Tahun Butsuma-tenshi ke-28, 348 tahun sejak Era Kekaisaran

Bulan ke-1 hari ke-1 : Ibukota Senju

Festival musim semi merupakan sesuatu yang baru pertama kali Sasuke lihat seumur hidupnya. Di kediaman Uchiha, mereka hanya melakukan ritual doa tahun lunar baru di pagi hari sebelum melakukan perayaan makan dan minum biasa. Setelah itu kegiatan sehari-hari akan berlangsung seperti sebelumnya.

Oleh karena itu, suasana festival di depannya sekarang merupakan hal yang cukup baru baginya. Jadi, meskipun ia tak menyukai keramaian, mau tak mau Sasuke ikut menikmati suasana festival yang meriah. Tentu saja bukan berarti ia akan suka jika harus berdesak-desakan seperti ini.

"Bagaimana, Sasuke? Bukankah ini sangat menyenangkan?!" Uchiha Obito berkata dengan seringaian lebar. Dua tangannya diangkat dan diletakan menekuk di belakang kepalanya. Harum essens seorang alpha pun menguar kuat dari tubuhnya. Sebagai seorang alpha yang baru masuk masa dewasa beberapa tahun silam, hormon alpha di dalam tubuhnya sudah pasti sedang dalam puncaknya. Tanpa secara sengaja untuk ditutupi, baunya akan menyebar ke sekelilingnya untuk menarik calon mate yang sesuai untuknya.

Apalagi, mengingat seorang omega yang saat ini sedang sangat ingin dia dekati, tentu saja hormon alphanya akan semakin meningkat. Hampir setiap omega, bahkan beta yang dilewatinya menjadi terpikat dan bersemu merah karena malu saat mencium essens alphanya.

Tapi sayangnya, omega yang dia incar sama sekali tidak merasakan apapun. Meskipun essens alpha bisa memikat omega, namun tidak semua omega akan terpikat. Karena bisa saja mereka sama sekali tidak tertarik, sudah memiliki mate, atau bahkan karena essens mereka tidak cocok. Alpha dan Omega bisa saling membenci jika essens tubuh mereka saling bertolak belakang.

Meskipun begitu, Obito tidak menyerah karena Sasuke tidak menunjukan tanda bahwa dia menolak essensnya. Sasuke pasti hanya belum tertarik padanya.

"Hn," Sasuke membalas singkat pertanyaan Obito dengan gumaman. Tidak ada eskpresi pada mukanya sehingga tidak bisa terlihat apakah dia benar-benar hanya tak tertarik pada sang alpha. Sasuke lebih memfokuskan perhatiannya kepada acara festival.

"Wahh, apa itu?" Seorang omega cantik berambut coklat tua berkata dengan kagum. Uchiha Izumi, dia adalah salah satu omega dari klan Uchiha. Bisa dibilang dia juga merupakan sepupu jauh Sasuke seperti Obito. Dia, Izumi dan juga Naori merupakan omega yang juga ikut ke ibukota bersama Sasuke kemarin.

Sasuke melirik sesuatu yang sedang dilihat sepupunya itu. Di tengah jalan terdapat sebuah pentas seni kecil yang sedang dimainkan. Gerakannya cukup unik dan menakjubkan sehingga Sasuke pun ikut tertarik untuk menontonnya.

Obito di sampingnya pun juga menoleh untuk melihat. Ekspresi di wajahnya penuh semangat ingin menjelaskan karena dia adalah satu-satunya yang sudah berpengalaman di ibukota di antara mereka berempat. Dengan semangat dia berkata, "Ohh! Itu adalah pertunjukan tari yang biasa—

"KYAAAA!" —sebuah teriakan tiba-tiba terdengar dari kejauhan memotong pembicaraan mereka. Diikuti suara gaduh berlari bersamaan suara teriakan selanjutnya.

"Pencuri! Cepat hentikan pencuri brengsek itu!"

"Apa?!" Obito menatap terkejut ke arah kegaduhan. Seseorang tiba-tiba menerobos untuk melewati mereka berempat membuatnya tersentak kaget. Dengan cepat ia pun bergerak mendekati sang raven untuk melindunginya. "Sasuke!"

Samurai pegawal yang mereka bawa pun ikut bergerak membentuk formasi melingkar untuk melindungi mereka. Namun desakan keramaian dengan cepat muncul membuat pekerjaan mereka menjadi sulit.

Obito mengutuk keras saat terpisah dari Sasuke. Kerumunan di sekitarnya membuatnya menjadi sulit bergerak untuk menuju tempat sang raven.

Sasuke menggertakan gigi kesal saat tubuhnya ikut terserat arus desakan. Ia mencoba menyeimbangkan diri agar tak terjatuh. Namun apa daya, satu orang tidak akan mungkin menang melawan dorongan puluhan orang. Tubuhnya tiba-tiba ditabrak keras dari samping hingga jatuh. Saat ia mengira tubuhnya akan jatuh ke tanah dan diinjak-injak banyak orang, seseorang tiba-tiba menabraknya dari depan. Dua bola mata safir familiar adalah hal yang pertama ia lihat sebelum pandangannya tertutupi oleh tubuh pemilik mata safir itu. Sebuah tangan tiba-tiba memeluk pinggangnya sedang satu tangan lainnya menangkup belakang kepalanya.

BRUGHH!

Sasuke meringis kesakitan oleh dampak keras yang terkena tubuhnya saat jatuh ke tanah. Tak hanya itu, sesosok tubuh berat juga ikut menindihnya dari atas. Rasa sesak segera memenuhi dadanya yang tertindih. Tubuh Sasuke membeku saat ia menyadari posisinya yang sedang didekap oleh seseorang. Namun seseorang itu justru mengencangkan pelukannya saat keramaian di sekitar mereka mulai berjalan menendang-nendang tubuh mereka karena berdesakan.

Sasuke pun mulai rileks dari rasa tegang saat menyadari bahwa seseorang itu hanya memeluknya untuk melindunginya karena ia tak merasakan sudah ditendang atau terpukul akibat desakan orang-orang yang berjalan. Namun ia langsung menahan napas saat harum essens seorang alpha menyerbu hidungnya. Harum yang entah kenapa terasa familiar. Sangat memikat… dan juga sedekat ini…

"M-menyingkir!" Sasuke menggeram kesal pada alpha yang memeluknya. Dua tangan dikepal kencang dan memukul-mukul baju sang alpha.

Naruto membuka mata cepat saat merasakan seseorang dalam dekapannya memberontak. Dengan segera, mata safirnya pun terpana begitu bertatapan dengan dua mata oniks yang sangat indah. Dua iris mata itu sangat hitam, membuatnya langsung terhanyut dan menjadi lupa dengan apa yang sedang dilakukannya.

"Minggir, dobe!" Bentak pemilik dua mata oniks itu lagi yang langsung menyadarkannya dari lamunan. Naruto berkedip beberapa kali sebelum akhirnya dia sadar bahwa yang ada dipelukannya adalah seorang omega. Selain itu juga wajah mereka sangat dekat, dengan maju sedikit saja, dia akan bisa mencium bibir merah menawan yang terlihat sangat manis—

Blussh!

Naruto langsung menyingkirkan tubuhnya dengan kelabakan. Ini pertama kalinya dia dekat dengan seorang omega seperti ini! Apalagi secantik itu!

"M-maaf!" Naruto menggaruk belakang kepalanya dengan kikuk. Bola mata memutar ke samping tak berani menatap sang omega. Saat itulah dia baru sadar bahwa keramaian di jalan sudah kembali normal. Naruto melirik sedikit sang omega di depannya. Langsung meneguk ludah saat melihatnya mendelik dengan garang.

"Menjijikan," dengus sinis Sasuke yang sudah berdiri dan mengusap tubuhnya dengan jijik. "Berani sekali ronin kotor sepertimu menyentuhku," lanjutnya dengan delikan tajam.

"A-apa?!" Naruto membelalak tak terima. Amarahnya pun langsung naik, entah kenapa lebih tinggi dari biasanya. Tiba-tiba ia menjadi sangat tak terima saat dihina seperti itu, selain itu juga ada rasa sakit dan kecewa yang bercampur dengan emosi marah. "A-apa yang—" Naruto berbicara dengan ekspresi bingung. Emosinya terasa campur aduk. Ini pertama kalinya ia merasakannya. Marah sudah jelas karena sudah dihina. Tapi kenapa ada rasa sakit dan kecewa? Seolah, seolah dia—dia kecewa karena tidak sesuai harapan omeganya?!

Naruto menekuk raut mukanya dengan kebingungan. Omega di depannya mendelik lebih tajam kepadanya lalu dengan tatapan jijik dia berjalan pergi meninggalkannya.

Emosi panik tiba-tiba memenuhi dada Naruto saat melihat sang omega pergi. Seperti diburu-buru Naruto langsung berlari mengejar dan menarik lengan sang raven. "T-tunggu!" ucap Naruto cepat dengan panik. Ekspresi kebingungan jelas sekali masih terlihat di wajahnya. Namun seperti sedang genting, ia hanya mengikuti instingnya tanpa pikir panjang. Entah kenapa, dia tak boleh sampai membiarkan omega ini pergi!

"T-tunggu! Jangan pergi! M-maksudku—" ucap Naruto kegagapan. Ia bahkan tak tahu apa yang ingin ia ucapkan sekarang!

Sasuke menarik lengannya kembali dengan kasar. Dua mata oniksnya menatap tajam pada pemuda pirang di depannya. Entah kenapa ada sesuatu yang membuatnya merasa familiar dengan sang alpha.

"K-kita—apa kita pernah bertemu sebelumnya?!" ucap cepat Naruto yang akhirnya bisa mengutarakan perasaannya, tanpa sadar bahwa perkataanya itu sama persis dengan yang dipikirkan oleh sang raven.

Sasuke mendelik lebih tajam saat mendengar pertanyaan sang pirang. "Jangan bercanda, untuk apa aku bertemu orang rendahan sepertimu," ucapnya sinis. Tidak mungkin ia pernah bertemu dengan samurai rendahan dan kotor seperti ini! Meskipun di sudut hatinya ada sesuatu yang sedang berteriak berlawanan.

"T-tapi—" Naruto meremas dadanya saat merasakan emosi kecewa yang membingungkan itu lagi. Kedua alisnya pun semakin menekuk tak mengerti. Dia membuka mulutnya untuk berkata lagi saat—

"Sasuke!"

Naruto menoleh cepat ke arah suara itu datang. Seorang alpha, beta dan dua omega datang menghampiri sang raven. Amarah dalam tubuh Naruto langsung bangkit lagi saat melihat sang raven didekati oleh sang alpha dan beta.

Berani sekali mereka mendekati omeganya?!

"Ukh—?!" Naruto menjambak rambut pirangnya dengan kelabakan. Emosinya tiba-tiba menjadi tak stabil lagi.

"Apa kau baik-baik saja, Sasuke?"

Sasuke berkedip terkejut melihat kakaknya sampai datang menghampirinya. "Niisan?"

"Sasuke! Aku panik sekali! Aku pikir kau sudah hilang tadi karena tertelan keramaian!" ucap cepat Obito dengan ekspresi cemas dan panik.

Itachi menghela napas lega saat melihat adiknya tak terluka. Dia menoleh ke samping saat menyadari seorang pemuda pirang yang dari tadi menatap adiknya. "Dia?"

Jemari tangan Sasuke meremas kuat sekilas sebelum melemas lagi saat melirik sang pirang lagi. Semua ekspresi langsung hilang dari raut mukanya seraya ia berkata dengan nada dingin, "Bukan siapa-siapa."

Dua mata safir Naruto pun langsung melebar. Dia hanya bisa berdiri tak berdaya dan bingung saat mendengar kalimat berikutnya dari sang raven.

"Ayo pergi niisan, tempat ini membuatku jijik."

.

.

.

Pesta perayaan di istana pun berakhir dengan hampir semua peserta di sana mabuk dan pingsan. Tak sedikit dari para bangsawan yang sudah pergi menyeret seorang tayuu atau oiran biasa ke dalam kamar masing-masing. Ashura langsung berdiri dari bantal duduknya saat melihat tayuu yang ia perhatikan dari tadi akhirnya pergi meninggalkan ruangan.

Ekspresi panik memenuhi wajahnya saat melihat sang tayuu itu berjalan diiringi oleh seorang menteri tinggi. Jelas sekali apa yang akan mereka lakukan setelah ini.

"Tunggu!" Ashura mengejar oiran omega itu dengan buru-buru. Bernapas lega saat akhirnya pemuda omega itu akhirnya berhenti berjalan dan melirik padanya.

"B-bisakah kita bicara sebentar?!" tanya Ashura cepat.

Pemuda omega itu mengkerutkan kening sejenak sebelum meluruskannya lagi. Tanpa banyak ekspresi, dia membalas, "Aku sibuk," sebelum dia berjalan lagi bersama sang menteri tadi.

"Tunggu! Sebentar saja!" ucap Ashura lagi memaksa. Tangannya dengan cepat menarik lengan sang omega agar dia tak pergi.

Menteri di sampingnya pun langsung merengut dengan tak suka. "Hey, apa kau tak lihat Indra-chan sudah memilihku?! Lakukan giliranmu lain kali!" ucapnya kesal karena kesenangannya sudah disela bahkan sebelum dimulai.

Ashura melebarkan dua matanya tak percaya saat mendengar nama sang oiran. "I-indra?! N-namamu Indra?!" ucapnya masih tak percaya. Dengan keras dia menarik kedua pundak pemuda omega itu agar mereka berhadapan. "Niisan, ini aku ashura! Apa kau tidak mengingatku?!"

Oiran yang dipanggil 'Indra' menekuk bibirnya saat mendengar pertanyaan pemuda alpha di depanya.

'Siapa sebenarnya pendeta bodoh ini?! Kenapa mengganggu pekerjaanku.'

Dua mata hitam Ashura semakin membelalak shok. Dengan panik dan bingung ia menggenggam kuat pundak pemuda omega di depannya. "N-niisan kau tidak mengenalku?! Aku, ashura! D-dan aku bukan pendeta bodoh! Lagipula pekerjaan ini sangat kotor. Seharusnya kau berhenti saja!"

"Apa yang—?!" Indra tersentak kaget saat Ashura tiba-tiba berkata sesuatu yang tidak jelas. Bagaimana bisa dia tahu—

"Itu tidak penting! Yang jelas sekarang kau harus ikut aku, Niisan! Kita harus pergi dari sini! Jangan bekerja kotor seperti ini!"

"Oi pendeta brengsek! Kalau mau ceramah jangan disini! Dia adalah mainanku hari ini! Berani sekali kau merebut kesenanganku!" Menteri yang dari tadi mendengarkan ocehan mereka pun langsung membentak kesal. Wajahnya merah padam karena efek minum sake dan emosi marah.

"Tuan, maafkan aku. Tapi ini sangat penting, Indra adalah—"

"Berisik! Penjaga tolong singkirkan pendeta bodoh ini!" bentak menteri itu dengan kesal.

"T-tunggu—!" Ashura berteriak kesal saat melihat Indra dibawa pergi oleh menteri tadi. Beberapa samurai penjaga memegangi tubuhnya sehingga ia tak bisa mengejar.

"Niisan!" Ashura berteriak keras sekali lagi dengan tak terima.

Indra menatap sekali lagi pada Ashura dengan tatapan tak percaya. Sebelum ia menggelengkan kepala dan berjalan mengikuti sang menteri.

'Bagaimana mungkin?! Bagaimana mungkin Niisan masih hidup?!' Ashura menatap sosok pemuda omega itu dengan tak mengerti.

.

.

.

Di suatu koridor istana, dua sosok orang berjalan dengan sempoyongan menuju kediaman kaisar. Langkah mereka pelan dan tak stabil dengan satu orang terlihat sangat mabuk dan menyenderkan tubuhnya pada satu sosok lainnya. Koridor terlihat sepi dan sunyi hanya dengan suara langkah kaki dua orang yang berdebaman pelan di atas tatami. Meskipun begitu, sebenarnya beberapa jarak di belakangnya terdapat beberapa pelayan dan pengawal yang berjalan mengikuti. Tentu saja, hal ini karena salah satu sosok itu adalah seorang kaisar dalam istana. Dia akan selalu diikuti oleh rombongan pelayan dan pengawal.

Madara mengutuk dalam hati saat tubuh sang 'kaisar' di sampingnya itu semakin menempelkan tubuh padanya. Madara harus berhenti sejenak untuk menyeimbangkan diri ketika mendapat beban berat itu sebelum berjalan lagi 'menyeret' sang kaisar menuju kediamannya.

Dengan gesit dia membawa tubuh sang kaisar ke dalam kamar. Seorang pelayan dengan cepat membukakan pintu kamar itu. Futon bahkan sudah disiapkan rapi di tengah kamar.

Madara melambaikan tangan pada para pelayan agar mereka pergi. Baru setelah ia setelah mendengar suara pintu kamar tertutup rapat, Madara pun mendelik kesal pada sang Kaisar dalam rangkulannya.

"Sampai kapan Heika mau berpura-pura mabuk seperti badut tolol?!" Madara mendesis kesal. Ia mencoba mendorong tubuh 'sang kaisar' dari rangkulannya, namun 'kaisar sempoyongan' itu tiba-tiba menjadi penuh tenaga dan memeluk Madara semakin kuat. Suara kekehan kecil terdengar dari sang kaisar yang mendongakkan kepalanya.

"Ahh, aku kira aktingku sudah sempurna!" ucap Hashirama dengan nada kecewa, meski begitu raut mukanya sangat sumringah.

Madara memutar bola matanya. "Jangan bertindak bodoh, sebenarnya apa yang—Huh?! Tungg—Uhk?!"

Madara tersentak saat tubuhnya tiba-tiba diangkat begitu saja oleh Hashirama. Saat sadar ia sudah berbaring di atas futon, dengan seorang alpha berbaring di atasnya dengan wajah menyeringai penuh nafsu. "I-idiot! Apa yang kau lakukan!" desis Madara panik. Rona merah pun mulai muncul di ujung telinganya.

"Hmmm, memang apa yang aku lakukan?" Hashirama berdengung dengan nada tak bersalah. Namun tangannya sangat bertolak belakang. Dengan gerakan yang sangat hapal, dia melepas ikatan baju zirah dari tubuh Madara dengan cepat. Tanpa memberi kesempatan pada sang beta, ia pun menarik baju zirah itu sampai benar-benar lepas dan melemparnya jauh dari futon. Bunyi debaman keras yang terdengar pun membuatnya sangat puas. Kami sama, dia benci baju zirah itu!

"H-heika!" panggil Madara kesal. Ia mendorong pundak sang alpha agar menyingkir. Namun apa boleh buat, tubuh sang alpha sangat kokoh, dia hanya bisa mendelik garang pada sang kaisar yang menindihnya dari atas.

"Hashirama."

"Hah?"

"Panggil aku Hashirama," balas Hashirama dengan rengutan. "Akhir-akhir ini kau tidak pernah memanggil namaku lagi. Aku tak keberatan jika kau mengataiku idiot, bodoh atau apapun itu saat kita bersama, tapi aku lebih memilih kau memanggil namaku dari pada sebutan 'Heika' atau 'Yang Mulia'," ucapnya dengan nada komplain. "Atau…" Hashirama melirik wajah tampan sang beta di bawahnya. Seringaian pun muncul di bibirnya sebelum Hashirama mendekatkan bibirnya pada telinga Madara. Dengan suara rendah dan serak menggoda, dia lalu berkata, "…atau kau bisa memanggilku dengan sebutan Alpha…"

Sensasi merinding pun langsung dirasakan Madara dari telinganya. Rona merah di sana langsung sangat kentara. "Jangan main-main!" balas Madara kelabakan. Detak jantungnya pun berdebar dengan keras. 'Alpha', kalau saja dia memang bisa memakai sebutan itu…

"Cepat menyingkir! Ini masih siang bolong! Bagaimana kalau ada yang melihat kita?!" lanjut Madara memarahi setelah berhasil mengendalikan perasaannya.

"Tenang saja, tidak ada yang akan masuk kamar Kaisar," balas Hashirama menyembunyikan rasa kecewanya.

"Kau pikir dinding kamar ini sangat tebal?!" Madara membalas sinis, "Mana mungkin aku membiarkan para pelayan di luar sana tahu kalo kita—umph!"

Hashirama dengan cepat menutup bibir manis Madara dengan ciuman. Madara mencengkram pundak sang alpha dengan keras, entah untuk mendorong tubuh sang alpha atau malah untuk menariknya agar lebih dekat. Hashirama lalu menjilat bibir sang beta, menarik bibir bawah yang manis itu ke dalam mulutnya, dan menghisapnya pelan.

Madara menarik napas. Seperti sudah dinyalakan tombolnya, gerakannya pun langsung berubah. Ciuman lembut itu pun langsung berubah agresif. Madara memajukan bibirnya agar semakin menempel dengan bibir Hashirama. Lidah dengan cepat menerobos masuk. Hashirama dengan senang hati menerimanya. Salah satu tangannya menyusup masuk untuk memeluk pinggang sang beta, sedang tangan satunya memegang belakang kepala Madara agar kepala mereka sebagai berdekatan.

Seolah tak ingin kalah, Madara mencengkram kepala Hashirama dengan kedua tangannya. Rambut dijambak kuat ke depan, membenturkan bibir mereka semakin panas seolah sentuhan mereka masih kurang.

"Madara…" panggil Hashirama lembut hampir seperti pujaan. Tangan ia gerakan untuk menelusuri wajah tampan sang beta dengan lembut. Ciuman panas itu berubah menjadi lembut seraya mereka mengambis napas. Namun Hashirama enggan untuk melepas sentuhan mereka. Bibir bergesekan dengan halus. Hashirama mengecup sudut bibir Madara pelan, lalu membelai pada pipi, hidung, kelopak mata. Sangat lembut seperti rabaan sayap kupu-kupu.

Bukannya menenangkan, gerakan lembut itu justru membuat Madara semakin sesak. Dengan kasar, ia menarik kepala sang alpha, membawanya kembali ke dalam pagutan bibir yang panas.

"Ngnn—" erangan kecil terdengar bersamaan decakan basah di antara bibir. Madara menggeliat kecil saat merasakan tangan Hashirama tiba-tiba menyusup masuk ke dalam kimono dalamnya. Bibir mereka pun terlepas sejenak. Hashirama dengan segera menyerang leher jenjang sang beta. Mengesekan giginya pada tonjolan kecil yang terlihat pada leher putih itu. Bibir mengecup pelan sebelum ia mengisapnya kuat.

"Ah…" Madara berdesah kecil. Kepala tanpa sadar mendongak ke belakang membuat leher putihnya semakin terlihat jelas. Hashirama tanpa segan langsung menyerang leher bagian kiri. Tepat pada bagian cekung pertemuan dengan pundak. Di sana, ia melihat jejak sebuah kelenjar. Kelenjar bonding yang akan terlihat menggembung, merah, mengeluarkan harum essens seorang omega yang sangat manis dan menggoda, menarik semua alpha untuk mating—

Tapi dia bukan seorang omega bukan?

Hashirama menggigit kulit berkelenjar tipis pucat itu dengan kuat. Seolah semakin kuat gigitannya akan membuatnya semakin mendekati harapan bahwa mungkin saja mereka akan benar-benar bisa terikat dalam bonding—

Bodoh, dia hanya seorang beta.

"Ukh!" Madara menarik kepala Hashirama dengan jambakan kuat. Ia tak perlu memakai cermin untuk melihat kulitnya terluka karena gigitan sang alpha. "Berapa kali ku bilang untuk tidak menggigit leherku terus-terusan, dasar anjing liar!" ucapnya dengan mendelik garang. Dia pikir lehernya itu daging segar?! Seenaknya menggigit…

Hashirama menyengir minta maaf. Namun tingkahnya sama sekali tak memperlihatkan dia benar-benar menyesal. Lidah bergerak cepat mengusap darah yang menempel di bibirnya, sedang mata hitamnya menatap bangga pada kulit leher sang beta yang terluka karena gigitannya. Bekas gigitan terlihat jelas di sana, membuatnya kelenjar tipis sang beta menjadi sangat merah membiru, bengkak dan meneteskan sedikit darah.

Lihat! Memang kenapa kalau dia hanya seorang beta? Memang kenapa kalau kelenjar di sana hanya kelenjar tipis biasa, tidak menggembung, merah, dan beressens memikat?! Kalau tanda gigitannya tidak bisa menjadi permanen, dia hanya perlu memperbaruinya setiap malam! Hashirama menyeringai puas. Ia menatap bekas gigitannya dengan sangat nafsu seolah ia ingin menerjang lagi saat itu juga.

Mata Madara menggelap melihat tingkah kekasihnya itu. Dia bersumpah, Hashirama pasti dulunya reinkarnasi dari seekor anjing! Habis apa lagi yang membuatnya suka sekali menggigit lehernya?!

"Sampai kapan kau mau melamun seperti anjing tolol?!" desis Madara seraya menarik keras kerah kimono yang dipakai sang alpha.

Hashirama hanya menyeringai kecil. Dia dengan sangat gairah pun mulai melepas ikatan kimono Madara. Tangan dengan sangat gatal segera menyusup masuk. Bibir dijilat pelan ketika dada putih dan sexy milik sang beta mulai terlihat. Jemarinya dengan lembut meraba, hingga akhirnya menemukan dua tonjolan kecil pada dada bidang itu. Dengan pelan ia pun mencubitnya.

Namun bagaimana bisa Madara menjadi Madara jika ia tahan dengan permainan lembek seperti ini?! Dengan kesal ia menarik kepala sang alpha. Bibir mereka pun lagi-lagi berbenturan kasar. Gigi bahkan tak sengaja menggigit membuat ciuman itu menjadi sedikit berasa asin bercampur besi. Madara dengan tak sabaran menarik kimono luaran Hashirama. Tak melepasnya penuh sebelum ia langsung menyerang kimono dalam. Dada berkulit kecoklatan pun langsung terlihat begitu ia berhasil menarik kimono itu turun dari pundak. Ia hanya perlu melepas ikatan talinya sebelum—

TOK! TOK! TOK!

Madara berjengit kaget. Hashirama bahkan tak sempat bereaksi sebelum ia tiba-tiba sudah didorong keras sampai jatuh dari futon. Sedangkan Madara sudah berdiri tegak di atas lantai tatami. Tangan dengan cepat mengikat rapi kimono yang dipakainya. Madara melirik kesal baju zirahnya yang tergeletak sembarangan di atas lantai sebelum akhirnya dengan terpaksa berjalan keluar dari kamar dalam, dan menuju pintu shoji di luar.

"Ada apa?" ucap Madara dingin dari balik pintu. Tangan dengan otomatis berpangku di atas gagang pedang yang menggantung pada pinggangnya.

"Tennou-heika, Kougou-heika mengirimkan sup merah untuk menghilangkan mabuk," ucap hati-hati seorang pelayan dari luar pintu.

Dua alis Madara langsung mengkerut begitu mendengar kata 'permaisuri' dari sang pelayan. Tatapan matanya tanpa sadar menjadi tajam dan diarahkan pada pintu.

Tak mendengar jawaban dari dalam kediaman, pelayan itu pun menjadi gugup. "Kougou-heika cemas Tenno-heika akan sakit karena mabuk. Sedangkan hari masih panjang, jadi Kougou-heika meminta kami untuk mengantarkan sup merah," jelasnya lagi dengan tegang. "Haruskah hamba membawanya kembali?"

Dengan terpaksa, Madara akhirnya membuka pintu. Pandangannya langsung tertuju pada seorang pelayan wanita yang duduk bersujud di depan pintu. Kepalanya menunduk ke bawah dengan hormat. Madara lalu melirik ke samping di mana sebuah tatakan meja kecil berisi sup di letakan di samping sang pelayan. Tanpa berkata apapun, Madara langsung mengambil tatakan meja itu ke dalam ruangan. "Kau boleh pergi," perintahnya dingin pada sang pelayan sebelum bergerak untuk menutup kembali pintu shoji.

"B-baik," balas pelayan itu dengan gugup. Karena ingin segera menutup pintu, Madara tak melihat saat pelayan itu sedikit mendongak ke atas, dan melebarkan mata saat melihat Madara. Tanpa bicara apapun, pelayan itu langsung menduduk takut dan pergi dari sana.

"Ada apa?" tanya Hashirama saat melihat Madara sudah kembali ke dalam kamar dalam. Kimononya masih berantakan seolah dia sama sekali tak peduli jika pelayan itu benar-benar masuk dan melihat kondisinya.

Madara mendelik tajam padanya, sebelum menyerahkan sup itu dengan kasar. "Omegamu yang cantik mengirimkan sup hangat karena ia khawatir 'alphanya akan sakit karena mabuk'," ucapnya sinis.

"Ah?" Hashirama menatap terkejut pada sup di tangannya. Dengan menghela napas, ia menyingkirkan sup itu ke samping. "Kalau begitu, tak apa, kita hanya tinggal membiarkannya di sana dan melanjutkan yang tadi," ucapnya menyeringai pada sang beta.

"Hn, kau pasti bermimpi jika berpikir aku akan membiarkanmu menyentuh tubuhku lagi?!" dengus jijik Madara dengan melipat kedua tangannya di depan dada. "Pergi saja sana kau pada omega cantikmu itu dan bersenang-senang dengannya. Dia pasti sedang sangat cemas pada Alpha-nya yang mabuk. Oh, bagaimana kalau 'Alpha' sakit dan—Akh?!" Madara tersentak kaget saat tubuhnya tiba-tiba ditarik lagi menuju futon oleh Hashirama. "Kau—umph!"

Hashirama hanya menyengir. Bibir dengan cepat memagut bibir manis Madara. Kimono sang beta yang sudah dirapikan pun dengan cepat kembali lepas dan berantakan. Decakan basah langsung terdengar dari bibir mereka. Tak ingin kalah Madara langsung menyerbu ciuman itu. Lidah mereka pun langsung bertemu. Saling beradu dan mendominasi satu sama lain. Tubuhnya pun langsung memburu dan panas. Seluruh darah tubuhnya dengan cepat menuju ke bawah di mana benda panjang di sana mulai menjadi tegang. Seperti diburu-buru, Madara menjambat kuat rambut hitam sang alpha, menariknya agar bibir mereka semakin menempel. Lidah saling menarik, dan menghisap. Menyerap semua rasa nikmat dari dalam sana. Rasa seorang alpha—tidak, Hashirama. Ini adalah Hashirama-nya. Hashirama yang hanya menjadi miliknya.

"Ah!" sengatan nikmat tiba-tiba menyerang dadanya. Madara menarik diri dari ciuman mereka. Napas pun naik turun dengan berat seolah dia baru saja lari maraton 10 km. Hashirama dengan cepat menyerang leher putih sang beta. Bibirnya langsung menemukan tanda gigitannya itu. Menjilat dan menghisapnya pelan, seraya tangannya menyerang dada sang beta.

Setelah menenangkan napas, Madara kembali menyerbu. Tangan mencengkram kimono Hashirama hingga lepas. Dengan seringai, menatap penuh tantangan pada sang alpha. "Sangat lamban."

Hashirama pun menyeringai penuh nafsu, "kalau begitu kita harus mempercepatnya bukan?" balasnya penuh gairah, sebelum menyerang tubuh sang beta tanpa kendali.

.

.

.

"Kau yakin?"

Sebuah suara lelaki terdengar di dalam sebuah ruangan. Ruangan itu berukuran cukup luas dan mewah. Beberapa lukisan dan kaligrafi dipasang di beberapa tempat menandakan ruangan itu terlihat seperti sebuah ruang studi. Di tengah ruangan terdapat sebuah meja kerja dan beberapa rak buku berjejeran.

Seorang beta duduk di atas zabuton, sebuah bantal duduk, di depan meja. Dia bertubuh tinggi tegak. Kulitnya berwarna putih, seirama dengan rambut pendeknya yang juga berwarna putih. Mata sangat sipit dan runcing, dengan iris mata berwarna merah gelap hampir hitam. Wajahnya serius dan kaku, membuatnya terlihat sulit di dekati. Namun sekarang ini, sebuah seringai tipis terlihat di sudut bibirnya, seolah dia baru saja mendapatkan sesuatu yang sangat bagus. "Hm, begitu?" ucapnya lagi dengan suara rendah.

"Benar, Tobirama-denka," balas seorang pelayan wanita yang sedang berlutut tak jauh dari tempatnya. Ketika pelayan itu mendongak, wajah yang terlihat adalah tidak lain pelayan yang tadi mengantarkan sup merah pada sang Kaisar. Dengan raut muka serius dan tulus, hampir memuja, ia berkata lagi melanjutkan, "hamba benar-benar melihat Uchiha-dono melakukan 'hubungan tak layak' dengan Tenno-heika."

"Hm," Beta yang dipanggil 'Pangeran Tobirama' itu mendengus kecil. "Tak ku sangka. Sudah lama aku mendengar rumornya. Tapi, dia hanya seorang beta. Aku tak mengerti kenapa Hashirama mau berhubungan dengannya," gumamnya dengan suara kecil yang hampir hilang di akhir, seolah perkataannya tadi bukan ditujukan untuk umum.

Namun sang pelayan masih mendengarnya karena ia segera mendongak kecil dengan bersuara penuh tanya, "Ah, apakah itu buruk, Yang Mulia? Hamba pikir denka menyuruh hamba ke sana untuk mencari tahu kebenaran tentang Kakak Yang Mulia?" tanya pelayan itu hati-hati dengan menunduk lagi.

"Ah," Tobirama mengeluarkan suara kecil seolah terkejut dan melirik sekilas pada sang abdi setia yang masih bersujud di depannya. "Benar, akan sangat buruk jika 'Ani-ue' ketahuan berhubungan dengan seorang beta bukan? Apalagi yang bekerja sebagai pengawalnya?" ucapnya seolah khawatir. Meskipun nada dan raut mukanya sangat berlawanan. Masih kaku dan tak berekspresi, sama sekali tak bisa dilihat apakah dia benar-benar cemas mengenai kakaknya. "Hm, kerja bagus, kau boleh pergi," Tobirama berkata singkat melambaikan tangan pada pelayan itu.

"Baik, Tobirama-denka," balas patuh pelayan itu sebelum menunduk pergi.

Tobirama menunggu sampai pintu tertutup, sebelum melirik keluar pintu samping di mana sebuah halaman berada di samping kediamannya. Raut mukanya serius seolah sedang berpikir keras, namun sudut bibirnya sedikit naik ke atas membentuk seringai tipis. "Hm… bukan salahku jika kau sendiri yang membuat kesalahan kan, Ani-ue..?" gumamnya kecil dengan menerawang ke atas halaman.

.

.

.

Tahun Butsuma-tenshi ke-28 Bulan ke-1 hari ke-2 : Kuil Utama Ibukota Senju

Di dalam kuil utama ibukota, terdapat sebuah kediaman besar. Di sanalah tempat para pendeta dan miko tinggal. Di belakang kediaman itu terdapat sebuah halaman luas. Suara debaman pukulan keras terdengar beruntun dari ujung halaman.

Sesosok pemuda berdiri memegang pedang kayu. Dia hanya memakai celana kain, sehingga tubuh bagian atasnya terekspos lebar. Kulitnya kecoklatan, terlihat jelas dari sering terpapar sinar matahari. Dia memiliki dada yang bidang, dengan punggung lebar berotot yang terlihat berkedut kuat setiap kali dia mengayunkan pedang kayunya untuk menebas. Keringat pun bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.

Pemuda itu berambut pirang. Mata birunya yang sangat fokus dan tenang kemudian menyipit. Pedang kayu ia tarik ke dalam lengan dengan ujung pedang mengarah ke serong bawah dan gagang ia genggam di atas pinggang, sedangkan tubuhnya pun mengambil posisi.

Napasnya yang terengah-engah kemudian menipis menjadi hampir tak terdengar. Sebelum dengan satu tarikan napas, dia menebaskan pedang kayunya dengan gerakan yang sangat rumit. Tubuh memutar mengikuti gerakan pedang. Seolah ada lawan yang menyerangnya, dia bergerak cepat melancarkan tebasan selanjutnya sebelum diakhiri dengan tebasan kuat yang membuat suara debaman angin di sekitar pedangnya. Ia menahan posisi itu dua detik sebelum dengan napas pelan ia merilekskan posisinya. Pedang kayu ia ayunkan sekali lalu ia tarik ke dalam pinggang, sebelum ia sadar bahwa ia tak memasang sarung pedang di sana. Pemuda pirang itu berkedip sekali lalu menoleh ke samping saat mendengar suara tepukan tangan pelan dari dalam ruangan. Mata birunya pun langsung sumringah begitu melihat siapa yang baru saja bertepuk tangan.

"Aniki!"

"Gerakan pedangmu masih hebat seperti biasanya, Naruto." Ashura berkata dari dalam ruangan. Ia berjalan keluar teras, sebelum duduk di atas tatami.

Naruto menyengir senang. Dengan cepat menarik tubuhnya untuk duduk di samping sang kepala pendeta. "Kapan kau kembali?! Aku tak melihatmu dari kemarin, Aniki!"

"Baru saja." Ashura menghela napas kecil. Jika mungkin, sebenarnya dia masih ingin berada di istana untuk mencari Indra. Tapi setelah semalaman menunggu, ia bahkan tak bisa melihat ujung rambutnya. Sang tayuu itu sudah pergi bahkan sebelum matahari pagi bersinar. Ia lalu melirik pemuda pirang yang masih keringatan di sampingnya.

"Apa yang kau lakukan sepagi ini, Naruto? Aku tahu setiap pagi kau memang selalu latihan pedang. Tapi dari keringatmu, kau seperti sudah latihan dari berjam-jam yang lalu." Matahari baru saja terbit, namun pemuda pirang itu sudah basah kuyub dengan keringat.

"A-ah?!" Naruto tersentak. Rona merah tiba-tiba muncul di dua pipinya. Dengan kikuk dan salah tingkah, ia menggaruk belakang kepalanya malu-malu. "I-itu—" 'Sial, mana mungkin aku bilang soal kejadian kemarin pada Aniki!'

"Hm?" Ashura menaikkan satu alisnya dengan geli. Seringaian lebar pun muncul di bibirnya. "Apa terjadi sesuatu kemarin saat aku ada istana?" godanya.

"I-i-itu—" Naruto semakin terbata. 'Sial! Apa aku bilang saja soal kemarin?! Aniki mungkin tahu soal omega!'

Ashura berkedip terkejut. "Kau bertemu omega?"

"A-a-apa?!" Rona merah di pipi Naruto semakin kentara. "B-bagaimana aniki bisa tahu?!"

"Ah, itu, dimana kau bertemu omega?" balas Ashura cepat mengalihkan perhatian. Ia lalu menyeringai menggoda saat terpikir sesuatu. "Apa ini artinya kau akhirnya bertemu cinta pertamamu?" tanya dengan kekehan geli.

"C-cinta?!" Nada suara Naruto hampir memekik. Tapi kemudian dia ingat sosok Sasuke yang ia temui kemarin. Rona merah di pipinya pun kini merambat ke seluruh wajah. "I-itu—umm, i-itu namanya cinta?" tanyanya ragu-ragu.

"Hmm, tentu saja, omega yang kau temui kemarin pasti membuatmu sangat terpikat bukan? Itu pasti cinta pada pandangan pertama. Dengarkan Anikimu ini, kalau dia benar-benar membuatmu tertarik, jangan ragu untuk mengejarnya! Jarang-jarang kau bertemu omega yang bisa membuatmu terpikat. Kau harus mengejarnya sebelum terlambat. Menikah itu kewajiban semua umat manusia. Karena itu sudah bertemu, jangan sungkan-sungkan. Setelah itu kau harus membuat keluarga, lalu punya anak. Ah tapi ngomong-ngomong kau sudah tau soal mating kan, aku ingat rut pertamamu itu sudah lewat dua tahun yang lalu. Nanti saat mating, kau harus…"

Naruto menatap Ashura dengan mata lebar. Wajah merah hijau, berubah-berubah sampai akhirnya ia tak tahan lagi. "B-berisik, pendeta tua! Kau sendiri juga kan jomblo telat umur! Jangan sok-sokan mengoceh!" ucapnya meledak malu.

"A-apa?! Siapa yang kau bilang jomblo telat umur hah?!" Ashura ikut-ikutan meledak tak terima. "Dengar ya bocah, anikimu itu—

"Apa?! cuma perawan ketuaan?!" tantang Naruto melanjutkan.

"P-perawan?!" Ashura terbelalak. "I-ini bukan perawan namanya!" ucapnya tak terima. "Dengar ya bocah, jalan dewa itu harus lurus tanpa terikat masalah dunia. Omega itu sebuah dosa! Mengikuti jalan dewa itu harus menjauhi semua godaan dosa, apalagi seorang omega!" ucapnya sok menceramahi.

"Omong kosong! Memang aku tak lihat waktu itu kau mengintip Kanna-chan saat mandi?!"

"I-itu—!" Ashura memekik. Dengan panik ia menarik kepala pirang Naruto, lalu melirik ke kanan dan kiri takut-takut ada orang. Dengan keras ia memukul kepala pirang itu, lalu menariknya lagi. "B-bodoh jangan keras-keras! Bagaimana kalau ada yang dengar!" desis kelabakan. Rona malu terlihat di wajah seraya ia melirik ke sekeliling.

"A-aniki tak perlu memukulku sekeras itu kan?!" Naruto ikut mendesis hati-hati. Dia juga ikut melirik sekelilingnya. Kalau Kanna-chan tadi sampai dengar bisa gawat!

"D-dengar bocah, yang waktu itu bukannya mengintip tahu! Anikimu ini cuma lewat! Bukan salahku kalau Kanna ternyata sedang mandi disana." desis Ashura berbisik-bisik.

"Apanya yang lewat! Bilang saja memang mau lihat! Kamar mandi miko kan berlawanan dari kamar pendeta!" sangkal Naruto ikut berbisik.

"I-itu! Lalu bagaimana denganmu bocah! Kau sendiri juga ikut mengintip kan?! Apalagi kalau bukan itu alasan kau lewat sana!" balas Ashura tak terima.

Kali ini giliran Naruto yang merah padam lagi. "I-itu b-bukan mengintip! B-bukankah Aniki sendiri yang bilang jalan dewa itu harus lurus! Aku cuma jalan lurus saja!" sangkalnya keras.

"Uhuk!" Ashura langsung berbatuk. Ia berdeham beberapa kali, sebelum mengembalikan ekspresi sok alim pada wajahnya. "Dengar Naruto, kita sebagai manusia itu harus selalu berpikiran jernih. Asal kita berpikiran jernih, semua jalan pasti akan diluruskan oleh Dewa. Dewa memberikan kita mata tentu saja untuk melihat! Asalkan pikiran kita jernih, semuanya akan baik-baik saja!" ucapnya tegas penuh keyakinan. Lalu dia dengan cepat mengalihkan pembicaraan saat melihat sang pirang akan bicara lagi. "Seperti omegamu itu Naruto! Bukankah kau bilang melihat omega kemarin?"

Dengan cepat mulut Naruto pun terkatup rapat lagi. Dengan malu dan kikuk, dia membuang muka ke samping. "Dia bukan omegaku," ucapnya dengan menggerutu tak jelas.

Ashura mengusap keringat dingin dengan napas lega saat perhatian Naruto berpindah. "Tapi kau akan menjadikannya omegamu kan? Bukannya kau menyukainya?"

"A-aku tidak s-suka! Kami hanya bertemu sebentar. Itu saja…" balas Naruto diakhiri dengan suara bergumam.

"Tapi?" pancing Ashura pada sang pirang.

"T-tapi… uh—" Naruto melirik kanan kiri sebelum menoleh pada Ashura kembali. "A-aniki apa kau pernah mencium bau essens omega?" ucapnya bisik-bisik seolah yang dikatakannya itu hal tabu.

"Essens omega?" balik tanya Ashura. Tiba-tiba dia teringat dengan Indra. Satu-satunya essens omega yang pernah ia cium dengan dekat adalah milik kakaknya. Omega biasanya lebih tertutup soal bau essens mereka, apalagi para omega bangsawan. Mereka selalu menutupinya dengan parfum dan wangi-wangian bunga. Hanya mate dan keluargalah yang boleh mencium essens mereka. Berbeda dengan alpha yang bisa dengan bebas mengeluarkan essens mereka. Bau omega lebih fatal khususnya saat heat karena bisa membuat insting para alpha dan beta menjadi gila.

"Kau mencium bau omega yang kau temui kemarin?!"

Rona merah langsung memenuhi pipi Naruto. "A-aku tidak sengaja! Waktu itu jalanan sangat ramai, jadi kami bertabrakan. Lagipula bukan salahku dia tidak memakai parfum!"

"Tidak pakai parfum? Omega yang kau temui itu dari kalangan rakyat biasa?" biasanya hanya omega dari kalangan bawah yang tidak memakai parfum karena tidak memiliki uang. Mereka biasanya membuat wangi-wangian sendiri dari bunga liar atau tanaman lain. Itupun baunya tidak bertahan lama. Hanya kalangan atas yang mampu membayar harga parfum yang baunya tahan lama.

"Eh?" Naruto berkedip. Dua alisnya menekuk ke atas seraya mengingat kejadian kemarin. "Tidak, pakaiannya sangat bagus dan mewah. Dia bahkan punya beberapa pengawal," ucapnya ragu-ragu. "Tapi aku yakin tak mencium bau parfum bunga darinya!"

"Naruto, bisa saja dia memakai parfum penghilang essens. Akhir-akhir ini parfum itu sedang populer di kalangan atas. Parfum itu tak memiliki bau, tapi mampu menghilangkan bau essens omega," jelas Ashura menghela napas.

"K-kalau begitu bagaimana bisa aku mencium baunya?" tanya Naruto bingung. Dua mata birunya lebar seolah ia bisa mengingat jelas harum essens Sasuke kemarin. Tidak, dia memang masih bisa mengingatnya. Harumnya sangat nikmat, seperti kayu manis, bercampur dengan aroma hujan yang dingin. Sangat menyegarkan, namun juga membuatnya nyaman. Sangat nikmat, baunya sangat memikat dan—

"Naruto!"

Naruto tersentak bangun dari lamungan. Napasnya entah kenapa sudah terengah-engah. Tubuhnya pun menjadi panas. Darah dalam tubuhnya seperti sedang mengalir dengan cepat, memburu, membuatnya ingin segera melakukan sesuatu dan—

"Naruto! Kau sedang rut?!" bentak Ashura lagi membangunkan sang pirang.

"Huh?!" Naruto berkedip. Dia menarik napas panjang untuk menenangkan diri. "T-tidak! Aku sudah melewatinya dua minggu yang lalu," ucapnya panik dan tak mengerti. Ini pertama kalinya mengalami hal seperti ini. Apa ini benar-benar karena kemarin ia mencium bau omega?

"Hm, kau latihan pedang semalam karena hal ini?" tebak Ashura menatap raut muka sang pirang. Warna mukanya sudah kembali normal. Dia juga sudah tak terlihat seperti bergairah lagi.

"Itu benar, Aniki!" ucap Naruto cepat saat mendengar kalimat Ashura. "Tubuhku tiba-tiba menjadi gatal dan penuh energi, jadi semalam aku menggunakannya untuk latihan pedang. Aniki, kau harus membantuku! Apa ini gara-gara omega yang kemarin?"

Ashura menghela napas. "Bagaimana kalau kau mencoba bertemu dengannya lagi. Jika ini terjadi lagi, mungkin memang ada hubungannya," sarannya. Ia lalu menyeringai menggoda saat teringat sesuatu. Dengan jahil, ia melirik Naruto. "Mungkin saja Naruto, dia itu adalah soulmate-mu~~"

"S-soulmate?!" pekik Naruto menatap Ashura tak percaya. "I-itu kan cuma dongeng!" sangkalnya tak terima. Meskipun begitu mata birunya terlihat berkilat seolah dia sangat senang saat mendengarnya. Kakinya bahkan bergerak-gerak seolah tak sabar ingin segera pergi untuk mencari omega raven yang kemarin. Tapi soal itu…

"Aku tak tahu harus kemana mencarinya," ucap Naruto kecewa.

"Apa kau tahu namanya, mungkin saja aku mengetahuinya kalau dia seorang bangsawan," tanya Ashura.

"Ah?" Naruto langsung melirik cepat pada sang pendeta. "Sasuke! Namanya Sasuke," balasnya semangat. "Tapi aku tak tahu marganya. Dia memiliki rambut hitam, kulit putih pucat, sangat cantik. Matanya juga hitam lalu—"

"Uchiha?" Ashura menekuk kedua alisnya. Ia ingat klan Uchiha memiliki putra bungsu omega bernama Sasuke.

"Uchiha?" balik tanya Naruto

"Jika aku benar, dia pasti dari klan Uchiha. Sepertinya jalanmu akan sulit, Naruto. Klan Uchiha terkenal sangat ketat, dan paling tidak suka berhubungan dengan rakyat kalangan bawah," jelas Ashura dengan helaan napas simpati.

Tapi simpatinya itu sepertinya hanya berujung ke tempat sampah begitu melihat Naruto. Pemuda pirang itu seperti sedang terpana, mengulang-ulang nama 'Uchiha Sasuke' dari mulutnya. Sama sekali tak mendengarkan kalimatnya mengenai klan Uchiha.

Ashura hanya menghela napas kecil melihat tingkahnya. "Ngomong-ngomong Naruto, apa kau sudah dapat kerjaan baru?"

"Huh?" Naruto berkedip. Seperti 'sedang protes' perutnya tiba-tiba berbunyi 'Kruyukkk~!' keras mengingatkan kalau 'iya dia memang belum kerja" dan "perutnya itu memang belum diisi karena tak punya uang".

Ashura langsung tertawa geli melihat wajah Naruto yang langsung kelabakan. "Ah, aku lupa bilang, sebenarnya tadi aku bawa makanan dari istana. Kotaknya ada di—"

Kalimatnya bahkan belum selesai, Naruto sudah meluncur cepat untuk mencari kotak makan itu. Dengan mulut penuh makanan, dia membawa kotak makanan itu lagi ke teras, dan duduk di samping Ashura untuk melahapnya. "Thehima khahih hanihki! Ihni saghat hehnak!" ucapnya sambil menguyah penuh pada Ashura dengan mengacungkan jempol tangan.

Ashura hanya menggelengkan kepala. "Setelah makan sebaiknya kau pergi ke kantor barak samurai. Aku dengar ada perekrutan prajurit baru disitu," usulnya pada sang pirang.

"Huh?" Naruto menelan makanan di dalam mulutnya sebelum membalas. "Tapi aku tidak ingin menjadi prajurit terikat! Bukannya itu malah akan dikirim ke perbatasan untuk perang?! Aku dengar rumor kalau perbatasan utara sedang diserang dan kehilangan banyak samurai!"

"Tidak, kali ini perekrutan untuk di dalam ibukota. Aku dengar dari Kaisar kalau kerajaan terpaksa mengirim bantuan ke utara. Pasukan samurai baru hanya akan menjadi mangsa empuk jika langsung dikirim ke dalam perang. Karena itu ibukota mengirim Pasukan Tengah untuk berperang. Sedang pasukan baru akan mengisi tempat di istana."

"Samurai istana?" gumam Naruto lirih. Eskpresi rumit muncul pada wajah sang pirang. Sebuah pikiran tiba-tiba muncul dalam kepalanya, namun sangat cepat dan sudah hilang begitu ia akan membacanya.

Ashura menyipitkan mata menatap Naruto. Hanya sebentar, hanya sebentar saja, sebuah perasaan sedih, berat, dan penuh benci tiba-tiba dirasakannya. Namun ia tak bisa membaca apa isi pikiran Naruto. Ia tiba-tiba menjadi teringat saat pertama kali bertemu Naruto beberapa tahun yang lalu. Saat itu perasaan yang sama juga ia rasakan dari pemuda pirang itu.

Namun wajah Naruto langsung sumringah lagi, sehingga ia tak sempat membacanya. Setelah menghabiskan makan, ia pun berdiri dengan semangat. "Yosh, terima kasih Aniki! Aku akan coba melihat perekrutannya!" ucapnya dengan menyengir lebar. Dengan semangat ia melambaikan tangan, lalu menuju kamar untuk bersiap-bersiap. Dia juga perlu mandi!

.

.

.

Tak jauh dari istana, sebuah benteng penjaga berdiri. Di sana adalah tempat para samurai berlatih dan tinggal dalam asrama. Naruto hanya pernah melihatnya dari kejauhan, karena sebenarnya dia tak ingin menjadi samurai yang terikat dengan tuan. Jika bergabung, maka dia harus mengabdi dengan kerajaan seumur hidupnya. Samurai yang mengambil kembali sumpah abdinya merupakan penghianat yang pantas mati. Sangat berlawanan dengan jalan bushidou seorang samurai. Oleh karena itu dia tak pernah tertarik untuk mengabdi pada siapapun. Kenapa dia harus mengabdi, kalau dia sendiri bisa menjadi seorang tuan?! Tentu saja, menjadi tuan bukanlah hal yang mudah. Hanya sebuah mimpi bagi kalangan rakyat bawah untuk bisa memimpin banyak bawahan. Tapi tidak ada yang mengatakan bahwa seorang tuan harus memiliki seorang bawahan. Naruto hanyalah seseorang yang bebas! Dia adalah tuan dari dirinya sendiri!

Tapi…

Naruto menatap kertas pengumuman yang terpampang di depan gerbang benteng samurai. Di sana tertulis lantang semua persyaratan dan ketentuan untuk mengikuti ujian perekrutan samurai istana. Sama seperti yang dikatakan Ashura, para samurai yang diterima akan ditempatkan di dalam istana. Namun mata Naruto tertuju pada satu kalimat yang menjelaskan bahwa akan ada kontrak satu tahun masa percobaan. Apa ini artinya, para samurai tidak akan disuruh untuk sumpah mengabdi?

Tidak, peraturan samurai kerajaan sangat ketat. Tidak mungkin mereka tidak disuruh bersumpah. Pasti ada sesuatu dibaliknya. Meskipun begitu…

Naruto merogoh kantong kimononya. Dari dalam sana, ia mengeluarkan sebuah lencana yang terbuat dari besi. Lencana itu sudah sangat lusuh dan jelek. Bahkan ukiran tulisan pada lencana itu sudah hampir tak terlihat. Namun jika memperhatikan jelas, Naruto masih bisa membacanya.

Namikaze Minato

Di sana, di tengah lencana itu, ukiran nama yang sangat familiar itu bisa terbaca.

Naruto membalik lencana itu, lalu melihat ukiran simbol di balik sana. Simbol yang tak pernah ia temukan di mana pun ketika mencari tahu artinya. Namun ada satu hal yang bisa ia pastikan, lencana itu adalah sebuah lencana samurai. Tepatnya lencana samurai kerajaan.

Naruto menatap kertas pengumuman itu sekali lagi, sebelum akhirnya memantapkan diri untuk masuk ke dalam gerbang.

.

.

.

Coming soon in RED DAWN (fanbook)