Jika Baekhyun tidak salah hitung, ini adalah kali ketujuh—sejak bangun pagi dua jam lalu—ia keluar-masuk kamar mandi hanya untuk memuntahkan isi perutnya. Padahal sarapan saja ia belum sempat, tapi perutnya terus bergejolak, seperti ada sesuatu mendesak yang harus dikeluarkan. Tenaganya pun terkuras habis, tenggorokannya sakit dan mulutnya terasa pahit. Matanya merah berair. Baekhyun terbatuk-batuk di depan lubang kloset, bersimpuh lemas dengan tangan mencengkeram pinggirannya. Tidak ada lagi yang bisa dimuntahkannya kecuali liur dan cairan kekuningan.

Suara siraman air terdenger begitu Baekhyun menekan tombol flush. Ia lantas terduduk di lantai, bersandar pada tembok dengan kaki diselonjorkan ke depan. Rasanya pegal karena terlalu lama dipakai untuk berlutut. Memasuki bulan kedua kehamilannya, morning sick yang selalu ditakutkan orang hamil ternyata turut menyerang dirinya. Aneh memang, sebab ia justru tidak merasakannya di satu bulan pertama. Mungkin... bisa jadi sakitnya ini akibat guncangan psikis yang dialaminya tempo hari.

Sudah dua minggu terlewati, tetapi gaung kalimat Chanyeol masih saja terdengar sangat nyata di telinganya. Terbawa dalam mimpinya hingga Baekhyun insomnia, ia bahkan hanya tidur tiga jam malam tadi. Baekhyun ketakutan setiap malam, bayangan ia diseret paksa ke klinik aborsi selalu hadir dalam bunga tidurnya. Entah kapan Chanyeol akan merealisasikan perkataannya. Kedatangan sang pujaan yang biasanya ia nantikan, kini berubah menakutkan baginya.

Tidak ingin berlama-lama di kamar mandi, Baekhyun pun bangkit berdiri—walau sedikit goyah pada pijakan awal. Tangannya berpegangan pada wastafel, lalu merayapi dinding dengan kaki agak terpincang karena kesemutan. Tujuannya adalah dapur, ia butuh minum agar tidak dehidrasi.

Jangan salah sangka, Baekhyun tetap mencintai Chanyeol. Hal itu tidak akan berubah sampai kapan pun. Cinta si pemuda kepada penyelamatnya seolah sudah mendarah daging. Barang kali, ini pulalah yang membuat sakitnya bertambah parah. Fisik pula mentalnya. Sekejam apa pun ucapan Chanyeol di pertemuan terakhir mereka, si carrier tidak pernah mampu membenci penyelamatnya.

Baekhyun nyaris terjatuh saat coba melewati dua pijakan tangga menuju dapur, beruntung ada Lee Ahjumma di sana—yang tanggap menangkap tubuh olengnya, meski kemudian wanita tua itu langsung melepaskannya begitu Baekhyun berhasil duduk di kursi meja makan. Baekhyun melirik jam dinding di ruang tengah yang tampak dari dapur, pukul sembilan kurang lima menit.

"Kau terlambat hampir satu jam, Lee Ahjumma," serak Baekhyun berkata. Mengingatkan bahwa jam kerja paginya adalah pukul delapan. Dilihat dari mantel yang masih dikenakannya, Baekhyun tahu Lee Ahjumma baru saja datang.

"Maaf, saya terlalu lama di pasar untuk berbelanja. Apa Anda sakit?" balas dan tanya Lee Ahjumma kaku sekali.

Namun berhasil mengejutkan Baekhyun sebab tidak biasanya sang asisten rumah tangga menggubris ucapannya, bahkan menanyakan kesehatannya. Dada Baekhyun jadi sedikit sesak, merasa terharu karena diperhatikan. Belakangan perasaannya memang lebih sensitif daripada sebelumnya—pengaruh hormon kehamilan. Baekhyun menggeleng, lalu menjawab, "Aku haus," sambil menahan cekatan suara di tenggorokan. Tiba-tiba saja Lee Ahjumma mengingatkannya pada almarhumah ibunya.

"Saya buatkan teh lemon madu hangat. Tunggu sebentar," tanpa merubah nada bicaranya yang kaku, Lee Ahjumma pun segera membuatkan apa yang dikatakannya. Melihat lingkaran hitam di mata Baekhyun serta wajah pucatnya, sedikit banyak melunturkan keengganannya untuk bicara pada sang simpanan majikannya. Ia bukannya tidak tahu keadaan Baekhyun yang sebenarnya, ia paham malah... bahwa pemuda carrier itu tengah mengandung.

Sejenak hanya suara-suara peralatan peralatan dapur yang terdengar. Lee Ahjumma nampak fokus merebus air dalam cerek sembari menyiapkan bahan-bahan pembuat teh lemon madu. Sementara Baekhyun memilih membaringkan kepalanya di atas meja, mencoba meredakan peningnya yang kian kuat terasa. Ia lazimnya bukanlah lelaki manja, namun kondisi tubuhnya sekarang memaksanya tidak bisa berbuat apa-apa.

"Kau membenciku, kan, Lee Ahjumma?" mendadak Baekhyun bertanya—yang lebih cocok disebut pernyataan ketimbang pertanyaan.

Sempat tertegun sesaat oleh kalimat Baekhyun, nyatanya tak mengendurkan ekspresi datar sang asisten rumah tangga. Ia lanjut menggarap pekerjaannya, sengaja menganggap Baekhyun sekadar meracau belaka. Walaupun ia tahu, pemuda di belakangnya itu tengah meneteskan air mata.

"Kau pasti sangat membenciku," tegas yang lebih muda, coba menormalkan suaranya walau air mata membasahi pipinya. "Appa pergi bahkan sebelum aku lahir karena dia membenciku. Appa tiriku malah ingin menjualku. Eomma... Eomma pun akhirnya meninggalkanku. Orang-orang di desaku juga... mereka tidak menyukaiku, semua orang membenciku," Baekhyun menyeka air matanya, menetralkan napasnya agar tidak terisak. "Termasuk Chanyeol," lanjutnya melirih, menyeka lelehan cairan hangat di wajahnya.

Tidak ada tanggapan dari Lee Ahjumma, wanita itu masih sibuk menyeduh teh dan pilih mengabaikan segala racauan Baekhyun barusan. Selesai menambahkan madu serta perasaan lemon, Lee Ahjumma lalu meletakkan teh buatannya di atas meja makan—tepat di samping kepala rebah majikannya. "Minumlah, ini bisa meredakan mual. Saya akan buatkan makanan untuk mengisi perut Anda," ia kemudian berbalik, bersiap memasak tanpa perlu memerhatikan wajah berantakan Baekhyun. Bermaksud membiarkan si pemuda menangis jika memang itu yang diinginkannya.

"Terima kasih, Lee Ahjumma."

.

.

.

Growing Pains

Chanbaek

Chanyeol (28) x Baekhyun (18)

Romance-Angst

Short Series

Warning! Mature, BxB, Mpreg, Membosankan!

.

.

.

Bagian Empat—

Dulu saat di desanya, Baekhyun selalu takjub kala melihat wanita hamil. Di matanya, calon ibu tersebut akan berkali lipat terlihat lebih cemerlang. Tidak peduli dengan perut menggembung atau tubuh yang berisi, mereka tetap tampak cantik bagi Baekhyun. Apalagi saat ia tahu akan ada kehidupan baru yang keluar dari perut membuncit itu, rasa kagumnya pun semakin berlebih-lebih. Membayangkan seorang ibu harus membawa calon anaknya, menanggung sebuah (bahkan lebih) nyawa selama sembilan bulan di dalam perut, bukankah itu sungguh menakjubkan?

Baekhyun jadi ingin merasakannya.

Itu yang ada dipikiran Baekhyun ketika usinya 10 tahun. Hingga satu tahun setelahnya, saat ia mengetahui kalau dirinya adalah lelaki carrier, Baekhyun pun memantapkan cita-citanya... bahwa suatu hari nanti, ia akan menikahi seorang pria dominan yang dicintainya dan mengandung buah cinta mereka. Baekhyun akan memberi suaminya anak yang banyak karena ia sangat menyukai bayi. Ia dan suaminya kelak akan merawat dan membesarkan anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang. Lalu hidup bahagia selamanya.

Begitulah pemikiran polos Baekhyun sebagai anak laki-laki carrier mengenai definisi hidup bahagia. Namun ia tidak pernah menyangka... bahwasanya hidup sebagai seorang carrier ternyata banyak rintangannya. Misalnya, dipandang sebelah mata, dianggap lemah, selalu direndahkan, juga tidak disukai orang-orang di desanya. Baekhyun tidak pernah tahu sebelumnya, karena ia merupakan satu-satunya carrier yang terlahir di desa tempatnya tinggal. Oh, ibunya bahkan sempat menangis sewaktu dokter dari kota menyatakan anak laki-lakinya ternyata memiliki rahim.

Usinya baru 11 tahun kala itu, tapi sepertinya orang-orang di desanya tidak mempedulikan. Mereka mulai mencibiri Baekhyun, melarang anak-anak mereka bergaul dengannya, dan hal-hal lainnya yang membuat si kecil Baekhyun yang polos menangis sambil mengadu kepada ibunya. Bagi mereka carrier adalah sebuah aib. Titik.

Benar, ia merupakan aib.

Byun Baekhyun adalah sebuah aib.

Seseorang yang dianggap sebagai aib tidak seharusnya hidup bahagia. Toh, hidupnya memang sudah menyakitkan sejak dulu. Harapan hidup bahagia hanya sekadar angan-angannya—delusinya semata. Tidak akan pernah terjadi. Mestinya ia sadar diri, Chanyeol telah berbaik hati memberinya sedikit kebahagiaan, tapi dirinya malah berubah serakah. Ia menginginkan hal yang semestinya tidak boleh ia inginkan dari penyelamatnya.

Bayi.

Ya, tidak seharusnya ia berharap mendapatkan makhluk mungil itu dari Chanyeol. Tidak seharusnya pula ia berpikiran untuk menguasai Chanyeol seutuhnya, sedang ia paham betul... penyelamatnya itu bukanlah hak miliknya. Ya, memberi Chanyeol seorang anak dengan dalih sang istri tidak juga memberikannya cuma alasan Baekhyun belaka.

Ayolah, jangan munafik Byun Baekhyun. Alih-alih demi Chanyeol, sesungguhnya kau melakukan semua ini hanya untuk dirimu sendiri.

Sebulir air mata tanpa permisi merembes dari mata Baekhyun, mengaliri pipinya lalu jatuh mengenai kertas di hadapannya. Otomatis menyadarkan Baekhyun dari lamunan sesaatnya. Ia mengerjap, mengambil napas panjang sembari mengelap jejak basah di wajahnya dengan sebelah tangan. Diambilnya kertas yang sudah berisi tulisan tangannya tersebut, memandanginya sejenak kemudian melipatnya dua kali. Dan meletakkannya kembali ke atas meja rias sementara dirinya beranjak keluar kamar.

Beberapa hari semenjak terakhir kali Chanyeol berkunjung, Baekhyun terus berpikir bagaimana ia harus menjalani kehidupannya di kelak hari. Apa yang mestinya ia lakukan terhadap janin dalam kandungannya. Baekhyun tidak akan sanggup pun rela bila harus menggugurkannya. Calon bayinya tidak bersalah, melainkan dirinya. Namun, apa yang bisa Baekhyun perbuat untuk mempertahankan darah dagingnya? Sedangkan Chanyeol tidak menghendakinya.

Baekhyun hanyalah remaja carrier 18 tahun yang sangat minim pengetahuan, tidak ada sanak saudara yang bisa dimintainya bantuan. Ia tidak memiliki uang ataupun pekerjaan, memang... uang yang Chanyeol berikan mungkin dapat mencukupi sampai dirinya melahirkan (itu pun jika ia menemukan tempat tinggal gratis), lalu bagaimana seterusnya? Tersisa satu alternatif yang terbersit dalam otak putus asa Baekhyun.

Jika ada yang ingin menyingkirkan calon anaknya, maka dirinya juga harus turut disingkirkan. Dengan suka rela Baekhyun akan ikut pergi bersama buah cintanya.

.

.

.

Ting.

Begitu pintu lift terbuka, ketukan hak sepatu menggema di sepanjang aula rumah sakit daerah yang terbilang cukup sederhana. Cara jalannya mengidentifikasikan bahwa pemiliknya tidak sabar lagi untuk sampai pada tujuannya. Langkahnya tegak menghentak, dengan dagu naik menunjukkan kepercayaan diri tinggi yang dimilikinya.

Di belakang, suaminya mengikuti tak terlalu jauh. Berjalan tidak kalah tegap namun dengan pandangan terfokus pada tablet di tangannya. Memeriksa laporan pekerjaan yang baru saja disodorkan oleh sekretaris pribadinya. Matanya awas membaca setiap garis besar tulisan pada layar sementara telinganya mendengarkan penjelasan sang sekretaris.

"Tuan Besar Park juga ingin Anda menghadiri pembukaan rumah sakit di Busan," tutup sekretaris bermarga Kim tersebut sebelum menerima kembali tabletnya dari Chanyeol, atasannya.

"Kapan?"

"Lusa. Jika Anda setuju, saya akan langsung pesankan tiket pesawat..."

"Pesan untuk dua orang," sang nyonya memotong tanpa menolehkan kepalanya. Ia terus berjalan hingga tiba di depan lobi rumah sakit, lantas menghampiri sebuah mobil Mercedes-Benz yang terparkir di sana. "Ah, jangan lupa pesankan juga private spa, Jongdae-ssi. Aku butuh menyegarkan tubuhku yang lelah," tambahnya sebelum masuk ke dalam mobil—yang pintunya telah lebih dulu dibukakan oleh supir.

Chanyeol menghela napas, memejamkan mata sekejap untuk menetralisasi perasaannya yang sedikit dongkol. Jadwalnya sudah sangat padat minggu ini dan ayahnya masih juga menyuruhnya ke sana kemari menghadiri acara yang bukan menjadi kepentingannya. Bisnis di bidang kesehatan sebenarnya adalah tanggung jawab Yoora, kakak perempuannya. Tapi ayahnya selalu saja menginginkan kehadirannya sebagai wajah utama Park Group, padahal ia telah memiliki perusahaannya sendiri di bidang real estat (Loey Corporation)—yang tentu masih di bawah naungan perusahaan ayahnya.

"Lakukan apa yang Sooyoung katakan," katanya kemudian, kesal karena tidak bisa menolak apa pun permintaan (perintah) ayahnya. Ia menyusul istrinya memasuki mobil, meninggalkan Jongdae untuk mengurusi sisa acara amal di rumah sakit itu.

Mobil melaju meninggalkan halaman rumah sakit. Merayap pada jalanan yang ramai saat jam pulang kerja. Keduanya tak terlibat percakapan selama sepuluh menit di dalam mobil, memilih sibuk dengan ponsel di tangan masing-masing. Sampai akhirnya Chanyeol membuka suara terlebih dahulu sebab tak tahan terhadap keheningan yang entah terasa canggung tersebut.

"Kalau lelah seharusnya kau tidak perlu ikut ke Busan." Chanyeol merasa harus perhatian kepada Sooyoung sekarang, wanita yang secara sah dinikahinya tiga tahun lalu. Aneh memang, padahal dulu ia tidak pernah seterpaksa ini dalam memperhatikan istrinya, semuanya mengalir begitu saja.

"Ya, lalu ayahmu akan menyebutku istri tak tahu diri, tidak peduli dengan suami dan bla-bla-bla," jawab Sooyoung setelah tertawa sarkas, matanya memandang ke luar jendela mobil. Lagi-lagi mengacuhkan orang yang diajaknya bicara. Ini merupakan salah satu sikap Sooyoung yang tidak Chanyeol sukai, sebagai seorang dominan ia tidak suka diacuhkan.

Akan tetapi istrinya benar, ayahnya pasti akan berbicara macam-macam jika Sooyoung tidak menemaninya ke Busan. Tuan Besar Park adalah orang tua konservatif, yang berpendapat bahwa seorang istri harus selalu mengikuti ke mana pun suaminya pergi, melayani sepenuh hati serta lebih mengutamakan kepentingan suami dibandingkan dirinya sendiri. Beliau pria yang sangat tegas, atau dengan kata lain tidak bisa ditolak. Control freak bahkan kepada anak-anaknya yang telah memiliki kehidupan masing-masing.

Dan Sooyoung sudah menciderai ideologi sang ayah mertua dengan menunda kehamilan (sebenarnya ia tidak mau hamil sama sekali karena tidak ingin tubuhnya berubah). Sebab itu ia turut ke mana pun Chanyeol melakukan perjalanan bisnis—dari yang sebelumnya ia tidak begitu peduli ke mana suaminya pergi. Terlebih ketika ia mengetahui Chanyeol menyimpan 'mainan di luar rumah'. Sooyoung tidak ingin dicap sebagai istri gagal karena suaminya memilih bermain dengan orang lain.

Di sisi lain, sejujurnya sedikit banyak Chanyeol pun mewarisi sifat ayahnya itu. Dibesarkan dalam keluarga yang cenderung mementingkan anak laki-laki (dominan), membuat egonya terlanjur melambung tinggi. Ia biasa diutamakan, senantiasa diperhatikan pula diajarkan menjalankan tanggung jawab sebagai pria dominan sedari dini—yang secara tidak langsung menjadikannya terbiasa memegang kendali. Bedanya, Chanyeol memiliki toleransi dan berpikiran lebih terbuka sehingga ia tidak gila hormat seperti sang ayah.

Namun tetap saja, jauh di dalam dirinya ada rasa berang kala ia tidak bisa mengendalikan sesuatu (atau seseorang), termasuk istrinya sendiri. Awalnya Chanyeol memang tidak keberatan dengan sikap independen Park Sooyoung. Tidak masalah atas kecerdasan dan bakatnya di dunia fesyen. Ia bangga Sooyoung mampu berkarir sebagai desainer mode bahkan sejak usinya belum menyentuh angka 20 tahun, justru karena itulah dulu ia jatuh hati kepada adik tingkatnya di universitas itu.

Tetapi setelah menikah, sifat feminis Sooyoung ternyata membawa dampak negatif pada pernikahan mereka. Kesibukan keduanya merenggangkan komunikasi serta hubungan mereka sebagai suami-istri, setidaknya begitulah anggapan Chanyeol. Belakangan saja—semenjak Tuan Park menyindirnya tentang anak, Sooyoung terpaksa mengurangi kegiatannya dan bersedia mendampingi sang suami. Chanyeol tahu, sesungguhnya Sooyoung hanya ingin menutupi celanya di mata ayahnya. Wanita itu tidak suka terlihat buruk dalam pandangan siapa pun.

Ya, faktanya Chanyeol dan Sooyoung memang mempunyai ego juga gengsi yang sama-sama tinggi. Dan keduanya memilih untuk tetap bersama sebab orang-orang terlanjur mempredikati mereka dengan sebutan 'pasangan serasi'.

Mungkin ini sebabnya hati Chanyeol kini berpaling pada yang lain, pada seseorang yang membuatnya lebih merasa dibutuhkan, lebih memperhatikannya dan terutama bisa ia kendalikan. Meski ujungnya ia pun kecolongan satu hal.

"Omong-omong... Chukkae," Sooyoung tiba-tiba memberi selamat, yang otomatis mengernyitkan dahi Chanyeol. "Kudengar simpananmu sedang mengandung. Oppa pasti senang sebentar lagi akan memiliki bayi," lanjutnya dengan senyum sinis di akhir.

Chanyeol sempat terkejut barang sedetik mendengar perkataan Sooyoung, tapi secepat kilat ia terkekeh takjub. Tidak perlu bertanya dari mana istrinya mengetahui semua itu, dia cukup memiliki mata-mata untuk mengetahui segala informasi.

"Tapi..." dengan sengaja Sooyoung menjeda kalimatnya, berbalik menghadap si suami lalu meneruskan, "apa Oppa yakin itu milikmu? Maksudku... dia bisa tidur dengan siapa pun saat Oppa tidak di sana, kan?"

Satu hal yang juga amat Chanyeol pahami, bahwa Park Sooyoung bisa sangat manipulatif—baik kata-katanya maupun perilakunya. Orang akan dengan mudah mempercayai dan menaruh simpati padanya, walau kenyataannya... tampilan luarnya sungguh bertolak belakang dari sifat aslinya. Dan Chanyeol yang sudah begitu memahami karakter sang istri, mendadak geram mendengar ucapannya baru saja—yang menurutnya tidak benar sama sekali. Ia tahu Baekhyun dengan baik, anak itu terlalu mencintai 'penyelamatnya' untuk berkhianat atau bersama pria lain. Yang tidak Chanyeol sadari adalah... sesungguhnya ia tidak suka saat Sooyoung secara tidak langsung telah menghina Baekhyun.

"Jangan naif, Oppa. Seorang carrier tidak bisa dipercaya, sudah sifat mereka menjadi jal—"

"Ahjussi, tolong menepi di depan," sela Chanyeol, merasa tidak butuh mendengar kata-kata Sooyoung selanjutnya. Permintaannya segera dituruti oleh sang supir. Chanyeol tidak peduli lagi terhadap tatapan horor yang ditunjukkan Sooyoung padanya, begitu mobil berhenti ia langsung membuka pintu. "Pulanglah duluan, aku sedang ada urusan," intruksinya sembari mengeluarkan satu kakinya dari mobil, namun di saat bersamaan tanpa diduga Sooyoung meraih lengannya.

"Oppa akan menemuinya, kan?"

Chanyeol tak menanggapi, malah beralih pada supir di kursi depan seraya membebaskan lengannya dari cengkeraman Sooyoung. "Tolong antarkan Nyonya Park pulang, Ahjussi. Dia butuh istirahat."

"Jadi sekarang Oppa lebih memilih jalang itu daripada istrimu?" Sooyoung jelas murka, nada suara yang sebelumnya acuh tak acuh kini berubah mendesis jengkel.

Sekali lagi Chanyeol menolak menanggapi. Telinganya panas mendengar Sooyoung terus merendahkan Baekhyun, ia tahu pasti dirinya akan meledak jika tidak segera menjauh dari istrinya. Dan Chanyeol tidak mau itu terjadi, bagaimanapun ia masih menyayangi serta menghargai Sooyoung sebagai pasangan hidupnya.

"Oppa!"

Tanpa memedulikan teriakan Sooyoung, Chanyeol akhirnya keluar dan menutup pintu mobil. Lantas mengangguk pada supir pribadinya agar segera melanjutkan perjalanan.

.

.

.

Gemercik air keran terdengar memenuhi dinding-dinding sebuah kamar mandi mewah. Bathup telah penuh terisi, meluber hingga menggenangi lantai di bawahnya. Entah sengaja atau tak peduli, sang pemilik membiarkan. Di dalam kamar sedang sibuk menyiapkan pakaian. Kemeja, jas, beserta celana panjang. Setelan kantor milik sang pujaan.

Baekhyun bersenandung, sesekali mengelusi perutnya. Dipilahnya setelan yang dirasa cocok meski tak banyak pilihan. Oh, hampir saja ia melupakan dasi. Langkahnya ia balikkan pada closet setelah meletakkan satu set pakaian pilihannya di atas ranjang. Pemuda manis itu menggigit telunjuk, bergumam guna memutuskan. Hanya ada tiga buah dasi di laci dalam closet -nya.

Ditengokkan kepalanya pada setelan di atas ranjang, lantas mantap mengambil satu dasi hitam bercorak garis keabuan horizontal. Sesuai dengan kemeja abu-abu serta celana dan jas hitam pilihannya. Ia kembali, menaruh dasi tersebut di atas kemeja yang sudah ditatanya sedemikian rupa. Senyum merekah di bibirnya, merasa puas atas hasil usahanya. Sentuhan terakhirnya adalah selipat kertas—yang beberapa menit lalu telah ia isi dengan tulisan tangannya, turut ia selipkan pada kantung atas jas. Tidak terlalu dalam, sehingga masih terlihat ujungnya dari luar.

Mengelusi perutnya, Baekhyun berjalan menuju kamar mandi. Tak menghiraukan genangan air pada lantai, dibukanya lemari di atas wastafel. Mengambil sebuah botol berisi pil dan menuangkannya di tangan. Tiga pil kemudian ia telan begitu saja.

Sejenak dipandangi bayangannya pada cermin. Meneliti wajahnya untuk yang terakhir kali. "Jangan menyesali apa pun. Cintamu bukan kesalahan," ujarnya pada sosok di hadapannya—yang balas memberinya senyum. Seolah menyemangati atas keputusan yang telah dipilihnya.

Keran masih menyala, air tak henti mengalir. Bahkan kini genangannya sudah memenuhi seluruh lantai kamar mandi. Pemuda berkemeja putih itu berjalan ke arah bathup. Di tangan kanannya ia genggam selembar foto hitam putih. Satu demi satu kakinya ia masukkan dalam bak berisi air tersebut, lalu mendudukkan diri di dalamnya. Air meluber tambah banyak seiring tubuhnya terendam.

Punggung ia sandarkan ke belakang, tangan kanan dibiarkannya menjulur keluar bathup. Kantuk pun perlahan menyerang, tubuh tegangnya lambat laun melemas. Lagi, ia coba tuk tersenyum. Namun sebulir air mata tak kuasa ia bendung.

Air tetap mengalir, gemercik suaranya memantul pada dinding. Si pemuda berkemeja putih terpejam. Menikmati dinginnya air yang mulai merambati kulit ari. Sepenggal kata maaf ia bisikkan kemudian.

"Mianhae," beserta remasan di tangan kanan, "Chanyeol-ie."

.

.

"Tuan..."

Chanyeol terbangun, matanya berotasi linglung memperhatikan kiri dan kanan.

"Tuan?" lagi, panggil seseorang dari depan kursi kemudi. "Kita sudah sampai," lanjutnya memberi tahu.

Dan berhasil membuat Chanyeol menegakkan punggungnya dari sandaran kursi taksi yang didudukinya. Kesadaran perlahan memenuhi diri Chanyeol. Benar, ia tengah berada di dalam taksi saat ini. Ia ingat, setelah nyaris bertengkar dengan Sooyoung, ia memutuskan untuk mengunjungi Baekhyun, tapi... mimpi apa barusan dirinya? Mendebarkan jantungnya saja. Diam-diam pria bermarga Park itu mengembuskan napas lega. "Terima kasih," ucapnya kemudian, menyerahkan sekian lembar won pada si supir taksi. Ia keluar sambil berusaha melupakan bunga tidur yang jujur menggelisahkan hatinya.

Namun, baru saja turun, Chanyeol dibuat bingung dengan kerumunan orang-orang sejauh matanya memandang. Ramai sekali, dan entah kenapa perasaannya kini bertambah muram. Lalu tak lama berselang, sebuah mobil ambulans berhenti tepat di depan lobi apartemen. Raungannya terdengar begitu memekakkan di telinga Chanyeol. Ia bingung pula penasaran, beberapa tetangga apartemen yang ia kenali wajahnya terlihat hilir mudik di sekitar lobi sembari saling berbisik—menambah dengungan pada gendang telinganya seperti bersahutan dengan sirine ambulans. Pun para petugas medis terlihat bergegas menuju bagian dalam gedung apartemen. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Lantai berapa?" seorang petugas berseragam bertanya kepada dua rekan di sampingnya. Chanyeol mendekat, bermaksud bertanya tapi jawaban petugas yang membawa tandu seakan menyengat organ dalam dadanya.

"Lantai tujuh unit nomor tiga puluh."

Sial! Itu adalah nomor unit apartemennya. Seketika batinnya meneriakkan satu nama, Baekhyun. Langkahnya pun tidak bisa ia kontrol lagi, cepat-cepat Chanyeol membawa kakinya menerobos masuk ke dalam salah satu kotak lift. Ditekannya tombol panel berangka tujuh berulang kali, seolah dengan begitu lift akan berjalan lebih cepat. Ia bersumpah serapah sepanjang perjalanan, mengumpati firasatnya yang mengatakan bahwa mimpinya tadi merupakan sebuah kenyataan.

Detik berlalu serasa layaknya abad, sampai dentingan lift terbuka menjadi awal bagi Chanyeol untuk kembali memacu kedua kakinya. Lagi-lagi ia menyumpah, kali ini menyalahkan unitnya yang berada di ujung lorong dari letak lift. Normalnya Chanyeol bukanlah orang yang mudah dibuat cemas berlebihan, biasanya ia selalu dapat mengontrol setiap emosi dalam dirinya, tapi entah... yang satu ini berhasil menghilangkan semua kontrol diri Chanyeol. Begitu tiba di depan pintu unitnya, telunjuknya lantas dengan cekatan memasukkan empat digit kode pintu yang sudah dihafalnya di luar kepala.

Lee Ahjumma-lah yang menyambut kala Chanyeol membuka pintu, juga suara-suara tak asing yang sebelumnya ia dengar di lantai bawah. Ia memicingkan mata, merasa tidak suka saat dilihatnya kedua indra penglihat si asisten rumah tangga menggenang basah.

"Ahjumma, ada apa ini? Kenapa kau menangis?" tanyanya seraya melangkah masuk, sepatunya yang belum diganti sandal rumah menapaki lantai kayu apartemen.

"Seharusnya saya tidak memperlakukannya secara dingin, Tuan."

Akan tetapi jawaban Lee Ahjumma malah mengerutkan dahinya. "Lee Ahjumma, apa yang kau bicarakan?" kembali tanyanya, memilih untuk melanjutkan langkah menuju ruang tengah—dengan Lee Ahjumma yang mengikuti di belakang, terisak sambil meneruskan kalimat penyesalannya.

"Saya tahu anak itu sangat kesepian, dia butuh teman bicara..."

Chanyeol tidak berhenti, namun hatinya sempat tercubit meski ia masih memungkiri apa yang benaknya pikirkan.

"Tapi... tapi yang saya lakukan justru terus mengabaikannya. Sungguh, saya tidak pernah membencinya, Tuan. Saya tidak membencinya..."

Melewati ruang tengah, Chanyeol melihat pintu kamar yang biasa ditempatinya terbuka. Suara-suara itu pun terdengar semakin jelas di pendengaranya, membuat dadanya berdebar kian hebat, serta tumpuan kakinya tiba-tiba memberat ketika dicobanya menghampiri kamar berpintu cokelat itu. Tangannya menjulur ke depan, hati-hati merabai permukaan pintu berpelitur—bermaksud untuk membukanya lebih lebar lagi. Tiga orang petugas yang tadi dilihatnya berada di dalam sana, berkerubung di dekat kamar mandi, berdebat entah apa sebab hanya detak jantungannya yang terdengar di telinga Chanyeol.

Lututnya bergetar, napas sesak menghimpit paru-paru. Chanyeol goyah sekujur tubuh ketika satu petugas yang menghalangi pandangannya berdiri, memberi jalan bagi kedua rekannya untuk mengangkat tandu—yang di atasnya terbaring tubuh kaku berselimut kain putih. Retina Chanyeol masih sempat menangkap wajah pucatnya sebelum si petugas menarik kain tersebut hingga menutupi keseluruhan sosoknya. Chanyeol membeku di tempat, menyaksikan tandu yang mengangkut tubuh tak bernyawa kesayangannya pergi, persis di hadapannya.

Rasanya seperti slow motion, bagaikan waktu terhenti begitu saja. Chanyeol tak bisa merasakan dirinya lagi, ia jatuh... terduduk dengan nyawa seolah ikut tercabut. Situasi macam apa ini? Baekhyun... apa yang terjadi dengan Baekhyun-nya? Kenapa dadanya sesak sekali? Tulangnya serasa dilolosi satu per satu, serasa separuh jiwanya tidak lagi ada pada raganya. Bahkan untuk bangkit mengejar saja ia tak sanggup.

Rasakan, dasar berengsek!

"Saya kira Tuan Baekhyun ingin Anda membaca ini, Tuan," Lee Ahjumma tetiba sudah ada di depannya, berdiri menjulang dengan tangan menyodorkan selipat kertas putih. Terkesan tidak sopan, tampak arogan seperti bukan Lee Ahjumma yang biasanya. Chanyeol sampai harus mendongak tinggi untuk menerima kertas tersebut. "Seseorang memang akan terasa berharga saat mereka pergi. Anda pantas untuk menyesal, Tuan. Kuharap Anda mendapatkan pelajarannya," ucapnya penuh dengan nada kesinisan, dan berlalu pergi begitu saja tanpa kata permisi.

Chanyeol sekali lagi tercubit mendengar penuturan Lee Ahjumma. Semestinya ia marah diperlakukan demikian oleh seseorang yang sepatutnya menghormatinya, tapi yang dilakukannya justru terdiam, seakan menerima pula membenarkan setiap nasihat sinis dari mulut asisten rumah tangganya itu. Tangannya yang memegang kertas tergantung di udara, bergetar sangat kentara. Di dalam mimpinya (yang tidak lebih dari setengah jam lalu), ia ingat Baekhyun menyelipkan selembar kertas...

Atensi Chanyeol reflek berpindah pada tempat tidur di sebelah kirinya.

Dan benar ternyata. Terdapat setelan miliknya di atas ranjang, tepat seperti di dalam mimpinya. Meremangkan bulu kuduknya dalam ketidakpercayaan. Ini hanya kebetulan, iya, kan? Kedua tangan bergetar Chanyeol berusaha membuka lipatan kertas tersebut. Selajutnya, giliran bola mata tak fokusnya coba membaca huruf demi huruf yang tertulis di sana. Tulisan yang ia kenal betul milik kesayangannya.

Untuk Park Chanyeol.

Baekkie tidak pernah menyesal telah mengenal Chanyeol. Terima kasih sudah menyelamatkan Baekkie malam itu. Terima kasih sudah memberi Baekkie kebahagiaan bersama Chanyeol. Bersama seseorang yang Baekkie cintai sepenuh hati. Seseorang yang selalu Baekkie rindukan. Maaf karena Baekkie menjadi tamak. Maaf telah mengecewakan Chanyeol. Dan maaf sebab Baekkie tidak bisa menuruti keinginan Chanyeol untuk menggugurkan bayi ini. Dia tidak bersalah, Baekkie yang bersalah karena terlalu serakah.

Baekkie mencintai Chanyeol. Sungguh-sungguh mencintai Chanyeol. Seandainya Chanyeol juga memiliki perasaan yang sama, pasti Baekkie merasa sangat bahagia. Tapi itu bukan masalah, Baekkie sudah cukup bahagia sekarang. Bersama calon anak kita di hadapan Tuhan. Selamat tinggal, Park Chanyeol.

Yang mencintai penyelamatnya,

Byun Baekhyun.

Itu adalah wasiat kematian yang singkat. Berisi salam perpisahan disertai ucapan terima kasih dan permintaan maaf. Seumur hidup Chanyeol tidak pernah menyangka akan menerimanya, apalagi memperkirakan rasanya. Rasa perih kala membacanya, rasa bersalah, juga penyesalan yang teramat dalam. Ibarat segala perasaan negatif bergabung dan kompak menyerang hatinya. Sekurangnya, begitulah yang dirasakan Chanyeol saat ini.

Ketakutan menyelimuti perasaannya. Tiba-tiba otaknya membayangkan kehidupannya ke depan. Bagaimana ia menjalaninya tanpa Baekhyun? Meski singkat, Chanyeol tahu, sesungguhnya Baekhyun telah memenuhi seluruh bagian kalbunya. Dan kini ia tidak berdaya, membeku bak pengecut, menolak kenyataan di depan matanya—yang lantas tanpa sengaja menangkap sesuatu di ambang pintu kamar mandi. Menarik perhatian Chanyeol untuk memeriksanya.

Terseok, Chanyeol menghampiri benda yang ternyata selembar foto hitam putih. Lusuh dan sedikit basah. Foto yang di dalam mimpinya Baekhyun remat. Dan Chanyeol sukses dibuat tercengang karenanya.

Apa ini? Dua kali kebetulan? Mimpi yang jadi kenyataan? Atau mendadak ia berubah menjadi cenayang? Jika benar begitu, bukankah seharusnya ia bisa mencegah kejadian yang tidak ia kehendaki? Misalnya mencegah Baekhyun bunuh diri?

Oh, yeah... dan Baekhyun melakukannya karena keberengsekanmu, Park Chanyeol.

"Diam kau, Sialan!" hardik Chanyeol pada dirinya sendiri, atau tepatnya pada batinnya yang sedari tadi terus merongrong rasa bersalahnya. Oh, Chanyeol berharap, seandainya mimpinya dapat memberinya kesempatan kedua.

.

.

Chanyeol tersentak bangun dari tidurnya. Napasnya memburu, menderu keras dengan badan yang basah oleh keringat. Matanya pun menatap nyalang ke sekitar, disorientasi antara dunia nyata dan alam bawah sadar. Dengan kepala terbaring miring di atas meja, dapat dilihatnya rak kayu cokelat berisi box file berwarna-warni, dinding bercat putih tulang, dan gorden merah marun yang menyingkap terbuka—menampilkan pemandangan langit biru dari balik kaca jendela besar.

Terburu, Chanyeol membangkitkan tubuhnya. Tanpa mempedulikan sendinya yang terasa kaku, serta kepalanya yang pening akibat terlalu mendadak berdiri, retinanya lantas memindai ke sekeliling. Memperhatikan satu per satu benda di dalam ruangan itu yang sudah tidak asing lagi baginya. Ia berada di kantornya sekarang, di dalam ruang kerjanya di Loey Corporation. Memorinya pun memutar. Kemarin, setelah hampir bertengkar dengan sang istri, Chanyeol memang berniat mengunjungi Baekhyun, namun urung sebab ia belum siap bertemu. Chanyeol akui, terakhir kali berkunjung ia sudah bertindak keterlaluan.

Beberapa kejadian lalu melintasi benaknya, berputar-putar di otaknya selayak film yang menayangkan adegan-adegan secara cepat. Mulai dari penampakan dirinya tertidur di dalam taksi, mimpinya tentang Baekhyun dan kamar mandi, ambulans serta kerumunan di apartemen, Lee Ahjumma, petugas medis, pula sebuah adegan paling menyakitkan saat ia menyaksikan Baekhyun yang ditandu dengan wajah pucat tanpa nyawa.

Semuanya memenuhi kepala Chanyeol, menampar dirinya untuk bertindak segera. Langsung diraihnya ponsel miliknya di atas meja kerja, dan tanpa membuang waktu ia berlari keluar dari dalam ruangan, melupakan jasnya yang tergeletak sembarangan pada sofa.

Entah apa namanya. Mimpi dalam mimpi? Yang jelas Chanyeol harus secepatnya menemui Baekhyun. Memastikan semuanya baik-baik saja, atau... jika memang mimpi dalam mimpinya adalah sebuah kenyataan, Chanyeol harap ia masih punya waktu untuk mencegahnya. Ia anggap ini sebagai kesempatan kedua baginya. Semoga.

"Sial," umpatnya saat nomor yang dihubunginya hanya dijawab oleh suara operator. Sambil berlarian terus dicobanya menghubungi nomor kesayangannya, tapi hasilnya tetap sama. Sepertinya nomor Baekhyun sedang tidak aktif. Chanyeol pun diliputi kecemasan, gambaran-gambaran terburuk kini mengusai isi kepalanya.

Kumohon, Tuhan, jauhkan Baekhyun dari apa pun yang membahayakan dirinya. Chanyeol tidak tahu apakah doanya itu akan dikabulkan oleh Tuhan atau bahkan didengarkan. Pasalnya sudah lama sekali ia tidak pernah meminta pada-Nya. Biarlah Chanyeol disebut munafik, karena ia tidak tahu lagi harus memohon kepada siapa.

Tiba di lantai dasar Chanyeol tak sekalipun memelankan larinya, mengabaikan sapaan selamat pagi dari sekuriti yang berjaga di sana, pula sejumlah office boy yang mendapat sif pagi. Ia terus berlari hingga ke jalanan, hendak menyetop taksi tetapi tidak ada satu pun yang melewati jalan tersebut. Sial sekali, dari semua hari, kenapa harus hari ini ia tidak membawa mobil? Chanyeol nyaris berteriak putus asa saat kemudian sebuah mobil berhenti di hadapannya. Oh, terima kasih, Tuhan. Itu adalah Jongdae, sekretarisnya. Tanpa membuang masa, Chanyeol melangkah cepat ke arah pintu kemudi.

"Bos, apa yang Anda lakukan di sini?" tanya sang sekretaris begitu keluar dari kursi kemudinya.

"Aku pinjam mobilmu," tergesa Chanyeol berucap, menggeser tubuh Jongdae yang berdiri di depan pintu mobil.

"Eh? Anda mau ke mana? Biar saya antarkan." Namun Chanyeol tidak sempat lagi menjawab, ia telah lebih dulu memasuki mobil dan seketika tancap gas. Meninggalkan si sekretaris dalam keadaan penuh tanya. Baru kali ini dia melihat bosnya bersikap impulsif semacam itu. Penampilannya pun tampak berantakan dengan kemeja kusut serta dasi yang tidak terpasang sempurna. Jongdae bertanya-tanya, sebenarnya apa yang terjadi dengan bosnya?

Sementara itu, dalam perjalanannya Chanyeol mengemudikan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Menyalip beberapa kendaraan lain yang ia anggap menghalangi jalannya. Tak peduli makian pula umpatan dari orang-orang. Sejujurnya, Chanyeol memang sudah tidak mempedulikan apa-apa lagi selain secepatnya menemui Baekhyun. Ia bahkan tak lagi memedulikan ancaman Sooyoung padanya.

"Kau tahu, kan, Oppa? Aku membiarkanmu memiliki simpanan karena aku yakin kau hanya bermain-main dengannya. Tapi sepertinya kau sudah terlalu sering menemuinya, Oppa. Aku hanya tidak ingin ayah mertua mengetahui kau punya jalang di luar sana. Oppa pasti juga tahu aku yang akan kena getahnya nanti. Jadi... sebelum ayah mertua menangkap basah perselingkuhanmu, kuharap Oppa mengurangi intensitas bertemu dengannya. Atau... kau tahu aku bisa melakukan apa pun pada pemuda carrier itu, kan, Oppa?"

Ya, itulah sebabnya Chanyeol semakin jarang mengunjungi Baekhyun. Ia hanya berusaha menjaga kesayangannya agar tetap aman. Karena Chanyeol cukup yakin Sooyoung bisa kapan saja merealisasikan ancamannya bila ia tidak menuruti kemauannya. Namun, ternyata usahanya justru membuat Baekhyun salah sangka dan melakukan hal yang paling ia larang.

Hamil.

Benar, Chanyeol memang sangat menghindari hal tersebut terjadi pada Baekhyun. Ayolah, bagaimanapun statusnya tetap suami sah Park Sooyoung, dan memiliki anak dari selingkuhan bukanlah hal yang dibenarkan. Sebrengsek apa pun dirinya, sedingin apa pun pernikahannya, Chanyeol masih seorang pria yang menghormati istrinya. Lagi pula, akan tidak baik ke depannya bagi sang anak jika status papanya adalah simpanan suami orang. Bukankah begitu?

Oh, tidak, tidak. Chanyeol tidak sedang mencari pembelaan diri. Ia sungguh ingin melindungi Baekhyun-nya. Kenyataannya, si mungil memang kesayangannya, ia tidak pernah berbohong tentang itu. Bahkan ketika ia mengatakan akan membuatkan Baekhyun restorannya sendiri, Chanyeol benar-benar berniat melakukannya. Ia tidak menyangka saja, ternyata tindakannya selama ini malahan menyakiti perasaan Baekhyun. Terutama kali terakhir mereka bertemu.

Chanyeol menyesal, tentu saja. Malam itu dirinya dilanda kepanikan, dan hanya ide aborsi yang muncul di pikiran kalutnya. Sekarang ia menyadari, tidak semestinya ia membentak Baekhyun dan menyebutnya sebagai simpanan apalagi selingkuhan. Sungguh, Chanyeol tidak bermaksud mengatakannya, ia cuma terbawa amarah saat Baekhyun berteriak kepadanya. Dan kini ia sadar, Baekhyun rupanya lebih dari sekadar simpanannya. Kesayangannya itu memiliki tempat spesial di hatinya.

Jujur, Chanyeol sudah terpikat dengan Baekhyun sejak awal pertemuan mereka, sejak ia mendengar suara surga yang menuntunnya pada pemuda malang di tengah derasnya hujan. Niatnya benar-benar murni ingin menolong malam itu, tanpa alasan—cukup empati yang mendorong tindakan impulsifnya tersebut.

Hingga labat laun Chanyeol semakin terpesona oleh sifat lembut Baekhyun. Si pemuda carrier nyatanya penurut, melayani Chanyeol sepenuh hati—yang tidak ia dapatkan dari sang istri.

.

.

Suasana terlihat biasa saja saat Chanyeol sampai di pelataran gedung tujuannya. Tidak ada keramaian orang-orang pula ambulans. Nampak normal dengan satu-dua penghuni apartemen melakukan kegiatan pagi mereka. Namun begitu, tetap tak mampu menghilangkan perasaan was-was Chanyeol. Masih dalam keadaan terburu, pemimpin Loey Corporation itu keluar dari mobil seusai memarkirkannya sembarang di depan lobi.

Seorang sekuriti sempat menegurnya untuk memindahkan mobil, tapi Chanyeol hanya menanggapinya dengan menyerahkan kunci mobil pinjamannya. Sang penjaga yang tidak asing dengan Chanyeol itu kemudian mengangguk saja, tiba-tiba mengerti situasi setelah dilihatnya tampang berantakan pria di hadapannya tersebut.

"Terima kasih," ucap Chanyeol singkat seraya melanjutkan langkahnya.

Rasanya seperti deja vu kala ia memasuki lift. Perasaaan takut kehilangan menghinggapinya dengan bayang-bayang mimpinya yang terus bermunculan. Chanyeol berkeringat dingin, berdebar makin sering seiring lift berjalan naik. Bagaimana kalau mimpi dalam mimpinya benar-benar terjadi? Bagaimana jika pada akhirnya ia tetap akan menyesali perbuatannya terhadap Baekhyun seumur hidupnya?

Turun di lantai tujuh, Chanyeol bergegas menuju unit apartemennya. Melangkah panjang-panjang seolah tidak ingin menyiakan-nyiakan waktu. Deja vu kedua dirasakan Chanyeol ketika ia mengetik kode pintu, tangannya bahkan sampai bergetar karenanya. Bedanya, kali ini tidak ada Lee Ahjumma yang menyambutnya—maupun suara para petugas medis—sewaktu dia membuka pintu.

Hening, bahkan sambutan ceria yang biasa Baekhyun berikan tak ia dapatkan. Oh, memang apa yang ia harapkan setelah perkataan menyakitkannya terakhir kali? Jangan terlalu muluk, Park Chanyeol.

"Baek..."

Tidak ada sahutan sama sekali. Chanyeol mencoba berpikir positif, ditujunya dapur yang ia tahu menjadi tempat favorit Baekhyun di apartemen itu. Akan tetapi tiada siapa-siapa di sana, pun konter dapur yang biasanya penuh dengan bahan serta alat eksperimen memasak nampak bersih dan kosong.

Dada Chanyeol tetiba tertohok, Baekhyun tidak kehilangan minat memasaknya, kan? Oh, semoga tidak, karena memasak adalah salah satu kebahagiaan si mungil. Chanyeol hanya tidak tahu, bahwa sang kesayangan tidak lagi berselera melakukan apa pun beberapa hari belakangan. Termasuk bereksperimen dengan masakan yang menjadi kesenangannya.

Chanyeol berpindah ke arah balkon, pada ruang tamu kecil tempat Baekyun biasa membaca buku... sambil bermanja kepadanya. Namun pria dominan itu harus menelan ludah sebab di situ pun tidak ada sosok yang dicarinya. Panik mulai melanda diri Chanyeol, napasnya tambah berkejaran saat panggilannya tak satu kali pun mendapat respons. Tujuannya lalu beralih ke kamar. Berjalan cepat melewati ruang tengah, kecemasan Chanyeol semakin menjadi. Didengarnya suara gemercik air yang bisa ia duga berasal dari kamar Baekhyun.

"Oh, shit!" umpatan otomatis keluar dari mulut Chanyeol. Dibukanya dengan tak santai pintu kamar yang sedikit terbuka, dan gemercik air yang kian terdengar seolah memaksa dirinya untuk mendobrak pintu kamar mandi di ruangan tersebut.

Braakkk!

Benar saja. Sekian detik berselang, daun pintu bercat putih itu telah didorong paksa hingga menabrak tembok di belakangnya. Chanyeol terengah, berdiri dengan satu tangan memegangi gagang pintu kamar mandi. Sistem geraknya sejenak membatu, mengamati sosok di dalam sana yang kini menatap horor padanya. Ya, alih-alih melihat tubuh terendam Baekhyun dalam bathup (seperti pada mimpi pertamanya), ia justru menyaksikan si mungil yang tengah berjongkok di depan kloset—dengan air yang mengalir dari keran wastafel.

"C-chanyeol..."

Bahkan Chanyeol bisa mendengar suara bergetar Baekhyun memanggil namanya. Terima kasih, Tuhan. Cuma Chanyeol dan Tuhan yang tahu betapa ia sangat bersyukur.

"Baekhyun," bisiknya seraya hendak menghampiri. Tapi, baru selangkah ia maju, si mungil tiba-tiba bangkit berdiri dan memundurkan badannya. Raut ketakutan jelas tercetak di wajah tirusnya. Oh, Tuhan, bagaimana bisa dalam waktu kurang dari sebulan wajah kesayangannya berubah tirus begini? Ronanya pun tak secerah biasa, nampak pucat dengan bayang lingkaran hitam di sekitar matanya. Lagi-lagi dada Chanyeol seolah tertusuk puluhan jarum. Lihatlah apa yang sudah kau lakukan padanya, Park Chanyeol.

"Baekkie akan pergi."

"Apa?" Chanyeol gagal melangkahkan kakinya kembali. Tangannya mengepal, jelas tidak setuju dengan ujaran pemuda mungil di hadapannya. "Baek—"

"Baekkie akan pergi. Baekkie tidak ingin merepotkan Chanyeol lagi. Baekkie juga tidak akan memaksa Chanyeol untuk mengakui Aegi. Baekkie bisa merawat Aegi sendiri. Baekkie... Baekkie akan merawat Aegi," Baekhyun berhenti, dadanya naik turun dengan wajah menyirat permohonan pula mata yang berair. "Jadi..." ia terisak sekali. "Baekkie mohon... jangan suruh Baekkie untuk menggugurkannya. Baekkie... Baekkie..."

Chanyeol tahu Baekhyun sedang berusaha menyakinkannya, mengeluarkan semua argumennya untuk mempertahankan kandungannya, tapi Chanyeol muak, telinganya pengang, ia tidak mau mendengarnya lagi. Hanya butuh dua langkah baginya untuk maju, mendekap tubuh mungil si pemuda manis dan seketika menghentikan segala ocehannya.

"C-chanyeol," tubuh Baekhyun menegang, berdiri kaku dalam pelukan yang lebih tinggi. Terkejut dengan tindakan tiba-tiba Chanyeol. Namun seketika ia tersadar, hendak melepaskan diri tetapi sang dominan malah mengeratkan dekapannya, lalu berbisik dengan nada memohon.

"Jangan pergi... jebal."

"T-tapi Chanyeol akan membawa Baekkie ke klinik aborsi, Baekkie tidak mau—"

"Kau tidak perlu ke sana, Baek. Aku tidak akan membawamu ke sana."

Sejurus Baekhyun terdiam, mata berkedip coba mencerna balasan Chanyeol baru saja. "Benarkah?" tanyanya kemudian, membuat yang lebih tinggi dengan terpaksa melepas pelukannya. Mereka berhadapan sekarang. "Chanyeol tidak akan menyuruh Baekkie menggugurkan Aegi?"

Tanpa keraguan kepala Chanyeol mengangguk. Kedua tangannya bergerak untuk menangkup wajah Baekhyun, menggunakan ibu jari ia lantas menghapus sebulir air mata yang menggantung di sudut mata sang kesayangan.

"Chanyeol bersungguh-sungguh?" Akan tetapi, rupanya Baekhyun masih meragu.

Kembali Chanyeol mengangguk mengiyakan, kali ini disertai tatapan serius tepat ke manik Baekhyun, menunjukkan kesungguhan terhadap kata-katanya tadi.

"Janji?"

Si pria tinggi sekali lagi menggerakkan kepalanya naik-turun. Mengucapkan kata, "Janji," sebagai sumpah seraya mencuri kecupan di bibir yang lebih muda. Senyumnya pun merekah, melihat pipi di tangkupan tangannya merona merah. Setidaknya, wajah kesayangannya itu kini tak terlalu nampak pucat.

.

.

.

"Ke mana kau akan pergi?" tanya Chanyeol setelah ia membantu Baekhyun berbaring di atas kasur. Sambil membenahi selimut hingga menutupi setengah badan yang lebih kecil, matanya melirik sebuah koper yang tergeletak di depan nakas seberang ranjang. Ia lalu duduk di samping Baekhyun, membelai dahi si kesayangan yang terasa hangat saat menyentuh permukaan kulit tangannya.

"Lee Ahjumma menawarkan Baekkie tinggal di rumahnya." Entah sudah berapa lama Baekhyun tidak lagi merasakan kenyamanan seperti ini, berada di samping sang penyelamat serta merasa begitu diperhatikan. Matanya sampai tidak bisa lepas menatapi Chanyeol, seperti takut pria tersebut akan menghilang jika ia sekali saja memalingkan pandangan.

"Lee Ahjumma?"

Baekhyun bergumam membenarkan. Ya, ternyata selama ini ia salah mengira tentang kebencian Lee Ahjumma padanya. Kenyataannya, wanita paruh baya itu cuma seorang kakak yang sangat mencintai adiknya. Ia tidak pernah membenci Baekhyun, hanya saja Baekhyun mengingatkannya pada sang mendiang adik—yang meninggal bunuh diri akibat terlalu mencintai yang 'bukan miliknya'. Karenanya ia tidak suka melihat carrier yang seolah lemah di hadapan pria dominan, seperti adiknya dan Baekhyun. Namun ia juga tak mau mengulangi kesalahannya di masa lalu. Sebab itu, ia mengizinkan Baekhyun untuk meninggali sementara rumahnya. Begitulah yang diceritakan Lee Ahjumma tempo hari pada Baekhyun.

"Lee Ahjumma bilang rumahnya di desa tidak ada yang menempati. Katanya Baekkie boleh tinggal di sana sampai Baekkie mendapat tempat tinggal sendiri," penjelasan Baekhyun terjeda, diamatinya kening Chanyeol yang berkerut penuh tanya. Ia pun melanjutkan—dengan suara yang terdengar lebih pelan, "Sebenarnya hari ini Lee Ahjumma akan menjemput Baekkie."

"Karena itu kau sudah berkemas," ini bukan kalimat tanya, pun bukan Chanyeol tujukan kepada Baekhyun, melainkan dirinya. Pikirnya melayang, teringat kembali pada tingkah asisten rumah tangganya yang tak biasa di dalam mimpi. Hingga tanpa sadar tangannya tertarik mundur dari dahi Baekhyun, dan membuat si carrier sedikit merasakan kecewa.

"C-chanyeol..."

Panggilan Baekhyun tersebut seketika menyadarkan lamunan Chanyeol. Ia tersenyum, menyahut, "Hm?" dengan nada bertanya kala dilihatnya raut Baekhyun yang nampak ragu.

Tidak lekas menjawab, Baekhyun justru memainkan ujung selimut yang menutupi perutnya, meremasi dengan jemari sedang bibirnya ia gigiti bimbang. Gelagat Baekhyun jelas mendapat perhatian Chanyeol.

"Kau ingin mengatakan sesuatu?" tanya sang dominan, sebelah tangannya menumpuk kedua tangan Baekhyun dan mengelusinya menggunakan ibu jari. Matanya intens menatap milik Baekhyun, mengisyaratkan kepada yang lebih kecil untuk bebas berbicara.

Tetapi Baekhyun tak jua bersuara, masih ragu-ragu mengutarakan apa yang ada dalam otaknya saat ini. Sampai detik selanjutnya ia pun memutuskan, dan memulainya dengan hati-hati. Menunduk ia berucap, "Chanyeol sudah memiliki istri," yang sekejap menegangkan tubuh Chanyeol, senyumnya pun perlahan meluntur. "Tidak seharusnya Baekkie bersama Chanyeol. Menjadi seorang simpanan. Baekkie hanya akan menyakiti istri dan keluarga Chanyeol."

"Siapa yang berkata seperti itu, hm?" sang dominan menyela, mengangkat dagu Baekhyun agar menghadap padanya. "Kau tidak pernah menyakiti siapa pun, Baek. Kebalikannya, aku yang sudah banyak menyakitimu."

"Ani~" Baekhyun menggeleng dalam baringannya, membantah kalimat terakhir yang lebih tua. "Chanyeol justru banyak memberi Baekkie kebahagiaan. Chanyeol adalah penyelamat Baekkie. Hanya saja..." kalimatnya menggantung, digigit bibirnya sebelum ia menerusakan. "Seandainya kita bertemu saat Chanyeol bukan milik siapa-siapa, Baekkie pasti akan lebih bebas mencintai Chanyeol, dan... dan Baekkie tidak perlu menjadi selingkuhan—"

"Ssstt... Baekhyun," langsung saja Chanyeol ikut berbaring, memeluk tubuh pemuda mungilnya lantas memberinya kecupan di kening. "Aku sudah salah karena meneriakimu dengan kata-kata itu. Jadi jangan pernah lagi menyebut dirimu begitu, oke? Aku minta maaf," sungguh-sungguh Chanyeol berkata.

"Tapi Baekkie memang selingkuhan Chanyeol. Lee Ahjumma bilang tidak seharusnya Baekkie mencintai suami orang. Itu hanya akan menyakiti orang banyak termasuk diri Baekkie sendiri."

Setelahnya mereka terdiam. Berkutat pada pemikiran masing-masing tanpa berniat melepas pelukan. Baekhyun tengah berusaha menahan air mata, sementara sisi sensitif akibat hormon kehamilannya terus mendesaknya untuk menangis. Di sini lain, Chanyeol tidak bisa sepenuhnya menyanggah kalimat Baekhyun tersebut, sejujurnya ia paham hubungannya dengan Baekhyun merupakan kesalahan. Akan tetapi, alih-alih banyak orang, Baekhyun-lah yang paling tersakiti di sini.

"Apa kau akan bahagia jika pergi dariku, Baek?" tanya Chanyeol sembari mengelusi pipi si kesayangan.

Baekhyun menanggapinya dengan mengeratkan pelukan, menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Chanyeol, coba menyembunyikan isakannya yang hampir tak dapat ia bendung. "Baekkie tidak tahu," suaranya bergetar. "Baekkie ingin selalu bersama Chanyeol, tapi Baekkie tidak ingin menyakiti orang lain."

Dengan lembut Chanyeol menjauhkan wajah Baekhyun dari lehernya. "Hanya ingat baik-baik, Baek. Byun Baekhyun adalah milik Park Chanyeol, begitu pula sebaliknya. Kau..." satu ciuman ia daratkan pada bibir Baekhyun, "kesayanganku, tidak ada yang bisa merubah itu."

"Tapi bagaimana dengan Sooyoung-ssi?" Sudah pasti Baekhyun bertanya dengan wajah memerah. Entah berapa kali pun Chanyeol melakukan hal manis padanya, hati lemah Baekhyun akan selalu memalu menerimanya.

"Jangan khawatir, aku akan mengurusnya nanti."

"Apa maksud Chanyeol?"

"Maksudnya... kau tidak perlu memikirkan hal itu. Fokus saja pada kehamilanmu, hm?" cukup lama menunggu, permintaan Chanyeol akhirnya diangguki oleh Baekhyun. Keduanya masih berhadapan, saling berpandangan berbagi tatap kerinduan. "Kau sudah cek up kehamilan pada Dokter Kim?" lanjut tanya Chanyeol kemudian.

Baekhyun mengerjap, cek up kehamilan? Benar juga, ia lalu menggeleng dengan wajah murung. Beberapa hari ke belakang ia terlalu sibuk meratap hingga tak terpikir sama sekali untuk memeriksakan kehamilannya. "Baekkie bahkan tidak pernah berpikir melakukannya, apa Baekkie calon papa yang buruk, Chanyeol?"

"Kau pasti akan menjadi papa terhebat untuk Aegi. Aku sangat yakin seribu persen." Ya, Chanyeol tidak membual atau melebih-lebihkan. Ia yakin, berbekal kelembutannya, Baekhyun kelak dapat membesarkan calon anaknya dengan baik. Baekhyun adalah calon 'ibu' yang sempurna. "Mau kutemani ke klinik besok? Kau butuh sesuatu untuk menghilangkan morning sick -mu."

Belum selesai ketersipuan Baekhyun atas pujian Chanyeol, kini mata sipitnya malah membelalak tak percaya. "Chanyeol serius?"

"Kenapa aku tidak serius?" balas yang lebih tua, turut melebarkan matanya bermaksud menggodai Baekhyun, dan ia pun sukses membuat si pemuda cantik mengerucutkan bibirnya sebal—yang otomatis menggelakkan tawa Chanyeol. Ia sudah bersiap menggoda Baekhyun lagi saat pintu kamar tiba-tiba terbuka, mengalihkan perhatian mereka pada sosok wanita setengah baya yang tampak terkejut di ambang pintu.

"Maaf, saya telah lancang," katanya secepat ia tersadar dari keterkejutan, sudah hendak menutup pintu tapi panggilan Chanyeol menyetop pergerakan tangannya.

"Kau... Byun Baekhyun, dilarang ke mana-mana, istirahat saja di sini. Aku akan membantu Lee Ahjumma membuat minuman hangat untukmu," Chanyeol memerintah, ia turun dari ranjang begitu memastikan kesayangannya berbaring dengan nyaman.

Barang tentu Baekhyun tak diberinya kesempatan untuk menolak. Terpejam pasrah, Baekhyun pun coba merilekskan tubuhnya, sementara Chanyeol menggiring Lee Ahjumma menuju dapur setelah ia menutup pintu kamar.

"Saya tidak menyangka Anda akan datang hari ini, Tuan Chanyeol," buka Lee Ahjumma ketika keduanya menginjak lantai dapur. Berbeda dengan mimpi Chanyeol, sang asisten rumah tangga saat ini berbicara seperti biasa, nampak sopan namun tegas khas dirinya. Bergerak luwes, ia mempersiapkan bahan-bahan pembuat minuman hangat tanpa Chanyeol meminta lagi. "Saya kira Anda sudah menyerah terhadap Tuan Baekhyun."

Chanyeol tidak langsung menanggapi pernyataan Lee Ahjumma, memilih mengambil cerek guna merebus air. Keheningan di dapur pun terjadi sesaat hingga Chanyeol berucap, "Terima kasih, Lee Ahjumma," yang mau tak mau menghentikan kegiatan sang asisten rumah tangga dalam memotong lemon. "Terima kasih karena sudah peduli pada Baekhyun," lanjut Chanyeol, terdengar tulus dengan suara rendahnya.

"Tuan, saya..."

"Tapi aku tidak akan pernah membiarkan Baekhyun pergi dari sisiku," potong Chanyeol, terang tanpa keragu-raguan. Pandangannya lurus ke depan, pada cerek berisi air yang baru saja ditaruhnya di atas kompor. "Aku tahu aku banyak menyakiti Baekhyun selama ini, dan aku ingin sekali memperbaiki kesalahanku, Ahjumma."

Lee Ahjumma diam menyimak, memberikan waktu kepada sang majikan untuk melanjutkan kalimatnya.

"Jadi... aku mohon bantuanmu, Ahjumma." Chanyeol menggeser pandangannya ke samping, menatap wanita seusia ibunya yang juga tengah memperhatikannya. "Tolong bantu aku menjaga Baekhyun, menginaplah di sini. Temani Baekhyun selama aku membereskan masalahku di rumah."

Bukan sebentar Lee Ahjumma mengabdi pada keluarga Park. Oleh karenanya, ia paham betul bagaimana tuan mudanya ini dibesarkan dalam keluarganya yang penuh tuntutan, pula kekangan. Banyak keinginan si anak majikan yang terkorbankan demi memenuhi obsesi sang ayah. Misalnya hobi bermusik Chanyeol, harus pupus sebab Tuan Besar Park menganggapnya tak bermanfaat.

Tidak heran jika tuan mudanya tumbuh menjadi dominan yang arogan. Tetapi ia tahu, jauh di dalam diri Chanyeol tersimpan secercah kelembutan—yang akan bertambah seandainya itu dihadapkan pada orang yang tepat.

"Saya akan membantu sebisa saya, Tuan," balas Lee Ahjumma, tersenyum singkat lalu melantaskan tugasnya memotong lemon. "Saya senang Anda berani mengambil tindakan. Semoga Tuhan mempermudah urusan Anda," imbuhnya, sungguh mendoakan yang terbaik bagi tuan mudanya.

"Terima kasih, Ahjumma. Kuharap kau memperlakukan Baekhyun seperti anakmu sendiri." Senyum Chanyeol terkembang sesudahnya, benar-benar bersyukur masih ada seseorang yang mendukungnya. Perasaan Chanyeol pun terasa lebih ringan saat ini.

Betul, sekaranglah saatnya ia mengambil tindakan. Sudah cukup baginya hidup dalam kepura-puraan, berakting sebagai pria mapan dengan keluarga bahagia di depan orang-orang—yang faktanya sangat bertolak belakang. Cukup untuk dirinya menjadi boneka si Tuan Besar Park, menuruti segala ambisinya yang sejujurnya tak Chanyeol sukai. Ia akan menjadi anak pembangkang mulai kini. Persetan dengan martabat keluarganya, dengan semua aturan sang ayah maupun gengsi setinggi langitnya.

Yang perlu Chanyeol lakukan setelah ini adalah menjaga Baekhyun, memastikannya tetap aman dalam perlindungannya langsung. Entah tindakan apa yang nantinya akan dilakukang Tuan Besar Park. Chanyeol hanya harus melawannya. Toh, dia bukan lagi anak kecil atau remaja labil yang selalu bergantung pada sang ayah.

Ini waktunya Chanyeol bertindak sesuai apa kata hatinya.

.

.

.

Bonus Scene

Hanya karena memandangi selember foto di tangannya, perut Chanyeol layaknya dihinggapi kupu-kupu. Ada debaran menyenangkan dalam dadanya. Beginikah yang dirasakan setiap pria ketika melihat foto calon bayinya? Entahlah, yang jelas Chanyeol melega sebab ia disadarkan dari perbuatan terburuk dalam hidupnya, dari sebuah dosa yang mungkin akan menghantuinya seumur hidup.

Chanyeol bangkit dari tempat duduknya di atas ranjang, berniat mengembalikan foto sang calon buah hati—yang sebelumnya Baekhyun berikan padanya—ke dalam laci meja rias. Mereka baru saja pulang dari klinik Dokter Kim saat Baekhyun menyerahkan foto yang sebenarnya tak asing lagi bagi Chanyeol (ia sudah dua kali melihat gambar itu dalam mimpinya). Tetapi, melihatnya di dunia nyata ternyata menimbulkan sensasi berbeda untuk dirinya.

Membuka laci, hati-hati Chanyeol meletakkan foto tersebut ke dalam sana, lantas mendorongnya hingga menutup. Ia bersiap berbalik, hendak memeriksa Baekhyun yang sudah terlalu lama berada di kamar mandi, namun penglihatannya tanpa sengaja tertuju pada sembulan kertas di kolong meja. Chanyeol merasakan dadanya berdetak tak normal kembali. Sekelebat mimpi tempo malam membayang di memori si pria Park.

Diambilnya kertas itu, kertas putih bercorak bunga persis seperti dalam mimpinya. Membuat kedua tangannya mendadak tremor, terlebih kala ia membukanya. Chanyeol tidak begitu ingat isi surat Baekhyun di mimpinya, yang dia ingat betul ialah rasa sakit serta menyesakkan ketika membaca untaian kata yang tertulis di dalamnya. Dan Chanyeol merasakannya sekarang.

"Chan..."

Chanyeol seketika membalikkan tubuh, memandang Baekhyun yang barusan memanggilnya—dengan kertas masih di tangan juga tarikan napas berat. Sesaat kemudian Baekhyun telah berlari ke arahnya, merebut kertas tersebut lalu menyembunyikannya di belakang badannya.

Baekhyun menunduk, meremas kertas dalam genggamannya tanpa berani melihat wajah Chanyeol. Ia benar-benar lupa dengan surat yang ditulisnya beberapa waktu lalu itu. Surat yang bisa disebut sebagai wasiat bunuh dirinya—yang ia tulis sebelum Lee Ahjumma menawarinya tempat tinggal sekaligus membuka matanya untuk tidak berbuat hal bodoh.

"Apa Chanyeol marah?" lirih Baekhyun bertanya, perlahan mengangkat kepala guna menatap yang lebih tinggi. "Maafkan Baekkie. Waktu itu Baekkie benar-benar tidak tahu harus melakukan apa," ia berhenti lagi, mengamati air muka Chanyeol sembari coba menerka isi kepalanya. Sampai detik berikutnya, genggaman tangan Baekhyun sempat mengencang tatkala Chanyeol tiba-tiba meraih kedua pundaknya dan berbisik.

"Surat itu menakutiku, Baek."

"Baekkie akan membuangnya. Anggap saja Chanyeol tidak pernah melihatnya," balas Baekhyun, meski keningnya agak berkerut. Pasalnya baru sekali ini ia menyaksikan raut ketakutan di wajah Chanyeol, mendorong Baekhyun cepat-cepat melempar kertas di tangannya ke tempat sampah kering di dekat meja riasnya.

"Berjanji padaku, Baek. Kau tidak akan pernah berpikir melakukan hal seperti itu lagi," Chanyeol setengah memohon, digapainya pinggang Baekhyun untuk dia peluk erat. Kepalanya tenggelam pada ceruk leher yang lebih muda, berusaha menetralkan napas dengan menghirup banyak-banyak aroma sang carrier.

Sejujurnya Chanyeol bukanlah orang yang percaya terhadap hal-hal di luar logika. Namun, mau dipirkan berapa kali pun, mimpi dalam mimpinya dan apa yang terjadi kini, sepertinya memang saling bersangkutan. Tidak masuk akal, tetapi itulah yang terjadi. Chanyeol seolah mendapat pandangan masa depan melalui mimpinya.

Ya, apa pun itu sebutannya. Chanyeol hanya perlu banyak bersyukur, dia telah diberi petunjuk dan kesempatan untuk menyadari kesalahannya, serta memperbaikinya lebih awal.

.

.

.

THE END

.

Fyuh... kelar juga akhirnya. Gimana, gimana? Masih ada yang nungguin, kah?

Maapkeun ya kalau ending-nya jauh dari ekspektasi kalian. Aku tahu konfliknya kurang greget di sini. Akhirnya pun terlalu biasa, tapi ya... beginilah jadinya.

Terima kasih buat kalian yang udah nungguin juga nanyain fanfic ini. Sekali lagi mohon maaf karena sudah lama menunggu tetapi ternyata ending -nya mengecewakan. *deepbow*

Review Juseyoooong...