GESTALT
Disclaimer: Naruto and all the character are Masashi Kishimoto's, this story is mine
Cinta itu apasih? Rasanya begitu banyak karya, magnum opus di dunia ini yang terilhami oleh the so called cinta. Tetapi, Naruto yakin cinta adalah kesunyian pribadi yang setiap orang memiliki definisinya masing-masing.
Lima tahun berlalu, jutaan detik terlewat, dan setiap disinggung mengenai cinta, ilusinya langsung berlari ke sosok Hinata. Perempuan itulah definisi terdekat yang memahamkannya tentang afeksi. Sebuah perasaan yang membebaskan, keterikatan yang tak menjerat dan memori terbaik untuk dikenang.
Lima tahun, waktu yang cukup menyadarkan Naruto bahwa game telah berubah. Dirinya bukan lagi pusat permainan, atau mungkin Hinata keluar dan menciptakan wahananya sendiri. Sayang, Naruto terlanjur terseret dalam lingkaran setan yang memposisikannya sebagai penonton. Lima tahun ini, Hinata melenggang berlawanan arah dengannya. Seperti yang dikatakannya, Naruto mencoba menyelesaikan masalah dengan diri sendiri. Maka, ia merampungkan studi untuk setidaknya layak di samping Neji versi perempuan itu.
"Kalau kita ditakdirkan bersama, pasti semesta akan berkonspirasi untuk menyatukan."
Begitu kata Hinata, dan Naruto percaya? Tentu saja tidak. Semesta tak pernah berkonspirasi apapun kecuali untuk hal yang kita usahakan. Perjuangan demi perjuangan kita yang akan berkonstelasi, dan bersekongkol dengan alam untuk memenangkan takdir yang diinginkan. Kalimat tadi, Naruto yakin, hanyalah penghiburan Hinata atas betapa annoyingnya Uzumaki ini pasca diputus telak. Bunga-bunga yang teratur hadir di pintu rumah, pesan rindu, pengemisan kesempatan, tampaknya membuat Hinata jengah alih-alih luluh.
Sekarang, dengan posisinya sebagai perancang desain dan kontruksi mesin di perusahaan otomotif ternama, Naruto cukup percaya diri untuk melangkah lagi di hidup Hinata. Tebak prakarsa apa yang dilakukannya pertama kali? Tidak ingat kan? Naruto pernah bilang akan menjadi pasien pertama Hinata jika dia membuka praktik, here he is.
"Oh… Kak."
Hinata nampak kaget, canggung dan sadar keadaan. Naruto senang bahwa waktu tidak mengubah hal yang dikaguminya selalu. Non poker face Hinata is his favorite.
"Pasien pertama kan? Seperti yang kujanjikan dulu." Naruto tersenyum samar.
Waktu seakan membeku ketika menatap lagi sepasang silver setengah purple yang dirindukannya. Hinata langsung mengalihkan pandang, menimbulkan sedikit nyeri yang langsung ditutupi Naruto dengan duduk tanpa dipersilakan. Ia menyadari, sikapnya di masa lalu memang keterlaluan. Memberi Hinata harapan, menghabiskan cintanya sampai perempuan itu rengkah di dalam. Masihkah ada yang tersisa darinya untuk Naruto pinta?
"Maaf aku belum sempat mempelajari riwayat kesehatan kakak, tapi sebelumnya, Kak Naruto ini butuh konsultasi atau obat?" Hinata memulai.
Secara sialan mata Naruto terpejam, menikmati bagaimana merdunya panggilan kakak itu. Tiga puluh satu tahun dan masih dipanggil kakak, bajingan beruntung ia.
"Kak?"
"Oh ya, Hinata." Naruto terpaksa kembali ke bumi. "Kurasa bukan obat. Mungkin hanya saran yang bekerja tepat."
"Oke. Soalnya kakak tahu kan kalau psikolog dan psikiater itu beda? Aku, sebagai psikolog, hanya bisa memberi kakak saran, sementara kalau kakak butuh obat terkait gangguan mental sebaiknya datang ke psikiater."
"Well, aku nggak sesakit itu."
Mereka berpandangan sesaat, Naruto yakin bahwa separuh kekosongan hatinya digenggam gadis itu. Sekian lama, ia akhirnya berkesempatan hanya berdua dan berbicara intens. Tidak ada yang terlalu berubah lima tahun ini, namun sekaligus terhenti di satu titik. Ia, Neji, Sasuke dan Sai tetap serangkai yang suka menghabiskan waktu bersama. Meski bisa dikatakan hanya setahun beberapa kali. Perbedaan signifikannya adalah, Hinata tidak lagi melihatnya, tidak menghiraukan, abai sama sekali. Seakan Naruto hanyalah manusia biasa yang tak memiliki irisan kisah dengannya.
Hinata yang menatap tepat di kedua bola matanya, seperti cermin yang merefleksikan betapa haus ia akan perempuan itu. Naruto bisa menatap ke dalam mata itu selamanya, bagaikan pemuja yang terpaku dan tak bosan.
"Beritahu aku Hinata, bagaimana caranya mendapatkan lagi hati yang pernah kusakiti sakiti sangat parah?"
.
.
Hinata tak mendendam, tidak secuilpun memiliki keinginan membalas Naruto yang sempat begitu jahat. Baiklah, jahat bukan kata yang tepat, brengsek lebih sesuai. Ia tidak lupa bagaimana lelaki itu memilih perempuan lain di atas dirinya. Meyakinkan Hinata betapa tak bernilai ia sebagai kekasih.
Tercatat di mentalnya bahwa Naruto tak pernah benar-benar menyukainya. Ia sekadar batu loncatan, atau area tempat Naruto berlari dari bayang-bayang Shion. Pada akhirnya, yang diterima Hinata hanyalah kompensasi terhadap rasa nyaman, dan status palsu semata.
"HINATA!" teriak Naruto dari seberang jalan.
Sial, umpat Hinata dalam hati. Pria itu selalu muncul tepat ketika ia hendak memesan taksi. Rajin sekali dia memanfaatkan seluruh waktu dunia untuk menciptakan kebetulan yang mendekatkan mereka. Seminggu Hinata membuka praktik konsultasi jiwa, dan setiap pulang kerja selalu ada Naruto yang muncul tiba-tiba.
"Pulang bersama?"
Berhubung Hinata seorang oportunis, ia mau saja menerima Naruto yang telah membukakan pintu mobil. Kepalanya selalu menegaskan, ini cuma tentang simbiosis komensalisme di mana Naruto memberi keuntungan dan dia tidak dirugikan.
Ketika duduk, telinga Hinata langsung disapa oleh lagu Celine Dion-Because You Love Me yang cukup keras. Tak ada lagi Suzuki Hayabusa, dan setiap kali Hinata selalu bertanya-tanya, bagaimana Naruto bisa mendengar klakson jika musik di mobilnya distel mode halilintar. Sebagai penumpang Hinata was-was berada di kendaraan yang terasa bagai ruang karoke.
Maha aneh lagi, Naruto masih bisa modus.
"Cinnamon roll?"
Bau kue yang hangat dan wangi mana bisa ditolak. Akhirnya Hinata pasrah, mengambil potongan sisa Naruto, menghirup aromanya yang manis menggoda.
Cara Hinata menikmati kue sungguh unik. Sedikit norak ya, tetapi masuk dalam jajaran hal yang sangat Naruto rindukan. Khusyuk dan masih sanggup terlihat cantik, berlebih-lebihan tapi imut. Jujur saja, ia ingin diperlakukan sebagaimana Hinata memperlakukan cinnamon roll.
Selama beberapa menit tak ada percakapan, Hinata tenggelam dalam asyiknya mengonsumsi gulungan kue manis itu. Naruto sendiri sibuk sambil sesekali melirik objek cantik di sampingnya. Senang melihat seorang perempuan meluruhkan atribut harga diri demi beberapa potong kue. Tidak disadarinya, Naruto bermaksud mengajak Hinata ke suatu tempat.
"Hoh khak, hok hem hini? Mhau hem hana?"
Naruto tidak bisa menahan tawa mendengar tanya yang didengungkan dengan mulut penuh makanan. "Minum dulu, cantik." Ia mengangsurkan sebotol air mineral yang langsung disambut.
"Aku mau minta tolong ditemani memilih furniture, terus ke rumahku deh."
Sesaat Hinata tercengang atas betapa enakan hatinya Naruto itu. Ia tidak pernah canggung dalam menyusahkan orang lain. Seketika perut Hinata kenyang menyadari kue tadi digunakan untuk mendistraksinya.
. Ia hendak mengusap bekas minum dengan punggung tangan, tapi dicegah Naruto yang memberikan tisu. "Orang cantik jangan jorok ah. Nanti anak kita ikut-ikutan."
Hinata sebal betapa pick up lines Naruto menggejolakkan sesuatu di hatinya. "Jadi kakak menyogokku dengan cinnamon roll supaya mau ikut?" ujarnya sambil melipat tisu dan meletakkan di tas. Hinata tak buang sampah sembarangan.
"Iya dong. Supaya kamu bisa pilih sendiri peralatan rumah tangga yang kamu suka. Kan nanti kamu yang jadi istriku." Alis Naruto naik-turun melancarkan persuasinya.
"Lah, siapa yang mau jadi istrinya kak Naruto?"
"Kamu kan…"
Hinata mencoba tenang, tak ingin terpengaruh omong kosong Naruto. Harus ada yang cukup waras di antara mereka. Maka ia memilih memandang jendela, berseloroh santai.
"Keledai nggak jatuh ke lubang yang sama dua kali, kak."
Kening Naruto berkerut, analoginya masuk akal. Tetapi ia menolak tunduk, tidak dalam seribu tahun pun. "Ya tapi kamu kan bukan keledai, dan aku lebih dari sekadar lubang."
Hinata menggelengkan kepala tak percaya. Pribahasa manapun barangkali takkan cukup menyambar kekeras-kepalaan pria di sampingnya. Dalam keadaan begini, Naruto seperti terlalu bebal untuk mengerti apapun. Hinata sedikit prihatin karena pria itu tak pernah diberi kesempatan untuk lembut. Keadaan menjadikannya manusia keras yang menjadikan apapun sebagai mainan, termasuk hati. Naruto seolah sengaja melakukannya, menyakiti supaya tak disakiti duluan.
Namun Hinata pun senasib dengan Naruto, pengalaman mengajarinya membentengi diri dari kata-kata kosong. Bahwa sesuatu yang tanpa bukti, tidak bisa dipegang sebagai janji. Terang ia menganggap percakapannya dengan Naruto setara angin lalu. Lelaki yang pernah meninggalkannya demi perempuan lain, tak pernah benar-benar mencintainya.
Sampai di toko furniture, Naruto benar-benar memintanya memilih terutama pernak-pernik ruang baca. Dia bilang agar Hinata betah di rumah mereka nanti. Meski dengan mual, ia tetap memilihkan juga yang sekiranya cocok dan di atas semua, mahal. Biar saja, toh Naruto yang bayar, dan istrinya suatu saat akan berterima kasih pada selera Hinata yang berlebihan.
"Oke, ini diangkut nanti saja. Sekarang kita lihat rumah masa depan dulu."
Sepanjang jalan Naruto terus mengocehkan khayalannya. Sedangkan Hinata hanya berperan, "oh..", "masa?", "Iya ya.", "Hmm.", dalam percakapan mereka. Biarkan saja lelaki itu bergaul dengan imajinasinya sendiri.
"Tadaaa. Kita sampai."
Xpander Naruto berhenti di hadapan rumah minimalis tiga lantai. Bagi Hinata yang lulus kuliah tahun lalu, rumah ini termasuk mewah dan mencolok mata. Tentu berbeda dengan lelaki menuju udzur di sampingnya, ia tampak siap digandrungi beban anak dan istri. Naruto menarik Hinata ke dalam rumah, memperlihatkan bagian-bagian favoritnya yang cozy.
"Rumah ini didesain olehku dan teman dari arsitek Todai loh, Hinata. Gimana? Kamu suka kan?" Naruto antusias menerangkan pada Hinata, lengannya bahkan dengan fasih merangkul calon nyonya rumah. "Yang itu kamar kita. Nanti bednya yang King Thanos supaya kita ehem-ehemnya bebas."
Dilirik judes Naruto hanya nyengir, dengan sebal Hinata menyingkirkan lengan yang merangkulnya kasar. Beruntung ponselnya berbunyi sehingga perhatian pada lelaki kelebihan self esteem itu teralihkan.
"Ya, Hallo Shikamaru-kun."
Naruto seperti tersambar petir di tempat. Kun? Ya Tuhan, ini pertama kalinya ia mendengar panggilan istimewa dilontarkan Hinata pada seorang pria. Lima tahun dan bertahun-tahun sebelumnya, Naruto bahkan tak pernah. Sengata panas muncul entah dari mana arah, menghanguskan hatinya yang mau meledak marah.
Betapa tak sukanya ia mendapati Hinata memiliki lelaki yang cukup akrab untuk dipanggil –kun. Cemburu? Oh jelas! Cemburu ini bisa meningkat jadi amukan dalam satu-dua detik. Melihat Hinata yang menjauh, merahasiakan bicaranya, adalah siksaan tak terperi. Ia benci jika lelaki di sana menyebabkan senyum di wajah Hinata. Naruto takut jika akhirnya dikenang sebagai pelajaran buruk, sementara pria lain membuat Hinatanya bahagia. Tidak di kehidupan manapun ia ikhlas dilupakan begitu saja, lalu memandang di luar bingkai kebahagian Hinata dengan Shikamaru Shikamora itu.
.
.
"Nara Shikamaru, 27 tahun, dokter saraf. Ternyata begitu ya seleramu sekarang?"
Hinata kaget mendapati Naruto bersandar di dinding sebelum masuk indekosnya. Raut lelaki itu menyeramkan, auranya gelap yang tak bersahabat. Ekspresi itu mengingatkan pada kejadian kaleng dilempar dan wajah diremas, Naruto jenis ini adalah yang paling ia hindari.
Pria yang mengenakan jeans denim dipadu dengan jaket parka tersebut melangkah lebar ke arahnya. Tatapan tajam menghunus Hinata, mendetamkan jantung yang rasanya mau meledak keluar. Apakah ia masih Naruto yang labil dan bisa kasar tiba-tiba? Hinata tak tahu, namun kedekatan mereka kini membangkitkan gelenyar aneh. Semacam takut, gugup tapi menerka-nerka aksi yang terjadi selanjutnya.
"Dan pakaianmu ini apa-apaan?" pandangan Naruto mengarah pada atasan off shoulder yang dikenakan Hinata. "Seumur-umur kita pacaran dulu, nggak pernah tuh kamur pamer bahu sama punggung."
Kalimat Naruto yang tajam sedikit menyinggung Hinata. "Memangnya kenapa? Semua laki-laki menyukai perempuan seksi. Kalau kakak benci ya nggak usah dipandang, ini bukan untuk kak Naruto." Ketusnya. Sedetik kemudian Hinata menyesal karena kalimat balasannya terdengar murahan. Lebih parah dari wanita marah yang dikritik selera fashionnya, ia kedengaran mencari-cari alasan.
Tatapan Naruto yang tadinya galak menjadi surut, muram oleh fakta yang diselipkan dalam jawaban Hinata. Hyuuga kecilnya berusaha seksi untuk pria lain? Rasa tak terima mendorongnya memojokkan Hinata, mengurung gadis itu dengan lengannya di kedua dinding. "Hinata…" Naruto memajukan wajah, menatap lekat kedua bola mata Hinata. Ada begitu banyak yang ingin disampaikan, sesak yang dideritanya beberapa tahun, dan ketakutan jika Hinata tak pernah memilihnya lagi. "A-aku…"
Hinata menahan nafas, mereka sangat dekat, paling dekat di antara semua kedekatan yang mereka jalin. Ia merasakan nafas Naruto, hangat tubuh pria itu, simetri yang terlihat gigantis dibanding dirinya, dan tatapan yang melemaskan persendian tubuh. Bibir Naruto nyaris menyerempet bibirnya, tepat sebelum menunduk lalu menumpukan dahinya di bahu terbuka Hinata.
"Kalau aku jadi priamu, nggak akan kubiarkan lelaki lain menikmati dirimu yang sang sangat murni dan berharga ini. Semua tentangmu adalah kehormatan yang akan kujaga." Masih menunduk, Naruto melepaskan jaketnya, menutupkan pada tubuh bagian depan Hinata. Lalu ia berkata lirih, "untuk apa meninggikan ego sebagai pria berpacar seksi, kalau itu mendegradasi martabat perempuannya."
Selesai memasangkan jaket, Naruto mengelus rambut Hinata lembut. "Lagi pula cuaca sangat dingin di luar."
Mereka berpandangan sesaat, Hinata seperti melihat cinta dalam mata pria itu, namun menolak mengakui. Hatinya butuh lebih dari sekadar kata untuk mengerti dan menerima kembali.
"Sampai ketemu besok, Hinata."
"Besok?"
Naruto mengangguk mantap, "ya, besok."
.
.
Soulmate, Hinata tak percaya hal semacam itu eksis. Orang bilang, saat bertemu soulmate a.k.a (as known as) jodoh, kita akan merasa klik melebihi imajinasi dan ekspektasi. Seolah-olah jantung kita diciptakan untuk berdebar bagi pasangannya. Hingga umur dua puluh empat tahun, Hinata belum mampu merasionalkan sesuatu yang disebut meant to be. Benarkah ada? Kedengarannya malah mengada-ada.
Makanya ia tak pernah menolak dikenalkan dengan anak kolega ayahnya, atau teman Neji. Hinata mencari kemungkinan terbesar, lagi pula tidak mungkin kedua pria Hyuga tersebut memilih keburukan baginya. Ditambah, ia hanya memiliki komitmen untuk ditawarkan, cinta tak menjaminkan hubungan yang stabil, justru rawan hal-hal labil. Ia tak ingin menua di atas hubungan yang mudah goyah.
Lantas di sinilah ia, bersama ayahnya menunggu lelaki yang hendak dijajaki sebagai calon suami. Minimal Hiashi sendiri menilai calonnya pantas bersama Hinata.
"Tenang nak, dia pria baik. Kamu pasti suka."
"A-aku tenang a-ayah."
Hiashi tersenyum simpul melihat kegugupan putrinya. Ketenangan apakah berupa menggigit bibir? Hinata bisa sangat menggemaskan kadang-kadang. Tak heran pria ini begitu menyayanginya.
"Selamat malam, maaf terlambat."
Suara itu. Hinata enggan mengangkat kepala. Tebakannya tepat, Naruto, selalu Naruto ada di mana-mana. Ia langsung kaku dan jeri menyaksikan lelaki yang tidak lelah-lelahnya muncul. Bahkan kini bercengkerama akrab dengan sang ayah, menimbulkan curiga, entah berapa bagian hidup Hinata yang bersikeras ditaklukkan Naruto. Namun selama masih waras, Hinata akan menjauhinya demi akal sehat.
"Kalian mengobrollah, ayah pulang dulu. Ada urusan." Hiashi mengusap lembut rambut Hinata.
Hening. Wajah Naruto yang ceria langsung pucat ketika suara garpu memecah sunyi antara mereka.
"Cukup kak. Kakak kenapa sih selalu muncul di kehidupanku?"
Harusnya Naruto mengantisipasi, perempuan sebaik Hinata pun memiliki titik jengah. Jadi saat itu terjadi, ia tak terlihat sepahit ini. Berharap sementara yang diharapkan malah melontarkan kalimat-kalimat ketus.
"Kenapa? Kamu nggak suka?" Naruto mencoba selow, melawan api di dada Hinata dengan senyumnya yang menyejukkan.
"Bukan. Aku kan sudah bilang, kalau berjodoh pasti ada jalan untuk kita. Tapi kalau begini, kak Naruto kelihatan memaksa sekali."
Aw jadi dirinya memaksa? Ah, Naruto memang tak pernah terlalu berusaha untuk mendapat perempuan. Hinata satu-satunya yang diperlakukan demikian, tetapi malah kelihatan terganggu. Jika tahu, ia akan belajar sebaik mungkin untuk memiliki sekali lagi hati emas di hadapannya.
"Ya aku harus gimana Hinata supaya diterima?" tutur Naruto frustrasi. Memang ia masuk kategori desperate demi mendapatkan gadis Hyuga ini.
"Nggak ada. Aku juga belum bisa memastikan hati. Tapi tolonglah jangan mendesakku begini."
Sesaat Hinata menangkap raut kaget Naruto. Setelahnya kelihatan bahwa pria itu kecewa. Mungkin kalimat-kalimatnya keterlaluan tajam, tapi apa yang lebih baik dari kejujuran? Meskipun pahit itu seribu kali lebih baik daripada bertahan di hubungan penuh sandiwara. Baik sandiwara menjaga perasaan pasangan, atau imej di mata orang-orang. Hinata tidak makan tanggapan manusia lain ngomong-ngomong. Dalam hal kejujuran, bila perlu ia akan menjadi Amanita Muscharea, si jamur cantik yang paling beracun. Kebenaran mungkin saja meracuni tanggapan seseorang atas dirinya.
"Apa ini gara-gara Shikamaru-Shikamaru itu?"
Hinata ingin tertawa. Shikamaru adalah lelaki yang masuk ke dalam semua tipenya, dan terutama, bukan Naruto. Tapi hati tak bisa dibohongi, cintanya tak pernah untuk lelaki itu. Hubungan mereka sebatas profesional yang saling bersinergi.
"Nggak ada hubungannya sama dia kak."
"Jadi kamu nggak pengin aku kejar lagi?" Anggukan Hinata memupuskan hati Naruto. Mungkin harapannya yang kelewat besar, tidak ada manusia pintar yang mau memberi kesempatan untuk kesalahan terjadi dua kali.
"Oke, tapi terakhir ini biarkan aku memastikanmu selamat sampai rumah."
Ketenangan Naruto cukup mengherankan Hinata. Sejak kalimat penolakan keluar, pria yang kini memegang kemudi itu diam bagai disumbat. Begitu tenangnya sampai ia merasakan hawa dingin merambati tengkuk. Sunyi yang bicara antara mereka ternyata menyesakkan keduanya.
Bagi Naruto penolakan Hinata adalah aba-aba untuk mundur. Padahal, jika bisa sejak dulu ia menyerah akan Hinata. Tetapi hatinya sudah terikat kelewat erat. Tak mau lepas bahkan ketika Naruto mencoba peruntungan lagi dengan Shion. Sekarang, penegasan bahwa ia harus hengkang, terasa memandekkan otak. Mungkin kedepan Naruto akan menjalani hari-hari dengan kekosongan, penghuni hatinya mengusir pergi.
.
.
Berbulan-bulan tak ada Naruto di kehidupan Hinata. Setiap pulang, tanpa sadar ia menengok ke tempat di mana mantannya biasa menunggu. Kemudian tersadar, dirinya sendiri yang memilih dibebaskan. Tapi, kebebasan yang tercurah kelewat besar hampir tak ada beda dengan hampa. Kebebasannya terasa bagai kesunyian, kesendirian.
Jauh di dalam hati, ada rasa bersalah menggerogoti. Wajah terluka dan kecewa Naruto melintas konstan dalam hari-hari, pada kertas hasil diagnosis, di jalanan ramai, dalam sunyinya kebisingan kota dan semua. Suara lelaki itu yang berat, menganggunya tanpa ampun bagai hantu gentayangan. Namun inilah pilihan Hinata, tidak ada rewind dalam realita.
Menyesalkah ia?
Entahlah, Hinata hanya ingin menertawakan ironi dalam dirinya. Tak percaya soulmate tapi menyuruh Naruto menyerahkan nasib cinta mereka pada semesta. Sedikit banyak ia telah beromong-kosong dan memberi harapan absurd. Bodohnya lagi, Naruto menuruti dan pergi, meninggalkannya sebagai kisah yang terbengkalai. Haha. Ingin ia tertawa pada hatinya yang bergerak plin-plan. Memalingkan lelaki yang sedang berjuang agar menyerah pada nihilitas malka.
Ew. Hinata merasakan kafein pahit menyapa lidahnya. Ia sedikit memundurkan cangkir, menilik kopi di dalamnya. Cappucino tak pernah sepahit ini, gara-gara pikirannya berpiknik ke seseorang, Hinata minum saja yang diberikan pramusaji.
"Mbak, saya pesan Espresso. Bukan cappuccino yang terlalu manis buat manusia gini."
Sayup-sayup Hinata mendengar suara familiar. Ketika menengok ia menemukan objek distraksinya beradu mulut dengan pramusaji.
"Maaf pak, sepertinya tertukar dengan meja 18 atas nama Hyuuga Hinata."
Jantung Hinata berdegup cepat saat Naruto menatapnya. Untuk alasan yang tak spesifik, ia berkeringat ketika Naruto mendekat. Seperti lama sekali tak memandang kedua bola mata biru yang mencolok di antara kulit coklat wajahnya. Tak ada senyum, dan entah kenapa membuat hati ngilu.
"Oh, maaf Hinata, ini kopiku."
Tanpa basa-basi Naruto menyesap Espresso yang tertukar. Berlama-lama menikmati bekas bibir Hinata. Tak jadi menikah, ciuman dicangkir pun lumayan meski tak sepadan. Ia menandaskan kopi itu tanpa sedikit pun berpaling dari gadis yang seperti biasa, cantik di luar egonya.
Hinata yang masih syok hanya memandangi Naruto. Tak sepatah katapun lewat di antara mereka. Tubuhnya membeku di bawah pandangan dingin Uzumaki itu. Apakah penolakan membuatnya jadi monster galak? Entah. Jelasnya Naruto tak repot berlama-lama di hadapannya. Begitu kopi habis, ia bangkit, meninggalkan Hinata tanpa sepatah kata.
Apa ini? Kenapa rasanya sakit ketika Naruto bersikap asing, mengalienasinya bagai dua orang yang tak pernah terlibat suatu hubungan. Tak ada lirikan terakhir, lelaki itu berpaling tanpa membaginya sedikit perhatian. Mana sesumbar yang mengatakan Hinata ibu dari Uzumaki-Uzumaki kecil di masa depan?
Hinata setengah berlari mengejar pria yang telah keluar kafe. Langkah-langkah kecilnya terseok menyamai Naruto yang tak cukup peduli untuk melambat.
"Kak Naruto marah sama aku?" tanya Hinata ngos-ngosan.
Naruto terus saja berjalan. Ia tidak bermaksud drama, tetapi lumayan juga dikejar-kejar perempuan cantik, calon istrinya pula.
"Kak!"
Suara Hinata pecah menahan tangis. Tak menyangka berhubungan dengan pria dewasa berhasil menarik sifat kekanak-kanakannya. Naruto berhenti, tak ayal dahi Hinata menabrak punggungnya. Ia terhuyung ke belakang.
"Maumu apa Hinata? Jangan nggak jelas gini. Kemarin kan aku disuruh pergi, sudah kulakukan, kenapa sekarang malah dikejar?"
Bentakan Naruto membungkam Hinata. Hatinya berdenyut sakit, tak ada lagi lelaki yang merayunya lembut.
"Plin-plan!"
Naruto memunggunginya lagi. Hinata tak sanggup menahan sesak yang menyumpal dadanya. Sekali ini ia ingin melepas sakit hati, keluar dari imaji perempuan tenang yang selalu baik-baik saja. Baiklah Naruto, ia mau plin-plan sekarang.
Bugh!
Stiletto Hinata melayang ke punggung Naruto. Perempuan itu berbalik, berjalan terpincang-pincang tapi tak peduli. Ia terlalu sedih untuk mendengar apapun, maupun mereka berakhir sungguhan sudah bukan urusannya. Naruto meringis melihat perempuan yang dicintainya keseleo. Apa ia keterlaluan?
"Maaf."
Naruto menahan Hinata. Berjongkok, mengusap lembut telapak kaki cantik yang berdebu, memasangkan kembali stiletto agar cintanya dapat berjalan tegak. Ia berdiri menaungi Hinata, menatap wajah yang berleleran air mata. Adik kecilnya, Hyuuga perempuan yang manis ini menangis untuk Naruto. Betapa bangga ia karena berhasil mengeluarkan sisi kekanakan perempuan yang dewasa semenjak muda. She must be loves him so much.
"Menikah denganku ya, Hinata?"
.
.
Sepasang mata biru menatap perempuan yang lelap di peluknya. Perang panas mereka pasti melelahkan Hinata yang baru berkecimpung pertama kali. Mantan gadis itu bahkan menangis saking kesakitan, sedang Naruto? Ah ia ngilu di mana-mana, menahan iblis liar yang minta bergerak brutal. Hal yang ia miliki dengan Hinata ini, takkan Naruto bagi dengan siapapun. Hyuuga Hinata membuat segalanya mungkin, mencintai seseorang begitu lama tapi mengekang naluri lelakinya. Hinata menjinakkan Naruto dengan hormat. Saat sah semua berkali-kali lipat lebih indah.
"Hinata I love you."
Naruto membisikkan lagi kata cinta, entah malam ini untuk yang ke berapa puluh. Tangannya mengusap-usap perut di mana rahim Hinata terletak. Berdoa spermatozoa yang paling kuat segera membuahi sel telur sang istri. Oh… istri.. hatinya masih berdebar atas klaim itu.
"Sayang kamu, cinta." Naruto mengusakkan hidungnya ke kulit Hinata. Wanginya adiktif.
'Kok bau bayi' seloroh Naruto dalam sesi perkawinan mereka.
'Iya kak, aku memang pakai minyak bayi. Baunya enak dan tahan lebih dari delapan jam, kandungan kimia-
Ia ingat langsung memotong penjelasan Hinata dengan ciuman panjang. Habis, bisa-bisa istrinya membicarakan formula dan sains di ranjang.
"Tidur Naruto…" Hinata yang terganggu karena Naruto tak henti-henti menjamahi, mulai meracau. Ia ingin dibiarkan tidur sebab lelah luar biasa, badannya sakit di sana-sini.
"Kun… Naruto-kun. Ayo Hinata, panggil Naruto-kun."
Konyol, bagaimana mungkin perempuan yang habis-habisan dihajarnya diajak negosiasi. Naruto akhirnya terima nasib memandangi Hinata sampai dijemput kantuk.
Sekarang dan seterusnya, hidup merekat terjalin sebagai satu kesatuan.
END
Ewh, akhirnya berakhirrr.