[REPOST]


a Chanbaek Fanfiction by Bikiya

"His Little Boy"

Cinta itu seperti permen karet. Perumpamaan tersebut benar nyata adanya bagaimana kini Baekhyun berakhir dengan dicampakkan oleh Chanyeol.


Hope you guys enjoy it~! ^ - ^

.

.

.

...


Chapter 1 : His Boy


Park Chanyeol dengan sebuah gitar merah yang menggantung di lengannya, menapakkan masing-masing kakinya pada lorong kampus yang sedang lenggang siang itu. Studio dengan nomor 614 menjadi tujuannya. Langkah kaki pria itu adalah satu-satunya yang terdengar sekarang, namun tak lama kemudian gema suara itu berhenti. Keributan lain di dalam menjadi alasannya dan Chanyeol mengernyit. Hanya sesaat sebelum kemudian dia betul mengenali ciri khas permainan gitar yang sumbang terdengar itu berasal dari siapa.

Chanyeol memutuskan membuka pintu studio perlahan dan benar menemukan seorang anak laki-laki bersama sebuah gitar putih yang dimainkannya.

Itu Baekhyun.

Senyum Chanyeol pun tampak di detik berikutnya. Dia melangkah masuk dan menutup pintu hati-hati—tak ingin mengganggu Baekhyun yang masih belum menyadari eksistensi dirinya.

Pria dengan nama keluarga Park itu menyandarkan setengah tubuhnya pada daun pintu, memperhatikan si mungil di depannya tanpa berniat ingin mengusik. Itu terjadi selama beberapa menit. Saat permainan gitar Baekhyun berhenti, barulah Chanyeol bersuara.

"Bersenang-senang, hm?"

Baekhyun segera mengalihkan fokusnya ketika pertanyaan itu terdengar. Dia berbalik sepenuhnya, senyum terkembang dan Baekhyun memekik senang.

"Chanyeol!" Anak itu berlari, menubruk Chanyeol kemudian dalam sebuah pelukan lalu berjinjit untuk menyandarkan kepalanya di bahu yang lebih tinggi.

Chanyeol menyambutnya dan tak tega melihat seperti apa Baekhyun kesusahan berjinjit seperti itu. Maka Chanyeol memperendah tinggi badannya dan Baekhyun semakin menyamankan diri di sana.

"Aku bosan terus berada di rumah, jadi aku pergi saja ke studio." Baekhyun mengujar alasan mengenai keberadaannya di sini.

"Mengapa tidak bilang sebelumnya? Jadi kita bisa berangkat bersama."

Baekhyun melepaskan pelukan hangat itu pertama kali lalu menengadah menatap Chanyeol. "Karena aku mendadak menginginkannya."

Chanyeol mendengus geli. Jawaban seperti itu sudah sering dia dengar dari Baekhyun dan nyatanya Chanyeol tetap mengertikan hal itu.

"Jennie yang mengantarmu kemari?" Tanyanya lagi dan Baekhyun mengangguk.

"Aku menyuruhnya untuk menunggu di luar. Apa kau tidak melihatnya?" Sipit Baekhyun mengerjap bingung ketika si yang lebih tinggi tahunya menggeleng menjawab.

Pria dengan umur 25 tahun itu kemudian berdecak main-main. "Kau tahu, dari luar aku sudah tahu kalau studioku sedang kedatangan laki-laki cantik yang pernah ada."

Baekhyun terkikik kemudian memperbanyak jarak mereka lagi, menuju sudut lain untuk mengalihkan hangat di pipinya yang terasa berkat kalimat terakhir pria itu. Chanyeol mengikutinya di belakang, dan Baekhyun teringat dengan tujuan pria tinggi itu di sini. Baekhyun berbalik badan dan menatap Chanyeol kembali.

"Kau akan latihan, kan? Dimana yang lainnya?"

"Sehun mengatakan akan datang lebih lambat dan aku tak perlu menanyakan alasannya." Sahut Chanyeol.

"Dia memang selalu seperti itu." Baekhyun mendengus gemas dan Chanyeol hanya tersenyum mafhum menanggapi. "Lalu Kak Kris?" Tanyanya lagi mengenai satu anggota grup yang lain.

"Sehun sedang bersamanya."

"Jadi untuk beberapa menit ke depan hanya ada kita berdua saja di studio ini?"

"Tiga." Chanyeol menggeleng meralat.

Baekhyun lagi mengerjap bingung karena karena pikirnya tak ada siapapun lagi selain mereka di tempat ini, namun tak lama remaja 16 tahun itu langsung mengerti saat menangkap lirikan mata Chanyeol tertuju pada tubuhnya. Baekhyun serta merta tertawa.

"Ah, kau benar." Gumamnya mengerti. "Kalau begitu mulai saja dengan pekerjaanmu, aku ingin bermain-main dengan gitar ini lagi."

"Dasar." Chanyeol terkekeh pelan dengan gelengan kepalanya. Tapi tetap menuruti perkataan remaja berinisial Byun itu.

Chanyeol duduk di atas kursi, mengeluarkan semua barang keperluan pekerjaannya yang akan mengaransemen lagu seperti biasa. Gitar merah yang sedari tadi menggantung di bahunya kini telah berganti berada di pangkuannya. Chanyeol kini mencocokkan nada-nada yang kiranya pas untuk lagu mereka ke dalam permainan gitarnya.

Semua nada yang telah dia buat nyatanya berhasil. Chanyeol sedikit banyak berbangga akan karya baru yang telah diciptakan untuk band miliknya. Maka dia mainkan kembali gitarnya diiringi dengan lirik lagu di sana.

Maeil gatci nan tto kot noraereul lallalalla~ Hana dul ssig ssahyeoganeun naui aelbeomsoge yeppeun sajin baby~ Nuneul tteodo gamado eonjena neoman saenggakhae e-babe~ Geu odilgabwado neo mankeum deo areumdaun eobdago~

You are, geunyang malhagosipeo~ You are, nisoneul jabgosipeo~ You are, anincheog haebwado na, ojig neoman hangsang saenggakhae, You are~

"Aku ingin kembali menjadi vocalist di band ini, Chanyeol." Baekhyun langsung berujar ketika pria itu selesai bernyanyi. Chanyeol menoleh padanya. "Aku rindu bernyanyi di atas panggung dan mendapatkan tepukan dari yang lainnya."

Dengusan sarkasme tak sadar Chanyeol keluarkan kemudian. "Bilang saja kau rindu mendapat pujian dari teman-temanku."

"Semua orang'kan selalu memujiku."

Itu sudah bukan lagi hal yang baru diketahui Chanyeol memang, namun tetap tak memungkiri bahwasannya kesal dalam diri sedikit banyak mengganjali Chanyeol. Sebenarnya perasaan itu lebih kepada tak suka saat Baekhyun mendapatkan beberapa sanjungan yang berlebihan dari teman-temannya.

"Teman-temanku itu menggodamu, Baek."

Iya, sanjungan itu merupakan sebuah godaan yang hakiki. Namun Baekhyun terlalu polos untuk mengerti.

Gitar putih tak lagi dimainkan remaja itu, kini dia beralih sepenuhnya pada Chanyeol. Meski lelaki dengan perawakan besar itu tengah memunggunginya, Baekhyun tetap dapat tahu air muka apa yang ditunjukkan Chanyeol sekarang walau hanya dengan mendengar nada bicara lelaki itu yang seperti tadi. Untuk beberapa detik Baekhyun terdiam, namun tawanya tak lama langsung meledak entah apa yang dia tertawakan. Tapi yang pasti itu bersumber dari Chanyeol.

Baekhyun bawa langkahnya mendekat pada si tinggi. Gitar putihnya tersampir di punggung dan Baekhyun tak mau mengindahkannya. Alih-alih merunduk, memeluk leher yang lebih tinggi dengan senyum yang tertahan di bibir.

"Kau cemburu, ya?" Kemudian berbisik main-main tepat di depan lubang telinga pria itu.

"Tentu saja, aku kekasihmu. Hanya boleh aku saja yang bisa membuatmu merona." Chanyeol cepat menyahuti dengan penuh tekanan di tiap kalimatnya.

"Tapi aku tidak pernah merona saat teman-temanmu menggodaku." Baekhyun meyakini itu lewat matanya yang menajam disertai banyak gelengan. "Lagipula, semua orang sudah tahu aku ini sudah menjadi milik seorang Park Chanyeol." Baekhyun mengujar lagi dan Chanyeol mulai menahan senyumannya di tempat, tahu benar kekasih mungilnya akan mengatakan apa setelah ini.

"Apalagi sekarang aku sedang hamil anak Chanyeol."

Kini balik Chanyeol yang tertawa. Lelaki itu sedikit tergadah guna melihat wajah Baekhyun di belakangnya yang benar merona sekarang. Gitar di pangkuannya tak lagi Chanyeol pedulikan, alih-alih ia bawa telapak tangannya yang lain menapak pada belahan pipi Baekhyun dan ia dekati wajah itu tanpa segan.

Debaran kencang nan menyenangkan dari keduanya tentu tak luput menemani. Chanyeol benar merasakannya dengan baik, dan kian bertambah ketika bening mata Baekhyun berpancar hal yang sama dimiliki Chanyeol.

Baekhyun mengembangkan senyumannya. Malu menderai dan mungkin kini wajahnya telah bertransformasi menjadi tomat matang. Namun konyol bagaimana Baekhyun begitu menyukai tiap sensasi seperti ini. Tangan Chanyeol di pipinya, Baekhyun rasakan hangat mengusap kulitnya, menghantarkan ribuan volt listrik statis pada rongga dadanya.

"Apa hari ini aku sudah mengatakan kalau aku mencintaimu?" Chanyeol berbisik kemudian, dalam matanya tak berubah menatap objek yang masih sama sedang tangannya mulai merambat pada belakang anak rambut Baekhyun.

Baekhyun berdehem semangat. "Saat kita bangun tidur kau mengatakannya, lalu saat kau pergi latihan juga mengatakannya lagi." Lalu terkekeh mengingat betapa romantisnya Chanyeol di tiap harinya.

"Dan kini saat sedang latihan aku pun akan mengatakannya." Chanyeol menimpali. "Aku sangat mencintaimu."

"Aku juga sangat mencintaimu, Chan." Balasan Baekhyun berganti menjadi sebuah rengekan memalu, anak itu tak kuasa menahan degup jantungnya yang seakan meledak kala Chanyeol mendaratkan sebuah kecupan di bibirnya. "Chanyeol~" Baekhyun merengek lagi. Chanyeol menanggapi dengan tawaan pelan lalu kembali mendaratkan ciuman yang serupa.

Itu berubah di detik berikutnya. Chanyeol mulai membungkam bibir si mungil dengan lumatan lembut juga belaian lidah yang membuat Baekhyun terlena. Chanyeol memutar kursinya guna memudahkan kegiatan mereka, lalu ia tarik pinggang kekasihnya itu dan memeluk erat. Lumatan masih berlanjut, disertai sesapan memabukkan di tiap inci bibir kenyal Baekhyun dan anak itu membalasnya seperti biasa.

Terlalu hanyut dengan apa yang mereka lakukan, Chanyeol maupun Baekhyun sama-sama tak sadar tempat ini sudah tak lagi dihuni keduanya.

Sehun yang menjadi orang terakhir menutup pintu studio, sukses menjatuhkan rahangnya untuk pemandangan pertama yang dia dapat.

"Oh lihat, ternyata ini yang dilakukan ketua bila kita terlambat latihan." Decaknya berujar, menghentikan Chanyeol dan Baekhyun seketika.

...

"Baekhyunie!"

Suara menggelegar itu berhasil menyentak Baekhyun yang sedang celingukan. Dia menolehkan kepalanya cepat pada sumber suara dan benar menemukan perempuan itu di sana. Di arah jarum jam sebelas. Baekhyun menghampiri dengan bibir mengerucut, mendumel dalam hati betapa pada Jennie yang dia cari sedari tadi yang tahunya wanita itu sudah berada di dalam mobil.

"Jennie, kau tidak mengatakan padaku sudah masuk mobil duluan." Protes Baekhyun, masih mengerucut dan menghentak punggungnya di kursi mobil kemudian.

"Aku akan mengatakannya tadi, tapi tidak jadi karena tidak mau mengganggu Baekhyun yang bersama calon suaminya."

Baekhyun berganti membulatkan matanya pada perempuan yang menjadi pengasuhnya itu. "Kau melihatnya?"

"Hanya sebentar." Jennie cengengesan. "Omong-omong, itu bukan lagi hal yang baru kulihat dari kalian berdua, kok."

Ucapan santai itu membawa Baekhyun pada dengusan lain. "Dasar perempuan yang suka mengintip."

Jennie tak lagi menanggapi dan hanya terkikik merasa wajah memerah Baekhyun sekarang adalah hiburannya. Mobil mereka mulai meninggalkan tempat dan membelah jalanan kota Seoul.

"Kau tidak lupa pada jadwalmu sekarang, kan?" Perempuan itu mengalihkan topik pembicaraan mereka.

"Aku tidak melupakannya tapi aku malas belajar untuk sekarang." Baekhyun mendesah pelan.

Lunglai ucapan itu membuat Jennie mengernyit sesaat, matanya benar tak menangkap adanya semangat sedikitpun dari sipit anak itu. Berbeda di hari lalu, Baekhyun begitu bersemangat tiap kali tiba pada jam belajarnya untuk tujuan yang sama.

"Kenapa? Bukankah kau bilang kau ingin cepat mendapat ijazah SMA?"

"Tapi Guru Kim membuat aku tidak bisa berkonsentrasi saat belajar, Jennie."

Itu mengenai hal dimana Baekhyun tidak pernah diberikan waktu istirahat oleh pria tua yang menjadi salah satu gurunya itu. Dalam dua jam, Baekhyun hanya diberikan materi lima belas menit, selebihnya Baekhyun mengerjakan banyak soal-soal dengan Guru Kim yang tanpa henti menatapnya. Baekhyun jelas menjadi tidak nyaman.

Jennie tahunya tertawa mengerti kendala anak asuhnya tersebut. "Itulah jawaban dari mengapa kebanyakan orang tidak mau Home Schooling, Baekhyunie."

...

Pertemuan pertama Baekhyun bersama Chanyeol dimulai 2 tahun lalu.

Saat itu Baekhyun masih berusia 14 tahun, ayahnya menggabungkan Baekhyun dalam sebuah organisasi musik di kampus—yang kebetulan terdapat Chanyeol di sana. Baekhyun menjadi vocalist dan mulai terkenal sedikit banyaknya di kampus tersebut.

Pribadi Baekhyun yang mudah bergaul membuatnya cepat dekat dengan siapapun. Tapi yang paling dekat di antara anggota lainnya, Baekhyun lebih sering bersama Chanyeol. Makan bersama, latihan lebih sering berduaan, dan jalan-jalan pun hanya berdua saja.

Dan nyatanya tidak hanya Baekhyun saja yang memperilakukan Chanyeol dengan beda, pula sama halnya dengan lelaki bermarga Park itu.

Chanyeol tidak terlihat menganggap Baekhyun sebagai adik saja, lebih spesial dan konyol tahunya itu didasari oleh perasaan sayang berlebih—jelasnya cinta. Chanyeol tak tahu apa yang merasuki dirinya saat itu sampai-sampai dia berani menyatakan perasaannya pada Baekhyun yang masih 14 tahun.

Di awal musim semi, di saat itulah Chanyeol pun tahu bahwasannya Baekhyun memiliki perasaan yang sama. Itu akan menjadi kenangan terindah mereka yang takkan dilupakan. Aneh rasanya memang, Baekhyun masih SMP sedang Chanyeol sendiri sudah berada di bangku kuliah. Namun itu bukanlah menjadi suatu hambatan untuk mereka bisa bersama sampai saat ini.

Lalu saat mereka merayakan hubungannya yang ketiga ratus enam puluh lima hari, Chanyeol menggauli Baekhyun untuk pertama kali. Di suatu hotel yang Chanyeol sewa berkat Baekhyun yang merekomendasikan. Tempatnya sangat indah hingga Chanyeol dan Baekhyun terhanyut dalam suasana dan tahu-tahu mereka telah bertelanjang entah dari kapan.

Walau ciuman serta berbagai sentuhan seksual telah Chanyeol lakukan beberapa kali bersama Baekhyun, tetap seks mereka tidak pernah melakukannya. Alasannya sederhana, Chanyeol tidak mau membuat Baekhyun berpengalaman di usia yang masih muda.

Tapi sekarang, keduanya sama-sama bernafsu dan meskipun Chanyeol ingin berhenti, Baekhyun-lah yang sebaliknya. Terus menggoda hingga akhirnya Chanyeol menyerah dan melanjutkan sesi selanjutnya.

Jadi mereka benar melakukan seks malam itu. Seks yang pertama dengan akhir yang begitu hebat.

Dan tahunya setelah seks pertama itu terjadi, Chanyeol jadi lebih berani menyentuh Baekhyun tanpa perlu malu bila penisnya kedapatan berdiri oleh kekasihnya. Baekhyun pun demikian. Seks bukan lagi hal yang baru, kegiatan itu jadi lebih sering dilakukan bila mereka bertemu dan terkadang melakukannya di studio jika telah selesai latihan.

Hubungan yang seperti itu terasa menyenangkan. Hingga di satu setengah tahun tak sadar telah mereka lewati, Chanyeol menerima panggilan dari keluarga Baekhyun, dan dia disuruh datang ke kediaman Byun.

Itu bukan lagi hal yang mendebarkan untuk Chanyeol. Keluarga mereka masing-masing telah mengetahui hubungannya dengan Baekhyun. Karena itu Chanyeol leluasa datang, dan bermesraan dengan putera semata wayang Keluarga Byun walau di hadapan kedua orang tua Baekhyun sekalipun.

Seharusnya..jika saja Tuan Byun tidak tiba-tiba mengatakan hal yang membuat Chanyeol nyaris lupa nama.

"Chanyeol, kenapa kau gauli anak kami yang masih kecil ini?"

"Aku sudah besar!" Protes Baekhyun cepat, langsung melepaskan pelukannya pada Chanyeol dan menatap sang ayah dengan marah. Tapi tak ada yang mau peduli dengan itu.

Sementara Chanyeol langsung tergugu dan sama sekali tidak bisa mengecilkan diameter bola matanya ketika itu. Terbuka lebar dengan lidah kelu sedang motorik mulai lamban berfungsi.

"I-Itu—" Tahunya bulat mata ia masih sempat melirik Baekhyun yang tersenyum lebar seolah rahasia mereka yang diketahui orang tuanya tidak pernah terbongkar. Dan Chanyeol benar tak mengerti, mengapa Baekhyun bisa sesantai itu?

Tak sadar Chanyeol malah terdiam, tak lagi melanjutkan ucapannya. Tuan Byun berdehem dan Chanyeol kembali pada dunianya.

"Jadi bisa kau ceritakan awal kenapa kau jadi berani melakukannya bersama Baekhyun?"

Itu Nyonya Byun yang bersuara, lembut terdengar tapi tetap tak mempengaruhi gugup Chanyeol sedikitpun.

Sebaliknya dengan Baekhyun. Anak itu tahunya langsung melonjak di tempat dan berseru dengan semangat. "Aku! Aku! Biarkan aku yang menceritakannya, Chanyeol!"

Chanyeol tak melarang. Hanya bisa meringis diam-diam selagi Baekhyun bersemangat menceritakan pengalaman pribadi mereka seolah itu adalah dongeng pengantar tidur.

"Jadi..."

Baekhyun memulai. Menceritakan saat dimana perayaan kesatu tahun hubungannya berlangsung, menyewa satu kamar hotel kelas teratas dengan pemandangan air kolam di luarnya. Baekhyun menceritakan bagian dia begitu senang mendapatkan kejutan spesial dari Chanyeol, mengatakan kekasihnya itu sangat romantis dan selanjutnya...blah bla blah.

Ketiga orang yang lebih dewasa hanya bisa mendengarkan, walau Tuan Byun ingin sekali berkata untuk mempercepat cerita dan berhenti membicarakan Park Romantis Chanyeol—Baekhyun malah berseru untuk tetap mendengarkan saja sampai akhir.

Hingga tiba saat ciuman itu dimulai—Baekhyun lagi menceritakannya dengan amat detail sampai di bagian mereka melakukan seks.

Tuan Byun melirik Chanyeol diam-diam, memberikan death glare yang langsung dimengerti Chanyeol saat itu juga.

Chanyeol mengalihkan gugupnya cepat dengan kembali menyimak cerita Baekhyun, perihal seksnya yang sangat gila juga pada bagian dimana Baekhyun pergi ke dokter bersama Nyonya Byun lalu diberikan surat keterangan yang menyatakan Baekhyun kini sedang hamil.

Hamil?

Loading...

Apa?!

Seketika otak Chanyeol kembali mendapatkan fungsinya. Langsung menengang dan responsif pertama lelaki itu ialah matanya yang seolah akan menggelinding lagi.

"Kau hamil, Baek?!"

Di depannya Baekhyun mengangguk santai. Mengambil selembar kertas yang ada di tangan ayahnya lalu menunjukkannya pada Chanyeol.

"Ini surat dokternya."

Chanyeol tak tahu lagi harus berekspresi apa. Keterkejutan masih menguasai dirinya sedang otak terasa buntu untuk sesaat. Dilihatnya masih sama air wajah orang tua Baekhyun, maka bukan seharusnya untuk Chanyeol tetap bergeming seperti ini. Dia harus meyakini bahwa dia akan bertanggung jawab atas perbuatannya.

"Paman, Bibi, kalian tahu aku sangat mencintai Baekhyun, kan? Hubungan kami sudah sangat lama, orang tuaku juga sudah menyukai Baekhyun—"

"Pernikahan kalian akan dilakukan setelah Baekhyun berusia 17."

Lagi Chanyeol terkejut, namun kali ini bersamaan dengan hatinya yang melega. Baekhyun bersorak senang dan menubruki dirinya dalam sebuah pelukan.

Oh, sekarang Chanyeol paham mengapa Baekhyun tampak santai-santai saja sedari tadi.

Fyuh, benar-benar mendebarkan.

Senyum Chanyeol langsung saja mengembang dari ujung ke ujung. "Aku akan menjaga Baekhyunku dengan sepenuh hati. Terima kasih, Paman dan Bibi."

"Yeay! Aku mencintai Chanyeol~" Dayuan suara Baekhyun terdengar senang. Anak itu bergelayutan di leher sang kekasih sedang tangan Chanyeol sigap menopang berat tubuhnya. Jadi Baekhyun tak khawatir akan jatuh.

Nyonya Byun menggeleng untuk sikap anaknya yang seperti itu. "Baekhyun, selama kau hamil, kau akan bersekolah di rumah."

Tiba-tiba tarikan senyum di bibir Baekhyun mengendur dan Chanyeol melihatnya dengan bingung. Baekhyun berpikir bagian apa yang dia sukai saat di sekolah. Tidak ada. Lagipula, Baekhyun hanya menyukai saat dimana dirinya sedang bersama Chanyeol saja.

Bocah itu kembali menyengir. Lalu menggesekkan wajahnya di dada Chanyeol dengan manja.

"Itu tidak apa-apa. Lagipula belajar di rumah lebih menyenangkan selagi bersama Chanyeol—"

"Tentu saja Chanyeol akan kuliah seperti biasa." Tuan Byun memotong cepat.

"Apa—" Baekhyun ingin mengujar protesnya tapi itu hanya tertahan di ujung lidah saja. Baekhyun tidak bisa menolak ketika hal itu merupakan kebaikan untuk kandungannya sendiri.

Maka setelah hari itu, dimana Tuan Byun melarang banyak Baekhyun beraktivitas—termasuk berhenti manggung bersama Chanyeol, Baekhyun menjadi lebih banyak suka menasehati Chanyeol sebelum lelakinya melangkahkan kaki keluar rumah. Lebih sering mengenai keterbatasan Chanyeol bergaul sebenarnya. Hal itu didasari karena Chanyeol memiliki banyak penggemar yang cantik juga seksi, walaupun sesungguhnya Chanyeol tidak pernah peduli dengan mereka semua.

"Jangan balik melempar tanya pada orang yang sok kenal sok dekat denganmu atau kau tidak akan mendengar suaraku lagi. Jangan mengangkat poni terlalu tinggi atau dahimu akan kugambar dengan spidol permanen. Tidak boleh menatap orang lain selama 3 detik atau kau akan jatuh cinta dan Aeri membenci Chanyeol."

Iya, begitu bunyinya yang penuh dengan ancaman. Hampir setiap hari dipersuarakan oleh Baekhyun, tapi Chanyeol tidak pernah bosan untuk membalas.

"Aku hanya jatuh cinta padamu, Sayang."


Chapter 2 : Seperti Apa Dia Mengidam...


Baekhyun itu hamil 21 minggu dan sifatnya yang memang sudah ajaib sejak lahir makin-makin saja menjadi luar biasa. Jennie pikir dia lebih baik mendapati Baekhyun pada saat masa-masa anak itu mengalami morning sickness daripada dengan masa yang sekarang, mengidam.

Remaja dengan nama keluarga Byun itu benar punya 1001 macam yang diidamkan. Namun tentunya Jennie tahu pasti hanya ada 30 dari 100 persen yang bisa disebut murni keinginan sang bayi, dan bukan hanya akal-akalan bocah itu saja. Mengurusi orang yang sedang hamil seperti Baekhyun ini benar melelahkan secara harfiah. Bahkan hanya untuk membujuk makan saja Baekhyun sulitnya minta ampun.

"Jennie kau tidak mengerti, aku ini sedang mengidam."

Itu adalah apa yang sedang terjadi sekarang. Jennie menghela nafas untuk sekian kalinya mendengar tuturan tersebut namun kali ini Jennie mencoba untuk tak mengindahkan.

"Oh ayolah, tidak ada orang yang mengidam tidak ingin makan, Baekhyunie." Sahut wanita itu. Satu piring nasi di tangannya ia coba berikan lagi pada Baekhyun, namun anak itu masih tetap pada bebal serupa.

"Ada, kau hanya tidak tahu saja."

"Kasian Aeri jika kau tidak mau makan."

Baekhyun cepat mendelik dengan satu tangan refleks mengusap perutnya. "Aeri yang memintaku jangan makan, iya kan Aeri?" Tanyanya merunduk dan kemudian mengangguk seolah baru saja mendapatkan jawaban dari bayinya.

Jennie sudah sedikit ini bersabar menghadapi Baekhyun. Piringnya ia letakkan di atas meja kemudian merogoh ponsel di dalam saku. "Aku akan menghubungi pacarmu kalau kau masih tidak mau makan."

"Hubungi saja. Chanyeol tidak akan menjawabnya, dia itukan superduper sibuk." Timpal Baekhyun. Kerucutan di bibir yang tanpa sadar dilakukannya membuat Jennie seketika mengerti.

"Ah~ jadi kau tidak mau makan karena Chanyeol mengabaikanmu~"

Dayuan suara Jennie sontak membelalakkan mata si Byun. "Tidaaaak!"

Itu tidak mempengaruhi apapun. Kenyataan Jennie tahu betul apa yang selalu menjadi alasan Baekhyun sulit dibujuk seperti tadi, konyol karena Jennie sendiri tahunya sempat termakan alibian si mungil yang mengelabuinya dengan kata mengidam. Perempuan bermarga Kim itu kemudian meluluh begitu mendapati perubahan air muka pada wajah Baekhyun berubah suram. Chanyeol dengan segala kesibukan yang melanda memang menjadi alasannya dan Jennie tak bisa menyangkal.

"Chanyeol harus segera menyelesaikan S2-nya agar bisa cepat mengambil jurusan yang lain. Ayahmu sendiri yang menginginkan Chanyeol masuk ke Fakultas Bisnis dan Ekonomi supaya cocok dengan jabatan Direkturnya nanti. Chanyeol benar-benar bekerja keras untukmu, Baekhyunie." Tutur Jennie, namun tahunya itu malah semakin menambah lipatan di wajah Baekhyun saja.

"Aku tahu. Tidak usah menceramahiku, Jennie." Baekhyun lagi mendelik, punggungnya ia bantingkan ke lidah sofa di belakangnya.

Jennie memilih mengakhiri setelah melirik jam di dinding menunjuk pukul berapa. Dia berdiri kemudian, satu piring nasi ia bawa kembali. "Ah sudahlah. Intinya kau melewatkan makan siangmu lagi. Sekarang mandi, Guru Kim jam tiga nanti akan kemari."

Sipit Baekhyun yang menajam perlahan membola tanpa Jennie sadari. Sedang di tempatnya, Baekhyun baru menyadari kenyataan hari ini merupakan hari Rabu dan itu artinya belajar bersama Guru Kim. Baekhyun diam-diam merutuk, tahu begini mendingan dia makan saja dan dengan begitu ia bisa melama-lamakan makannya itu sampai waktu Guru Kim habis.

"Um, Jennie." Panggil Baekhyun dan deheman wanita itu menyahut. "Aku merindukan Chanyeol."

"Dia masih ada di fakultas."

"Aku ingin makan di kantin fakultas Chanyeol."

Cengiran yang diperlihatkan Baekhyun jelas Jennie pahami artinya. Wanita itu menoleh sejurus pada Baekhyun setelah menutup microwave. "Kau mau kabur karena tidak mau belajar, kan?"

"Tidak, aku hanya sedang mengidam tidak mau belajar. Dan ingin makan di luar."

"Alibi." Tukas Jennie, jengah mendengar kata ngidam lagi dijadikan dalihan. "Ya sudah biar kuantar, daripada tidak makan sama sekali."

"Yeay tidak jadi belajar~"

...

Chanyeol itu berada di gedung Fakultas Seni dan Desain. Baekhyun tahu betul fakultas itu punya kantin yang makanannya sangat enak dibanding fakultas lainnya. Ini bukan merupakan kali pertama Baekhyun kemari omong-omong. Dulu saat masa-masanya dia menjadi anggota di salah satu ekskul musik, Chanyeol sering membawanya makan di gedung fakultas ini.

Namun itu tak lagi mereka lakukan semenjak Baekhyun mempunyai seorang janin dalam tubuhnya, dan itu sudah terhitung 5 bulan lamanya. Maka ketika ia punya kesempatan untuk mendatangi tempat ini lagi, Baekhyun pikir menyelam sambil minum air lebih baik dilakukannya diam-diam saat ini. Selain makanan, Baekhyun juga tentunya merindukan Chanyeol.

Dan sayangnya Jennie terlalu peka. Lihat seperti apa bibir wanita itu menyeringai sedari tadi memperhatikan Baekhyun di sampingnya yang celingukan seperti mencari seseorang. Baekhyun tak perlu melakukan hal itu disaat kantin hanya berada di depan sana omong-omong.

Jennie kemudian menangkap lengkungan di bibir Baekhyun, dia terkikik sadar betul itu selaras dengan tidak adanya sosok Chanyeol hadir di sini.

"Chanyeol sedang ujian, Baekhyunie. Dia tidak mungkin ada berkeliaran, rindunya tahan dulu, ya?" Main-main Jennie berbisik.

Baekhyun tersentak dan refleks matanya mendelik. "Siapa juga aku mencari Chanyeol." Sangkalnya tak peduli seperti apa gesture yang dia lakukan itu benar-benar mengkhianatinya.

Sipit mata Baekhyun tahunya kembali melirik kelas Chanyeol, menilik lebih jeli dan lagi siluet berambut aromanis tidak ia temukan di sana. Chanyeol benar-benar sedang ujian di lantai atas ternyata.

"Mentang-mentang anak seorang Rektor kau bisa seenaknya datang kemari."

Sebuah suara yang Baekhyun betul kenali siapa pemiliknya mengusik dia di depan sana. Carrier itu dengan malas berpaling, kemudian memutar mata tahu menemukan Jongin sama saja dengan mendapatkan lampu merah di jalanan.

"Bukan urusanmu." Baekhyun membalas tak berselera. Mood-nya benar telah rusak karena tidak bisa meminum air selagi menyelam, dan kini ditambah adanya si Pengganggu Jongin.

"Baekhyunie mengidam ingin makan di kantin fakultas ini." Jennie memberitahu.

"Oh benarkah? Atau itu hanya modus saja?"

Ketahuan seperti itu jelas Baekhyun menyalak. "Ish minggir! Aku lapar, tahu."

"Dasar anak kecil." Jongin berdecak. Sebut saja dia sedang baik kali ini karena sudah membiarkan Baekhyun melewatinya tanpa menahan-nahan lebih lama.

"Bilang lagi seperti itu aku akan mencolok matamu sampai kau nangis dan mengadu pada ibumu!"

"Memangnya aku itu kau."

Jongin mendengar samar-samar di depan sana Baekhyun merutuk, dan dia berdecak geli. Tidak mau dikatakan anak kecil tapi memang itulah kenyataannya. Pria bernama keluarga Kim itu menggelengkan kepala, berbalik menuju tangga dan sedikit terkejut saat tubuh menjulang Chanyeol didapati penglihatannya.

"Hei, Bos."

Chanyeol tak menghiraukan, masih dengan ekspresi tak bersahabat pria itu meninggalkan tempat dan Jongin hanya tersenyum kecil mengertikan hal itu.

...

"Bibi Jangmi~"

Lengkingan suara Baekhyun memenuhi hampir menyeluruh isi kantin. Sontak yang tersebut membelalak dan tahunya menyahuti serupa dengan lengkingan suara yang sama.

"Baekhyunie?!" Wanita dengan surai sebahu itu terburu-buru keluar dari dapur untuk mendekati Baekhyun kemudian mereka berpelukan seperti tak kenal tempat. "Sudah lama tidak bertemu ya."

Baekhyun terkikik menggemaskan dan melepas pelukannya pertama kali. "Aku rindu Bibi."

Bukan lagi hal yang baru dilihat bagaimana Wanita Joo itu memperilakukan Baekhyun seperti itu. Kenyataan Baekhyun sudah menganggap universitas ini adalah rumahnya yang kedua—terutama kantin Joo Jangmi. Keduanya dekat dan sama-sama berisik.

"Tambah gendut ya anak ini." Jangmi mencolek pipi Baekhyun yang seperti akan tumpah. Hal itu jelas mengundang kerucutan dari bibir si mungil.

"Itu karena aku sedang hamil."

"Oh aku merasa kau kemari karena sedang ada sesuatu yang diinginkan."

Dan Baekhyun membenarkan itu dengan anggukan terlampau semangat. "Nasi goreng samgyeopal!"

Dengusan geli tak bisa Jangmi tahan lagi. "Baiklah kau tunggu, oke."

"Okey dokey!"

Nasi goreng samgyeopal yang dibuat Jangmi memang tidak ada duanya, Baekhyun bersemangat untuk menunggu hal itu. Namun suntikan antusiasmenya lenyap dalam satu nanodetik saja ketika sipit matanya menangkap Chanyeol menuju kemari. Baekhyun cepat menarik tangan Jennie, duduk di meja yang hanya menyediakan dua kursi. Sengaja, agar Chanyeol tak mendapatkan tempat duduk di dekatnya.

Itu percuma saja, karena tahunya Chanyeol menarik kursi lain dan berakhir duduk bertiga seperti ini. Baekhyun sontak memasang air wajah malas dengan tangan menopang sebelah pipinya, benar menyembunyikan muka ia dari sang kekasih yang kini berada di sampingnya.

Jennie menyadari itu tahu betul sifat moody-an Baekhyun kembali kambuh. Padahal di menit lalu anak itu celingukkan mencari pria besar yang dirindukannya. Benar-benar sesuatu.

Sebaliknya dengan Chanyeol. Pria bernama keluarga Park itu benar tak peka maksud penolakan Baekhyun yang seperti itu. Alih-alih menggeser tempat duduknya lebih dekat dan meraih pinggang Baekhyun di belakang sana.

"Merindukanku?"

Baekhyun berdecak tanpa suara dan malah memandang Jennie untuk menjawab agar Park Chanyeol tidak terlalu percaya diri dengan keberadaannya di sini.

Jennie mengerti dan mengujar kemudian. "Baekhyun sedang mengidam ingin makan di fakultas ini."

Chanyeol mengangguk sesaat, lagi belum menyadari. "Lalu kenapa kau cemberut seperti itu?" Tanyanya, mata menilik dalam raut muka dari si mungil. Masih tak mendapatkan atensi, Chanyeol coba raih wajah Baekhyun namun remaja itu menolaknya dengan cepat. "Hei Baekhyun, katakan sesuatu, Sayang."

"Sesuatu."

"Hei, kau kenapa?"

Baekhyun mendengus keras. "Jennie, bilang pada Chanyeol kalau aku sekarang sedang mengidam tidak ingin berbicara dengannya."

"Mana mungkin Aeri menginginkan yang seperti itu." Protes Chanyeol dengan dengusan geli. Baekhyun lagi mengabaikannya dan Chanyeol pikir itu karena Baekhyun sedang badmood saja.

Namun tidak seperti itu adanya. Sang kekasih justru memekik senang kala nasi goreng favorit mereka disajikan, dan ia tak diberi kesempatan untuk mencicipi alih-alih Jennie yang Baekhyun tawarkan. Baekhyun benar tak berbicara apapun kepadanya dan lebih-lebih seperti menganggap dirinya adalah batu.

Itu tak apa. Chanyeol sudah terbiasa omong-omong dengan sikap Baekhyun yang seperti itu. Walau tak ada hujai badai apapun, petir bisa saja memenuhi kepala anak itu. Chanyeol memaklumi dengan berpikir mungkin hormon kehamilan yang mempengaruhi Baekhyun.

"Hati-hati makannya." Terhitung banyak kali Chanyeol mencoba untuk mendapatkan atensian Baekhyun kali ini, dan itu masih berhasil sama nolnya. "Bukankah sekarang kau harusnya belajar, Baek?"

"Baekhyunie bilang tadi dia mengidam tidak ingin belajar." Lagi-lagi Jennie yang menjawab.

Chanyeol mengernyit, seingatnya alasan ini juga dipakai saat minggu lalu. "Jangan seperti itu lagi, Baek. Kau hanya akan membuang-buang uang orang tuamu nanti."

Baekhyun sesaat berhenti mengecap untuk mendelikkan matanya pada Chanyeol. "Jennie, bilang pada Chanyeol kalau aku itu bukan dia yang rajin sekolah."

"Baekhyun, berhenti bermain-main seperti ini." Chanyeol jengah juga jika Baekhyun terus menjadikan Jennie sebagai mediator mereka.

Tentunya Baekhyun murka dikatakan seperti ini. "Bermain-main katamu? Aku tidak membawa mainan apapun, Park Chanyeol!"

Sendok yang Baekhyun pegang sukses mendarat di atas kening Chanyeol. Pria itu terpejam, menerima dengan baik tak peduli isi kepalanya mulai penat dengan Baekhyun yang malah menggetok dirinya. Chanyeol menghela dalam nafasnya kemudian.

"Baek, setelah ini aku ada kelas bersama Profesor Han, aku tidak akan bisa konsentrasi kalau kau seperti ini padaku."

Wajah Baekhyun merengut kesal. Chanyeol menatapnya tajam sekali dan Baekhyun tidak suka itu. "Aku hanya sedang mengidam tidak ingin berbicara denganmu, kau saja yang sensitif."

"Baiklah, aku yang sensitif." Chanyeol merotasikan bola mata. Tak ada opsi untuknya selain mengalah atau Baekhyun akan benar-benar marah. "Jadi kau itu tidak sedang marah padaku?"

Baekhyun menggeleng.

"Kalau begitu tatap aku kalau kau tidak marah."

"Aku tidak, Chan." Tegas Baekhyun, kali ini bersamaan dengan wajahnya yang diperlihatkan pada pria itu.

"Aku tenang sekarang." Chanyeol melepas desahan leganya. Lengannya terangkat di udara dan memberi tepukan dua kali di pucuk kepala Baekhyun. "Lanjutkan makanmu ya."

Baekhyun mengangguk cepat, rambut pinkish dia ikut bergoyang dan Chanyeol tak tahan untuk tidak mengusak kepala puppy itu. Kini berbalik Baekhyun yang semakin mendekatkan diri pada Chanyeol dan benar bertransformasi menjadi puppy menggemaskan. Dia seolah lupa pada acara mengidamnya di menit lalu seperti apa. Itu jelas membuat satu-satunya wanita di depan mereka memutarkan bola mata.

Jennie mencibir. "Sungguh drama macam apa di hadapanku tadi."

"Dasar Jennie jomblo."

"Yang penting aku tidak tsundere."

"Tapi Chanyeol cinta padaku, iya kan Chanboo?"

"Tentu saja, Baekboo."

"Wle, dasar Jennie jomblo." Baekhyun memelet dan Jennie sudah sedikit ini bersabar untuk tidak menggigit pipi bola anak itu sekarang juga.

...

"Chan hentikan~" Rengekan Baekhyun disertai kikikan seperti itu keluar tanpa henti, berdengung di telinga Chanyeol dan itu menyenangkan terdengar. "Geliii~" Baekhyun tertawa lagi, geli benar merambatinya sampai ke saraf-saraf.

Sial bagaimana Chanyeol malah semakin sengaja menambahkan intensitas kecupan di lehernya. Tak luput kini tangan menggerayangi dadanya di dalam sana, mempermainkan puting miliknya di antara jepitan kedua jemari Chanyeol. Baekhyun menggeliat kepayahan, tapi tawanya lagi keluar di sela rengekan ia meminta untuk Chanyeol berhenti. Sekali lagi, itu sama sekali tak diindahkan oleh si jangkung.

Ketika dirasa tangan Chanyeol perlahan merambati selangkangannya, Baekhyun kelabakan dengan kaki menendang-nendang udara kosong. "Yak Park Chanyeol!" Pekiknya.

"Ayolah~" Chanyeol membujuk. Tangannya sudah berganti membelai wajah Baekhyun di bawahnya hendak mengeluarkan rayuan maut andalannya, tapi tidak sempat karena Baekhyun cepat mematahkan.

"Aku sedang mengidam tidak ingin bercinta!"

Ingatkan Chanyeol untuk menambahkan kata mengidam menjadi daftar hitam dari kosakata Baekhyun sekarang.

"Tapi mengidam itu berarti kau sedang ingin sesuatu, Baek."

"Dan sesuatu itu adalah tidak ingin bercinta."

Chanyeol menghela nafas tapi tidak semudah itu untuk menyerah. Tangannya turun kembali meraih pinggang Baekhyun sedang bibir menghujani banyak kecupan di wajah si mungil. Sebanyak itu Baekhyun terus menghindar dan benar menolak sentuhan bibirnya.

"Ayolah Baekhyun~"

"Chanyeol jangan memaksaku!" Baekhyun menjauhkan wajahnya dari serangan Chanyeol berbanding terbalik dengan selatan tubuhnya yang makin menempeli selangkangan sang kekasih. Dan itu bersinggungan untuk sesaat.

"Shit." Chanyeol refleks mengumpat, adiknya tentu terbangun dengan Baekhyun yang terus bergerak seperti itu.

Dan ketika Chanyeol lengah karena menikmati sensasi dari adiknya, Baekhyun cepat melepaskan diri dan segera berlari keluar dari kamar. Chanyeol belum sempat menahan dan tahunya Baekhyun sudah menghilang, meninggalkan gema tawa di luar sana.

"Yak Baekboo!"

Kesal Chanyeol hilang dalam sejurus sedang seringaian mengerikkan di bibir menggantikannya. Kekasih mungilnya ini sedang mengajaknya bermain terlebih dahulu, karena berhubungan hal ini sudah sering terjadi jadi Chanyeol tahu betul apa maksudnya.

Chanyeol menyusul jejak Baekhyun kemudian dengan langkah jauh lebih santai. Panggilannya sengaja Chanyeol suarakan dengan dayuan.

"Byun Baekhyun~ kemarilah sebelum aku memperkosamu—EH! I-Ibu?" Chanyeol terlonjak kaget dan tak sadar melotot begitu sang calon mertua berdiri di bawah tangga dengan Baekhyun yang mencoba bersembunyi di balik tubuh wanita itu.

"Ibu dengar'kan, Chanyeol akan memperkosaku—HUWAAAA!"

Chanyeol merunduk untuk menyembunyikan malu dalam dirinya sebelum kemudian menarik senyum kikuk. "Itu aku tidak, Bu. Aku dan Baekhyun hanya sedang bermain drama saja."

"BOHONG!" Baekhyun menuding.

Sementara Chanyeol sudah tak tahu harus bagaimana lagi, Yoona menggelengkan kepala dan berdecak mengingat seperti apa Baekhyun menuruni tangga tadi.

"Mau drama atau apapun itu, apa harus Baekhyun berlari turun tangga?"

"Baekhyun, kau melakukannya?" Mata Chanyeol kian melotot dan seperti akan meloncat saja dari tempatnya.

"Itu karena kau akan memperkosaku!" Baekhyun malah semakin menekan tudingannya.

"Tapi tadi itu akan membahayakanmu, Baek." Yoona menyahut tak peduli seperti apa Baekhyun kini melongo kepadanya.

"Bahayaan mana dengan aku diperkosa Chanyeol?! Ibu tak tahu saja, Chanyeol kalau sedang mesum penisnya akan bertambah besar. Ibu lihat saja bagaimana celananya sekarang membuat tenda besar seperti itu, sangat menakutkan. Pantatku bahkan masih sakit karena pagi tadi dia memperkosaku lagi di dalam bath-ub. Masa sekarang harus diperkosa lagi! Kasian Aeri jika harus kehadiran tamu terus di dalam dan dibasahi lagi oleh sperma Chanyeol."

"..."

"..."


Chapter 3 : Baekhyun's Side


Baekhyun masih pada rengutan yang sama ketika Chanyeol sudah bersiap dengan tas di punggungnya. Pria Park itu kira rengutan Baekhyun akan berangsur hilang namun tahunya tidak dengan kenyataan itu semakin bertambah saja dan jangan lupakan bagaimana si mungil melemparkan delikan berulang kepadanya.

Chanyeol menghela nafas kembali kemudian mengambil duduk di samping ranjang. Baekhyun cepat-cepat membuang mukanya dan lagi mendelik untuk calon suaminya itu.

"Maafkan aku, Baekboo. Hari ini adalah kelasnya Profesor Hwang, aku tidak boleh kosong untuk ketiga kalinya." Kata Chanyeol.

Itu adalah usaha yang sia-sia saja sebenarnya. Telinga Baekhyun benar telah tertutup dan tetap pada bebal yang sama, lebih-lebih mulai membawa Aeri lagi ke dalam hal yang seperti ini.

"Dadda sepertinya tidak sayang padamu, Aeri~"

"Bukan begitu." Chanyeol menyangkal cepat tentu saja.

Di dalam hati, pria bernama keluarga Park itu berteriak mengapa harus hari ini Baekhyun kambuh menjadi anak yang keras kepala. Seperti yang telah dikatakan, Chanyeol memiliki kelas bersama Profesor Hwang Miyoung hari ini, dan ia telah diberi peringatan takkan mendapatkan tanda tangan untuk proposalnya bilamana absen tiga kali berturut-turut dalam bulan ini. Dan jika sekarang Chanyeol menuruti keinginan Baekhyun untuk tetap berada di rumah, ini menjadi kali ketiganya dia absen di kelas Profesor Hwang.

"Baek, aku mohon." Chanyeol memelas sedang Baekhyun berdecak. Dia tahu kekasih mungilnya ini pasti sudah sangat kesal, dan Chanyeol berjanji ia akan memberikan hadiah usai kelas hari ini berakhir. Seperti yang sudah-sudah.

"Baiklah, pergi sana."

Chanyeol serta-merta berseru berikut satu cubitan kecil ia layangkan di ujung hidung si mungil tanpa memedulikan hal ini bisa saja membuat Baekhyun menarik ucapannya kembali.

"Telepon aku jika—"

"Dan jika itu tidak penting, maka aku tidak boleh meneleponmu. Dimengerti!" Sela Baekhyun dalam sarkasme.

Alih-alih tersinggung, Chanyeol alih-alih malah tak bebannya cengengesan. Segera ia ambil laptop juga beberapa makalah kemudian melayangkan kecupan ringan pada kening si mungil.

"Saranghae~"

Begitu siluet besar Chanyeol tak lagi ada di kamar, dengusan Baekhyun keluar.

"Dadda sampai lupa berpamitan padamu, Aeri."

...

"Kau sudah minum susumu, Baekhyunie?"

Pertanyaan Jennie sontak membuat mata Baekhyun kembali terbuka. Remaja itu mengangguk dengan lemas tanpa menyadari ini terlihat aneh di mata Jennie.

"Kau baik-baik saja?" Wanita itu menghampiri Baekhyun di atas ranjang. Khawatir dengan apa yang dia lihat mengenai wajah tak bertenaga milik si periang Byun itu.

"Aku ingin istirahat, kakiku rasanya lemas sekali dan perutku sangat berat, Jennie."

Sontak Jennie terkekeh. Kandungan Baekhyun baru menginjak di bulan ketujuh dan Jennie menduga anak itu belum terbiasa dengan ukuran perutnya yang bertambah besar.

"Baiklah, Bobohu~"

Mata Baekhyun lagi terbuka kali ini hanya untuk memberikan delikan pada wanita itu. "Ish, aku tidak suka panggilan itu."

...

Ting nong~

Dering suara bel sukses mengalihkan Jennie dari kegiatannya. Mengambil bekas piring terakhir di atas meja ke dalam bak cuci piring, Jennie terburu-buru kemudian menuju pintu.

Sesosok wanita setengah baya berdiri di balik pintu, Jennie tak lupa siapa itu maka dia dengan cepat ia melemparkan senyum lebarnya.

"Nyonya Park." SapaJennie sedang wanita yang lainnya membalas dengan senyum kecil sebelum memasuki rumah lebih dalam lagi.

Park Bom mengernyit menemukan rumah dalam keadaan sepi. Di tangan wanita yang menjadi ibu dari Chanyeol itu terdapat dua kantung plastik bahan makanan. Langkahnya lantas menuju dapur dan ia keluarkan semua isinya untuk dimasukkan ke dalam kulkas.

Benar apa yang didugakan Bom, kulkas tidak terisi dengan bahan makanan mentah—hanya penuh dengan persediaan camilan. Menyadari hal ini, Bom mendengus namun tetap tak mengurungkan dia untuk menyimpan semua bawaannya ke dalam sana. Dan Jennie dengan tanggap mengambil alih pekerjaannya ini.

Bom tak keberatan, alih-alih menjelajahkan matanya lagi pada sudut rumah. "Sepi sekali."

"Chanyeol sudah berangkat ke kampusnya tadi." Jennie menyahut dan tak lupa dengan senyum terpatri di bibirnya.

Kernyitan di dahi Bom semakin bertambah. "Baekhyun?"

"Dia sedang tidur."

"Jam segini dia masih tidur?"

Jennie sedikit banyak terperanjat mendengar nada bicara Bom yang berubah. "T-Tidak, Baekhyun sudah bangun sebelumnya tapi dia ingin beristirahat lagi." Terbata dia meralat.

Tatapan mata Bom tahunya ikut berubah menajam. "Bangunkan dia."

"B-Baik." Tak ada bantahan untuk Jennie bisa keluarkan pada wanita setengah baya itu. Dalam hati ia merutuk akan dirinya yang melupakan fakta Bom sangat tak menyukai orang pemalas, terutama jika itu Baekhyun. Bagus sekali mulut kurang ajarnya malah keceplosan seperti tadi dan membuat Bom jadi semakin berpikiran buruk pada remaja itu.

...

"Baekhyun, ayo bangun."

Jennie sudah menggoyangkan tubuh Baekhyun berulang, dia tidak cukup tega untuk membangunkan wajah kelelahan itu yang kini sedang terlelap. Tapi mengingat adanya Nyonya Park kini, Jennie tak boleh mengikuti sisi hatinya kali ini.

"Baekhyunie~" Lagi Jennie membangunkan. Ia guncangkan kaki-kaki Baekhyun lebih keras.

Anak itu berhasil menggeram dan membuka matanya perlahan. "Ugh Jennie, kau masih tidak mengerti rupanya!" Rengek Baekhyun kesal, dia hendak mengubah posisi tidurnya membelakangi wanita itu tapi tak cukup kuat untuk melakukannya.

"Tapi Baek—"

"Lihat, aku bahkan tidak kuat untuk bergerak apalagi berjalan, bobot Aeri sangat berat, tahu!" Sentak Baekhyun tak menahan diri. Jennie berubah sangat menyebalkan hari ini dengan tidak memberi pengertian kepada dirinya.

Jennie terdiam sesaat sedang Baekhyun mulai kembali menutup matanya. "Ada ibunya Chanyeol, Baek."

Hanya membutuhkan sedetik bagaimana mata sipit remaja itu terbelalak lebar. "A-Apa?"

Jennie mengangguk lesu, air wajahnya yang seperti orang kekeringan itu membuat Baekhyun tertular raut yang sama.

"Kenapa kau tidak bangunkan aku daritadi?" Rengut bocah itu di sela usaha bangkitnya. Sungguh Baekhyun tak mengerti mengapa Aeri jadi bisa seberat ini di perutnya. "Bantu aku, Jennie."

...

"H-Halo, Ibu." Baekhyun menyapa dengan terbata. Sipitnya tak berani beradu pandang dengan manik sang calon mertua yang menghujam tatapan tajam kepadanya. Baekhyun hanya tertunduk dengan tangan terjalin di atas perutnya.

"Pemalas." Satu kata itu terlontar ketus dari mulut Bom. "Apa yang kau lakukan setiap hari sebenarnya, Byun Baekhyun? Hanya tidur? Bermanja-manjaan pada Chanyeol? Meminta ini-itu pada Chanyeol?"

Baekhyun diam. Apa yang dikatakan Bom bukan merupakan kali pertama terjadi dan Baekhyun cukup tahu untuk tidak melawan ucapan wanita itu.

Ibu Chanyeol berubah semenjak Baekhyun diketahui hamil dan dia tinggal bersama Chanyeol. Mulanya Baekhyun tak mengerti mengapa, namun mendengar tiap kali rutukan Bom kepadanya seperti apa, Baekhyun mengerti dialah sendiri penyebab Bom berubah seperti ini. Tentang sikapnya juga kemalasannya.

"Kau selalu mendengarkan aku dengan baik tapi tak pernah menerapkannya itu di dalam dirimu." Rutuk Bom diiringi decakan keras. "Kau itu sebentar lagi akan punya anak. Lihat perut balonmu itu sekarang."

Baekhyun mengangkat kepalanya cepat dan berpikir untuk membela dirinya. "Karena perutku besar aku jadi tidak kuat lama-lama berdiri, Ibu."

"Lalu kenapa kau mau hamil? Kau pikir hamil itu hal yang menyenangkan? Hanya karena berat kau sudah tak mau melakukan apa-apa, tak berpikir kau akan melahirkan sebentar lagi. Itu bahkan jauh lebih sakit dibandingkan apapun."

Baekhyun tersentak pelan, benar tak punya kata-kata di dalam dirinya selain membenarkan ucapan Bom. Baekhyun hanya melakukan apa yang sedang terjadi, tak pernah berpikir ke depan ia akan seperti apa, pula tak pernah berpikir melahirkan akan menjadi momok menakutkan untuknya.

Bom tahunya menanggapi keterdiaman Baekhyun dalam pandangan tak sukanya. Dengus nafas ia keluar di sana lebih keras.

"Aku baru sadar, kau itu tidak pantas untuk Chanyeol."

...

Rumah masih dalam keadaan yang sama ketika berangkat begitu Chanyeol pulang dari kampus—hening dan tak ada tanda-tanda jejak Baekhyun. Chanyeol melihat Jennie dan ia hampiri wanita itu di ruang tengah.

"Jennie."

Wanita berambut panjang itu menoleh cepat. "Oh Chanyeol, kau pulang cepat?"

Chanyeol memberikan anggukan pelan. "Dimana Baekhyun? Dia masih tidur?"

"Aku tak tahu dia sedang tidur atau tidak."

Itu membuat alis Chanyeol terangkat menatap Jennie tak mengerti sedang wanita bernama keluarga Kim itu hanya menggeleng tak bersemangat. Chanyeol tak menunggu lama segera menarik diri dan langkah cepat menuju lantai dua, tepatnya kamar dimana Baekhyun mengurung diri.

"Aku pulang." Ujar Chanyeol membuka pintu.

Baekhyun menoleh padanya sesaat dan Chanyeol menghampiri remaja itu dengan senyuman. Ia perhatikan wajah sang kekasih kini lamat-lamat, sendu tengah memenuhi mata Baekhyun tak luput gurat risau juga ada menghiasi wajah si mungil di sana.

"Ada apa dengan wajahmu?" Chanyeol menarik tangannya untuk mengusap belahan pipi Baekhyun dan terkejut merasakan bagian itu terasa dingin di kulitnya. Chanyeol kembali memperhatikan dan berusaha mengambil atensi pada mata Baekhyun yang menolak bertatapan dengannya. "Kau sudah makan, hm?"

Baekhyun tak menjawab, alih-alih menghela nafas dan melepaskan tautan tangan Chanyeol di wajahnya. "Kau tahu, Chanyeol. Perut ini membuat aku kesulitan berjalan."

"Tunggu dua bulan lagi." Sahut yang lebih besar, tak benar menyadari itu malah membuat Baekhyun bertambah gusar.

"Aku takut. Melahirkan itu sangat sakit. Dimasuki olehmu saja tanpa pelumas rasanya seperti terbakar, apalagi kepala Aeri dan badannya."

"Hei, hei, hei." Chanyeol terkejut bukan main mendengarnya. "Kenapa berbicara seperti itu?"

Baekhyun kini balik menatap Chanyeol, belalakan mata sang kekasih membuatnya enggan mengaku. "Hanya terpikirkan." Dalihnya.

Tangan Chanyeol menapak kemudian di atas tonjolan perut Baekhyun dengan hati-hati. "Aku akan menemani kesakitanmu, jadi jangan takut. Demi Aeri, kau mengerti?"

Lagi Baekhyun tak menjawab. Belah lunaknya ia gigiti pelan ragu untuk mengatakan hal yang benar adanya ia pikirkan kini dan ia tahu Chanyeol pasti akan mengejar pertanyaan itu kembali.

"Chanyeol." Baekhyun memulai tanpa ada pikir panjang. "Bagaimana jika kita menggugurkannya?"

"Apa?"

"Bagaimana jika kita menggugurkan Aeri?"

"YAK!" Chanyeol tak sadar ketika nada suaranya meninggi begitu saja. Urat tegang di lehernya terasa menonjol dan Chanyeol segera menahan keterkejutannya dengan menghela nafas dalam-dalam. Ketika mata kembali terbuka ia menemukan Baekhyun tertunduk dan Chanyeol terkesiap kekasihnya benar mengatakan hal yang seperti itu.

"Kau pikir apa yang barusan kau katakan itu, Byun Baekhyun?" Chanyeol mencoba menelaah air muka pada Baekhyun kini, namun lagi yang ia temukan masih ekspresi yang sama. Chanyeol hilang dalam kata sedang emosi berkumpul lebih cepat kala Baekhyun benar mengujar alasan dan bukan ralatan.

"M-Maafkan aku. Aku hanya belum siap, Chanyeol. Ini terlalu sulit." Baekhyun tak menahan diri lagi. Air mulai menganak panas di sudut matanya, menatap Chanyeol dengan ketakutan serupa.

"Kenapa kau berpikir sampai mau menggugurkan Aeri? Kau sudah melewati ini selama 7 bulan demi Tuhan, Byun Baekhyun!" Chanyeol menahan luapan emosinya dengan keras dan itu menyebabkan kepalanya berdenyut. "Oh kepalaku sakit!"

Baekhyun mulai terisak kecil dan menundukkan kepalanya. Itu tidak berhasil menyentuh Chanyeol dalam iba, pria itu masih ada pada sisa emosinya dan itu wajar. Apa yang dikatakan Baekhyun tadi benar mengalapkan pikirannya.

Pria jangkung itu menjadi yang pertama menarik diri. Kepalanya berdenyut dan Chanyeol berpikir untuk mengistirahatkannya tanpa ada Baekhyun untuk saat ini.

Pintu ditutup dan samar suara Chanyeol terdengar.

"Jennie, dimana obat sakit kepala?"

Baekhyun hanya menatap nanar daun pintu di sana, bayangan Chanyeol yang tersulut emosi karenanya masih tersisa jelas dalam benak Baekhyun. Ia sadar betul ujarannya tadi memang sangat tak berakal, Baekhyun tahunya menyesal karena telah mengatakan hal yang tak benar ada terpikirkan olehnya.

Dengung ucapan terakhir Chanyeol masih dapat Baekhyun dengar. Anak itu menggigit bibirnya lebih keras, menahan isak tangisnya yang dirasa akan meledak.

"K-Karena aku...t-tidak berguna, Chanyeol. Bagaimana jika aku...tidak berhasil mengeluarkan Aeri?"

Baekhyun terlalu takut dia akan gagal di tengah perjuangannya untuk Aeri. Mengingat dia seorang anak yang tak mampu menahan rasa sakit, Baekhyun takut jika dirinya akan menyerah begitu saja. Ia tidak bisa mempercayai dirinya sendiri.

"Papa minta maaf, Aeri.."

"Aku baru sadar, kau itu tidak pantas untuk Chanyeol."

Dan bukan hanya itu saja ketakutan yang sedang menghinggapi Baekhyun. Penggalan Nyonya Park tahunya benar berhasil membawa jauh dirinya tenggelam dalam pikirannya mengenai dia yang tak lagi disukai Nyonya Park.

Bersambung—

...

Harap dibaca.

Semoga kalian tidak mengantuk membacanya ya, tapi gapapa sih kalo kalian ngantuk bacanya karena aku yang buatnya aja juga ngantuk.

Ini cerita dulu yang pernah kuhapus di tengah jalan, alhasil banyak pembaca yang protes. Sebenarnya bukan cerita ini aja yang aku hapus, tapi semua ceritaku yang dulu juga, karena memang niatku mau tutup akun ini. Tapi karena aku gamon, aku publish cerita baru dan aku mikir rasanya ga adil kalo yang ini ga direpublish.

Jadi di sinilah HLB terlahir kembali, rate-nya aku ganti jadi Teen (walaupun isinya agak sedikit melenceng ke Mature). Dan ada beberapa bagian yang aku potong dan diganti supaya lebih nyambung dan ga terlalu panjang. Bagian ini gabungan dari chapter 1, 2, dan 3.

Bagi yang belum tau, penname baeclarity aku ganti jadi bikiya. Dan bolehkah aku minta bantuan untuk share cerita ini ke temen kalian yang pernah jadi pembaca HLB? Biar mereka (yang sempat) merasa kecewa terbayar rasa kecewanya, dan InsyaAllah aku bakal tamatin fanfic ini sampai tuntas :D

Terima kasih, mohon partisipasi dan dukungan dari kaliannya. Untuk repost sampe chapter 13, kalo ga sibuk aku bakalan update 2 hari sekali 3 chapter sekaligus biar cepet. Call? Jadi dimohon like, comment, share, dan subscribenya ya! (nahloh/?)