Based on my favorit story on wattpad 'Pernikahan Wasiat'.

Original story by Yadika Putri.

All character belong to Masashi Kishimoto.

I own nothing. Some of the story is mine.

.

.

.

.

.

.

Summary: Aku tidak pernah menyangka kita akan terikat dari sesuatu yang sakral. Terikat dalam pernikahan warisan dari kakek. Tidak ada satupun dari kita saling mengenal. Dan tidak satupun dari kita berasal dari latar belakang yang sama. Apa yang kita lakukan seolah menentang takdir itu. Keegoisan, kemarahan, dan cinta./ Plot dari novel Pernikahan Wasiat by Yadika Putri./ OC, OOC, crackpair.

.

.

.

.

.

1. Wedding Plan

.

"Kita bangkrut, Sakura."

Satu kalimat yang langsung meruntuhkan semangat Sakura. Kalimat yang dikatakan sang ayah seolah-olah mempresentasikan masa depan yang tidak ada harapan. Sesuatu yang membuat Sakura berpikir. Bagaimana bisa hanya karena bangkrut Ayahnya bersikap seolah-olah keluarganya sedang ada dalam masalah besar? Mereka masih memiliki satu sama lain kan?

"Aku pulang."sapa Sakura ketika membuka pintu.

Hening menyengat yang tidak biasa membuat gadis itu gelisah. Kemana Ayah dan juga Ibunya?

"Kau sudah pulang Sakura?"tanya sang ibu dengan mimik wajah yang tidak dapat dijelaskan.

"Ibu? Kemana Ayah dan juga kakak?"

"Simpan tasmu di kamar dan bergabung dengan kami di ruang keluarga. Ada yang perlu kita bicarakan, Sakura. Ibu tunggu 5 menit."

Sakura hanya mengangguk dan segera beranjak ke kamarnya. Lagi-lagi, gadis itu mengerutkan alisnya lantaran mendapati kamarnya terasa jauh lebih sunyi dari seharusnya. Kopernya sudah berdiri di samping lemari dan beberapa barangnya entah kemana.

"Ibu... Kenapa tas dan kopernya..."

Sakura menghentikan pertanyaannya ketika melihat sosok paruh baya yang tengah duduk dengan tenang di ruang tamu keluarganya. Sosok itu tersenyum ramah ke arah Sakura.

"Ibu sudah menyiapkan semua yang kau butuhkan. Duduklah."perintah Mebuki lembut. Matanya berusaha menahan bulir air mata yang sejak tadi hendak membanjiri pipinya.

"Sakura, kenalkan. Dia teman lama Ayah. Lebih tepatnya, mantan kolega Ayah. Namanya Namikaze Jiraiya." Kizashi memulai obrolan. Wajah ayahnya itu terlihat pucat dan lebih tua dari usia yang seharusnya.

"Haruno Sakura desu. Douzo yorishiku onegaishimasu."sapa Sakura sembari ber-ojigi demi menghormati pria paruh baya itu.

"Douzo yorishiku, Sakura-san."

"Dia datang kemari untuk membantu keluarga kita, Sakura. Dia akan membawamu pergi dan menikahkanmu dengan cucunya. Kau akan aman di dalam perlindungan keluarga Namikaze."

Sontak Sakura menoleh dan menatap tidak percaya pada kalimat yang keluar dari bibir sang ayah. Menikah? Di usianya yang masih 17 tahun? Yang benar saja!

"Apa maksud Ayah?"

"Kami... sudah menikahkanmu secara hukum dengan cucu tertua Namikaze. Kau hanya tinggal menjalani upacara pernikahannya dan tinggal bersama mereka. Ayah.."

"Aku tidak akan kemanapun!"putus Sakura histeris.

"Nak... Jangan begitu. Dengarkan Ayahmu dulu. Jangan berprasangka buruk pada kami. Kami hanya ingin menyelamatkanmu dari..." Jiraiya mencoba menjelaskan.

"Kalian tidak menjelaskan apa-apa padaku. Kalian mengambil keputusan sendiri dengan menikahkanku tanpa persetujuan bahkan dariku. Kalian... egois."

Sasori yang semenjak tadi hanya diam merangkul tubuh saudara kembarnya dan mendudukkan gadis itu kembali. "Kami melakukan ini untuk melindungimu."

"Melindungi dengan menikahkanku? Aku bahkan tidak tau siapa mereka."

"Sakura." Mebuki berusaha meredam emosi putrinya. "Kau harus tau, jika kami tidak melakukan ini, Pria jahat yang telah menghancurkan Ayahmu akan mengambilmu dan menjadikanmu istrinya. Kau tidak akan bahagia hidup dengannya karena dia bukanlah pria yang baik. Keluarga Namikaze adalah keluarga yang baik. Dia akan melindungimu sama seperti kami melindungimu."

"Apa aku egois jika aku ingin bersama dengan kalian saja? Aku..."

"Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Sakura. Ini jalan satu-satunya agar kau tidak celaka. Mengertilah ini."bisik Mebuki sembari memeluk putrinya.

Kedua wanita itu menangis. Nasib yang membuat mereka harus terpisah. Nasib yang mengantarkan Sakura pergi jauh dari keluarganya. Tapi apa yang bisa mereka lakukan? Jika membiarkan Sakura berada dalam kejauhan tapi menjamin keselamatan gadis itu, apalagi yang bisa mereka pilih?

"Serahkan dia padaku, Mebuki-san, Kizashi-san. Kami akan menjaga Sakura seperti kalian menjaganya."ujar Jiraiya dengan senyum bijaksananya.

"Bersiaplah. Kita tidak bisa berlama-lama disini. Semua barangmu sudah dikirim orang-orangku ke apartemen milik cucuku. Kita tinggal membawa keperluan sekolahmu dan koper milikmu. Kau akan tinggal di Mansion Namikaze selama beberapa waktu sampai upacara pernikahan kalian selesai dan kau diperkenalkan secara resmi sebagai anggota Namikaze, ne Sakura-san?"jelas Jiraiya sembari menatap bungsu keluarga Haruno itu.

Sakura hanya mengangguk pasrah dan menatap anggota keluarganya satu-persatu. Merekam moment terakhirnya sebagai bagian dari Haruno untuk yang terakhir kalinya.

"Aku akan sangat merindukan kalian."akunya sembari menahan tangis. Sasori memeluk kembarannya. Berusaha merekam rasa pelukan itu sebelum pada akhirnya terlepas.

"Aku menyayangimu Sakura. Aku akan mendoakanmu dari jauh bagaimanapun kondisimu. Ingat, kita terhubung. Aku bagian dari dirimu."bisik Sasori.

"Ingat selalu kalau aku menyayangimu. Ini keputusan berat karena harus berpisah dengan satu-satunya adik perempuanku. Kami melakukan semua ini karena tidak ingin kehilanganmu."bisik Suigetsu sembari merengkuh Sakura.

"Maafkan Ayah. Semoga setelah ini kau bahagia, nak."bisik Kizashi dengan air mata yang mengguyur pipinya.

Setelah pelukan panjang antara Sakura dan keluarganya, Jiraiya melirik jam tangannya dan berdeham. Dia tidak memiliki banyak waktu. Harus segera kembali dan menjelaskan banyak hal kepada keluarganya perihal perjodohan yang dipercepat. Lagipula, hari beranjak petang. Tidak baik untuk melakukan perjalanan pulang terlebih hanya ditempuh dengan mobil.

"Aku secara pribadi meminta maaf karena tidak bisa berlama-lama. Ada banyak hal yang harus diurus setelah ini."pamit Jiraiya.

"Terima kasih banyak, Jiraiya-san."

"Bukan masalah. Jaga diri kalian baik-baik. Semoga setelah ini kita bisa bertemu lagi dengan kondisi yang jauh lebih baik."

"Amin."

Sakura menunduk dan mengikuti Jiraiya masuk ke dalam mobil. Sekalipun mesin mobil itu menyala dan bergerak perlahan menyusuri jalan, Sakura tetap menoleh ke belakang. Ke arah keluarganya.

"Maafkan aku kalau aku membuatmu jauh dengan keluargamu."ujar Jiraiya prihatin.

"Bukan masalah. Kakek sudah berusaha menolongku. Sekalipun aku tidak cukup mengerti mengapa hanya dari jalur pernikahan Kakek bisa membantuku."

"Perubahan nama marga akan membuat namamu kuat secara hukum, nak. Kau akan berada dalam perlindungan penuh keluarga Namikaze. Bukannya sombong. Nama keluargaku cukup berpengaruh di Jepang. Mereka tidak akan dengan mudah menyakitimu, nak."

Sakura mengangguk dan menatap jalan dengan tatapan kosong. "Apa laki-laki yang menghancurkan keluargaku ini laki-laki yang sangat jahat?"

"Sudah 2 kali dia berusaha menghancurkan keluargamu. Dulu dia mengancam akan menyeret ibumu dan menjadikan ibumu istrinya. Aku berusaha membantu dan menyelesaikan permasalahan hukum yang dilibatkan pria itu. Dan saat ini dia menginginkanmu. Menimbang baik dan buruknya, aku berpikir akan lebih baik kalau kau mendapat perlindungan dari cucuku. Dia salah satu orang yang sangat kupercaya. Kau akan aman."

"Bagaimana dengan keluarga kakek yang lain?"

"Aku memiliki 1 orang putra dan 2 orang putri. Salah satu putriku seumuran denganmu. Kau akan menyukainya. Putra sulungku dan putriku yang lain sudah menikah dan memiliki anak."

"Kalau cucu kakek yang menjadi suamiku?"

"Naruto? Dia orang yang baik. Kau adalah sosok wanita yang dibutuhkan olehnya. Aku mendengar banyak tentangmu dari kedua orang tuamu."

"Apa Kakek yakin aku adalah orang yang tepat?"

Jiraiya terkekeh. Pria paruh baya itu menggeleng-gelengkan kepala geli dan menepuk bahu Sakura. "Aku sudah tua dan aku tau apa yang kulakukan, Sakura. Menjodohkanmu dengan cucuku adalah salah satu yang kupercayai akan menjadi saat yang indah bagimu dan juga Naruto."

Gadis merah muda itu hanya mengangguk dan kembali menatap jalan. Matanya memandang ngeri deretan tebing yang harus mereka alami. Takut mobil mereka tergelincir tiba-tiba.

"Ji...Jiraiya-sama..."bisik sang supir dengan panik.

"Ada apa Kensuke? Ada yang salah?"

"Ada yang salah dengan rem mobilnya Tuan. Saya sudah berusaha untuk mengurangi laju mobil tapi rem nya tidak bekerja."

"Apa maksudmu, Kensuke? Tadi pagi masih baik-baik saja."

Sang supir yang sudah panik terus berusaha menginjak pedal rem berharap ada hal yang tiba-tiba membuat rem itu bekerja. Seklaipun sang supir sudah berusaha tidak menginjak pedal gas, laju mobil masih terlampau kencang terlebih jika harus melewati medan seburuk ini.

"Jiraiya-jii..."bisik Sakura ketakutan. Netra jade miliknya awas memandang kendaraan yang melaju teramat kencang menuju ke arah mobil yang mereka naiki.

"Kami-sama..." Jiraiya melepas sabuk pengamannya. "Cepat masing-masing dari kalian lepaskan sabuk pengaman dan lompat keluar dari mobil ini!"perintahnya dengan lantang.

Sakura menurut dan melepas sabuk pengamannya. Matanya terpejam kuat dan menunggu aba-aba selanjutnya dari Jiraiya untuk melompat keluar mobil.

"Sekarang!"

Bruak!

Sakura merasakan sensasi nyeri akibat tumbukan tubuhnya dengan aspal. Perih yang dirasakannya akibat kulit yang tergores jalan malah amat disyukurinya. Dia masih merasakan sakit. Itu tandanya dia masih hidup.

DUAR!

Ledakan hebat dari arah tebing membuat gadis itu membuka mata. Seketika ingatannya kembali bahwa dia berada di tempat itu tidak sendirian.

"Kakek Jiraiya!"pekiknya. Gadis itu berusaha bangkit dari posisinya dan dengan panik mengedarkan penglihatannya.

"Kakek!"jerit Sakura ketika mendapati Jiraiya yang terbaring dengan dahi yang berlumuran darah dan bibir yang terus mengeluarkan darah. Pria tua itu terbatuk-batuk. Matanya menatap sendu ke arah Sakura.

"Kensuke... Di...dia tidak be...berhasil melompat."gumam Jiraiya.

"Kakek, jangan bicara dulu. Tunggu disini Kek. Aku akan mencari bantuan."

Sakura hendak berlari ketika Jiraiya menarik tangannya.

"A...Ambil ponselku. Hu...Hubungi Naruto."

"Tapi Kek..."

"Hubungi Naruto."

Sakura merogoh saku jas Jiraiya dan menemukan ponsel yang sudah retak layarnya. Tangannya gemetar ketika mencari kontak yang dimaksudkan Jiraiya.

"Moshi-moshi?" suara dari seberang menyapa ruang pendengaran Sakura.

"Naruto-san, bisakah anda datang ke lokasi kami sekarang?"

"Siapa kau dan dimana kakekku?"

"Kakek anda terluka. Kumohon. Lakukan sesuatu. Aku akan mengirimkan alamat GPS dari lokasi ini."

Sakura mematikan ponsel dan mengrimkan lokasi GPS saat itu kepada Naruto. Gadis itu juga menelpon 911 untuk memanggil ambulan.

"Kakek, bertahanlah. Sebentar lagi cucu kakek akan kemari."

Jiraiya mengangguk. Perlahan, kesadaran pria tua itu memudar. Menyisakan gelap dan teriakan panik Sakura yang berusaha mengguncang tubuhnya.

.

.

"Namikaze Jiraiya. Di mana kamarnya?"tanya Naruto pada resepsionis Rumah Sakit. Perjalanan sejauh 3 jam memaksanya untuk tidak bisa datang di lokasi GPS yang dikirimkan gadis entah siapa itu. Naruto langsung menghubungi ponsel kakeknya dan mendapatkan alamat rumah sakit tersebut.

"Ada di ruang ICU tuan. Kondisinya masih belum stabil paska operasi."

"Baik. Terima kasih."

Naruto berlari ke arah ruang ICU tanpa menghiraukan teriakan beberapa orang karena langkahnya yang buru-buru. Dia ingin tau seperti apa kondisi kakeknya saat ini.

Setibanya ia di ruang tunggu kamar ICU, netra birunya menangkap sosok gadis berambut merah muda dengan baju berlumuran darah dan luka di sekujur tangan dan kakinya. Gadis itu terus terisak sembari menatap ke pintu ruang ICU.

"Apa kau gadis yang sedang bersama Kakekku tadi?"tanya Naruto dingin. Siapapun gadis itu, tampilannya sangat jauh dengan kesan gadis baik-baik. Apa kakeknya memungutnya di jalan? Kenapa gadis ini mengenakan pakaian yang sangat lusuh?

"Apa kau orang yang bernama Naruto?"

Pria pirang itu mengangguk dan mengamati gadis yang ada di hadapannya. Demi apapun kondisi kakeknya saat ini... Dia akan memberi kompensasi kecelakaan pada si gadis dan memintanya pergi. Tentu saja kompensasi dengan jumlah yang pantas. Naruto tidak ingin gadis yang berada di hadapannya ini memanfaatkan apapun yang ada pada keluarga Namikaze.

"Kau bisa pulang sekarang, Nona siapapun namamu. Aku akan mengurus Kakek."

"Ta...Tapi..."

Cklek.

Seorang perawat berseragam putih keluar dari ruang ICU dan menghampiri keduanya. "Apa kalian orang yang bernama Naruto dan juga Sakura?"

"Hai."jawab Naruto dan Sakura bersamaan.

"Namikaze Jiraiya-san sedang dalam masa kritis. Dia ingin bertemu dengan kalian berdua. Mari ikut saya."

Perawat itu mengarahkan Sakura dan juga Naruto ke ruang ganti. Mereka memakai pakaian khusus dan alas kaki khusus ruangan itu sebelum benar-benar masuk ke ruang perawatan.

Naruto langsung mendekati kakeknya begitu melihat tubuh renta pria itu terbujur di atas kasur rumah sakit. Jiraiya berusaha mengambil nafas dengan bantuan masker oksigen yang dikenakannya.

"Kakek tidak perlu khawatir."bisik Naruto di telinga Jiraiya. "Aku sudah ada di sini."

"Na...Naruto..."

"Kakek istirahat saja, ne?"

"Bukan begitu. A...Ada yang ingin Ka...Kakek sampaikan. Ka..Kau mau kan me...melakukan apa yang Kakek minta?"

"Hai. Apapun keinginan Kakek. Tapi Kakek harus berjanji setelah itu Kakek istirahat agar cepat pulih."

Jiraiya menggelengkan kepala. "Waktuku tidak banyak." Pria tua itu menoleh ke arah Sakura yang menangis tak jauh dari Naruto. Gadis itu tidak dapat menghentikan air matanya. "Kemarilah Sakura."

Gadis itu mendekat. Tidak cukup dekat sampai Jiraiya menggenggam tangannya. Matanya memohon dan membisikkan kata maaf berulang-ulang.

"Naruto, Kakek mohon nikahi Sakura sekarang. Beri dia perlindungan yang layak dalam naungan Keluarga Namikaze."

"Nani?"

Pria pirang itu menoleh ke arah Sakura dengan tatapan penuh kebencian. Apa yang dilakukan gadis ini sampai sang Kakek memaksanya menikahinya? Gadis kurang gizi dengan tampilan lusuh yang tidak menunjukkan kecantikan sama sekali.

"Di...Dia gadis yang baik, Naruto."

"Kakek..."

"Kakek mohon turutilah permintaan Kakek ini."

Naruto menghela nafas panjang dan mengangguk. Hanya pernikahan sementara. Setidaknya sampai Kakeknya pulih dan dia bisa membicarakan masalah ini baik-baik. Toh bukan pernikahan yang mengikat mereka secara hukum.

"Suster..." Jiraiya memanggil perawat yang sejak tadi mengamati interaksi mereka. "Bisa panggilkan bagian kerohanian yang bertugas? Aku ingin menikahkan cucuku sekarang."

Perawat itu mengangguk dan beranjak.

Dalam keheningan itu, Naruto merutuki sikap penurutnya karena mau saja menerima gadis entah berantah... oh... katakanlah dia bocah. Naruto amat yakin gadis itu bahkan baru saja mengalami menstruasi pertama kali. Dan apa? Dia harus menikahinya?

Seorang pria dengan pakaian hitam rapi mendekati mereka. Wajahnya ramah dengan kacamata yang membingkai kedua netra berwarna hazelnut miliknya.

"Apa yang bisa saya bantu, Jiraiya-san?"tanya pria itu dengan ramah.

"Bantu aku menikahkan cucuku."

"Baik. Akan kupanggilkan beberapa saksi terlebih dahulu."

Tak lama kemudian, 3 orang perawat dan 1 orang dokter masuk ke dalam ruangan Jiraiya. Mereka yang akan menjadi saksi dimulainya kehidupan baru 2 insan yang bahkan tidak saling mengenal satu sama lain.

"Apa pengantin pria dan wanitanya siap?"tanya pria ramah itu. Sakura mengangguk samar dan menangis dalam hati. Bahkan dia harus menikah tanpa di dampingi sang Ayah yang menuntunnya berjalan menuju altar. Pernikahan yang sangat diidam-idamkan seluruh wanita di seluruh dunia.

"Baik. Kita mulai." Pria ramah itu membacakan beberapa petuah dalam kitab yang dibawanya sebelum memulai prosesi janji pernikahan.

"Apa kau, Namikaze Naruto, bersedia menerima Sakura sebagai istri baik dalam suka maupun duka, dalam sakit maupun sehat, dalam keadaan miskin maupun kaya, dalam keadaan lapang maupun sempit, dan berjanji mencintainya seumur hidup?"

Naruto menghela nafas sekali lagi dan menatap kosong ke arah pria ramah itu. "I do."

"Apa kau, Sakura, bersedia menerima Naruto dalam suka maupun duka, sakit maupun sehat, miskin maupun kaya, dan dalam keadaan lapang maupun sempit, serta berjanji mencintainya seumur hidupmu?"

Sakura menunduk. Menyembunyikan air mata yang sejak tadi tidak dapat ditahan olehnya. "Ya."bisiknya.

"Sekarang kalian suami istri. Kau bisa mengucapkan janji pernikahanmu dan mencium istrimu."

Naruto membalikkan tubuhnya dengan jengah di hadapan Sakura. Menatap lekat sosok dekil di hadapannya. Kami-sama... Dia bahkan menikahi orang yang tidak ia kenal.

Setelah mengucapkan beberapa patah kata yang Naruto amat yakin akan disesalinya seumur hidup, pria itu mendekat ke arah Sakura dan mengecup pipi gadis itu singkat. Sangat singkat hingga terasa bagaikan mimpi bagi Sakura.

Tiiiiiiiittttttttt...

Bunyi monitor membahana. Grafik denyut jantung berubah menjadi garis lurus. Dokter yang melihat itu langsung mengintruksikan perawat untuk mengambil defribilator.

"Tolong menepi dan biarkan dokter melakukan tindakan."instruksi perawat kepada Naruto dan juga Sakura.

Dokter membuka pakaian Jiraiya dan memastikan elektroda masih menempel dengan baik pada dada Jiraiya.

"Pasang 200 joule."

"Hai."

"All clear?"

"Clear."

"1, 2, Shoot."

Dada Jiraiya naik sesarah dengan gerak dokter. Tapi grafik nadi tetap menampakkan garis lurus dan bunyi nyaring tanda terputusnya suatu kehidupan.

"Satu kali lagi. 200 Joule."

"Hai."

"All clear?"

"Clear."

"1, 2, Shoot."

Dokter menatap putus asa pada layar monitor yang terus menunjukkan hasil yang sama. Diletakkannya alat kembali pada meja dorong. Matanya menatap lekat pada jam tangan yang dikenakannya.

"Pukul 20.32, Namikaze Jiraiya meninggal dunia."

.

000

.

Sakura masih terisak di lorong Rumah Sakit. Sekalipun baru sebentar mengenal Kakek Jiraiya, duka yang timbul atas kepergiannya membuat Sakura merasa sesak. Seperti kehilangan keluarga. Bahkan luka dan lebam yang seharusnya dia rasakan hilang entah kemana. Pikirannya hanya terfokus pada kesedihan yang tidak dapat dikendalikannya.

"Jangan menangis seperti pengemis di sini. Ikut aku."perintah Naruto sembari menyeret Sakura.

"Tapi Kakek Jiraiya..."

"Dia Kakekku. Dan sama sekali bukan urusanmu."

"Tapi..."

"Jangan membantah!"

Gadis musim semi itu terdiam dan menekuri jalan tanpa suara. Membiarkan Naruto menggiringnya hingga ke parkiran. Pria yang terlihat matang dan lebih tua darinya itu membuat Sakura tidak bisa mengatakan apapun. Hidupnya amat bergantung pada pria itu sekarang. Dia tidak boleh gegabah.

"Shikamaru."

"Hai."

Sakura mendongak dan mendapati seorang pria berperawakan tinggi, bertubuh atletis, bermata tajam, dan rambutnya terkucir dengan bentuk yang mengingatkannya pada bentuk nanas. Pria itu menatapnya dengan sorot menyelidik.

"Bawa gadis ini ke apartemenku."ujar Naruto sembari memasukkan Sakura dengan paksa ke mobilnya.

"Hei, tapi dia siapa? Kenapa pakaiannya seperti itu?"tanya Shikamaru. Tidak biasanya Naruto bersikap sangat dingin dan terlihat ingin meledak di waktu yang bersamaan. Tingkah itu mengundang kecurigaan Shikamaru.

"Bawa saja. Aku akan menjelaskan kalau aku sudah selesai mengurusi pemakaman Kakekku."

Shikamaru mengerutkan kedua alisnya dan menatap gadis yang duduk di bangku depan mobil dengan raut ketakutan.

"Baiklah."

Naruto merunduk dan memasukkan kepalanya ke mobil. Menatap Sakura lekat dengan raut tidak ingin dibantah. "Jangan keluar apartemen sampai aku menyuruhmu keluar. Kalau kau ingin makan, ambil saja makanan apapun di dalam kulkas. Kalau ingin lebih, kau bisa delivery. Ini uangnya." Naruto mengeluarkan seluruh uang cash yang ada di dompetnya.

"Lakukan sesukamu."tukasnya dingin sebelum menutup pintu mobil.

Shikamaru masuk ke dalam mobil. Matanya menatap lekat gadis yang ada di sampingnya.

"Kau tidak perlu takut denganku. Aku akan mengantarkanmu dengan selamat sampai apartemen Naruto."

"Ha..Hai..."

"Siapa namamu?"

"Sakura."

Pria nanas itu mengerutkan alisnya. Dia merasa tidak asing dengan nama tersebut. Tapi dimana dia mendengarnya?

.

.

"Passwordnya 188798. Masuklah."

Shikamaru kembali mngerutkan alisnya ketika mendapati ruang depan apartemen Naruto terdapat koper besar berwarna merah dan sebuah kardus karton yang berisi entah apa. Seingatnya, minggu lalu ketika dia berangkat bertugas bersama Naruto dia tidak melihat kedua benda asing itu.

"Apa koper dan kardus itu milikmu?"

"Hai."

"Baiklah. Sepertinya aku tau sebagian dari permasalahan ini."

"Ne?"

"Berapa umurmu Sakura-san?"

"17 tahun."

"Oh baiklah. Kepalaku mulai pusing." Shikamaru menarik nafas panjang. "Dia berniat menjadi lolicon? Aih... Menyebalkan."gerutu Shikamaru.

Sakura hanya mengerutkan alisnya dan mulai membongkar kardus miliknya. Menghiraukan racauan Shikamaru.

"Dimana aku harus meletakkan barang-barangku, Shikamaru-san?"

"Kamar yang berada di sana kamar Naruto sekaligus ruang kerjanya. Kau tidak boleh masuk ke sana karena banyak hal penting yang mungkin akan membuatnya meledak. Kamar yang di dekat dapur itu kamar tamu. Di ujung sebelah sana kamar mandinya. Ada pintu kecil di balkon. Itu pintu menaruh alat untuk bersih-bersih. Aku tidak yakin kulkasnya terisi cukup makanan karena Naruto baru saja pulang dari Hongkong. Kau bisa memakan ramen cup yang ada di lemari makan. Ada yang kau tanyakan?"

Sakura menggeleng dan menatap sekelilingnya. Apartemen ini sedikit terlalu bersih untuk ukuran apartemen seorang pria. Sedikit aneh dan... apa benar tidak ada wanita yang ikut campur di dalam apartemen ini?

"Sakura san?"

"Y...ya?"

"Kalau tidak ada lagi yang kau tanyakan padaku, kau akan kutinggal. Kalau kau kesulitan dalam sesuatu, kau bisa hubungi nomor ini."ujar Shikamaru sembari mengulurkan kartu nama milik Naruto. "Kau juga bisa menghubungiku langsung kalau kau mau." Shikamaru mengulurkan kartu namanya.

"Te...Terima kasih."

"Sama-sama. Nikmati waktumu."

Sakura mengangguk dan menatap Shikamaru yang menghilang dari pintu apartemen 'suaminya'. Astaga! Suami! Siapa yang akan menduga gadis belia sepertinya sudah bersuami dan... dan... tinggal bersama suaminya?

"Hentikan lamunan konyolmu dan mulailah membereskan ruangan, Sakura."gumamnya pada diri sendiri. Mengenyahkan sebuah debaran yang tanpa diundang muncul.

Setelah cukup yakin semua barangnya telah tertata rapi di kamar tamu, Sakura melangkah ke dapur dan membuka kulkas serta lemari makan.

"Gekko Omedetou, Sakura. (Selamat menikah, Sakura)."bisiknya dalam hati dan memulai aktivitas memasaknya.

.

000

.

.

.

.

.

TBC

.

.

.


Olla Minna-san. Ohayou gozaimasu. Ohisashiburi, genkidesuka? Chiyo desu.

Yak saya kembali dengan cerita baru. (Thor, cerita yang 2 itu masih on going. Napa tega banget nggak ngelanjutin?)

Wkwkwkwk... Jadi begini, sebenarnya saya lagi nulis chap 16 dan revisi chap 15 dari Dancing with the star. Dan bab 2 cerita The Lies masih saya revisi. Kenapa? Biar enak juga dibaca sama reader sekalian. Saya publish cerita ini sebagai salah satu sarana penyalur kegabutan yang haqiqi. (mulai ngelantur).

Oh ya, cerita ini sudah dapat izin dari author 'Pernikahan Wasiat' yaitu kak Yadika Putri buat dibikin versi fanfictionnya dalam karakter Naruto. Saya juga mau sekalian bantuin promote ceritanya biar nanti kalau pas waktunya PO kalian semua bisa ikutan. Dan peringatan aja buat semua reader, cerita ini akan banyak perbedaan dengan Pernikahan Wasiat versi wattpad yang sekarang karena saya nulis berdasarkan plot awal cerita Pernikahan Wasiat ketika dibuat. Saya jamin penulisan kalimat dan de el el nya beda banget karena ini cerita style milik saya. Walau plotnya sama.

Jaa minna. Sudah segini aja ya?

Hm, untuk mempermudah kalian semua mengenali tokoh yang ada dalam cerita, check karaker yang ini. Barangkali ada yg kepo mau baca cerita aslinya di wattpad.

Azhar : Namikaze Naruto

Emilia : Haruno Sakura

Aulia : Shimura Mariko (OC)

Bram : Shimura Danzo

Fathan : Nara Shikamaru

Diandra : Yamanaka Ino

Zahra : Miko Shion

Kakek Firman : Jiraiya

Nenek Sari : Senju Tsunade

Ibu Azhar : Namikaze (Uzumaki) Kushina

Ayah Azhar : Namikaze Minato

Ibu Emilia : Haruno Mebuki

Ayah Emilia : Haruno Kizashi

Alex : Sasuke Uchiha

Banyu : Hozuki Suigetsu (dalam cerita menjadi Haruno Suigetsu)

Darren : Akasuna Sasori (dalam cerita menjadi Haruno Sasori)

Zila : Namikaze Hanami (OC)

Zilo : Namikaze Shinachiku (OC)