mamoru.

Genre: Romance, and Drama

Pair : Kim Namjoon and Kim Seokjin

Rate : M

Disclaimer : The characters are not mine. I have not own anything except this story and idea.

(part one : yes or yes?)

Kerumunan orang nampak berlalu-lalang, mereka segera mempercepat langkah saat rintik air hujan mulai jatuh membasahi bumi yang mereka pijak. Jalan trotoar di pusat kota Seoul ini tak pernah sepi, bermacam orang dengan tujuan yang berbeda berjalan di sini setiap hari, termasuk Namjoon, tangan kirinya memeluk tas selempang yang ia bawa, dan tangan kanannya berusaha menghalau rintikan hujan yang jatuh di wajahnya. Namjoon mempercepat langkahnya saat ia hampir tiba di tempat yang dituju, sebuah coffe shop yang hampir ia kunjungi tiap hari setiap ia menyelesaikan kelasnya.

Suara lonceng kecil menyapanya saat Namjoon membuka pintu kayu berhias pernak-pernik natal, senyum ramah dan sapaan dari pegawai coffe shop itu menyambutnya. Namjoon sudah akrab dan mengenali mereka tak lama setelah ia menetapkan coffe shop ini sebagai tempatnya mendapatkan inspirasi dalam menulis lirik lagu, di hari ini saja tujuannya bukan untuk itu, ia datang untuk bertemu seseorang.

"Namjoon-ah!" Seorang pemuda yang nampak sebaya dengannya melambai-lambaikan tangan ke arahnya, dengan segera Namjoon melangkah ke tempat dimana sahabat baiknya itu duduk, "Maaf, aku terlambat, Hoseok-ah." Ucapnya seraya duduk di hadapan pemuda bernama Hoseok yang segera memperlihatkan layar laptop yang semula ada di hadapannya kepada Namjoon, "Tidak apa-apa, lihat ini!" Hoseok tersenyum lebar, tak lupa ia menyesap espresso yang baru saja ia pesan, "Bagaimana menurutmu?"

"Kau bercanda ya?" Namjoon tak memperdulikan ekspresi Hoseok yang terganggu pada ucapannya, ia menunjuk layar laptop milik sahabatnya itu setelah melepas coat yang ia pakai, kemudian menaruhnya di sandaran kursi, "Kau mau mengundang Drake ke dies natalis kampus kita?" Hoseok tersenyum lebar hingga kedua kelopak matanya melengkung dalam, ia mengangguk, "Panitia acara yang lain sudah menyetujuinya, tinggal minta persetujuanmu saja sebagai ketua pelaksana."

Namjoon menghela nafas, ia memijat batang hidungnya, "Hoseok-ah, hanya karena video in my feelings challenge-mu viral dan ada di mv-nya, bukan berarti kita, dengan mudah mengundangnya." Hoseok berkedip, sekali, dua kali, hingga yang ketiga kali, ia memutuskan untuk membalik kembali layar laptop itu ke hadapannya, "Padahal jika kita bisa mengundangnya, aku yakin, dies natalis tahun ini akan melegenda." Namjoon merasa tak enak pada sahabatnya itu, idenya untuk mengundang Drake menjadi guest star di dies natalis kampus mereka memang brilian, dana yang tersedia memang cukup untuk mewujudkannya, tetapi mengundang penyanyi sekelas Drake sepertinya agak mustahil, terlebih lagi penyanyi terkenal itu sedang melakukan world tour.

"Sebagai gantinya," Namjoon membuka kunci pada layar handphone-nya, Hoseok menaikan kedua alisnya seraya mengintip pada layar handphone yang sudah agak retak di permukaannya itu, "aku sedang berusaha menghubungi pihak Steve Aoki untuk menjadi guest star." Senyum Hoseok merekah, lebih lebar dari sebelumnya, "Park Namjoon jjang!" Serunya tanpa memperdulikan tatapan pengunjung selain mereka yang menatapnya dengan tatapan bermacam-macam, heran dan terganggu, "Hoseok-ah, sudah kubilang kalau namaku Kim Namjoon, bukan Park Namjoon." Ucap Namjoon seraya menyesap americano yang telah Hoseok pesankan untuknya sebelum ia datang.

"Ah, maaf maaf." Hoseok menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia tersenyum penuh rasa sesal, "Tidak apa-apa, santai saja." Namjoon menyesap kopi hitam itu kembali, ia melihat ke arah jendela, di luar sana hujan mulai turun, "Ngomong-ngomong, kau ke sini naik apa? Mana sepedamu?" Hoseok melihat ke arah parkiran sepeda yang tak jauh dari tempat mereka duduk, ia menatap Namjoon dengan pandangan heran saat ia tak menemukan sepeda milik sahabatnya itu terparkir disana. "Sepedaku ada di bengkel, aku kesini jalan kaki."

Hoseok menatap tak percaya pada sahabatnya, jarak dari kampus dan coffe shop ini lumayan jauh, ia meringis saat berkata, "Kau, anak dari salah satu seorang pengusaha terkaya di Korea, memakai sepeda tua untuk ke kampus, dan memilih untuk berjalan kaki sejauh 5 kilometer dari pada naik taksi atau diantar sopir keluargamu." Namjoon hanya melirik Hoseok, sebelum pandangannya kembali ke arah jendela, "Yang kaya itu mereka, bukan aku." Dari sekian banyak orang, hanya pada sahabatnya saja 'lah Namjoon tak sungkan membicarakan hal seperti ini.

Sudah menjadi rahasia umum, kalau Namjoon adalah anak dari seorang konglomerat di Korea, dan mereka yang mengenal dan tak terlalu mengenal pemuda itu juga tahu, kalau Namjoon adalah anak hasil adopsi. Kedua orang tua Namjoon adalah karyawan teladan di perusahaan utama milik Park Corporation, saat Namjoon baru memasuki usia dua tahun, ia harus kehilangan orang tua kandungnya dalam sebuah kecelakaan pesawat saat hendak menunaikan tugas mereka untuk meninjau cabang perusahaan di Jerman. Namjoon kecil tak memiliki siapa-siapa selain neneknya yang sudah renta dan sakit-sakitan, saat itu lah, keluarga kaya itu memutuskan untuk mengadopsinya sebagai rasa tanggung jawab dan simpati atas apa yang telah kedua orang tua Namjoon alami, begitu 'lah yang mereka katakan saat itu.

"Tetap saja, mereka keluargamu Namjoonie." Namjoon terdiam, memang, mereka memperlakukannya dengan layak, Namjoon mendapat fasilitas yang lebih dari anak seusianya, ia bisa mendapatkan apa saja yang ia inginkan, tapi Namjoon tahu diri, ia bukan 'lah siapa-siapa dalam keluarga itu, "Keluargaku sudah tiada." Sesungguhnya, Namjoon tak bermaksud untuk tidak mengakui mereka sebagai keluarganya, sebaliknya, ia merasa sangat berterima kasih karena mereka mau mengurus dan membesarkannya, sampai Namjoon tahu, bahwa tujuan mereka untuk mengadopsinya hanya karena menginginkan seorang penerus, tak lebih.

Hanya Namjoon yang tahu tentang hal ini, pasangan suami-istri Park yang mengadopsinya sudah menikah lebih dari 28 Tahun dan belum dikaruniai anak, mereka tahu Namjoon adalah anak yang cerdas dengan segudang prestasi, oleh sebab itu, mereka mau menjadikan Namjoon sebagai penerus mereka. Fasilitas dan kasih sayang yang mereka berikan tak berlangsung lama, semuanya seakan direnggut olehnya, saat anak pertama mereka akhirnya lahir.

Siapa yang tak mengenal Park Jimin? Ia adalah penerus dari Park Corporation yang bergerak di bidang teknologi. Meskipun ia baru menginjak tahun pertama di universitas, semua orang sudah membicarakannya, nama Namjoon yang tadinya tak begitu terkenal, menjadi perbincangan orang-orang karena Jimin selalu membicarakannya. Jimin sangat mengagumi sosok kakak angkatnya itu, ia tak pernah sedikitpun merasa kesepian karena Namjoon akan selalu membela dan berada di sampingnya, Jimin selalu merasa bahwa Namjoon adalah orang yang paling mengerti dirinya, lebih dari orang tua mereka.

Terlepas dari apa yang Namjoon alami, ia sama sekali tidak membenci Jimin maupun mengutuk kehadirannya, Namjoon menyayangi adiknya walau tak memiliki hubungan darah, ia juga merasa bahwa Jimin adalah orang pertama dalam keluarga itu yang mau menerimanya dan mengerti sosoknya, apa adanya. Namjoon berjanji, ia akan selalu melindungi Jimin, selamanya.

"Kurasa, 'meeting' kita sudah selesai," Namjoon mengeluarkan uang lembaran tiga ribu won dan meletakkannya di meja, "aku bayar punyaku sendiri, maaf aku tidak bisa mentraktirmu, aku belum gajian." Hoseok menatap uang yang Namjoon letakan, ia mendorong lembaran uang itu sebagai sebuah tanda, "Tidak usah Namjoonie, aku yang traktir." Namjoon melipat uang tersebut menjadi dua lipatan, lalu menyelipkannya di bawah gelas, "Tidak, aku akan membayarnya sendiri." Hoseok menghela nafasnya, ia bergumam, "Baiklah." Ia sudah mengenal seperti apa watak seorang Kim Namjoon, jadi, percuma saja berdebat dengannya tentang 'bayar dengan uang sendiri' seperti ini.

"Segera kirimkan proposal itu pada pihak panitia yang lain, aku akan menandatanganinya setelah mereka setuju, lalu kuserahkan pada dekan." Namjoon berkata seseraya nemakai kembali coat coklat miliknya, Hoseok menempatkan tangannya di pelipis, membuat pose hormat, "Aye, sir!" Namjoon tersenyum tipis saat melihat tingkah sahabatnya, ia segera berdiri, mengambil handphone di atas meja. "Sampai jumpa di kampus Hoseok-ah, kabarkan keputusan final-nya padaku lewat e-mail." Hoseok mengangguk riang, Namjoon pun melangkah keluar setelah memberikan anggukan sopan pada para karyawan coffe shop itu dan menuju ke halte bis terdekat.

Beruntung baginya, Namjoon hanya membutuhkan waktu kurang dari lima menit untuk menunggu sampai bisnya datang, ia duduk di kursi pojok paling belakang, tempat yang paling ia sukai saat naik bis. Suasana dalam bis yang lengang membuatnya leluasa merengangkan kakinya yang kelewat jenjang itu, ia memakai earphone kesayangannya dan memutar lagu favorit dari musisi ternama, fokusnya pada pemandangan kota dari balik jendela lembab bis yang sedang melaju itu terusik saat sebuah panggilan menginterupsinya. Nama Jimin tertera di layar handphone-nya.

Hyung, segera lah pulang ke rumah.

Isi pesan singkat itu berhasil membayangi benak Namjoon, ia tahu persis dari kata 'rumah' yang dimaksud Jimin bukan 'lah apartemen sederhananya di sudut kota, tapi rumah utama keluarga Park yang terletak di kawasan elite Gangnam. Namjoon akan pulang ke rumah itu jika memang diminta, terlebih Jimin yang memintanya, jika tak ada keperluan mendesak, ia tak merasa perlu untuk kembali ke rumah itu. Namjoon tidak membenci orang tua angkatnya, atau pun para pelayan yang berkerja di sana, ia hanya merasa sungkan untuk menyebut bangunan bak istana itu sebagai 'rumahnya'.

Aku sedang dalam perjalanan.

Setahu Namjoon, hari ini, tepat setelah jam makan siang, akan diadakan pertemuan keluarga, tapi ia tidak tahu pasti apa yang akan dibahas. Namjoon mengintip setelan yang ia pakai di balik coat coklatnya, ia harap kemeja biru keabuan dan celana bahan hitam yang dikenakannya layak untuk menghadiri pertemuan keluarga ini. Namjoon sama sekali tak memiliki firasat, bahwa pertemuan keluarga ini akan mengubah hidupnya.

Dalam waktu tiga puluh dua menit, untungnya lalu lintas berjalan dengan lancar tanpa kemacetan yang berarti, Namjoon tiba dua belas menit lebih awal dibandingkan waktu yang telah ditentukan, sebelum sampai di depan gerbang rumah keluarga Park, ia menyempatkan mengirim pesan singkat pada Yoongi, salah satu sahabat karib di kampus merangkap rekan kerjanya untuk tidak menunggunya di studio, dan memberi anjuran padanya untuk pulang tepat waktu, karena musim ujian sudah dekat.

Perjalanan Namjoon dari halte pemberhentian bis hingga rumahnya tak membutuhkan waktu lama, ia hanya perlu memencet bel dan mengkonfirmasi kedatangannya pada pelayan, tanpa menunggu lagi, seorang pelayan laki-laki segera membukakan pintu padanya seraya tersenyum ramah.

"Selamat datang tuan muda." Sapa seorang pira paruh baya yang menundukkan kepalanya, memberi senuah salam formal padanya, Namjoon tak terbiasa, dan tak mau dipanggil seperti itu, "Song ahjussi, panggil saja aku Namjoon." katanya seraya ikut menunduk, memberi sapa, dan berlalu diikuti oleh pelayan yang ia panggil 'Song ahjussi' itu. "Kau tahu kalau itu dilarang Namjoon-ah." Bisik si pria paruh baya yang membuat gestur pada tangannya yang ia letakan di sudut bibir dan menutupinya, seolah-olah ia tak mau orang lain mendengarnya. "Tidak jika kita hanya berdua." Tawa Namjoon terdengar pelan, namun terkesan riang. Diantara semua pelayan, Song ahjussi, yang memang sudah berkerja untuk keluaga ini selama 30 tahun adalah pelayan yang paling dekat dengannya.

"Semuanya sudah menunggu di ruangan ini, saya sudah menyampaikan kedatangan anda pada Tuan Besar." Namjoon mengangguk pelan, setelah melewati taman, ruang tengah, dan lorong rumah yang cukup rumit, bahkan untuknya sendiri yang pernah tinggal disini, akhirnya ia sampai pada salah satu ruangan yang dapat dibilang paling ujung tapi juga paling indah karena dari ruangan itu terlihat jelas halaman belakang rumah keluarga Park yang ditumbuhi koleksi tanaman langka milik ibu angkatnya, ruangan yang merupakan ruang perjamuan khusus untuk para petinggi dan penerus dari keluarga kaya itu.

Namjoon sedikit menahan nafasnya saat pintu besar berwarna putih bertahtakan marmer itu terbuka, "Selamat datang, Namjoon-ah." Seorang wanita cantik datang menyambutnya, wanita tersebut mencium kedua pipinya bergantian sebelum menyuruhnya duduk, bergabung bersama anggota dan beberapa dewan yang memiliki jabatan penting di perusahaan mereka, "Aku pulang eomma." Namjoon membalas senyum wanita cantik itu dengan senyum terbaiknya, ia berusaha mengabaikan pandangan tak ramah yang dilontarkan padanya dan duduk diantara mereka.

"Tunggu," Namjoon melihat kesekelilingnya, alisnya hampir menyatu saat ia tak menemukan sosok Jimin dimanapun, "dimana Jimin?" Namjoon bertanya, entah pada siapa, tapi lebih tepatnya pada dirinya sendiri. "Jimin sedang ada kelas tambahan, Namjoon-ah." Sang ibu menjawab pertanyaannya seraya menyuruh pelayan untuk menutup kembali pintu besar di belakang mereka, Jika Jimin tidak hadir, mengapa ia menyuruhnya kemari?

"Kami tahu kalau bukan Jimin yang memintamu untuk datang, kau tidak akan ada disini sekarang." Ayah angkatnya seolah tahu apa yang Namjoon debatkan dalam benaknya, ia terdiam, ayahnya benar, Namjoon tidak akan datang jika bukan Jimin yang memintanya. Jika itu ibu atau ayahnya, ia akan memikirkannya sejenak, dan pada akhirnya, ia akan menolak ajakan mereka dengan halus, seperti saat mereka merencanakan liburan keluarga ke Amsterdam, Namjoon menolak untuk terlibat.

"Pembicaraan ini sangat penting, hingga kau memang harus hadir disini, Namjoon-ah." Namjoon yang tadinya terdiam menatap teh earl grey yang tersaji dihadapannya kini mendongak, menatap lurus pada sang ayah, "Kami telah memutuskan, bahwa Jimin, akan segera menikah." Seolah tak mempercayai apa yang kepala keluarga mereka, yaitu ayah angkatnya, bahu Namjoon menegang, ia hendak menyangkal apa yang barusan ia dengar, tetapi sang ayah segera melanjutkan apa yang memang perlu ia sampaikan, "Sebagai bagian dari keluarga ini, kau berhak tahu." Tidak, bukan itu masalahnya. Namjoon lebih mempermasalahkan keputusan mendadak tentang Jimin yang akan segera menikah, Jimin tak pernah menceritakan apa 'pun tentang hal ini padanya, setahu Namjoon, Jimin juga tak memiliki kekasih, terakhir kali Jimin curhat tentang gadis yang ia sukai adalah saat Jimin masih sekolah menengah kelas dua, dan itu sudah cukup lama.

'Jangan-jangan Jimin tak sengaja menghamili anak orang lain?'

"Apa-" Kali ini salah satu dari dewan petinggi perusahaan menyela pertanyaan yang hendak Namjoon lontarkan, "Jimin akan dijodohkan dengan putra sulung dari pemilik perusahaan teknologi yang dulunya adalah perusahaan saingan Park Corporation, Kim Tech." Namjoon bungkam, tetapi kedua bola matanya masih membelalak karena shock, "Apa Jimin sudah tahu tentang hal ini?" Namjoon menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dengan perlahan-lahan, adiknya, Jimin, baru saja mengawali debut-nya sebagai seorang mahasiswa, di usianya yang sangat muda, ia harus dipaksa menikah dalam sebuah perjodohan (yang menurut Namjoon adalah hal yang kelewat kuno).

"Jimin belum tahu," Namjoon menatap tak percaya pada pria dewasa yang mengatakannya, ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan mencoba meyakinkan dirinya, jika yang ia dengar adalah sebuah kesalahan, "setelah semua anggota keluarga dan petinggi perusahaan menyetujui hal ini, kami akan segera memberi tahu Jimin-ssi untuk menandatangani kontrak." Pandangan mereka tertuju pada tuan besar Park saat kepala keluarga sekaligus pimpinan langsung Park Corporation itu berdiri, "Semuanya sudah menyetujuinya, besok, Jimin akan menandatangani kontraknya." Tentu saja, mereka tidak mengambil suara dari Namjoon, ia tak memiliki hak, haknya disini adalah hanya sebatas sebagai pemberitahuan bahwa adik tersayangnya akan terlibat sebuah pernikahan yang dijodohkan.

"Apa alasan dari perjodohan ini? Dan," Namjoon menarik nafas dalam-dalam, "kenapa harus Jimin?" Ia berusaha menenangkan pikirannya yang seketika kalut, untuk hal ini, Namjoon pikir ia juga berhak mengetahui tujuan dari perjodohan Jimin yang tiba-tiba ini.

"Simbiosis mutualisme," ayah angkatnya menyesap teh yang telah tersaji untuknya, dan ia kembali menjelaskan pada putra tertuanya, "Kim Tech memiliki masalah internal keluarga," Namjoon selalu ingin menyela, jika ia cukup berani untuk membuang etikat baik yang telah diajarkan padanya, ia ingin menyerukan protesnya, segera, "dan disaat yang sama, perusahaan kita terancam collapse." Namjoon mulai muak, ia berdiri dari duduknya, dan mendebrak meja hingga cangkir teh dihadapannya bergetar karena hentakan yang ia timbulkan. "Jadi, kalian mengorbankan masa depan Jimin demi uang?!"

"Park Namjoon, jaga sikapmu." Sang ayah menatap putra angkatnya dengan tajam, dan sang ibu hanya terdiam, menunduk di samping suaminya, "Namaku Kim Namjoon." Namjoon mendesis pelan, begitu pelan hingga tak ada seorang pun yang hadir disana dapat mendengarnya, "Ini semua kami lakukan demi Jimin." Namjoon tak lantas kembali pada tempat duduknya, ia tak mengerti, bukannya jika Jimin dijodohkan dalam sebuah pernikahan, maka ia akan kehilangan masa mudanya? Mereka sudah merenggut hak Jimin sebagai seorang anak saat mereka menjadikannya sebagai penerus, mereka memaksa Jimin untuk ikut sekolah bisnis padahal ia sangat menginginkan ikut sekolah seni, terutama di bidang tari. Dalam satu hari, Jimin menghabiskan waktunya untuk belajar mengelola perusahaan, padahal anak seusianya seharusnya bermain dengan teman-temannya di luar, oleh sebab itu, satu-satunya teman Jimin saat itu adalah Namjoon, kakak angkatnya.

"Namjoon-ah, mengertilah," Ucap ibunya dengan nada yang halus, berusaha menenangkan perseteruan ringan antara suami dan anak angkatnya, "Jimin akan kehilangan segalanya jika kita tidak melakukan hal ini," Namjoon tetap pada posisinya, terdiam seribu bahasa tanpa mengenakan ekspresi yang tersirat oleh makna, "ia akan kehilangan apa yang telah ia perjuangkan." Namjoon tidak bisa menyetujuinya, tapi ia juga tak bisa menyangkalnya, perjuangan yang selama ini Jimin lakukan adalah hasil dari paksaan dan obsesi kedua orang tuanya.

"Kita tidak bisa membiarkan perusahaan ini bangkrut setelah berjalan lebih dari enam generasi," Namjoon tak mengenali siapa pria paruh baya yang baru saja bicara, yang ia tahu, pria ini adalah salah satu dari pengacara yang ditunjuk oleh pihak keluarganya, "pernikahan ini hanya berlangsung sementara, kontrak yang tertera di dalamnya adalah tiga belas bulan," Namjoon sedikit bernafas lega, setidaknya, pernikahaan ini tak berlangsung lama, ia memilih untuk kembali duduk, dan mendengarkan, "tujuan utama dari pernikahan ini adalah membangun kerja sama, tetapi karena riwayat hubungan kedua perusahaan yang dahulu sempat mengalami perselisihan, Park Corporation dan Kim Tech memutuskan untuk menjalin kontrak kerja yang diatur dalam sebuah pernikahan."

"Park Jimin, penerus langsung dan putra bungsu dari CEO Park Corporation akan menikahi," kali ini seorang wanita muda yang melanjutkan penjelasan dari pria di sampingnya, Namjoon yakin, wanita itu adalah pengacara yang ditunjuk Kim Tech, "Kim Seokjin, putra sulung dan penerus langsung dari CEO Kim Tech." Namjoon membuka mulutnya, ia merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya, Kim Seokjin?

Dan Namjoon baru ingat, siapa yang tak kenal penyanyi yang sempat viral di twitter karena ketampanannya yang terbilang super saat ia baru keluar dari mobil menuju red carpet dari sebuah acara penghargaan? Kim Seokjin atau Car Door Guy, foto-foto dari momen saat Seokjin baru keluar dari van-nya itu mencuri perhatian banyak orang, tidak hanya itu, Seokjin juga terkenal karena suara dan sikap dermawannya yang hobi berdonasi di usianya yang terbilang masih muda. Dan yang lebih mengejutkan bagi Namjoon, mereka berkuliah di universitas dan gedung yang sama, hanya berbeda jurusan saja, meskipun begitu, Namjoon tak mengenal pria itu secara pribadi, Seokjin jarang masuk kuliah karena kepadatan jadwalnya sebagai seorang public figure.

Tapi, tunggu dulu, Kim Seokjin yang dimaksud mereka, adalah Kim Seokjin yang sama yang ada dalam benaknya 'kan? Jika Kim Seokjin akan menikah dan menjadi adik iparnya, bagaimana dengan karirnya? Apa fansnya tidak akan menjauhinya? Bagaimana kalau fansnya marah dengan Jimin?

"Kebetulan Kim Seokjin adalah seorang penyanyi," tanpa sadar, Namjoon menyunggingkan senyum miringnya, benar juga dugaannya, "ia akan memutuskan untuk rehat dari kegiatannya sebagai seorang idola saat kontrak ini berlangsung." Namjoon tenggelam dalam tegunannya, kalau begitu, pernikahan ini dua kali lebih 'membahayakan' untuk Jimin, setampan dan berbakatnya seorang idola, mereka pasti memiliki anti, dan Jimin bisa ikut terkena dampaknya jika ia menikahi Kim Seokjin.

Apa Jimin bisa bahagia dengan pernikahannya? Jawabannya tentu saja tidak, ia akan kehilangan masa mudanya, ia juga akan memiliki anti, teman-temannya akan menjauhinya, ia tidak akan bisa fokus kuliah, dan lagi jika kontrak selesai, Jimin akan menjadi seorang duda dalam usianya yang baru menginjak 20 tahun????

Bantin Namjoon menjerit, ia tak bisa membiarkan semua ini! Namjoon kembali berdiri mendadak, membuat seluruh pandangan tertuju pada dirinya seorang, "Aku akan menggantikan Jimin, dan menikahi Kim Seokjin." Kim Namjoon, sebagai seorang kakak, ia berjanji, ia akan melindungi adiknya, meskipun mempertaruhkan nyawanya sendiri. Maka dari itu, ia bertekad, ia yang akan menikah dan menandatanangani kontrak itu, demi kebahagiaan Jimin.

"Namjoon-ah." Namjoon bergantian menatap ibu dan ayahnya yang memandangnya tak percaya, "Aku tahu, aku bukan penerus langsung dari keluarga ini," ia menatap mereka dengan pandangan yang penuh kesungguhan dan kedua tangan Namjoon terkepal kuat diatas meja, "aku juga tahu, aku tak memiliki hak untuk menjadi perwakilan dari perusahaan ini dan menikahi Kim Seokjin." Kedua tangan Namjoon yang tadinya terkepal di atas meja, perlahan-lahan turun dan terkulai diantara kedua tubuhnya. "Tapi kebahagiaan Jimin adalah segalanya bagiku."

"Tolong, percayakan lah hal ini padaku, aku akan melakukan yang terbaik agar perusahaan ini tidak bangkrut, dan Jimin bisa meneruskan hidupnya dengan tenang tanpa menanggung beban apapun." Suasana yang tadinya hening mulai penuh oleh bisikan hingga dengusan, Namjoon tahu, tak semudah itu bagi para petinggi perusahaan untuk menyerahkan tanggung jawab sebesar ini padanya. "Kumohon, izinkan aku untuk menikahi Kim Seokjin." Namjoon membungkukkan badannya hingga sembilan puluh derajat untuk menunjukkan kesungguhan hatinya.

"Kami akan mendiskusikan kembali hal ini." Setelah sekitar tiga menit Namjoon tetap pada posisi menunduknya, ia pun akhirnya mendongak dengan senyum merekah hingga lesung pipi yang menjadi andalannya terlihat, "Tolong pertimbangkan permohonanku untuk menggantikan Park Jimin dalam perjodohan ini." Melihat beberapa anggota dewan petinggi perusahaan tersenyum dan mengangguk padanya, Namjoon yakin, ia memiliki harapan, untuk menyelamatkan 'hidup' adiknya.

Dan disini 'lah Namjoon sekarang, duduk diam di kamar lamanya, menunggu keluarga dan para petinggi perusahaan yang melanjutkan rapat mereka tanpa dirinya, ia diminta untuk menunggu keputusan dari rapat tersebut di rumah ini. Diatas kasur bernuansa karakter singa berwarna orange bernama 'Ryan' itu, Namjoon berbaring sambil memfokuskan diri pada layar handphone-nya, ia sibuk mencari informasi 'siapa sebenarnya Kim Seokjin?' di internet.

Selain mengetahui bahwa ternyata Seokjin lebih tua dua tahun darinya, padahal mereka seangkatan, ia juga juga banyak mengisi soundtrack untuk drama bersama rekan aktornya, Kim Taehyung. Namjoon juga mendapat banyak fakta-fakta unik dari dirinya yang baru diketahui Namjoon, seperti saat Seokjin sekolah, ia sempat menempuh pendidikan di sekolah menengah khusus laki-laki dan mendapat enam belas bunga di lokernya saat hari kasih sayang, ia juga senang mukbang dan bermain game.

"Tidak suka coklat tapi suka makanan rasa coklat, tidak suka makanan dengan rasa strawberry tapi suka buah strawberry? Apa maksudnya?" Namjoon tertawa, ia tak menyangka jika Kim Seokjin adalah orang yang cukup unik. Namjoon tak memungkiri bahwa calon mempelainya (belum resmi) adalah orang yang sangat tampan, namun bagi Namjoon, wajahnya jauh lebih tampan. Kim Seokjin lebih memiliki paras yang menurut Namjoon, manis.

Riwayat karir Seokjin terbilang bersih, tanpa adanya skandal, setidaknya hal ini memudahkan Namjoon untuk lebih bisa menerima dan 'menyukai' sosok Kim Seokjin. Ia terus men-scroll layar handphone-nya, hingga ia menemukan satu akun tanpa foto profil dan user name yang dibuat seadanya, seperti akun yang sengaja menyamarkan identitas aslinya, Namjoon mengira akun tersebut adalah akun dari salah satu anti, namun isi posting-annya membuat Namjoon membelalakan mata.

"Tuan muda, tuan dan nyonya besar memanggil anda." Sebuah ketukan membuyarkan tegunan Namjoon, ia segera bangkit berdiri dan merapihkan pakaiannya, "Ya, aku akan datang." Tak berlangsung lama, Namjoon segera pergi menuju ke ruangan tempat semua orang telah menunggunya dan bersiap untuk memberikan keputusan. Namjoon berdiri dengan gugup di hadapan mereka, ia menelan ludah saat salah satu dari pengacara pihak Kim Tech membuka sebuah map dan mulai membacanya.

"Berdasarkan hasil putusan dari kedua belah pihak, antara Park Corporation dan Kim Tech, kesepakatan telah ditanda tangani oleh pihak terkait, bahwa," Namjoon bisa merasakan telapak tangannya mulai berkeringat, tanpa sadar, ia mulai mengigit bibirnya sendiri, "Kim Namjoon, putra sulung CEO Park Jiyoung dan salah satu pemegang saham Park Corporation akan menikahi Kim Seokjin putra sulung dan penerus langsung CEO Kim Jinsung diatas sebuah kontrak sebagai tanda ikatan kerja sama kedua perusahaan." Namjoon mengambil nafas dalam, ia tak bisa menahan senyum kemenangannya saat akhirnya permohonannya telah dikabulkan.

"Untuk perencanaan kedepan akan dilakukan saat kedua calon mempelai menandatangani kontrak esok hari di kediaman keluarga Park." Setelah hasil putusan dibacakan, mereka bersalaman, tak lupa mereka juga menyalami Namjoon yang kembali tertegun. Now what? Apa ia memang akan segera menikah? Namjoon berhasil menyelamatkan adiknya hingga ia lupa apa yang akan terjadi selanjutnya, terlebih lagi, entah benar atau bualan semata, Namjoon terus memikirkan kata-kata dari sebuah akun misterius saat ia mencari informasi lebih lanjut tentang Kim Seokjin bahwa,

Kim Seokjin menjalin hubungan terlarang dengan adik sambungnya sendiri, Jeon Jungkook.

next... (part two : who the hell are you?)

[A/N]

mamoru (守る) bahasa Jepang yang berarti : to protect, to keep (the promise), to defend, to guard, to follow, to obey

selamat datang di ff NamJin karya terbaru saya, semoga reader-nim sekalian menyukainya, berbeda dengan karya saya sebelumnya yang sarat akan unsur angst, saya mencoba untuk membawa cerita fluff dan tidak terlalu berat, meskipun saya masih menghadirkan konflik untuk menambah seru cerita ini hehehe [insert purple heart emoji]

silahkan tinggalkan kritik dan saran atau tanggapan lainnya di kolom review, (di chapter depan, saya akan mengusahakan untuk membalasnya) uwu

sampai jumpa minggu depan~

salam hangat, fuma