Karen Symphony


Arc I: Member Party

Chapter 2: Meeting


Opening song: VORACITY by MYTH & ROID


Gadis itu terduduk lemah di tanah basah. Hujan rintik-rintik menyamarkan air mata yang hendak jatuh itu. Kedua tangannya bergetar, menggenggam erat satu-satunya senjata yang dia miliki–sebuah tongkat dengan empat cincin tergantung di atasnya.

Sama halnya dengan tangan, kakinya turut bergetar. Ia tidak bisa bangkit. Ia tidak bisa lari. Dalam ketakutan terdalamnya, ia melihat rombongan makhluk menjijikkan yang hendak membunuhnya–atau paling buruk memperkosanya dulu sebelum dibunuh, sama seperti rekannya.

"Tidak … tidak … jangan mendekat!"

Kalimat yang tidak bermakna apa pun, tidak berdampak apa pun–dia tahu itu. Namun setidaknya ada harapan besar di balik kalimat tersebut, ia ingin selamat.

Sampai titik di mana rombongan makhluk menjijikkan itu berhenti 1 meter di depannya. Gadis malang itu dapat melihat sorot mata penuh nafsu dan air liur menjijikkan keluar dari sudut bibir mereka, menyebabkan bau busuk tercium.

Pandangan penuh nafsu dan ketakutan bertemu, sejajar. Makhluk menjijikkan itu bertubuh pendek, bahkan tingginya tidak lebih dari tinggi si Gadis yang terduduk itu.

"GWARRR!"

"TIDAK!"

Mereka–makhluk menjijikkan–menerjang gadis itu tanpa ampun, memaksanya untuk berbaring di tanah dengan kasar. Tangan-tangan kecil mereka meraba bagian tubuh gadis itu yang seharusnya tidak boleh disentuh oleh sembarang orang.

Si Gadis meronta dengan air mata yang tumpah, berusaha memberontak karena ia ingin bebas. Namun apalah daya, tenaganya tidak cukup kuat bahkan untuk menyingkirkan satu tangan saja.

Di tengah ketakutannya, di tengah tangisannya, ia merasakan nuansa hangat di selangkangan.

Memalukan.

Saking takutnya ia pipis di celana. Ia akan merasa malu jika menghadap ke kuil. Namun, ia harus berterima kasih pada air kencingnya karena dengan begitu pergerakkan para makhluk menjijikkan sempat terhenti. Ya, 'sempat'.

Pada akhirnya semua itu sia-sia. Mereka melanjutkan aksinya. Merobek jubah kuil gadis itu dengan kasar, memperlihatkan pemandangan yang tidak boleh di lihat oleh sembarang orang.

Di tengah keputusasaannya, si Gadis hanya pasrah tidak melawan. Pandangannya kosong.

Sambil menutup mata menerima takdir, ia berharap.

'Siapa saja, bunuh aku.'

-Karen S.-

"Aku ingin menjadi petualang!"

Kata itu dilontarkan kepada seorang gadis resepsionis yang berada di depannya, di balik meja kayu.

Satu kalimat yang penuh akan keyakinan dilihat Gadis Resepsionis dari sorot mata wanita muda yang baru saja tiba di gedung ini. Wanita–atau lebih depat disebut gadis–muda itu memiliki iris mata berwarna emas cerah dengan rambut sebahu yang diikat. Warna rambutnya sedikit unik karena berwarna pirang tapi pada ujung-ujung rambutnya berwarna jingga.

'Itu murni atau pakai cat rambut?' Gadis Resepsionis berpikir.

"Baiklah, tolong isi formulir ini dengan lengkap." Gadis Resepsionis menyerahkan selembar kertas yang langsung diterima oleh gadis muda itu.

'Akhir-akhir ini banyak orang yang ingin menjadi adventurer. Huft, semoga saja ia tidak bernasib sama seperti kebanyakan adventurer baru.'

"Aku sudah selesai. Ini,"

"Terima kasih banyak … etto, Kunou … umur 15 tahun … kamu ahli dalam sihir penyembuh ya,"

"Ha'i. Aku adalah Cleric* dari kuil di kota ini."

"Hmm, begitu. Ini ambillah."

Kunou mengambil kalung bertuliskan Low-Adventurer dengan pandangan bingung. Melihat itu, si Gadis Resepsionis menghela napas maklum. Ini adalah pekerjaannya, jadi harus dilakukan.

"Peringkat petualang ada 10. Tingkatan pertama untuk pemula adalah Low-Adventurer dan tingkat terakhir adalah Supreme-Adventurer. Namun, di guild ini peringkat tertinggi hanya sampai tingkat 6 yaitu Master-Adventurer." Si Gadis Resepsionis menjelaskan dengan jelas.

"Ha'i. Aku mengerti. Aku akan berusaha untuk naik tingkat."

"Aku turut senang dengan semangatmu. Silahkan ambil quest yang sesuai dengan peringkatmu di papan sebelah sana," Gadis Resepsionis menunjuk papan penuh tempelan kertas quest yang berada di sebelah kiri.

"Atau kamu bisa membentuk party dengan petualang yang lebih berpengalaman."

"E-eh? Apakah aku bisa bergabung dengan senior?"

Gadis Resepsionis tersenyum manis. "Tentu saja selama kedua belah pihak tidak keberatan. Kamu yang sebagai Cleric tentunya mudah untuk membuat party karena sihir penyembuh sangat dibutuhkan."

"Begitu ya … tentu saja aku juga tidak bisa menyelesaikan quest seorang diri sebagai Cleric. Aku tidak diajarkan cara bertarung di kuil," Kunou bergumam pelan, sorot matanya lalu bertemu mata ungu indah milik gadis resepsionis, "a-apakah ada petualang yang membutuhkan seorang penyembuh, jika bisa tolong masukkan aku ke party mereka." Kunou meminta dengan sedikit ragu karena merasa tidak enak meminta tolong.

"Ha'i, tentu saja. Ada seorang petualang yang baru 2 minggu bergabung dengan guild ini. Dia masih belum bergabung ke dalam party meskipun banyak petualang lainnya yang ingin merekrut dia."

"Kalau begitu, bolehkah aku–"

Perkataan Kunou terpotong oleh suara laki-laki yang menghampirinya.

"Hei, mau berpetualang bersama kami?"

Kunou melihat laki-laki yang sedang bersandar di meja resepsionis dengan bingung. Sorot mata laki-laki itu menunjukkan kepercayaan diri tinggi, membuatnya sedikit takut dan gugup. "Eh?"

"Kudengar kamu ahli dalam sihir penyembuh, kebetulan di dalam partyku kekurangan seorang penyembuh. Jadi maukah kamu bergabung bersama kami?"

Kunou melihat seorang gadis–yang memakai setelan penyihir lengkap dengan topinya–seumuran dengannya berada di samping laki-laki itu. Ia dapat menebak bahwa mereka adalah teman satu party.

"Kami sedang dalam misi yang penting. Jadi seorang penyembuh sangat diperlukan sekarang."

"Misi penting?"

"Membasmi kawanan goblin."

Gadis Resepsionis sedikit tersentak ketika mendengar jawaban laki-laki itu.

"Goblin?"

"Ya, kudengar di desa pinggiran kota ini telah mengalami musibah. Goblin menyerang pemukiman dan menjarah persediaan makanan serta menculik wanita muda. Mereka bersarang di desa yang sudah hancur dekat sungai. Kita harus menyelamatkan para wanita yang diculik sebelum terlambat."

"Ano, kalau tidak salah kalian adalah petualang dengan tingkat Low-Adventurer, 'kan?" Gadis Resepsionis bertanya.

"Ya."

"Jika kalian menunggu sebentar, petualang lain akan datang untuk–"

"Kami bertiga bisa mengalahkan kawanan goblin itu, benar bukan?" laki-laki itu berbicara dengan penuh keyakinan.

Wanita yang menjadi teman party-nya mengangguk. Ia tersenyum. "Ikutlah dengan kami."

Kunou nampak ragu menerima undangan party. Namun, jika dipikirkan lagi mungkin kesempatan ini tidak datang dua kali di mana orang lain yang merekrutnya, tidak dirinya sendiri yang menawarkan bergabung ke party orang lain. Jujur saja, Kunou sedikit takut dengan wajah-wajah sangar petualang di sini.

"Baiklah, kalau itu bisa membantu kalian."

"Yosh, sudah diputuskan. Ngomong-ngomong namaku Issei, dan ini Kiryuu."

"Salam kenal."

"Sa-salam kenal, namaku Kunou. Mohon kerja samanya." Kunou merendahkan tubuhnya. Ia menatap Issei dengan senyum tanpa keraguan.

'Lagipula, goblin adalah petualangan pertama untuk para adventurer baru.'

Tanpa mereka ketahui, Gadis Resepsionis menatap mereka dengan khawatir bercampur iba, terutama pada Kunou.

'Seharusnya adventurer baru lebih mengikuti saranku dari pada keinginan mereka yang akan menuntun ke hal buruk. Aku hanya bisa berdoa agar mereka dapat kembali pulang.'

-K. Symphony-

Sarang goblin yang dimaksud berjarak 4 km dari benteng kota Eternal. Untuk sampai di sana mereka membutuhkan waktu perjalanan 1 jam lebih. Langit terlihat tidak mendukung dengan awan hitam yang mulai menggumpal, menghalangi sebagian sinar matahari.

Desa ini–atau sekarang disebut seruntuhan desa–dulunya adalah desa makmur dengan pendapatan utama adalah berternak ikan dikarenakan letaknya yang berada dekat sungai besar. Namun desa ini mengalami musibah saat hujan turun tidak henti selama 1 minggu yang mengakibatkan air sungai meluap. Memporak-porandakan rumah penduduk dengan cepat.

Sampai sekarang tidak ada yang berani menempati desa ini dikarenakan khawatir akan musibah yang sama terulang kembali. Akhirnya desa ini terlupakan dan menjadi sarang bagus untuk makhluk seperti goblin.

"Kita sudah sampai." Issei berkata selagi pandangannya tertuju pada dinding kayu yang hampir rubuh.

Mereka sudah sampai di depan gerbang desa.

Kunou menatap agak takut, memeluk tongkat pemberian kuil sebagai satu-satunya senjata yang ia miliki. Ini adalah petualangan pertamanya, wajar jika ia merasa gugup dan … takut. Tidak bisa disalahkan juga jika seandainya Kunou berubah pikiran dan membatalkan quest. Ia tidak punya pengalaman sama sekali berhadapan dengan musuh.

Kiryuu menyadari kegugupan Kunou dan menenangkannya sebisa mungkin. "Jangan khawatir, jika terjadi sesuatu kami akan melindungimu." Kiryuu tersenyum tulus. Menjanjikan.

Ada sedikit perasaan lega di hati Kunou. Gadis 15 tahun itu mengangguk.

"Ayo langsung masuk!"

Mereka bertiga mulai memasuki desa, melewati gerbang–yang terbuat dari kayu–rapuh itu. Satu langkah memasuki reruntuhan desa, Kunou melirik ke sana-sini dengan waspada. Ia tidak ingin hal menakutkan seperti tiba-tiba diserang goblin terjadi padanya. Membayangkannya saja sudah membuat kedua lututnya sedikit bergetar.

Itu menyeramkan.

Kewaspadaan itu hancur ketika Issei berteriak lantang.

"OY KALIAN DI MANA DASAR GOBLIN, KE SINI KALAU BERANI!"

Issei mendapat hadiah berupa jitakkan dari Kiryuu. Gadis itu cukup jengkel oleh tingkah laku kekanakkan rekannya. Ia membenarkan kacamata yang sedikit melorot itu.

"Jangan berteriak seperti itu, dasar!"

"Aduh, aduh, maaf. Habisnya tidak ada satu pun goblin yang muncul. Apa mungkin mereka takut kepadaku ya, kehehe."

"Baka!"

Kunou menghela napas panjang. Tadi itu cukup mengejutkan. Ia mengatur napasnya kembali. Detak jantungnya masih belum normal.

Setelah perdebatan ringan antara Issei dan Kiryuu yang dilerai oleh Kunou, ketiganya kembali berjalan menuju pedalaman desa. Puing-puing bangunan berserakkan di sepanjang jalan, pohon yang rubuh, ranting yang tercecer ke mana-mana adalah pemandangan yang mereka lihat sekarang. Namun mereka belum menemukan satu pun target.

Tidak ada goblin yang muncul.

Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di pinggir bangunan yang hampir runtuh. Mereka meminum air yang dibeli sebelum menjalankan quest. Cukup untuk membuat tubuh lebih santai–setidaknya untuk Kunou. Issei duduk di pecahan batu dan menyandarkan tubuhnya pada dinding.

"Etto, apa kalian tidak merasakan ada yang aneh?" Kunou bertanya. Sempat memikirkan beberapa kejanggalan.

Yang gadis cantik itu tahu tentang goblin, mereka adalah makhluk menjijikkan berbadan pendek dan warna kulitnya hijau. Banyak yang mengatakan mereka itu bodoh layaknya hewan tanpa akal. Yang mereka tahu adalah menjarah, menyerang, tapi lebih lemah dari manusia.

Jika memang seperti itu, kenapa sejak mereka masuk ke sini para goblin tidak langsung menyerang? Berdasarkan apa yang ia tahu pastinya makhuk itu akan menyerang dari tadi tanpa pikir panjang.

"Aneh, maksudmu?" Issei memiringkan kepalanya. Bingung.

"Etto, bagaimana menjelaskannya ya, jika memang goblin adalah makhluk bodoh seharusnya mereka menyerang kita dari tadi."

Mengerti dengan ucapan Kunou, Issei mengangguk beberapa kali sambil menopang dagu. Bersikap seperti orang pintar. "Aku mengerti, singkatnya mereka takut kepadaku karena auraku yang memancarkan kekuatan besar, 'kan? Huahaha."

Kunou menepuk jidatnya pelan. Ia tidak habis pikir kenapa orang kelewat percaya diri ini bisa menjadi petualang. Adventurer erat kaitannya dengan kekuatan, keperkasaan, itulah yang Kunou pahami sejak kecil, dan alasan kenapa dirinya ingin menjadi adventurer.

Langit kian menggelap tertutupi awan hitam pekat. Beberapa gemuruh terdengar yang diikuti oleh kilatan cahaya berwarna biru. Kunou menatap langit. Takut. Suara gemuruh itu kian membesar setelah titik-titik hujan berjatuhan.

"Sepertinya akan ada hujan besar, ayo kita berteduh dulu sampai hujannya reda." Kiryuu membenarkan topi penyihirnya yang ia dapat sebagai hadiah kelulusan sekolah sihir.

Kunou dan Issei mengangguk.

Mereka membereskan barang-barang yang sempat dikeluarkan tadi sebelum mencari tempat untuk berteduh, tidak menyadari jika sebuah anak panah sedang mengintai di balik lubang tembok tidak jauh dari mereka.

Saat Issei berdiri dan hendak menyarungkan pedang–yang ia pamerkan kepada Kunou tadi–panah yang sejak tadi mengintai itu melesat. Mengenai bahu Issei dan hampir menembusnya.

Semua orang menatap horror serangan tak disangka itu. Ada jeda beberapa detik sebelum Issei berteriak kesakitan.

"ARRGH! SAKIT! INI BENAR-BENAR SAKIT!"

"Kunou, sembuhkan Issei, cepat!"

Kiryuu, orang pertama yang sadar dari keterkejutan langsung memalingkan pandangan ke sumber serangan itu. Matanya menyipit. Sekilas melihat siluet makhluk berbadan pendek. Tidak salah lagi, itu adalah goblin!

Gadis kacamata itu mengarahkan tongkatnya ke depan, mulai membaca mantra.

[Wahai api panas yang membara: Fireball]

Itu adalah sihir dasar bagi siapa pun yang menjadi Mage. Sihir berelemen api yang membentuk bola dengan ukuran sedang.

Fireball melesat menuju target, menghanguskan siapa saja yang terkena sihir itu. Kiryuu menyeringai senang di balik ketakutannya setelah melihat beberapa tubuh yang terpanggang api muncul dari balik tembok. Meronta-ronta seperti kesetanan.

Seringaian Kiryuu pudar ketika ia melihat api yang menyelimuti tubuh para goblin padam karena hujan. Makhluk menjijikkan itu masih bernapas meskipun sudah terluka sangat parah, tapi mereka masih bisa bangkit.

Di belakang Kiryuu, Kunou dengan wajah ketakutan mencabut panah lalu mendekatkan tangannya ke luka Issei. Ia memejamkan mata.

[Wahai cahaya yang memberikan kesembuhan: Heal]

Dari telapak tangan Kunou muncul cahaya terang yang menyembuhkan luka Issei. Wajah laki-laki itu menunjukkan jika keadannya mulai membaik. Luka yang diderita Issei sembuh total. Ia bangkit dan menghunuskan pedangnya.

Dengan perasaan marah, Issei berteriak. "KEMARILAH MAKHLUK MENJIJIKKAN!"

Seakan menjawab perkataan itu, belasan goblin yang sejak tadi mengintai mereka muncul dari balik reruntuhan, mengelilingi mereka bertiga dengan senjata berada di genggaman. Senjata yang mereka gunakan adalah alat untuk bertani–yang mereka rampas dari desa.

"GOUGOU!"

"GWAAAA!"

"GRAAA!"

Entahlah apa yang mereka katakan. Namun baik Kunou, Kiryuu, dan Issei mengetahui bahwa mereka sedang mengejek ketiganya. Itu dapat terlihat dari ekspresi senang yang menjijikkan dari goblin.

Kunou memeluk tongkatnya takut. Issei menyerang tanpa berpikir dahulu. Ia mengayunkan pedangnya secara sembarang membuat beberapa goblin mundur, ada juga yang terkena tebasannya.

"AKAN KUHABISI KALIAN SEMUA–ARGH!"

Inilah akibatnya jika meremehkan musuh selemah apa pun mereka. Issei yang dibutakan oleh emosi dan hanya menyerang musuh yang ada di depan tidak sadar jika bagian belakangnya menjadi sasaran empuk. Issei harus merelakkan beberapa pisau menancab di punggungnya.

Ia menatap horror ke belakang. Jatuh. Sedetik kemudian goblin telah mengerubunginya dan menghunuskan senjata masing-masing.

Suara horror dari tusukan menggema di telinga Kunou dan Kiryuu. Membuat mereka diam membeku dalam ketakutan. Otak mereka tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mereka hanya melihat nasib Issei yang kedua tangannya dipotong oleh Goblin menggunakan kapak.

Teriakkan Issei masih menggema, tapi setiap tubuh itu di potong, teriakkan Issei kian memudar sampai tidak bisa didengar sama sekali.

Mati.

"KYAA!"

Kiryuu merasakan ada tangan yang mencengkram kakinya. Itu goblin. Kiryuu mengayunkan tongkatnya berharap goblin itu terkena serangan. Benar. Ayunan tongkatnya tepat mengenai kepala goblin membuat makhluk itu terpental dan menabrak dinding, mati.

Usahanya tidak menimbulkan efek yang positif, banyaknya goblin yang mencengkram kakinya dan tongkatnya diambil lalu dipatahkan oleh goblin membuatnya tidak bisa bergerak. Kunou yang berada di samping mengumpulkan tenaga untuk menyerang goblin itu menggunakan tongkatnya sambil menutup mata. Namun, usahanya hanya mengenai udara kosong.

"ARGHH!"

Kiryuu berteriak kesakitan. Ada darah yang keluar dari kakinya bekas tusukan dari pisau. Ia tidak bisa lagi melawan. Para goblin itu menyeret paksa Kiryuu menjauhi Kunou, hendak membawa gadis itu entah ke mana. Terakhir yang Kunou lihat hanyalah wajah Kiryuu yang menatapnya dengan ketakutan sembari mengatakan sesuatu–kata yang tidak jelas tapi bisa dipahami.

"To … long … ku …."

Setelah ucapannya Kiryuu menghilang di balik tembok. Tatapan Kunou menjadi kosong. Seakan tidak peduli apa yang dilakukan para goblin terhadap dirinya. Ia juga hendak diseret. Perasaan ingin bebasnya menyadarkan dirinya dan segera merapal mantra.

[Wahai cahaya yang menyinari kegelapan: Light]

Ujung tongkatnya bercahaya, menyilaukan. Sukses untuk melepaskan diri dari cengkraman goblin dan membuat mereka mundur cukup jauh. Efek cahaya itu tidak bertahan lama karena goblin akan menyerang Kunou lagi setelah sihirnya habis.

Tahu akan hal itu, tubuhnya lemas seketika.

Gadis itu terduduk lemah di tanah basah. Hujan rintik-rintik menyamarkan air mata yang hendak jatuh itu. Kedua tangannya bergetar, menggenggam erat satu-satunya senjata yang Kunou miliki.

Sama halnya dengan tangan, kakinya turut bergetar. Ia tidak bisa bangkit. Ia tidak bisa lari. Dalam ketakutan terdalamnya, Kunou melihat rombongan makhluk menjijikkan yang hendak membunuhnya–atau paling buruk memperkosanya dulu sebelum dibunuh, sama seperti rekannya.

"Tidak … tidak … jangan mendekat!"

Kalimat yang tidak bermakna apa pun, tidak berdampak apa pun–dia tahu itu. Namun setidaknya ada harapan besar di balik kalimat tersebut, ia ingin selamat.

Sampai titik di mana rombongan makhluk menjijikkan itu berhenti 1 meter di depannya. Gadis malang itu dapat melihat sorot mata penuh nafsu dan air liur menjijikkan keluar dari sudut bibir mereka, menyebabkan bau busuk tercium.

Pandangan penuh nafsu dan ketakutan bertemu, sejajar. Makhluk menjijikkan itu bertubuh pendek, bahkan tingginya tidak lebih dari tinggi Kunou yang terduduk itu.

"GWARRR!"

"TIDAK!"

Mereka–makhluk menjijikkan–menerjang Kunou itu tanpa ampun, memaksanya untuk berbaring di tanah dengan kasar. Tangan-tangan kecil mereka meraba bagian tubuh Kunou yang seharusnya tidak boleh disentuh oleh sembarang orang.

Kunou meronta dengan air mata yang tumpah, berusaha memberontak karena ia ingin bebas. Namun apalah daya, tenaganya tidak cukup kuat bahkan untuk menyingkirkan satu tangan saja.

Di tengah ketakutannya, di tengah tangisannya, ia merasakan nuansa hangat di selangkangan.

Memalukan.

Saking takutnya ia pipis di celana. Ia akan merasa malu jika menghadap ke kuil. Namun, ia harus berterima kasih pada air kencingnya karena dengan begitu pergerakkan para makhluk menjijikkan sempat terhenti. Ya, 'sempat'.

Pada akhirnya semua itu sia-sia. Mereka melanjutkan aksinya. Merobek jubah kuil yang Kunou kenakan dengan kasar, memperlihatkan pemandangan yang tidak boleh di lihat oleh sembarang orang–lagi .

Di tengah keputusasaannya, Kunou hanya pasrah tidak melawan. Pandangannya kosong.

Sambil menutup mata menerima takdir, ia berharap.

'Siapa saja, bunuh aku.'

-Karen S.-

Kunou merasakan rabaan tangan mereka semakin memudar, menghilang, berkurang detik demi detiknya bersamaan dengan cipratan hangat cairan kental yang ia rasakan di beberapa bagian tubuh. Sebenarnya ia tidak berani membuka mata, tapi rasa penasaran menyelimutinya.

Saat membuka mata, Kunou dapat melihat siluet seseorang yang sedang mengayunkan tombak. Menebas, menusuk para makhluk menjijikkan itu tanpa ampun. Perhatian para goblin teralih pada sosok itu membuat Kunou terbebas. Ia bangkit duduk dan menyaksikan bagaimana kepala belasan goblin terlepas dari tubuh mereka hanya dalam hitungan detik.

Mengerikan.

Genangan darah bercampur dengan air. Darah itu kian menyebar ke mana-mana sampai mengenai lutut Kunou. Ia melihat siluet itu mendekati dirinya. Masih takut. Kunou masih takut.

Setelah cukup dekat, gadis itu dapat melihat wajah datar dari seorang yang menyelamatkannya. Laki-laki itu tidak memasang ekspresi apa pun. Namun ada satu hal yang membuat hati Kunou menjadi tenang.

Mata biru indah itu.

Mata yang memancarkan keindahan dan ketenangan.

"Kau tidak apa-apa?"

Kunou tersentak. Kembali mengingat kejadian tragis yang menimpanya. Tubuhnya kembali bergetar. Ia menggeleng.

"Souka, memang tidak mudah untuk lepas dari trauma kejadian tragis seperti itu."

"To-tolog aku." Kunou bergumam lemah, hampir tidak kedengaran.

"Hm?"

"Ku-kumohon tolong aku!"

Laki-laki itu mengulurkan tangannya. "Sekarang sudah baik-baik saja, aku di sini untuk menolongmu. Namaku Naruto."

Kunou menerima uluran tangan Naruto, ada sedikit keraguan di sana. Naruto membantu Kunou berdiri dan dapat ia lihat jubah kuil yang dikenakan gadis itu robek sana-sini. Tangan mungil itu masih di genggamannya. Naruto–tanpa berkata terlebih dahulu–langsung menggendong Kunou layaknya seorang putri dan melompat, menuju sungai.

"A-a-apa yang kamu lakukan?"

"Pegangan yang erat atau kau akan jatuh."

Kunou melirik ke bawah dan ia dapat mengetahui seberapa tinggi laki-laki ini melompat. Tangan mungilnya melingkar ke leher Naruto dengan erat. Matanya terpejam.

"Kita sudah sampai."

Kunou membuka mata lalu melihat ke samping. Sungai. Mereka sekarang sedang berada di pesisir sungai.

"Untuk apa kita ke sini?"

"Membersihkan tubuhmu sebelum airnya mulai deras." Naruto menjawab dengan nada datar.

"A-aku tidak apa-apa!" Kunou malu karena sebagian tubuhnya terlihat. Cipratan darah ada di mana-mana, bekas air ludah goblin yang bau, dan hal paling memalukan adalah air pipirnya.

"Ikuti saja perkataanku. Kau bersihkan dulu tubuhmu. Aku berjanji tidak akan mengintip."

Kunou mengangguk agak ragu. Naruto menurunkan gadis itu lalu berbalik ke arah lain. Ia menatap langit. "Jangan lama-lama, hujan akan semakin besar."

"Aku mengerti."

Setelah ucapannya, Kunou menyiuk air untuk membasahi wajahnya. Beberapa kali. Kemudian tangannya. Kakinya. Lalu melepaskan seluruh pakaiannya dan membenamkan diri di air sungai yang arusnya tidak begitu kuat–setidaknya sekarang. Tongkatnya ia letakkan di samping baju robeknya.

Setelah semua tubuhnya bersih dari hal-hal menjijikkan, ia menepi. "A-aku sudah selesai."

"Jangan pakai pakaianmu yang robek itu!"

"Kenapa?"

Naruto melepaskan jubahnya lalu dilempar ke Kunou tanpa berpaling. Gadis itu menangkap jubah yang agak berat dengan gegabah. Tanpa bertanya lebih jauh Kunou segera memakai jubah yang kelewat besar dari ukuran tubuhnya.

"Aku sudah memakainya."

Naruto berbalik. Mendekati Kunou. Ia memandang gadis dengan pakaian kebesaran. "Yosh."

"Terima kasih sudah menolongku, Naruto-san. Namaku Kunou."

"Panggil aku Naruto saja."

Kunou mengangguk. Kedua pipinya bersemu merah saat melihat bagaimana kekarnya tubuh itu. Ketika ia ingat nasib teman-temannya, Kunou memohon untuk menolong salah satu rekan party wanitanya yang dibawa oleh goblin.

"Mungkin sudah terlambat."

"Terlambat?"

"Teman wanita yang kau sebutkan itu, mungkin saja sudah dijadikan mainan oleh para goblin."

"T-tidak mungkin."

"Tapi ada kemungkinan besar jika ia masih hidup. Namun aku tidak bisa menjamin mentalnya masih bagus atau rusak."

"Jika benar Kiryuu-san masih hidup tolong selamatkan dia, Naruto." Kunou berkata penuh harap.

Naruto mengangguk. "Lagipula tugasku adalah membasmi semua goblin di sini. Kalau kau memang ingin menyelamatkannya maka ayo kita ke sarang mereka."

Mereka pergi menuju sarang goblin yang dikatakan Naruto. Kunou berjalan di belakangnya. Mengikuti setiap langkah laki-laki itu. Ia tidak sengaja melihat tubuh Issei yang sudah tidak dapat digambarkan lagi bentuknya.

Kunou menutup mulut. Rasa mual melilit tubuhnya dengan keras. Kedua tangan dan kaki Issei putus. Di kepalanya tertancap kapak berkarat.

"Jangan dilihat."

Sesuai yang dikatakan Naruto, ia menutup mata. Berjalan lagi tanpa memandang ke belakang, ke mayat Issei.

Mereka berdua berhenti di depan gudang yang tidak memiliki atap tapi pintunya masih kokoh.

"Gudang apa ini?" Kunou bertanya.

"Gudang tempat menyimpan persediaan makanan, atau yang sekarang menjadi sarang goblin."

Kunou meneguk ludah. Di balik pintu ini pastinya ada puluhan goblin yang berkumpul … dan temannya.

Naruto melirik Kunou. "Kau siap?"

Kunou menelan ludah. Menggenggam erat tongkatnya. Ia mengangguk mantap. "Aku siap."

"Yosh!"

Dengan begitu Naruto menyiapkan kuda-kuda bertarung, melayangkan tentangan keras pada pintu rapuh itu sampai terdengar suara,

BRAK!

Tsudzuku


Ending song: Silent Solitude by OxT


Cleric: Sama seperti Healer tapi khusus untuk wanita. Intinya sebutan untuk Healer wanita.

14 Oktober 2018