Suara derap langkah kaki kuda yang menghentak bersahutan di arena balap akademi membuat beberapa pasang mata menoleh, sekedar untuk melihat siapa gerangan yang telah menyelesaikan pertandingan sore itu.

Ya, setiap akhir bulan, akademi menengah atas di ibukota, Bukares, selalu mengadakan pertandingan antar kelas hingga angkatan. Dua orang akan diadu untuk berkuda, berpedang, dan memanah. Mereka yang menang akan mendapat penghargaan sebagai bentuk apresiasi terhadap kepiawaiannya. Orang-orang biasa menyebutnya sebagai Ace.

Akademi menengah atas di ibukota memiliki dua bidang ilmu pendidikan seperti pada umumnya. Akademik dan non-akademik. Berkuda, berpedang, serta memanah merupakan program studi non-akademik yang paling diminati oleh banyak orang. Mereka berlomba-lomba untuk meningkatkan ketangkasan pada olahraga itu.

Sejak dulu, tiga keahlian itu memang tidak pernah berubah peminatnya. Mengingat bahwa negara memiliki ancaman terbesar bagi penduduknya secara tersirat, orang-orang sangat gigih untuk meningkatkan skill secara ketat.

"Waktu habis!"

Teriakan seorang wanita setengah baya yang berstatus sebagai pemimpin jalannya pertandingan menghentikan aktivitas kedua orang yang berada di tengah arena tersebut dengan lantang. Seorang pemuda bersurai cokelat turun dari kudanya seraya berjalan menghampiri sang lawan yang juga melakukan hal yang sama.

"Terima kasih untuk hari ini, Ace!" sahut Kiba sambil melempar senyum, disusul oleh pelukan ringan dari lawan mainnya sore itu. Menjadi suatu kebanggaan tanpa memandang hasil akhir ketika kau bisa melawan Ace akademi yang terampil di lapangan. Hari ini Kiba merasakannya. Atmosfer yang meresap di lapangan arena tanding rasanya berbeda jika berhadapan dengan lawan yang tangguh.

"Jangan panggil aku dengan sebutan itu, Kiba!" keduanya tertawa bersama seraya merangkul pundak satu sama lain. Tak ada rasa saling melemahkan jika melihat dua insan yang sangat lengket itu di akademi.

"Huh, kau terlalu rendah diri, Naruto!" ucapan pemuda pecinta anjing disampingnya membuat yang dituju mendelik kesal.

"Sial kau! Hahaha!" Kiba mengaduh pelan, lalu terkekeh saat puncak kepalanya ditekan oleh kepalan tangan Naruto yang terasa menyebalkan.

Keduanya berjalan memisahkan diri dari arena pertandingan. Sosok wanita bersurai merah muda menyambut kedatangan mereka seraya berkacak pinggang dipinggir lapangan tanding. Tangannya menyodorkan sebuah botol minuman yang terlihat basah karena dingin kepada Naruto.

"Dimana untukku?" pertanyaan Kiba hanya dibalas kedua bola mata beriris emerald yang memutar bosan, terkesan malas.

"Aku lupa membelikanmu," ujar Sakura tanpa mengalihkan perhatian dari sang empu. Naruto melirik sekilas ke arah dua orang berbeda gender tersebut seraya menegak airnya.

"Haish- jahat sekali kau!" Kiba mendecak kesal, sedikit tak terima. Perempuan dihadapannya ini memang pilih kasih jika sudah menyangkut hal kecil yang seperti ini.

Naruto yang telah menyelesaikan kebutuhan minumnya kemudian menawarinya dengan tiba-tiba dihadapan wajah bertato segitiga terbalik itu, cukup membuat Kiba memandang polos.

"Minum saja."

"Astaga! Kau memang sahabat yang pengertian!" tanpa berpikir panjang Kiba langsung meraihnya, lalu menegak airnya hingga tandas. Sakura mendecak pelan saat melihat Kiba mulai menegak botol minum pemberiannya.

"Dia bisa membelinya di kantin sendiri 'kan." Naruto mengangkat bahunya ringan dan tersenyum saat mendengar pernyataan perempuan berkulit putih dihadapannya.

"Kasihan juga dia kehausan."

Sakura mendengus saat mendengar jawaban si pirang, lalu membalikkan tubuh seraya berjalan meninggalkan keduanya dengan langkah yang sedikit menghentak. Terdengar suara decihan dari Kiba sesaat setelah dirinya selesai menegak.

"Huh, dasar perempuan aneh!" mendengar suara Kiba yang terbawa emosi cukup membuat Naruto terkekeh kecil seraya mengelus-elus punggung temannya itu, mencoba untuk menenangkan. Pemuda maniak anjing disampingnya bisa merepotkan jika sudah marah, sigh.

Belum lagi, Haruno Sakura yang menjadi lawan bicaranya.

.

Dante Fiorenza

Disclaimer ©Masashi Kishimoto

Storyline ©Yukirin Shuu

Warning! This content may include AU/OOC/Shounenai/Typo/etc.

DON'T LIKE DON'T READ!

.

.

Kicau burung gereja mengisi waktu sore di pelataran gedung sebelah barat akademi dengan ramai. Beberapa murid banyak yang berlalu lalang untuk meninggalkan kelas karena memang sudah memasuki waktu pulang kala itu. Suara kuda yang meringkik tak ayal menghiasi istal akademi bagi beberapa siswa yang menitipkan hewan kokoh itu sebagai kendaraan berpulang.

Beberapa siswa maupun siswi mulai beranjak pergi dengan menghentak tali kekang kuda, pergi meninggalkan gerbang utama akademi.

"Hei, hati-hati!" sahut seorang perempuan bersurai pirang dengan raut kesal saat tubuhnya hampir saja mengenai kuda yang berpacu melawan arah.

"Scuze!" (Maaf!)

Teriakan dari sang pelaku yang menjauh karena tunggangan kuda miliknya membuat Yamanaka Ino mendecak kesal seraya membalikkan tubuh, kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

Rencananya, perempuan yang baru genap berusia dua puluh tahun itu akan pergi ke perpustakaan untuk mengembalikan beberapa buku mata pelajaran yang tebalnya hingga tiga ratus halaman. Entahlah, ia sudah meminjamnya selama satu bulan, namun otaknya ketika membaca satu per satu kata yang tertuang dalam buku rasanya seperti menolak semua itu. Gagal sudah niat baiknya untuk memperdalam ilmu.

Saat Ino hendak menaiki susunan anak tangga kecil yang menghubungi balai dengan pintu utama perpustakaan, matanya tak sengaja menangkap sosok pemuda yang sangat dikenalnya tengah berjalan di koridor seorang diri.

"Hei!" sapa Ino dengan sedikit meninggikan suaranya seraya melambai.

Merasa hanya dirinya saja yang berada di sekitaran koridor, ketika suara seseorang menyapa gendang telinganya, objek yang dituju menolehkan kepala. Senyum khas lima jarinya menyapa ceria pada sosok wanita yang lebih tua setahun darinya.

"Oh, hai! Ada apa?" sahut Naruto membalas lambaian tangan sesaat Ino telah berdiri dihadapannya.

"Mau kemana kau?" kebetulan sekali mereka memiliki tugas bersama terkait penelitian tanaman herbal yang diajukan oleh Shizune, guru tua akademi yang selalu menuntut ketepatan waktu dalam mengerjakan tugas. Rasanya Ino ingin mengubur diri jika sudah mengingat wajah galak sosok wanita itu. Sepertinya hampir setiap murid mendapat ancaman darinya jika kentara bermalas-malasan walau hanya sedetik.

Pemuda bersurai pirang keemasan itu hanya terkekeh halus sambil menggaruk sebelah pipi dengan telunjuk. Ino melipat tangannya di depan dada. Pandangannya meneliti dari atas ke bawah penampilan sosok di depannya, seolah tengah menilai sesuatu. Rasanya gugup juga jika diberi perhatian seperti itu.

"Kau tahu, ada seekor merpati yang sedang menungguku sekarang." Kalimat yang disusul oleh senyum tipis namun menawan itu cukup membuat Ino berdeham pelan seraya mengalihkan perhatian ke arah lain. Semburat merah sedikit terbit di pipi perempuan berkulit putih itu.

"Ya, urus saja kepentinganmu! Dan, jangan lupakan perkataan Shizune! Kau tahu, aku tidak ingin terseret masalah hanya karena tumbuhan kita layu sebelum waktunya!" kalimat Ino yang terdengar menyebalkan tidak membuat Naruto melunturkan senyum ramah walau sudut matanya berkedut pelan.

"Bersikaplah tenang, kakak tingkat! Kupikir Shizune tidak seburuk itu," ujar Naruto diiringi dengan gedikan bahu, terlihat tak acuh. Memang rasanya ia belum pernah mendapat hukuman dari wanita berambut pendek itu. Pengecualian untuk ceramah panjangnya, sih.

Setelah berbincang sebentar lalu berpamitan dengan sedikit ketergesaan, Naruto kembali melanjutkan langkahnya menuju taman belakang akademi. Ino masih setia memandang kepergian sosok pemuda itu hingga punggungnya hilang ditelan tikungan koridor. Ia mendengus pelan, dan kembali berjalan menuju pintu utama perpustakaan yang jaraknya tak jauh dari posisinya sekarang.

Adik tingkatnya yang satu itu memang cukup populer di kalangan akademi, bahkan orang-orang luar pun banyak yang mengenalnya. Mengingat Uzumaki Naruto telah menjabat posisi Ace di akademi selama dua tahun belakangan ini, tak heran banyak orang yang menjadikannya panutan selain karena sikapnya yang ramah. Belum pernah ada yang menggantikan kedudukannya hingga memasuki awal tahun ketiga sekarang. Mungkin, ia akan menemukan lawannya yang sama tangguhnya nanti, entahlah.

Naruto berjalan menuju taman bagian utara bangunan seorang diri. Dibanding taman utama yang berada di sebelah timur, yang satu ini memang jarang dikunjungi oleh orang-orang. Mungkin ada beberapa yang datang kemari, namun tidak sesering itu.

Beberapa ekor burung gereja terlihat memenuhi pelataran koridor dari kejauhan. Naruto menghampirinya dengan gerakan yang tidak menimbulkan ribut hanya untuk sekedar memberi biji-bijian dari kantung jerami miliknya yang ia bawa dibalik jubah.

Pemuda itu dengan telaten mulai menyebar biji-bijinya yang langsung dikerubungi oleh hewan pengisi waktu sore itu. Sebenarnya, ia hanya mengisi waktu luangnya saja sebelum kereta kuda dari mansion datang untuk menjemput. Terdengar berlebihan memang ketika mengingat umurmu sudah cukup dewasa untuk menunggang kuda seorang diri sebagai kendaraan pulang pergi sebagaimana murid akademi menengah atas lainnya.

Seekor merpati putih yang ditunggu-tunggu menampakkan diri di tengah kerumunan burung gereja lainnya. Naruto tersenyum sekilas, lalu menghampirinya dengan gerak halus. Dielusnya bulu berwarna putih bersih tersebut dengan penuh hayat, lalu jemarinya mengarah pada dua tungkai kaki merpati yang mengikatkan gulungan kertas sederhana.

Setelah melepas kaitan talinya, Naruto menarik secarik kertas yang digulung rapih. Bersamaan dengan itu, ia melepas merpati untuk kembali terbang. Perhatiannya tak luput beralih dari tulisan seseorang yang begitu apik dituang di atas kertas dengan tinta hitam.

Hei, suratmu baru sampai tiga minggu yang lalu. Lucu sekali, ketika aku sedang menuang teh untuk bersantai di pekarangan rumah, merpati datang dan menabrak tubuhku. Sepertinya dia kelelahan, hahaha!

Bagaimana sekolahmu, hm? Jangan berbuat hal yang ceroboh dan berprilakulah yang baik! Berapa umurmu sekarang? Sembilan belas tahun, astaga! Keponakanku sudah dewasa rupanya, ah.

Naruto tersenyum sekilas saat mendapati kalimat terakhir yang dibaca dari sang bibi, Sara. Wanita itu memang selalu bisa membuatnya tersenyum walau hanya melihat dari tulisannya saja. Rasanya sulit ketika kau hanya bisa menorehkan rasa rindu pada keluarga yang menghirup udara di tempat yang sama, ibukota, namun seolah kau terkekang oleh orang-orang yang kini merawatmu di dalam rumah besar super elit.

Naruto mengusap wajahnya pelan. Sudah terhitung dua tahun belakangan ini ia melakukan kontak dengan bibinya itu melalui surat menyurat yang diantar oleh burung berbulu putih itu. Waktunya pun sangat tidak menentu. Bisa berbulan-bulan ia menunggu kedatangan merpati yang selalu mampir ke pelataran akademi hanya untuk memastikan apakah ada gulungan kertas yang terikat di kaki kecil itu atau tidak.

Ia pun sangat berhati-hati dengan tidak menyimpan tumpukan surat dari bibinya itu di kediamannya yang sekarang. Mungkin ayah angkatnya itu akan mencurigai dirinya jika menemukan tulisan-tulisan bibinya. Seperti pada umumnya pihak akademi selalu menyediakan lemari penyimpanan pribadi untuk para muridnya, dan Naruto selalu menyimpan surat-surat bibinya itu disana.

Kepala pirangnya menoleh saat mendengar suara langkah kaki yang tak sengaja menginjang batang kecil di dekatnya. Mungkin niatnya ingin menghampiri secara diam-diam, tapi cerobohnya kaki jenjang milik sosok yang baru saja muncul dihadapan Naruto itu menginjak sesuatu hingga menimbulkan suara.

"Kau tidak pulang?"

Suara khas perempuan bersurai gulali yang berdiri di depannya membuat Naruto beranjak dari posisinya seraya memasukkan suratnya di balik jubah. Sakura terlihat meneliti kegiatan apa yang sedang pemuda pirang itu lakukan di kala sore ini ketika yang lain telah kembali untuk mengistirahatkan tubuh ke rumah masing-masing.

"Kulihat kereta kuda datang di gerbang utama untuk menjemputmu." Perkataannya kembali membuat Naruto mengangkat kedua alisnya sesaat, kemudian terkekeh kecil.

"Oh, baiklah! Kalau begitu aku pulang terlebih dahulu, terima kasih sudah mengabariku!" seru Naruto seraya melambai, berjalan melewati Sakura dengan langkah yang sedikit tergesa. Jika tidak ada kegiatan yang mengharuskan untuk tinggal sementara di akademi, Naruto tidak punya alasan untuk mengelak pulang sekarang ini. Lagipula, rencananya ia esok akan menunggang kuda sendirian untuk berangkat ke akademi.

Entahlah, rasanya jengah juga ketika setiap hari diperlakukan seperti anak-anak yang harus diantar jemput ke akademi. Melihat istal kuda yang selalu penuh dengan orang-orang untuk menunggang kuda dengan hentakan yang kuat dan jubah berkibar, mengunjungi rumah yang disambut hangat oleh keluarga cukup menjadi mimpi sederhana Naruto jika teringat mendiang orang tuanya.

"Rindu sekali aku," gumam Naruto seraya meregangkan otot-otot tangan dengan nikmat. Kakinya melangkah menuju kereta kuda, dan melayangkan senyum ramah menyapa sang kusir.

"Maaf menunggu lama, Sir."

Pria berperawakan sedang yang duduk di posisi kursi sebagai kusir itu terlihat melambaikan tangan di depan wajah.

"Oh, tidak tuan muda. Saya baru saja sampai sekitar lima menit yang lalu." Suara pria renta menyahut sopan dengan senyum yang membentuk kerutan di wajahnya. Tanpa babibu, sang tuan langsung memasuki kereta kuda, dan tali kekang dihentak hingga suara kuda yang meringkik membawa mereka melaju meninggalkan akademi.

Naruto membuka jendela kereta yang langsung disambut terpaan angin pada wajah dan helai rambutya yang bergerak liar. Angin musim gugur terasa dingin di kulitnya. Sudah dua minggu ayah angkatnya itu tidak terlihat di mansion, sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri Matsuri bilang.

Masih sangat hangat diingatannya terakhir ia berkunjung ke kediaman keluarganya untuk merayakan ulang tahun. Naruto pikir itu hanya sebuah mimpi buruk yang terasa nyata menampar wajahnya kala itu. Sasuke semakin gencar memberi pengawalan ketat melalui pelayan mansion yang selalu menemaninya kemana-mana, hingga ketika usianya menginjak umur lima belas tahun, dengan lantang Naruto menyuarakan pendapatnya tepat dihadapan Sasuke dan ketiga rekan yang selalu terlihat bersamanya akhir-akhir itu.

"Aku tidak tahu apa yang membuatmu terus mengekangku dengan pelayan-pelayan mansion itu, dad."

Sasuke memandang tepat pada wajah bergaris kucing dihadapannya tanpa ekspresi, menunggu si pirang yang terlihat akan melanjutkan kalimatnya dengan wajah yang menahan kesal. Sebenarnya, ucapannya itu cukup mengenai Sasuke untuk sesaat saat itu.

Tiga sosok elit lainnya masih dalam posisi yang sama dengan raut yang kentara tegang. Sejauh ini, belum ada yang berani menentang pimpinannya itu dihadapan yang lain. Dulu, pernah ada seorang wanita yang berani menentangnya, dan sekarang sifat wanita itu menurun langsung pada anak semata wayangnya.

"Sejujurnya, aku cukup muak ketika semua kegiatan sekolahku dibatasi seperti ini," Sapphire sebiru langit musim panas memandang sang raven dengan kilat yang menyala. Tidak ada respon dari pria yang ditujunya itu. Sosoknya masih bergeming kaku pada posisinya yang duduk angkuh di atas kursi kebesarannya di ruang utama.

"—dad."

Sejak saat itu, Naruto lebih banyak menghabiskan waktu untuk berkutat dengan sekolahnya. Ia menjadikan orang-orang di tempatnya itu sebagai sumber ilmu tanpa memandang usia. Naruto bahkan tak segan untuk mengunjungi kepala sekolah akademi menengah atasnya itu, Tsunade, sebagai tempat referensi ilmu bela diri yang ditekuninya. Kepribadian yang hangat dan ramah juga sebagai pendukung dirinya dalam berinteraksi sehingga mudah di dekati.

Walau sebenarnya Naruto tahu jika secara diam-diam dirinya masih diawasi oleh ayah angkatnya itu melalui orang-orangnya. Bahkan, hanya untuk sekedar melakukan penelitian bersama teman senior setimnya, Yamanaka Ino, di hutan akademi, Naruto tidak bodoh untuk tidak menyadari berapa mata yang mengawasinya dibalik batang-batang pohon konifer itu. Sungguh berlebihan menurutnya.

Sikap ayah angkatnya itu terkesan meragukan dirinya, sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di lantai berlapis marmer mewah itu. Naruto memang merasa terlindungi oleh kehadiran pria yang mengadopsi dirinya itu. Namun, ketika mata benar-benar terbuka melihat dunia yang sebenarnya, keyakinan itu sedikit goyah.

Rasa terlindunginya seolah bertransformasi menjadi kekangan yang hampir tidak berujung.

Sejak dulu, ketika Naruto pertama kali bertemu dengan Uchiha Sasuke, otak kecilnya selalu bertanya-tanya. Kenapa sikap ayah angkatnya itu cepat berubah? Terkadang hangat dan menyenangkan, namun tak lama menjadi dingin nan kaku, seolah pandangannya menusuk tepat pada sapphire jernih yang berada di dekapannya.

Naruto menutup kembali jendela yang sebelumnya ia buka. Tubuhnya ia sandarkan pada kursi, lalu memejamkan matanya dengan perlahan. Hatinya selalu memiliki keyakinan yang dipegang teguh sejak dulu. Keluarganya yang pertama menanamkan keyakinan itu.

Bahwa, untuk mencapai tujuan hidup, kau harus mengorbankan sesuatu entah itu sesuatu yang berharga atau tidak.

.

"Selamat datang, tuan muda."

Matsuri menyambut kedatangan sosok pemuda bersurai pirang dengan jubah yang bergerak seiring dirinya berjalan. Yang dituju hanya tersenyum, lalu berjalan melewati sang pelayan yang terlihat berjalan mengikutinya.

"Oh!" Naruto menghentikan langkahnya tiba-tiba. Hal itu cukup membuat Matsuri tersentak, dan menghentikan langkahnya juga.

"Ada apa, tuan?" sahut wanita itu terheran-heran melihat gelagat pemuda yang tengah menunggunginya itu. Naruto sedikit menolehkan kepalanya lewat ekor bahu.

"Bisa aku minta tolong? Makan malam hari ini aku ingin penutup kue jahe yang agak manis," kalimatnya membuat Matsuri mengangkat kedua alisnya, mengerjapkan mata beberapa kali.

"A-ah, tentu saja! Aku akan membuatnya sekarang." Matsuri membungkukkan tubuhnya sekilas, lalu beranjak pergi meninggalkan Naruto yang terus mengamatinya lewat ekor mata hingga sosoknya hilang dari jangkauan, pergi menuju arah dapur.

Naruto menghela napas lega. Setidaknya, ia merasa bebas ke kamarnya sekarang tanpa perlu diikuti oleh pelayan berambut pendek itu. Agaknya risih juga setiap pulang ke kediaman ini, ia langsung mendapati entah itu dua atau satu orang yang mendampinginya hanya untuk sampai ke kamar. Berbeda jika dirinya berada di akademi, Naruto lebih bebas berkeliaran di lingkungan itu walau tak menutup kemungkinan orang-orang suruhan Uchiha Sasuke terus mengintainya lewat pagar-pagar bangunan akademinya.

Naruto memutar knop pintu kamarnya, lalu mendorong daun pintu dengan perlahan dan menutupnya kembali setelah dirinya masuk. Ia melepas jubahnya dan melipat rapih sebelum diletakkan diatas nakas meja. Matanya melirik pada tirai jendela yang menjuntai hingga menyentuh lantai kamarnya, lalu berjalan menghampirinya. Dengan sekali tarik, angin malam menyapa wajah ketika jendela terbuka sepenuhnya. Walau dinginnya menusuk kulit, namun Naruto tetap menyukainya ketika sensasi itu datang.

Langit malam tanpa bintang hari ini cukup membuat Naruto menikmatinya. Cahaya bulan yang sebagian tertutupi awan menyorot tipis memasuki penglihatan. Saat Naruto melihat ke arah gerbang utama mansion dari posisinya sekarang yang berada di balkon kamar, sebuah duesenberg melintas melewati susunan besi kokoh tersebut yang terbuka, lalu memasuki kawasan mansion.

"Apa dia telah kembali?" gumamnya entah pada siapa.

Matanya masih menyorot setia aktivitas orang-orang yang berada di lantai satu mansion. Pintu duesenberg terbuka, sosok angkuh seorang pria menampakkan diri bersama mantel hitam yang melekat pada tubuh atletisnya. Dua orang pelayan mansion menyambut kehadiran sang tuan besar dengan formal, lalu mengantarnya memasuki pintu utama hingga sosoknya menghilang.

Naruto beranjak dari tempatnya. Dilihatnya jam dinding yang menempel di atas headboard ranjang tempat tidur menunjukkan pukul delapan tepat. Jam makan malam sudah tiba, namun ia belum berniat pergi meninggalkan kamarnya. Iris birunya melirik pada tumpukan buku yang tersusun rapih di atas lemari kayu. Tiga hari yang lalu, ia memang meminjam buku dari perpustakaan akademi untuk penelitiannya, tapi belum sama sekali tersentuh.

Biasanya Naruto akan terbangun pada tengah malam. Mungkin semacam alarm yang sudah ia miliki dibawah alam sadarnya sehingga ia nantinya akan membaca buku untuk beberapa menit. Naruto kembali melanjutkan langkahnya menuju daun pintu hendak memutar knop.

Sosok jangkung seorang pria langsung menjadi pusat perhatian Naruto ketika daun pintu kamar terbuka lebar. Pemuda pirang itu tersentak kaget saat melihat ayah angkatnya sudah berdiri tepat dihadapannya, memandang dengan mata elang khas miliknya.

"Selamat malam, dad!" Naruto berucap cepat seraya membungkukkan tubuh sekilas. Ketika sapphire bertubrukan langsung pada batu malam di depannya, tubuh Naruto seolah seperti tersengat listrik hingga mampu membuat bulu kuduknya berdiri.

Sasuke terlihat memandang lekat, meneliti setiap detail pemuda berkulit tan dihadapannya itu. Pandangannya datar seperti biasa, namun terkesan dingin. Pria itu berjalan perlahan mendekati sosok anaknya itu. Naruto yang menyadari gelagatnya langsung mengenyampingkan tubuh, membuka akses jalan pria tersebut yang terlihat memasuki kamarnya.

Mata elangnya terlihat meneliti setiap sudut ruangan yang dimasukinya sesaat, lalu melangkah menuju kursi yang berada di samping ranjang untuk mendudukkan diri. Punggung kokohnya menyandar pada kursi seraya menyilangkan sebelah kaki, memandang lurus pada objek yang berdiri kaku di depannya.

"Bagaimana kabarmu?"

Satu pertanyaan terlontar dari bibir pucat itu. Naruto mengerjap beberapa kali, mencoba untuk menepis rasa gugup yang secara perlahan mulai merambat dalam tubuh.

"Sangat baik." Terdengar kemantapan dalam jawabannya. Sasuke menaikkan sebelah alis tanpa mengalihkan perhatian.

"Dimana ucapan selamat datang ku?" bersamaan dengan baritonnya yang kembali mengudara, Sasuke meraih sembarang buku yang berada di sampingnya, lalu mulai membuka lembaran demi lembaran.

Naruto mengangkat sebelah alisnya, merasa heran. Otaknya yang kebetulan cukup berada di atas rata-rata mulai mengolah kalimat itu. Ia masih mengamati perilaku pria berkulit pucat itu yang terlihat sedang membaca buku, dan Sasuke tentu menyadarinya.

Okay, Naruto mengerti sekarang.

"Tuan muda, makan malam sudah siap—"

Sosok pelayan wanita tercekat saat menyadari bahwa sang tuan besar berada di dalam kamar tuan mudanya. Wanita itu langsung memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya sembilan puluh derajat.

"Matsuri!" seru Naruto sesaat menolehkan kepala, dan mendapati sosok wanita bersurai cokelat itu di ambang pintu kamarnya. Dengan gerak cepat, Naruto langsung menghampiri wanita itu dan menarik tangannya. Ia sedikit memposisikan keduanya dibalik dinding sehingga Sasuke tidak dapat melihatnya.

"B-bagaimana kue jahenya?" Matsuri mengerjapkan mata beberapa kali, memandang kikuk pada pemuda yang masih menggenggam tangannya.

"E-eh? Ah, sudah aku buat, tuan muda." Ujarnya sedikit terbata.

"Bagus."

Matsuri dapat melihat bola mata berwarna biru jernih dihadapannya itu bergetar. Belum lagi, genggaman lembut dari tuan mudanya itu yang belum terlepas. Cukup membuat rona samar di kedua pipi pucat wanita itu terlihat.

"Naruto," gumam Matsuri pelan. Mata cokelatnya memandang lekat pada netra biru di depannya.

"Apa?" balas Naruto cepat.

"Kau— gugup?" pertanyaan Matsuri membuat Naruto mengangkat kedua alisnya, lalu menyipitkan mata. Tangannya melepas genggaman pada Matsuri dengan perlahan. Tubuhnya kembali tegak seperti biasa.

"Kenapa aku harus gugup?" Naruto kini mengerutkan keningnya, tidak mengerti. Sebenarnya ada apa hingga pelayan wanita ini bisa bertanya seperti itu?

"Entahlah, oh!" Matsuri sedikit tersentak saat matanya menangkap sosok tuan besarnya bersandar di ambang pintu, memperhatikannya.

"Sepuluh menit lagi Naruto makan malam, pelayan."

Naruto terkejut hingga memundurkan langkahnya, lalu kepalanya menoleh cepat. Sasuke sudah berada tepat dibelakangnya, menumpu sisi kiri tubuhnya di ambang pintu, menatapnya tanpa emosi.

"T-tentu saja, tuan besar." Matsuri dengan tergesa pamit mengundurkan diri dari hadapan kedua tuan rumahnya itu. Wanita itu tidak tahan dengan aura yang memancar dari kedua sosok laki-laki itu.

Naruto hendak ingin menahan Matsuri, namun ia urungkan. Suaranya seolah tercekat di tenggorokan, tidak sampai hingga bibir untuk dikeluarkan. Matanya masih setia menatap punggung sang pelayan yang semakin mengecil di penglihatannya.

"Jadi, dimana ucapan selamat datang untukku?"

"Seperti misalnya?" respon Naruto retoris. Setahunya, ia pernah memberi kejutan selamat datang untuk guru di akademinya yang telah kembali dari dinas luar kota selama dua bulan. Anak-anak yang lain membawakannya kue kering yang dibuat bersama-sama di akademi.

"Pelukan atau ciuman." Entahlah, suara beratnya itu bahkan terdengar seperti pernyataan mutlak dibanding memberikan dua pilihan. Naruto menggaruk pipinya yang tidak gatal dengan telunjuk, mengalihkan perasaan tidak nyaman yamg kembali menyergap.

Diam-diam pemuda pirang itu menghela napasnya pelan. Untuk kali ini saja, Naruto harus mengenyampingkan egonya tanpa mempedulikan perasaan semacam gugup atau malu hanya karena usianya yang sudah menginjak sembilan belas tahun.

Dengan sisa tenaga yang ia miliki, kaki jenjangnya melangkah perlahan mendekati Sasuke. Tanpa berpikir panjang kembali, kedua tangannya terangkat, lalu meraih pinggang kokoh milik ayah angkatnya itu, memeluknya erat.

Sasuke mengedipkan mata beberapa kali saat merasa tangan tan yang melingkar di pinggangnya itu cukup erat mendekapnya. Bukan apa-apa, hanya saja, ia merasa khawatir jika nantinya Naruto sendiri yang tidak bisa bernapas melihat wajahnya yang tenggelam pada dada bidangnya itu.

Lagi-lagi rasa itu muncul. Rasa dingin yang membuat Naruto seperti merasakan angin malam yang menusuk, yang mampu membuatnya menggigil dalam dekapan.

Suhu tubuh Uchiha Sasuke.

Wajah bergaris kucing itu terangkat, memandang tepat wajah tegas milik pria raven di dekatnya. Garis bibirnya tertarik melengkung, tersenyum hangat menampilkan deretan giginya yang putih.

"Selamat datang kembali,"

Sasuke sedikit menarik sudut bibirnya seraya mengangkat sebelah alis. Jemari beruratnya menyisir helai pirang keemasan dihadapannya dengan telaten. Bulu mata lebat nan lentik menghiasi kelopak mata beriris sapphire kesukaannya, bersama dua belah bibir plum yang selalu membuatnya penasaran untuk dicicipi.

Anaknya semakin mempesona saja.

"—dad."

.

Langkah seorang perempuan dengan seragam khas akademi menengah atas ibukota, Bukares, sedikit tergesa memasuki sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Ino sedikit merapihkan rambutnya sebelum mengetuk pintu rumah, dan menyahut pada orang dalam.

"Bibi, aku pulang!"

Ino memutar knop pintu beberapa kali, namun terkunci. Suara langkah kaki yang mendekat dari dalam pintu terdengar, dan disusul oleh suara kunci yang memutar. Daun pintu terbuka, menampakkan sosok wanita bersurai pirang pucat yang menggunakan gaun rumahan.
Ino langsung memasuki rumahnya. Matanya menjelajah setiap sudut ruangan yang rapih seperti biasa seraya meletakkan barang bawaannya di atas meja.

"Kau sudah makan?" Ino menoleh saat mendapati pertanyaan wanita berkulit pucat itu yang melenggang pergi menuju dapur.

"Umm- belum," ujar Ino ragu. Ia bisa mendengar bunyi peralatan dapur dari sekat belakang. Aroma daging dan keju yang bercampur bisa ia cium sesaat sang bibi membawa seloyang makan malam ke meja makan.

"Bagaimana tugas tanaman herbalmu? Apa ada kemajuan?" Ino berdengung pelan, memikirkan sebuah jawaban seraya menarik kursi meja makan.

"Ya, begitulah. Aku dan Naruto masih belum menemukan tempat yang cocok untuk penelitiannya."

Pernyataan Ino membuat pergerakan tangan Shion terhenti. Mata beriris lavender itu memandang Ino tanpa berkedip, membuat objek yang dituju mengangkat sebelah alis ketika menyadari pandangan sang bibi kepadanya.

"Apa ada sesuatu?" tanya Ino, bingung.

"Oh, tidak!" seru Shion, cukup mengejutkan Ino di tempat saat mendapati suara wanita itu meninggi. Ino menghembuskan napasnya pelan seraya mengelus dada. Bibinya itu memang bisa tiba-tiba melakukan hal yang mengejutkan di matanya.

"Apa namanya Uzumaki Naruto?"

Kali ini Ino yang menghentikan pergerakan tangannya. Perempuan itu memandang sang bibi dengan kedua alis yang terangkat tinggi.

"Ya, bibi mengenalnya?"

Shion tersenyum simpul. Wanita itu tidak mungkin melupakan anak kecil berusia lima tahun yang datang bersama tuan rumahnya dulu di mansion, mantan tempat bekerjanya.

"Dulu sebelum bertemu denganmu, aku pernah bekerja di salah satu kediaman bangsawan." Ino mulai tertarik dengan kalimat pembuka dari sang bibi. Shion, wanita bersurai pirang pucat itu memang hanya bibi angkatnya. Pertama kali ia bertemu dengan Shion adalah ketika dirinya kabur dari yayasan anak.

Pemilik yayasan disana jauh dari kata baik dalam segala hal. Selalu menghukumnya dengan menenggelamkan wajah ke dalam wastafel yang penuh dengan air, tidak memberinya makan seharian, dan tamparan yang memilukan walau ia tidak pernah sedikit pun berulah adalah hal yang sehari-hari Ino dapatkan.

Kemudian, suatu pikiran nekat terlintas di otak kecil miliknya. Ia pergi diam-diam melewati penjaga yayasan yang waktu itu tengah tertidur. Keinginannya adalah pergi kemana saja asalkan tidak berada di yayasan kejam itu. Seharian Ino berjalan dengan kaki-kaki kecilnya tanpa arah tujuan, perut yang lapar, hingga akhirnya jatuh pingsan di daerah pinggiran kota yang waktu itu tidak banyak orang berhilir mudik.

Saat itu, sebuah kereta kuda melintasi jalan setapak. Entah apa yang membuat Shion menggerakkan tangannya untuk membuka jendela kereta kuda. Semilir angin berhembus menerpa wajahnya. Manik lavender miliknya menengok ke luar, mencoba untuk menenangkan pikiran. Namun, sesuatu mengalihkan perhatiannya.

Sosok kecil yang tergeletak di dekat jajaran pohon konifer membuat sang kusir kereta menghentikan pacuannya. Shion beranjak keluar dari kereta kuda, lalu bergegas pergi untuk menghampiri satu-satunya objek yang tak sadarkan diri disana. Dilihatnya seorang anak perempuan dengan wajah kotor tak sadarkan diri tanpa barang bawaan apapun. Tanpa berpikir panjang, Shion mengangkat tubuh ringkih tersebut dan membawanya ke dalam kereta kuda.

Sejak kecil, Ino tidak pernah mengetahui siapa orang tua sesungguhnya, dan mungkin, keinginan untuk mengetahuinya semakin terkikis hilang di makan usia. Tujuannya sekarang hanya satu, masa depannya.

"Tuan rumah disana mengadopsi seorang anak bermata biru, dia sangat kecil dan menggemaskan."

Ino mulai menyendok makanannya, hendak memasukkannya ke dalam mulut tanpa berniat mengalihkan perhatian dari Shion. Ino tahu siapa sosok sebenarnya wanita dihadapannya ini. Shion pernah mengatakan jika dirinya tidak seperti kebanyakan manusia lain, Shion gemar mengonsumsi darah. Namun, bibi angkatnya itu lebih gemar meminum darah hewan ternak.

Tak seperti kebanyakan vampire yang sering ia baca di koran harian. Membunuh manusia atau hewan ternak secara brutal, Shion bukanlah jenis makhluk seperti itu. Ino mempercayainya, dan sangat berterima kasih karena telah merawatnya hingga sampai tumbuh sebesar ini.

"Kau tahu, saat aku pertama kali melihatmu, aku langsung teringat oleh Naruto. Kalian begitu mirip sekali, kecil dan menggemaskan!" Ino yang mendengar hal itu sontak menundukkan kepala. Sesekali manik aquamarine miliknya melirik pada Shion yang tengah tersenyum jahil.

Sepertinya Shion berniat untuk menggodanya. Wanita itu tahu benar jika perempuan yang baru memasuki kepala dua itu senang untuk dipuji walau hanya sekilas. Ino memang termasuk ke dalam perempuan centil dalam artian penampilan, namun ia bisa berubah menjadi sangat pemalu jika sudah mendengar pujian untuknya. Tipikalnya.

Mendengar penjelasan dari sang bibi dapat Ino simpulkan jika pemuda bersurai pirang keemasan itu memang bukan orang sembarangan. Hampir setiap hari Ino selalu melihat dirinya diantar oleh kereta kuda atau sebuah duesenberg jika melihat orang-orang akademi yang lain sering menggunakan kuda seorang diri. Namun, sifatnya yang ramah dan hangat seolah menutupi kenyataan itu.

"Aku yakin sekarang dia telah menjadi pemuda yang tampan dan manis, ah, bagaimana aku menjelaskannya?" ujar Shion diiringi oleh tawaan ringan.

"Siapa?" sahut Ino sedikit ketus.

"Tentu saja Naruto!" Shion menghentikan tawanya seraya mengerling. Ino terlihat mengepalkan tangannya di atas meja, bibirnya mengulum kering seolah menahan sesuatu yang bergejolak dalam diri.

"Aku sangat benci mengakuinya," Shion mengangkat kedua alisnya saat mendengar ucapan sang keponakan. Ino terlihat seperti remaja yang uring-uringan menahan emosi hanya untuk sekedar mengatakan kebenaran.

"—tapi bibi benar."

Ino menghembuskan napasnya lega. Gelagatnya itu cukup membuat Shion mampu menahan tawa.

Kenapa hanya untuk sekedar mengungkapkan isi hati rasanya sulit sekali bagi Yamanaka Ino?

.

Pagi buta biasanya selalu bercengkrama dengan hawa dingin yang berhembus melalui bebatangan konifer. Sebuah bangunan kokoh nan terisolasi bersama fasad mendetail di antara pilar-pilar di bagian selatan kota terlihat mencekam dan hening, berkebalikan dengan salah satu penghuni yang telah bangun dari tidurnya.

Pemuda bersurai pirang keemasan tengah mengenakan jubahnya dengan telaten, bersiap untuk pergi menuju istal kuda yang berada di dekat taman belakang mansion. Ia berencana untuk menunggangi kuda ke akademinya di pusat kota tanpa pengawalan sang kusir. Naruto sesekali melirik ke arah daun pintu kamarnya yang masih tertutup rapat, belum sama sekali ia sentuh.

Ia belum mendengar sayup-sayup suara orang yang berada di dalam mansion. Wajar saja, jarum pendek jam masih menunjukkan tepat pukul lima pagi dan ia sudah tampil bersiap diri menuju ibukota, Bukares. Langit masih gelap di luar sana. Naruto tidak ingin telat hanya karena menghabiskan banyak waktu untuk berpikir di dalam kamarnya.

Sekarang ini ia hanya membawa beberapa kantung berisi buah dan gandum bersama air yang berada di dalam botolnya. Naruto memang menyediakan makanan tambahan di dalam kamarnya sehingga ia tidak perlu repot-repot pergi ke dapur mansion hanya sekedar untuk mengambil makanan ringan atau pengganjal perut. Pemuda itu terlalu malas untuk menghabiskan energi berharganya.

Naruto mengusak rambutnya dengan nikmat seraya berjalan menuju daun pintu, memutar knopnya yang langsung dihadiahi aura dingin dan hening. Biasanya Matsuri selalu menyambutnya bersama senyum manis yang bertengger di wajah, sekedar menyapa selamat pagi.

Tanpa menimbulkan suara yang berarti, Naruto kembali menutup daun pintu tanpa menguncinya. Ia berjalan melalui koridor yang sepi selayaknya mansion Uchiha Sasuke. Langkah kakinya menghentak perlahan bergesekan dengan marmer nan dingin. Naruto menuruni anak tangga utama yang menghubungkan lantai dua dengan lantai pertama.

Matanya menangkap pintu utama kediaman yang bercorak rumit, masih terlihat tertutup rapat. Naruto tidak perlu repot-repot mencari pelayan hanya untuk sekedar menyuruhnya membukakan pintu atau gerbang utama. Tujuannya saat ini adalah istal yang berada di sebelah timur, dekat taman bunga. Kakinya berjalan mendekati pilar-pilar penghubung pintu utama dengan balai mansion. Namun, saat jemarinya hendak menyentuh gagang pintu, sapaan seseorang membuatnya menggantungkan tangan di udara.

"Mau kemana, hn?"

Naruto sontak terkejut di tempat. Tubuhnya langsung membalik cepat saat mendengar suara yang sangat dikenalnya. Manik sapphire langsung terfokus pada sosok pria yang duduk tenang di kursi kebesaran, membaca buku dengan salah satu kaki yang ditopang. Naruto melangkah kecil, lalu kembali berhenti. Tubuhnya membungkuk hormat, lalu menegakkannya kembali. Gerak matanya sedikit kaku, kentara salah tingkah jika diteliti lebih dalam.

"Buna dimineata, dad!" (Selamat pagi, ayah!)

Sasuke masih bergeming tenang di tempatnya walau buku kini telah menutup di pangkuan. Mata elang menyorot datar, namun menyiratkan rasa tajam yang tak ramah pada sang anak.

"Mau kemana kau?"

Bariton kembali bergema. Kini perhatian terpusat penuh pada sosok pemuda dengan surai pirang yang berantakan namun terasa halus jika disentuh. Tatapan mata birunya terlihat kuat untuk digoyah walau indah secara bersamaan.

"Aku– akan pergi ke akademi, dad." Naruto berusaha untuk tidak kehilangan dirinya. Sesekali jemari tan menari dalam diam, mengalihkan bubuk salah tingkah yang mulai merambat menaiki tubuh.

"Tanpa pengawalan?" sahut Sasuke masih dengan nada yang sama. Naruto bahkan sedikit bingung dengan pertanyaannya yang satu itu. Apa ada masalah besar jika berangkat seorang diri ke akademi tanpa pengawalan? Naruto tertawa dalam hati.

"Ya, apa— ada yang salah?" Naruto kembali menyuarakan pernyataannya ketimbang sebuah pertanyaan. Sasuke sedikit memicing ketika melihat gerak tubuh pemuda bergaris kucing tersebut terkesan menolak kalimatnya.

"Berkuda sangat menguras tenagamu untuk sampai ke ibukota, banyak kesalahanmu untuk pagi ini."

Kedua alis Naruto yang sedikit berkedut untuk menyatu tak mampu menyembunyikan gejolak tertahan di dalam tubuh. Ada perasaan ingin mengelak, namun masih ia tahan sampai saat ini. Sebenarnya, Naruto cukup tersinggung dengan kalimat pria raven yang duduk angkuh beberapa meter dihadapannya itu.

Ingin bertindak, namun ia takut dicap sebagai anarkis yang mengemis perhatian.

"Aku— tidak, kalimatmu tidak sepenuhnya benar." Hanya itu yang bisa Naruto keluarkan. Itu pun sudah sehalus dan sehati-hati mungkin ia merangkai kata-kata. Jangan sampai di pagi hari yang cerah seperti ini mood pemuda pirang itu hancur hanya karena hal sepele seperti ini, menurutnya.

"Kalau begitu, aku pamit undur diri, dad." Dengan gerak cepat Naruto kembali memberi hormat, dan membalikkan tubuh. Ia berjalan secepat mungkin menuju istal, tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama di mansion.

Seekor kuda hitam terlihat tengah mengendus jejak rumput di tanah yang dipijak. Naruto tersenyum dari kejauhan, lalu mengelus pucuk kepalanya ketika sudah mendekat. Axr, nama yang ia berikan untuk jenis kuda Frisia dihadapannya ini. Saat pertama kali ia memulai pelatihan berkudanya bersama Tayuya, pelayan mansion sekaligus guru berkudanya, Naruto hanya tidak bisa mengekspresikan dirinya untuk mampu menemukan partner kuda yang cocok. Namun, seekor Frisia jantan yang terlihat gagah berjalan mendekatinya, lalu mengendus-endus tubuh Naruto sebelum akhirnya menjilat wajahnya.

"Selamat pagi, kawan!"

Suara ringkik kuda membalas sapaan sang tuan. Naruto terkekeh pelan, masih membelai bulu-bulu halus hewan tunggangannya. Tanpa menunggu lebih lama, ia menginjak sanggurdi dan membawa tubuhnya menaiki sisi atas kuda. Jubah berkibar seiring tali kekang yang menghentak. Ia menunggang kuda mendekati gerbang utama mansion.

Untuk saat ini kubiarkan kau lolos,

Naruto mengecilkan laju kudanya saat menangkap sesuatu yang tak asing. Bisikan, tidak. Fibra yang menyamar bersama desiran angin yang menghembus disekelilingnya. Bulu kuduknya berdiri tegak tanpa perintah. Naruto mengamati sekitarnya tanpa mengurangi pertahanan. Namun, kembali ia dengar satu kata dengan suara dalam yang mampu membuatnya goyah.

baby.

Naruto menarik tali kekangnya, membuat sang kuda menghentikan pacuan. Kepala pirangnya menoleh, tepatnya pada bangunan mansion yang berdiri kokoh dibelakangnya. Berkas sinar matahari yang mulai menyorot tipis membuat Naruto agak menyipitkan mata. Bangunan mansion paling atas yang tak pernah ia kunjungi sama sekali, yaitu balkon utama bangunan bak kastil tersebut layaknya seorang Raja yang tengah menyambut ratusan rakyatnya. Uchiha Sasuke berdiri tegak disana, seorang diri bersama tubuh yang membelakangi sinar matahari sehingga membuat dirinya terbias oleh bayangan.

Angin pagi menerbangkan helai pirang Naruto dengan lembut, memainkannya. Ia mengerjap pelan, seolah tengah menghayati sesuatu. Manik birunya terpaku pada sosok pria yang mampu membuatnya merasakan banyak kejanggalan, namun tak bisa dipungkiri jika Uchiha Sasuke bisa bersikap baik.

Mungkin hanya padanya.

"Jangan pernah meremehkanku, dad." Kalimat itu Naruto ucap pelan tanpa mengalihkan perhatiannya yang terpaku pada sosok pria raven tersebut. Ia tahu benar jika ayah angkatnya itu tak perlu mendekatinya hanya untuk mendengar kalimat sederhana itu.

Uchiha Sasuke tersenyum, tidak. Bibir pucatnya menyeringai kecil. Anaknya itu memang indah untuk dipandang, semakin mempesona saat bias-bias sinar matahari pagi menyorot halus wajah tannya. Helai pirang keemasan menari-nari saat angin mulai bergerak, memainkannya.

"Jangan pernah meremehkan manusia," kembali Naruto berucap tanpa gentar.

Seringai yang bertengger di wajah memudar hilang, tergantikan oleh wajah stoic yang menyorot kaku.

Sejak kapan dirinya pernah meremehkan makhluk penjilat yang menyembah Tuhannya itu?

Sasuke terkekeh pelan. Anaknya itu harus mendapat sedikit pelajaran darinya.

Naruto terkejut bukan main ketika memalingkan wajahnya, di sampingnya sudah berdiri sosok Uchiha Sasuke. Pria itu berjalan mendekatinya, mengarahkan tangannya pada dada Naruto, lalu menarik pakaiannya dengan kekuatan penuh. Tubuh Naruto tersentak dan hampir jatuh di atas kuda jika kakinya tak mampu menahan diri pada sanggurdi kuda.

Rahangnya dicengkram erat oleh jari-jari putih nan berurat itu. Bibir ranumnya dibungkam, dikunci sangat dalam oleh sosok yang mengadopsinya ketika ia berumur lima tahun. Naruto memejamkan matanya, menahan nyeri saat merasakan bibir bawahnya digigit hingga menyisakan aroma besi yang tercium. Tangannya menahan pundak lebar milik Sasuke, hendak melepaskan pagutan yang menyesakkan diri.

Naruto terengah saat berhasil melepaskan diri. Wajahnya memerah, kehilangan pasokan udara dan mungkin karena alasan lainnya. Benang saliva tak luput ia lihat saat menjauhkan wajahnya dari ayah angkatnya itu.

"Apa yang kau lakukan!?" desis Naruto tak percaya.

Sasuke mengusap sudut bibirnya yang mengecap rasa manis dengan ibu jari. Ia tersenyum sinis melihat jejak merah yang tertinggal di sudut bibir sang anak yang terlihat penuh itu.

"Kau tahu? Aku bisa saja menyeretmu ke ranjang sekarang, mengurungmu lebih lama, atau membuatmu sulit bernapas hingga kau tak mampu merasakan hidupmu lagi."

Naruto tak bisa berpikir jika kalimat itu hanyalah sebuah guyonan belaka. Mata hitam itu, bibir pucat nan dingin yang barusan menciumnya dalam, semua tak pernah lepas dari ancaman yang mengibarkan bendera perang dari sudut pandang Naruto.

Tanpa berpikir panjang, Naruto langsung menghentak tali kekangnya, memacu kuda keluar gerbang utama menjauhi mansion. Tentunya semua itu tak luput dari perhatian Uchiha Sasuke yang memandang dalam diam.

Aku tidak pernah bermain-main, Naruto.

Kembali Naruto merasakan sinyal fibra yang membuat bulu kuduknya berdiri. Sepanjang perjalanan ia menunggang kuda, pikirannya tak bisa memfokuskan diri. Bibir ranumnya bergetar, seolah sedang menahan linangan air mata yang akan keluar.

Kenapa hatinya merasakan gelenyar yang menyakitkan hingga mampu membuatnya menangis di pagi hari yang cerah ini?

Naruto menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya panjang. Ia berusaha untuk mengontrol emosinya. Kalimat Sasuke itu cukup mengenai perasaannya. Entahlah, Naruto bahkan tidak yakin dengan dirinya sendiri. Apakah dirinya terlalu emosional atau memang kalimat pria bermarga Uchiha tersebut yang sengaja menusuk hati?

Naruto mengusap matanya cepat, tak ingin memperlihatkan jika dirinya baru saja meloloskan air mata. Jemarinya beralih pada sudut bibir yang masih terasa seperti aroma besi, lalu mengusapnya perlahan.

Naruto menghembuskan napasnya pelan. Pandangannya kembali terfokus pada apa yang berada di depannya, sedikit menajam.

Suatu saat, ia akan menaklukkan penguasa Utara itu.

Pasti.

.

Tbc.


A/n;

Terima kasih yang sudah membaca karya author hingga saat ini!

Kedepannya mungkin genre agak sedikit berubah menjadi angst soalnya author nanti mau matiin salah satu karakternya disini hehe :)

Salam hangat,

Author