Love
Chapter 1 : First Love
Pairing : Sai/Ino
Sad today is the last day you and me standing together under the same sky.
(Wendy-Do you know)
.
.
Nama pria itu... Sai Shimura, selama 2 tahun ini artinya bagiku adalah teman, pacar, dan keluarga. Kami pertama kali bertemu di sebuah kafe ketika salju Bulan Desember turun dengan intensitas mengerikan. Musim dingin saat itu benar-benar tak bisa diperkirakan.
Sepanjang yang bisa ku ingat, Sai adalah pria dengan rambut sehitam jelaga dan senyuman semanis gula pasir. Dia bukanlah sosok pria dengan jas rapi dan tas selempang di pundaknya, alih-alih seorang pemain biola di sebuah kafe sederhana dekat stasiun.
Dia ramah, tipikal pria asia yang murah senyum dan suka menyapa.
Awalnya... aku hanya tertarik pada permainan biolanya, bagaimana dia dengan begitu lihainya memainkan nada-nada indah dari gesekan senar biola. Namun, terlalu sering melihatnya dengan pesona yang seolah menggetarkan tiap dinding dalam hatiku. Aku mulai jatuh hati, tidak hanya jatuh hati pada permainan biolanya, tapi juga jatuh hati pada sosok tinggi yang seperti tampak berkilau itu.
.
.
Aku tak benar-benar ingat bagaimana kami bisa menjadi akrab. Mungkin karena aku terlalu sering meminta tanda tangannya tiap kali dia selesai dengan permainan nada-nada biolanya. Dan duduk berdua bersamaku di meja kosong dekat jendela, sembari berusaha saling mengenal satu sama lain.
.
.
Sai sangat menyukai espresso. Dia bilang, musim dingin selalu identik dengan espresso. Maka... tiap kali sore datang menjemput dengan suhu udara yang makin membuat tulang terasa ngilu, dia akan membuat 2 cangkir espresso, satu untukku dan satu lagi untuknya.
Namun, bagaimana pun usahaku untuk menyukai espresso, lidahku tak pernah mau bersahabat dengan minuman yang satu itu.
Apartemen tempatku tinggal, sudah seperti rumahnya sendiri. Dia lebih sering menghabiskan waktu di tempat ini ketimbang pulang ke rumah sewaannya. Katanya, apartemenku adalah tempat paling nyaman dan cocok untuk beristirahat melepas lelah. Tidak pernah menjadi masalah bagiku jika Sai lebih suka menghabiskan waktu di tempat ini. Membuatku merasa semakin jatuh pada sosoknya tiap kali mampu menatapnya dari balik kelopak mataku, mengagumi parasnya yang menyerupai dewa yunani. Selalu sempurna, tanpa cela.
.
.
"Ino, kau tahu kenapa aku suka sekali pada espresso?" Tanyanya di suatu malam, ketika salju di luar masih saja turun dengan lebat. Sementara itu, sebentar lagi Sai harus pergi ke tempat kerjanya untuk memainkan biola kesayangannya.
"Karena enak?" Aku memeluk boneka pikachu pemberiannya saat ulang tahunku beberapa bulan lalu, berharap rasa dingin tak terus-terusan menggigiti kulitku dari balik sweater.
Sai tersenyum, senyuman yang selalu mengingatkanku pada semangkuk es krim strawberry yang manis dan menyegarkan. "Lebih dari itu."
Aku mengernyit, menuntutnya untuk segera berkata tanpa berbelit-belit. "Jadi?"
"Secangkir espresso memiliki sebuah makna. Rasa pahitnya menjelaskan pada kita bahwa dalam hidup, cinta tak selalu terasa manis, dia kadang juga pahit."
Aku tidak pernah memiliki pemikiran mengenai apakah Sai pernah mempunyai masalah cinta yang buruk di masa lalunya? Tapi, jika pun ada keberanianku tak sebesar gunung untuk menanyakannya langsung. Biarkan kenangan masa lalunya hanya dia dan Tuhan yang tahu. Aku hanya akan menikmati hari ini, dan menunggu esok bersamanya.
Sai tak bicara lebih banyak lagi malam itu, dia buru-buru pulang ketika jam weker kecil di atas nakasku menunjuk pukul 7 malam. Dia harus menghibur pengunjung kafe malam ini.
.
.
Ada lagi hal yang begitu disukai Shimura Sai, yaitu mawar. Dia menyukai mawar, dan menarikku masuk dalam dunianya yang penuh aroma mawar.
Katanya mawar adalah lambang cinta, dan hidup tanpa cinta adalah hal yang paling membosankan di dunia ini. Ku akui itu benar. Sebab, sebelum Sai hadir dalam hidupku, aku tak pernah mengenal apa itu cinta.
Sai menghangatkan duniaku seperti espresso panas yang menghangatkan musim dingin. Dia memberi aroma dalam hidupku seperti mawar yang mengharumkan sekitarnya. Ku pikir dia adalah segalanya, segala yang aku inginkan.
.
.
Hubungan kami bukan seperti hubungan dalam dongeng yang nyaris tanpa masalah. Tidak jarang juga kami memperdebatkan masalah sepele, tidak saling bicara karena kesal. Dan tak mau peduli selama beberapa saat. Namun, tetap saja kami akan selalu berakhir dengan tawa karena tak tahan untuk saling mendiamkan.
Sai tak pernah menjadi pria romantis. Dia tidak tahu bagaimana caranya memberikan mawar pada seorang gadis sepertiku. Seperti saat musim panas tahun itu, dia membelikanku sebuah tanaman mawar beserta potnya. Diantara senyumnya yang tersembul bagai madu, dia berkata.
"Mawar akan membuatmu selalu ingat padaku."
Bagiku, pria romantis itu adalah seseorang yang membawakan buket besar mawar merah, bukan tanaman beserta pot dan tanahnya. Namun, biarpun begitu, aku tetap menghargai pemberiannya. Merawat mawar merahnya dengan penuh cinta.
.
.
Setiap kali pria manis itu masuk ke apartemenku, aroma musim dingin bercampur dengan aroma espresso dan mawar seolah menguar dari tubunya. Dan aku menyukainya, menyukai segala hal tentangnya.
Sai suka sekali berdiri di dekat jendela, memandangi salju yang berguguran dari langit. Katanya itu akan mengingatkannya pada masa kecilnya, di mana saat itu ia dan sang kakek menghabiskan waktu untuk membuat boneka salju bersama.
"Kau ingin membuat boneka salju?" Tanyaku di akhir ceritanya.
Pria itu hanya tertawa, menganggap tawaranku hanyalah sebuah lelucon yang terlalu mengada-ada.
"Orang akan menertawakan kita nantinya." Netranya yang memikat tetap fokus menatap jalanan di bawah. Tidak tahu apa yang tengah diperhatikannya, terkadang dia memang semisterius itu.
"Kenapa harus peduli kata orang? Kita tidak membuat mereka berada dalam masalah kan?" Aku mencoba meyakinkannya bahwa segalanya tak akan jadi masalah.
Tapi Sai malah mendiamkanku, ada yang mengusik pikirannya. Namun, aku tak buru-buru menuntutnya untuk mengungkapkan segalanya.
"Ino..."
"Hm?"
"Aku berniat pergi Paris akhir bulan ini."
Tenggorokanku terasa kering mendadak ketika kalimat itu meluncur dari bibir tipisnya. Bahkan ketika mata kami saling menatap, ekspresi terkejutku belum juga bisa dikendalikan.
"Aku ingin menjadi pemain biola yang hebat di sana, membangun mimpi-mimpi yang sudah ku rencanakan sejak kecil."
Ada terlalu banyak keinginan yang dia ungkapkan padaku sore itu, memupus segala hal yang pernah ku harapkan darinya. Dia tak menyebutku sama sekali dalam mimpi-mimpi besarnya.
Katanya dia akan kembali ke Osaka pada tiap-tiap awal bulan, dan mengunjungiku. Aku tak mengatakan apapun, hanya berusaha menggenggam janjinya dalam diam.
.
.
3 bulan
4 bulan
5 bulan, dan berbulan-bulan kemudian.
Tak ada kabar tentangnya, pesan-pesan yang kurimkan entah sampai pada siapa. Shimura Sai tak pernah kembali lagi. Entah disana dia bahagia atau susah, aku tak tahu. Jejaknya menghilang bersama kabut tipis hari kamis.
.
.
Aku menangis sendirian di malam-malam yang sepi, merasakan segalanya adalah kosong, hidupku tak ada artinya. Untuk apa aku hidup? Untuk apa?
Aku beberapa kali datang ke kafe dekat stasiun. Hanya untuk memastikan Sai ada di sana atau tidak. Dan... meskipun aku tak pernah mendapatinya, aku masih saja menapakkan kakiku di sana, sembari membawa kepingan hatiku yang nyaris hilang satu-persatu.
.
.
Do you know… how much I waited for you…
Kubisikkan pada angin malam tiap kali aku teringat pada Sai, berharap... sebaris kalimat itu akan sampai padanya, lalu dia akan kembali padaku.
Namun... berapa ratus kali pun aku mengucapkannya. Shimura Sai tak pernah datang, dia hilang, entah kemana. Dan aku dihadapkan pada kenyataan, bahwa suka atau tidak dia hanya akan menjadi bagian dari kemarin, kemarinnya lagi, dan... masa lalu.
TBC
Tinggalkan kritik dan saran. :)
