Naruto Masashi Kishimoto
Uchiha Sasuke x Haruno Sakura
Happy reading!
"Bagaimana ini?"
"Apa aku bisa menatap wajahnya?"
"Ya Tuhan!"
Sakura menggigit jari-jarinya. Wajahnya terlihat frustasi. Raut khawatir juga takut tak lepas hilang dari wajah cantiknya. Ia menatap cemas keluar jendela mengawasi sesuatu. Buka-tutup-buka-tutup gorden jendela sudah ia lakukan berkali-kali membuat ibunya dari arah dapur memandang anaknya sendiri dengan raut bingung.
"Saki, ayo sarapan."
Mengabaikan teriakan ibunya dari arah dapur, Sakura masih bergulat dengan pikirannya tentang tetangga samping rumahnya. "Apa dia sudah berangkat?"
Langkah mondar-mandir di depan ruang tengah yang menghadap langsung ke jendela luar terus ia lakukan selama 15 menit terakhir. Ia ingin memastikan apakah tetangganya sudah ke sekolah atau belum. Mungkin ada baiknya jika seperti biasa Sakura menghampiri rumah bibi Mikoto lalu melihat sendiri apakah putra bungsunya itu sudah berangkat ke sekolah atau belum. Tapi sekarang ini ia tidak punya nyali sama sekali. Sakura seakan tidak sanggup menatap wajah Sasuke. Kejadian semalam adalah penyebab besar yang membuatnya seperti ini, bahkan kantung matanya terlihat lebih gelap karena semalam ia tidak bisa tidur. Ia sampai berterimakasih kepada domba karena dengan menghitungnya sampai 470 membuatnya tertidur walau hanya 2 jam.
Flasback on.
"Denganmu..."
Terdiam lama, Sakura mengerjap kala melihat onyx Sasuke yang membulat. Butuh hitungan 3 detik hingga Sakura sadar apa yang baru ia katakan. Wajahnya memucat. Mata dengan iris emerald itu membulat tanpa berkedip. Bibirnya terbuka hendak bicara namun kelu, tak ada suara.
Sret! Sakura bangkit dari aksi berbaringnya bersama Sasuke. Ia menatap sembarang dengan gugup yang tak bisa di tutup. Di lihatnya Sasuke sudah terduduk, maya elangnya menyipit menatap dirinya penuh tanya.
"Maksudku 'mu' adalah Gaara-kun! Ya benar! Tadi aku terbayang wajahnya!" Sakura mencoba mengontrol emosi pada suaranya, "aku menyukainya, aku mengaguminya... Tidak tidak! Aku mencintainya!"
Sakura menatap tajam, dirinya harus tenang. Berhadapan dengan wajah gugup melawan Sasuke sama saja bunuh diri. "Karena kita terus menempel di sekolah jadi kita harus jaga jarak, juga dengan Naruto!" Sakura berseru dengan telunjuknya mengarah tepat wajah Sasuke.
Sasuke terus memperhatikan apa yang gadis di hadapannya sedang katakan, menurutnya semua terdengar hambar. Ia merasa gadis itu hanya menutupi kegugupannya saja.
"Dalam waktu dekat aku akan berkencan! Tidak akan kalah darimu, Uchiha!" Sakura melangkahkan kakinya menuju pintu, tak lupa dengan wajah angkuhnya. Ia harus terbebas dari situasi ini. Kalimat yang ia siapkan dari awal akhirnya tersampaikan. Sekarang adalah waktunya untuk pulang.
Grep! Tubuhnya menegang saat di rasa lengan kirinya di sentuh seseorang. Di liriknya lengan itu. Oh rasanya Sakura ingin pingsan setelah melihat wajah tajam itu. Uchiha Sasuke menahan tangannya. Ia sedang menatap Sakura penuh selidik namun kemudian senyum kecil terpatri di bibirnya. Sakura merasa itu seperti senyuman licik.
"Bukankah kau bertanya dengan siapa aku berkencan?"
Sakura meneguk ludahnya susah payah. Tatapan onyx pria ini membuat kakinya seperti jelly. Ia harus segera menghindar sebelum kewarasannya menghilang.
"Aku hanya bertanya, tidak penasaran." Ujar Sakura berkilah.
"Kau cemburu?"
Shit. Sakura menghempaskan tangannya kasar hingga pegangan itu terlepas. Dilihatnya Sasuke dengan tajam. Terimakasih, kini emosinya memuncak. "Percaya diri sekali! Bermimpi saja kau, baka!"
Dengan begitu ia segera keluar dari kamar Sasuke cepat, sedikit berlari. Masuk ke dalam matanya adalah sihir yang harus di hindari, Ujarnya kepada diri sendiri saat merasa sudah aman jauh dari Sasuke.
Satu tangannya bergerak menyentuh dada kirinya. Rasanya, ada yang aneh.
Flashback end.
Sakura menggeleng pelan, kakinya bergerak menuju meja makan untuk sarapan. Lebih baik mengisi perut daripada membuang waktu untuk si pantat ayam.
"Kau terlihat pucat, apa kau baik-baik saja?"
Ibunya bertanya saat Sakura terduduk dan hendak mengambil lauk untuk sarapannya. Sakura memberikan senyuman kepada ibunya, "Tak apa, aku hanya kurang tidur."
Kizashi yang daritadi sibuk membaca koran di depan Sakura kini tertawa renyah, ia menatap anaknya bangga.
"Sebentar lagi ujian, semalam kau pasti belajar keras, Saki!"
Gerakan sendok di lengannya terhenti sejenak. Sakura mengerjap, "Ujian... Hm, yeah begitulah." tertawa miris menanggapi ucapan ayahnya karena ia bahkan lupa kalau ujian di adakan sebentar lagi.
Sarapannya berjalan tenang sampai ketika telinganya mendengar deruman motor dari arah luar. Sakura segera meninggalkan meja makan dan melihat melalui jendela. Terlihat Sasuke sudah siap dengan motornya, kepalanya sudah di tutup helm. Tak lama ia melaju meninggalkan pekarangan rumahnya dengan bibi Mikoto yang terlihat melambaikan tangannya. Sudut-sudut bibir Sakura melengkung sempurna. Sakura tersenyum senang.
"Baiklah! Aku akan berangkat setelahnya dan pulang setelah dia pulang juga!" Ucapnya dengan mata yang berbinar.
Sekarang ia harus memikirkan cara agar bisa berkencan dengan Gaara lalu memamerkannya pada Sasuke. Itu satu-satunya cara yang Sakura yakini mampu untuk melawan kebodohannya semalam.
Ini terhitung sudah 7 hari setelah insiden masuk kamar Sasuke. Ada yang aneh. Sasuke merasa seminggu ini kehidupannya berjalan tidak normal entah apa yang menjadi poin pentingnya. Sasuke tidak sudi untuk menyetujui fakta kalau Sakura lah penyebab semua ini. Sakura hanyalah tetangganya yang berisik juga sering masuk kamarnya dengan amat tidak sopan. Tapi dari hati kecilnya, ia merasa ini sedikit menggangu. Tolong garis bawahi kata sedikit. Apalagi ketika teman pirangnya mulai cerewet lebih-lebih dari sebelumnya.
Dilihatnya Naruto menekuk wajah dengan jengah. Sasuke yang tidak mau peduli hanya membereskan makan siangnya yang hari ini hanya habis setengah.
"Ini tidak seru!" Naruto berseru. Sumpit kayu yang sedari tadi ia pegang sekarang sudah terpotong menjadi dua. Sasuke berpikir bagaimana bisa mulut itu bekerja multifungsi ketika dari satu jam yang lalu mulut temannya itu tidak henti-hentinya bicara dan sekarang 2 cup ramen sudah habis tanpa sisa. Mata sapphire itu menatap Sasuke penuh selidik.
"Apa yang kau lakukan pada Sakura-chan, ttebayo?"
Mulai lagi, itu adalah pertanyaan yang menjadi favoritnya seminggu terakhir. Pertanyaan seolah-olah Sasuke sudah berbuat yang tidak-tidak pada Sakura. Sasuke hanya mengendikan bahunya acuh, ia mengambil sebuah botol air mineral dan meneguknya.
"Sudah 7 hari setelah aku masuk akibat sakit sialanku itu kenapa Sakura-chan sekarang seolah tidak mengenalku?"
Kedua tangan Naruto bergerak menjambak rambutnya sendiri, "Aku sapa ia menghindar, aku ajak makan siang ia mengabaikan, aku belikan es krim ia malah membanting pintu kelas!"
Kini Nauto menatap satu-satunya teman yang punya kunci jawaban atas sikap Sakura belakangan. Naruto yakin betul sembilan puluh sembilan persen kalau sikap Sakura seminggu terakhir berhubungan dengan teman berambut raven di depannya ini. "Dia kenapa sih, teme?!"
"Sinting." Sasuke menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya dari botol air yang ia pegang. "Dia bertambah sinting."
Rasanya Naruto ingin melepar 2 cup ramen kosong di depannya ke wajah Sasuke. Tapi tentunya ia tidak sebodoh itu untuk menanggapi Sasuke. Menghela nafas, Naruto menatap Sasuke yang terlihat tidak peduli dengan raut kesal, "ini pasti karena dirimu, Sasuke!"
Sasuke hanya memutar bola mata mendegarkan Naruto yang menyalahkan dirinya. Enggan untuk melihat wajah temannya.
"Tidak ada Sakura-chan makan siang dengan kita membuatku tidak nafsu makan." Naruto berucap seolah merasa teramat tersiksa dengan tidak adanya Sakura.
"Kau menghabiskan dua cup ramen, dobe." Sasuke membalas malas keluhan pedih teman kuningnya ini.
"Jika ada Sakura-chan aku akan makan tiga cup ramen, ttebayo!"
"Terserah." Merasa berlama-lama dengan Naruto akan membuatnya jengkel, ia segera berdiri meninggalkan temannya yang masih merajuk mengenai Sakura. Si Sakura itu pakai sihir apa sampai membuat Naruto uring-uringan begini?
Sasuke mendecak, ia kembali mengingat antara Naruto dan Sakura memang tidak ada yang waras.
"Kau harus meminta maaf pada Sakura-chan, Sasuke!"
Naruto sedikit berteriak ketika menyadari Sasuke sudah hampir menghilang di pintu masuk. Ia hanya menghela nafas melihat kelakuan temannya. Kalau sampai 2 hari lagi Sakura masih seperti ini, Naruto janji akan mencari tahu alasannya sendiri.
"Sakura?"
"Hm?" merasa namanya di panggil, Sakura menjawabnya dengan gumaman. Tangan dan matanya terlihat sibuk menyelesaikan soal matematika yang di berikan Kakashi-sensei 30 menit lalu.
Sampai 1 menit lamanya tidak ada kata lanjutan membuat Sakura mengalihkan perhatiannya pada teman cantik di sebelahnya yang sudah memanggilnya tadi. Ia menjatuhkan penanya begitu saja, lengan kirinya bergerak menyelipkan rambut sebahunya ke belakang telinga.
"Ada apa, pig?"
Ino menatap Sakura di sampingnya dengan tangan memangku wajahnya. "bukankah seminggu yang lalu kau berkata akan mengatakan sesuatu pada Sasuke-kun dan Naruto?"
Ino bertanya heran mengingat seminggu yang lalu Sakura bersikeras akan mengatakan keputusan penting pada kedua teman lelakinya. Mata Ino menyipit melihat Sakura yang terkejut seolah kata-kata Ino mengingatkannya sesuatu.
"Ah... Ya, aku hampir saja lupa."
Ino mengerjap, "Kau belum mengatakan apa-apa?"
Sakura menggelengkan kepala dengan cengiran di bibirnya. Ino menatapnya bingung. "Bukankah seminggu ini kau sudah menghindari mereka berdua?" Ino tidak habis pikir dengan kelakuan temannya seminggu terakhir ini yang terlihat menolak mentah-mentah kehadiran Sasuke juga Naruto. Yah, walau hanya Naruto saja sih yang gemar ke kelas mereka. "Ku kira kau sudah mengatakan keputusan penting itu." lanjutnya sedikit bergumam.
Sakura meringis, "itu untuk masalah yang berbeda, pig."
Ino menanggapinya dengan oh dan bertanya satu hal yang membuatnya penasaran seminggu ini. Aquamarine nya menatap Sakura penuh harap. "Memangnya seminggu lalu kau ingin mengatakan apa? Kau merahasiakannya dariku, forehead!"
Sakura mengetuk-ngetuk penanya di meja. Wajahnya terlihat memikirkan sesuatu. Ia membasahi bibirnya sedikit, tangannya bergerak menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Ino makin menyipit melihat tingkah teman merah mudanya ini.
"Aku dengar kabar kalau Hinata menyukai Naruto," Sakura menghela nafas sejenak. Ini menganggunya selama sebulan lebih. Akhirnya dengan gamblang ia mengatakan itu pada Ino. "kudengar dari Shino, Hinata cemburu padaku dan setelahnya Hinata selalu mengabaikan sapaanku."
Sakura bercerita bahwa sekitar dua bulan yang lalu Naruto memang mengantar Sakura setiap pergi dan pulang sekolah selama satu bulan penuh, tentunya itu bukan tanpa alasan. Mereka bertiga, Naruto, Sakura juga Sasuke bertaruh tentang siapa yang akan menikah duluan antara Asuma-sensei dan Kakashi-sensei. Naruto dengan cengiran bodohnya berujar yakin kalau Kakashi-sensei akan menikah lebih dulu karena menurut Naruto, Kakashi-sensei lebih tampan dari Asuma-sensei, membuat Sakura dan Sasuke tersenyum senang karena Naruto gampang di bodohi. Tentu saja Asuma-sensei yang akan menikah lebih dulu, kabar miringnya Kurenai-sensei tengah berbadan dua. Sayangnya Naruto tidak up-to-date sampai tak tahu kabar miring yang heboh beberapa bulan lalu itu. Jadi setelah sebulan membuat taruhan tiba-tiba undangan pernikahan Asuma-sensei dan Kurenai-sensei menyebar luas membuat Naruto menekuk wajahnya kala itu seharian penuh. Dengan kekalahannya Naruto menuruti perintah Sakura untuk mengantar jemput sekolahnya setiap hari. Walau sebenarnya Naruto tidak keberatan sama sekali dengan permintaan Sakura tapi yang jadi masalahnya adalah ia harus bangun lebih pagi karena arah rumah mereka berdua benar-benar berlawanan dengan sekolah.
"Jadi, mungkin itulah alasan Hinata mulai mengabaikanku, melihatku sebulan penuh berngkat pulang bersama."
Sakura menatap Ino yang masih seksama mendengarkan ceritanya, dilihat bagaimanapun Ino tampak antusias dengan cerita Sakura. "Permintaanmu sungguh mudah, kalau hanya begitu sih lebih baik dengan tetanggamu saja."
Sakura memutar matanya kesal, "Si Sasuke itu mana mungkin memberikan cuma-cuma tumpangannya padaku, Ino!"
Ino tertawa, melanjutkan pertanyaannya, "lalu Sasuke meminta apa pada Naruto?"
Sakura menjetik dahi Ino. "Lupakan tentang taruhan itu dan kembali pada Hinata, Pig." Wajah antusias Ino perlahan menghilang berubah menjadi dengusan kesal.
Mata hijau Sakura bergerak-gerak, bibir tipisnya perlahan melengkungkan senyum kecil. "Hinata gadis yang baik, pig. Mana mungkin aku tega menyakitinya."
Senyumnya semakin melebar. "Jadi awalnya aku memutuskan untuk mengatakan itu pada Naruto dan membuatnya agar tidak terlalu menempel padaku."
Bibirnya terkekeh geli, "dengan cara itu satu-satunya agar aku bisa berterimakasih pada Hinata yang selalu memberikanku salinan catatan biologi."
Ino tertawa dan mencubit pipi temannya ini gemas. Sebenarnya Ino sudah tahu gosip kalau Hinata menyukai Naruto sejak lama, namun ia mengira Hinata hanya mengagumi saja dan tidak mungkin cemburu (mengingat sifatnya yang penyabar dan penuh kasih) jadi Ino hanya mengganggapnya angin lalu tanpa peduli lebih.
"Lalu kenapa dengan Sasuke-kun? Kenapa kau ingin mengatakan sesuatu padanya juga?"
Ino masih terlihat bingung, ia menatap Sakura yang wajahnya terlihat gusar.
"Entahlah, waktu itu aku hanya kesal Karin selalu saja mengajakku bertengkar karena hal sepele tentang Sasuke."
Secara tiba-tiba Sakura memegang bahu Ino, wajahnya menunjukan senyum antusias. "Tapi sekarang sepertinya aku sudah menemukan alasan lain, pig!"
Bibir tipisnya lanjut berkata, "Tapi sebelum itu, kau harus membantuku agar berkencan dengan Gaara-kun! Kau mau kan?"
Ino yang masih bingung alasan Sakura tentang Sasuke akhirnya hanya menganggukan kepalanya, tersenyum sebagai jawaban ya atas permintaan sahabatnya untuk berkencan.
Walau hatinya agak ragu, kenapa harus Gaara?
Gaara membawa sebuah buku bertuliskan ekonomi di tangannya. Dia baru saja keluar dari perpustakaan. Menjadi kapten basket sekolah membuatnya terkadang mendapat dispensasi kelas karena kesibukan turnamen. Akibatnya pelajaran tertinggal dan tugas sekolah terbengkalai. Namun itu tak membuatnya menyesal, basket adalah hobinya. Ia bahagia dengan hanya berada di peringkat 70 sekolah. Itu sudah cukup asalkan hobinya tetap terlaksana. Lagipula siapa juga yang mau berada di peringkat 1 menjadi saingan dari Uchiha Sasuke? Mari buat pengecualian untuk Shikamaru yang peringkatnya berlomba dengan Uchiha.
Raut wajahnya tidak banyak berubah ketika berjalan santai di koridor, tetap dingin dan tegas. Dieratkannya tas yang berada di punggungnya, tangan kanannya ia masukan ke saku celana seragamnya. Bibirnya melengkung saat pandangannya menangkap gadis merah muda sebahu sedang membelakanginya di depan. Jaraknya hanyalah sekitar 10 meter. Tanpa ragu, Gaara mempercepat jalannya agar langkahnya sama dengan gadis itu.
"Sakura-san?"
Sakura yang merasa pundaknya di tepuk menoleh ke arah samping dimana ia terkaget melihat Gaara disampingnya menatap ke arahnya.
"O-oh hai," Sakura tersenyum canggung. "Latihan atau pulang?"
Gaara menunjukan buku yang sedari tadi ia pegang di tangan kirinya, "Pulang, aku harus belajar." bibirnya terkekeh kecil.
Sebelumnya Sakura tidak pernah tahu kalau Gaara mudah sekali tersenyum. Selama sebulan terakhir memperhatikan pria itu Sakura biasanya hanya menemukan wajah dingin yang enggan banyak bicara, seperti tetangganya. Namun sekarang ia bersyukur karena Gaara ternyata sungguh berbeda dengan Sasuke.
"Kau harus banyak belajar," Sakura tertawa menampilkan cengiran kecil, "ujian akan datang."
Gaara mengangguk, jalannya melambat mengikuti Sakura. "Kau bagaimana? Tidak ikut kelas tambahan?"
Sakura menggeleng cepat, "tidak, itu merepotkan." Hatinya sedikit tertawa, kelas tambahan bukanlah gayanya.
Gaara menanggapinya dengan tawa kecil setelah itu sunyi menerpa mereka. Hanya suara ketukan sepatu yang mengiringi langkah mereka sampai keluar sekolah. Gaara merasa seolah ada yang menahannya ingin lebih lama dengan wanita berambut gulali tersebut. Di hentikannya langkah itu membuat Sakura pun melakukan hal sama dan menatap Gaara dengan raut bingung.
"Bagaimana dengan secangkir kopi dan sepotong kue?"
Sakura menatap Gaara yang kini tersenyum miring. Emerald itu berbinar dengan senyum di bibir tipisnya yang tersungging.
Oh Tuhan! Ini terlalu cepat kau kabulkan doaku. Hatinya berteriak senang.
"Tentu, ayo!"
Sudah satu jam berlalu sejak Naruto memasuki kamarnya mendapati teman berambut ravennya itu sedang meringkuk malas di sofa. Tangannya sibuk menyentuh layar smartphone yang ia pegang. Naruto sedikit menyipit dan mendapati temannya bermain game kekanakan.
Memutar bola matanya, Naruto merasa heran dengan kelakuan Sasuke seminggu terakhir. Laki-laki yang tidak banyak bicara itu sekarang makin hemat bicara. Bisa di hitung berapa kali mereka berdua mengobrol dengan Naruto yang terus bertanya dan Sasuke menjawab sekenanya. Apakah ini berhubungan dengan Sakura-chan atau gadis pirang murid sekolah lain yang belakang ini dekat dengan Sasuke, Naruto terus bertanya-tanya.
"Hentikan permainan bodohmu, teme! Kau terlihat aneh." Naruto memandangnya makin ngeri melihat Sasuke semakin fokus pada gadgetnya. Itu adalah games Where's My Water. Sebuah aplikasi permainan yang sering sepupu umur 6 tahunnya mainkan. Game bodoh tentang buaya yang menunggu air turun padanya untuk mandi. Darimana Sasuke tahu permainan seperti itu?
"Bukankah kau harus menjemput Shion?"
Membuka kaleng soda yang ia bawa dari lemari pendingin, Naruto segera meminumnya untuk menyegarkan tenggorokannya yang terasa kering. Matanya melirik Sasuke yang masih bergeming.
"Bisakah kau menjemput Shion untukku?"
Naruto hampir saja tersedak minumannya sendiri. Tergambar jelas wajah Naruto penuh raut kesal tapi sang penyebab masih saja santai memainkan gadgetnya.
"Kenapa harus aku?!"
Sasuke menghempaskan gadget di tangannya sembarang. Di ubahnya posisi duduk menjadi terbaring di sofa, matanya lurus menatap langit-langit kamar putih polos itu. "Menyuruh Kiba hanya akan membuat masalah."
Pluk! Naruto melempar bantal di ranjangnya nyaris mengenai wajah Sasuke yang matanya hampir terpejam. "Kalau begitu kau saja! Kau kan calon pacarnya!" ujarnya kesal.
"atau mungkin sekarang sudah berpacaran." tambahnya sinis.
Heran dengan kelakuan temannya yang sekarang berancang-ancang untuk menuju mimpi, Naruto bertanya-tanya apa yang membuat Sasuke se-idiot ini? Naruto mengenal Sasuke sejak masih junior high school, bukan sebagai teman sekolah tetapi sebagai teman di tempat bimbingan belajar yang sama. Hingga akhirnya pertemanan keduanya bertambah erat kala memasuki sekolah menengah atas bersama. Sasuke bukan lelaki yang selalu bercerita tentang asmara juga gadis. Dia agak tertutup masalah wanita. Bahkan sampai sekarang hanya dua nama gadis yang berhasil keluar dari mulut lelaki itu. Sakura dan Shion. Jadi, bisa disimpulkan oleh Naruto kalau 2 gadis tersebut memiliki tempat tersendiri di hati Sasuke.
Tapi hari ini Naruto mendadak ragu dengan pendapatnya antara satu dari gadis itu. Shion. Apakah benar gadis itu berhasil menempatkan diri di hati Sasuke? Mengingat sekarang lelaki itu seolah tidak peduli pada gadis tersebut.
Tidak, bukan hanya sekarang tapi juga kemarin-kemarin.
"Kau ada masalah dengan dia?"
Sasuke tetap memejamkan matanya, bibirnya terbuka sedikit. "Dia?" seolah bertanya siapa yang di maksud Naruto.
Naruto menyeringai, "menurutmu dari awal kita sedang membicarakan siapa?"
Sasuke merengut kesal tanpa disadari Naruto. Perkataan lelaki itu telak membuat moodnya jatuh sampai titik terendah. Ia tidak berniat melanjuti pembicaraannya dengan Naruto.
"Shion meneleponku 3 hari yang lalu." Naruto kembali meneguk sodanya yang tersisa setengah. "Yah, hanya informasi saja, sih." lalu melemparkan kaleng yang isinya baru saja habis itu ke dalam keranjang sampah di samping meja belajarnya.
"Dia menanyakan kabarmu, nada suaranya terdengar khawatir, katanya kau tidak pernah menghubunginya sejak kencan kalian minggu lalu"
Naruto sadar Sasuke sama sekali tidak tertidur. Jadi dia akan melanjutkan omongannya tentang Shion. Sebenarnya hal itu mengganggu Naruto. Bukan tentang Shion yang khawatir tapi tentang Sasuke. Masih teringat setahun lalu saat Sasuke mengatakan ia menyukai gadis sekolah lain. Membuat saat itu Naruto membulatkan matanya tidak percaya, karena ia kira Sasuke menyukai tetangganya namun lagi-lagi dugaannya meleset.
"Apa kau benar-benar menyukai Shion?" Suara Naruto terdengar tenang dan tidak menuntut jawaban, dia kembali melanjutkan perkataannya, "Kurasa Shion benar-benar menyukaimu, ia bahkan mengajakmu kencan lebih dulu."
Naruto menghela nafas, "Sasuke, kalau kau tidak berniat berlabuh di hatinya lebih baik hentikan."
Untuk yang satu ini Sasuke membuka matanya tiba-tiba, ada rasa aneh saat mendengar kata-kata yang paling di hindarinya belakangan ini.
"Menaruh harapan tanpa adanya niat untuk membuka hati, kau hanya akan menyakitinya secara perlahan."
Tolong ingatkan Sasuke untuk bersikap sedatar-datarnya manusia sekarang karena tiba-tiba kerutan mulai muncul di dahinya. Agaknya menghajar Naruto akan lebih baik tapi itu tidak akan menyelesaikan masalah hatinya yang sekarang benar-benar gelisah. Sasuke harus pergi dari situasi ini. Moodnya berantakan dan dia tidak punya alasan untuk mengkonfirmasi perkataan Naruto.
"Kau terlalu banyak omong, lagakmu seperti pernah 100 kali kencan saja." Sasuke menyeringai. "Kau lebih payah dariku dalam urusan ini."
Naruto menatap diam punggung Sasuke yang berlalu pergi meninggalkan kamarnya. Sesaat Naruto melihat kilatan marah dari wajah itu atau mungkin risau?
Bukan tanpa alasan dia mengatakan hal-hal seperti tadi. Bukan juga untuknya ikut campur dalam percintaan Sasuke. Dia tahu pengalamannya benar-benar nol besar dalam hal percintaan. Tapi sikap Sasuke pada Shion perlu di tindak. Sasuke tidak pernah sadar akan akibat tindakannya. Naruto hanya tidak ingin membuat Sasuke nanti menyesal akan keputusannya sendiri.
Alunan musik menggema di ruangan bertema black and white tersebut. Kafe modern yang terletak di pinggiran Tokyo dekat dengan sekolah Suna tersebut terlihat lenggang tidak seperti kebanyakan kafe yang ramai di jam-jam seperti ini. Sakura melihat sekelilingnya menatap kagum desain interior ruangan kafe ini. Gaara sedari tadi melihat gadis di depannya tersenyum senang dengan satu slice tiramisu yang belum di habiskannya.
"Maaf membawamu terlalu jauh dari sekolah."
Sakura tersenyum, "Tak apa, aku suka kafe ini." bibirnya bergerak meminum iced vanilla latte yang sudah ia pesan.
"Sebenarnya aku mengajakmu kesini sekalian bertemu dengan sepupuku yang bersekolah di Suna."
Gaara menatap wajah Sakura yang penuh tanya, "Dia bilang ingin di temani karena merasa kesepian, orangtuanya sibuk bekerja."
Sakura terkekeh, mata hijaunya berbinar menyiratkan rasa senang karena akan berkenalan dengan orang baru. Sakura suka bertemu orang baru, dia suka berteman dengan siapa saja.
"Laki-laki atau perempuan?" Sakura bertanya antusias.
"Perempuan dan dia sangat-manja."
Perkataan Gaara sukses membuat Sakura tertawa. Gaara mengatakan kata manja dengan kesal namun terlihat gemas di mata Sakura. Sepertinya sepupunya ini begitu dekat dengan Gaara. Terlihat lelaki itu dengan senang hati amat menanti kemunculan sepupunya.
"Apa dia berada di tingkat yang sama seperti kita?"
Gaara hendak menjawab namun suara seseorang memasuki pintu masuk membuatnya mengalihkan pandangan dari Sakura. Tangannya bergerak ke atas membalas lambaian gadis berambut pirang panjang yang tersenyum di kejauhan.
"Gaara!"
Gadis itu berteriak kecil dan menghampiri Gaara hendak memeluk lelaki itu namun di tahan segera oleh Gaara. Ini agak memalukan. Gadis itu hanya cemberut mendapat penolakan mentah dari sepupunya. Ia mengambil kursi di sebelah Gaara untuk di duduki, masih belum menyadari sepasang mata emerald memandangnya kagum.
Cantik sekali, Sakura memuji dari dalam hatinya. Gadis itu seperti putri yang keluar dari negeri dongeng. Sakura menatapnya tidak berkedip. Bahkan Sakura merasa gadis di depannya ini mirip dengan barbie miliknya yang berambut pirang.
"Sakura, kenalkan dia sepupuku, Shion."
Shion yang baru menyadari ada seorang gadis di depannya, tersenyum canggung. Ia meringis menyalahkan matanya yang tidak melihat ada seorang selain sepupunya disini.
"Ah- maaf tidak menyadarimu, aku Shion, kau?"
Walau wajahnya agak angkuh tapi senyum simpul menghiasi bibirnya membuat Sakura membalas senyum itu tak kalah manis. "Sakura, Haruno Sakura."
"Cantik, seperti bunga sakura sungguhan."
Sakura hanya tersipu mendengar pujian dari gadis secantik Shion. Dia tidak tahu harus membalas apa selain terimakasih yang terdengar gugup.
Shion kembali memandang Gaara di sampingnya yang terlihat sedang menikmati kopinya dengan tenang. "Gaara, aku akan pindah ke sekolahmu loh minggu depan."
"Apa?"
Gaara menatap bingung Shion di sampingnya yang sedang merona senang. Kepala itu mengangguk-angguk meyakinkan Gaara. "Kaa-san sudah mengurus kepindahanku dua minggu lalu. Bersenanglah, kau orang pertama yang kuberi tahu tentang ini."
Gaara merasa ini tiba-tiba, dulu sekali ia pernah mengajak Shion untuk bersekolah bersamanya agar bisa menemani gadis manja itu yang selalu beralasan kesepian tapi, ia menolak mentah-mentah untuk bersekolah di Konoha. Katanya di sana terlalu banyak murid bermasalah. Memang pada dasarnya Shion adalah gadis manja yang sulit bergaul. Wajahnya angkuh dan terlihat pilih-pilih berteman. Ia sudah bersekolah di Suna sejak junior high school. Pindah sekolah hanyalah merusak zona nyamannya. Namun sekarang Gaara tidak mengerti dengan pilihan Shion yang menurutnya terkesan aneh.
"Aku ingin mencoba suasana baru. Kurasa pindah sekolah adalah pilihan tepat."
Gaara mengernyit dahi, "Kita sudah akan memasuki tahun ketiga, ini terdengar konyol, Shion."
Shion hanya mengibaskan tangannya tidak peduli. Wajahnya berbinar ketika memikirkan hal lain tentang sekolah Konoha.
"Apa aku sudah bercerita padamu kalau kekasihku satu sekolah denganmu?"
"Kau berkencan?"
Nada suaranya sedikit tersentak. Gaara hanya tidak menyangka Shion akan berkencan, terlebih lagi dengan anak sekolahnya. Gaara bertanya-tanya siapa lelaki Konoha yang menarik perhatian Shion.
"Hum, kau kenal dia tidak? Dia tampan! Sangat tampan!"
Bibir Shion terbuka menyebut dengan riangnya nama lelaki yang tidak asing di telinga Gaara.
"Uchiha Sasuke!"
Sakura yang sedari tadi seperti obat nyamuk kini menghentikan kegiatan tidak bergunanya selama 10 menit, memutar-mutar sedotan di gelas lattenya yang sudah habis sejak lama.
Sakura menaikan sebelah alisnya menatap Shion yang masih menyunggingkan senyum binarnya pada Gaara. Mencoba mendengar lebih jelas tentang nama yang ia dengar, bibir Sakura berucap pelan namun masih terdengar jelas di telinga kedua orang di depannya,
"Maaf.. Siapa?"
To be continued...