Sekolah Sakit Jiwa

.

Disclaimer : Naruto Characters belong to Kishimoto-sensei

Warnings : Typos, AU, OOC, etc…

Genre : Drama, Romance, Psychologycal, Hurt/Comfort

.

Chapter 5 : Kisah dua gadis yang tersiksa

# # # # #

Uzumaki Naruto tidak pernah bermasalah.

Ia berjanji jika dirinya tidak akan pernah terlibat masalah dan akan menyelesaikan apa pun tugas yang akan diberikan oleh para pengajar di sekolah ini sejak ia masuk.

Naruto akan belajar hingga otaknya memanas untuk mendapatkan nilai yang bagus, ia akan berolahraga agar selalu sehat dan mengikuti kelas bimbingan yang diberikan untuk setiap murid yang memiliki masalah untuk mengatasinya agar dapat keluar dari sekolah ini secepat mungkin.

Satu tahun berada di sekolah ini, Naruto bekerja dengan keras untuk semua itu. Dan hari ini, segalanya harus hancur karena satu orang.

Uchiha Sasuke.

Ia tahu rumor dan apa yang pria itu derita. Karena itulah, Naruto selalu menghindari Sasuke selama berada di sekolah. Pria itu bagaikan ranjau yang kapan saja bisa meledak jika seseorang membicarakan masa lalunya.

Naruto yang mengerti bagaimana kepedihan Sasuke memutuskan untuk tidak berhubungan dengan pria itu, apalagi menyinggung masalahnya.

Safir Naruto menatap kesal pada pria yang duduk di seberangnya, mengalihkan wajah tanpa sekalipun melihatnya sejak memasuki ruangan. Keadaan Sasuke tidak lebih baik darinya dengan wajah lebam membiru dan penampilan yang berantakan.

Untungnya di antara mereka ada Pak Kakashi yang siap untuk menghentikan mereka jika terjadi baku hantam lagi.

"Jadi, diantara kalian ada yang mau menjelaskan?" tanya sang guru

Naruto menyahut dengan kesal, "Bagaimana kalau Pak Kakashi tanya pada pria itu? Dia yang memulai semua ini."

Kakash yang setuju, mengalihkan wajahnya pada Sasuke yang sama sekali tidak menatapnya kembali. "Bagaimana, Sasuke? Kau mau mengatakan sesuatu?"

Satu-satunya jawaban yang Kakashi terima hanya dengusan pelan dari muridnya. Jelas sekali jika Sasuke sama sekali tidak berniat untuk memberi jawaban apa pun padanya, seperti yang sebelumnya pria itu lakukan saat di ruang UKS.

Kakashi menghela nafas, "Kalau kau tidak mau mengatakan apa-apa, aku juga tidak bisa berbuat apa pun untuk menyelesaikan masalah ini. Naruto juga membutuhkan penjelasanmu, Sasuke."

"Ya! Aku tidak merasa melakukan sesuatu yang membuatmu tersinggung. Apa masalahmu, sih?!"

Tapi, Sasuke masih diam seribu bahasa.

Kakashi yakin jika dirinya tidak bisa bertanya pada Sasuke dengan cara biasa atau membujuk anak kecil seperti yang ia lakukan pada orang lain. Uchiha Sasuke berbeda, dengan masa lalu yang kelam dan apa yang ia derita hingga masuk ke sini.

"Baiklah, Sasuke. Aku sudah melihat rekaman CCTV yang terjadi siang tadi dan melihat jika Naruto tidak melakukan apa pun, bahkan dia sama sekali tidak mengatakan apa pun yang membuatmu marah. Jarak kalian kurang lebih lima hingga sepuluh meter, aku yakin bahkan Naruto sekali pun tidak menyadari kehadiranmu sampai kau menerjangnya."

Sasuke masih tak bergeming di tempatnya.

Kakashi tidak peduli dan melanjutkan, "Apa aku bisa mengatakan kalau ini adalah penyerangan sepihak, Sasuke?"

Melihat reaksi dari Sasuke yang sangat pasif membuat Naruto kehabisan kesabaran, "Hey! Gurumu sedang berbicara dan kau sama sekali tidak menatap atau menjawabnya? Ada korban dari penyerangan sepihak yang kau lakukan di depanmu dan kau sama sekali tidak mengatakan apa pun?! Apa kau benar-benar gila, Uchiha Sasuke?!"

BRAK!

Tiba-tiba saja Sasuke meninju meja yang berada diantara mereka. Kedua mata hitamnya terlihat membara dengan kemarahan, "Diam kau."

"Akhirnya, sebuah reaksi!" sahut Naruto. "Apa kau harus dipanggil gila dulu baru mau menyahut, hah?"

Sasuke berdiri, bersiap untuk menerjang Naruto namun Kakashi dengan sigap menghentikannya dan membuatnya untuk duduk kembali di tempatnya. Sasuke sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari Naruto yang hanya tersenyum mengejek padanya, seolah merasa puas karena sudah memancing sebuah reaksi darinya.

"Hentikan, kalian seperti anak SD." Kakashi menghela nafas. "Sasuke, apa kau sudah siap untuk mengatakan apa yang terjadi?"

Sambil membuang muka, Sasuke menjawab dengan suara yang sangat pelan. "Aku tidak tahu… "

"Hah?" Naruto menunjuk wajahnya. "Kau lihat apa yang sudah kau lakukan padaku! Dan kau berani mengatakan kalau kau tidak tahu?!"

"Naruto," tegur Kakashi kemudian beralih pada Sasuke. "Kau menyadari jika Naruto sama sekali tidak bersalah, bukan?"

Sasuke tidak menjawab apa pun, namun Kakashi mengerti jika apa yang ia katakan benar adanya.

"Kalau begitu," Kakashi melanjutkan dengan nada lembut. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan, bukan? Kukira kau sudah cukup besar untuk memikirkannya, Sasuke."

Ya, tentu saja ia harus minta maaf dan menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Namun, harga dirinya tidak mengijinkan hal itu terjadi. Bukan masalah minta maaf, ia tahu jika dirinya memang bersalah sudah membuat Naruto seperti itu.

Tapi, ia tidak ingin menjelaskan apa yang terjadi.

Ia tidak ingin mengatakan pada mereka jika dirinya kehilangan kendali karena melihat Naruto bersama dengan si anak baru yang menjadi teman sebangkunya.

"Apa ini karena Haruno Sakura?"

Sasuke langsung menoleh saat tiba-tiba saja Kakashi menyebutkan namanya. Jantungnya tiba-tiba berdegup dengan sangat cepat, ia melirik Naruto yang terlihat bingung dengan pertanyaan Kakashi.

"Aku melihat Naruto bersama dengan Sakura beberapa menit sebelum kau menerjang Naruto di CCTV. Apa aku benar, Sasuke?"

"Ini semua karena si anak baru?!" Naruto terlihat tidak percaya dan kembali menjatukan tubuhnya pada kursi sebelum menoleh pada Sasuke. "Kau bercanda, kan?"

Seolah kehilangan kata-kata, Sasuke hanya membalas tatapan Naruto. Ia tidak mengatakan apa pun , namun hanya menatapnya dengan penuh tantangan. Melihat ekspresi yang diberikan oleh Sasuke itu sudah cukup jelas untuk Naruto jika apa yang dikatakan oleh Kakashi adalah benar.

"Kau benar-benar gila, ya?" cerca Naruto. "Apa kau berpikir jika aku dan si anak baru memiliki hubungan? Tidak. Bukan itu masalahnya. Memangnya kenapa kalau aku memiliki hubungan dengannya? Itu bukan urusanmu, Uchiha Sasuke!"

"Hentikan, Naruto!" tegur Kakashi lagi dengan tegas. "Berikan Sasuke waktu untuk menjawab."

Naruto melipat kedua tangannya dan berdecak sambil membuang muka. Kakashi mengerti perasaan Naruto yang pasti sangat kesal setelah dihajar habis-habisan saat ia mengetahui jika alasannya adalah hal yang sangat sepele.

Sambil menarik nafas dalam-dalam, Kakashi menatap Sasuke yang membuang muka juga. "Sasuke?"

Sasuke menoleh, namun tidak mengatakan apa-apa.

"Apa kau memiliki hubungan dengan Haruno Sakura?"

"Tidak," jawabnya singkat tak acuh

"Kalau begitu kenapa kau marah saat melihat Naruto bersama teman sebangkumu?"

Sasuke kembali diam seribu bahasa.

Kakashi yang masih dengan sabar bertanya, "Apa ini karena Haruno Sakura yang menjadi teman sebangkumu berbeda dengan yang lainnya?"

Kali ini Naruto tertarik, "Apa maksudmu, Pak Kakashi?"

Mengabaikan Naruto, Kakashi masih berfokus pada Sasuke. "Aku tahu saat melihat interaksimu pada Haruno saat berada di kelas. Aku yakin kau memiliki ketertarikan padanya, meski aku tidak tahu apa itu bersifat romantis atau hanya sekedar pertemanan."

"Bukan itu," balas Sasuke dengan nada pelan. "Ada sesuatu di dirinya yang membuatku kehilangan kendali."

Kakashi mengangkat alisnya, "Apa itu?"

Sasuke mengangkat bahunya, "Aku tidak tahu. Bisa dari caranya berbicara, caranya berjalan atau entah apa yang ia lakukan."

"Bah!" Naruto memutar matanya. "Jawaban apa itu?! Kau cuma tidak mau menjelaskannya!"

"Apa yang kau tahu, hah?" balas Sasuke melotot

Kakashi memijat pelipisnya, "Oke, cukup. Ini mulai membuatku sakit kepala." Melihat kedua muridnya secara bergantian, Kakashi memutuskan untuk melakukan sesuatu. "Begini saja. Aku akan menyelesaikan masalah ini dengan Sasuke. Naruto, kau bisa kembali sekarang."

Naruto menatap gurunya tidak percaya, "Apa? Jangan bercanda! Aku bahkan sama sekali belum tahu alasan dia menghajarku!"

"Bukankah Sasuke sudah mengakui kalau dia melakukannya karena melihatmu bersama Haruno Sakura?"

"Lalu?! Aku tidak mendengar penjelasan apa pun yang membuatnya harus menghajarku hanya karena aku bersama dengan si anak baru!"

"Itu akan menjadi urusanku dengannya. Aku akan menyelesaikannya karena kemungkinan ini ada hubungannya dengan masalah Sasuke."

Naruto menganga. Ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari Kakashi. Naruto paham betul apa maksud dari gurunya jika ini ada hubungannya dengan masalah Sasuke, tapi ia juga merasa tidak bisa menerima begitu saja karena dirinya seorang korban.

Mengambil nafas dalam-dalam, Naruto berusaha untuk menenangkan dirinya dan berpikir dengan kepala dingin. Mungkin setelah ini, akan menjadi alasan bagus untuknya benar-benar menjauhi Uchiha Sasuke jika orang-orang bertanya.

"Baiklah," kata Naruto akhirnya lalu melirik pada Sasuke. "Tapi, setidaknya aku harus mendapatkan permintaan maaf darinya. Bukan begitu, Pak?"

Sasuke berdecak. Tanpa menatap wajah Naruto, ia berkata dengan pelan. "Maaf."

"Apa? Aku tidak mendengarmu!" seru Naruto mendekatkan telinganya pada Sasuke

Tahu jika Naruto sengaja, Sasuke melotot pada pria di depannya itu. "Kau tuli?"

"Sasuke," tegur Kakashi menatapnya seolah mengatakan jika dirinya pihak yang salah

Sasuke sadar jika dirinya tidak kooperatif, masalah ini tidak akan selesai dan Naruto tidak akan keluar dari ruangan ini. Ia harus menurunkan harga dirinya bagaimana pun caranya agar tidak melihat Naruto lagi.

"Aku minta maaf. Puas?!"

Naruto mengangkat alisnya tinggi-tinggi, "Kok terdengar tidak tulus? Untuk apa pula kata puas di akhir itu?"

"Kau-"

"Oke, oke." Kakashi memotong Sasuke sebelum masalahnya menjadi lebih besar. "Kau sudah mendapatkan permintaan maafmu, Naruto. Sekarang, kau boeh kembali ke asrama."

Naruto terlihat tidak puas, tapi tidak memiliki pilihan lain. Ia berjalan ke arah pintu keluar ruangan, namun berhenti sebelum benar-benar membuka pintu tersebut untuk menoleh pada Sasuke.

"Ingat ini, Uchiha. Kau tidak hidup sendiri di sini dan kau harus belajar untuk menjadi dewasa dengan menyelesaikan masalahmu sendiri. Kita semua memiliki masalah yang berat hingga berakhir di tempat ini, tapi setidaknya aku merasa lebih baik darimu karena tidak pernah melukai orang lain."

Dan Naruto keluar dari ruangan setelah mengatakannya dengan menutup pintu, meninggalkan keheningan pada Sasuke dan Kakashi.

Kakashi berdehem untuk mencairkan suasana, "Baiklah, kita mulai bahas masalahmu. Jadi, menurutmu apa ini ada hubungannya dengan PTSD yang kau alami?"

Sasuke menggelengkan kepala, "Kurasa tidak."

"Lalu, kenapa kau mengatakan kalau kau lepas kendali?"

"Itu yang aku tidak tahu. Tapi aku bisa meyakinkanmu jika ini tidak ada hubungannya dengan perasaan romantis."

Kakashi menganggukkan kepalanya lalu melipat kedua tangannya di dada, "Kalau begitu, apa kau merasakan kecemburuan saat melihat Haruno yang seorang teman sebangkumu bergaul dengan pria lain?"

Kali ini Sasuke diam. Ia menunduk seolah sedang berpikir keras sebelum akhirnya menggelengkan kepala setelah beberapa saat.

"Oke, kurasa kita tidak akan pernah tahu dari kejadian pertama. Tapi, aku berharap hal ini tidak akan terulang lagi. Apa kau bisa memberiku janjimu, Sasuke?"

"Aku tidak tahu," sahut Sasuke menatap langit ruangan. "Aku bahkan tidak bisa mengendalikan emosi serta tubuhku. Bagaimana mungkin aku bisa memberimu janjiku?"

Kakashi tersenyum, "Sepertinya kau sadar akan masalahmu. Sasuke, ini sedikit sensitif. Tapi, aku harus bertanya padamu."

Sasuke menatap Kakashi, menunggu apa yang akan ditanyakan padanya.

"Apa kau pernah seperti ini sebelumnya? Saat keluargamu masih ada dan kau duduk sebangku dengan seorang gadis-"

"Tidak," jawab Sasuke cepat

"Baiklah, berarti kau memang benar-benar tidak bisa mengendalikan dirimu." Kakashi menepuk bahu Sasuke pelan. "Apa kau dengar yang dikatakan Naruto sebelum keluar tadi?"

Muridnya dengan cepat membuang muka karena tidak suka dengan apa yang dikatakan oleh Naruto. Ia tidak ingin mengingatnya, tapi Kakashi tahu jika muridnya itu mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh Naruto dan mengingatnya dengan baik.

Bagaimanapun bermasalahnya Sasuke, ia tahu jika muridnya itu masih ingin sembuh dari apa yang ia derita. Namun sepertinya sulit, mengingat tidak ada yang dapat memahami apa yang ia rasakan.

"Naruto peduli padamu," ujar Kakashi lembut. "Kau tahu jika Naruto tidak pernah menyinggung masa lalumu? Tidak pernah berusaha untuk membuatmu marah dengan berbisik di belakangmu soal masa lalumu?"

"Dia sama seperti yang lain. Tidak ingin terlibat masalah denganku," balas Sasuke

"Sepertinya kau salah, Sasuke. Kalau kau berpikir seperti itu, semua orang di dunia ini akan menjadi musuhmu. Bagaimana kalau Naruto sebenarnya paham masalahmu, karena itulah ia tidak ingin mengganggumu dan memberimu waktu untuk menata hidupmu?"

Sasuke menatap gurunya seolah tidak mengerti apa yang dibicarakan. Kakashi hanya bisa tersenyum melihat reaksi Sasuke.

"Apa kau tahu, Naruto pernah marah pada orang yang sedang berbisik tentang masa lalumu di kelas?" Kakashi melihat keterkejutan pada wajah Sasuke sebelum muridnya itu membuang mukanya seakan tidak ingin mempercayai apa ia katakan. "Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, Sasuke. Naruto marah untukmu."

"Mungkin ia marah karena mereka berisik."

Kakashi tertawa pelan, menepuk kembali bahu muridnya dengan lembut. "Pemikiranmu sungguh rumit, Sasuke. Buatlah menjadi lebih simple dan hidupmu akan menjadi lebih mudah."

Sasuke menepis tangan sang guru dari bahunya, namun tidak mengatakan apa pun selain mencerna maksu dari Kakashi.

"Kau tahu, Sasuke? Aku percaya padamu. Aku yakin, setelah ini kau tidak akan mengulangi hal ini lagi. Jadi, kau harus lebih mempercayai dirimu sendiri lagi."

Sasuke tidak menjawab apa pun, namun Kakashi bisa melihat jika Sasuke benar-benar mendengarkannya dan berusaha untuk mengukir apa yang ia katakan di hatinya.

Menyembuhkan sebuah luka pada hati seseorang tidak pernah mudah. Kakashi tahu jika masalah yang dihadapi oleh Sasuke benar-benar serius, karena itulah ia berpikir jika mungkin saja, kejadian hari ini bisa membantu Sasuke sedikit.

Apalagi, setelah ia melihat sedikit kepedulian yang ditunjukkan oleh Naruto pada Sasuke meski mereka tidak dekat.

# # # # #

Sakura sedang menonton TV saat tiba-tiba saja ia mendengar teriakan dari lantai atas, tempat kamar penghuni asrama berada. Karin, Hinata dan Ino yang tadinya duduk bersamanya langsung bergegas menuju ke arah teriakan yang mereka dengar.

Sejujurnya Sakura tidak ingin terlibat dengan apa pun yang sedang terjadi, tapi ia juga merasa jika dirinya tidak bergerak, nuraninya pastilah sudah mati. Ia harus mengetahui apa yang terjadi pada teman asramanya.

Dengan cepat ia bergegas mengikuti ketiga Ino yang berlari paling lambat diantara mereka bertiga. Ino berlari dengan nafas memburu, hal yang Sakura sudah duga mengingat gadis itu hampir tidak pernah makan.

Lari membutuhkan energi, namun Ino hampir tidak pernah makan. Darimana gadis itu berpikir dirinya akan mendapatkan energi?

Ino berhenti di sebuah kamar yang tidak jauh dari kamar mereka. Kamar itu sudah penuh dengan orang-orang yang terlihat panik, beberapa bahkan berlari untuk mencari guru dengan muka pucat.

Sakura yang semakin merasa penasaran langsung mengintip ke arah kamar, sambil berusaha untuk menghindari tabrakan dari kerumunan. Namun ia dengan cepat menyesalinya, bahkan Sakura terkesiap saat melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu.

Emerald Sakura melihat Tenten yang terbaring lemah dengan wajah pucat, bermandikan oleh darahnya sendiri yang berasal dari luka pada pergelangan tangan. Sakura tidak pernah menyangka jika ia melihat pemandangan yang biasa dilihat di film, kini berada di depan matanya.

Sakura merasakan kakinya lemas saat melihat darah tak henti keluar dari pergelangan tangannya. Sepertinya, semua gadis yang sedang menonton berada dalam keadaan yang sama dengannya, tak dapat bergerak mengingat betapa horornya kejadian tersebut. Tidak ada yang berinisiatif untuk menutup luka atau sejenisnya.

Sakura menarik lengan baju Ino yang berada di depannya untuk berbisik, "Apa tidak sebaiknya kita menutup lukanya dulu? Menghentikan pendarahannya? Kalau seperti ini, Tenten akan mati!"

Masih dengan wajah pucat yang sama, Ino menoleh pada Sakura. "Apa kau bisa melakukannya? Bagaimana kalau terjadi kesalahan?"

"Kesalahan apa?!" tanya Sakura tak sabar. "Kuulangi, Ino! Kalau seperti ini terus, Tenten akan mati!"

"MINGGIR, MINGGIR! BERI JALAN UNTUK PAK KABUTO!"

Sakura dan Ino mendengar teriakan dari arah belakang, dimana ada seorang gadis yang berlari bersama dengan Pak Kabuto, si dokter UKS yang Sakura lihat saat pertama kali datang ke sekolah ini. Pria yang sama dengan yang menyuntiknya hingga kehilangan kesadaran.

Kabuto membawa sebuah tas yang cukup besar bersamanya, berlari menyelusuri lorong dan menyeruak diantara kerumunan kamar Tenten untuk menolong gadis itu.

Tak lama setelahnya, Sakura melihat dua guru lainnya yang tak pernah Sakura lihat sebelumnya, berusaha untuk membubarkan kerumunan sebelum menutup pintu kamar agar tak ada yang menonton.

Untuk beberapa menit, kerumunan masih berada di depan kamar Tenten untuk membicarakan keadaan yang baru saja terjadi. Sakura melihat Ino, Karin dan Hinata juga membentuk sebuah lingkaran, mendiskusikan sesuatu.

"Sepertinya Tenten benar-benar tak tertolong," bisik Karin

"Tenten yang malang," Hinata mengusap airmatanya yang menggenang di pelupuk mata. "Kalau setiap minggu seperti ini, dia benar-benar tidak akan bisa tinggal di asrama."

Ino terkesiap, "Hinata! Tenten tidak akan pergi ke tempat itu!"

Sakura yang merasa penasaran dengan apa yang dimaksud Hinata langsung ikut dalam lingkaran diskusi tersebut, "Apa maksudmu? Tempat apa?"

Ketiganya langsung menoleh pada Sakura, saling melirik seolah mempertimbangkan jika mereka akan mengatakannya pada Sakura atau harus berbohong agar si anak baru tersebut tidak panik.

"Tidak apa, katakan saja padaku. Aku akan tahu cepat atau lambat, bukan?" kata Sakura seolah dapat membaca pikiran ketiganya

Karin melipat kedua tangannya di dada, menatap lurus pada Sakura. "Sebelum kita ke dikirim ke Rumah Sakit Jiwa, kita akan dikeluarkan dari asrama dan dikirim ke ruang isolasi dimana di sana kita akan di awasi dua puluh empat jam sambil belajar, makan, tidur, bahkan bertemu dengan psikiater yang akan menangani masalah kita."

"Dan jika pertolongan itu tidak berhasil, kita akan dikirim ke Rumah Sakit Jiwa," sambung Hinata menunduk sedih

Sakura mengeryit bingung, "Apa bedanya yang mereka lakukan saat di ruang isolasi dengan Rumah Sakit Jiwa? Bukankah sama saja?"

"Tentu saja beda, Sakura." Ino memutar matanya. "Kita tidak akan pernah diberikan kesempatan untuk belajar di Rumah Sakit Jiwa, bukan? Kita tidak akan diperlakukan sebagai murid, melainkan sebagai pasien."

"Oh," Sakura baru menyadari hal itu. "Lalu… apa yang terjadi pada Tenten? Kenapa dia… mau bunuh diri?"

Karin berdecak, "Tenten tidak berniat bunuh diri. Gadis itu sungguh malang, Sakura. Dia menderita."

Sakura tahu ia harus berhenti. Otaknya berteriak untuk dirinya berhenti mencari tahu atau penasaran dengan apa yang terjadi pada Tenten, namun sepertinya hatinya berkata lain.

Matanya melihat sendiri bagaimana Tenten yang seperti mumi, memiliki perban di tubuhnya hingga membuat Sakura yakin jika memang ini semua ada hubungannya dengan gadis itu ingin bunuh diri atau semacamnya.

"Menderita kenapa?"

"Tenten memiliki masa lalu yang buruk. Ia hidup bersama ayahnya yang pecandu alkohol, mantan seorang tentara negara yang dipecat secara tidak terhormat hingga Tenten harus mengalami penyiksaan. Tidak ada pelecehan, kata Tenten," Karin menarik nafas dalam-dalam seolah menceritakan kisah Tenten sangat berat. "Tapi ayahnya terus menyiksanya setiap hari dengan benda-benda tajam. Pisau, jarum, gunting, semacamnya hingga Tenten menderita jika merasakan semua benda itu pada tubuhnya kini."

Sakura terkesiap lagi. Tidak pernah menyangka jika Tenten memiliki masa lalu yang buruk dan mengerikan. Bagaimana mungkin seorang ayah melakukan hal itu pada putrinya hingga mendapatkan luka mental yang berakibat buruk hingga kini?

"Selama ini Tenten harus selalu ditemani. Tidak dapat dilepaskan dari pengawasan meski gadis itu terlihat seratus persen normal, namun Tenten bisa berubah dengan cepat saat melihat benda-benda tajam," ujar Ino mendengus. "Bahkan saat berada di kelas bimbingan sekalipun, Tenten tidak menunjukkan perubahan besar."

Karin mengangkat alisnya, "Ironis, tidakkah kau berkata untuk dirimu sendiri?"

Menyadari sindiran itu, Ino langsung melirik tidak suka pada temannya yang berambut merah, "Kau tahu apa?"

"Hey," Sakura memotong saat menyadari akan ada perdebatan. "Bagaimana kalian tahu masa lalu Tenten?"

Karin mengangkat bahunya, "Ini hanya rahasia umum, semua orang tahu masa lalu Tenten."

"Dan… " Sakura melirik pada Ino. "Kalian berada di kelas bimbingan yang sama?"

"Ya. Kelas bimbingan untuk para murid self-injury," sahut Karin yang mendapatkan tepukan pada bahunya dari Ino

Ino langsung bersidekap tak suka, "Aku tidak mengerti mereka! Berkali-kali kukatakan kalau aku berbeda dengan Tenten dan orang lainnya! Aku tidak merasa menyakiti diriku, aku tidak melukai diriku."

"Kalau kau bertanya pada Tenten, ia akan menjawab itu juga." Celetuk Karin tersenyum miring

"Aku benci saat kau sok tahu seperti ini, Karin!" sahut Ino sebelum melenggang pergi

Hinata menghela nafas, "Kau terlalu keras padanya. Kau tahu kalau Ino tidak bisa langsung diberitahu seperti itu, Karin."

"Aku tahu aku tidak bisa mengatakan apapun secara halus, Hinata." Balas Karin tak mau kalah

Sakura langsung teringat, "Apa Ino hari ini sudah makan?"

Hinata dan Karin mengangkat bahu secara bersamaan, "Entahlah. Kami tidak melihat gadis itu sama sekali tadi saat di kantin. Kurasa, Ino masih berusaha menyiksa perutnya."

"Astaga," Sakura menepuk dahinya. "Apa dia sama sekali tidak merasa lapar? Pusing? Sebenarnya kenapa dia begitu, sih?!"

"Kau tahu orang yang Anoreksia itu tidak pernah merasakan semua hal itu. Bahkan aku dengar jika Ino pernah diancam untuk dipaksa makan dengan infus jika tidak menghabiskan satu set lengkap makanan dan diawasi setelahnya agar tidak mempunyai kesempatan untuk memuntahkan makanannya," bisik Karin

Sakura mengangkat alisnya dengan heran, "Dan darimana kau tahu semua itu?"

Karin menyeringai, "Gosip sangat cepat beredar di sini mengenai perkembangan masing-masing orang, kau tahu."

Sakura membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, namun membatalkannya saat melihat para guru keluar dari kamar Tenten. Beberapa murid yang masih berada di luar kamar Tenten langsung mengelilingi Pak Kabuto yang sudah pasti merawat Tenten yang berada di dalam.

"Pak Kabuto! Bagaimana keadaan Tenten?"

"Dia masih hidup, kan?! Aku bersumpah, aku tidak pernah melihat darah sebanyak itu saat Tenten melukai dirinya!"

"Apa yang kau katakan! Sudah jelas Tenten masih hidup!"

Dan perdebatan antara murid yang khawatir langsung terjadi, membuat Kabuto dan dua guru lainnya saling menatap kebingungan melihat perilaku muridnya. Sakura, Karin dan Hinata menghampiri Kabuto yang hendak melangkah pergi, menghindari kerumunan yang masih berdebat tentang Tenten.

Kabuto langsung menoleh pada ketiganya, "Ada apa?"

"Bagaimana keadaan Tenten?" tanya Sakura. "Dia tidak memotong nadinya, kan?"

Sambil tersenyum Kabuto menepuk bahu muridnya yang baru saja beberapa hari masuk itu, "Untung saja tidak sedalam itu. Tapi, bisa berbahaya karena darah yang keluar cukup banyak. Untuk hari ini, sementara kami memindahkan Tenten ke ruangan khusus untuk menyembuhkannya."

Ketiganya langsung menarik nafas lega, namun Sakura masih tidak puas dengan pernyataan Kabuto. "Apa dia akan segera pulih?"

"Yah, biasanya empat atau lima hari dia sudah bisa kembali bersekolah. Meski ia harus diawasi lebih ketat lagi."

"Boleh kami mengunjunginya?" tanya Sakura lagi

Kabuto menggelengkan kepalanya, "Maaf, Haruno. Kau tidak bisa bertemu dengannya sampai Tenten benar-benar sehat kembali."

"Oh, baiklah." Sakura menoleh pada pintu kamar Tenten. "Kuharap dia baik-baik saja."

"Sudah mulai terbiasa, ya?" celetuk Kabuto yang membuat Sakura langsung menoleh

"Apa?"

"Tidak," Kabuto berbalik pergi. "Kuharap kau bisa lebih memahami mereka."

# # # # #

Sakura menemukan Ino sedang membaca majalah di atas kasur miliknya. Sepertinya Ino benar-benar tenggelam dalam dunianya, tidak menyadari Sakura yang memasuki kamar dan menyapanya pelan.

Melihat Ino yang tak biasa membuat Sakura menepuk bahu kurus gadis itu, "Ino!"

Untuk sesaat, gadis itu benar-benar terkejut dan langsung menutup majalah yang berada di tangannya sambil menoleh pada Sakura sambil tersenyum kaku.

"Oh, Sakura. Ada apa?"

Emerald Sakura melirik majalah yang memiliki cover bagian depan seorang wanita cantik sedang berpose, "Apa yang sedang kau baca hingga tidak menyadari kehadiranku?"

Ino buru-buru menyembunyikan majalah miliknya di bawah bantal, "Tidak ada. Hanya membaca. Kau perlu sesuatu?"

Entah kenapa Sakura merasa lebih baik ia tidak bertanya pada Ino tentang majalah yang gadis itu baca, "Aku ingin mengajakmu makan malam."

"Oh," Ino langsung memutar matanya. "Aku tidak lapar."

"Bohong," sahut Sakura cepat. "Ino, kau sama sekali belum makan, bukan?"

"Aku baik-baik saja, Sakura. Kau boleh pergi makan malam sendiri. Ajak Karin atau Hinata, mereka pasti mau."

Sakura berdecak, "Sudah pasti mereka mau. Mereka manusia biasa yang butuh makan, tidak sepertimu yang bagaikan alien, kurus dan menyiksa diri sendiri!"

Ino melirik kesal pada teman sekamarnya, "Aku senang kau menganggapku kurus. Tapi aku tidak menyiksa diriku sendiri."

"Ya, kau menyiksa dirimu sendiri! Kau bahkan masuk ke kelas bimbingan yang sama dengan Tenten."

"Para guru salah tentang itu," kata Ino defensif. "Aku benar-benar tidak lapar, Sakura. Kau bisa pergi-"

"Sebenarnya apa yang ingin kau dapatkan dengan tidak makan?" potong Sakura yang membuat Ino terdiam. "Sepertinya ini bukan pertanyaan pertamamu."

"Tentu saja. Aku sudah berkali-kali ditanya oleh orang di sekelilingku bahkan oleh guru bimbinganku. Jawabanku selalu sama."

"Dan, apa itu?"

Aquamarine Ino membalas tatapan Sakura, "Aku tidak ingin memiliki tubuh yang besar. Apa itu salah?"

Mendengar jawaban simple itu langsung membuat Sakura menganga. Ia tahu orang yang menderita Anoreksia itu takut dengan tubuh besar atau memiliki kelebihan berat badan. Tapi, ia tidak pernah menyangka jika ia benar-benar akan mendengar hal itu dari Ino.

Bukankah seharusnya Ino memiliki sebuah alasan yang tidak umum?

"Yang benar saja, Ino! Kau sudah kurus. Sangat kurus malah. Kau tidak terlihat seperti manusia, apa kau benar-benar puas dengan semua ini?!"

Ino mengibaskan tangannya, "Aku juga sudah kenyang dengan ceramah seperti itu. Tidak perlu repot-repot, Sakura."

"Oh, aku tidak berceramah. Aku hanya memberitahumu kebenaran." Sakura menunjuk cermin besar yang menggantung di dinding. "Kau boleh berkaca untuk memastikannya."

"Aku sudah berkaca setiap hari."

"Baiklah, kalau begitu berdiri dan bandingkan denganku di cermin."

Sakura menarik tangan Ino, namun dengan cepat Ino menepisnya. "Aku tidak mau. Apa kau mau mengejekku?"

"Aku tidak akan pernah melakukan itu, Ino. Aku hanya ingin membantumu sadar kalau kau-"

"BAIK-BAIK SAJA, SAKURA!" seru Ino yang langsung membuat Sakura terdiam. "Aku tidak membutuhkan bantuan apa pun! Aku tidak merasa jelek, terlalu kurus atau apa pun yang ingin kalian katakan padaku! Chouji mengatakan padaku kalau aku baik-baik saja seperti apapun keadaanku dan kalian semua tidak berhak untuk menghakimiku soal itu!"

Untuk beberapa saat, keduanya terdiam. Ino bahkan memalingkan wajahnya dari Sakura setelah mengatakannya. Sementara Sakura masih memperhatikan Ino dalam diam, berusaha untuk mencerna kalimat yang dilimpahkan Ino barusan padanya.

Sakura menghela nafas pelan, menyandarkan punggungnya pada dinding, "Maafkan aku. Sepertinya aku berlebihan dan menyudutkanmu seperti ini karena aku menyadari kalau kau itu teman pertamaku di tempat ini. Setelah melihat apa yang terjadi pada Tenten, aku merasa jika kemanusiaanku akan hilang kalau aku tidak berusaha untuk membuatmu sadar apa yang salah dengan dirimu."

Ino ingin membalas ucapan Sakura, namun seakan tidak diberi kesempatan, Sakura langsung menyela.

"Kau hanya harus tahu apa yang orang lain lihat pada dirimu, Ino. Aku bahkan bisa melihat betapa khawatirnya Karin dan Hinata padamu yang tidak mau makan." Sakura menarik nafas dalam-dalam lalu termenung. "Menurutmu, apakah yang terjadi pada Tenten itu mengerikan?"

Tidak mengerti, Ino mengeryit pada teman sekamarnya itu. "Apa maksudmu? Kenapa jadi membahas Tenten?"

Sakura memiringkan kepalanya untuk menatap Ino, "Bagaimana menurutmu?"

Ino memutar matanya, mengingat kembali apa yang terjadi pada Tenten tadi siang. Dan apa yang terjadi pada Tenten sebelum-sebelumnya. Apa yang terjadi pada Tenten, masa lalunya dan permasalahannya serta bagaimana defensifnya Tenten saat berada di kelas bimbingan.

Ia mengingat semuanya dengan baik.

Ino menutup matanya, berusaha untuk mencerna maksud dari Sakura yang membandingkan dirinya dengan Tenten. Ia mengerti maksud dari gadis itu, namun tetap saja Ino masih merasa tidak ingin menerimanya.

"Ino?"

Kali ini aquamarine Ino membalas tatapan Sakura yang masih tidak lepas darinya, seolah masih menunggu jawaban darinya.

"Masalah kami berbeda, Sakura. Kau tidak bisa membandingkan kami."

Sakura menggeser tubuhnya untuk lebih dekat pada Ino, "Maukah kau bercerita padaku?"

Ino menarik nafas, memeluk lututnya hingga tubuhnya terlihat menggulung. "Aku tidak tahu harus cerita darimana… "

"Baiklah, kalau begitu aku yang bertanya?"

"Boleh."

Emerald Sakura melirik majalah yang sedikit keluar dari celah bantal yang berusaha Ino sembunyikan tadi, "Apa kau terobsesi untuk menjadi seorang model? Karena itulah kau seperti ini?"

Ino terdiam beberapa detik sebelum mengangguk, kepalanya ia sembunyikan pada lututnya. "Daridulu, aku menyukai dunia modelling. Melihat para wanita yang berjalan dengan indahnya di atas panggung, membawakan baju-baju indah serta bagaimana orang-orang melihat mereka. Aku ingin seperti itu."

Sakura dengan lembut bertanya, "Lalu?"

"Aku berhasil lolos audisi," kali ini Ino mengangkat kepalanya dan matanya terlihat menerawang. "Saat itu aku masih SMP, namun aku termasuk tinggi untuk gadis seusiaku dan aku berhasil lolos audisi untuk menjadi seorang model runaway SMP. Namun segalanya berubah saat aku bertemu seorang desainer yang mengatakan jika rancangannya tidak cocok untukku."

Sakura mengeryit, "Apa maksudnya? Tidak cocok untukmu kenapa?"

Airmata menggenang di pelupuk mata Ino, membuat pandangannya kabur, "Dia mengatakan aku terlalu besar. Bukan tinggi, Sakura. Tapi besar, aku memiliki tubuh yang tidak cocok untuk anak seusiaku dan dia mengatakan aku harus menurunkan beratku, setidaknya lima kilogram saat itu."

Emerald Sakura membualat, "Apa?! Dan kau melakukannya?!"

Ino mengangguk lemah, "Dia seorang desainer besar untuk pakaian anak-anak, jika aku bisa menjadi modelnya dan mendapatkan rekomendasinya, aku bisa memiliki jalan yang mulus untuk ke depannya."

"Astaga Ino," Sakura menatap langit-langit. "Apa kau berhasil turun seperti syaratnya?"

"Ya. Tapi, itu bukan perjuangan yang mudah karena ia hanya memberiku waktu dua minggu sebelum fitting untuk pakaian yang disiapkan untukku."

"Dan bagaimana kau melakukannya?"

Ino tersenyum kecut, "Sama seperti yang kulakukan sampai hari ini. Membuat diriku lapar, memuntahkan makanan dan menghindari ruang makan."

"Apa orang tuamu tidak menahanmu?"

"Tentu saja tidak," kini Ino mengganti senyumnya menjadi senyuman kesal. "Mereka hanya memperdulikan uang dan ketenaran yang akan kudapatkan jika berhasil."

Sakura meninju bantal yang berada di dekatnya, "Apa-apaan itu! Kenapa ada orang tua seperti itu!"

Ino tertawa kecil, memiringkan kepalanya untuk menatap Sakura. "Sepertinya kau terlalu naif?"

"Tidak, aku tidak naif. Hey, kita bukan membahasku! Lanjutkan kisahmu."

Ekspresi Ino kembali datar, matanya pun kembali menerawang. "Aku berhasil menurunkan berat badanku dan tampil di runaway. Itu sebuah pemandangan yang luar biasa, saat itu kupikir jika semua usaha kerasku tidak sia-sia. Dan akhirnya, aku mendapatkan kontrak dari desainer itu."

Sakura tampak antusias, "Bukankah itu bagus? Lalu bagaimana kau bisa berakhir seperti ini?!"

Kali ini Ino tidak menjawab. Seakan sedang menata hatinya atau sedang mengingat kembali apa yang ia alami dulu, apapun itu, Sakura menanti teman sekamarnya untuk terbuka padanya tentang masalah sebenarnya yang ia hadapi.

"Kau tahu, Sakura? Persaingan di dunia modelling itu sangat keras. Tidak pernah mudah. Banyak model-model yang lebih cantik, kurus dan menarik daripada diriku. Aku merasa… tidak percaya diri. Semakin karirku menanjak, aku merasa semakin hancur."

Sakura menepuk punggung Ino yang sangat kurus, tidak mengatakan apapun selain menunggu.

"Dan suatu hari, ada desainer besar itu kembali akan mengadakan sebuah fashion show besar yang akan dihadiri oleh desainer di dunia. Tentu saja, para model yang ia kontrak langsung antusias, namun kami harus tetap bersaing untuk tempat yang akan tampil itu."

Ino menarik nafas dalam-dalam, "Desainer besar itu mengatakan padaku, tubuhku masih terlalu besar. Meski, berat tubuhku sama sekali tidak bertambah sejak ia memintaku untuk menurunkannya. Ia mengatakan jika aku harus mengikuti apa yang dunia inginkan. Dan aku melakukannya."

Sakura menatap sedih teman sekamarnya itu, "Kau menurunkan berapa kilogram kali ini?"

"Lima kilogram lagi," ujar Ino. "Dengan metode yang sama."

"Lalu, apa kau berhasil?"

Ino tidak menjawab. Entah kenapa, gadis itu tiba-tiba saja terdiam cukup lama hingga Sakura merasa bingung apakah pertanyaannya salah. Apa dia sudah melewati batasan yang tidak seharusnya ia lewati.

"Aku gagal. Desainer itu mengatakan jika tubuhku tidak menarik lagi dan ia memberikan tempat itu pada model lainnya yang memang, sangat cantik dan menarik." Airmata menetes di pipi Ino. "Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Aku… aku yang merasa tidak menarik tidak dapat menahan diri untuk makan. Setiap kali aku melihat makanan, aku akan merasa mual. Jika aku memaksakan diri untuk makan, aku akan memuntahkannya. Di kepalaku, terngiang apa yang desainer itu katakan."

Kali ini Sakura memeluk Ino. Ia tidak memeluknya dengan terlalu ketat karena tidak ingin menyakiti gadis itu, mengingat betapa kurusnya Ino. Tapi yang Sakura tahu, jika seseorang bersedih, sebuah pelukan jauh lebih baik daripada sebuah kata-kata manis.

Ino membalas pelukan Sakura sambil mengusap airmatanya, "Desainer itu yang mengirimku ke sini, Sakura. Ia mengatakan jika tempat ini akan memperbaikiku."

"Desainer itu brengsek," ujar Sakura. "Aku tidak peduli jika ia desainer paling sukses atau terkenal sekalipun. Tapi ia sudah membuatmu seperti ini dan membuangmu kesini. Dasar desainer brengsek."

Ino tertawa kecil, "Yah, aku berpikir seperti itu."

Sakura melepaskan pelukannya, menatap mata Ino lurus-lurus. "Lalu kenapa kau masih menyiksa dirimu seperti ini? Kau tidak perlu membuat tubuhmu lebih kurus lagi, Ino! Kau tidak lagi menjadi modelnya, kau bebas! Kau bisa makan semaumu di sini!"

"Tidak semudah itu, Sakura." Ino menghela nafas. "Aku masih merasa mual setiap kali memaksakan diriku untuk makan dan berakhir memuntahkan makananku."

"Tidak apa, Ino. Tidak ada orang yang bisa sembuh dalam sekejap. Kau bisa mulai dari makan sedikit demi sedikit," ujar Sakura lembut

Ino tersenyum, "Aku sudah mencobanya di hadapan para guru. Tapi, gagal."

"Kalau begitu cobalah bersamaku! Makan bersamaku!" Sakura melompat turun dari tempat tidur Ino. "Bagaimana? Kau mau?"

Sakura mengulurkan tangan pada Ino seolah mengajaknya dan Ino hanya menatap tangan itu dalam diam, melirik Sakura yang masih tak bergerak seolah menunggunya.

"Apa menu makan malam kita?" tanya Ino

Sakura tersenyum lebar sambil mengangkat bahu, "Kau akan tahu setelah kita turun ke ruang makan!"

Menyambut uluran tangan Sakura, Ino melompat turun dari kasurnya. "Baiklah, mari kita lihat bersama."

# # # # #

Panjaaaaaaaang XD

Updatenya memang lama, gomen, ga ada lagi yang cerewetin :(

Tapi, kalian boleh kok nagih atau kasih saran lewat PM dan review nya ditunggu yak :3