Disclaimer: All characters belong to Hajime Isayama. But this story purely mine. I don't take any material profit from this work. It's just because I love it.
Warning: drabble, au, kinda rush, miss typo(s), and other stuffs.

Note: day 5—levi/hanji


i'm leaving you;


Levi tidak pernah suka tersenyum. Namun, mungkin malam ini adalah berbeda. Ia merasakan bibirnya melengkung samar, menatap barisan rumah, gedung, pepohonan dari balik kaca bus yang memburam akan debu. Atau lampu-lampu jalan yang mulai dinyalakan ketika petang sudah benar-benar habis dan digantikan oleh malam. Ia tak peduli akan dengkur keras bapak tua yang tertidur di sampingnya (padahal, biasanya ia akan merutuk dan mengumpat kesal, untuk kemudian memilih berdiri atau berpindah tempat duduk), tak peduli dengan tangisan bayi yang dipaksa berada di udara sumpek bus, tak peduli dengan tawa dan obrolan mengesalkan, tak peduli dengan segala ketidaknyamanan di dalam bus kota tua yang reot ini.

Namun (lagi), malam ini berbeda. Ia tak lagi peduli dengan semua itu. Yang ia pedulikan adalah sekotak cincin yang disimpan di saku sweaternya, cincin murah yang ia beli setelah enam bulan mengumpulkan gaji kecilnya, cincin yang tidak seberapa, namun cukup untuk ia bawa ke catatan sipil sebagai bukti pengikatannya nanti.

Levi bukan orang kaya (tidak juga wanita itu, yang bernama Hanji, tidak). Hidup sebatang kara membuat mereka bertua bertemu dan saling membutuhkan. Dan Levi ingat saat-saat ia menyadari bahwa ia butuh Hanji bukan hanya sebagai teman berbagi keperihan, namun—segala kebahagiaan. Ia hanya ingin Hanji. Dan hidup rasanya terasa begitu cukup. Ia ingin Hanji yang tidak lagi berbatas pintu kamar, ia ingin Hanji yang tidak lagi sekadar bergandengan tangan, ia ingin Hanji yang tidak hanya mengobrol seru di meja makan, ia ingin Hanji yang lebih dari sekarang ini.

Levi tak mengerti perasaan Hanji, memang. Tapi toh, dahulu ia juga tak pernah memahami perasaannya sendiri. Sampai sekarang. Sampai akhirnya ia menyadarinya. Tapi Levi cukup yakin bahwa setidaknya, Hanji pun punya rasa yang sama. Sebab jika Levi boleh berpikir egois, tak ada lagi laki-laki lain yang mengenal Hanji selain dirinya, tak ada orang yang mampu memahami mengapa Hanji memilih malam dibanding siang, mengapa ia begitu menyukai helai daun dibanding bunga-bunga, dan bagaimana Hanji memilih membeli sebuah radio butut alih-alih ponsel yang mampu menjadi alat komunikasi.

Hanya ia, hanya Levi.

Maka ia tak akan ragu lagi. Levi akan melakukannya. Sudah sejak lama pulang tak pernah semenyenangkan ini. Memikirkan hari-hari berikutnya setelah malam ini membut dada Levi penuh. Mungkin, ia akan mulai mengajarkan Hanji membuat teh hitam nanti, atau, mengajarkannya menyemir sepatu bututnya yang sudah lapuk. Levi akan meminta Hanji untuk mengajarkannya mencari saluran radio di kala hujan deras, menghitung berapa suhu udara tanpa bantuan alat, dan memprediksi kapan hujan turun hanya dengan melihat awan-awan yang tengah berarak.

Levi akan melakukannya.

.

.

(Namun, kemudian, bus berhenti mendadak. Kakofoni dan teriak-teriak keras mengaburkan mimpi-mimpi Levi yang belum terwujud. Lampu bus yang remang-remang dipadamkan total, sebelum akhirnya semua orang tunggang langgang berlutut di lantai. Refleks, Levi menggenggam erat kotak cincin di sakunya.

Yang kemudian Levi ingat adalah, seseorang melepaskan tembakan, membuat bayi di sana kembali menangis kencang, dan semua orang memekik menyakitkan. Ujaran interjeksi untuk tak turun dari bus melayang, diikuti dengan perintah lain, "Berikan semua barang kalian!"

Sisi kanan badan Levi terdorong oleh seseorang di belakangnya, tangannya yang menggenggam cincin tersenggol, tak mampu menahan, dan Levi mendengar suara barang kecil yang jatuh di sebelah kakinya.

Levi mencari-cari, sama sekali tak berniat untuk merunduk sesuai perintah seseorang di dalam sana.

Sebelum Levi menemukannya, seseorang menatapnya dari jauh. Levi masih ingat matanya yang terbakar amarah dan wajahnya yang meraut marah. Satu benda teracung di depannya, dari jarak yang tak begitu dekat, Levi masih bisa mendengar desingan peluru yang dilepaskan.

Dan yang Levi ingat terakhir kali adalah senyum Hanji, senyum Hanji yang akan menyambutnya dengan baju lusuh seperti biasa. Senyum Hanji yang kemudian meredup, kelam seperti malam yang sangat disukai Hanji, semakin gelap, dan gelap.

Levi tak bisa melihat apa pun lagi.)

.

.

[]