Terlalu banyak rahasia!

Haechan merasa ia tidak akan tahan untuk meneruskannya. Tapi ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan mengenai itu semua.

Mark meninggalkannya begitu saja setelah memberinya sepenggal kalimat penuh misteri padanya tadi malam. Ia sampai tidak bisa terlelap dengan benar walau lelaki itu entah pada jam berapa di waktu yang begitu larut menyusul merebahkan diri bersamanya di ranjang dan sialannya, suaminya itu malah bangun lebih pagi darinya.

Jelas sekali sampai sekarang ia masih ingin tahu apa maksud dari perkataan suaminya itu. Sudah berulang kali dia mencoba bertanya, namun ia belum mendapatkan waktu yang tepat. Semua orang sibuk dengan acara keberangkatan mereka berdua layaknya mereka semua tengah melepaskan petinggi negara yang akan pergi jauh untuk tugas perdamaian di belahan bumi antah berantah. Ia tidak tahu kalau di Seoul—kota metropolitan ini, masih ada keluarga yang begitu memegang adat begitu kental walau kemoderenan telah menggerus hampir semua aspek kehidupan.

Pagi-pagi sekali ia dibangunkan. Air hangat bahkan sudah tersedia—dan suaminya sudah memakai hanbok yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Berdiri di depan cermin dengan beberapa pelayan yang membantu suaminya.—

—Dan dia tampan.

Suaminya itu memang begitu tampan, ia mengakuinya. Tidak ada yang akan protes mengenai ini, ia yakin sekali. Semua orang setuju.

Tapi ia bersumpah dari semua busana yang dikenakan oleh suaminya. Maka hanbok inilah yang paling ia sukai! Ia benar-benar merasa telah menjadi putri sesungguhnya.

Kenapa saat pernikahan tidak diadakan secara tradisional saja ya seluruhnya? Itu 'kan terlihat lebih cantik?

Saat pernikahannya dulu ia hanya memakai hanbok sebentar saja saat prosesi pemberkatan di malam sebelum pernikahannya—prosesi meminta izin pada keluarga. Itu saja hanya dilihat oleh keluarga besar. Jadi teman-temannya tidak bisa melihatnya memakai pakaian cantik itu, padahal ia sangat menyukainya dan ingin memamerkannya pada mereka semua. Setiap waktu terlihat bagus jika bisa menyombongkan sesuatu pada orang lain.

Daripada memakai gaun malam ketat dan berdada rendah seperti dulu 'kan lebih baik memakai hanbok bukan? Di waktu pesta pernikahan? Yah walaupun sangat merepotkan sik sebenarnya, berlapis-lapis dan begitu berat. Tapi ia rasa itu lebih baik.

"Jangan melakukan hal konyol apapun sebelum mereka benar-benar pulang dari sini."

Haechan melirik suaminya sebal. Sedari tadi suamilah yang terus berkata konyol seperti itu. Memang dia sampai melakukan apa sih di situasi yang begitu formal seperti ini? Ia bahkan terasa tidak bisa bernafas dengan tenang setelah di rumah melakukan serentetan ritual adat yang asing sekali baginya.

Dan bahkan tidak berhenti di situ saja acaranya. Bayangkan saja. Setelah selesai dengan hanbok dan tata rias, ia digiring keluar layaknya dia adalah pengantin wanita yang tengah dipertemukan dengan pengantin pria. Kemudian mereka harus memberikan salam—bukan hanya sekedar salam biasa, melainkan salam penghormatan yang sering dilakukan ketika acara tahun baru pada orang tua—ia benar-benar merasa telah kembali menjadi seorang pengantin lagi setelah empat bulan menjadi seorang istri. Selain itu, mereka juga harus meminta izin demi kelancaran jalannya ritual yang akan dijalankan ini. Ia juga meminum minuman aneh sebelum keberangkatan—dan rasanya juga benar-benar aneh, percampuran jahe dan bawang putih mungkin, atau mungkin jahe dengan mint dan rempah-rempah, atau mungkin gingseng dengan mint? Oh Tuhan, ia sampai tidak bisa menggambarkan rasanya saking anehnya.

Memangnya membuat anak butuh prosesi serumit ini ya? Pikirnya.

Tiba di Namyangju, hawa dinginlah yang menyapa mereka. Walau hanbok berlapis-lapis ini terasa panas dan berat sebelum datang, tapi lantas kemudian itu sudah tidak berlaku lagi ketika ujung kakinya keluar dari mobil. Tempat ini benar-benar dingin—bahkan tidak ada salju yang turun tapi udaranya sudah bisa menusuk kulitnya tanpa ampun.

Astaga! Berapa sih suhu di tempat ini?!

Ia sampai menahan dirinya mati-matian untuk tidak memeluk tubuhnya sendiri!

Yang benar saja?! Semua orang tampak biasa saja dengan udara disini?! Jadi mana mungkin dia menunjukkan kalau dirinya tengah berjuang melawan rasa dingin yang menggores kulitnya seperti ini?! Jelas sekali. Dia benar-benar orang asing di sini.

Haechan memainkan tangannya di dalam lengan hanboknya yang besar dan lebar, mencoba menghangatkan tangannya dengan cara tidak kentara.

"Semoga dewa memberkati."

Sudut bibir Haechan berkedut. Ia merasa aneh dan konyol ketika hio—dupa—yang telah dibakar di sebuah kendi kecil yang terbuat dari gerabah tanah hampir menyentuh kepalanya—seorang wanita tua berpakaian hanbok hitam mengasapi tubuhnya dan tubuh Mark dengan asap hio itu. Baunya bahkan terasa telah menggantikan parfum mahalnya yang tadi pagi baru ia semprotkan.

Oh sial! Sebenarnya ritual apa sih ini?!

Dan kemudian wanita tua itu mempersilahkan mereka masuk. Jadi dengan perasaan yang begitu enggan ia memaksa kakinya untuk melangkah—dengan diiringi keluarga yang lain di belakang.

Kesan pertama Haechan saat menapaki rumah bergaya tradisional itu adalah luas—lebih luas ketimbang rumah abu keluarga Jung di Seongnam. Ada banyak sekali rumah di dalamnya. Kalau menurut pendapatnya, rumah ini malah lebih seperti perumahan tradisional milik bangsawan tempo dulu. Mungkin dulu keluarga Jung berasal dari sini, praduganya.

Dan kemudian mereka dituntun ke rumah utama—yang berada di tengah perumahan tradisional ini. Wanita tua itu mendentingkan lonceng yang cukup besar sebelum masuk ke rumah—yang tergantung tepat di tengah pintu masuk rumah. Dan ya...Haechan merasa bulu kuduknya berdiri begitu saja mendengar bunyinya yang nyaring di telinganya—seluruh tubuhnya merinding.

"Aku tidak tahu kalau keluargamu semistis ini."

Tepat setelah ia membisikkannya, Mark langsung meliriknya tajam—begitu jengkel dengan penuturannya barusan, padahal dia hanya mengatakan yang sebenarnya saja—mungkin karena dia mengatakannya di waktu yang tidak tepat. Namun untungnya setelah itu mereka segera teralihkan dengan acara penghormatan leluhur.

Sebenarnya, Haechan tidak buta sekali sih mengenai beberapa ritual yang ia jalankan. Setidaknya ia bersyukur sekali dengan pelajaran budaya yang membuatnya mau tidak mau belajar mengenai ini saat sekolah dulu. Soalnya di zaman sekarang sudah jarang sekali ia temui budaya seperti ini. Kalaupun ada pun tidak serumit ini—mungkin ada beberapa yang dipotong atau mungkin dia saja yang tidak tahu menahu mengenai ini.

Hidup dalam keluarga yang tidak begitu terikat akan tradisi dan berpandangan ke depan membuat keluarganya jarang sekali pergi ke kuil atau merayakan ritual-ritual tertentu dalam kehidupan sehari-hari, mungkin hanya ritual tahun baru dan perayaan kematian ibunya dan kakek neneknya saja yang ia temui. Selebihnya ia hanya mendengar cerita-cerita dari beberapa teman yang keluarganya masih mempertahankan adat itu, dan juga acara televisi pagi yang membosankan yang membahas budaya negaranya. Selain itu, ia tidak tahu menahu.

Dan lagipula keluarganya juga sibuk, tidak ada waktu untuk secara sengaja meluangkan untuk urusan tradisionil seperti ini. Jadi ini sebenarnya bukan hal yang begitu baru baginya. Ia sedikit mengerti mengenai beberapa ritual ini. Tapi untuk menjalankannya, maka ini memang yang pertama baginya.

Setelah acara penghormatan leluhur selesai. Semua orang berbaris dengan rapi di tempat duduk mereka yang beralaskan bantal duduk berwarna emas yang indah, dan suaminya menuntunnya pelan untuk memberikan hormat.

Kakek. Ayah. Ibu. Kak Jaehyun dan kemudian kak Doyoung.

Punggungnya sudah lelah sekali membungkuk tiada henti sejak pagi! Demi Tuhan! Punggungnya bisa saja melengkung layaknya jembatan Chuncheon kalau diteruskan!

Jadi jangan salahkan dirinya kalau melihat istri kakak iparnya adalah ujung dari barisan ini, senyumannya jadi melebar selebar mungkin—senyuman penuh keletihan tersemat jelas sekali.

Lututnya terasa pegal, tapi demi prosesi menyebalkan ini, ia mau tidak mau harus melakukannya. Ia memberikan penghormatan pada istri kakak iparnya itu seperti yang lainnya. Dan kakak iparnya itu juga membalasnya layaknya anggota keluarga lainnya. Tidak ada yang berbeda. Namun kemudian sebuah bisikan membuatnya terhenyak ketika bersujud bersama.

"Aku benar-benar memohon padamu.—Lakukanlah."

Ia menatap perempuan yang lebih tua empat tahun darinya itu dengan terkejut. Tidak tahu sama sekali mengenai apa yang kakak iparnya itu coba bicarakan padanya. Namun nadanya terdengar begitu pilu di telinganya.

Apakah berhubungan dengan prosesi ini atau tidak menyangkut sama sekali, itu menjadi pertanyaan besar di kepalanya sekarang.

Ia mencoba bertanya dengan pandangannya, tetapi kakak iparnya itu lebih memilih bungkam padanya. Dan ia tahu bahwa ia tidak punya waktu sama sekali untuk sekedar menanyakannya lebih lanjut lagi, karena beberapa pelayan langsung menuntunnya ke ruangan yang lain ketika ia selesai melakukan sesi penghormatan.

Jelas sekali sekarang.

—Semua rahasia itu tengah merangkak ke permukaan.

.

.

.

Tidak tahu apa yang tengah terjadi di luar. Tidak tahu apa yang tengah dilakukan suaminya. Tidak tahu apakah keluarganya sudah pulang. Tidak tahu ini pukul berapa. Bahkan ia juga tidak tahu sama sekali kenapa ia ditaruh di kamar kosong ini sendirian?

Haechan hanya menghabiskan waktunya dengan menatap kamar kosong ini dengan imajinasinya yang mulai membosankan—ia bahkan sampai tertidur sebentar menunggu seseorang untuk datang menyelamatkannya.

Tolong seseorang ketuk pintu sialan itu sekarang juga!

Ini itu pembuatan anak paling aneh yang pernah ia temui. Ia tahu kalau keluarga Jung memang masih memegang adat zaman dahulu yang kolot. Tapi ia masih tidak menyangka untuk urusan pembuatan anak alurnya sudah seperti malam pertama raja Sejong dengan ratu Soheon—begitu kolot dan ketinggalan zaman.

"Nyonya Haechan. Mohon izin masuk."

Oh ketukan pintu sungguh menyelamatkannya dari kebosanan! Terbekatilah engkau wahai pelayan yang bertugas!

"Ya."

Pelayan itu membungkuk hormat sebentar. Kemudian menyampaikan pesan sembari menunduk.

"Sekarang waktunya membersihkan diri bersama."

Haechan mengerutkan dahi. Memangnya ini sudah jam berapa sampai sudah waktunya untuk mandi? Memang sudah berapa lama dia di sini? Dan apa maksudnya dengan kata bersama dalam acara membersihkan diri? Ia bertanya-tanya.

Walau banyak pertanyaan yang hinggap di kepalanya, Haechan memutuskan untuk tidak mengeluarkannya. Hanya menurutinya dan melihatnya kemudian.

Ia sedikit terkejut mengetahui semua orang telah pergi—tidak ada orang sama sekali sejauh mata memandang. Dia hanya berjalan bersama dua orang pelayannya menelusuri ruangan demi ruangan dengan derap langkah yang halus.

"Semua orang sudah pulang?" ia mencoba memastikan.

"Ya, nyonya."

Haechan sebenarnya sedikit khawatir dengan situasi ini, tapi Mark bilang kepergian mereka adalah sebuah keharusan. Jangan berharap mereka akan di sini, katanya saat berada di mobil.

"Setelah mandi, Anda akan dipindahkan ke rumah di sayap barat."

"Kenapa?" ia tidak mengerti, apakah rumah di sini juga berbeda-beda fungsi?

"Disanalah kamar cho-bok berada."

Entah kenapa bulu kuduknya jadi merinding lagi. Prosesi ini benar-benar tidak berurusan dengan hal-hal kemistisan 'kan?

"Aku ingin bertanya, sebenarnya cho-bok itu apa? Jujur saja, aku masih tidak tahu apa itu.—Nggg...Itu bukan...—maksudku dia itu bukan semacam hantu 'kan?"

Kedua pelayan itu menahan tawa mendengar pertanyaan konyol milik nyonyanya—jelas sekali wajah nyonyanya itu terlihat begitu resah dan khawatir menanyakannya. Dahinya sampai berkerut-kerut dan matanya bergetar.

"Bukan, nyonya muda. Cho-bok itu berarti keberuntungan. Jadi kamar itu adalah kamar keberuntungan, diharapkan pasangan yang sudah menikah bisa mendapat keberuntungan setelah tidur di sana."

"Ah begitu rupanya. Senang mendengarnya." Haechan merasa bisa bernafas lega setelah mengetahuinya.

Tidak begitu lama kemudian, mereka akhirnya sampai ke pemandian yang dimaksudkan. Asap air panas bahkan bisa ia rasakan dari luar ruangan. Dan bibirnya reflek melengkung membayangkan tubuhnya akan berendam dalam pemandian air panas di gunung dingin ini.

"Biarkan kami membantu Anda melepaskannya."

Dan Haechan tentu tidak akan menolak mengingat bagaimana rumitnya pagi tadi hanya karena pemasangan hanbok yang memakan setengah jam lebih hanya untuk terpasang tepat di tubuhnya.

"Oh tentu, terima kasih."

Jadi setelah hanya tersisa sokchima putih—gaun yang dikenakan sebagai dalaman hanbok—yang tinggal melekat di tubuhnya. Kedua pelayan tersebut keluar dari area pemandian sembari menutup pintu rapat-rapat.

Sekarang, tidak ada yang bisa menghentikannya untuk memanjakan diri dalam air panas ini. Ia akan menjernihkan diri—mungkin saja akan banyak ketenangan yang bisa ia dapatkan nanti setelah berendam. Jadi dia bisa lebih logis lagi untuk menjalani ini.

"Seperti biasa, kau lama."

Haechan hampir limbung karena keterkejutannya! Kedua tangannya reflek menutupi dadanya erat-erat.

"Apa yang kau lakukan di sini?!"

Tawa sarkaslah yang ia dapatkan dari protesan kerasnya barusan.

"Membersihkan diri bersama—istriku."

Haechan meneguk ludah kikuk sembari membuang pandangan. Dari sekian banyak penyesalan, inilah penyesalan terbesarnya karena tidak mencerna dengan baik perkataan pelayan dan memilih mengabaikannya daripada menanyakannya.

"Turun."

Jika tubuhnya bergerak maka itu adalah gerakan untuk lari keluar secepatnya, bukan ikut masuk ke sana—berendam dalam satu kolam kecil bersama lelaki itu—yang berita bagusnya adalah suaminya selama empat bulan ini sampai sekarang.

"Aku bilang turun, Haechan."

Dan matanya turun ke sana—melihat rambut suaminya yang sudah basah dan terlihat begitu menyegarkan matanya, kemudian turun ke kening, mata, hidung, bibir, leher dan kemudian dada suaminya yang bidang.

Aku akan lari dari sini, pikirnya konyol.

"Sekali lagi. Aku bilang turun sekarang, nyonya Jung Haechan."

Oke. Dia tahu suaminya sudah jengkel sekali dengannya. Tapi kalau dipikir lagi ini terlalu intim untuk mereka berdua. Jadi lebih baik dia tidak masuk ke sana untuk kenyamanan bersama.

"Aku akan menunggumu selesai."

Mark tertawa singkat dengan raut wajah sarkas—tidak habis pikir tentunya. "Seperti dugaanku dari awal—otakmu benar-benar tidak pernah naik ke atas."

Oh, tentu! Dia sangat tersinggung mengenai ini!

"Naikkan otakmu sebentar."

Kalau bukan karena situasi yang terasa ambigu dan canggung ini, Haechan sudah pasti berteriak dan memakinya juga.

"Inilah alasan mereka membuang kita selama lima hari di sini. Jadi turun ke sini sebelum aku sendiri yang menarikmu ke tempat sialan ini."

Haechan menarik udara sebanyak mungkin—sudah tidak tahu lagi selain menyerah dari kekeraskepalaannya.

Tidak ada pilihan lain 'kan?

Ia tidak mau repot-repot membuka sokchimanya—dan itu memang tidak akan ia lakukan!

Memasuki kolam panas kecil ini rasanya seperti ia tengah memasuki tempat untuk mempermalukan dirinya sendiri. Perlahan demi perlahan, mulai dari kaki, paha, perut dan dada, rasa malunya membumbung tinggi layaknya sokchima miliknya yang mencoba naik ke permukaan air.

Kerongkongannya terasa kering walau air jelas sekali mengelilinginya. Ia benar-benar canggung sekarang. Dan Mark terlihat tidak peduli mengenainya.

Butuh waktu hampir satu menit untuk menyadari bahwa Mark tidak benar-benar abai akan situasi ini. Matanya menatap dirinya dengan pandangan konyol yang sarkas—yang jelas sekali mengarah ke bagian tubuh atas miliknya.

Oh idiot! Untuk apa aku bersikap seperti pengantin baru yang baru memulai malam bersama?! Mark hampir melihatnya setiap hari, idiot!

Kedua tangannya yang menutupi dada dengan canggung mulai turun dan bermain di lututnya yang terendam dalam air, membuat dirinya merasa tidak ada pengamanan lagi diantara mereka berdua.

"Aku tidak tahu pasti apa yang kau pikirkan. Tapi kita telah saling melihat selama empat bulan ini, jika kau tidak ingat."

Haechan mengangkat dagu, tidak ingin direndahkan begitu saja. Dia hanya merasa canggung saja dengan keintiman ini. Rasanya kegiatan tidur bersama—yang maksudnya adalah tidur satu ranjang berdua—berbeda sekali dengan kegiatan mandi bersama seperti ini?

"Ya, kita suami istri."

"Dan tentunya kalau begitu—ini bukanlah masalah besar, bukan?"

Haechan mengangguk dengan senyum bodoh yang keterlaluan canggung. "Ya. Ini bukan masalah besar."—Masalah super duper besar, Mark Jung yang waras sekali!

"Kau tahu?"

"Sokchimamu akan sangat bagus jika ditanggalkan."

.

.

.

Haechan menekuk wajah.

Berada dalam satu ruangan bersama dengan suaminya memang bukan hal yan tidak wajar—hal yang sangat lumrah malahan. Tapi berada dalam satu ruangan setelah perkataan menyebalkan di kolam membuat dirinya berharap sekali agar suaminya itu dipindahkan darinya.

"Apa yang kau harapkan?"

"Tidak ada." Ketusnya—tahu sekali kalau tidak ada yang bisa ia harapkan di sini.

"Kita akan terjebak di sini selama lima hari bersama."

Haechan meminum teh hangatnya sembari membuang muka yang jengkel. "Terima kasih sudah mengingatkan."

"Pastikan kau tidak akan mati karena kejenuhan."

Dan wanita itu menatap suaminya layaknya itu adalah hal paling konyol yang pernah suaminya bicarakan padanya.

Wanita itu mengetuk-ngetuk meja kecil yang memisahkan mereka dengan tempo berantakan yang menjengkelkan. "Aku sudah hampir mati sekarang. Jangan pura-pura kau menikmatinya ya."

Mark mengangkat cangkirnya ringan. "Aku memang."

Haechan mendecih cepat-cepat. "Hentikan kepura-puraanmu sebelum aku memukul kepalamu."

"Mandi bersama, minum teh bersama, tidur bersama, dan kemudian kita akan mengulanginya lagi setiap harinya. Ini lima hari yang menarik bukan?"

Haechan sampai tersedak mendengarnya.

"Heh?! Hanya itu yang kita lakukan?!"

Mark mendengus. "Jelas sekali iya adalah jawabannya." Kemudian menyesap tehnya kembali dengan tenang.

"Astaga Tuhan! Aku akan mati di tempat mengerikan ini,—benar 'kan?"

Kepala wanita itu bahkan langsung memberat seketika. Tidak ada kabar paling buruk selain kabar kalau ia akan mati di tempat ini secepatnya.

"Dimana letak keberuntungannya? Sudah jelas ini adalah tempat pembantaian."

Mark tertawa pelan di balik cangkirnya. Merasa istrinya begitu konyol mengenai ini, wanita itu memang tidak mengerti apapun. Tempat pembantaian bukanlah di sini, rumah adalah tempat pembantaian yang sebenarnya. Tapi wanita itu tidak pernah sadar mengenainya.

"Mereka memang benar-benar tahu caranya."

Itulah komentar yang bisa ia berikan.

Dari dulu Jung memang terkenal akan kepawaiannya dalam melakukan monopoli, Mark mengakuinya. Perusahaan-perusahaan Jung adalah pembuktiannya. Relasi-relasi juga adalah pencapaiannya. Jadi ia tidak heran lagi untuk hal seperti ini, mereka akan dengan mudah mengambil kendali. Lima hari terjebak di tempat seperti ini dengan kegiatan yang super duper membosankan dan mengarah ke sana, tidak akan ada yang bisa bertahan bukan?

Mereka tahu betul bagaimana cara bermain.

Dan ia juga akan menunjukkan cara bermainnya yang sedikit berbeda dengan mereka.

.

.

.

Hari telah larut. Ia bisa merasakannya. Suara hewan malam mulai beradu dalam sepinya malam menemani mereka berdua.

Ia akan tidur duluan sebelum lelaki yang tengah membaca buku kuno di sampingnya ini melakukan sesuatu padanya. Jadi ia segera membentangkan kasur dan tidur sedikit jauh dari lelaki itu—ia akan mengabaikan segalanya. Ia mungkin akan berpura-pura mati setelah ini agar tidak diganggu.

?!

Tunggu, ada yang aneh.

Haechan membuka matanya kembali cepat-cepat. Rasa kantuk saja tidak ingin mampir merasakannya.

"Mark?"

Ia sampai rela duduk kembali dan menatap suaminya, padahal ia sudah berencana untuk tidak akan bersosialisasi lagi dengannya sebagai bentuk pencegahan.

"Hm?"

Dan ia benar-benar butuh perhatian suaminya mengenai ini.

"Lantainya dingin."

Matanya sampai tidak bisa berkedip mengatakannya pada Mark. Ini adalah malapetaka jika praduganya memang benar.

"Oh aku lupa mengatakan padamu kalau hanya kamar ini yang tidak punya penghangat ruangan."

Tubuhnya membeku seketika, tapi jiwanya terasa lepas dari raganya begitu saja mendengarnya.

"Kau pasti bercanda." Ia bahkan hanya bisa bergumam menyuarakannya.

"Ngomong-ngomong, pintunya sudah dikunci. Jam tujuh pagi mereka baru akan membukanya."

"Oh!?"

Dengusan keras mengalun dalam ruangan itu.

"Oh ya! Bagus sekali! Bagus sekali! Benar-benar bagus!"

Haechan sudah tidak bisa berpikir lagi mengenai keluarga ini.

"Mereka memang berniat membunuhku di sini bersamamu 'kan sejak awal?"

Dan Mark hanya mengedikkan bahu santai sembari melanjutkan bacaannya tanpa beban, seolah ini adalah masalah yang sangat tidak krusial dan remeh temeh dalam abad ini.

"Bagaimana bisa mereka mendirikan rumah tanpa penghangat ruangan?! Dan konyolnya lagi hanya untuk kamar ini saja?! Astaga Tuhan! Dan kenapa juga dari sekian banyak ruangan yang punya penghangat ruangan kita ditempatkan di kamar yang tidak memilikinya?! Apakah mereka benar-benar waras?! Apakah mereka waras?!"

Dan ada keheningan sebentar, sebelum akhirnya Mark memutuskan berkomentar pelan. "Dari sekian banyak waktu yang terlewat, aku bertanya-tanya kenapa kau baru sadar sekarang."

Sampah!

"Yak!"

Mark tahu sekali kalau temperamen istrinya itu sungguh luar biasa, jadi ia tidak heran kalau bukunya sudah melayang akibat kemarahan istrinya.

"Kenapa kau begitu tenang?! Kau benar-benar ingin mati kedinginan di sini?!"

"Itu kedengaran menarik."

"Yaaaakk!" Istrinya makin marah dan jengkel—menatapnya dengan pelototan tajam. "Jangan bercanda, Mark Jung!"

Mark mendesah pelan. "Apa yang kau inginkan hm?"

"Lakukan sesuatu! Demi Tuhan Mark Jung, suamiku! Kau harusnya melakukan sesuatu dalam situasi mengancam nyawa ini!"

Dan dengusan sarkaslah yang ia terima dari kepanikannya yang sangat beralasan.

"Kau harusnya lebih tahu, Haechan—"

Haechan mundur perlahan, terkejut akan pergerakan suaminya yang secara tiba-tiba mendekat padanya dalam jarak yang begitu tipis. Hidung mereka bahkan mungkin saja akan bersentuhan saking tipisnya. Dan ia rasa juga tangannya sudah tidak bisa bergerak lagi menarik tubuhnya ke belakang. Ada sesuatu yang menghentikannya.

Ia meneguk ludah, jari-jari milik suaminya menyentuh dagunya perlahan. Namun ia hanya bisa fokus pada mata suaminya.

"—hal sesuatu apa yang akan membuat kita berdua hangat dalam situasi ini?"

.

.

.

Gaes! Aku bener-bener minta maap. Aku ga bisa nepatin janji kalau minggu kemaren update.

Ga sesuai rencana sama sekali. Banyak banget acara dadakan dalam minggu kemaren. Kakak aku tahu tahu dilamar kayak tahu bulat, terus waktunya mepet banget yang diminta. Soalnya keluarga pacar kakak aku nih rada rada sangklek ama adat, maunya hari waktu itu. Mangkanya aku mendadak jadi WO tiga hari ini :'v

Mangkanya aku bisa up hari ini :" maaf ya gaes

Terima kasih yang sudah mau berkomentar dan mengingatkan saya untuk selalu up. Aku mencintai kalian /lope attack/

dugeunkyoo, , ParkYooAh /makasih banyak udah bolak balik ke sini :D/, BaekXOrange, ainiaviolina, Markhyuck stan, ldnghyck, Vini Zhang /makasih banyak udah dibetulin :D/, Guest.