mamoru.

Genre : Romance, and Drama

Pair : (main) NamJin, (side) SoPe, TaeKook

Rate : M

Warning : BrotherComplex, Little Incest

Disclaimer : The characters are not mine. I have not own anything except this story and idea.

part twenty-six: the meaning of mamoru

Dari matanya, Jungkook terus menatap Seokjin dan Namjoon yang mengikat janji sekali lagi, di altar berhias bunga smeraldo. Gereja kecil di sudut kota Gwacheon menjadi saksi bisu pernikahan yang berlangsung sederhana, Jungkook memutuskan duduk sendirian di barisan paling belakang, senyumnya mengembang tipis dan kedua telapak tangannya bertemu dalam satu tepukan tangan saat Namjoon mencium bibir Seokjin seusai janji yang mereka ucapkan untuk terus hidup bersama dalam kondisi dan situasi apa 'pun.

Dua kali Jungkook melihat pemandangan yang sama, namun kali ini sungguh berbeda, kebahagiaan dan haru menyelimuti benaknya, ia tak menjeritkan nama Seokjin dalam batinnya seraya berseru dengan penuh kepedihan seperti dahulu, ia kini merelakannya, dan turut bahagia untuknya.

Jungkook kira, ia akan terus mengurung diri, dan menutup dirinya sendiri dari siapa saja yang hendak membawanya keluar. Setelah kepergian Seokjin, tak lama, Jungkook meninggalkan Paris untuk bertemu kedua orang tuanya di Jerman, ia datang dan mengatakan bahwa dirinya tak lagi 'bersama' dengan Seokjin. Rasa sakit yang luar biasa dan kepedihan tak mampu ditahannya, tetapi sebisa mungkin, ia tak melimpahkan kegalauannya pada ayah dan ibunya. Seusai mengatakan segalanya, Jungkook pergi dari sana, ia memutuskan kembali ke Korea, dan menetap di Busan.

Tak ada yang mengetahui keberadaannya, ia sengaja melakukannya karena ia ingin menghabiskan waktunya sendirian, bukan untuk merenungkan kisah cintanya yang kandas, dan juga bukan untuk merutuki tindakannya yang hampir menyakiti Seokjin dan memisahkannya dengan Namjoon, orang yang dicintai kakaknya, melainkan untuk mencari inspirasi. Jungkook tak ingin terus larut dan ditenggelamkan oleh rasa sakit akibat patahnya hati. Ia mencari inspirasi di kampung halamannya, untuk memilih hidup seperti apa yang ingin ia jalani setelah ini.

"Kau seperti sedang menghadiri pemakaman." Perhatian Jungkook tertuju pada Taehyung, yang berkata demikian seraya duduk di sebelahnya, "Memakai pakaian serba hitam di sebuah pernikahan itu dilarang," Jungkook tersenyum kecil sambil membawa pandangannya kembali ke depan, ia dapat melihat senyuman indah yang terpatri di wajah tampan pria yang sempat dicintainya, dan mungkin saja 'masih' dicintainya.

Tegunannya teralih saat Taehyung kembali berbisik di sampingnya, "Yah, warna mencekam seperti itu memang cocok untukmu, terlebih di momen seperti ini."

Candaan gelap yang dilontarkan Taehyung membuat Jungkook membuka suara, "Ini bukan hitam, tapi biru tua." Sanggahan Jungkook membuat Taehyung menyeringai, mereka tak mengatakan apa-apa lagi karena pemberkatan pernikahan telah usai, ditutup dengan lagu yang belum pernah Jungkook dan Taehyung dengarkan sebelumnya, sayup-sayup mereka mendengar dari seorang tamu, yang mungkin adalah teman Namjoon, mereka mengatakan bahwa lagu yang dibawakan merupakan karangan dari Namjoon sendiri.

Like the moon rises after the sun rises

Like how fingernails grow.

Like trees that shed their bark once a year.

That you are the one who will give meaning to my memories.

Who will make a 'person' into 'love'.

Before I knew you.

My heart was filled with straight lines only

Lantunan lagu yang Jungkook dengarkan, membuatnya teringat saat ia bertemu dengan Namjoon untuk pertama kalinya setelah ia berpisah dengan Seokjin. Ia telah mendengar dari Taehyung, dan juga Jimin, bahwa sosok yang pernah menjadi kakak ipar dan telah menjadi kakak iparnya lagi itu ingin menemuinya.

Tentu Jungkook tak segera memenuhi keinginannya, ia yakin Namjoon tidak pernah memiliki maksud untuk menertawai 'kekalahannya', namun menemui saingan cintanya sendiri saat dirinya telah kalah telak merupakan hal yang tabu untuk Jungkook alami. Ego membelenggu akalnya, ia tidak siap untuk bertemu dengan Namjoon hari ini, keesokannya, atau kedepannya, tentu dalam waktu yang lama. Ia butuh waktunya sendiri dan Namjoon tak bisa menyitanya.

Namun nyatanya, mereka menemukan Jungkook, Namjoon tidak datang sendirian, ia ditemani Jimin, membawa kue beras karena saat itu adalah hari rakyat Korea merayakan hari kebangsaan, atau Gaechonjol. Tepat tanggal 3 Oktober, dan sudah hampir tiga minggu Jungkook menetap di Busan seorang diri.

"Jungkook-ah." Sempat terpikirkan dalam benak Jungkook, mungkin ia akan merasa mual saat Namjoon memanggil namanya, namun kenyataannya tidak demikian. Ia memang terkejut saat melihat wajah Namjoon, yang berdiri di depan pintu rumahnya, tapi saat pria tinggi itu mengucapkan beberapa patah kata, dan menyebutkan namanya dengan begitu akrab, Jungkook merasa tenang, karena ia tahu, bahwa dirinya telah dimaafkan.

Banyak yang mereka bicarakan kala itu, tapi Namjoon yang bicara terus menerus, ia nampak menaruh perhatian lebih layaknya seorang kakak. Jungkook lebih banyak diam, ia tahu Namjoon, mereka tak membahas tentang hubungannya dengan Seokjin, melainkan hal yang bersangkutan dengan kehidupan sehari-hari. Kapan kau akan berkuliah lagi? Apa kau akan menetap terus disini? Bagaimana kabar ayah dan ibu? Entah mengapa, lontaran tanya yang Namjoon ajukan, dapat dengan mudah Jungkook temukan jawabannya, ia mulai merasa nyaman akan sosoknya.

Di tempat yang sama, namun di waktu yang berbeda, kini Seokjin yang datang menemuinya. Masih seperti dulu, Jungkook memandangnya sebagai seseorang yang indah tiada tara, senyum Seokjin yang tertuju padanya sempat membuatnya terlena, tapi tidak kali ini, karena sebuah cincin baru, dan nampak lebih berkilau tersemat di jari manisnya, membuat Jungkook terpaku dan kekosongan kembali menyadarkannya.

Jungkook membalas senyum Seokjin kala itu, dan membalas pelukan hangatnya, yang sensasinya telah berbeda. Seokjin bukan lagi miliknya, "Aku merindukanmu." Bisik Jungkook, dengan tiada maksud untuk membawa kembali cintanya.

"Aku sangat.. sangat merindukanmu, Jungkook-ah." Betapa leganya Jungkook saat Seokjin membalas kata-katanya dengan kalimat yang sama, ia tahu bahwa Seokjin telah mengetahui kebenarannya, tetapi ia tidak dibenci olehnya. Seokjin memang bukan miliknya, namun ia tetap malaikatnya.

Banyak hal yang dibicarakan setelahnya, kecanggungan memang masih ada, tetapi ruang rindu telah terpenuhi oleh canda dan seruan riang. Jungkook menyadari bahwa ia sudah melepaskan Seokjin sepenuhnya, saat dirinya tersenyum melihat undangan upacara pernikahan yang kakaknya berikan, kedua nama mempelai terukir indah dengan tinta perak di kedua sisinya, "Jungkook yang dulu tidak akan mampu untuk mempercayai semua ini, tetapi aku sekarang benar-benar bahagia atas pernikahanmu, hyung."

Seokjin menyambut ucapannya dengan senyuman dan tatapan yang meneduhkan, seraya berkata, "Tanpa dirimu Jungkook-ah, mimpiku tidak akan pernah terwujud."

Lamunan Jungkook akan bayangan masa lalunya terpecah, pandangannya yang semula tertuju pada dua mempelai yang tersenyum dan memandang satu sama lain, beralih ke bawah, lebih tepatnya ke arah tangan kanannya yang digenggam oleh pria yang ada di sebelahnya, yang tak lain adalah Taehyung. "Apa-"

Kata-kata yang nampaknya akan menjadi ungkapan tanya yang belum sepenuhnya selesai dari mulut Jungkook, terpotong oleh ucapan Taehyung, "Jangan mengatakan apa 'pun atau aku akan melakukan hal yang memalukan!" Sebelah alis Jungkook naik dibuatnya, ia merasa heran, tetapi tak melepaskan genggaman tangan Taehyung yang cukup berpeluh di sela jemarinya.

"Aku harus segera menangkap hatimu, walau kau masih menguncinya rapat-rapat dan tidak berniat untuk membukanya dalam waktu dekat, tapi aku harus segera mendapatkan apa yang seharusnya aku perjuangkan sejak dulu." Taehyung memaparkan isi hatinya, wajahnya memerah dan pandangannya tidak fokus. Jungkook yang awalnya heran melihatnya, mulai mengerti dan tak tahan untuk tersenyum geli.

"Taehyu-"

Jungkook membuka matanya lebar-lebar, sentuhan lembut dari bibir Taehyung yang ia rasakan di pipinya datang tiba-tiba, bibirnya sendiri sedikit terbuka, namun tak ada kata yang mampu ia ucapkan setelahnya. Dan Taehyung yang semula memberikan ciuman kilat di pipi Jungkook tak mampu menyembunyikan rona merah di hampir seluruh wajahnya, "Sudah kubilang jangan katakan apa-apa." Gerutunya, dibalik tawa gugup yang ia buat dengan sengaja, "Butuh waktu empat tahun untuk melakukannya, ini gila, aku gila."

"Terima kasih." Ucapan Jungkook berhasil membuat mulut Taehyung yang semula terus bergumam kini terdiam, menatap kursi panjang gereja berhias bunga anggrek putih dan pita perak di depannya, kemudian ia menunduk, tersenyum lembut pada dirinya sendiri, ia telah selangkah lebih jauh untuknya mendapatkan cinta sang pujaan hati. "Terima kasih sudah duduk disini bersamaku."

mamoru.

Tepukan tangan Hoseok perlahan berhenti, pandangannya tak lepas dari Namjoon dan Seokjin yang masih belum melepaskan ciuman mereka setelah terikatnya janji yang kali ini tanpa rekayasa di dalamnya.

Hoseok turut berbahagia, tak ada satu pun guratan dari senyumnya yang dibuat-buat, hanya saja, pria yang telah menjadi kekasihnya, nampak tidak seperti dirinya. Grumpy, Yoongi masih kesal dengan apa yang harusnya Hoseok bisa tanggapi dengan serius tadi pagi sebelum mereka datang menghadiri pesta pernikahan ini.

Pagi tadi, Hoseok terbangun oleh suara alarm yang sengaja ia pasang di jam 5 dini hari, Namjoon memberinya kesempatan berharga untuk berpidato di pesta pernikahannya dengan Seokjin yang diselenggarakan hari ini. Dengan langkah yang sedikit malas, Hoseok menyambar selembar kertas berisi teks pidatonya yang ia letakan di meja nakas. Memang, pidato yang Hoseok berikan mengenai Namjoon dari sudut pandang seorang sahabat, tapi Hoseok menganggap Namjoon lebih dari itu, mereka saudara, begitu banyak kisah di masa lampau yang akan Hoseok jabarkan lewat pidatonya ini.

Dua paragraf telah Hoseok baca, ia berkonsentrasi penuh tetapi tak melupakan senyum riangnya, terlebih saat tutur katanya mengisahkan betapa memalukannya Namjoon saat mereka masih sekolah mengengah pertama dulu. Mulut Hoseok bungkam, kegiatannya terhenti, dan seketika kepalanya menoleh ke arah Yoongi yang menghampirinya, dengan wajah yang terlihat masih mengantuk, rambut yang berantakan, dan tangan kanan yang terangkat untuk megucek pelan matanya.

Hoseok berucap dengan suaranya yang lembut, "Apa aku membangunkanmu?" Tanyanya, seraya menepuk pahanya untuk memberi sinyal pada Yoongi agar duduk dipangkuannya.

Namun nyatanya, Yoongi mengabaikan 'sinyal' darinya dan hendak duduk di sebelahnya saja, tetapi Hoseok tak membiarkan itu, ia menarik lembut lengan Yoongi agar pria itu jatuh di pangkuannya, "Ya! Jung Hoseok."

"Morning kiss?" Tawar Hoseok, seraya membawa bibirnya mendekat pada wajah Yoongi, lebih tepatnya bibirnya, "Hm?"

"Belum sikat gigi." Gumam Yoongi, menutup bibirnya sendiri dengan sebelah tangannya. "Hm!" Hoseok tertawa dibuatnya, menggoda Yoongi saat baru bangun tidur mejadi kegiatan rutinnya selama mereka menjadi sepasang kekasih. Hoseok membiarkan Yoongi lolos kali ini, sebelah tangannya yang bebas kembali meraih teks pidato untuknya hafalkan kembali.

Konsentrasi Hoseok kembali terpecah ketika Yoongi membuka suara, lebih tepatnya bertanya padanya, "Kau tak mengenakan cincinmu?" Hoseok terdiam untuk sementara, pandangannya tertuju pada jemari kirinya yang kosong. Di jari kirinya, seharusnya tersemat cincin hitam kebiruan dari logam mulia khusus yang Yoongi berikan untuknya, satu minggu yang lalu, tidak ada yang khusus hari itu, hanya saja Yoongi berhasil mengumpulkan uang pertamanya dari hasil jerih payah menjual lagu karangannya, dan berinisiatif untuk memberikan sang kekasih sebuah kejutan spesial.

Yoongi menunggu jawaban dari pria yang kini tengah memangkunya, dari sana, ia dapat melihat peluh yang mengalir lembut di pelipis hingga dagu Hoseok, "Aku.." Hoseok terbata seraya menelan ludah, mengatakan sebuah kejujuran bukan 'lah hal yang mudah. Kemarin sore, saat ia berkumpul dengan keluarganya di sebuah restoran barbecue, Hoseok kehilangan cincinnya, ia ingat dengan sangat jelas bahwa dirinya pergi sebentar untuk mencuci tangan dan cincin pemberian Yoongi hilang saat dirinya tak sengaja meninggalkan benda mungil itu untuk membasuh tangannya, ia baru ingat saat setelah ia dan keluarganya hendak beranjak pulang, dan saat kembali, cincin itu sudah tak ada disana.

Hoseok merasa bersalah, tentu saja. Ia menunggu waktu yang tepat untuk mengaku, namun kesibukannya membuatnya lupa hingga detik ini. Yoongi masih menunggu jawabannya, dan ia hanya mampu membisikkan kata, "Maaf hyung, aku kehilangan cincin itu."

Tiada kata yang keluar dari bibir keduanya setelah Hoseok mengaku, Yoongi 'pun perlahan menjauhkan dirinya dari pangkuan sang kekasih, untuk berdiri di hadapannya. Helaan nafas berat tampak keluar dari belah bibir Yoongi, dan Hoseok telah menyiapkan diri untuk menerima segala bentuk amarah dan kekecewaan yang dirasakan pujaan hatinya, karena tindakan cerobohnya.

"Aku mengerti, tak apa Hoseok-ah." Sontak, Hoseok mendongak, ia yang awalnya terkejut dengan ucapan Yoongi, kini mulai mengerutkan keningnya, masih merasa bersalah. Yoongi memang berkata demikian, namun wajahnya tak menunjukkan kebenaran dari ucapannya. Ia nampak kecewa, sekaligus... sedih.

"Maafkan aku hyung, sungguh." Hoseok tetap bersikukuh pada pendiriannya, bagaimana 'pun caranya, ia akan terus berusaha agar Yoongi benar-benar menerima maafnya, "Aku akan menggantinya dengan cincin yang baru, yang lebih bagus, dan-" Hoseok menghentikan ucapannya, saat ekspresi di wajah Yoongi mengeras dan terlihat sangat tidak menyukai idenya untuk menukar cincin mereka dengan yang baru, yang lebih bagus, dan lebih mahal-Oh, sial! Tentu saja, kata-kata Hoseok telah menyinggung perasaannya.

"Tidak perlu repot-repot." Yoongi berbalik, meninggalkannya, namun Hoseok hanya mampu berdiam diri dalam posisinya, tak kuasa menggerakan tubuhnya atau sekedar memanggil nama kekasihnya. Kali pertama mereka bertengkar setelah menjalin kasih, dan Hoseok tak tahu apa yang harus ia lakukan. Semuanya akan baik saja bila ia dapat menjaga mulutnya, menurutnya. Cincin yang Yoongi berikan untuknya sangat berharga dan memiliki makna, tak sepantasnya ia mengatakan untuk menggantinya dengan yang baru, lebih bagus, dan mahal.

Pagi yang harusnya mengembirakan itu tak berjalan seharusnya, Yoongi terus mendiaminya, walau senyumannya tak hilang kala mereka datang bersama-sama ke upacara pernikahan Namjoon dan Seokjin, terlebih saat ia menyapa sahabat-sahabatnya, yang juga sahabat Hoseok tentunya, tapi Yoongi tak menanggapi satu 'pun ucapannya.

Hoseok tidak tahan akan keadaan yang terus menyiksanya, saat mereka duduk berdua, di meja bundar penuh hidangan yang disediakan seusai upacara pernikahan di halaman belakang gereja, Hoseok memutuskan untuk menyudahi pertengkaran mereka.

"Hyung.." Yoongi tak menjawab, ia masih sibuk dengan layar ponselnya.

Hoseok memanggilnya sekali lagi, "Yoongi-ya.." Berhasil, Yoongi menoleh padanya, walau tatapannya kosong, tetapi setidaknya, Hoseok telah mendapatkan perhatian penuh darinya, "Aku minta maaf atas kata-kataku tadi pagi, aku tak bermaksud menyakitimu." Pria yang ada disampingnya itu masih menatapnya, dan juga tak menanggapi kata-katanya, Hoseok menghela nafas pelan sebelum kembali bicara, "Aku tak akan mengganti cincinnya, sebagai gantinya, aku akan memberikanmu sesuatu."

Kedua mata Hoseok terpejam sesaat, ia merasa tak yakin akan keputusannya, namun ia tahu bahwa apa yang akan dilakukannya sudah tepat dan sebagai gantinya, ia akan dimaafkan, "Kuberikan ini untukmu." Dengan mudah, Hoseok merogoh sesuatu di saku jasnya. Sebuah kartu dengan deretan angka yang terlihat begitu kontras dengan warna hitam diatas perak yang ada dalam genggamannya, Yoongi masih terdiam, ia nampak tidak tertarik, untuk itu Hoseok meraih tangan kanannya, kemudian membuka telapak tangan putih Yoongi untuk memberikan kartu itu padanya.

"Gangnam, Hankang Building, lantai 17." Ucap Hoseok, menatap Yoongi yang kini mulai kebingungan, ia bergantian memandang kartu bertuliskan angka dan wajah pria di hadapannya, "Menikah 'lah denganku."

Yoongi hampir tersedak salivanya sendiri, ia berusaha memastikan apa yang baru saja didengarnya, kedua mata mungilnya melebar dan bibirnya sedikit terbuka tanpa ada sepatah kata yang mampu ia ucapkan. Agaknya Yoongi masih kebingungan, untuk itu, Hoseok menjelaskan, "Aku telah berkata hal bodoh, aku tidak dapat menggantikan cincin yang hilang itu, dan aku telah mengecewakanmu lewat kata-kataku," Perlahan Hoseok mengangkat telapak tangan Yoongi, yang masih menggenggam kartu pemberiannya, "Tapi aku sudah merencanakannya sejak jauh hari, aku hendak memberikan ini saat saat akhirnya aku melamarmu."

"Ini... apa?" Bisik Yoongi, kedua iris hazelnut-nya menatap nanar kartu yang nampaknya adalah sebuah kombinasi angka, membayangkannya membuat jantungnya berdebar tak karuan.

"Aku harusnya melamarmu empat bulan lagi, saat hari jadi kita yang pertama, tapi aku takut saat kau marah padaku, kau akan mengatakan hal yang paling kutakuti, aku takut kalau kau ingin mengakhiri hubungan ini karena kebodohanku." Jelas Hoseok, tentang apa yang ia rasakan selama seharian ini. "Untungnya aku sudah mempersiapkan semuanya, sehingga aku bisa mencegahmu atau setidaknya membuatmu berpikir dua kali untuk meninggalkan aku."

Yoongi tak menyangka, bahwa Hoseok akan berpikir terlalu jauh. Ia memang marah sekaligus kecewa dengan kecerobohan dan kata-kata Hoseok tentang cincin pemberiannya. Namun Yoongi tak pernah berniat untuk menyarankan sebuah perpisahan, terlebih oleh sebuah pertengkaran yang nantinya juga akan terlupakan begitu saja selama Hoseok menunjukkan penyesalannya.

"Hoseok-ah.."

"Kartu ini merupakan kombinasi dari kunci gedung studio pribadi sekaligus apartemen kita nanti, aku sudah menyewa satu lantai, tapi aku belum sempat mengisinya dengan perlengkapan apa 'pun, dengan kata lain, tempat itu masih kosong," Kedua mata Yoongi menatap dalam sang kekasih, mereka memang memimpikan sebuah apartemen dengan studio musik pribadi untuk mereka tinggali saat sudah menikah nanti, tapi Yoongi tak menyangka bahwa Hoseok telah memulai segalanya, untuk memberikan kejutan kecil saat ia melamarnya, "tapi aku yakin saat akhirnya kita menikah, semuanya perlahan terisi dengan segala macam perlengkapan yang kita impikan, dan tentunya, ramah anak."

Yoongi hampir menangis kala itu, ia termasuk orang yang jarang menunjukkan kesungguhan hatinya lewat ekspresi yang terpatri pada wajahnya, tetapi kali ini berbeda, Hoseok 'lah orang pertama dan mungkin satu-satunya yang dapat melihat perasaannya yang seungguhnya, hanya lewat satu pandangan mata, "Kau memaafkanku? Kau menerima lamaranku?"

Hoseok nampak tak sabar, dan Yoongi terkekeh pelan karenanya. Dengan perlahan, Yoongi menangkup wajah Hoseok untuk memberikan satu kecupan kecil di bibir sang kekasih, yang telah berhasil menawan hatinya dan membuatnya berbunga berkali-kali. Yoongi menjawab dengan satu anggukan pelan, dan bisikan lembut tepat di telinga kiri sang calon suami, "Ya, Jung Hoseok, aku menerimanya." Kemudian ia mengecup pipi Hoseok yang tak kuasa menyimpan semburat merah muda, "Dan aku juga memaafkanmu." Lanjut Yoongi setelahnya.

mamoru.

Keramaian tak pernah asing dalam hidup Jimin, ia menyukainya, terutama hari ini, saat semua orang berkumpul untuk mengucapkan selamat pada kakaknya, Namjoon dan Seokjin, yang dulu sempat menjadi kakak iparnya, namun statusnya itu kembali lagi, karena memang tak ada orang lain yang akan cocok menerimanya, selain Kim Seokjin seorang.

Tawa Jimin dan tamu undangan lain terdengar bersahutan saat Taehyung menyampaikan pidatonya, yang selebihnya adalah aib Seokjin semasa mereka bersahabat dahulu. Berawal dari perkenalan dua orang entertainer muda dari agensi yang sama, Taehyung awalnya mengenal Seokjin sebagai sosok yang pendiam dan keren, namun nyatanya Kim Seokjin yang dikagumi banyak orang merupakan sosok yang sangat menyukai lelucon bapak-bapak dan lebih terkenal di kalangan artis senior dari pada artis seusianya.

Dan cerita Taehyung tak mempengaruhi Namjoon sama sekali, ia tetap memandang mempelainya sebagai orang paling sempurna di dunia, "Dasar petani madu." Ejek Jimin pada sang kakak, yang tentu saja tak mampu didengar olehnya, karena Jimin duduk cukup jauh dengan mereka berdua.

Kini Hoseok yang memberikan pidatonya, sebagian besar adalah rahasia umum seorang Kim Namjoon, tingkah cerobohnya yang sering merusak barang, serta logika tak masuk akal yang diproses otak jeniusnya yang memiliki IQ148 itu bagai kebohongan yang dibuat publik tentangnya. Tapi Namjoon memang jenius, tambahnya, hanya saja Tuhan tetap bersikap adil saat menciptakannya.

Seokjin tak mampu menahan senyum lebar serta tawa lepasnya, Namjoon nampak menepuk paha sang suami ketika tertawa, Jimin yang memandang mereka mulai merasakan sesuatu yang tak biasa... ia ingin agar dirinya dapat merasakan kebahagiaan yang sama. Terakhir kali Jimin menjalin kasih, tentu telah lama dan hampir terlupa, mungkin saat ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas.

Selama ini Jimin menjadi saksi, Namjoon dan Seokjin rutin dalam pantauannya, begitu juga dengan Hoseok dan Yoongi, dan baru saja ia mendapati kedua sahabatnya, Jungkook dan Taehyung tengah bergandengan tangan dengan senyum di wajah mereka. Jimin bahagia melihatnya, ia juga bersyukur karenanya, dan mungkin, sudah sepantasnya Jimin tak hanya menyaksikan, dan memilih jalannya bersama seseorang disampingnya. Namun, siapa?

"Apa kursi ini kosong?" Nampak seorang pria, yang mungkin sebaya dengannya, membungkuk ke arahnya seraya menunjuk sebuah kursi kosong yang berada tepat disampingnya.

Jimin sedikit terlonjak dibuatnya, "Oh? Ya, tentu. Silahkan."

"Aku Lee Taemin." Jimin belum pernah mendengar namanya, atau melihat wajahnya, mungkin Taemin adalah salah satu kerabat atau kolega keluarga Kim. Taemin mengangguk pelan, rambut depannya yang terbelah ke samping beryaun karenanya, senyumnya ramah dan wajahnya tampan, membuat Jimin cukup memandangnya, lama. "Um?"

"Ah? Oh, aku Park Jimin." Ucap Jimin, seraya balas menganggukan kepalanya. Tangan kanannya yang semula menopang dagu, kini tersimpan di bawah meja, Jimin mengetuk pelan lututnya dengan jemarinya sendiri, entaj mengapa ia merasa gugup. Tepat disaat ia memikirkan untuk memilih seseorang untuk dimilikinya, Taemin datang dengan senyuman dan memperkenalkan diri terlebih dahulu padanya.

Dari jauh Namjoon nampak memperhatikan sang adik dengan teman barunya, senyumnya kian mengembang kala melihat tawa Jimin yang hampir tertutup oleh sipu malu, membuatnya jauh lebih manis dan tampak begitu lengkap. Dalam hati, Namjoon bertekad untuk mencari tahu lebih dalam tentang teman baru adiknya itu. Lee Taemin, begitu Seokjin menyebutkannya, ia adalah salah satu kerabat dari ayah mertuanya. Seokjin bilang bahwa Taemin anak yang ramah dan berprestasi, tapi semua itu tak cukup untuk membuat Namjoon langsung menyetujui hubungan mereka saat mungkin nanti akan menjadi lebih jauh.

mamoru.

Rasa lelah dan kantuk yang Namjoon rasakan terangkat hampir sepenuhnya, saat sepasang lengan merengkuh tubuhnya dari belakang. Aroma shampoo green tea menguar lembut dari surai hitam milik Seokjin, yang menyandarkan kepalanya pada punggung Namjoon, piyama yang dikenakannya menguarkan wangi strawberry yang lembut, membuat Namjoon ingin segera membalikkan tubuhnya dan balas merengkuh tubuh Seokjin seraya menghujaninya dengan ciuman.

"Ayahku memberikan perusahaannya di Seoul padamu." Ucap Seokjin, sambil membelai lembut abs Namjoon di perutnya yang masih ditutupi kaus tipis yang dikenakannya, "Kau akan menjadi seorang CEO setelah kau lulus kuliah," Seokjin bergumam, kali ini keningnya perlahan berkerut karena kedua alisnya bertaut, "Maaf, setelah menikah denganku 'pun kau masih harus terbebani." Seokjin merasa bersalah, karena menurutnya, ia yang telah membuat Namjoon melepaskan mimpinya untuk menjadi seorang musisi.

Kali ini Namjoon benar-benar membalikkan tubuhnya, namun ia tak berniat melepaskan rengkuhan Seokjin padanya, dan membawa wajah sang suami mendekat pada dadanya, "Sejak pertama kali mengenalmu, lalu jatuh cinta padamu, dan akhirnya memutuskan untuk menikahimu lagi, aku sadar bahwa hidupku akan berubah sepenuhnya," Satu kecupan lembut Namjoon berikan pada kening Seokjin, kemudian ia membelai surai hitamnya yang masih sedikit basah itu dengan jemari panjangnya, "kau merubah hidupku menjadi lebih baik dan sempurna, pengorbananku tak akan sia-sia, aku rela melepas mimpiku asal aku bisa bersamamu."

"Lagi pula perusahaan itu bukan sepenuhnya milikku, kau juga mengambil bagian yang sama pentingnya." Seokjin tak mampu menahan senyumnya saat Namjoon berkata demikian, rona merah perlahan terpatri di wajah tampannya, ia memberi kecupan di dagu sang suami sebagai tanda bahwa dirinya membenarkan perkataannya.

"Kau benar," Seokjin membawa kedua tangannya ke atas, untuk mengalungkannya pada leher Namjoon, kemudian berkata, "jika bersamamu aku yakin semua akan berjalan dengan sempurna." Walau kelihatannya tinggi mereka tak jauh berbeda, namun Seokjin masih harus sedikit berjinjit untuk meraih bibir Namjoon dengan bibirnya. Ciuman panas yang Seokjin berikan membuat Namjoon tak kuasa memberikan lebih. Seokjin miliknya sekarang, esok dan selamanya.

"Ah?" Seokjin menghentikan ciuman mereka dengan tiba-tiba, Namjoon hendak menangkap bibirnya lagi, tetapi pria yang lebih tua darinya itu menahan gerakannya, "Namjoon-ah, aku baru ingat akan satu hal."

Namjoon masih terbawa suasana, ia belum sepenuhnya mampu melepas kehangatan yang Seokjin bagi, ia ingin menyentuhnya lagi, dan lagi. Dengan sedikit malas, Namjoon menanggapinya, "Ingat apa?"

"Kau pernah bilang kalau kau ingin menjadi seorang ayah, sama denganku, aku juga ingin jadi ayah." Kedua iris obsidian Namjoon melebar sempurna, ia cukup terkejut dan seketika dadanya berdebar tak karuan karena tutur kata Seokjin yang menyebutkan impiannya, impiran mereka, yang mungkin akan terwujud selangkah lagi, hanya sedikit lagi saja.

"Jinseok..." Namjoon menangkup wajah Seokjin, mematri iris karamel pria yang baru saja dinikahinya lagi itu dengan penuh kekaguman. Ia tak menyangka bahwa hari dimana akhirnya ia dapat menggendong bayinya dengan Seokjin akan menjadi kenyataan.

"Aku menginginkan seorang putri." Bisik Seokjin, binaran dalam kedua bola matanya memiliki makna, bahwa ia bersungguh-sungguh, bibirnya menyunggingkan senyum tipis dan tulus, membayangkan hari bahagianya yang baru saja terlaksana akan bertambah sempurna saat seorang bayi hadir diantara mereka.

Jemari Namjoon menggapai dagu Seokjin, kemudian memberikan satu ciuman lembut di kening dan bibirnya, "Dua orang putra setelahnya." Ucapnya, diantara kecupan yang juga ia berikan pada kedua pipi Seokjin yang kian merona. "Bagaimana menurutmu?"

Anggukan pelan Seokjin berikan, ia tak mengatakan apa-apa setelahnya, hanya bersandar pada Namjoon seraya menikmati alunan detak jantung sang suami, kedua matanya terpejam, merasakan lebih dalam hembusan nafas Namjoon yang menerpa keningnya. Dan dalam diam Namjoon menikmati aroma natural dari tubuh Seokjin yang begitu disukainya, malam itu mereka habiskan berdua dengan kebahagiaan yang mereka bagi bersama, menghargai tiap detik kebersamaan yang telah lama diimpikan.

Akhirnya Namjoon mengakhiri perjalanannya, dan memulai lembaran baru dengan Seokjin, bersama hingga maut memisahkan mereka berdua.

~Fin~

epilogue.

"Ahreum-ah?" Jimin memanggil sang keponakan, dan gadis yang baru saja ia sebut namanya tampak menoleh, membuat penata rambut yang sedang memasangkan dua anggrek putih di rambutnya tampak kesulitan sehingga turut menggeser tubuhnya.

Ahreum menyahut, "Ya?" Tudung yang ia kenakan nampak berayun bersamaan dengan angin yang masuk lewat jendela kamarnya, ia melihat Jimin yang menyembulkan kepalanya, kemudian senyum riangnya terpatri di bibir indah yang telah terpoles lipstick rose pink dengan kombinasi peach lembut, menambah kesan feminim sekaligus elegan yang tentu saja disesuaikan dengan gaun putih panjang berhias permata rose gold di dadanya, "Ada apa, paman?"

"Apa kau sudah selesai?" Suara Jimin kembali terdengar, tetapi kali ini Ahreum tak dapat melihat wajahnya yang menghilang begitu saja di balik pintu.

"Ya, hanya harus menata rambutku sedikit lagi." Ahreum kembali pada posisinya, ia duduk menatap cermin, melihat pantulan wajahnya yang terpoles make up natural namun masih terkesan formal karena hari ini adalah hari pernikahannya, ia tidak bisa memakai sembarangan make up, seperti saat ia ke kampus dulu, atau pergi berkerja di perusahaan milik keluarganya sendiri.

"Noona, wajahmu masih sama saja, tidak berubah." Ahreum menatap nanar seorang pemuda yang sejak tadi duduk di kasurnya, tidak langsung menatapnya, wanita cantik itu hanya melirik pantulan siluetnya saja dari cermin.

"Ya! Namgil-ah, berhenti bermain di kamarku dan awasi adikmu untuk menjaga cincin pernikahanku atau kalian tak kuberikan hadiah." Gerutu Ahreum, pada pemuda yang ia panggil Namgil, yang hanya berdeham sebentar tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel pintarnya. "Ngomong-ngomong kemana dia?"

"Seokjoon sedang bermain bersama Monie diluar, berharap saja cincinmu tidak jatuh." Ahreum menghela nafasnya, adik bungsunya itu memang tak pernah bisa diam. Terlihat dari jendela kamarnya, siluet sang adik yang bermain bersama anjing peliharaan mereka di taman, berlarian diantara kursi dan altar yang telah ditata lengkap denngan bunga dan hiasan lainnya. Ahreum panik dibuatnya, ia lantas berdiri dan membuka jendela.

"Seokjoon!" Jerit Ahreum tak menghentikan kaki kecil Seokjoon yang masih terus berlarian, "Berhenti bermain disana atau noona akan merebus mainanmu."

"Noona, itu sadis." Namgil menanggapi omelan Ahreum, namun pandangannya tak lepas dari gim yang ia mainkan.

"Ahreum-ah." Ahreum lantas menoleh, tudung di kepalanya berayun lembut dan senyumnya terangkat dengan manis kala melihat sesosok pria berdiri di dekat pintu kamarnya.

Salah satu penata rias dan rambut nampak undur diri saat Ahreum hendak menghampirinya, memberikan ruang untuknya bersama pria yang wanita cantik itu panggil "Appa~", Namjoon tersenyum lembut, menatap sang putri yang luar biasa cantik dengan balutan gaun pengantinnya, kemudian melangkah ke arah putri sulungnya, untuk membelai lembut pipinya.

"Aku akan memanggil Seokjoon." Gumam Namgil, lalu pergi meninggalkan kakak dan ayahnya berdua disana.

"Kau sangat mirip Jinseok." Ahreum menatap sayu sang ayah saat ia berucap demikian, Namjoon bukan satu-satunya orang yang berkata bahwa dirinya mirip dengan Seokjin, namun tetap saja, mendengar langsung dari ayahnya bahwa ia sangat mirip dengan orang yang paling mereka rindukan, membuat perih yang begitu indah dalam dadanya. "Terutama saat kau memakai pakaian ini, Jinseok memang tidak memakai gaun saat kami menikah dulu, tapi ia sama indahnya denganmu."

"Papa lebih indah dan cantik dariku." Gumam Ahreum, seraya tertawa pelan. Walau hanya melihat dari foto dan video yang direkam oleh pamannya, Jimin, tapi Ahreum telah terenyuh oleh pesona ayahnya, Kim Seokjin, yang kala itu nampak bagaikan jelmaan seorang malaikat. "Aku merindukannya."

"Kita semua merindukannya." Namjoon berbisik, menatap lembut sang putri dengan iris kelabunya yang mengharu, "Appa punya sesuatu untukmu." Ucap Namjoon seraya merogoh saku celananya, kemudian memperlihatkan sekotak perhiasan berbahan beludru berwarna biru gelap lalu membukanya, Ahreum terkejut dibuatnya, di dalam genggaman sang ayah, ia dapat melihat kalung perak berhias cincin berwarna senada, bertahtakan berlian sederhana di depannya, nampak ukiran paus biru disisinya, "Ini Kore, yang dahulu dimiliki Jinseok. Sekarang, ini milikmu."

"Kini aku memiliki segalanya." Ahreum berucap, menatap haru kalung yang diberikan sang ayah padanya, "Something old," paras cantiknya menatap tiara di atas meja rias, yang merupakan peninggalan dari neneknya, kemudian Ahreum mengenakannya dan ia berucap, "Something borrowed," seraya menatap pantulan dirinya yang menggenakan gaun putih, di sampingnya, berdiri sang ayah, yang menatap kagum pada putrinya.

"And something blue." Ucap Namjoon, seraya mengenakan kalung milik Seokjin-nya pada putri mereka. "Terima kasih, telah menjadi putri kami." Setelah berucap demikian, Namjoon mengecup pelan kening sang putri, Ahreum tak kuasa meneteskan air mata harunya, yang segera diseka dengan jemari ayah tercintanya. "Berbahagia 'lah selalu, Ahreum-ah."

Mengantar putri mereka dan mendampinginya melangkah menuju altar merupakan impian Seokjin, namun Namjoon berdiri di samping Ahreum, yang menggenggam lengannya erat, ia menggantikannya, karena suaminya kini telah tiada, "Appa, aku takut terjatuh disana.." Keluh Ahreum, menatap keramaian di depannya dengan pandangan nanar.

"Appa tidak akan membiarkan hal itu terjadi, seperti saat pertama kali appa mengajarimu berjalan." Ucap Namjoon, menenangkan beban yang semula hadir dalam benak sang putri, yang kini nampak lebih tenang dan yakin akan langkahnya. Terngiang dalam ingatan Namjoon, saat putri mereka hendak berjalan, ia yang mengajarinya, dan Seokjin merekam mereka berdua dengan telepon pintar miliknya. Masih membekas dalam ingatannya, kata-kata yang Seokjin serukan, dan binaran dalam iris karamelnya, melihat putri mereka bisa berjalan untuk pertama kalinya.

Waktu berjalan begitu singkat, sampai saatnya Namjoon melepaskan genggaman tangannya dengan sang putri, untuk menitipkannya pada pria pilihannya, "Jaga putri kami." Bisiknya, yang dibalas oleh anggukan mantap dan tatapan percaya diri yang Hueningkai berikan padanya, sebelum menyambut tangan sang kekasih hati, mempelai wanitanya.

Namjoon tak menyangka bahwa putrinya akan berjodoh dengan anak laki-laki yang dilihatnya dengan Seokjin saat mereka ke Ilsan dahulu, terlebih lagi, anak laki-laki itu adalah anak dari pemilik baru rumah penuh kenangan yanh semula dimiliki kedua orang tuanya. Walau usia mereka terpaut lumayan jauh, tapi Namjoon dan Seokjin tidak mempermasalahkannya, Hueningkai merupakan pemuda yang baik, terlebih, Ahreum telah memilihnya.

Dari jarak yang cukup dekat, Namjoon melihat sang putri mengucap janji, kemudian ia berbisik dalam hati, "Jinseok-ku, hari ini putri kita menikah. Kau tahu? Setelah mengunjungimu di Gwacheon, dan meminta restu darimu, Ahreum tidak berhenti menangis, ia berharap kau dapat melihat hari bahagianya, begitu juga denganku." Namjoon mendengadah, menatap langit biru dengan awan tipis yang berarak, senyumnya mengembang perlahan, dalam benaknya ia membayangkan Seokjin berada bersamanya, dan melihat pernikahan putri mereka disini.

Dua setengah tahun Seokjin pergi untuk selamanya, sebuah kecelakaan membuat Namjoon kehilangan cintanya, ia terus mengurung dan menyalahkan diri sendiri selama lebih dari satu tahun, bahkan Jungkook berhenti menghubunginya saat itu, namun Namjoon sadar akan sesuatu setelahnya, ia masih memiliki seorang putri dan dua orang putra yang harus ia lindungi, terpuruk sendirian tidak akan membuat Seokjin kembali, Jimin, Yoongi, Hoseok dan Tehyung berulang kali mengingatkannya. Butuh waktu begitu lama sampai Namjoon menyadarinya.

"Tunggu aku di surga," Ucap Namjoon dalam benaknya, seolah Seokjin akan menanggapi kata-katanya, "saat tugasku untuk melindungi mereka telah selesai, sayang." Namjoon memejamkan matanya, dan ia dapat melihat Seokjin tersenyum padanya, seraya mengangguk setuju, ia menunggunya.

Namjoon telah berjanji, untuk terus menjaga keluarga kecil mereka, sampai akhirnya ia kembali bertemu dengan Seokjin, di tempat terindah yang telah mereka janjikan.

End of epilogue

[A/N]

Bersedia 'kah kalian memaafkan saya? :( Maaf tidak sempat memberi kabar dan berkomunikasi dengan benar, banyak hal yang menyita perhatian saya, dan selebihnya bersifat pribadi /deep bow/ Mohon maafkan saya :(

Akhirnya mamoru. mencapai akhirnya. Saya akan merindukan fanfiction ini, tapi disetiap permulaan pasti ada akhir di ujungnya. Terima kasih pada kalian yang bersedia membaca, memberi masukan, komentar, dan apresiasi dalam bentuk vote atau like. Saya sungguh bersyukur telah bertemu dan bercengkrama dengan kalian lewat tulisan saya ini.

Saat saya berkata, bahwa saya mencintai dan menganggap kalian berharga, kalian mempercayainya kan? Karena saya memang tidak bohong akan hal ini, saya serius, untuk siapa 'pun yang membaca atau sekedar menengok tulisan saya ini, saya benar-benar mencintai kalian...

massive thanks to :

AngAng13

YEESSSHH FINALLY HUN~ uwu yaaah beginilah endingnya, semoga suka dan tidak mengecewakan, terima kasih banyak udah ikutin perjalanan cinta NamJin di mamoru. ini, dari awal debut saya nama kamu terus ada di kolom review, saya ga akan pernah lupa jasa kamu yang udah mau menyempatkan waktu buat baca dan review tulisan saya~ i love you, please stay healthy and happy, cuz you're matter, and you're precious to me~ can i know you more by being your friend irl?

loveiscurl

SHENPAAAIIII~~~ akhirnya mamoru. selesai~ terima kasih banyak udah kasih banyak wejangan sampe ff ini selesai, perjalanan saya dan NamJin ga akan sampe sejauh ini kalo bukan karena senpai. Berkat senpai yg udah menyempatkan diri baca dan review ff aku ini, aku jadi tahu banyak kesalahan yg aku perbuat dimasa lalu, dan akhirnya aku berhasil memperbaiki semuanya mulai dari tanda baca, gaya penulisan, karakter, perkembangan cerita, plot, etika seorang author, dan banyak lagi, sampe akhirnya kita ketemu di rl dan terus menjalin tali silaturahmi ga cuma sebagai shipper, penulis ff, atau fangirl, kita juga temenan, literally best friend uwu. Aku belajar banyak dari senpai, i love you so much, i purple you~ thank you for existing~

moodymooniej

TERIMA KASIH BANYAK AAAAAAA~~~ project dari rkiveteam itu punya temen2 saya hehehe~ daaaan, ini lah endingnya, semoga suka dan tidak mengecewakan yah uwu terima kasih banyak udah ikutin ff ini dari awal sampe akhirnya tamat, dan saya selalu ingat uname kamu, i wish that i know your real name and i hope we can be besties irl too~ i love you, i purple you, kamu berharga buat saya, jangan lupa untuk terus bahagia dan jaga kesehatan~

Saya masih akan terus berkarya, karena kalian ada bersama saya, dan NamJin juga BTS tentunya~

Sampai Jumpa~ Terima kasih.

with Luv, Fuma Tan