduli padanya."
"Tapi dia terlihat seperti anak baik-baik. Lucu, lagi."
Sasuke berhenti berjalan. Dia berbalik untuk memandang Sakura langsung. Anak perempuan itu sedang tersenyum ke arah lain, seolah mengingat wajah Naruto yang berjongkok di antara meja dan kursi.
Rahangnya mengeras.
"Bagaimana, Sasuke-kun?"
"Lakukan semaumu."
Kali ini Sasuke berbalik dan memacu langkahnya lebih cepat dari sebelumnya.
Haruno Sakura belum pernah melihat Uchiha Sasuke marah padanya.
.
Karena semuanya terasa buram, aku tidak pernah tahu harus melakukan apa.
.
Esoknya Sakura benar-benar mencari Naruto sepulang sekolah. Sasuke hanya mencibir waktu Sakura mengajaknya, tapi tidak ada yang tahu sejak kapan anak perempuan itu bisa memaksa-maksa Sasuke.
Sejak kapan Sasuke jadi seorang penurut, tidak ada yang tahu juga.
Mereka menemukan Naruto di lapangan, sedang berlatih dengan bola sendirian. Mereka bahkan menunggu bocah pirang itu selesai sebelum mengajaknya mengobrol ringan.
"Sudah selesai, Naruto-kun?"
Naruto hanya nyengir, mengibas-ngibaskan keringat dari rambutnya. "Terima kasih karena tidak melaporkanku ke Sensei."
Sakura tersenyum manis. Dia menyikut lengan Sasuke pelan. Sasuke merengut, tapi jemarinya mengulurkan botol air minum.
"Untukmu," Sakura yang bicara. "Terima kasih juga sudah merapikan kelas kami."
Naruto mengangkat bahu, jemarinya meraih botol minum di tangan Sasuke. Tatap keduanya bertemu.
.
Kurasa, aku bisa mulai bercerita di sini.
.
Naruto adalah putra pemilik toko utama di pusat kota. Rumahnya punya tiga lantai dan terasa terlalu besar untuk tubuh kecilnya. Sebagai keluarga pengusaha, Tuan dan Nyonya Uzumaki memiliki harapan besar untuk anak sematawayangnya.
Tapi walau sudah jelas harapan itu bertentangan dengan mimpinya sendiri, Naruto tetap tersenyum seolah dia akan menerima apa pun kata Tou-san dan Kaa-san. Apa pun alasan mereka untuk memarahinya ketika nilainya jelek, apa pun alasan mereka untuk melarangnya bermain bola bersama teman-teman, apa pun alasan mereka untuk memberinya les privat mahal di rumah.
Apa pun alasan mereka untuk membiarkan Naruto kesepian.
.
Ada yang bilang, manusia hidup dalam lingkaran kecil dan lingkaran besar yang saling terhubung seperti rasi bintang.
.
Sasuke baru berkenalan dengan Hyugaa Hinata saat mereka sudah duduk di kelas empat. Begitu pula Naruto. Berhubung mereka semua sekelas, dunia Sasuke segera saja menjadi ramai. Ada lelucon-lelucon tidak jelas milik Naruto, ledakan tawa milik Sakura, dan kurva hangat milik Hinata. Ketiganya mendidihkan salju dalam dunia kecil itu.
Mereka berempat terbiasa berjalan pulang bersama, mengerjakan tugas sekolah di dekat sungai, membeli es krim jumbo di akhir pekan dan meminta tiga sendok tambahan. Walaupun Sasuke masih sama dinginnya, walaupun Sakura masih sama berisiknya, walaupun Naruto masih seenaknya sendiri, walaupun Hinata masih sama polosnya. Mereka akan saling menyenggol lengan dan merajuk kalau Sasuke tidak mau diajak bicara. Mereka akan membekap mulut Sakura sampai anak perempuan itu berteriak-teriak jengkel. Mereka akan mengacak-acak rambut Naruto yang sudah kelewat berantakan. Mereka akan mengeluh dan menjelaskan ulang semua hal yang Hinata lewatkan.
Diam-diam segalanya terasa utuh. Diam-diam Sasuke merasa semuanya baik-baik saja. Tapi orang bilang tidak ada yang bertahan selamanya.
.
Terkadang bintang-bintang memang kejam.
.
Ayahnya pindah tugas ke Tokyo, begitu kata Sensei. Semuanya sangat mendadak, Hinata-chan minta Sensei menyampaikan hal ini pada kalian. Dia minta maaf karena tidak sempat berpamitan.
Seminggu akhirnya berlalu.
Seminggu sejak mereka naik ke kelas lima. Seminggu sejak Hinata pergi. Sakura masih sama cerianya, walaupun Sasuke tahu dia sering menangis diam-diam. Itu bukan dugaan, karena pernah suatu hari Sasuke memergoki Sakura sedang menangis di sisi Naruto. Bocah pirang itu menepuk-nepuk pundak Sakura, berkata kalau semuanya akan baik-baik saja. Bahwa dia dan Sasuke akan selalu menjaga Sakura.
Ketika Sasuke datang, Sakura buru-buru menghapus air matanya. Anak perempuan itu tersenyum.
"Sasuke-kun!"
Uchiha Sasuke tidak tahu kenapa Haruno Sakura harus berpura-pura bahagia di hadapannya.
.
Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk-makhluk yang takluk pada waktu.
.
Tanpa Hinata, mereka tumbuh bertiga saja, kendati masih saling mengorbit. Seperti bintang-bintang di langit yang selalu muncul bersamaan. Kelas lima berlalu bagai kedipan mata. Begitu pula kelas enam.
Tahu-tahu saja mereka sudah masuk SMP. Terfavorit di kota, katanya. Naruto semakin gemar bermain bola, dan hal itu tidak sia-sia mengingat sekolah lantas mendeklarasikannya sebagai atlet unggulan mereka.
Berbeda dengan Naruto yang terjun ke bawah sorot lampu, Sakura memilih mengubur dirinya di balik rak-rak tinggi perpustakaan, tempatnya bisa membaca dongeng-dongeng tentang semesta. Sasuke selalu di sisinya, walaupun sambil menahan kantuk, dia tidak pernah bolos menemani Sakura.
Ketiganya masih berjalan pulang bersama-sama, walaupun jadi lebih sore— terkadang malam. Sakura dan Sasuke biasa menunggu Naruto selesai latihan di lapangan dari tribun penonton. Sakura akan memangku buku yang baru saja dipinjamnya, dan Sasuke akan memasang earphone-nya, mendengarkan lagu-lagu klasik.
Saat Naruto datang, Sakura yang akan menyodorkan air minum dan Sasuke yang akan melempar handuk.
Kadang-kadang segalanya bisa terlihat baik-baik saja. Seperti tidak ada yang salah.
.
Waktu sendiri punya tangan, untuk mencekik orang-orang.
.
Sakura punya cita-cita pergi kuliah bersama dengan dua sahabatnya. Bahkan sejak awal mereka masuk SMA, dia sudah mencari-cari informasi beasiswa universitas unggulan. Dia menemukannya, tentu saja. Sebuah kampus bagus di luar kota— dan dia mulai mengoceh tentang hal itu di setiap kesempatan, tidak peduli Sasuke dan Naruto bisa benar-benar mati bosan mendengarnya berceloteh.
Karir Naruto sebagai atlet meraup puncak di SMA. Dia bahkan dipanggil untuk bermain di klub-klub profesional mewakili kota. Sering kali dia kabur dari rumah karena orang tuanya mengurungnya, melarangnya bermain bola. Sering kali tujuannya bermuara pada rumah Sakura. Atau rumah Sasuke. Yang mana saja.
Mereka akan selalu membuka pintu untuknya, meskipun sambil mengomel (untuk Sakura) atau menyindir (untuk Sasuke). Tapi bagi Naruto, mereka tetap malaikatnya. Dia akan melakukan apa pun untuk mereka tanpa perlu diminta.
Kemudian badai pun datang.
.
Aku berusaha pergi, tapi aku tetap saja tercekik.
.
Waktu mereka kelas sebelas, ada seorang kakak kelas tampan yang naksir Sakura. Seluruh sekolah berbicara tentang gadis merah muda itu dan tidak sedikit kakak kelas perempuan yang mengganggunya.
"Aku mau mati saja."
Sasuke memutar mata dan membetulkan letak earphone-nya. "Silahkan."
"Oh, sialan, Sas."
Naruto terbahak dari balik layar komputer. "Ada apa lagi hari ini?" tanyanya pada Sakura, sementara matanya masih berkutat dengan permainan digital favoritnya.
Sakura merengut menghadapi dua orang bodoh yang tidak punya simpati sama sekali padanya. "Tahu tidak, tadi siang rokku secara 'tidak sengaja' ditumpahi soda oleh kakak kelas sok cantik itu? Keterlaluan sekali."
"Masa?" Naruto mengerutkan kening. "Aku tidak sadar."
"Tadi dia kan ganti baju olahraga, bodoh." dengus Sasuke.
"Sasuke-kun, kau sudah janji tidak menyebut siapa pun bodoh!"
"Diam, Ra."
Naruto tertawa lagi. "Sasuke, kau menyebalkan."
"Aku tahu."
"Dasar," tukas Sakura. "Omong-omong, kalian harus melakukan sesuatu supaya kakak kelas-kakak kelas itu berhenti menggangguku."
"Memangnya kami bisa melakukan apa?"
"Kami yang kau maksud itu siapa?"
Sakura menyilangkan lengan dengan kesal.
"Lagipula salahmu sendiri menarik perhatian si bodoh itu—"
"Jangan panggil dia—"
"Dia memang bodoh."
Sakura mengembuskan napas tidak percaya. "Kau ini sudah tidak tertolong."
"Bukannya kau tadi yang butuh pertolongan?" decih Sasuke. "Naruto mungkin bisa memberi si bodoh pelajaran."
"Apa kau gila?" bantah Naruto. "Kau pikir aku ini tukang pukul? Kalau kau belum mengenalku, aku ini atlet yang cinta damai."
"Blah, blah, blah."
"Kalian tidak berguna." desah Sakura.
.
Aku berusaha lari, tapi tetap terjatuh.
.
"AKU TIDAK MENGERTI DIRIMU SAMA SEKALI!"
Sasuke mengangkat alisnya sebelah waktu Sakura mendobrak masuk ke kamarnya, dengan telinga berasap.
"BISA-BISANYA KAU MALAH PACARAN DENGAN KAKAK KELAS PENINDAS ITU?"
Naruto muncul di belakang Sakura, napasnya terengah-engah. Kedua tangannya terangkat seperti berlagak menyerah.
"Aku benar-benar sudah berusaha menahan amukannya."
"DIAM KAU!" gertak Sakura. "Sasuke-kun, kau mungkin mau menjelaskan."
"Kau bilang dia yang kemarin-kemarin mengganggumu."
"YA."
"Dan itu semua karena dia menyukai si bodoh yang naksir padamu."
"YA, JELAS."
"Berarti kalau dia menyukai orang lain, dia tidak akan mengganggumu lagi, kan?"
Sakura menelan amarahnya. "Dan rencanamu adalah membuat si jahat itu menyukai dirimu, supaya dia tidak menyukai kakak kelas yang naksir padaku?"
Naruto hanya bisa ternganga. "Kau punya nyali yang luar biasa, sobat."
"Atau dia hanya benar-benar sinting," seloroh Sakura.
Sasuke hanya mengangkat bahu. "Jadi mana ucapan terima kasihmu?"
Sakura menatapnya kesal dan berbalik sebelum seseorang bisa mencegahnya. Punggungnya menghilang di balik bordes tangga.
Naruto menghela napas. "Dan sekarang aku harus menghadapi dia yang uring-uringan sepanjang hari."
"Dia menghubungimu di Minggu pagi begini?"
"Dia di rumahku dari semalam, setelah ditelepon temannya soal gosipmu berpacaran. Kau tahu rumah sebesar itu bisa jadi sumpek hanya karena ocehannya seorang."
"Dan kenapa dia begitu peduli?"
Naruto mengerutkan kening. "Karena dia sahabatmu, tentu."
Sasuke menimbang-nimbang pertanyaannya yang selanjutnya. "Apa.. dia marah?"
Naruto tersenyum samar. "Kurasa tidak. Dia hanya syok sahabat terbaiknya tiba-tiba berpacaran dengan orang yang sangat dia benci."
"..oh."
"Dan kupikir dia sedikit malu mendengar penjelasanmu. Mungkin dia sebenarnya senang kau melakukan itu untuk melindunginya."
"Darimana kau tahu?"
Naruto tertawa kecil. "Sakura-chan itu perempuan yang mudah dibaca."
.
Begitukah?
.
Sejak dulu, ada satu setapak yang selalu mereka lewati saat pulang sekolah. Saling menakut-nakuti dengan cerita hantu dan berkejaran adalah hal yang biasa mereka lakukan di sana. Di setapak itu, bintang terlihat lebih jelas— entah mengapa.
Naruto kecil yang paling penakut. Sakura bisa meledeknya habis-habisan dan dia akan uring-uringan. Mereka akan saling mengejar di setapak itu— Naruto biasanya menangkap Sakura di pinggang dan gadis itu akan menjerit sembari tertawa. Sasuke hanya menggeleng-geleng dan tersenyum sesekali.
Mengeluhkan betapa kekanakan teman-temannya.
.
Tapi toh aku rindu.
.
"Sasuke-kun!"
Sakura datang ke kelasnya pagi itu. Sasuke mengangkat wajah dengan heran dan melepas earphone-nya. Wajah gadis itu bersinar seolah matahari sedang meminjam pori-pori kulitnya.
"Dimana Naru-kun?" tanyanya sumringah.
Alis Sasuke bertambah tinggi. "Belum datang. Ada apa kau mencarinya pagi-pagi?"
Sakura hanya mengulum senyum. "Rahasia," bisiknya.
.
Aku punya kira-kira sejuta pertanyaan.
.
"Brengsek!"
Sakura memaki-maki sebelum membanting tubuhnya ke kasur Naruto. Kedua temannya mengangkat wajah bingung.
"Beraninya dia memberikan nomorku ke temannya!" tembak gadis itu lagi, emosi.
Sasuke manggut-manggut. "Si kakak kelas?"
Sakura mendecih. "Aku tidak mengerti jalan pikirannya. Apa kau bakal memberikan nomor gadis yang sudah menolakmu kalau teman-temanmu memintanya?"
Naruto tertawa. "Salahmu sendiri cantik."
Pipi Sakura yang memerah masih membekas dalam ingatan Sasuke sampai beberapa minggu kemudian.
.
Mungkin aku hanya tidak mau mendengar jawaban atas pertanyaanku sendiri.
.
Sasuke menyikut Naruto siang itu di kantin sementara mereka bertiga menyantap makan siang. Naruto mengangkat wajah. Sasuke mengedikkan dagunya ke arah pintu masuk.
"Incaranmu minggu lalu, bukan?"
Seorang gadis berambut cokelat panjang baru saja masuk kantin sendirian.
Naruto menggelengkan kepala. "Bukan. Incaranku bukan dia lagi."
Bohong kalau Sasuke bilang dia tidak lihat Naruto melirik Sakura.
.
Mungkin aku hanya sekedar merasa ketakutan.
.
Maukah kau pergi bersamaku ke malam kelulusan? adalah kalimat sakral yang sering terdengar di minggu-minggu ini. Hanya tinggal menghitung hari sebelum malam penting itu datang. Sekolah terasa sesak karena belakangan detak jantung setiap orang meningkat saat berpapasan di koridor. Atmosfernya baru terasa lenggang waktu hari pengambilan ijazah, ketika Naruto memaksa teman-temannya menungguinya latihan sebentar di lapangan.
(Naruto selalu begitu ketika dia memikirkan sesuatu. Kedua temannya tidak perlu kata-kata lagi untuk mengerti dan mengikuti.)
Tidak ada orang yang cukup waras untuk bermain bola pada hari kelulusan, jadi Sakura dan Sasuke memilih berbaring di rerumputan, memandangi awan seolah dengan hal itu hasil ujian mereka yang baru saja keluar bisa jadi lebih baik.
Memang tidak jelek-jelek amat, sih. Setidaknya tidak seburuk milik Naruto. Walaupun yang disebut toh santai saja, tidak merasa terpengaruh sama sekali.
"Sakura-chan,"
Bola ditendang ke udara, dikembalikan ke lutut, ke punggung kaki—
"Oi."
—ke kepala, diseimbangkan di atas tengkuk—
"Kau pergi ke malam kelulusan dengan siapa?"
Sasuke menurunkan volume earphone-nya ke batas minimum.
—bertahan di sana, jangan jatuh, jangan, jangan—
"Entah. Denganmu, mungkin?"
Earphone-nya sepenuhnya dilepas.
—bola itu jatuh menggelinding ke kaki Sakura.
"Tidak dengan Sasuke?"
Si gadis memutar mata sembari menggamit bola di kakinya. "Sasuke-kun mana mungkin mau pergi. Pesta seperti itu tidak akan memutarkan Mozart atau apa."
Sakura melempar bola ke arah Naruto dan tertawa. Seperti tidak ada yang salah.
.
Begitukah, begitukah?
.
"Kau habis ribut dengan siapa?"
Sasuke hanya mengangkat alis begitu Naruto masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Memar di rahang memang tidak begitu kentara, tapi Sasuke sudah mengenal Naruto sebegitu lamanya untuk tahu tingkah si pirang selesai menghajar atau dihajar seseorang.
"Kapten."
"Yeah?"
"Dia bilang tidak seorang atlet pun bisa meninggalkan ruangan pesta sebelum pagi."
"Ada yang bilang para atlet biasanya memang jadi pusat pesta kelulusan setiap tahun."
"Yang benar saja," dengus Naruto.
"Memangnya kenapa?" tanya Sasuke.
Naruto menghela napas. "Aku mana bisa memulangkan Sakura-chan pagi-pagi buta begitu."
Sasuke mencelus.
Naruto membanting punggung di kasur, persis di sebelah sahabatnya. "Jadi, biasanya kau punya saran."
Sasuke terdiam sejenak.
"Kujemput Sakura tengah malam. Kau bisa lanjutkan pestanya."
Naruto menoleh. Dia tahu itu bukan keputusan terbaik, tapi tidak ada opsi lain.
Pirang itu mengangguk kecil.
"Oke."
.
Selalu begitu, bukan?
.
"Dasar bodoh,"
Sakura memaki sementara kaki telanjangnya menendangi kerikil di trotoar. Tatanan helai merah mudanya sudah amblas di satu sisi, anting-antingnya sudah dilucuti dari tadi.
"Naru-kun bodoh."
Sasuke hanya menggelengkan kepalanya beberapa langkah di belakang si gadis. Satu tangannya di dalam kantung jeans, satunya lagi menenteng sepasang sepatu hak tinggi warna merah. Warna yang sama dengan warna gaun Sakura, dengan tas tangannya, dengan lipstik di bibirnya.
Sasuke menahan diri.
"Aku tidak percaya dia menyuruhku pulang duluan!" Sakura masih mengomel, semakin lama semakin keras. "Dengan Sasuke-kun! Astaga. Apa yang ada di dalam kepala pirang idiot itu."
Sasuke mendengus geli. Sakura limbung di atas kakinya sendiri, marah-marah kepada udara malam.
"Bakal kubunuh besok." gerutunya lagi. Gadis itu sekarang mengepalkan kedua tangannya dan mulai meninju-ninju langit. "Menyebalkan!"
"Hei, hei." Sasuke memutar mata dan menangkap kepalan mungil itu dari belakang. Sakura mengaduh.
"Apa?" salaknya. "Mau membela dia? Ngapain juga Sasuke-kun menuruti permintaannya, sih? Kau harusnya membiarkan dia bertanggung jawab terhadap gadis yang dibawanya ke pesta!"
"Berisik." dengus Sasuke. "Jangan banyak tingkah. Aku tidak mau disangka berjalan dengan orang gila."
Sakura merengut. "Yeah, kalau gitu ngapain kau mau-mau saja menjemputku tengah malam begini? Kalian pikir aku Cinderella? Kalian pikir aku anak kecil yang tidak boleh berpesta sampai pagi?"
"Tentu saja." tandas Sasuke. "Mana ada wanita dewasa yang bertelanjang kaki dan meninju-ninju udara cuma gara-gara ditelantarkan teman kencannya?"
Sakura berbalik, berkacak pinggang. "Apanya yang teman kencan?!"
"Kau, dan Naruto." Sasuke mengangkat bahu. "Aku tidak tahu kata apa yang tepat untuk menggambarkan kalian."
"Apa maksudmu?" Alis Sakura dipancang. "Aku dan dia teman. Sama seperti aku dan Sasuke-kun."
"Bukan berarti aku peduli."
"Tapi kami— Sasuke-kuuuun!" Sakura merajuk waktu Sasuke melanjutkan langkahnya, meninggalkan gadis merah muda itu di belakang. "Dengar dulu, tidak ada apa-apa di antara kami!"
"Dan apa yang membuatmu berpikir aku perlu tahu, Sakura?"
"Karena kau sahabatku!" Sakura masih mengejar, merengek. "Karena kalian berdua sahabat terbaikku, dan aku tidak mau kau merasa cemburu atas apa pun."
Sasuke berhenti.
"Apa?"
Sakura rupanya tidak memperhatikan, sibuk sendiri mengusap-usap telapak kaki. Dia memelas. "Jangan jalan cepat-cepat. Aku tidak pakai sepatu."
Sasuke menghela napas. Pemuda itu butuh beberapa detik untuk merutuki Sakura yang ceroboh, Sakura yang dangkal, Sakura yang tidak tahu apa-apa. Dia berjongkok membelakangi gadis itu.
"Naik."
Sakura meloncat ke punggung Sasuke seperti saat mereka masih kanak-kanak. Tawanya semerdu ombak samudera.
"Aku masih ringan, kan?"
"Kau seberat sapi."
Sakura mengerucutkan bibir, giginya menggigit bahu Sasuke. Pemuda itu berteriak. Sakura kembali tergelak.
.
Apapun, asal untukmu.
.
Tes tulis untuk seleksi penerimaan beasiswa itu diadakan hari Minggu pagi. Sebuah kampus di seberang lautan. Kampus yang sama dengan kampus yang diajukan Tuan dan Nyonya Uzumaki untuk Naruto. Kampus yang pirang itu beri anggukan asal saja. Belakangan Naruto memang sedang berusaha menghibur diri perkara orang tuanya menolak mentah-mentah undangan masuk tim nasional.
Sebagai gantinya mereka menyodorkan formulir pendaftaran universitas unggulan ke meja Naruto. Beserta dua buah surat undangan tes beasiswa untuk teman-temannya.
Sakura yang paling girang. Dia ngotot memang takdir yang mempertemukan mereka bertiga terus-terusan. Bahkan pada saat mereka harus menyeberang ke Inggris sana untuk menempuh pendidikan.
Itu adalah hari-hari di mana Sakura dan Sasuke benar-benar belajar. Itu adalah hari-hari di mana Naruto bisa meledek mereka seharian dan tidak akan dapat tanggapan. Semuanya terlalu sibuk memperjuangkan masa depan.
.
Andai.. saja.
.
"Kapan ayah dan ibumu pulang dari Tokyo?" Sasuke menguap. Kepalanya disandarkan ke bantal Sakura, sementara si pemilik sedang mengeringkan rambut dengan handuk. Orang tua Sakura memang punya bisnis restoran di Tokyo.
"Besok pagi." jawabnya. "Kalau beruntung kami masih bisa bertemu sebelum aku berangkat."
Sasuke hanya mengangguk. "Mau bareng?"
Sakura tertawa. "Tidak mau. Sasuke-kun bakal berangkat pagi-pagi buta."
"Hanya antisipasi macet."
"Yeah, tentu." Sakura memutar mata. "Sasuke-kun duluan saja, tidak masalah."
"Kalau gitu tidurlah setelah ini."
"Aku mau belajar sebentar lagi." keluh Sakura. "Aku tidak mau Sasuke-kun diterima di universitas itu sendirian."
Sasuke menggeleng. "Bagaimana kalau kau yang diterima sendirian?"
Kau kan bisa bersama Naruto.
Sakura memikirkan jawabannya. "Aku tidak akan berangkat."
"Tapi kalau begitu kau harus berpisah dengan Naruto."
Sakura menggigit bibir sekali itu.
"Tapi aku juga tidak mau meninggalkan Sasuke-kun di sini."
.
Aku.. juga, Sakura.
.
Sakura belum kunjung datang.
Sasuke berusaha bernapas dengan benar, sementara arlojinya terus menunjukkan hari bertambah siang. Gadis bodoh itu sudah berjanji untuk tidak datang terlambat— tapi nyatanya Sasuke belum menemukan warna merah muda di seantero ruangan raksasa ini.
Seorang laki-laki paruh baya dalam balutan setelan rapi berjalan masuk dan berdiri tepat di belakang podium.
"Okay. Ladies and Gentlemen, please turn off your phone and follow me. We'll start the test in five minutes."
Rasanya seperti sebongkah es diluncurkan langsung ke dalam dada Sasuke.
.
Ada yang bilang, manusia hanya bisa punya rencana.
.
Kecelakaan mobil. Sedan mungil itu dihantam truk besar dari arah kompleks industri. Dua penumpangnya tewas. Mereka terguling di jalanan pagi-pagi buta dan tangki bahan bakarnya meledak. Tetangga yang terbangun segera menghubungi nomor darurat— tapi tidak ada yang bisa diselamatkan.
Plat mobil mereka dikenali oleh kantor polisi. Itulah yang menyebabkan telepon rumah Sakura berdering pagi itu.
"Dengan kerabat Tuan dan Nyonya Haruno?"
Ada tarikan alis dan kerut di sepanjang kening waktu gadis itu menyahut. "Saya putrinya."
"Tuan dan Nyonya Haruno mengalami kecelakaan mobil di jalan.."
Tapi Sakura sudah tidak bisa menangkap satu kata pun.
"Anggota keluarga diharapkan datang ke rumah sakit untuk mengidentifikasi jasadnya."
Telinganya berdenging. Denging yang amat menyakitkan. Pesawat telepon terlepas dari jemarinya yang kebas, jatuh berkelontangan ke lantai. Bibirnya terbuka, berusaha mengucap kata-kata, tapi tidak ada suara yang keluar. Sepatah-sepatah, bersamaan dengan air mata yang mulai mengalir, Sakura mengisak.
"S-sasuke-kun.."
Dia memanggil.
.
Mungkin di atas sana, rencana-rencana itu sedang ditertawakan oleh para dewa.
.
Sasuke berdiri di pelataran rumah yang sudah sangat dikenalnya itu dengan jemari gemetar. Sesuatu membuatnya menggigil— mungkin orang-orang berpakaian hitam-hitam adalah salah satunya.
(Dia ingin bertanya apa yang terjadi; tetapi pantaskah?)
Oniks hitamnya sibuk mencari merah muda untuk ke sekian kalinya hari itu. Dan waktu Sasuke menemukannya, seseorang sedang memeluk Sakura erat-erat. Mengusap puncak kepalanya. Membisikkan tentang tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja.
Sasuke tidak bergeming. Seluruh sarafnya seolah mati rasa. Kenyataan menghantamnya seperti peluru salah sasaran. Jemarinya bergerak, mencari ponsel—dimana benda sialan itu, dimana—dan dia menemukannya.
286 Panggilan Tak Terjawab.
391 Pesan Teks Belum Dibaca.
Genggaman Sasuke nyaris meremukkan ponsel itu. Matanya menatap nanar dua sosok yang berdiri beberapa meter dari kakinya sendiri. Bagaimana helai-helai pirangnya jatuh dan mengenai dahi Sakura, bagaimana lengannya merengkuh pundak mungil itu, bagaimana jemarinya menepuk-nepuk punggung si gadis untuk meredakan tangis.
(Dia ingin bertanya kenapa, kenapa dia harus tidak ada di saat Sakura paling membutuhkannya?)
Selalu.
Selalu Naruto dan tidak pernah Sasuke.
.
Aku adalah orang yang sulit memaafkan diriku sendiri.
.
Naruto datang pagi-pagi buta, tentu.
(Untuk menghajar Sasuke.)
Tidak perlu kata-kata karena keduanya sudah saling paham. Tidak perlu basa-basi karena keduanya sudah saling tahu— tahu bahwa Sakura adalah tanggung jawab dan prioritas terbesar mereka.
Kepalan tangan Naruto berdarah. Buku-buku jarinya gemetaran.
"Beraninya.."
Setelah sekian lama kita menjaga gadis naif itu agar tidak menangis—
"..kau.."
—setelah bertahun-tahun bekerja sama membuatnya tersenyum—
"..menghilang?"
—setelah sama-sama mencintainya..
Bibir Sasuke terluka. Darahnya menetes. Darah yang sama dengan darah di kepalan Naruto. Darah yang sama dengan darah beku di jemarinya sendiri, dan darah yang sama dengan darah segar di tembok putih kamarnya.
Naruto mungkin datang untuk menghajar Sasuke. Tapi Sasuke toh sudah lebih dulu melakukannya.
Pemuda pirang itu berdiri diam di sana. Merasakan sakit yang berdenyut dari pukulan perdananya.
(Sejak dulu Naruto tidak pernah suka berkelahi. Sasuke tidak pernah merasa perlu berkelahi.)
"Ke mana saja kau?"
Satu pertanyaan.
Betapa retoris, betapa menyedihkan. Sasuke tahu Naruto tahu. Sakura pun tahu. Ke mana perginya dia di hari itu— ke mana angin nasib membawa langkah-langkah kakinya menapak.
"Aku meneleponmu."
Naruto memberitahunya.
"Dia meneleponmu."
Menyebutkan nama tentu akan menjadi dalih untuk memukul Sasuke lagi, Naruto yakin. Setiap sel dalam tubuhnya serasa memberontak setiap kali nama gadis itu disebut dan yang terbayang di netra hijau itu adalah kesakitan. Kehilangan. Kesepian.
"Kau bisa pulang saat tahu dia tidak datang." Naruto bicara dengan getir. "Kau bisa mengundurkan diri saat tahu dia tidak bisa hadir, saat tahu dia tidak akan mendapatkan beasiswa itu—"
Napasnya tersekat.
"—kau tahu sesuatu terjadi, Sasuke. Kau tahu tapi kau memilih menutup mata. Untuk apa? Untuk beasiswa itu?"
Rahang Naruto mengeras.
"Kau selalu egois. Bahkan terhadap gadis yang kau cintai."
Sasuke memukulnya.
(Bukan karena kata-kata Naruto salah.)
Naruto balas meninjunya.
(Tapi karena semuanya benar.)
"Bajingan!"
.
Aku berharap kau tidak akan pernah tahu, pikiran apa yang selalu melintas di dalam diriku.
.
"Tidak perlu merasa bersalah."
Sakura menggedor pintunya persis seusai Naruto pergi dengan jantung berdentum. Matanya hijau gelap bercampur merah, dengan lingkaran hitam besar. Rambutnya berantakan, setelan warna hitamnya masih melekat di tubuh. Bekas air mata di pipinya yang pucat. Bibirnya kering, pecah di sudut.
"Aku sudah memaafkanmu, jadi jangan minta maaf."
Suaranya tajam, serak, dan bernada tinggi. Dia marah, Sasuke sadar.
"Jangan bicara apa-apa. Aku hanya perlu tidur."
Gadis itu melangkah masuk dengan bahu yang begitu kokoh, menubruk Sasuke dalam usahanya pergi ke lantai atas. Ke kamar si pemuda.
Sasuke tidak menyusul. Dia menutup pintu depan dan berdiri di sana untuk waktu yang sangat lama.
Berpikir.
.
Karena pikiran-pikiran itu, terkadang menakutiku.
.
"Sasuke-kun, kau dapat surat dari universitas."
Nyonya Uchiha memberitahu. Yang dipanggil menoleh dari kursi meja makan. Sore ke sembilan sejak orang tua Sakura pergi. Gadis itu kebetulan sedang ada di kamar Sasuke di lantai dua.
"Benarkah?"
Derap langkah Sakura dari lantai atas mendadak terdengar memburu. Dia bahkan belum memakai sandal dengan benar. Sasuke memungut suratnya di atas meja ruang tamu. Gadis itu berjinjit untuk melongok dari balik pundaknya.
"Kau diterima? Ya, kan?"
Sasuke memilin ujung amplopnya, tidak berniat membuka. "Kubuka nanti saja."
"Sasuke-kun!"
"Aku tidak penasaran."
"Aku penasaran."
Sasuke melipat amplop itu dan menyelipkannya ke saku. Sakura merengut.
"Kau benar-benar menyebalkan."
Sasuke mengacak helai-helai merah muda Sakura. "Aku tahu."
.
Mungkin ada banyak alasan kenapa kau belum pergi dariku, aku belum pergi darimu, dan kita belum pergi darinya.
.
"Di mana Sakura-chan?"
Naruto berdiri di pintu depan dengan canggung. Kedua tangannya ada di dalam kantung jeans.
Sasuke pun tidak bergeming. "Di atas."
Naruto hanya mengangguk. Seperti ada sesuatu yang salah.
"Kau mau masuk?"
"Jangan katakan padanya aku datang."
Mungkin memang ada sesuatu yang salah.
"Aku.. berangkat besok."
—ke Inggris.
Sebuah bel berdering nyaring di kepala Sasuke.
"Jaga dia untukku."
Naruto menatapnya dengan sekeping permohonan. Tatapan itu segera mengingatkan Sasuke pada bocah sekolah dasar yang bersembunyi di balik meja dan kursi karena takut akan dimarahi, pada remaja tanggung yang kabur ke rumahnya karena tidak mau dilarang pergi ke salah satu pertandingan olahraga, pada pemuda yang minggu lalu menghajarnya karena dia sudah bersikap egois dan menghancurkan relasi mereka.
Tatapan itu segera mengingatkan Sasuke pada Naruto. Uzumaki Naruto. Sahabat terbaiknya.
.
Atau mungkin juga, ini hanya perkara waktu (lagi).
.
"Aku yakin kau sudah dapat pemberitahuan tentang beasiswa itu."
Sasuke mengepalkan tangan.
"Kalau kau mendapatkannya—" Naruto mengangkat bahu. "—aku tidak akan pergi."
Tepat seperti dugaan.
"Aku yang akan menjaga Sakura-chan untukmu."
Jadi kau mengusirku?
"Sama sekali bukan masalah. Kau bisa mengejar mimpimu. Aku tahu beasiswa itu berarti besar untukmu."
Apa seperti ini caramu menyingkirkanku?
Suara Sasuke berat. "Kau dan aku bisa sama-sama pergi."
"Apa?"
Ada jeda di sana. Sasuke memejamkan mata, pikirannya melayang pada surat yang dia baca diam-diam—
"Dan meninggalkan Sakura-chan? Apa kau gila?"
Dengan surat ini kami memberitahukan bahwa Anda telah lolos dalam tes..
"Kenapa tidak?"
..rincian beasiswa yang akan Anda dapatkan..
"Apa maksudmu?"
"Dengan begitu semuanya menjadi adil."
..Anda bisa melakukan registrasi ulang pada..
"Adil? Apa yang kau bicarakan?"
"Aku tidak buta, Naruto. Aku tahu kau juga mencintainya."
Sasuke akhirnya menandas.
"Aku tahu kau benci pergi kuliah. Tapi aku juga tahu kau lebih benci meninggalkan kami berdua saja di sini."
Hening.
"Kau takut sesuatu terjadi di antara kami sementara kau pergi— karena itu kau mengirim undangan tes penerimaan beasiswa. Supaya kami bisa pergi mengikutimu."
Naruto hanya menggeleng.
"Aku tahu Sakura meminta agar kita terus bersama, tapi dewasalah. Kita bukan anak kecil lagi. Apa kau senang kita terus-terusan terjebak begini? Apa kau senang kita bertiga selalu bersama-sama, padahal kau dan aku tahu— kau dan aku tahu perasaan macam apa yang tidak seharusnya kita miliki?"
Tidak perlu kata-kata karena keduanya sudah saling paham. Tidak perlu basa-basi karena keduanya sudah saling tahu— tahu bahwa Sakura adalah tanggung jawab dan prioritas terbesar mereka.
"Aku tidak pernah pandai membaca perasaan orang lain." Naruto melirih. "Tapi bagaimana bisa kulewatkan perasaanmu padanya? Semua itu begitu gamblang."
Sasuke hanya menatapnya.
"Kau tidak akan pernah tahu bagaimana aku selalu terjaga sepanjang malam, memberitahu diriku sendiri untuk melupakan Sakura-chan. Dia sahabatku, dan kau sahabatku. Aku.. aku benar-benar berusaha, Sasuke."
Semua orang, jauh di lubuk hati mereka, pasti takut terluka.
"Aku bodoh karena tidak berpikir panjang. Aku bodoh karena tidak berpikir akan jadi bagaimana kita nantinya. Aku mencintainya, kau mencintainya— dan dia terlalu rapuh. Terlalu rapuh untuk semua perasaan egois ini."
Oniks hitam itu memejam.
"Aku menyesal."
Vokal Sasuke terdengar, namun vokal Naruto menimpanya. Keduanya saling bertatapan. Dua kata itu meluncur bersamaan dari bibir mereka. Dua kata yang selama ini tersimpan rapat di dasar tenggorokan, sudah terlalu lama menunggu untuk diucapkan.
Aku menyesal.
.
Sebuah pepatah pernah mengatakan, 'all good things must come to an end'.
.
"Tidak apa-apa." Sakura tertawa. Tertawa sedih. "Kau akan kembali empat tahun lagi, kan?"
Bandar udara begitu lenggang malam ini. Angin berembus tanpa peringatan, lampu-lampu menyala terang. Seolah semesta ingin memberikan jarak agar perpisahan-perpisahan terjadi dengan leluasa.
"Hei." Gadis itu masih berusaha bercanda. "Kau pasti bakal merindukanku."
Naruto memeluk Sakura untuk ke sekian kalinya hari itu. Merasakan kehangatan dari tubuhnya yang kecil, menghirup aroma sampo dari rambutnya yang lembut, menyakinkan dirinya sendiri bahwa Sakura akan baik-baik saja.
"Jangan khawatir, Naru-kun. Sasuke-kun akan menjagaku dengan segenap jiwa raga."
Sasuke yang mendengar namanya disebut hanya bisa mengepalkan jemari di dalam saku jaket. Siapa yang dia bohongi? Siapa yang hipokrit malam ini?
Naruto mempererat pelukannya.
"Kau tahu kani menyayangimu, kan?" bisiknya. "Terlepas dari apa pun yang terjadi."
(Terlepas dari kami yang akan pergi meninggalkanmu sendiri.)
"Aku tahu." Sakura menepuk bahu si pirang. "Kau belajar saja yang benar di sana."
Naruto melepas pelukannya. "Aku akan meneleponmu."
"Jangan," Sakura menggeleng, kali ini tertawa hambar. "Kalau kau terus mengontakku dari jauh, nanti akan terasa terlalu menyakitkan."
Semua orang, jauh di lubuk hati mereka, pasti takut terluka.
"Tapi Naru-kun," Dia tersenyum rapuh, "bolehkah aku berpura-pura kau masih ada di dekatku?"
Naruto merasa remuk. Dan aku akan berpura-pura tidak pernah mencintaimu.
Matanya bertemu dengan mata Sasuke. Sesuatu menyiratkan:
Bagaimana nanti kau sanggup meninggalkan malaikat kecil ini?
.
Sejak awal aku tidak pernah tahu dari mana seharusnya kumulai cerita ini.
.
"Mungkin kau benar. Kita harus meninggalkannya agar dia bisa menemukan orang lain. Seseorang yang bukan sahabatnya— seseorang yang akan menjaganya dengan baik."
"Aku selalu memikirkan kapan kita bertiga akan berpisah di persimpangan dan mengikuti jalan kita masing-masing. Pada akhirnya, hari ini datang."
"Apa kau siap, Sasuke?"
Dia menggeleng. "Tidak pernah."
"Tapi hal seperti ini harus kita lakukan, bukan? Jarum yang sudah ditusuk, harus dicabut sekali pun darahnya akan memancar."
Anggukan. "Kita hanya harus mengucapkan selamat tinggal padanya."
"Aku tidak bisa memberitahunya kau juga akan pergi." Naruto membenamkan wajahnya ke lengan. "Aku.. aku tidak sanggup melihatnya menangis lagi. Dia sudah terlalu sering menangis."
"Kalau begitu pergilah. Aku akan memberitahunya saat situasinya sudah tepat."
"Kita akan segera bertemu lagi."
Sasuke mengangguk. "Kuharap ini keputusan yang terbaik."
.
Mungkin dari mana pun aku memulainya, cerita ini akan selalu tentang dirimu.
.
Sakura melambaikan tangannya dengan semangat saat pesawat Naruto lepas landas.
"Sayōnaraaaa!"
Kemudian ketika pesawat itu menghilang ditelan langit berbintang, jemarinya jatuh ke sisi tubuh, gemetar.
Sakura hancur.
(Dia tidak pernah menangis di depan Sasuke, karena dia tahu Sasuke benci anak perempuan yang cengeng.)
Sasuke menariknya ke dalam dekapan.
"Biar saja." Sakura balas memeluk Sasuke erat-erat, napasnya tidak beraturan. Pundaknya bergetar. "Tidak ada dia pun masih ada Sasuke-kun. Ya, kan?"
Oniks hitam itu tertegun.
Telinga Naruto memerah. "Aaahh, kau ini! Selalu membela Sakura-chan! Kalau begitu kalian berdua saja lah yang sama-sama!"
Sakura baru akan membuka mulut ketika Naruto berbalik marah, kakinya dipaksa melangkah cepat-cepat ke ujung jembatan. Anak perempuan itu akhirnya cuma mendengus. "Dasar pemarah."
"Sudah," tutur Sasuke untuk kedua kalinya. "Dia hanya sedang emosi. Dia pasti tidak memaksudkan perkataannya."
Sakura mengangkat dagunya. "Biar saja. Tidak ada dia pun masih ada Sasuke-kun. Ya, kan?"
Kata-kata itu pernah didengarnya dari waktu silam. Jemari Sasuke di rambut Sakura kebas. Bertahun-tahun lalu, dia mengangguk sebagai jawaban.
.
Dan mungkin karena semua ini tentangmu, aku tidak akan pernah selesai.
.
"Ya, kaann?"
Sakura melonggarkan pelukannya untuk menatap oniks hitam Sasuke. Sesuatu pecah di sana.
Jarum yang sudah ditusuk, harus dicabut sekali pun darahnya akan memancar.
"Sasuke-kun tidak akan meninggalkanku apa pun yang terjadi, kan?"
Kau selalu egois. Bahkan terhadap gadis yang kau cintai.
Sasuke akhirnya sampai pada titik di mana pijakannya runtuh. Sebutir air matanya menetes. Luruh bersamaan dengan air mata Sakura yang menderas di pipi. Dan mungkin, di sela-sela langit malam berbintang, di dalam sebuah pesawat terbang, Naruto juga sedang menangis.
.
Aku.. menyesal.
.
fin
.
a/n:
saya udah pernah nulis sasuke yang dingin, sasuke yang getir, bahkan sasuke yang melankolis. tapi saya belum pernah nulis sasuke yang egois, dan itulah yang membawa saya ke fanfiksi ini. dia mungkin OOC, tapi jadi lebih manusiawi aja gitu, hehe.
saya berencana nulis sekuelnya. gimana menurut kalian?
anyway don't forget to leave me ur review ;) love you guys!
Putri.
