:: Between Me And Him ::

~HunHan~

.

.

.

.


Di sana, di taman universitas Luhan berada; mengulum permen dengan buku tebal di tangan kirinya. Menggunakan kacamata dan diterpa matahari pagi dia tampak sangat manis dan indah. Di depanku kini ada malaikat, rasanya seperti tak nyata melihatnya. Dia melepas kacamatanya, menoleh padaku dan tersenyum sehangat mentari pagi. Ku anggap itu adalah panggilannya, aku menghampirinya dengan cengiran kemenangan.

"Hai," Sapanya sangat manis.

"Hai."

Aku duduk di sampingnya, memberikannya susu dengan rasa favoritnya, cokelat. Aku tahu apa saja yang disukai dan tidak disukainya, salah satu yang disukainya adalah susu cokelat.

"Oh? Terima kasih Sehun," Dia menusuk kotak susunya dengan sedotan, menghisapnya dengan cara yang paling menggemaskan yang pernah ada. "Aku mendapat dua pagi ini." Dia terkekeh.

Dua? Apa ada seseorang yang mendahului susu cokelatku?

"Kau mendapat susu cokelat lain sebelum ini?"

"Kris memberiku susu cokelat," Sudah kuduga. Bisakah si brengsek itu tidak mengikuti apa yang biasa aku lakukan pada Luhan? "Dia tahu aku suka rasa cokelat."

Bagaimana dengan aku? Aku tahu segala yang dia suka. Tiba-tiba aku merasa kesal, aku tak bicara dan dia pun terlalu serius dengan bukunya. Aku hanya ingin menghabiskan waktu luangku dengan Luhan seperti dulu sebelum ada si brengsek itu, mengambil kelas pagi hanya semata-mata untuk Luhan.

"Ah iya," Luhan menutup bukunya, meletakannya di samping lalu melepaskan kacamata dan menatapku. "Yuqi sangat berterima kasih, dia serta ibu dan ayahku ingin kau makan malam dengan kami."

Yeah celana pendek paman Park, balasan untuk kebaikanku!

Tak ada yang menjadi penyemangatku untuk kuliah hari ini selain Luhan, dan tak ada pula hal yang sangat membuatku ingin cepat pulang hari ini selain Luhan, ya semua Luhan bahkan ku pikir tujuan hidupku juga Luhan.

Setelah kelas pertama hari ini aku dan Luhan berjanji bertemu di kantin, makan siang bersama seperti saat aku masih mengambil kelas pagi. Senangnya jika aku selalu mengambil kelas pagi, bisa bertemu Luhan lebih sering lagi jika membayar semester bisa dengan daun.

Tapi saat aku sampai di kantin aku tak menemukan Luhan di sana, bahkan aku sudah berkeliling kantin sebanyak tiga kali bersama salad buah kesukaan Luhan. Tak ingin membuat salad buah menjadi rusak aku pergi mengambil meja, duduk di sana dan hanya memakan salad buah tanpa memesan apapun lagi.

Mungkin dia tak bisa keluar untuk makan siang.

Aku melanjutkan aktifitas-ku dengan sedikit bermuram, semua orang yang melihat wajahku akan mengernyit dan menjauhiku mungkin karena wajah muramku dan aku tidak peduli itu. Aku rasa hariku rusak karena setelah pagi tadi aku tak melihat Luhan lagi, rasanya ingin pergi tidur saja di toilet.


.

.

.


[KRIS]

Hari itu saat aku pertama kali melihatnya aku tak pernah setertarik ini apalagi pada seorang pria, love at first sight terlalu klise tapi itu terjadi padaku. Dia hanya tak sengaja menumpahkan es krimnya pada kemejaku dan begitu mata kami bertemu aku begitu terpesona, lalu setelah itu aku menyadari dia memiliki bau yang luar biasa. Dia seorang Omega pria.

Saat itu dia bersama seorang pria lainnya, memiliki postur tubuh tinggi tegap dan aura dominan yang hampir sama persis seperti ayah. Orang yang bersamanya adalah Alpha dan saat itu aku menjadi putus asa, tapi melihat pengekang masih apik terpasang di lehernya aku tak sadar tersenyum lebar.

Dia Luhan, Omega yang paling menarik perhatianku. Dia mungkin mate-ku, aku sangat berharap dia segera mencium bauku.

Aku memberinya senyuman hangat saat mata cantiknya melihat ke arahku, dia memakan salad yang dia pesan untuk makan siang dengan begitu menarik, aku pikir apapun yang dia lalukan selalu menarik.

"Hei, apa dengan melihatku perutmu akan kenyang?" Dia meletakan garpunya, meraih gelas jus tanpa tambahan gulanya.

"Aku pikir aku akan baik-baik saja jika melihatmu." Jawabku, menopang wajahku dengan satu tangan lalu menatapnya lembut.

"Kau pembohong," Luhan memicingkan matanya, menusuk bola daging di piringku lalu tanpa perintah dia memasukan ke dalam mulutku membuat sekitar bibirku sedikit kotor.

"Aku tidak makan bersamamu untuk diperhatikan, ugh akhir-akhir ini kenapa kalian selalu begitu saat aku makan?" Luhan merengut lucu.

"Kalian?" Tanyaku penasaran dengan 'kalian' yang dimaksud Luhan.

"Ya kalian, kau, Sehun, Lucas dan Jackson." Jawabnya.

Tunggu, bukankah mereka semua adalah Alpha? Dan dari jurusan yang berbeda dengannya? Luhan dekat dengan banyak orang, Luhan adalah tipikal orang yang pandai bergaul dan disukai banyak orang, tak heran dia memiliki banyak teman yang berbeda-beda.

"Jackson? Kenapa dia makan bersamamu?" Tanyaku.

Jackson adalah temanku aku cukup heran mengapa dia bisa makan bersama Luhan, kupikir dia tak tertarik dengan Omega pria.

"Kemarin aku menumpahkan kopinya, aku bertanggung jawab dengan membayar makan siangnya."

"Dan Lucas?"

"Oh, dia menumpahkan saladku."

Ada apa dengan menumpahkan? Kupikir itu hanya trik agar bisa makan siang dengan Omega incaran semua orang. Apa yang membuat aku bertemu dengan Luhan bukanlah sebuah trik kotor, itu alami karena takdir.

"Bagaimana dengan—"

"Aku selalu makan dengan Sehun..." Jantungku tiba-tiba saja berdetak keras.

Kulihat dia membola, meraih tasnya dan menggantungkannya di bahu. "Sehun!" Lalu setelahnya dia menjerit memanggil nama orang itu.

"Aku lupa, dia pasti menungguku—"

"Aku akan mengantarmu." Aku menahan lengannya segera sebelum dia mengambil langkahnya.

"Oh kau tak perlu—"

"Sepertinya dia dekat sekali denganmu, apa orang itu adalah orang yang tempo hari lalu mengantarmu dan Yuqi pulang?" Aku bertanya.

"Hm," Dia mengangguk. "Sehun ada dijurusan ekonomi."

"Jika seperti itu aku ingin bertemu dengannya, mungkin kita bisa berteman?"

Tidak juga, aku hanya ingin tahu siapa Alpha miskin itu, berbicara dengannya dan menilai bagaimana Alpha sepertinya bisa dekat dengan Omega seperti Luhan.

Ketika Luhan sampai di kantin jurusan si Alpha itu dia tak menemukannya, berputar-putar mengelilingi kantin sesak ini untuk mencari keberadaan orang dengan nama Sehun itu. Luhan menarik kursi lalu menjatuhkan bokongnya, dia terlihat menyesal. Haruskah Luhan menyesal hanya karena ini? Orang itu tidak pantas mendapatkan penyesalan Luhan untuk kekonyolan ini.

"Dia tidak ada," gumamnya. "Apa dia sudah pulang?" dia bertanya pada dirinya sendiri.

Dia menatapku, mengerjap lalu kembali berdiri. "Ayo ke kelasnya."

Sungguh ini adalah hal tidak penting yang aku lakukan hari ini, jika bukan Luhan aku tak sudi membuang waktuku berada di jurusan ini untuk mencari orang itu.

"Baekhyun!" Luhan berlari kecil menghampiri seseorang. "Apa kau melihat Sehun?" Dia bertanya pada seorang dengan mata sipit yang lucu.

"Oh," Si mata sipit itu melirikku sekilas. "Dia tak masuk kelas kedua." Jawabnya.

"Kupikir kau terlalu luas berteman," lagi si mata sipit melirikku. "Dia sepertinya tak menyukai berada di sini." Dia berbisik pada Luhan, aku bisa mendengar bisikannya

Luhan menoleh, menatapku sebelum kembali pada si mata sipit. "Tidak, Kris hanya memiliki wajah seperti itu tapi percayalah dia sangat hangat." Setelah mengatakan itu Luhan kembali menoleh padaku dan memberiku senyumannya yang manis.

"Oke..." Si pria mungil dengan mata sipit itu menggaruk tengkuknya. "Uhm... kalau begitu aku harus pergi."

Dia melewatiku, aku memperhatikannya dan mengetahui dia mencuri pandang padaku sebelum berjalan terburu-buru.

"Jadi bagaimana? Kita kembali?"

"Hm ya, aku akan menemuinya di rumahnya."


.

.

.


Tidak mudah untuk membuat ayahku mengizinkan aku membeli rumah di perumahan di mana Luhan tinggal apalagi dekat dengannya, aku harus melakukan sesuatu yang tak ku sukai. Menerima tawaran kencan dengan Jessica, bagus sekali.

Aku mengantarkan Luhan pulang ke Rumahnya, tanpa dia tahu aku sudah resmi pindah tepat di depan rumahnya. Semua barangku telah dipindahlan selama aku kuliah, perabotan-perabotan telah disusun dan aku hanya tinggal menempati.

Aku memarkirkan mobilku setelah Luhan masuk ke dalam rumahnya, melihat sekitar sebelum masuk ke dalam rumah. Rumah kecil di samping rumah Luhan menarik perhatianku, kupikir itu rumah salah satu teman Alpha Luhan. Aku mengurungkan langkahku ketika Alpha itu keluar, sepertinya dia akan pergi.

Dia mengendarai motornya, melintasiku dan secara tidak sengaja melihat ke arahku. Dia menghentikan motornya tepat di depan rumahku, matanya melotot atau memang seperti itu? Aku tersenyum menyapanya sebelum masuk ke dalam rumah tanpa berbicara padanya.

Setelah membersihkan diri ponselku berdering terus menerus, aku tahu siapa itu jadi aku tak perlu repot-repot mengangkatnya. Ayahku, dan itu adalah ibuku yang sengaja meneleponku lewat ponsel ayahku karena ia sangat tahu aku tak akan mengabaikan telepon darinya. Oh maaf ibu tapi aku tidak ingin diganggu dengan persoalan kencan itu untuk hari ini.

Aku ingin mengejutkan Luhan, dia tak tahu aku pindah dan ku dengar dia mengadakan makan malam untuk bersyukur bahwa Yuqi baik-baik saja sampai saat ini.

Aku berjalan santai, memasukan tangan ke dalam kantong celanaku, sebelum memasuki halaman rumah Luhan aku melihatnya berada di pinggir jalan tengah melakukan sesutu pada motornya. Namanya adalah Sehun benar? Siapapun namanya sekarang di terlihat berantakan.

Aku berbelok masuk ke halaman rumah Luhan dan dia melihatnya. Aku sengaja melakukannya, agar orang itu melihatnya, melihat bagaimana aku sangat dekat dengan Luhan dan keluarganya. Menekan bel sekali dan ku dengar seseorang akan membukakan pintu.

Luhan yang membukakan pintu dan ia cukup terkejut melihatku, aku tersenyum menyapanya. "Kris? kenapa kau ada di sini?" Tanyanya.

"Kejutan! keluargaku baru saja membeli rumah di sini dan ingin aku menempatinya untuk sesaat." Jawabku.

"OH SIAL APA-APAAN INI!"

Kudengar orang itu mengumpat seperti orang gila entah untuk apa, membanting sesuatu seperti perkakasnya lalu kami sama-sama mendengar suara dubuman pintu. Aku kembali pada Luhan. "Itu Sehun, tetanggaku dan temanku, motornya rusak dan dia dimarahi oleh dosennya karena tidur di toilet," Katanya memberitahu. "Dia punya hari yang buruk."

Aku terkekeh mendengar itu dari Luhan. "Kau sepertinya sangat dekat dengannya ya?" Tanyaku.

Dia mempersilahkanku untuk masuk lalu menjawab pertanyaanku. "Ya, aku dan Sehun pernah satu sekolah dan dengan kebetulan kami satu universitas, dia teman yang sangat baik dan dapat diandalkan." Jawabnya bangga.

DING DING DING DING!

Baru saja aku dan Luhan duduk di sofa lalu suara bel secara berutal terdengar, aku melihat wajah terkejut Luhan disertai rasa takut di sana. Aku menemaninya untuk membuka pintu, aku akan membunuh orang itu karena telah membuat Luhan ketakutan. Luhan menatapku sebelum membuka pintu, aku mengangguk karena orang gila itu mulai menekan bel lagi.

DING DING DING—

Cklek...

"Hai Luhan!"

Luhan menghela nafas lega sembari mengusap dadanya lalu tersenyum membalas sapaan tamu itu. Boleh aku mengatakan ini? Senyumnya aneh terlalu dipaksakan dan sapaannya tidak terdengar ramah dan sama dipaksakan, ada apa dengan orang ini?

Sehun.

"Sehun, ada apa? Dan bisakah kau bersikap secara normal? Aku tidak tuli dan di Rumahku sedang ada tamu." Ucap Luhan sembari berkacak pinggang.

"Begitu ya? Aku tidak tahu ada tamu," Dia melihat kearahku dengan senyum yang semakin aneh dan cukup menakutkan, mungkin dia sengaja melakukan itu.

Dia menerobos masuk tanpa Luhan izinkan dan dia menabrakan bahunya padaku. "Aku ingin meminjam oli." Katanya menjelaskan kedatangannya sembari menjatuhkan bokongnya pada sofa lalu menatap kami seolah dia adalah tuan rumahnya. Aku ingin tertawa untuk sikap kasarnya.

"Akan segera ku ambilkan, tunggu sebentar."

Luhan pergi ke dalam untuk mengambilkan orang itu oli, aku tersenyum ramah karena aku orang yang ramah tidak peduli seberapa aku jengkel pada orang itu. Aku duduk di sofa yang berseberangan dengannya, dia menyandarkan punggungnya dengan tangan merentang santai pada punggung sofa dan tatapan dingin yang angkuh.

"Jadi kau tiba-tiba pindah ke sini?" Tanyanya tiba-tiba.

"Ya, orang tuaku membeli satu unit rumah." Jawabku.

"Omong kosong." Dia mengumpat.

Aku tersenyum mendengarnya.

"Ada yang lucu?" Dia menegakan tubuhnya lalu menatapku tak terima karena aku baru saja tersenyum.

Luhan kembali dengan jerigen oli dan ponsel di tangannya, menatap kami berdua bergantian lalu meletakan oli di atas meja. "Aku harus menjemput Yuqi," Katanya. "Tidak perlu menungguku, jika kalian mau kalian bisa pulang."

Luhan pergi namun ketika dia baru saja sampai di ambang pintu dia membalikkan tubuhnya. "Kris, makan malam dengan kami ya? Ibu dan ayah akan senang jika tahu kau adalah tetangga kami sekarang." Luhan tersenyum benar-benar manis dengan matanya yang menyipit, hatiku menghangat.

"Dan Sehun... ada apa dengan matamu? Kau menakutkan apa kau tahu?"

"Bawa kembali piring bunga ibu, sudah berapa kali aku memintamu mengembalikannya dan kau selalu lupa," Luhan bersedekap dada. "Dengan keadaan bersih oke?"

"Dah!"

Sehun segera menatapku penuh dengan dendam. "Dengar kau, aku tak akan basa-basi denganmu. Aku tak menyukaimu Wu!" Pengakuannya.

Aku terkekeh, apa dasarnya dia tidak menyukaiku? "Kau tak menyukaiku karena Luhan lebih menyukaiku daripada dirimu, benar?" Kataku tepat sasaran.

"Fuck you..." Dia mengacungkan jari tengahnya padaku.

Dia segera menyambar jerigen oli lalu pergi. Aku heran kenapa dia meminjam oli mobil? Bukankah kendaraannya itu motor? Aku berdiri lalu memanggilnya dan ketika dia berbalik aku menyeringai.

"Oli itu hanya alasan agar kau bisa masuk, tentu saja oli untuk roda dua itu berbeda dengan roda empat."

"Kau cukup pintar juga brengsek."


.

.

To be continued...

.

.


[]

Faith saya terhadap HunHan mulai menghilang, tolong teman cegah itu! apa bukti kuat HunHan? mereka semakin jauh saya rasa. saya akan mulai menghapus beberapa fanfiksi HunHan saya, selain bukti HunHan di mata saya mulai tidak terlihat lagi peminat untuk fanfiksi saya juga hampir tidak ada kalopun ada kalian cuma baca tanpa menghargai dengan review.