©Anggara Dobby

(BOY)FRIEND

Oh Sehun — Lu Han


Length : 2/3


[Warning!]boyslove or bromance? Idk. Bahasa non-baku, ngga sesuai EBI. DLDR. Lokal!AU


.

.

.


"Aduh! Kamu ini kenapa, sih?!"

Pagi-pagi Luhan sudah menggerutu di depan rumahnya sendiri. Masalah utamanya terletak pada motor matic berwarna biru-putih kesayangannya yang mendadak ngambek. Sejak tadi dia starter motornya itu tetapi tidak mau menyala, padahal bensinnya full. Jadi, dia mencoba untuk menyela (starter manual) motornya. Tetapi, hal itu juga sia-sia karena tenaganya patut ditertawakan (serius, lho! buka tutup botol kemasan yang masih disegel saja dia selalu kesulitan). Luhan yang sudah dandan keren untuk pergi ke kampus itu jadi kesal setengah mati. Pakaian dan rambutnya jadi sedikit berantakan karena terus menyela motornya sekuat tenaga.

"Kamu jangan nyusahin! Tau situasi, dong! Aku 'kan lagi buru-buru, nih, ah!"

Lah, malah marah-marah ke motornya dia.

Luhan mencoba sekali lagi, dengan kekuatan penuh, tetapi yang ada, dia malah sedikit terjungkal ke belakang. Tolong, jangan ditertawakan, nanti dia malah mengamuk.

"Enggak bagus pagi-pagi udah marah-marah,"

Luhan menengok ke sumber suara, lalu dia mendapati Sehun dengan setelan celana training hitam dan kaus putihnya bersandar di gerbang rumahnya. Lelaki berperawakan atletis itu berjalan ke arahnya. Saat Sehun menyisir rambut hitamnya yang sedikit basah karena keringat menggunakan jari-jarinya ke belakang dan menampakkan dahi seksinya, Luhan merasa matanya terberkati.

Kenapa orang yang abis lari pagi bisa se-menawan itu, sih?

LUHAN IRI!

Sepertinya Sehun diciptakan ke dunia ini cuma mau membuat Luhan terus-terusan iri dan terpesona.

"Kenapa motor kamu?" tanya Sehun, membuyarkan pikiran random Luhan.

Ingat dengan kekesalannya, Luhan mulai mengadu pada Sehun seraya menunjuk-nunjuk motornya, seolah benda itu adalah tersangka kriminal. "Dia enggak mau nyala! Aku ada kelas pagi sekarang, Hun."

"Ya udah, enggak usah pake manyun segala. Mau dicium?" Sehun tertawa kecil.

Luhan menunjukkan kepalan tangannya di depan wajah Sehun. "Ini bisa nyampe di muka kamu, lho!"

"Halah, biasanya juga mau. Nagih malah."

"Bukan cuma nyampe di muka kamu, di selangkangan kamu juga bisa." Luhan masih mempertahankan kepalan tangannya di depan wajah Sehun.

Sehun kembali terkekeh. "Oke, aku ngalah! Sini, biar aku aja yang urus."

Luhan menepi, membiarkan Sehun menangani motornya. Lelaki itu sudah ancang-ancang untuk melakukan starter manual seraya memegang stang motor.

"Oh, iya, kenapa kamu malah bawa motor? 'Kan bisa minta anter Kak Kris atau aku?" ujar Sehun, mengurungkan niatnya sesaat untuk menghidupkan motor milik Luhan.

"Kak Kris udah jalan daritadi, mau jemput pacarnya. Emang enggak sayang sama aku dia, tuh." jawab Luhan dengan wajah tertekuk. "Terus…, kamu 'kan enggak ada kelas hari ini, Hun. Aku enggak mau minta dianterin kamu terus. Ngerepotin."

Biasanya, mereka memang selalu berangkat bersama. Tetapi, semester ini jadwal mereka berdua sering beda. Mereka berdua memang beda fakultas, namun, Sehun selalu menyempatkan diri untuk mengantar-jemput Luhan.

Dasar calon bucin! —dikutip dari perkataan Chanyeol dan Jongin, teman satu tongkrongan Sehun.

"Apa, sih? Aku enggak ngerasa direpotin, kok." Tepat saat itu juga, motor Luhan berhasil hidup.

"Apa-apaan…, aku nyoba udah puluhan kali enggak mau hidup, kamu cuma nyalain sekali, kok langsung hidup?!" Bukannya bilang terimakasih, Luhan malah protes. Hal itu mengundang tawa Sehun. Lucu sekali rasanya kalau sudah melihat Luhan marah-marah.

"Aku anter aja, ya?"

Luhan menggeleng mendengar tawaran yang diajukan Sehun. "Enggak usah, Hun. Aku berangkat sendiri aja."

"Nanti kamu pulangnya gimana?" tanya Sehun. "Motor kamu itu perlu di service, makanya enggak bisa di-starter, harus di starter manual kalau mau nyala. Kamu bisa emang nge-starter manualnya?"

"Aku bisa minta bantuan ke orang lain nanti."

"Siapa?"

Luhan mendadak gugup dengan tatapan dan nada dingin Sehun. Aduh, gawat, kayaknya dia salah bicara. Luhan sudah sangat hafal kalau ekspresi Sehun berubah seperti itu.

"Uhm—"

"Kamu mau minta bantuan orang lain, tapi kamu nolak bantuan dari aku?"

Tuh 'kan. Luhan mana bisa menolak lagi jika Sehun sudah dalam mode judes begini. Dengan satu embusan napas, Luhan akhirnya menjawab, "Iya, iya, ayo anterin aku ke kampus."

"Oke, aku ganti baju dulu. Nanti motor kamu biar aku aja yang bawa ke bengkel."

Luhan sudah tidak tau lagi harus bersikap bagaimana. Rasanya bersyukur setiap hari saja tidak cukup karena sudah memiliki teman se-peduli dan se-perhatian Sehun. Luhan jadi tidak menyesal sepuluh tahun yang lalu sudah memukul hidung Sehun dan mengomelinya karena sudah menghinanya dengan sebutan cantik. Kalau Sehun tidak melakukan itu, pasti sekarang hidup Luhan sangat monoton tanpa seseorang seperti lelaki itu yang ada di sisinya setiap saat.

"Hun!" Luhan menarik tangan Sehun yang hendak berbalik untuk menuju rumahnya.

"Kenapa?"

"Uhm…, izin cium, ya?"

Sehun melongo sebentar, mengerjapkan matanya. Lalu, dengan wajah sok datar dan sok tidak antusias, dia sedikit merunduk, mendekatkan wajahnya pada Luhan.

Luhan mengecup pipi Sehun secepat kilat. Setelah itu, dia mengalihkan pandangannya ke arah lain dengan kedua daun telinga yang memerah matang. Jantungnya berdegup dua kali lipat, sesak rasanya, tetapi menyenangkan. Tidak tau kenapa, dia mendadak ingin mencium Sehun. Luhan malu. Biasanya 'kan Sehun yang selalu menciumnya tiba-tiba.

Iya, pertemanan mereka memang kayak gitu.

"Kenapa cuma di pipi? Enggak mau di sini?" ujar Sehun seraya menunjuk bibirnya.

"Dih, dikasih hati minta ampela!" Luhan yang sedang malu bukan main itu semakin salah tingkah dengan ucapan Sehun. Dan kalau sedang salah tingkah, biasanya Luhan itu anarkis. Serangan pukulan pun melayang menuju Sehun.

"Aduh, duh! Lu—aduh!"

"Gak usah lebay, deh. Mukulnya juga gak kenceng aku."

"Gak kenceng apaan?! Kamu pake tenaga kuli gini—Atatatat! Jangan tarik rambut! Aku cium, nih?"

"Cium aja kalo bis—IHH JANGAN CIUM-CIUM BIBIR, SEHUN!"

.

"Ya ampun! Bu Sooyoung, kayaknya kita harus cepet-cepet nentuin tanggal, deh, ini. Aduuuh, manis banget sih pagi-pagi liat ginian."

"Iya, nih, Bu Yoona. Besok saya siapin bawaan buat lamaran, deh. Anak-anak udah siap juga kayaknya, nih."

Sehun dan Luhan menghentikan kegiatan unfaedah mereka, lalu menatap kedua Ibu-ibu yang sedang bicara dengan suara keras-keras seraya menyiram tanaman masing-masing. Rumah mereka hanya dipisahkan dengan dinding sebatas pinggang orang dewasa, jadi sangat mudah bagi kedua ibu-ibu itu untuk bertatapan muka dan bergosip.

Sehun dan Luhan menghela napas bersamaan.

Iya, Ibu mereka itu memang senang sekali menjodoh-jodohkan mereka.

Padahal 'kan mereka cuma temenan.

Iya 'kan?


.

.

.


"Jadi, Hun.., kapan mau nyebar undangan?"

Sehun tidak menanggapi pertanyaan menjurus meledek yang keluar dari mulut Jongin barusan. Insiden tentuin-tanggal-pernikahan-secepatnya tadi pagi ternyata didengar oleh telinga Mama-nya Jongin yang sedang membeli sayuran di abang-abang yang mangkal di depan rumah Sehun. Karena, Mama-nya Jongin itu 11-12 dengan Mamanya dan Bundanya Luhan, alias tukang gosip, jadi rumor-rumor mengenai hubungannya dengan Luhan yang otw menuju pelaminan langsung tersebar luas dan menjadi topik panas di sekitar komplek.

Dan, seperti yang diduga, Jongin menyebarkan gosip recehan itu ke teman-teman tongkrongannya.

Tidak apa-apa. Sehun sudah biasa menjadi bulan-bulanan teman-teman laknatnya ketika sedang berkumpul seperti ini. Apalagi kalau itu menyangkut Luhan, makin gencar mereka memojokkannya. Mau dibalas dengan perkataan pedasnya pun tidak akan mempan. Karena mereka sudah kebal dengan lidah berbisanya.

"Orangtua lo udah setuju, tuh. Masa' hati lo enggak tergerak buat ngeresmiin hubungan lo sama Luhan?"

"Iya, Hun. Kasian Luhan lo gantungin mulu. Udah saatnya kalian keluar dari friendzone."

Enggak tau aja mereka, kalau Luhan selalu menolak mentah-mentah jika disuruh menikah atau berpacaran dengannya. Se-tidak sudi itu Luhan padanya…, lagipula, baik Luhan, maupun dirinya, sangat nyaman dengan hubungan yang mereka jalani selama ini. Apa salahnya, sih, berteman?

"Ini bahasannya enggak ada yang lain?" ujar Sehun, datar. Dia mengisap rokoknya sambil memandang malas wajah teman-teman laknatnya; Chanyeol, Jongin, Ravi—lalu ada maba yang sekarang akrab dengan mereka, Daniel dan Lucas.

Badan beruang semua …

Sehun jadi ingat pertanyaan Luhan waktu itu,"Kalau sama temen-temen kamu yang lain, kamu kayak gini juga, nggak?" . Mendadak merinding sendiri dia membayangkan dirinya memeluk beruang-beruang bar-bar bau rokok dan matahari ini.

"Enggak ada! Gua masih penasaran sama hubungan lo dan Luhan. Sampe kapanpun gua bakal terus penasaran," Chanyeol menjawab dengan menggebu-gebu. "Hubungan lo berdua itu enggak wajar, dude!"

"Yang enggak wajar itu elo, anjing. Ngurusin idup gua mulu. Heran." balas Sehun, ketus.

"Tuh kan, tuh kan! Lo kalo sama gua suka jahat, suka kasar. Giliran sama Luhan selembut bubur bayi. Enggak adil, gua sama Luhan 'kan juga sama-sama temen lo."

Sehun menarik napasnya, mencoba sabar, walau keinginannya buat menyumpal mulut Chanyeol dengan botol teh sosro semakin menguat. "Jadi lo mau gua samain kayak Luhan? Mau gua cium? Mau gua peluk-peluk kalo malem?" tukasnya, santai.

"ENGGA LAH, NAJIS!"

Sehun mendengus. Sementara yang lain terbahak, menertawakan Chanyeol. Memang, ya, Warkop ini pasti bakal ramai kalau sudah ada mereka.

"Emang lo enggak ada perasaan ke Luhan, gitu, Hun?" tanya Ravi. Lelaki itu mengambil korek gas milik Jongin lalu menyalakan rokok merk Dunhill-nya dan mengisapnya dalam. "Udah satu dasawarsa lo barengan terus, masa' enggak ada benih-benih cinta sama kebaperan, sih?"

"Emang lo ngarepin apa dari gua sama Luhan? Gua cuma temenan sama dia. Sama kayak gua ke kalian." jawab Sehun.

"Kurang ajar emang bangsat yang satu ini, santai banget ngomongnya." celetuk Jongin.

"Lo mau gua nge-gas?"

"Nah gitu, berantem. Cakep. Saya suka keributan." —ini Lucas.

"Lo bilang lo temenan sama Luhan, sama kayak lo ke kita-kita. Tapi, gua tanya deh, perasaan sayang lo ke dia sama enggak kayak ke kita-kita?" kali ini Chanyeol yang bertanya.

Dan Sehun langsung menjawabnya dengan santai, "Ya enggaklah."

"TUH 'KAN SI ANJING!"

Maaf, ya, teman-temannya Sehun memang kasar semua.

"Dengan sikap lo yang enggak jelas gini, tanpa sadar lo udah bikin Luhan susah dapet pacar. Kalo sayang, ya tinggal bilang. Apa ribetnya, sih? Jangan terus-terusan denial, deh. Jatohnya lo ngehalangin orang-orang yang mau ngambil hati Luhan, Hun. " ucap Ravi, yang langsung mendapat decakan kagum dari yang lainnya karena sudah mengeluarkan sabda paling bijak dalam 22 tahun hidupnya yang sesat. Tetapi, mereka harus mencabut semua kekaguman itu karena kalimat Ravi selanjutnya, "Kayak gue contohnya. Jadi susah mau ngegebet Luhan."

Yeuuu fosil komodo.

"Ngomong sekali lagi depan muka gua sini." pinta Sehun dengan aura gelapnya.

Ravi cuma bisa cengengesan, "Hehehehehehe."

"Btw, Bang … lo udah ngapain aja sama Kak Luhan?" Lucas bertanya dengan mata membesar penasaran, diikuti dengan yang lainnya yang sama penasarannya dengan jawaban Sehun.

"Sentuh sana-sini mah udah kali, ya?" ceplos Daniel seraya nyengir, memperlihatkan gigi kelincinya.

"Bukan urusan lo, bocah! Gua mau jungkir balik sama Luhan juga bukan urusan lo." Capek sekali rasanya dia mendapat pertanyaan seperti ini terus. Memang hubungannya dan Luhan semenarik itu, ya, di mata orang-orang?

"Halah, engga asik!" Daniel protes.

"Kasih tau, kek, dikit. Minimal gaya-gayanya lah, 'kan bisa gue jadiin referensi." ucap Lucas.

Inilah kenapa dua Maba ini langsung akrab dengan mereka. Karena jalan pikiran dan otak mereka cocok dengan mereka berempat.

Sama-sama bobrok.

Dan porno.

"Yang pasti enggak pake gaya yang standar dan itu-itu aja gua, sih," Sehun menjawab asal. Tetapi, teman-temannya malah menganggap serius dan heboh sendiri.

"Gila…, jauh mainan lo, Hun. Jauh." Ravi menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Keras juga, ya, hubungan lo sama Luhan …" tukas Jongin seraya berdecak kagum. "Pantes Tante Sooyoung ngebet banget jadiin Luhan buat mantu-nya."

"Direkam enggak, Bang?" Lucas mengajukan pertanyaan sesat dengan mata berbinar-binar. "Kirim lah lewat WA."

Kemudian anak itu mendapat tempelengan di kepala dari Sehun.

Ini teman-temannya memang kesintingannya sudah di level atas atau bagaimana? Ya, mana mungkin Sehun berkata jujur pada mereka tadi. Dia hanya menjawab asal karena muak saja dengan perkataan yang diajukan Lucas tadi. Sehun memang suka mencium Luhan, memeluknya, tidur dengannya …, tapi tidak sampai ke tahap having sex juga, kali. Dia masih tau batasan. Sehun masih waras, dia tidak mau merusak Luhan. Lagipula, Sehun tidak mau menjadikan Luhan sebagai friend with benefit-nya. Dia memang benar-benar menyayangi Luhan, tidak mau memanfaatkan tubuh lelaki itu, tidak mau mengambil keuntungan apapun. Sehun suka melakukan skinship pada Luhan karena dia murni sayang pada Si Manis itu, tidak ada maksud modus, nafsu, dan lain-lainnya.

Kadang orang-orang suka suudzon dengannya.

Terutama teman-teman sialannya ini.

Obrolan mereka tentang hal-hal menyangkut delapan belas ke atas terjeda sesaat ketika seorang waiter mengantarkan pesanan mereka. Pesanan standar ala-ala anak muda bokek yang suka nongkrong di Warkop lama-lama karena mau menikmati Wi-Fi gratis; kopi sama ropisbak (roti dan pisang bakar).

"Makasih, Manis." Chanyeol kerdus mode on. Dia nyengir pada pelayan lelaki berwajah judes-tapi-manis-tapi-ganteng-tapi-cantik-pokoknya-menawan yang mengantarkan pesanan mereka itu. Chanyeol mengaduh dan setengah mengumpat setelah mengatakan itu, karena di bawah sana, dia mendapat tendangan dari Daniel.

Ya jelas…, yang baru saja digodain Chanyeol itu incarannya Daniel.

"Kamu sama, deh, kayak kue pancong ini," kali ini Jongin yang menggoda. Dia menggunakan kue pancong dengan susu dan keju lumer di atasnya sebagai bahan gombalan recehnya. "Manis, lembut, bikin nagih. Hehe."

Benar 'kan kata Sehun … teman-temannya itu sinting semua. Lihat yang bening sedikit langsung lupa sama pacar masing-masing.

"Bang," Daniel memeloti Jongin dengan mata sipitnya. Yang dipelototi tidak peduli, malah semakin senang nyengir-nyengir mesum pada Si Waiter yang juga kebetulan adik tingkat mereka yang bekerja part time di Warkop langganan mereka ini.

Si Waiter dengan name-tag Seongwu itu hanya haha-hehe datar, dalam hati ingin sekali berkata-kata kasar. Lalu, dia membalikan tubuhnya untuk kembali bekerja. Tidak ada waktu meladeni predator-predator tidak jelas seperti mereka.

"Wu, Wu! Tunggu dulu!" Ravi memanggil Seongwu membuat lelaki judes-tapi-manis-tapi-ganteng-tapi-cantik-pokoknya-menawan itu kembali membalikan badannya.

"Apa?!"

"Galak, euy." Ravi tertawa tidak jelas. "Malam minggu kosong, enggak? Katanya Daniel mau ke rumah, nih. Mau bawain martabak buat Mama-Papa kamu."

"KIWWWWW!"

"Sekalian minta restu."

"CIAAAAAAAA!"

"Anjir, Bang! Apaan, sih? Gua gak ngomong gitu." Daniel berbisik geram seraya menendang kaki Ravi dari bawah meja.

"Beneran, Niel?" Seongwu bertanya dengan mata monolid-nya yang memandang Daniel. Sehun dan kawan-kawan (minus Daniel) masih asik ber-kiw-kiw ria. Tidak sadar diri kalau mereka itu mahasiswa kelas akhir (minus Lucas), bukan sekumpulan anak STM berandalan yang suka godain cewek di jalan.

"Petrus, Dan. Petrus. Jangan kasih longgar." bisik Chanyeol, memprovokasi.

Daniel nyengir canggung pada Seongwu, mengabaikan bisikan-bisikan ghaib di sekitarnya. "I-iya.., boleh enggak?"

Seongwu tersenyum manis, kelewat manis malah. Jatuhnya jadi creepy. "Boleh—"

Daniel sudah siap-siap mau naik ke atas meja, sujud syukur. Tetapi perkataan Seongwu selanjutnya membuat harapannya pupus tertelan angin dan terbawa ke galaksi bimasakti.

"—tapi, kamu pesen tiket pesawat dulu, ya. Mama-Papa aku ada di Medan."

"YHAAAAAAAAAA."


.

.

.


Luhan berjalan di koridor fakultasnya dengan kepala tertunduk, fokus pada ponselnya yang menampilkan barisan chat tidak penting dari Sehun yang masuk. Kelasnya baru saja usai beberapa menit yang lalu, tetapi Sehun sudah cerewet sekali menyuruhnya pulang. Mungkin Sehun pikir, kampus ini adalah milik Luhan, makanya bebas mau pulang kapan saja. Ini saja Luhan sudah enek sekali berada di kampus. Mau cepat-cepat pulang rasanya.

Mungkin Luhan tidak tahu, di luar sana, ada banyak sekali orang yang benci saat melihat orang lain bermain ponsel saat berjalan, makanya dia hanya menghentikan langkahnya ketika merasakan bahunya ditabrak dengan sengaja oleh seseorang. Luhan mengalihkan atensinya dari ponselnya, mengabaikan Sehun kampret yang tidak tahu kondisi minta cepat-cepat dibalas chat-nya saat ini.

"Kalo lagi jalan, liat jalannya! Jangan fokus aja ke hape. Takut dibatalin booking-an dari Om-om?"

Oh…, ini mah bukan benci karena lihat orang jalan sambil main handphone. Tetapi memang benci sama Luhan.

Luhan hanya bisa mengembuskan napasnya, malas. Tidak mau menanggapi omongan jahat dari cewek di depannya. Bisa-bisa kalau dia tanggapi, jatuhnya malah kayak anak SMA yang suka main labrak-labrakan di lorong kelas. Maaf, ya, Luhan itu classy. Cowok manly tidak meladeni cewek-cewek haus perhatian.

"Apa liat-liat? Suka?!"

Yeu, padahal daritadi dia yang melototi Luhan terus.

Heran, deh, mantannya Sehun yang satu ini memang senang sekali mencari ribut dengannya. Padahal Luhan bodoamat-bodoamat saja selama ini sama dia.

"Lo suka, ya, sama gue?" tanya Luhan spontan, membuat cewek cantik di depannya ini melotot tidak percaya.

Jangan kaget. Luhan memang aslinya seperti ini. Dia kasar, mulutnya sering mengeluarkan kata-kata mutiara ala preman pasar. Tetapi, berkat ajaran Sehun, Luhan lebih jinak sekarang. Walau Sehun juga sama kasarnya (bahkan lebih parah), tetapi lelaki itu selalu mengajarkan Luhan untuk bertutur-kata yang baik pada orang lain.

"Dih? Ngapain gue suka sama cowok cantik kayak lo! Gue butuhnya yang ganteng, bukan yang 11-12 sama pemain JGV pihak bottom!"

Luhan terbatuk kecil. Ingat 'kan dia suka menonjok orang yang mengatainya cantik? Tapi, ya kali.., dia menonjok cewek. Luhan tidak sejahat itu.

"Abisnya akhir-akhir ini lo sering nyamperin gue terus. Gak apa-apa, sih, gue tau lo lagi cari perhatian." Luhan berujar santai.

"Apaan sih, Anj—!"

"Gue juga single, btw. Gimana? Mau jalan sama gue enggak sabtu ini?"

Cewek bernama Chungha itu semakin mendelikan matanya yang dihiasi goresan eyeliner cantik. Wajahnya memerah, bukan malu, tetapi lebih ke jengkel. "Ihh! Gue tuh lagi ngelabrak elo, Luhan! Lo bego atau gimana, sih?! Heran, kenapa Sehun bisa nurut banget, sih, sama parasit kayak lo?"

Luhan mengangkat bahunya, tidak tahu. Memilih tidak peduli, Luhan melanjutkan jalannya. Malas dia berurusan dengan cewek-cewek. Berisik, tidak jelas pula apa permasalahannya. Dan masalah panggilan yang Chungha berikan padanya; parasit; Luhan tidak ambil pusing. Dia sudah sering dikatai seperti itu oleh cewek-cewek penggemar Sehun garis keras. Padahal 'kan yang selama ini terus-terusan menempel seperti lintah darat itu Sehun, bukan Luhan. Kenapa jadi dia terus, ya, yang dibilang benalu, murahan, dan parasit? Untungnya, Luhan bukan tipe orang yang baperan, sensi dan menye-menye. Dia orang yang bodo amat dan stay calm.

Makanya Sehun suka.

"Han!"

Seorang lelaki berpostur tinggi menghampiri Luhan ketika dia sudah keluar dari area fakultas. Lelaki yang 11-12 dengan Sehun; selalu membuat Luhan dibenci para kaum hawa dan bottom di kampus ini. Anak jurusan Sistem Informasi yang juga teman SMA Luhan dulu. Kandidat kedua yang paling diincar seantero kampus karena ketampanannya yang maha tidak menguatkan iman.

"Eh, Eunwoo?"

Nah, tidak perlu deskripsi lebih lanjut. Kalian sudah pasti tau dengan Pangeran berwajah se-adem ubin Masjid ini.

"Kamu mau balik?" tanya Eunwoo, dengan nada lembut, sejuk dan menenangkan seperti biasa.

"Iya,"

"Sendiri aja?"

Duh, nanya terus nih Si Ubin Masjid seperti HRD Manager. Untung cakep. Jadi, Luhan tidak malas menjawab pertanyaannya.

"Iya. Sehun enggak ada kelas hari ini, tapi katanya mau jemput, sih." jawab Luhan.

"Ohh," Eunwoo mengangguk-angguk dengan wajah tidak tertarik, mendengar nama Sehun disebut jadi badmood dia. Tetapi, segera dia menggantinya dengan senyum se-adem angin di bulan ramadhan. "Belum dijemput 'kan? Gimana kalau aku temenin dulu?"

Rezeki buat Luhan.

Sedang menunggu jemputan dari Putera Mahkota, malah ditemani Pangeran dari Negeri Salju.

"Boleh, kok."

Eunwoo tersenyum manis, lalu mengusak rambut Luhan. "Ya udah, kamu duduk aja dulu di bangku sana. Aku beli makanan buat kamu dulu, ya?"

Sudah tampan, baik hati pula. Ideal sekali. Tidak usah halu! Dia tidak pantas dengan kita-kita yang seperti remahan abon bungkus ini.

"Eh, enggak usah," tolak Luhan. "Duduk aja sini. Aku lagi enggak mau makan."

Bohong. Padahal Luhan sedang lapar. Tetapi, dia hanya mau makan dari uang Sehun. Dia berencana memoroti dompet Sehun sore ini karena tadi pagi sudah seenak jidat mencium-cium bibirnya yang suci.

Halah, suci…, tiap malam dihabisi Sehun, kok!

"Oh, gitu. Ya udah, deh."

Untung Eunwoo penurut, tidak pemaksa seperti orang berinisial OSH yang sekarang entah sedang ada di mana. Luhan juga tidak mau peduli. Dia malah mau Sehun terkena macet di jalan agar Luhan bisa lama-lama berduaan dengan Eunwoo.

Apa? Mau mengatai Luhan tidak setia?

Luhan 'kan hanya temannya Sehun, partner in-crime juga. Jadi, tidak apa-apa kalau dia dekat-dekat dengan orang lain. Sehun juga sering, kok, dekat-dekat dengan cewek lain. Adil dong.

"Udah lama, ya, rasanya kita enggak duduk berdua kayak gini, Han." ujar Eunwoo.

Luhan mengangguk. "Ya kamu tau sendiri Sehun gimana kalau aku udah deket-deket sama kamu," ujarnya dengan tawa kecil. "Bukan kamu aja sih, sama orang lain pun dia kayak gitu. Emang dasar perusak suasana."

Eunwoo ikut tertawa kecil, menyetujui ucapan Luhan. Sangat setuju malah. Sehun 'kan rivalnya sejak SMA dulu. Dari mulai rebutan posisi ranking satu di kelas, kandidat ketua OSIS, kapten tim basket sekolah, sampai merebut … hatinya Luhan. Eh, sekarang bertemu lagi di Universitas yang sama. Salah apa Eunwoo harus terus menjadi saingannya Sehun?

Eunwoo sih tipe orang yang suka bermain santai dan halus, tidak seperti Sehun yang rese-nya sampai ke ubun-ubun. Melihat Luhan berbicara dengannya sebentar saja, lelaki itu langsung membawa Luhan pergi seolah-olah Eunwoo adalah penebar virus mematikan.

Hhh…, untung Eunwoo sabar.

"Ehm, Luhan … aku mau tanya sesuatu, deh. Tapi takut disangka lancang sama kamu." tukas Eunwoo ragu-ragu.

"Kamu kayak sama siapa aja, sih," Luhan kembali tertawa kecil. Duh, manis sekali pokoknya entitas yang satu ini. "Ayo, tanya aja. Aku siap jawab, asal pertanyaannya jangan menyangkut soal algoritma. Aku nyerah."

Eunwoo mencubit pipi Luhan sebagai balasan. "Enggak, kok." Lalu dia menatap wajah Luhan dengan sorot pandangan serius. "Kamu sama Sehun … gimana?"

Luhan mengerutkan dahinya, bingung. "Enggak gimana-gimana …."

Gantian Eunwoo yang mengerutkan dahinya. Untung beberapa saat, mereka berdua saling bertatapan dengan bingung. Luhan yang tidak mengerti maksud pertanyaan Eunwoo dan Eunwoo yang tidak paham dengan jawaban ambigu Luhan.

"Masih sama kayak dulu?" tanya Eunwoo.

"Iya," jawab Luhan dengan wajah yakin. "Kita masih temenan baik, kok."

Eunwoo mengembuskan napasnya dengan lega, disertai senyuman cerah yang membuat matahari jadi minder dan berniat resign saja dari pusat tata surya. Luhan sampai meleleh melihat senyumnya—ah, enggak juga, hiperbola saja dia. Senyum Sehun yang jarang diperlihatkan di publik tetap jadi nomor satu, kok, di mata Luhan. Ahay.

"Berarti …," Eunwoo menggantungkan ucapannya seraya meraih tangan Luhan, masih dengan senyum se-adem lantai Masjid, dia berkata, "aku ada kesempatan, dong?"

"Hah?"

.

.

"Woy, woy! Ngapain sih duduk mepet-mepet? Emang ini di angkot apa?! Halal gap-nya mana?"

Sehun tau-tau muncul seperti Jelangkung. Lelaki itu dengan cekatan menarik tangan Luhan yang sedang dipegang oleh Eunwoo hingga terlepas. Dia juga menarik Luhan agar segera berdiri dari duduknya.

Eunwoo mendengus, gondok seketika. Curiga dia kalau Sehun ini keturunan anjing herder. Selalu saja tau kalau Luhan sedang bersama dirinya.

"Sehun, kamu kenapa munculnya selalu dadakan, sih? Punya teleportasi atau ilmu hitam—"

"Diem!"

Luhan langsung membungkam bibirnya, lalu merengut. Pasti habis ini dia yang jadi bahan omelan Sehun.

"Ayo pulang!" Sehun menggenggam tangan Luhan, dan menariknya agar lelaki itu ikut dengannya. Sudah seperti seorang Ayah yang mengajak anaknya pulang bermain saja dia. Apalagi Luhan menurut-menurut saja.

Gemas—

"Eunwoo, aku pulang dulu, ya! Besok kita ngobrol lagi!"

—enggak jadi gemas, karena Luhan malah pamitan pada Eunwoo seraya melambai-lambaikan tangannya dengan senyuman manis.

"Oke, Han!"

Sehun mendengus.

Tidak lupa dia menyempatkan diri untuk melirik Eunwoo dengan lirikan tajamnya, yang bermakna, 'Jangan deket-deket Luhan, haram! Sama gua doang dia halal-nya!' yang dibalas decihan gondok dari Eunwoo.


.

.

.


"Kamu, tuh, emang enggak bisa ditinggal sebentar, ya? Udah ada aja orang yang deketin kamu. Kemaren Si Jeki, terus nama satu huruf, terus lagi Si Junaedi yang Sok Ganteng, sekarang Si Bowo—"

Hadeuhhhh, Sehun jadi cerewet sekali hari ini.

Luhan malas meladeni, lebih memilih menyandarkan kepalanya di punggung lebar nan wangi lelaki itu dan menikmati pemandangan jalan di sore yang sedang mendung ini. Dan karena cuaca yang mendung ini, anginnya jadi cukup dingin. Luhan menyamankan diri, memeluk Sehun yang masih fokus membawa motornya seraya mengoceh perihal cowok-cowok yang mendekati Luhan.

Ah, iya.

Si Jeki itu Jackson Wang, cowok keturunan Hongkong yang memang selalu mengejar Luhan secara terang-terangan. Nama satu huruf itu L alias Myungsoo, anak Manajemen Bisnis, termasuk most wanted di fakultasnya. Si Junaedi yang Sok Ganteng itu Junhoe —dan dia memang ganteng, sebenarnya— . Dan yang terakhir, Si Bowo, adalah Eunwoo. Tidak tahu kenapa Sehun seperti malas sekali menyebut nama-nama orang itu. Luhan, sih, sudah memaklumi dan hafal betul.

"Kamu dengerin aku enggak, sih?"

"Enggak," jawab Luhan dengan santai, malah semakin memeluk pinggang Sehun saat dirasa angin yang berembus semakin dingin.

"Mau marah, tapi lagi males."

Luhan tertawa mendengar gerutuan Sehun. Padahal sejak tadi Sehun sudah marah-marah. Memang kadang suka se-menggemaskan itu Sehun, tuh.

"Dingin, ya?" tanya Sehun seraya memegang tangan Luhan dengan satu tangannya, karena yang satunya dia gunakan untuk mengendarai motornya.

Luhan hanya mengangguk. Dia hanya memakai kaus panjang tipis, karena tadi siang cuacanya masih sangat terik, tetapi sekarang malah mendung begini. Jadi, Luhan merasa fabrik yang dia kenakan tidak mempan pada udara yang dingin saat ini.

Sehun memelankan laju motornya dan berhenti di pinggir jalan. Dia melepaskan tangan Luhan yang melingkari pinggangnya, lalu membuka jaket denim yang dikenakannya, hingga menyisakan kaus hitam pendeknya saja.

"Pake, nih! Aku enggak mau diomelin sama Om Yunho karena ngebuat kamu kedinginan." ujar Sehun seraya menyodorkan jaketnya.

Luhan langsung mengambil jaket itu sambil mencibir, "Bilang aja khawatir sama aku."

"Ngapain? Kamu sakit juga aku bodo amat." tukas Sehun, kembali menjalankan laju motornya, kali ini pelan-pelan, tidak ngebut seperti tadi.

Mendengar ucapan ketus Sehun, membuat Luhan terkikik kecil. Nah, pasti ngambek anak ayam yang satu ini. Biarin saja 'lah, Luhan tidak mau memperpanjangnya. Nanti juga lelaki itu baik sendiri.

"Besok-besok enggak usah deket sama Si Bowo yang sok ganteng itu lagi."

"Eunwoo, Hun."

"Peduli setan. Gak penting namanya."

Luhan kembali memeluk pinggang Sehun, kali ini dia menyandarkan dagunya di bahu lebar milik lelaki itu. "Dia bukan sok ganteng, tapi emang ganteng," ujarnya, seraya memerhatikan side profile Sehun.

"Puji aja terus sampe kecebong berubah jadi lele." ketus Sehun.

Luhan tertawa. Wajah Sehun yang sedang ngambek entah kenapa lucu sekali di matanya. Mungkin Sehun juga merasakan hal yang sama saat mengejek Luhan yang sedang ngambek.

"Kecebong itu besarnya jadi katak, bukan lele. Sesat ah kamu."

"Fokus dikit kenapa, sih, Lu? Aku itu lagi bahas yang lain, enggak mau bahas kecebong-kecebongan lagi." Sehun terdengar geram sekali. Padahal awalnya dia yang bahas kecebong duluan. "Ngomong apa aja Si Bowo Sok Ganteng itu tadi ke kamu?"

"Hun, dia emang ganteng beneran—" Luhan menutup bibirnya saat Sehun meliriknya dengan lirikan mematikan. "Oke, oke, aku enggak muji dia lagi, walau itu emang kenyataannya."

"Kamu turun di sini aja, ya?"

"Jangaaaaaaaaaannn." Luhan buru-buru memeluk tubuh Sehun dengan erat. "Aku tadi sama Eunwoo enggak bahas apa-apa, cuma ngomong dikit doang."

Sehun mendengus.

Luhan merengut, membungkam bibirnya rapat-rapat. Malas dia kalau Sehun sudah mendengus seperti itu, sifat aslinya ke luar. Sifat judes dan arogan.

Sehun kembali bersuara, "Si Bowo itu mukanya aja yang alim, padahal aslinya busuk kayak sawo yang kematengan, ada ulet sama belatungnya. Dia deketin kamu itu pasti ada modusnya—"

"Hun, aku laper."

"—mau makan apa?"

Luhan tersenyum kecil, berusaha menahan tawanya. Ya, seperti itu Sehun … tsundere. Sok marah, padahal sangat peduli. Walaupun lagi marah-marah, Luhan meminta sesuatu pasti langsung dituruti.

"Aku tanya kamu mau makan apa, malah ngeliatin aku terus," Sehun menolehkan kepalanya ke sisi kiri, membalas tatapan Luhan yang memang sejak tadi terus menatapnya dengan mata rusa lucunya. "Mau makan aku?"

Tawa Luhan kembali terdengar, kemudian dia menggeleng. "Gak mau. Gak doyan aku daging orang yang suka marah-marah."

"Ohh, gitu.." Sehun mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu, lelaki itu mengulas senyum miringnya yang membuat bulu kuduk Luhan meremang. Dengan suara baritone yang rendah, Sehun berkata;

"Kalau kamu aja yang aku makan, gimana?"

Luhan segera menjauhkan wajahnya, dan menyembunyikannya di punggung lebar Sehun. "Enak aja! Udah fokus aja bawa motornya!" omelnya, tidak lupa memukul kepala bagian belakang Sehun.


.

.

.


a/n :

Apakah ini sudah cukup membuat kalian muntah pelangi?

Hehehe.

Tolong dong, jangan nagih FF lain di lapak ini. kalian tau engga, kenapa gua publish ff ini (sebenernya gua gamau publish)? Karena gua mau FF ini buat penghibur/selingan kalian yang lagi nungguin Mas Sehun, biar kalian ngga pada bosen atau jenuh. Tapi kalian malah nagis FF lain, terutama Mas Sehun, di kotak review:( sedih aku tuh. Kalau udah selesai pasti gua publish kok… gua mohon banget, tolong ngertiin.

Dan yang ngegas di kotak review, mencaci maki pasangan dumb dumber ini, gapapa ngegas aja. Gua suka di-gas XD Makasih buat yang udah ngereview, nge-fav sama follow juga.

Dah, ya, gitu aja.

Besok udah end kok FF ini. Tenang aja.