Title : The Proposition Series #1

Cast : Park Chanyeol, Byun Baekhyun

Rated : M (GS)

.

.

Byun Baekhyun berdiri di belakang untuk mengagumi hasil kerja kerasnya. Senyum pendek penuh kepuasan terlintas di wajahnya.

Entah bagaimana dia bisa menciptakan keajaiban, berhasil mengubah ruang konferensi lantai 4 yang suram menjadi bernuansa merah muda terlihat sangat indah seperti yang dia impikan.

Dia sangat bangga akan dirinya sendiri mengingat mendekorasi dan merencanakan pesta sebenarnya bukan keahliannya.

Tentu saja saat kesempatan datang untuk menjual gambaran yang diinginkan bagi setiap calon ibu pada pesta 'baby shower' mereka, posisinya pada salah satu biro iklan utama di Atlanta sangat membantu.

Memiringkan kepalanya, dia memperhatikan spanduk "Bayinya Seorang Putri" yang tergantung sedikit miring ke kiri. Setelah dia membetulkannya, ujung-ujung jarinya merapikan bagian atas taplak meja warna pink pucat yang dihiasi dengan minuman dan hadiah yang dibungkus kertas warna-warni dari tamu yang akan datang.

Dia meniup sejumput rambut merah yang keluar menutupi wajahnya dan mencoba merapikannya kembali ke ikatan di pangkal lehernya.

Ya, sebenarnya pesta seperti inilah yang kuinginkan untuk acara baby shower-ku… jika aku bisa mengadakannya suatu saat nanti.

Rasa sakit yang menikam masuk ke dalam jantungnya sebelum bergerak zig zag menembus dadanya. Perasaan seperti ini sudah sangat familiar baginya saat ulang tahun ketiga puluhnya sudah semakin mendekat, melayang di atasnya seperti awan gelap, sementara menjadi Ibu, bersama dengan Tuan Idaman, masih menghindarinya.

Tidak memiliki suami dan anak lebih menyakitkan apalagi setelah kematian orangtuanya. Setelah kehilangan ibunya dua tahun lalu, dia sudah bersumpah akan menggantikan cintanya yang telah hilang dengan mencari suami dan memiliki seorang anak. Sayangnya, tidak apa satupun dari kehidupannya terlihat berhasil sebaik seperti yang direncanakan di dalam kepalanya.

Berjuang keluar dari lamunannya, dia membalik arlojinya—milik almarhum ibunya dulu—untuk mengecek waktu. Hanya lima belas menit sebelum tamu-tamu, sebagian besar teman-teman kerjanya, akan tiba.

Oke, Baekhyun, saatnya untuk memainkan wajahmu. Seorang nyonya rumah di acara baby shower tidak akan membiarkan monster pencemburu bermata hijau merasukinya dan menyebabkan dia mengamuk, membalik meja dan melemparkan hadiah seperti Hulk yang sedang murka! Kendalikan dirimu!

Ucapan penyemangat tadi hanya berpengaruh sedikit pada emosi yang masih bergolak mengaliri dirinya. Dia mencengkeram meja sampai buku-buku jarinya memutih. Saat air mata diam-diam mengalir di pipinya, dia cepat-cepat menyekanya. Mengalihkan mata hijaunya dengan tajam ke langit-langit, sambil berbicara di dalam benaknya, Tolong bantu aku bisa agar melewati ini semua.

"Kau tahu, aku punya kikir kuku di laci meja kerjaku jika kau ingin memotong pergelangan tanganmu. Akan jauh lebih cepat daripada apa yang kau lakukan sekarang!"

Baekhyun melompat dan mencengkeram dadanya. Dia berputar untuk melihat sahabatnya, Irene, yang sedang menyeringai ke arahnya. Dengan panik dia mengusap air mata yang tersisa di matanya dengan punggung tangannya. "Astaga, Ren, kau sialan menakuti aku!"

"Maaf. Kurasa kau begitu tenggelam dalam kesedihan dan membenci diri sendiri, kau tidak mendengar saat kupanggil namamu."

Merundukkan kepalanya, Baekhyun menjawab, "Aku tidak tahu apa yang sedang kau bicarakan. Aku sedang memeriksa untuk memastikan semuanya baik-baik saja sebelum semua orang datang."

Irene memutar matanya. "Baekhyun, apa yang kau pikirkan untuk setuju membuat acara seperti ini? Bunuh diri perlahan-lahan secara emosional."

"Bagaimana tidak? Jessica-lah yang membuat aku mendapatkan pekerjaan di sini. Dia mengajari aku sampai aku tahu semuanya. Jika ada orang yang layak dibuatkan acara baby shower, dialah orangnya."

"Yeah, tapi kau tidak harus menjadi satu-satunya orang yang menyiapkan ini. Maksudku, dia akan sangat mengerti—terutama dengan semuanya yang terjadi akhir-akhir ini dengan Connor."

Telepon Baekhyun bergetar di atas meja. Dia melirik identitas penelepon dan meringis.

"Orang yang baru saja kita bicarakan menelepon."

"Apa dia masih menelepon dan mengirim pesan-pesan singkat tanpa henti?" tanya Irene.

"Yep. Beruntungnya aku."

"Biarkan aku yang menjawab. Aku akan memberitahu si brengsek itu kalau kau akan melaporkannya ke polisi untuk surat perintah penahanan atau semacamnya."

"Kau hanya perlu memberitahu dia untuk menjadi pria yang bertanggung jawab, berani dan memberimu beberapa sperma."

"Dia tidak berbahaya, Ren."

Sebuah cekikikan lolos dari bibir Baekhyun. "Semenarik apa pun ide itu, aku lebih baik tidak melakukannya. Masalah sperma atau bayi inilah yang memulai segala kekacauan ini."

Irene mendengus frustrasi. "Kenyataannya adalah idemu yang mempertimbangkan seseorang untuk menyumbangkan spermanya padamu yang konyol." Dia meletakkan tangannya di bahu Baekhyun. "Kau sangat cantik dan manis dan menakjubkan untuk meninggalkan dunia kencan hanya karena ingin memiliki seorang anak."

"Promosi yang bagus dengan pujian. Apa kau pernah berpikir untuk bekerja di bidang periklanan?" renung Baekhyun.

"Ha, ha, sok pintar. Aku tidak berusaha untuk menjual sesuatu. Ini kebenaran. Aku tidak tahu kapan akhirnya kau akan mempercayainya. Yang paling penting, aku ingin tahu kapan semua pria di sekitar kota ini akan menyadari itu dan melihatnya juga!"

Baekhyun mengangkat tangannya dengan putus asa. "Ren, mengingat waktu biologisku sedang berdentang, dan bukan terus berdetak, kupikir hal ini sedikit terlambat untuk semua itu."

"Tapi kau bahkan belum berusia tiga puluh tahun," protes Irene.

"Aku tahu itu, tapi aku menginginkan bayi sejak aku berusia dua puluh. Aku ingin—tidak, aku butuh—untuk memiliki keluarga lagi. Kehilangan orangtuaku dan tidak memiliki saudara laki-laki atau saudara perempuan—" Suara Baekhyun tersedak dengan sedikit emosi.

Irene mengusap lengan Baekhyun dengan penuh simpati. "Kau masih punya banyak waktu untuk memiliki bayi. Dan sang suami masih bisa datang."

Sambil memutar matanya, Baekhyun berkata, "Mungkin aku perlu mengingatkanmu tentang parade kencan dengan para idiot penuh kesialan yang sudah kulakukan dalam enam bulan terakhir?"

"Oh, ayolah, mereka tidak seburuk itu."

"Apakah kita memberi nilai pada lingkaran ekstrim atau apa? Pertama, ada Kris, si…," dia membuat tanda kutip imajiner dengan jari-jarinya, "Akuntan yang baru bercerai, dengan istrinya yang berhasil membuntuti kencan kami dan terus memarahinya di tengah-tengah Cheesecake Factory."

"Sial, aku ingat dia sekarang. Bukankah akhirnya polisi dipanggil?"

"Oh ya. Aku harus menelepon Connor untuk datang menjemputku sebab mereka berdua ditahan karena mengganggu ketenangan umum!"

"Jadi ada satu bibit yang buruk di antara kencan-kencan itu," bantah Irene.

"Lalu ada si pengurus pemakaman yang sangat menghiburku selama makan malam, bercerita tentang seluk-beluk cara pembalseman, belum lagi aku pikir dia memiliki keterikatan yang tidak cukup sehat pada sebagian klien kesayangannya yang sudah almarhum itu."

Irene mengeluarkan suara mau muntah. "Oke, kuakui kalau necrophilia itu bisa mematikan siapa pun dari keinginan berkencan dalam beberapa waktu."

"Beberapa waktu? Bagaimana kalau keanehan itu seumur hidup, Ren?" kata Baekhyun sambil bergidik. "Terima kasih Tuhan, itu adalah kencan pertama, dan dia tidak pernah menyentuhku."

"Jadi sudah dua telur yang buruk. Kota ini penuh dengan pria di luar sana, Baekhyun."

Baekhyun menyapukan tangannya ke pinggulnya. "Dan kurasa kau mengalami amnesia tertentu mengenai Juna, si dokter gigi?"

Irene mengerutkan wajahnya seperti kesakitan. "Apakah dia masih dipenjara atas tuduhan kegemarannya mengintip orang?"

Baekhyun menganggukkan kepalanya. "Untungnya, hukum negara kita cukup keras bagi para brengsek yang menempatkan kamera tersembunyi pada ruang ganti pria di gym!"

"Well, mereka itu termasuk kasus yang sangat ekstrim."

"Terus terang, beberapa gadis yang lainnya di departemen kita berpikir kalau aku harus menulisnya menjadi sebuah buku tentang pengalaman kencan-kencan yang buruk!"

"Tunggu dulu. Kau juga sudah pernah kencan dengan beberapa pria yang layak, juga."

Baekhyun mendesah. "Dan begitu mereka menyadari aku tidak akan tidur dengan mereka sebelum makanan pembuka tiba, mereka langsung kabur ke pintu. Seandainya kami benar-benar berhasil melewati makan malam, maka bau mengenai keputusasaanku pada perkawinan dan ingin segera memiliki bayi langsung mengusir mereka."

Irene menyeringai. "Lihat, kau melakukannya dengan cara yang salah dalam hal ini. Kau harus melakukan sesuatu tanpa merasa khawatir tentang risikonya dan berhubungan seks tanpa berpikir untuk hamil."

"Aku tidak berpikir begitu." Baekhyun menggelengkan kepalanya. "Hanya karena Connor berkelit dari ide mengenai penyumbang sperma, bukan berarti aku akan menyerah. Entah mengapa, bagaimanapun juga, aku akan memiliki anak untuk dicintai."

.

.

Park Chanyeol menggosok mata birunya yang kabur. Dia mengintip melalui sela jari-jarinya melihat jam di layar komputer. Sialan, sudah jam tujuh lewat. Bahkan jika dia ingin menyelesaikan proyek itu, otaknya sudah terlalu panas. Dia hampir tidak bisa membaca kata-kata di depannya.

Dia mematikan komputernya, pikirannya tenang karena dia baru saja dipromosikan sebagai wakil presiden pemasaran yang berarti dia bisa menunggu sampai besok pagi dan tidak akan ada orang yang akan memarahinya jika mengulur-ulur waktu.

Sambil mengerang, Chanyeol bangkit dari kursinya dan meregangkan tangannya ke atas kepalanya. Dia meraih tasnya dan menuju pintu. Saat dia mematikan lampu kantornya, perutnya bergemuruh. Mungkin tidak ada makanan di rumah untuk dimakan, jadi dia perlu membeli sesuatu di perjalanan pulang.

Sesaat terlintas di benaknya harapan ada seorang wanita menunggunya dengan makanan rumahan. Dia segera mengangkat bahu untuk membuang pemikiran seperti itu.

Beberapa makanan tidak sebanding dengan kerumitan hubungan jangka panjang. Ujung-ujungnya, dia jauh lebih bahagia dengan memohon untuk makan malam dari salah satu saudarinya yag telah menikah. Setidaknya sebelum mereka melontarkan salah satu kecaman mereka tentang bagaimana dirinya tidak bisa menjadi seorang bujangan selama sisa hidupnya, dan di usia tiga puluh dua, sudah waktunya bagi dia untuk menetap dan memiliki keluarga.

"Omong kosong," gumamnya pelan pada pemikiran itu. Wanita cleaning service atraktif yang sedang menyusuri lorong mengangkat kepalanya.

Dia kemudian memberinya sebuah senyuman menggoda. "Selamat malam Mr. Park."

"Selamat malam Jene," jawabnya. Dia memencet tombol lift, berusaha menahan keinginannya untuk menutup kesenjangan sosial di antara mereka dengan memulai percakapan. Dia menyapukan tangannya di sela-sela rambut pirang terangnya dan menggelengkan kepalanya.

Berbicara dengan Jene kemungkinan besar akan mengarah pada beberapa janji untuk bertemu di lemari gudang, walaupun dia akan sangat menikmatinya, dia sudah sedikit lebih tua untuk mendapatkan jenis seks semacam itu dengan Jene.

.

.

Lift membawa dia turun ke lantai pertama. Suara-suara teriakan menyambut Chanyeol saat dia melangkah keluar, menyebabkan dia menggerutu karena frustrasi. Sial, hal terakhir yang dia butuhkan setelah bekerja lembur dan digoda dengan wanita cleaning service adalah berhadapan dengan pertengkaran domestik. Dan dari nada suara kedua pria dan wanita itu, sepertinya memang benar.

"Connor, aku tak percaya kau menyudutkan aku di sini di tempat kerja!" desis seorang wanita.

"Apa yang harus kulakukan? Kau tidak menjawab telepon atau emailku. Aku harus melihat apakah kau baik-baik saja."

"Aku bilang padamu tinggalkan aku sendiri, dan aku serius!"

"Tapi aku mencintaimu, Baekhyun. Aku tidak ingin kehilanganmu."

Saat terdengar suara gemerisik, suara wanita itu naik satu oktaf. "Berhenti! Jangan berani-beraninya kau menyentuhku!"

Sisi protektif Chanyeol seakan bangkit saat mendengar nada wanita itu, membuat dia bergegas menyusuri sudut itu. "Hei! Lepaskan tangan sialanmu dari dia!" teriaknya.

Pasangan itu kaget saat melihatnya. Wajah wanita yang dinodai air mata itu menjadi memerah, dan dia menundukkan kepalanya untuk menghindari tatapan intens Chanyeol.

Seketika itu, dia mengenalinya—Byun Baekhyun, bagian periklanan di lantai 4, dan wanita yang pernah dia bujuk tapi tidak berhasil untuk diajak pulang dari pesta perusahaan perayaan natal. Dari caranya menolak untuk menatap matanya, dia tahu Baekhyun juga mengenalinya.

Chanyeol mengalihkan perhatiannya kepada pria itu, Connor, matanya melebar karena ketakutan. Dia buru-buru melepaskan tangannya dari bahu Baekhyun dan mundur beberapa langkah.

Connor tampak seperti siap untuk lari keluar ke pintu exit terdekat. Chanyeol kemudian menyadari bagaimana penampilannya begitu mengintimidasi dengan tinju terkepal di samping sisi tubuhnya, rahangnya menegang.

Dia mencoba mengendurkan sikapnya, tapi darah masih memompa begitu keras di telinganya yang tidak bisa dia kendalikan.

Connor mengangkat tangan tanda menyerah. "Aku tidak yakin apa yang Anda pikir sedang terjadi, tapi kami hanya berbicara."

Chanyeol menyipitkan matanya. "Kupikir dari cara dia menangis dan memohonmu untuk berhenti menyentuhnya, itu jauh lebih dari sekedar berbicara." Dia mulai akan bertanya pada Baekhyun apakah dia baik-baik saja, tapi dia melesat melewatinya dan melarikan diri masuk ke kamar kecil. Chanyeol memelototi Connor.

"Dengar, Anda salah paham. Aku—"

"Apa yang tidak kuketahui? Kau jelas tidak bisa membiarkan bekas pacarmu atau mantan istri atau apa pun dia bagimu untuk pergi, meskipun dia tidak bisa tahan saat kau menyentuhnya!"

Tawa gugup meledak dari mulut Connor. Dia terdiam pada saat Chanyeol memiringkan alisnya ke arahnya sambil maju selangkah.

"Percayalah, Anda begitu sangat, sangat salah. Baekhyun bukan mantanku."

"Lalu apa masalahnya?"

Connor berdehem. "Baik, Anda mau tahu kenyataannya? Begini. Aku gay, dan Baekhyun sudah menjadi sahabatku sejak SMP."

Mulut Chanyeol menganga. "Serius?"

"Yep."

"Huh… kalau begitu aku mengakui kalau aku salah. Maaf tentang hal itu."

Connor mengangkat bahu. "Tidak apa-apa. Aku mungkin akan melakukan hal yang sama jika kupikir ada seorang bajingan yang mengganggu seorang wanita. Well, aku mungkin tidak jadi melakukannya jika dia dua kali ukuran tubuhku seperti Anda." Dia melirik melewati Chanyeol ke arah kamar mandi dan meringis.

"Sialan, aku benci ketika dia marah padaku. Aku tidak berpikir dia sangat marah dan begitu terluka. Aku hanya tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki kesalahanku, kau tahu?"

Chanyeol menggeserkan kakinya, merasakan percakapan mulai mengarah ke area emosional, yang mana dia selalu coba untuk menghindarinya apa pun yang terjadi. Dia mengangkat satu tangannya ke atas. "Hei, bung, itu benar-benar bukan urusanku."

Tapi saat kata-kata itu meninggalkan bibirnya, dia yakin Connor tidak memperhatikan apa yang dikatakannya. Ekspresi kesedihan dari wajah Connor seolah mengatakan kalau dia tidak akan lolos tanpa mendengar semua kisah dramatisnya, kecuali dia benar-benar berusaha melarikan diri dari Connor.

Sambil menghela napas, Connor mengusap rambut hitamnya. Dengan suara rendah, dia berkata, "Dia tergila-gila soal anak-anak, seakan jam biologisnya dalam kondisi marah untuk memiliki bayi sekitar dua tahun terakhir ini. Karena aku menyayanginya, aku berjanji padanya aku akan menjadi ayah anak itu dan menyumbangkan sperma untuk alasan itu."

Oke, jadi mungkin itu bukan cerita yang diharapkan Chanyeol. "Jangan bilang padaku kau ketakutan ketika akan berhubungan seks?"

Connor merengut padanya. "Ha, ha, brengsek, benar-benar lucu. Sekedar informasi buatmu, hal itu akan dilakukan di klinik."

"Di mana letak kesenangannya?" kata Chanyeol sambil merenung, dengan senyum licik.

"Bung, aku gay, ingat?"

"Maaf." Untuk alasan yang tidak dia pahami, Chanyeol begitu tertarik dengan cerita itu, dia merasa perlu meminta Connor untuk melanjutkan ceritanya. "Jadi apa yang terjadi?"

"Pasanganku tidak siap untuk memiliki anak. Aku berjanji padanya bahwa Baekhyun tidak selalu ingin aku terlibat, tapi dia tidak bergeming. Suatu pilihan yang sialan sulit antara pria yang kucintai dan sahabatku."

"Mengapa dia tidak pergi ke bank sperma saja atau sesuatu yang lain?"

Connor tertawa. "Baekhyun memiliki pikiran bahwa akan ada percampuran mengerikan di mana pilihan sampel donor utamanya ditukar dengan pembunuh berantai."

Chanyeol menyeringai. "Kurasa aku bisa memahami pikiran dia."

Sebuah dengungan berbunyi di saku Connor. Dia merogoh saku untuk mengeluarkannya dan kemudian mengerang saat melihat ID-nya. "Sial, ini dari Jeff. Dia akan memarahiku karena datang ke sini dan mencoba untuk berbicara dengan Baekhyun. Aku benar-benar harus pergi."

Tatapannya sekali lagi ke arah kamar mandi.

"Tapi aku benci untuk meninggalkannya…"

"Kau pergi saja. Aku akan mengantarnya sampai dia masuk ke mobilnya dengan aman."

"Benarkah? Itu bagus sekali." Dia mengulurkan tangannya. "Senang bertemu denganmu…"

"Chanyeol. Park Chanyeol."

"Connor Montgomery." Setelah mereka berjabat tangan, Connor tersenyum. "Terima kasih atas semua bantuanmu dan untuk semua kesalahpahaman pada situasi ini."

Chanyeol tertawa. "Menyenangkan sekali karena aku hampir saja menendang pantatmu."

"Hei," jawab Connor. Saat teleponnya berdering, dia mengernyit dan melambaikan sedikit tangannya sebelum membawa telepon ke telinganya. "Babe, yeah, maaf aku belum membaca pesanmu. Aku sedang dalam perjalanan pulang sekarang." Dia mendorong pintu kaca dan menghilang dalam kegelapan malam.

Sambil menggelengkan kepalanya, Chanyeol mulai melintasi lobi menuju kamar mandi. Dia mengetuk pintu. Dengan suara melengking, Baekhyun berteriak, "Pergilah, Connor! Tidak ada lagi yang harus kukatakan kepadamu! Belum lagi, kau baru saja mempermalukanku setengah mati di depan salah satu bajingan terbesar di perusahaan ini!"

"Bajingan terbesar, ya?" gumamnya pelan. Julukan yang tidak pantas dia banggakan, terutama berasal dari seorang wanita. Dia terbiasa mendengar gambaran lebih menyanjung mengenai dirinya dari mereka.

Well, setidaknya pada awalnya sebelum dia pergi menjauhi mereka. Setelah itu, biasanya berbelok menjadi sesuatu yang menjijikkan.

"Aku tidak akan meninggalkan kamar mandi ini sampai aku tahu kau pergi!"

Chanyeol mendesah. Dia gadis yang memiliki tekad, itu sudah jelas, belum lagi dia tampak keras kepala. Di dalam pikiran Chanyeol terlintas kembali bagaimana cantik dan seksinya dia saat terlihat di pesta Natal itu—bagaimana gaun hijau ketat yang dia kenakan menempel di lekuk tubuhnya yang membuatnya tampak sangat menarik.

Ketika dia melihatnya melintasi ruangan dengan beberapa teman perempuannya, Chanyeol telah bertekad untuk menghabiskan malam bersamanya.

Senyuman malu-malu dan lirikan ke arahnya melalui bulu matanya seolah mencemooh Chanyeol yang mendekat untuk menutup jarak di antara mereka.

Tentu saja, pada saat dia tiba di sampingnya, teman-temannya yang suka ikut campur sudah memberitahu dia tentang reputasinya yang meragukan sebagai seseorang yang suka membuat patah hati wanita dan seorang playboy.

"Dasar wanita," gumamnya pelan saat dia mendorong pintu kamar mandi. Baekhyun terduduk di atas kain tenun yang menutupi bangku panjang dengan tisu towel yang dibasahi di matanya.

Di satu sisi, roknya tertarik sampai ke tengah pinggulnya, memberinya sebuah pemandangan kaki dan paha yang menakjubkan.

Pada saat terdengar suara langkah kakinya, dia mendengus dengan frustrasi. Dia mengacungkan jari telunjuknya ke depan.

"Aku bersumpah jika kau tidak meninggalkan aku sendirian, aku akan menendang bolamu dengan sangat keras, tidak akan ada lagi pertanyaan tentang apakah kau bisa menjadi ayah dari anak-anakku!"

Chanyeol terkekeh. Rambutnya yang cokelat kemerahan menandakan kepribadiannya yang begitu berapi-api—salah satunya sudah pernah dia tunjukkan di pesta Natal.

Semua sikap malu-malunya menguap dalam sekejap ketika gadis itu mengatakan kepadanya dengan gamblang bahwa dia tidak punya keinginan untuk menjadi salah satu gadis yang mudah dia taklukkan atau hubungan satu malam.

"Sebenarnya, aku bukan Connor."

Saat mendengar suara orang asing, Baekhyun menarik tisu towel menjauh dari matanya. Rasa ketakutan menyapu wajahnya saat melihat Chanyeol berdiri di hadapannya. Dengan cepat, dia menyentak roknya ke bawah dan merapikan rambutnya yang acak-acakan dengan jarinya.

"Aku tidak berharap bertemu dengan Anda, Mr. Park" katanya, pasrah.

Sebuah seringai muncul di wajah Chanyeol. "Tidak, aku membayangkan kau berharap kau akan mengebiri Connor."

Pipi dan leher Baekhyun memerah sewarna dengan rambutnya. "Aku minta maaf, Anda terpaksa mendengar itu, dan aku sangat menyesal Anda juga harus ikut terseret di tengah-tengah argumen kami. Seberapa pun memalukannya—memang memalukan—aku menghargai apa yang coba Anda lakukan."

Chanyeol mengangkat bahu. "Aku senang bisa membantu."

"Well, aku sangat berterima kasih. Dan aku minta maaf telah mengacaukan malam Anda."

Tidak pernah luput menggunakan sebuah kesempatan, Chanyeol menyeringai. "Kau tidak merusak malamku. Bahkan, malam masih panjang, jadi mengapa kau tidak membiarkan aku membelikanmu minuman?"

Dia memutar tisu towel di tangannya sebelum melemparkannya ke tempat sampah. "Um, baik sekali tawaran Anda, tapi hari ini sangat berat dan melelahkan. Aku mungkin harus segera pulang."

"Kita bisa berjalan tepat di seberang jalan ke tempat O'Malley." Di saat keraguan Baekhyun berlanjut, Chanyeol tertawa. "Aku janji itu bukan suatu tawaran untuk mencoba memberikanmu alkohol yang dalam kondisi emosional lemah agar bisa mengajakmu pulang denganku."

Diam-diam, Chanyeol berharap minum satu atau dua gelas mungkin bisa mencairkan lapisan es Baekhyun dan memberinya kesempatan bergerak untuk meraup keuntungan.

Chanyeol tidak terlalu terkejut ketika perasaan syok membanjiri wajah Baekhyun. "Benarkah?"

Dia menyilangkan jari di atas hatinya. "Aku berjanji," katanya berbohong.

Sudut bibir Baekhyun tertarik ke atas seolah dia sedang menahan senyum. "Baiklah. Setelah aku mengalami hari ini, aku pastinya memerlukan minuman." Dia melirik ke belakang ke cermin.

"Oh, aku benar-benar berantakan. Bisakah Anda memberiku waktu beberapa menit untuk merapikan diri?"

"Tentu saja. Aku akan menunggu di luar."

.

.

TBC

Ini remake dari Novel The Proposition Series #1 - Katie Ashley